View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ARTIKEL
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN STATUSNYA
(STUDI KASUS KONDISI TERUMBU KARANG
DI PROVINSI BALI
OLEH
I WAYAN RESTU
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga “Artikel” yang berjudul “Ekosistem
Terumbu Karang dan Statusnya (Studi Kasus Kondisi Terumbu Karang di
Wilayah Provinsi Bali” dapat terselesaikan. Artikel ini merupakan kumpulan
tulisan, data dan pendapat/keterangan ahli (profesional judment), tentang
ekosistem terumbu karang secara umum dan hasil-hasil penelitian di wiayah yang
sudah terpublikasi secara luas. Artikel yang berisikan pengetahuan dasar tentang
ekosistem terumbu karang, permasalahannya di Indonesia dan kondisi terumbu
karang di wilayah Provinsi Bali.
Informasi dalam tulisan singkat ini diharapkan bisa berguna bagi semua
pihak, khususnya dalam upaya pemulihan dan konservasi ekosistem terumbu
karang dalam kerangka perbaikan manajemen sumberdaya pesisir dan laut menuju
pembangunan berkelanjutan.
Bahan utama dalam tulisan artikel ini disadur dari laporan : Profil Ekosistem
Terumbu Karang Provinsi Bali tahun 2013 dan ditambahkan dari buku-buku,
journal dan hasil penelitian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari penulisan Artikel ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran yang sifatnya
membangun sebagai bahan masukan yang bermanfaat.
Bukit Jimbaran, Juli 2016
Penulis.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii DAFTAR TABEL............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iii I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar belakang.................................................................................. 1 1.2 Tujuan ............................................................................................. 4 1.3 Sasaran .......................................................................................... 4 II. EKOSISTEM TERUMBU KARANG........................................................... 5 2.1 Terminologi ......................................................................................... 5 2.2 Biologi hewan karang......................................................................... 9 2.2.1 Struktur hewan karang.................................................................... 9 2.2.2 Makanan hewan karang................................................................ 11 2.2.3 Reproduksi .................................................................................... 11 2.2.4 Petumbuhan karang....................................................................... 12 2.2.5 Musuh karang................................................................................ 12 2.2.6 Klasifikasi dan Bentuk Pertumbuhan Karang ................................ 14 2.3 Lingkungan Fisik............................................................................. 15 2.3.1 Distribusi terumbu karang............................................................... 15 2.3.2 Cahaya dan kedalaman.................................................................. 17 2.3.3 Arus dan aksi gelombang .............................................................. 17 2.3.4 Sedimen dan substrat dasar ........................................................ 18 2.3.5 Salinitas ......................................................................................... 19 2.3.6 Suhu .............................................................................................. 19 2.4 Nilai EkosistemTerumbu Karang...................................................... 20 2.5 Ancaman terhadap Terumbu Karang................................................ 25 2.5.1 Ancaman oleh Faktor Alam........................................................... 25 2.5.2 Ancaman oleh Aktivitas Manusia.................................................. 27 III. STATUS TERUMBU KARANG BALI ................................................... 33 IV. PENUTUP...................................... ......................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ..................................... ............................................. 37
ii
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
2.1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang ............................. 18
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
2.1 Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin ................................................. 7
2.2 Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin ................................................. 8
2.3 Anatomi polip karang dan letak zooxanthelae...................................................... 9
2.4 Proses fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan hewan karang....................................................................................................................
10
2.5 Reproduksi generatif hewan karang .................................................................... 12
2.6 Acanthaster plancii .............................................................................................. 13
2.7 Diagram klasifikasi karang (sumber: Veron, 1986) .............................................. 14
2.8 Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform) ........................................................ 15
2.9 Destruktif Fishing dengan bahan peledak ............................................................ 28
2.10 Kegiatan penambangan batu karang sangat merusak ....................................... 30
iii
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan lautan sangat tinggi.
Sumberdaya pesisir dan lautan memiliki arti yang sangat penting dan strategis bagi
pembangunan kehidupan masyarakat. Salah satu sumberdaya alam pesisir yang
penting peranannya ditinjau dari aspek produksi, konservasi, rekreasi dan
pariwisata adalah sumberdaya hayati di peraitan pantai. Nilai konservasi ekosistem
perairan pantai adalah perlindungan dan pemeliharaan proses-proses ekologis,
sistem penyangga kehidupan habitat berbagai jenis biota sehingga berfungsi
sebagai cadangan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, keberadaan
terumbu karang, padang lamun berfungsi melindungi pantai dari bahaya
erosi/abrasi, penghasil pasir putih dan lain-lain. Ditinjau dari aspek produksi,
keberadaan ekosistem pantai telah memberi manfaat yang besar bagi pemenuhan
kebutuhan pangan dan industri serta menopang mata pencaharian masyarakat
pesisir, khususnya masyarkat nelayan. Berbagai produk dapat dihasilkan dari
ekosistem pantai seperti beragam ikan konsumsi, produk ornamental, bahan
konstruksi, ekstraksi natural products (senyawa bioaktif, untuk industri makanan
dan minuman, farmasi, kosmetika, bioenergi, dll) dan bahan baku industri lainnya
Sementara itu ditinjau dari aspek rekreasi dan pariwisata, sumberdaya alam di
perairan pantai menyediakan jasa-jasa menunjang industri wisata bahari bagi
perolehan devisa negara dan menyediakan lapangan pekerjaan dan lapangan
usaha bagi masyarakat lokal secara signifikan.
Pesatnya pembangunan di wilayah pesisir dan lautan pada sisi yang
lainnya menimbulkan ekses berupa permasalahan pendayagunaan sumberdaya
alam dan lingkungan yang tidak seimbang. Salah satu sumberdaya di wilayah
pesisir laut yang mendapatkan tekanan cukup besar adalah ekosistem terumbu
karang (Corals reefs ecosystem), dengan kecenderungan tingkat kerusakan
terumbu karang semakin berat. Dievaluasi kerusakan yang terjadi adalah
akumulasi dampak negatif aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak
langsung di wilayah pesisir (internal impact), dan di luar wilayah pesisir (external
impact). Disamping itu kerusakan disebabkan oleh terjadi pencemaran, terutama
pencemaran sampah dan sedimen.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 2
Demikian hal dengan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil Provinsi Bali
merupakan sebagai salah satu sebaran ekosistem terumbu karang di kawasan
ekoregion Lesser Sunda dengan luas yang telah terinventasasi yaitu mencapai
6.948 ha. Secara keseluruhan terinventarisasi sebanyak 96 site terumbu karang
yang telah dipantau untuk mengetahui status kondisinya. Sebanyak 17 site
pemantauan hanya dilakukan pada kedalaman 3‐5 meter, 24 site hanya pada
kedalaman 7‐10 meter dan 59 site pada kedalaman 3‐5 meter dan 7‐10 meter.
Dari 76 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 3‐5 meter, sebanyak
13 site 17,11%) dalam kondisi sangat baik, kondisi baik 28 site (36,84%), kondisi
sedang 23 site (30,26%) dan kondisi buruk 12 site (15,79%). Terumbu karang
dengan kondisi sangat baik terdapat antara lain di Menjangan, Gilimanuk,
Pangkung Dedari, Gili Selang, Candidasa, dan Nusa Penida. Terumbu karang
dengan kondisi baik tersebar di Menjangan, Gilimanuk, Sumbersari, Lovina,
Tejakula, kawasan Candidasa, Sanur, Serangan, Nusa Dua dan Nusa Penida.
Terumbu karang dalam kondisi buruk terdapat di Gianyar, Kampung Baru dan
Anturan Kabupaten Buleleng. Sedangkan kondisi sedang tersebar di kawasan
Pemuteran dan Sumberkima, Kuta, Tanjung Benoa, Padangbai dan Nusa Penida.
Sementara itu, dari 79 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 7‐10
meter diperoleh status kondisi terumbu karang di Bali pada kedalaman tersebut
terdiri dari kondisi sangat baik 10 site (12,66%), kondisi baik 24 site (30,38%),
kondisi sedang 33 site (41,77%) dan kondisi buruk 12 site (15,19%). Terumbu
karang pada kedalaman 7‐10 meter dalam kondisi sangat baik antara lain terdapat
di Menjangan, Cekik, pesisir timur dan selatan Kabupaten Karangasem, Nusa Dua
dan Nusa Penida. Terumbu karang dalam kondisi buruk terdapat di wilayah pesisir
Kabupaten Buleleng, Teluk Gilimanuk, Candikusuma, Tuban, Nusa Lembongan,
dan Serangan.
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan
untuk pembangunan dan menopang mata pencaharian masyarakat dewasa ini
dihadapkan pada permasalahan semakin seriusnya kerusakan terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang mempunyai implikasi dampak yang luas, seperti
merosotnya keanekaragaman hayati, berkurangnya sistem perlindungan alamiah
daratan pantai oleh bahaya erosi dan abrasi, memburuknya kualitas obyek dan
daya tarik wisata, dan lain sebagainya. Para ahli telah memasukkan ekosistem
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 3
terumbu karang sebagai salah satu ekosistem yang sangat terancam
kelestariannya.
Upaya-upaya pelestarian ekosistem terumbu karang merupakan sesuatu
hal yang mendesak. Pendekatannya adalah melalui penerapan prinsip-prinsip
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Pendekatan ini sangat
relevan diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang mengingat
kompleksitas sistem sumberdaya dan permasalahannya. Salah satu aspek penting
dalam pengelolaan terumbu karang adalah ketersediaan data dan informasi. Data
dan informasi mengenai kekayaan, potensi, kondisi dan status terumbu karang
harus disebarluaskan dan dipublikasikan secara seimbang untuk memberikan
pemahaman yang baik kepada masyarakat, dan menentukan langkah-langkah
pengendalian dan pemulihan kerusakan terumbu karang agar sumberdaya ini dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kewenangan di wilayah laut terdiri dari: (a)
eksplorasi, eskploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah
laut tersebut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang;
(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (e) bantuan penegakan
keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan ini meliputi juga dalam hal
pengelolaan sumberdaya terumbu karang.
Salah satu implikasi dari kewenangan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota
juga berkewajiban melakukan kegiatan pemantauan sebagai bagian dari
pengelolaan terumbu karang. Hal ini telah diatur dalam Kep. Men. LH No. 4 Tahun
2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang yang menyebutkan bahwa
Gubernur/Bupati/Walikota berkewajiban melakukan inventarisasi terumbu karang
untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya
kepada Menteri dan instansi yang bertanggung jawab sebagai bentuk perwujudan
good environmental governance.
Selain untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh
peraturan perundang-undangan, kajian-kajian yang menghasilkan solusi tepat bagi
perlindungan sumberdaya terumbu karang diperlukan untuk menunjang para
pengambil keputusan dalam melaksanakan pembangunan daerah yang efektif dan
berkesinambungan. Pengkajian melalui kegiatan pemantauan terumbu karang dan
penyebaran hasil kajian ini sangat penting dalam rangka pengelolaan sumberdaya
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 4
terumbu karang seperti : identifikasi faktor-faktor penyebab kerusakan, upaya
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan terumbu karang. Dengan
langkah-langkah pengelolaan tersebut diharapkan kondisi terumbu karang dapat
dipelihara kualitasnya sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
1.2 Tujuan
Penulisan makalah (artikel) yang bertemakan “Ekosistem Terumbu Karang
dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali bertujuan untuk:
a. Memberikan informasi dasar dan bahan bacaan tentang ekosistem terumbu
karang secara umum dan kasus-kasus kondisi terumbu karang di wilayah
Bali.
b. Sebagai sumber bahan pembelajaran bagi mahasiswa Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakukltas Kelautan dan Perikanan, Universitas
Udayana.
1.3 Sasaran
Sasaran yang diharapkan dari makalah (artikel) yang bertemakan
“Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali adalah:
menyebar tularkan data/informasi bagi berbagai pemangku kepentingan
(stakeholders) mengenai ekosistem terumbu karang dan status kondisi terumbu
karang di Provinsi Bali, yang bermanfaat dalam menunjang program pengelolaan
ekosistem terumbu karang sebagai salah satu aset bagi pembangunan daerah
dalam rangka good environmental governance sesuai dengan Kepmen LH No. 4
Tahun 2001.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 5
BAB II EKOSISTEM TERUMBU KARANG
2.1 Terminologi
Istilah terumbu (reef) sudah begitu melekat dengan karang (coral), padahal
tidak seluruhnya jenis karang hidup pada terumbu dan tidak semua terumbu
dihidupi oleh karang. Terumbu merupakan istilah yang mempunyai beberapa
pengertian. Kapten kapal mengertikan terumbu sebagai bagian laut dangkal yang
dapat mengganggu navigasi. Nelayan pada umumnya menggunakan istilah
terumbu sebagai batuan “submarine” dimana ikan-ikan biasanya bergerombol dan
dapat menyangkutkan jaring. Ada juga yang menyebutnya sebagai struktur batuan
pada perairan dangkal sampai supratidal yang dapat menyebabkan pecahnya
gelombang. Sementara itu, terumbu dalam pengertian biologi adalah suatu struktur
kerangka kerja organik yang dibentuk oleh organisme meliputi berbagai avertebrata
dan alga, seperti yang terdapat pada karang tertentu, alga koralin, tiram, dan
beberapa cacing. Dalam perkembangan selanjutnya, terumbu dibagi atas terumbu
karang (coral reef) dan terumbu bukan karang (non-coral reef). Terumbu bukan
karang dapat berupa terumbu tiram (oyster reef), atau terumbu cacing (worm reef).
Tipe terumbu lainnya juga kadang-kadang dikaitkan dengan dengan sistem akar
mangrove dan kaitannya dengan akumulasi sedimennya (Davis, 1990).
Istilah karang (coral) mempunyai beberapa arti, tetapi biasanya merupakan
nama umum yang diberikan kepada ordo Scleractinia, yang semua anggotanya
mempunyai skeleton batu kapur keras. Ordo Scleractinia dibagi atas kelompok
terumbu bangun (reef building) dan terumbu bukan bangun (non-reef building).
Kelompok pertama dikenal dengan sebutan hermatypic coral dan membutuhkan
sinar matahari untuk hidupnya. Sedangkan kelompok kedua dikenal dengan
ahermatypic coral dan secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar
matahari (Veron, 1986).
Sementara itu menurut Barnes dan Hughes (1990), karang berkaitan
dengan anemon laut dan dapat divisualisasikan sebagai koloni anemon yang
tersusun atas pondasi batu kapur sebagai struktur penopang dan proteksi. Ada
organisme pembangun skeleton lainnya yang mirip dengan cara kerja Scleractinia
yang disebut sebagai non scleractinia coral. Menurut Veron (1986), struktur masif
terumbu karang tersebut terbentuk dari akumulasi dan sedimentasi skeleton karang
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 6
yang terjadi ratusan tahun. Terumbu karang merupakan hasil hubungan kerja yang
kompleks dan halus antara polip karang dan alga sel tunggal yang hidup secara
simbiosis di dalam sel-sel polip karang. Karang lainnya yang tidak mempunyai
skeleton disebut sebagai karang lunak (soft coral).
Menurut Davis (1990), berdasarkan bentuk hubungannya dengan
perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan, Darwin
mengklasifikasikan tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih digunakan,
yaitu (Gambar 2.1 dan 2.2):
a. Karang tepi (fringing reef), yaitu terumbu karang yang berkembang
sepanjang dan dekat pantai (shore) dan jangkauan tumbuhnya ke arah laut
dengan jarakbeberapa ratus meter. Tidak terdapat laguna atau lingkungan
bukan terumbu antara terumbu karang dan daratan. Tipe ini melindungi
garis pantai dan lingkungan pantai dari abrasi karena dapat menahan
serangan gelombang yang menghantam pantai. Terumbu karang yang
terdapat di Indonesia umumnya termasuk ke dalam tipe ini.
b. Terumbu penghalang (barrier reef), yaitu terumbu karang yang
berkembang sejajar garis pantai tetapi terletak dengan membentuk jarak
dengan pantai dan di antaranya terdapat laguna. Terumbu karang tipe ini
yang paling terkenal di dunia adalah Great Brrier Reef yang terdapat di
pantai Queensland Australia, dengan panjang lebih dari 1200 mil dan lebar
bervariasi dari 10 sampai 200 mil dan meliputi area seluas 80.000 mil
persegi. Barrier reef terbesar kedua di dunia terdapat New Caledonia
dengan panjang total 400 mil dengan lebar laguna 1 sampai 8 mil. Barrier
reef terbesar ketiga aadalah Great Sea Reef yang terdapat di sebelah utara
dua pulau utama Piji, Viti Levu dan Vanua Levu, dengan panjang 165 mil.
c. Terumbu cincin (atoll), yaitu terumbu karang yang berbentuk cincin
(lingkaran) yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang
tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Atoll
selanjutnya dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu: (1) yang muncul dari
laut dalam yang disebut deep-sea atoll. Atoll tipe ini strukturnya terisolasi
dan umumnya berukuran kecil dengan cincin yang kecil pula, tidak memiliki
inlet, diameternya kurang dari 1 mil tetapi ada beberapa yang diameternya
melebihi 20 mil dan memiliki beberapa inlet. Atoll Kwajalein di Kepulauan
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 7
Marshall (Pasifik) dan Atoll Suvadiva di Maldive (Samudera Hindia)
merupakan atoll-atoll yang terbesar saat ini, masing-masing dengan luas
lebih dari 700 mil persegi; (2) atoll yang dijumpai pada paparan benoa yang
disebut shelf atoll. Jenis atoll ini banyak dijumpai di beberapa belahan
dunia, termasuk di Indonesia (Taka Bone Rate Sulawesi Selatan), Laut
Karibia dan Teluk Meksiko, dan Australia (Great Barrrier Reef). Beberapa
nama khusus diberikan terhadap shelf atoll untuk membedakannya dengan
deep-sea atoll, seperti “bank reef” unuk atoll yang muncul pada paparan
benoa, “bank barrier” untuk atoll yang terdapat pulau, “bank atoll” untuk atoll
yang tidak terdapat pulau, serta “lagoon atoll” unuk atoll kecil dengan laguna
yang luas.
Gambar 2.1 Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin
Fringing Reef Atoll Barrier Reef
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 8
Gambar 2.2. Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 9
2. 2 Biologi Hewan Karang
2. 2. 1 Struktur Hewan Karang
Ditlev (1980) mengemukakan bahwa pada karang hermatypic, organisme
hewan karang hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae yaitu alga coklat
mikroskopis, sedangkan pada karang ahermatypic tidak memiliki simbion
zooxanthellae. Zooxanthellae yang bersimbiosis dengan hewan karang adalah
dinoflagellata unicellular dari jenis Gymnodinium microadriatum. Zooxanthellae ini
hidup pada lapisan gastrodermis hewan karang (Gambar 2.3).
Sebagaimana halnya tumbuhan di daratan, zooxanthellae mampu
melakukan fotosintesis untuk menangkap sinar matahari dan menggunakannya
untuk membuat makanan organik untuk dirinya dari karbon dioksida, nutrien
anorganik dan air. Tanpa zooxanthellae, karang menjadi pucat. Meskipun semua
karang mengandung kalsium karbonat, tetapi tidak semuanya cukup untuk
membentuk terumbu. Air laut yang hangat dan intensitas cahaya matahari yang
tinggi sepanjang tahun sangat penting untuk mekanisme simbiosis alga-
coelenterata untuk menghasilkan kuantitas kapur yang melimpah. Karang
hermatypic terbatas pada kedalaman kira-kira 70 meter dari permukaan air pada
laut yang jernih dengan suhu di atas 20o C sepanjang tahun. Di daerah yang lebih
dingin dengan kedalaman kurang dari 70 m, karang masih dapat tumbuh tetapi
hubungan simbiosisnya dengan zooxanthellae seringkali persisten dan kapasitas
karag untuk mendepositkan kapur (limestone) akan menurun sehingga bentuknya
relatif kecil.
Sumber: Veron (1986) Sumber: Nybakken (1992)
Gambar 2.3 Anatomi polip karang dan letak zooxanthellae
Tentakel
Mulut
Epidermis
Kerongkongan
Gastrodermis
Kerangka
Septa Kerangka dalam Cawan
Cawan Koralit
Zooxan thellae
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 10
Organisme pembangun karang yang hanya dapat hidup pada perairan
dangkal dengan sinar matahari yang cukup, sehingga memberi kesan bahwa cara
hidup hewan karang seperti tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian keadaannya,
karang (coral) merupakan hewan yang tidak bisa melangsungkan proses
fotosintesis. Adapun ketergantungan kehidupannya pada sinar matahari yang
cukup karena di dalam jaringan tubuhnya terdapat tumbuhan air bersel satu
(unicellular) yaitu zooxanthellae.
Dalam hubungan simbiosis mutualisme antara hewan karang dengan
zooxanthellae, hewan karang memperoleh sejumlah keuntungan yaitu oksigen
untuk respirasi yang dihasilkan dari proses fotosintesis zooxanthellae,
zooxanthellae mengendapkan kapur sebagai “rumah” hewan karang dan
zooxanthellae merupakan sumber makanan utama bagi hewan karang. Sedangkan
zooxanthellae memperoleh keuntungan yaitu tempat hidup, CO2 dan nutrien hasil
perombakan ekskresi hewan karang menunjang proses fotosintesis (Gambar 2.4).
Menurut Barnes dan Hughes (1990), cara zooxanthellae mendepositkan
kalsium karbonat tidak sepenuhnya dimengerti. Persamaan berikut hanya
merupakan hipotesis, yaitu: Ca2+ + 2HCO3- Ca(HCO3)2 CaCO3 +H2CO3
Hipotesis ini tidak dapat menjelaskan bagaimana karang Acroporidae tipe polip
spiral tumbuh lebih cepat daripada tipe lateral sedangkan tipe spiral mengandung
zooxanthellae lebih sedikit. Menurut Clark (1995), sebanyak 160-800 ton kalsium
karbonat per are per tahun didepositkan oleh zooxanthellae pada terumbu karang.
Gambar 2.4 Proses fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan hewan karang
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 11
2.2. 2 Makanan Hewan Karang
Karang hermatypic mempunyai dua sumber makanan utama yaitu senyawa
organik yang dihasilkan dan diekskresikan oleh zooxanthellae di dalam jaringannya
dan dari mangsanya. Zooxanthellae mampu mensuplai 98 % total kebutuhan
makanan bagi hewan karang. Sumber makanan lainnya berupa debris organik atau
plankton. Karang kelompok lainnya seperti Euphyllia, Catalaphyllia dan Goniopora,
tidak menyukai perairan keruh dan mempunyai polip yang besar yang hanya mekar
pada malam hari. Mereka tidak mempunyai kumpulan sel-sel penyengat pada
tentakel. Sumber makanannya masih belum diketahui, tetapi diperkirakan terutama
dari debris organik. Karang ahermatypic dimana tidak mempunyai alga simbiosis
sebagai pensuplai makanan dalam jaringannya, seluruhnya bersifat kanibal. Seperti
anemon, mereka makan hampir segala sesuatu yang dapat mereka lumpuhkan
dengan sel penyengatnya, termasuk cacing dan ikan, dan bulu babi (Veron, 1986).
2.2.3 Reproduksi
Perkembangbiakan hewan karang dapat terjadi dengan dua cara yaitu
secara vegetatif dan generatif. Secara vegetatif merupakan cara memperbanyak
diri dengan membelah diri berulang kali. Perkembangbiakan secara vegetatif
dimana karang membentuk tunas intra-tentakuler atau ekstra-tentakuler. Dengan
membelah diri berulang kali sehingga koloni karang terdiri atas ribuan polip.
Cara kedua yaitu secara generatif, merupakan pembuahan antar sel
kelamin jantan dan sel kelamin betina yang terdapat dalam satu polip dan biasanya
dalam jaringan yang sama. Pembuahan ini menghasilkan larva planula dan untuk
beberapa saat disimpan di dalam rongga mulutnya. Sedangkan menurut Ditlev
(1980), perkembangan menjadi larva planula terjadi melalui reproduksi seksual
secara monocious dan diocious. Setelah larva memasuki fase free-swimming
(berenang bebas), maka larva planula menempel pada substrat keras dan
membentuk koloni karang atau soliter baru. Larva planula yang telah menempel
pada substrat keras pertama-tama membentuk suatu basal plate dari kapur
(Gambar 2.5).
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 12
-
Gambar 2.5 Reproduksi generatif hewan karang
2.2. 4 Pertumbuhan Karang
Tercapainya evolusi dari ordo Scleractinia yaitu perkembangan dalam
memanfaatkan alga simbiosis untuk membentuk terumbu, merupakan kapasitasnya
untuk membentuk koloni yang kompleks melalui perbanyakan polip secara
aseksual. Dengan terbentuknya koloni yang tersusun atas ratusan atau ribuan
individu, karang terbebas dari semua pembatasan polip tunggal. Mereka dapat
tumbuh sampai ukuran yang sangat besar, mencapai usia yang besar,
menghasilkan larva yang banyak, tumbuh cukup cepat mengalahkan kompetitor
dan membangun saringan tangkapan plankton pada skala yang besar.
Karang merupakan koloni hewan yang tumbuh relatif lambat, dengan laju
pertumbuhan berkisar dari 0,1 sampai 10 cm tingginya per tahun (Clark, 1995).
Sedangkan menurut Warner (1984), laju pertumbuhan rata-rata karang adalah 1
mm per tahun. Sementara itu, kalsifikasi terumbu pada perairan dangkal (0-10 m)
berkisar 4-15 kg CaCO3/m2/tahun.
2.2. 5 Musuh Karang
Dari fase larva sampai pertumbuhan penuh menjadi koloni, karang tidak
terlepas dari musuh yang memakannya. Musuh karang yang paling terkenal
adalah bulu seribu atau disebut juga mahkota berduri atau crown-of-thorns
starfish (Acanthaster planci) (Gambar 2.6). Binatang ini mampu membinasakan
(A)
(B)
(C)(D)
A – Polip dewasa B – Larva Planula C – Planula stadium akhir dengan septa yang berkembang D – Polip muda setelah pelekatan
(Diolah dari Nybakken, 1992)
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 13
karang dalam kawasan yang luas. Hewan ini hidup merayap pada karang dan
menyerap jaringan pada karang. Pergerakannya akan meninggalkan kerusakan
karang di belakangnya yaitu membuat karang menjadi berwarna putih dan
menggosongkan skeleton karang. Untuk memulihkan pertumbuhan karang pada
daerah yang terserang mahkota berduri dibutuhkan waktu 3-10 tahun.
Sebagai contoh, Warner (1984) mengemukakan bahwa pada tahun 1969
pernah terjadi kasus kerusakan karang oleh hewan ini yang mencapai 95 % dari
karang hidup yang ada sepanjang 38 km garis pantai di Guam mencapai
kedalaman 65 m. Kerusakan karang serupa oleh predator karang ini juga
sering dilaporkan terjadi di daerah Indo
Pasifik khususnya di Laut Merah dan Great
Barrier Reef. Serangan mahkota berduri
pernah juga terjadi di kawasan terumbu
karang Pulau Menjangan Provinsi Bali
pada tahun 1997 yang menimbulkan
kerusakan karang yang cukup parah di
kawasan tersebut Gambar 2.6 Acanthaster planci
Selain mahkota berduri, masih ada beberapa organisme lainnya yang juga
bisa menimbulkan kerusakan pada terumbu karang. Diantaranya adalah
gastropoda kecil Drupella yang mengakibatkan kerusakan karang yang luas di
Pasifik Barat, khususnya Jepang dan Micronesia. Organisme pelubang seperti
kerang kurma (Lithophaga lessepsiana), berbagai cacing termasuk peacock
(Spirobranchus giganteus) dan sponge pelubang juga mempunyai pengaruh jangka
panjang yang besar terhadap beberapa komunitas karang. Ikan kakatua (famili
Scaridae) juga mempunyai andil terhadap kerusakan karang walaupun tidak begitu
signifikan. Ikan famili ini selain bersifat herbivora grazing juga meng-grazing karang
hidup, dimana menurut Choat (1991) famili Scaridae dikenal sebagai salah satu
penyebab bioerosion yaitu terlepasnya material dari terumbu oleh proses-proses
biologi.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 14
2.2. 6 Klasifikasi dan Bentuk Pertumbuhan Karang
Menurut Ditlev (1980) dan Veron (1986), taksonomi karang didasarkan atas
morfologi skeleton (kerangka) karang. Karang pembangun terumbu (reef-building
coral) yang terdapat di wilayah Indo Pasifik diklasifikasikan seperti diagram pada
Gambar 2.7
Gambar 2.7 Diagram klasifikasi karang (sumber: Veron, 1986)
Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili
Oculinidae
Merulinidae
Faviidae
Trachyphylliidae
Meandrinidae Faviina
Mussidae
Pectinidae
Agariciidae
Thannastreidae
Sederastreidae
Fungiidae
Poritidae
Fungiina
Tubiporidae
Helioporidae
Stolonifera Octocarallia
Coeno-thecalia
Milleporidae
Stylasteridae
Milleporina
Stylasterina
Hydrozoa
Caryophylliidae
Dendrophylliidae
Caryophylliina
Dendrophylliina
Scleractinia
Zoantharia
Astrocoeniidae
Pocilloporidae
Acroporidae
Astrocoeniina
Anthozoa
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 15
Struktur individu-individu polip karang merupakan kunci identifikasi karang,
baik pola formasi koloni maupun bentuk pertumbuhan koloni. Bentuk-bentuk
pertumbuhan koloni karang umumnya dibedakan atas karang masif (massive),
karang tonggak (columnar/digitate), karang kerak (encrusting), karang bercabang
(branching), karang daun atau bunga (foliaceous), dan karang piringan/meja
(laminar/tabulate), seperti pada Gambar 2.8 (Veron, 1986).
Sumber: Veron (1986)
Gambar 2.8 Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform)
2.3 Lingkungan Fisik
2.3.1 Distribusi terumbu karang
Terumbu karang tersebar secara ekstensif di wilayah perairan dangkal di
wilayah tropis. Penyebarannya hampir secara eksklusif diantara 30o LU dan 30o
LS, dan terkonsentrasi pada empat bidang besar yaitu Laut Merah dan Samudera
Hindia bagian barat, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat (Indo-
Pasifik), Samudera Pasifik Selatan, dan Laut Karibia dan Samudera Atlantik bagian
barat. Dari empat wilayah sebaran tersebut, wilayah karang Indo-Pasifik
mempunyai keanekaragaman spesies terbesar dan mengandung sistem terumbu
yang paling ekstensif, seperti Great Barrier Reef. Membujur sepanjang 2.400 km
paralel pantai timur Australia, Great Barrier Reef secara aktual mengandung sekitar
2.400 individu terumbu dan kompleksitas terumbu menutupi sekitar 9% dari
230.000 km2 paparan benua Australia. Di dalam Great Barrier Reef terdapat 250
pulau, 700 jenis karang, 1500 jenis ikan dan 4000 jenis moluska.
a. Karang masif (massive)
b. Karang tonggak
(columnar/digitate)
c. Karang kerak (encrusting)
d. Karang bercabang
(branching)
e. Karang bunga/daun
(folioceous)
f. Karang meja/piringan
(tabulate/laminar)
g. Karang lepas (free-living)
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 16
Karena ketergantungannya terhadap sinar matahari dan perairan yang
hangat di daerah tropis, terumbu karang hanya berkembang baik pada perairan
dangkal laut ekuatorial di daerah berlintang rendah. Perkembangan terumbu
karang lebih baik di daerah barat samudera dibandingkan sebelah timur karena air
hangat di daerah tersebut lebih luas penyebaran latitudinalnya.
Terumbu karang teradaptasi dan sebaliknya dapat memodifikasi lingkungan
fisiknya, dan oleh karenanya faktor-faktor lingkungan fisik terumbu mempunyai
perbedaan yang luas menurut daerah (Jones dan Endean, 1973). Gradien suhu
dan salinitas merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan
terumbu karang. Menurut Nybakken (1992), penyebaran terumbu karang meliputi
wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropis. Penyebaran terumbu
karang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20o C. Menurut Salm dan Clark
(1989), terumbu karang merupakan ekosistem laut yang dangkal daerah tropis
dimana perkembangannya yang terbaik pada suhu antara 25o C dan 29o C. Oleh
karena perkembangan karang yang ekstensif jarang dijumpai pada suhu di bawah
20o C. Terumbu karang cenderung dibatasi penyebarannya oleh suatu sabuk
sirkum global antara 30o LU dan 30o LS. Meskipun demikian, karang masih
dijumpai pada 35o LU seperti di Jepang dan pada 32o LS di laut Tasmania.
Kebanyakan jenis karang Indo Pasifik ditemukan mulai dari pantai timur
pulau-pulau Marshall dan Samoa. Kawasan marginal dimana hewan karang
secara perlahan-lahan membaik adalah pantai laut Afrika, pantai timur dan barat
Australia dan setengah Samudera Pasifik bagian timur. Daerah yang paling kaya
akan jenis karang adalah kepulauan Indonesia. Pusat kedua dengan beberapa
jenis khas adalah bagian barat Samudera Hindia (Ditlev, 1980).
Menurut Nybakken (1992), tidak terdapat terumbu karang pada daerah yang
luas di pantai barat Amerika Selatan dan Amerika Tengah dan juga di daerah
pantai selatan Afrika dimana daerah-daerah tersebut termasuk daerah tropis. Hal
ini disebabkan karena terjadinya up welling air dingin, yang menurunkan suhu
perairan dangkal sampai di bawah suhu yang diperlukan untuk perkembangan
terumbu karang. Selain itu, daerah tersebut mempunyai arus dingin yang mngalir
ke utara membuat suhu tetap rendah yaitu arus Humboldt di pantai Amerika
Selatan dan arus Benguala di lepas pantai Afrika Barat.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 17
2.3.2 Cahaya dan kedalaman
Semua karang hermatypic membutuhkan cahaya yang cukup untuk
fotosintesis alga zooxanthellae yang ada dalam jaringannya. Cahaya ini berubah-
ubah secara cepat, baik dalam intensitas maupun komposisinya menurut
kedalaman. Kecerahan perairan terumbu dapat melebihi 50 meter pada daerah
terumbu samudera terbuka dan bisa kurang dari satu meter misalnya setelah terjadi
badai di sekitar terumbu tepi. Kisaran kecerahan air ini sangat menentukan
kedalaman pertumbuhan karang, dan spesies yang berbeda mempunyai toleransi
yang berbeda terhadap tingkat cahaya baik maksimum ataupun minimum. Hal ini
juga sangat menentukan variasi komunitas terumbu.
Nontji (1987) mengemukakan bahwa cahaya diperlukan untuk fotosintesis
alga simbiosis yaitu zooxanthellae yang produksinya kemudian disumbangkan
kepada hewan yang menjadi inangnya. Kedalaman air maksimum untuk hewan
karang pembentuk terumbu adalah 40 meter. Lebih dari kedalaman itu cahaya
sudah terlalu lemah. Hutabarat dan Evans (1985) mengemukakan bahwa
kedalaman untuk kehidupan karang biasanya kurang dari 25 meter. Ditlev (1980)
menyatakan bahwa karang menurun pertumbuhannya dengan bertambahnya
kedalaman perairan. Jika air keruh, karang hanya dapat tumbuh pada kedalaman
2 meter. Sedangkan pada perairan yang jernih di sekitar pulau-pulau samudera,
karang dapat tumbuh sampai pada kedalaman lebih dari 80 meter. Menurut
Nybakken (1992), terumbu karang tidak dapat berkembang pada perairan yang
lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman 25
m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran
benoa-benoa atau pulau-pulau. Selanjutnya dikemukakan bahwa tanpa cahaya
yang cukup, laju fotosintesis zooxanthellae berkurang dan bersamaan dengan itu
kemampuan karang untuk mendopositkan kalsium karbonat dan membentuk
terumbu akan berkurang pula.
2.3.3 Arus dan aksi gelombang
Faktor penentu kedua penyebaran dan pertumbuhan karang adalah aksi
gelombang. Aksi gelombang bisa terjadi secara ekstrim terhadap permukaan depan
terumbu dan belakang dataran terumbu. Pada keadaan hari tenang, keadaan
depan terumbu suasananya juga tenang. Sebaliknya, pada saat badai bagian ini
sangat berkecamuk dan menjadi lokasi hantaman aksi gelombang. Hanya
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 18
beberapa spesies karang yang dapat bertahan hidup pada kondisi ini (Veron,
1986).
Arus diperlukan karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton,
membersihkan diri dari endapan-endapan, dan untuk mensuplai oksigen dari laut
lepas. Oleh karena itu, pertumbuhan karang di tempat yang selalu teraduk arus
dan ombak, lebih baik dari pada di perairan yang tenang dan terlindung. Jika air
tenang banyak mengandung lumpur atau pasir maka hewan karang akan
mengalami kesulitan untuk membersihkan diri, hanya ada beberapa jenis saja
yang mampu membersihkan diri sendiri dari endapan-endapan lumpur atau pasir
yang menutupinya (Nontji, 1987).
Pada umumnya terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah
yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka yang masif
dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang besar (Nybakken, 1992).
2.3.4 Sedimen dan substrat dasar
Di dalam dan di sekitar terumbu karang terdapat bermacam-macam tipe
sedimen, seperti koarsa pecahan karang, berbagai tipe pasir dan juga lumpur
halus. Tipe sedimen tersebut pada suatu tempat tergantung pada tingkat eksposur
terhadap arus dan aksi gelombang dan juga tergantung pada asal dari sedimen
tersebut. Di belakang terumbu yang mengarah ke garis pantai biasanya terdapat
sedimen calcareous yang dihasilkan oleh alga koralin, foraminifera, kulit kerang dan
karang. Sedimen-sedimen ini dengan mudah terbawa arus tetapi mempunyai
pengaruh yang relatif kecil terhadap kejernihan air. Dekat dengan garis pantai,
sedimen berasal dari daratan terutama melalui limpasan sungai. Sedimen ini
biasanya mempunyai kandungan bahan organik tinggi, dan oleh aksi gelombang
akan terombang ambing dan tersuspensi dalam air untuk jangka waktu yang relatif
lama, yang membuat perairan keruh dan menurunkan penetrasi cahaya. Jika
mengalami pengendapan dari suspensinya yang bisa menyebar dalam jarak yang
jauh, sedimen ini dapat membunuh organisme karang.
Substrat keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan larva
planula karang yang akan membentuk koloni baru. Cangkang moluska, potongan-
potongan kayu bahkan juga besi yang terbenam dapat menjadi substrat
penempelan larva planula (Nontji, 1987).
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 19
2.3.5 Salinitas
Salinitas yang tinggi jarang menjadi faktor yang mempengaruhi penyebaran
dan pertumbuhan komunitas karang. Sebaliknya salinitas rendah pada umumnya
sangat mempengaruhi penyebaran maupun zonasi terumbu karang. Terumbu
karang tidak dapat berkembang pada kawasan dimana secara periodik
mendapatkan masukan air sungai, dan ini merupakan faktor utama yang
mempengaruhi distribusi karang sepanjang garis pantai. Pengaruh utama
salinitas terhadap zonasi karang adalah disebabkan oleh curah hujan. Karang
dengan formasi reef-flat pada umumnya toleran terhadap salinitas rendah dalam
periode singkat, akan tetapi jika curah hujan sangat tinggi disertai dengan surut
yang sangat rendah, komunitas reef-flat bisa mengalami kerusakan (Veron, 1986).
Nontji (1987) mengemukakan bahwa hewan karang mempunyai toleransi
terhadap salinitas sekitar 24-40 promil. Adanya aliran air tawar akan menyebabkan
kematian. Menurut Well (1984), salinitas optimal bagi pertumbuhan karang adalah
36 promil. Sedangkan menurut Nybakken (1992), karang hermatypic adalah
organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas air laut di bawah
kisaran yang normal (32-35 promil). Sebaliknya terumbu karang dapat tumbuh di
wilayah yang salinitasnya tinggi seperti di Teluk Persia, dimana terumbu karang
berkembang pada salinitas 42 promil.
2.3.6 Suhu
Faktor langsung lainnya yang juga sangat mempengaruhi terumbu karang
yaitu suhu. Suhu membatasi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu
secara menyeluruh. Bathimetri suatu kawasan juga berperan dalam mempengaruhi
bentuk suatu terumbu, tingkatan dan kedalaman pada kemiringan sisi luarnya.
Faktor-faktor tersebut, sebaliknya juga sangat mempengaruhi ketersediaan
cahaya, turbulensi, arus dan sebagainya (Veron, 1986).
Nontji (1987) mengemukakan bahwa suhu optimal yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan karang adalah sekitar 25-30o C. Suhu mempunyai peran penting
dalam membatasi sebaran terumbu karang. Oleh karena itu, terumbu karang tidak
ditemukan di daerah beriklim sedang (temperate) apalagi di daerah dingin.
Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang 25-29oC. Barnes dan Hughes (1990) mengemukakan bahwa
karang hermatypic dapat berkembang di daerah dengan suhu rata-rata diatas 20o
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 20
C sepanjang tahun. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ditlev (1980). Sementara
itu, menurut Nybakken (1992), karang hermatypic dapat bertahan hidup beberapa
waktu pada suhu sedikit di bawah 20o C, akan tetapi terumbu karang tidak ada
yang berkembang pada suhu minimum tahunan rata-rata 18o C. Perkembangan
paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunan antara 23-25o C.
Dengan suhu toleransi kira-kira antara 36-40oC.
2.4. Nilai EkosistemTerumbu Karang
Manfaat yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang sangat besar
dan beragam. Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (2000), jenis manfaat yang
terkandung dalam ekosistem terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu
manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat ekosistem terumbu karang yang
langsung adalah habitat bagi sumberdaya ikan, batu karang, pariwisata, wahana
penelitian dan pemanfaatan biota lainnya. Sedangkan termasuk dalam
pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai
penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati & cadangan plasma nutfah dan lain
sebagainya.
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem dengan potensi
sumberdaya alam yang dikelola manusia sejak lama sehingga telah menciptakan
suatu tradisi/budaya di masyarakat. Secara historis, ekosistem terumbu karang
merupakan “dapur” para nelayan di wilayah pesisir dan laut yang menjadikannya
gantungan mata pencaharian. Kontribusi ekosistem terumbu karang terhadap
perikanan ada tiga tipe yaitu : (i) penangkapan ikan langsung pada daerah
terumbu karang; (ii) penangkapan ikan di laut dangkal sekitar terumbu karang yang
menopang jaringan makanan, siklus hidup dan produktivitas; dan (iii) penangkapan
ikan di lepas pantai dimana produktivitas terumbu karang yang tinggi memberi
kontribusi untuk menopang melimpahnya ikan-ikan.
Menurut Clark (1995), potensi lestari seluruh ikan-ikan konsumsi, krustase
dan moluska di dalam ekosistem terumbu karang rata-rata 15 metrik ton per
kilometer persegi per tahun, hanya pada perairan dangkal kurang dari 30 m.
Letaknya yang mudah diakses dan tingginya nilai ekonomi sumberdaya
perikanan yang dikandungnya, telah menjadikan ekosistem terumbu karang
sebagai daerah perikanan dengan tingkat pemanfaatan yang intensif.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 21
Kecenderungannya adalah terjadinya overfishing terhadap sumberdaya
perikanan terumbu karang.
Menurut Pasaribu (1996) dalam Puslitbang Perikanan (1996), hampir di
seluruh Indonesia telah terjadi overfishing terhadap sumberdaya perikanan
terumbu karang khususnya untuk komoditi ikan karang. Tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan terumbu karang di wilayah Bali dan NTT pada tahun 1996 telah
mencapai 133% dari potensi lestarinya yang berjumlah 30.954 ton/th. Begitu juga
halnya dengan sumberdaya lobster sudah menunjukkan gejala overfishing.
Sementara itu, pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dalam menunjang
industri farmasi mulai berkembang, khususnya industri kosmetik dan obat-obatan
antibiosis.
Garces (1992) mengemukakan bahwa terumbu karang sebagai salah satu
ekosistem pantai mempunyai nilai guna yang sangat signifikan baik ditinjau dari
aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan
laut dunia sekitar 10-15% dari total tangkapan. Terumbu karang tepi juga
memainkan peranan penting dalam memelihara stabilitas garis pantai. Disamping
itu, penampakan estetika, kekayaan biologi, air yang jernih dan aksesibilitas yang
relatif tinggi membuat terumbu karang menjadi daerah yang terkenal sebagai
kawasan pariwisata.
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu kawasan fungsi lindung di
daerah pantai disamping sempadan pantai, ekosistem mangrove, ekosistem
padang lamun dan kawasan konservasi spesies yang dilindungi lainnya yang
mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1990. Sebagai kawasan fungsi lindung,
ekosistem terumbu karang mengemban tugas penting sebagai perlindungan
terhadap proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, sebagai
pengawetan keanekaragaman plasma nutfah dan berfungsi dalam memajukan
usaha-usaha penelitian, pendidikan dan pariwisata.
Ekosistem terumbu karang bersama-sama dengan ekosistem mangrove
dan ekosistem padang lamun merupakan komponen lingkungan pantai yang
mempunyai keterkaitan fungsi-fungsi ekologis dan fungsi fisik sebagai habitat.
Migrasi fauna pada berbagai fase hidupnya berlangsung dari satu ekosistem ke
ekosistem lainnya untuk pencarian makanan dan tempat perlindungan. Ekosistem
terumbu karang juga berperan dalam proses-proses transpor nutrien, baik organik
dan anorganik di antara dua ekosistem pantai tersebut (Clark, 1992). Fungsi
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 22
fisik ekosistem terumbu karang lainnya, menurut Baker dan Kaeoniam (1986)
adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas air pantai, sebagai “shock
absorber”, perlindungan alamiah terhadap daratan pantai dan pulau-pulau,
meminimumkan erosi dan gangguan-gangguan di belakang terumbu, serta sebagai
penghasil pasir putih bagi pantai dan pulau-pulau.
Baker dan Kaeoniam (1986) dan Kenchington dan Hudson (1988),
menggolongkan dua bentuk utama pemanfaatan ekosistem terumbu karang, yaitu
pemanfaatan secara ekstraktif dan non ekstraktif. Pemanfaatan ekstraktif meliputi
pemanenan jenis-jenis konsumsi (seperti ikan, kepiting, lobster, keong, kerang,
gurita, bulu babi, dan penyu); pemanenan produk-produk ornamental (seperti
mutiara, ikan hias, karang, ekinodermata, moluska, dan penyu); dan pemanfaatan
produk-produk industri (seperti batu karang, sponge, dan kima). Rumput laut yang
tumbuh liar di dalam atau di belakang terumbukarang merupakan alga makro yang
beberapa diantaranya mempunyai nilai penting sebagai penghasil karaginan dan
ekstraksi agar-agar. Pemanfaatan non ekstraktif meliputi : rekreasi, ilmu
pengetahuan dan pendidikan, pariwisata, dan proteksi pantai.
Pariwisata sebagai salah satu industri kelautan yang banyak memanfaatkan
jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Hal ini perlu didorong perkembangannya
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pemanfaatan
ekosistem pesisir seperti terumbu karang untuk ekoturisme merupakan terobosan
yang sangat rasional diterapkan di kawasan pesisir, karena menghasilkan manfaat
ekonomis langsung dari ekosistem tersebut tanpa langsung
mengeksploitasi/memanen, sehingga terjamin keberlanjutan pemanfaatannya.
Sebagai contoh, Bonaire Marine Park (BMP), sebuah pulau dengan luas 288 km2 di
Laut Karibia tiap tahunnya dikunjungi oleh 4.000 – 6.000 penyelam/ lokasi. Total
penerimaan dari pariwisata yang meliputi : diver fees, dive operation, restourants,
souvenir, car rentals, local air transport dan hotel berjumlah US$ 23,20 juta/tahun
(Cesar, 2000).
Moberg and Folk (1999) dalam Cesar (2000) mengemukakan bahwa
ekosistem terumbu karang mengandung berbagai sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan (Tabel 1). Sumberdaya alam yang tersedia di dalam ekosistem terumbu
karang dapat dibedakan atas sumberdaya alam pulih dan sumberdaya alam tidak
pulih. Sumberdaya alam pulih terdiri atas bahan pangan, bahan baku industri,
produk-produk ornamental, dan ikan hias. Sedangkan sumberdaya alam tidak pulih
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 23
yang terkandung di dalamnya berupa jenis bahan tambang. Jasa-jasa lingkungan
yang diberikan oleh ekosistem terumbu karang meliputi:
a. Jasa fisik, seperti sebagai perlindungan garis pantai, membantu perluasan
daratan, mendorong tumbuhnya mangrove dan padang lamun serta sebagai
penghasil pasir putih yang selanjutnya akan mengisi sedimen pantai.
b. Jasa biotik di dalam ekosistem, seperti penyedia habitat bagi berbagai
macam biota perairan, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan plasma
nutfah, memelihara dan mengatur proses-proses ekologis yang esensial,
serta memelihara kelentingan ekologi.
c. Jasa biotik antar ekosistem, seperti mendukung migrasi hewan-hewan air
dari suatu habitat ke habitat lainnya, serta pertukaran nutrien dan
memperkaya jaringan makanan di laut.
d. Jasa kimia, seperti fiksasi nitrogen, Pengendali kapasitas CO2/Ca dan
asimilasi limbah.
e. Jasa informasi, seperti monitoring dan pencatat atau indikator pencemaran,
serta memberi informasi mengenai perubahan iklim.
f. Jasa sosial dan budaya, seperti menunjang rekreasi, nilai estetika dan
sumber inspirasi artistik, menjaga kelangsungan mata pencaharian
penduduk, dan menunjang budaya, agama dan nilai spiritual.
Jika seluruh fungsi, manfaat dan jasa ekosistem tersebut digabung maka
akan dapat mencerminkan Total Nilai Ekonomi. Ekosistem terumbu karang yang
menyediakan sumberdaya perikanan yang dapat dipanen dan dijual dapat dihitung
nilainya, demikian juga preservasi alam dan pariwisata alam juga menghasilkan
nilai. Fungsi fisik terumbu karang sebagai pelindung pantai/daratan juga dapat
dihitung nilai ekonominya. Namun demikian, tidak semua fungsi ekosistem terumbu
karang dapat dihitung nilai moneternya. Konsep penilaian ekonomi tersebut
didasarkan pada kesanggupan membayar (willingness to pay) untuk memperoleh
manfaat barang dan jasa atau untuk menghindari kerusakannya.
Dalam penghitungan Total Nilai Ekonomi ekosistem terumbu karang,
terdapat 6 kategori nilai yaitu:
a. Nilai penggunaan langsung (direct use value), yang diperoleh baik dari
pemanfaatan ekstraktif (perikanan, industri farmasi, dll.) maupun
pemanfaatan non-ekstrkatif. Nilai kegunaan langsung, yaitu nilai yang
diberikan oleh ekosistem melalui pemanenan secara langsung
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 24
(pemanfaatan ekstraktif) dan dipergunakan oleh orang-orang. Nilai ekonomi
langsung dapat dibagi lagi menjadi nilai kegunaan konsumtif (untuk
produk-produk yang dikonsumsi secara lokal dan tidak terlihat di dalam
pasar, sehingga tidak masuk dalam penghitungan GDP) dan nilai kegunaan
produktif (dijual di pasar).
b. Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan tidak
langsung yaitu jasa-jasa lingkungan ekosistem yang memberi keuntungan
tanpa memanen atau merusak selama penggunaannya (pemanfaatan non-
ekstraktif). Karena bukan dalam bentuk barang dan jasa dalam pengertian
ekonomi, keuntungan ini tidak tertulis dalam statistik ekonomi nasional,
seperti GDP contohnya adalah dukungan biologis dalam bentuk nutrien,
habitat ikan, dan perlindungan garis pantai. Menentukan nilai moneter jasa
ekosistem mungkin agak sulit, terutama pada tingkat global.
c. Nilai pilihan (option value), dapat dilihat dari nilai sekarang terhadap potensi
pemanfaatan masa depan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Banyak sekali spesies-spesies karang dan biota lain yang berasosiasi di
dalamnya belum teridentifikasi manfaatnya karena kurangnya riset yang
dilakukan, atau fungsinya baru kecil saja yang telah diketahui. Mungkin
saja spesies-spesies tersebut mempunyai potensi yang besar untuk
digunakan di masa depan dengan semakin berkembangnya IPTEK.
d. Jika salah satu spesies tersebut punah sebelum diidentifikasi, hal ini
merupakan kehilangan besar bagi ekonomi global. Nilai pilihan (quasi-
option), terkait dengan nilai pilihan di masa depan yang dapat diraih dengan
adanya upaya pencegahan terhadap kehilangan yang tidak dapat pulih.
e. Nilai warisan (bequest value), terkait dengan pelestarian warisan alam bagi
generasi masa depan.
f. Nilai eksistensi (existence value). Nilai eksistensi ekosistem terumbu karang
didasarkan kepada jumlah uang yang akan dikeluarkan untuk
melindunginya. Di seluruh dunia orang-orang peduli terhadap kehidupan
liar dan sangat prihatin terhadap perlindungannya. Keprihatinan ini bisa
diasosiasikan dengan keinginan untuk mengunjungi habitat suatu spesies
yang unik dan melihatnya di alam bebas, atau ia hanya merupakan
identifikasi abstrak. Kekhawatiran masyarakat akan rusaknya ekosistem
terumbu karang dan diikuti oleh punahnya biota terumbu karang telah
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 25
mendorong emosi untuk melakukan upaya konservasi atau menyumbang
ke organisasi konservasi yang bekerja untuk melindungi keanakeragaman
hayati terumbu karang dan ekosistemnya. Jumlah uang yang dibelanjakan
untuk pelestarian ekosistem terumbu karang dan jumlah yang bersedia
dibayarkan oleh orang-orang untuk menghindari kepunahan spesies dan
kehancuran habitatnya menunjukkan nilai eksistensi ekosistem tersebut.
Dengan kata lain, jika diumpamakan keanekaragaman hayati adalah suatu
buku pegangan bagaimana menjalankan bumi secara efektif, hilangnya satu
spesies adalah seperti merobek satu halaman dari buku itu. Jika kita
membutuhkan informasi dari halaman tersebut untuk menyelamatkan dunia,
maka kita akan sadar bahwa informasi itu sudah hilang selamanya.
2.5 Ancaman terhadap Terumbu Karang
2.5.1 Ancaman oleh Faktor Alam
Ada dua sumber ancaman terhadap terumbu karang di dunia yaitu ancaman
oleh faktor alam (natural threats) dan aktivitas manusia (anthropogenic threats).
Faktor-faktor alam yang menjadi ancaman terhadap terumbu karang antara lain
badai gelombang, pemanasan global dan predator karang dan erosi tanah.
Sedangkan ancaman oleh aktivitas manusia berupa ancaman langsung dan tidak
langsung serta sumbernya dapat berasal dari aktivitas di daratan dan aktivitas di
pesisir dan lautan.
Menurut Jameson et al. (1995) dalam Westmacott, Teliki, Wells dan West
(2000), perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10 % dari terumbu karang dunia
telah mengalami degradasi yang tak terpulihkan dan 30 % lainnya dipastikan akan
mengalami penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Analisis
ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia
(pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebih, praktek perikanan yang
merusak, pencemaran darat dan erosi dan pencemaran laut) di tahun 1998
memperkirakan bahwa 27 % dari terumbu karang di tingkat beresiko tinggi dan 31
% lainnya berada di tingkat resiko sedang (Bryant et al., 1998). Ancaman-ancaman
ini sebagian besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumberdaya pesisir
yang berkembang pesat, ditunjang oleh kurangnya pengelolaan yang tepat.
Badai yang mengancam terumbu karang di Bali biasanya berlangsung pada
musim barat dimana angin kencang membangkinkan gelombang yang besar dan di
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 26
daerah terumbu karang pecah menjadi ombak dengan hantaman yang keras.
Hantaman gelombang dan ombak yang besar selama badai akan menimbulkan
kerusakan mekanik pada terumbu berupa pecahnya karang tipe rapuh seperti
karang bercabang dan karang tabulate (karang meja).
Pemanasan global dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang
mendorong peningkatan suhu air laut (lebih besar dari 33 oC) dapat membunuh
alga simbion karang (zooxanthellae) yang mengakibatkan karang memutih
(bleaching) dan akhirnya karang mengalami kematian. Perisitiwa El Nino yang
terjadi pada tahun 1997/1998 juga berdampak terdapat beberapa sebaran terumbu
karang di Bali. Terumbu karang yang umumnya terkena pengaruh peningkatan
suhu dan mengalami bleaching adalah jenis karang Acropora (baik Acropora
branching maupun Acropora tabulate) serta jenis-jenis karang lunak (soft coral).
Terumbu karang di Bali yang terkena pengaruh El Nino yang terjadi tahun
1997/1998 antara lain terumbu karang yang terdapat di Bali utara dengan perairan
yang relatif tenang dan formasi terumbu dangkal seperti di Pulau Menjangan,
Pemuteran, Celukan Bawang, dan Teluk Jumeluk. Sedangkan terumbu karang di
Bali selatan dengan pola oseanografi yang relatif dinamis seperti di Nusa Penida
dan Nusa Dua tidak terkena pengaruh tersebut.
Crown-of Thorns atau sering disebut sebagai mahkota berduri (Acanthaster
planci) adalah jenis bintang laut (ekinodermata) yang menjadi predator utama
karang di alam. Secara normal, binatang ini merupakan salah satu binatang
penghuni terumbu karang. Habitat yang disenangi oleh bintang laut ini adalah jenis-
jenis karang bercabang. Sepanjang pergerakan binatang ini akan meninggalkan
kematian karang di belakangnya karena dia menyerap atau memakan polip karang
selama pergerakannya. Populasinya di alam diatur oleh kesimbangan ekologis
dalam sistem jaringan makanan. Mahkota berduri sendiri mempunyai sejumlah
predator baik terhadap telur dan larvanya juga terhadap juvenil dan fase
dewasanya. Kerang terompet merupakan salah satu predator mahkota berduri.
Aklan tetapi jenis karang ini sudah sangat sedikit dijumpai di alam karena banyak
diburu dan diperdagangkan sebagai souvenir.
Jika populasinya mengalami peledakan, binatang ini dapat memusnahkan
terumbu karang dalam hamparan yang luas dalam waktu singkat. Peledakan
mahkota berduri di alam masih merupakan fenomena dengan beragam hipotesis.
Peristiwa peledakan mahkota berduri pernah terjadi di Bali yaitu di Pulau
Foto Mike Severns
Foto Sudiarta
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 27
Menjangan pada tahun 1997. Peledakan mahkota berduri di daerah ini telah
mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang cukup parah.
Erosi tanah akibat minimnya vegetasi penutup pada daerah lahan kritis
memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap kerusakan karang. Erosi tanah
yang masuk ke perairan pantai baik melalui aliran sungai maupun limpasan
permukaan menimbulkan sedimentasi di sekitar daerah terumbu karang dan dapat
menghambat proses fotosintesis dan menutupi polip karang secara langsung.
Terumbu karang di Bali yang rawan terhadap sedimentasi adalah sebaran terumbu
karang di pantai utara khususnya di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula mengingat
di wilayah ini terdapat lahan kritis dan sangat berdekatan dengan daerah pesisir.
2.5.2 Ancaman oleh Aktivitas Manusia
Aktivitas manusia yang mengancam terumbu karang dapat berasal dari dua
sumber yaitu aktivitas manusia di daratan (land-base activities) dan aktivitas di
lautan (marine-base activities).
a. Aktivitas di Daratan
Buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) serta sistem pengelolaan
lahan pertanian dengan teknik konservasi lahan yang sangat minim merupakan
salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya tingkat erosi tanah dan ikut
menyumbang peningkatan sedimentasi di wilayah perairan pantai.
Kegiatan pembangunan di sepanjang wilayah pesisir seperti reklamasi
lahan dan penambangan pasir merupakan salah bentuk ancaman terhadap
terumbu karang. Reklamasi lahan dengan sistem pengerukan dan penimbunan
dapat meningkatkan kekeruhan yang levelnya jauh di atas ambang atas yang dapat
ditolerir oleh terumbu karang.
Sampah dan air limbah yang berasal dari kegiatan manusia di daratan
merupakan salah satu ancaman terhadap terumbu karang khususnya terumbu
karang yang penyebarannya relatif berdekatan dengan daerah pemukiman padat
dan industri. Buruknya sistem pengelolaan sampah dan air limbah di Bali dapat
menjadi ancaman yang sangat serius terhadap terumbu karang Bali. Sampah
plastik yang masuk ke laut dapat mematikan karang karena menutupi karang
secara langsung.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 28
b. Aktivitas di Lautan
Aktivitas manusia di lautan yang mengancam kelestarian terumbu karang
terbagi atas dua komponen utama yaitu kegiatan pemanfaatan sumberdaya
ekosistem terumbu karang dengan cara-cara yang tidak benar dan kegiatan lain di
luar pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.
1) Destructive Fishing dan Collecting
Sumberdaya ekosistem terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya
alam yang dikelola manusia dan bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhannya.
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di bidang perikanan
di Bali umumnya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional dan seringkali bersifat
subsisten. Yang menjadi masalah adalah pemanfaatan sumberdaya tersebut
dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada sistem
sumberdaya alamnya, seperti
penangkapan ikan tidak ramah
lingkungan (PITRaL). Pemanfaatan
sumberdaya terumbu karang yang
sangat mengancam kelestarian
sumberdaya hayati ekosistemnya ,
Gambar 2.9 Destruktif Fishing dengan bahan peledak
Penangkapan ikan dengan bahan beracun (potasium sianida),
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan spearfishing. Tingkat
ancaman terumbu karang tergantung pada besarnya ketergantungan masyarakat
terhadap sumberdaya tersebut dan intensitas pemanfaatannya.
Penangkapan ikan dengan bahan beracun biasanya ditujukan untuk
menangkap ikan hias dan ikan konsumsi dalam keadaan hidup. Oleh karena itu,
maraknya perdagangan ikan hias dan perdagangan ikan hidup merupakan
ancaman tersendiri bagi kelestarian terumbu karang mengingat alternatif cara
pemanfaatan yang bebas sianida masih belum berkembang. Penggunaan potasium
sianida tidak saja memusnahkan larva dan anak-anak ikan juga ikut mematikan
hewan (polip) karang.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak walaupun intensitasnya sudah
semakin berkurang di Bali tetapi praktek-praktek perikanan ilegal tersebut masih
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 29
tetap berlangsung di beberapa lokasi. Penangkapan ikan dengan bahan peledak ini
menimbulkan bencana ekologis yang sangat parah karena dapat memusnahkan
kehidupan yang ada di sekitar lokasi kejadian. Terumbu karang Bali yang relatif
jauh dari pengawasan masyarakat dan aparat merupakan sasaran utama kegiatan
destruktif tersebut. Lokasi-lokasi terumbu karang di Bali yang rawan terhadap
kegiatan pengeboman antara lain terumbu karang di Kabupaten Karangasem,
pantai barat kabupaten Buleleng, pantai barat Jembrana dan Nusa Penida.
Spearfishing atau menangkap ikan dengan panah merupakan cara yang
umum dilakukan para nelayan untuk menangkap ikan-ikan konsumsi berukuran
relatif besar serta menangkap loster di daerah terumbu karang. Penangkapan ikan
dengan panah ini memang bersifat selektif tetapi caranya sangat merusak karena si
pelaku dapat mematahkan karang baik karena terinjak kaki maupun gerakan anak
panah dan ikan yang sekarat terkena panah tersebut.
Selain praktek-praktek perikanan ilegal, kegiatan collecting yaitu
pengambilan biota tertentu yang hidup di terumbu karang yang biasanya
dimanfaatkan sebagai produk ornamental dan souvenir juga dapat menjadi
ancaman bagi kelestarian ekosistem. Maraknya “industri” akuarium air laut tropis di
dunia juga sangat mengancam kelestarian terumbu karang karena akan
mendorong peningkatan pengambilan karang hidup dan spesimen lainnya untuk
diperdagangkan, baik secara lokal maupun untuk ekspor. Pengambilan karang
hidup dan spesimen lainnya tidak saja secara langsung akan mengurangi tutupan
karang tetapi diyakini bahwa cara-cara pengambilannya pun dapat menimbulkan
kerusakan karang yang bukan menjadi target pengambilan tersebut.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 30
2) Pengambilan Batu Karang
Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan merupakan salah satu
ancaman terhadap terumbu karang. Pengambilan batu karang walaupun sudah
dalam keadaan karang mati akan secara langsung mengurangi substrat keras
sebagai tempat penempelan larva karang.
Gambar 2.10 Kegiatan penambangan batu karang sangat merusak
3) Wisata Bahari dan Ancaman terhadap Terumbu Karang
Pemanfaatan jasa-jasa lingkungan ekosistem terumbu karang untuk
menunjang pariwisata khususnya wisata bahari sesungguhnya merupakan
terobosan yang baik dalam rangka memperoleh nilai guna yang lebih besar tanpa
melakukan pemanenan secara langsung terhadap sumberdaya alamnya. Akan
tetapi, perkembangan pemanfaatan ekosistem terumbu karang seiring dengan
semakin majunya perkembangan pariwisata di Bali masih mendapatkan berbagai
sorotan, yaitu masih rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat lokal dan adanya
praktek-praktek pemanfaatan yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan.
Kegiatan pariwisata bahari yang dapat menjadi ancaman bagi kelestarian
terumbu karang di Bali antara lain:
a. Pembangunan fasilitas konstruksi, seperti pembangunan dan penempatan
pontoon. Pembangunan pontoon di atas hamparan terumbu karang secara
langsung dan permanen dapat merusak karang. Pemasangan jangkar
pontoon paling tidak membutuhkan area seluas empat kali luasan pontoon.
Sehingga rantai pontoon akan membentang di dasar perairan sekeliling
ponton dan akan mengalami pergerakan akibat pergerakan air (arus dan
Foto Sudiarta
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 31
pasang surut). Kondisi ini dapat menimbulkan sentuhan dan memecahkan
karang yang ada di sekitarnya. Selain berdampak langsung, konstruksi
pontoon dapat merubah pola pergerakan air secara lokal dan membayangi
terumbu karang sehingga dapat mengganggu proses fotosintensis sehingga
secara ekologis juga berdampak terhadap terumbu karang di sekitarnya.
b. Penjangkaran boat-boat pemandu wisata selam dan snorkeling. Saat ini
lokasi-lokasi rekreasi dan wisata air (snorkeling dan diving) di Bali sebagian
besar telah dilengkapi oleh fasilitas mooring bouys sebagai tempat
penambatan boat. Namun demikian, dibeberapa lokasi lego jangkar masih
umum digunakan oleh operator boat pada saat menunggu kliennya
melakukan rekreasi dan penyelaman. Jangkar yang tersangkut di karang
dapat memecahkan koloni karang pada saat mengangkatnya. Mengingat
intensitas dan jumlah operator boat yang melakukan penjangkaran cukup
tinggi maka, aktivitas ini merupakan ancaman yang cukup serius bagi
terumbu karang.
c. Kerusakan oleh penyelam. Para konsumen wisata selam tidak saja
merupakan para penyelam yang sudah berpengalaman (advance), tetapi
juga dilakukan oleh para penyelam pemula yang umumnya mempunyai
pengetahuan yang minim tentang kode etik penyelaman yang ramah
lingkungan. Dalam kegiatan penyelamannya, baik sengaja maupun tidak
sengaja dapat saja menginjak karang sehingga mematahkan koloni karang
yang rapuh. Belajar menyelam secara langsung di daerah terumbu karang
juga berpotensi merusak karang.
d. Memberi makan ikan. Praktek-praktek memberi makan ikan secara rutin di
lokasi-lokasi rekreasi ditinjau dari aspek ekologis merupakan cara yang
tidak dibenarkan. Antara terumbu karang dan keberadaan ikan-ikannya
merupakan satu sistem ekologis yang saling menguntungkan. Ikan-ikan
terutama ikan herbivora secara kontinyu membantu membersihkan polip
karang dari penempelan alga. Jika ikan-ikan secara rutin diberi makan
maka dapat merubah perilaku makannya (feeding habits), sehingga
kemampuan ikan dalam membersihkan alga pada polip karang akan
berkurang. Masifnya penempelan alga pada substrat keras juga mengurangi
kemampuan penempelan larva karang untuk membentuk koloni baru.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 32
Sementara itu, menurut Bengen (2001) mengemukakan dampak berbagai
kegiatan manusia pada terumbu karang seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang
Kegiatan Dampak Potensial
Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak.
Pembuangan limbah panas
Penggundulan hutan di lahan atas
Pengerukan di sekitar terumbu karang.
Kepariwisataan.
Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya kalium sianida).
Penangkapan ikan dengan bahan peledak.
Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu.
Meningkatkan suhu air 5-10oC di atas suhu ambien, dapat mematikan karang dan biota lainnya.
Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip.
Meningkatkan kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang.
Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dan pembangkit listrik perhotelan.
Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
Kerusakan fisik karang oleh jangkar kapal/ boat.
Rusaknya karang oleh penyelam.
Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.
Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata.
Mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang (anemon).
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 33
BAB III STATUS TERUMBU KARANG BALI
Wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil Provinsi Bali merupakan salah satu
sebaran ekosistem terumbu karang di kawasan ekoregion Lesser Sunda dengan
luas yang telah terinventasasi yaitu mencapai 6.948 ha. Secara spasial sebarannya
meliputi tujuh wilayah kabupaten/kota yaitu Kabupaten Jembrana, Badung,
Gianyar, Kota Denpasar, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng. Beberapa
sebaran terumbu karang mempunyai keterkaitan habitat dengan ekosistem
mangrove dan padang lamun yang memperkaya produktivitas hayati wilayah
pesisir, seperti di kawasan Teluk Gilimanuk dan perairan sepenanjung Prapat
Agung Kabupaten Buleleng, kawasan Sanur, Serangan dan Nusa Dua, dan
kawasan Nusa Lembongan‐Nusa Ceningan.
Ekosistem terumbu karang di Bali memiliki kekayaan jenis yang relatif tinggi
yaitu tercatat 406 jenis karang Scleractinia hermatifik yang telah teridentifikasi,
sebaran geografisnya meliputi 367 jenis karang terdapat di perairan Pulau Bali dan
296 jenis di Nusa Penida. Terdapat 13 jenis karang hasil survei yang masih perlu
ditelaah jenisnya dan satu jenis yaitu Euphyllia spec merupakan penemuan jenis
baru dan Isopora sp masih perlu dijelaskan lebih lanjut, sehingga secara total
terdapat 420 jenis karang Scleractinia hermatifik di perairan pesisir dan pulau‐pulau
kecil Provinsi Bali yang termasuk kedalam 16 famili dan 70 genus. Kekayaan jenis
karang di Bali ini secara keseluruhan mirip dengan yang terdapat di Taman
Nasional Bunaken dan Wakatobi, lebih tinggi dari Komodo dan Kepulauan Banda,
tetapi lebih rendah daripada Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, Fak‐Fak Kaimana
dan Halmahera. Secara lokal, 10 lokasi dengan kekayaan jenis tertinggi yaitu
berturut‐turut: Jumeluk (181 jenis), Menjangan Anker Wreck (168 jenis),
Penuktukan (164 jenis), Kepah‐Jumeluk (158 jenis), Tulamben Drop Off (157 jenis),
Tukad Abu Tulamben (156 jenis), Sumberkima (154 jenis), Geretek dan Menjangan
Pos 2 (masing‐masing 150 jenis), dan Gili Maimpang Barat dan Gili Kuan (masing‐
masing 142 jenis).
Dari 76 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 3‐5 meter,
sebanyak 13 site (17,11%) dalam kondisi sangat baik, kondisi baik 28 site
(36,84%), kondisi sedang 23 site (30,26%) dan kondisi buruk 12 site (15,79%).
Sementara itu, dari 79 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 7‐10
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 34
meter diperoleh status kondisi kategori sangat baik terdapat pada 10 site (12,66%),
kondisi baik 24 site (30,38%), kondisi sedang 33 site (41,77%) dan kondisi buruk 12
site (15,19%).
Dilihat dari luas dan tingkat kerusakannya, terdapat beberapa lokasi
terumbu karang mengalami kerusakan serius yang disebabkan oleh gangguan
mekanik, yaitu Candikusuma, Tanjung Benoa, Serangan, Ped dan Ceningan di
kawasan Nusa Penida, Gili Kuan, Jumeluk dan Anturan.
Ancaman antropogenik terhadap ekosistem terumbu karang di Bali yaitu
aktivitas pembangunan di daratan terutama kawasan pesisir perkotaan yang
mensuplai air limbah dan sampah ke laut, reklamasi wilayah pesisir dan pulau‐
pulau kecil, aktivitas wisata bahari tidak ramah lingkungan seperti pembangunan
struktur pariwisata di laut, memberi makan ikan dan penjangkaran, penangkapan
ikan berlebih, perikanan destruktif, pencemaran minyak dan kecelakaan pelayaran.
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di Bali dapat
dibedakan atas dua kategori yaitu pemanfaatan ekstraktif dan non‐ekstraktif.
Pemanfaatan ekstraktif meliputi perikanan terumbu karang untuk penangkapan ikan
konsumsi, ikan hias dan produk‐produk ornamental lainnya. Pemanfaatan non‐
ekstraktif yaitu wisata bahari, meliputi aktivitas wisata diving, snorkling, hookah,
serta pengamatan terumbu dengan perahu kaca, semi‐submarine dan submarine.
Kawasan konservasi ekosistem terumbu karang yang telah ditetapkan di
Bali yaitu Taman Nasional Bali Barat dengan luas perairan 3.415 ha. Terdapat dua
kawasan konservasi perairan (KKP) yang telah dicadangkan yaitu KKP Nusa
Penida dengan luas 20.057,2 ha dan KKP Buleleng dengan luas 14.040,83 ha.
Dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem yang telah mengalami
kerusakan, di seluruh Bali telah dikembangkan usaha-usaha rehabilitasi terumbu
karang yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, kelompok-kelompok masyarakat, LSM dan dunia usaha, dengan
menggunakan teknik terumbu buatan, transplantasi karang dan metode biorock.
Masyarakat madani dan lembaga‐lembaga non‐pemerintah telah berperan
penting dalam upaya pelestarian terumbu karang di Bali dengan berbagai
aktivitasnya, meliputi kampanye peningkatan kesadar‐tahuan, pengembangan
alternatif mata pencaharian dan alternatif pemanfaatan sumberdaya ekosistem
terumbu karang ramah lingkungan, pengawasan, perlindungan berbasis desa/adat,
dan rehabilitasi ekosistem.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 35
BAB IV PENUTUP
Dalam rangka efektivitas pengelolaan ekosistem terumbu karang,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah diharapkan mempercepat penyusunan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai landasan utama
pemanfaatan ruang wilayah laut termasuk konservasi ekosistem serta sebagai
pedoman pengaturan kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan
dalam upaya perlindungan ekosistem.
Pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan diharapkan
membangun sinergi dan jejaring kerja yang solid dalam mewujudkan penetapan
ekosistem terumbu karang sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau‐pulau
kecil atau kawasan konservasi perairan untuk menyeimbangkan antara
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan fungsi ekosistem secara berkelanjutan.
Pelestarian ekosistem terumbu karang dalam kerangka kawasan konservasi
merupakan jawaban atas berbagai permasalahan dan ancaman, agar pengelolaan
terintegrasi dan komprehensif dapat diwujudkan.
Guna mengurangi tekanan dan meningkatkan ketahanan terumbu karang
terhadap ancaman perubahan iklim dan faktor‐faktor lainnya, pengendalian
pencemaran khususnya bersumber dari aktivitas pembangunan di daratan yang
menyumbang banyak air limbah dan sampah ke laut perlu lebih ditingkatkan
mengingat adanya kecenderungan pergeseran ancaman terhadap terumbu karang
di Bali dewasa ini yang lebih besar bersumber dari daratan dibandingkan dari laut.
Kampanye peningkatan kesadar‐tahuan masyarakat mengenai pentingnya
pelestarian ekosistem terumbu karang masih perlu terus ditingkatkan, seiring pula
dengan usaha‐usaha pengembangan alternatif mata pencaharian dan
alternatif/inovasi pemanfaatan sumberdaya ekosistem secara ramah lingkungan.
Kerja‐kerja kolektif dan sinergis antara pemerintah dan LSM, kelompok
masyarakat, dunia usaha dan perguruan tinggi perlu lebih ditingkatkan dan
dilembagakan dalam suatu jejaring kerja (networking).
Guna mewujudkan tata kelola yang baik, pemerintah daerah diharapkan
memperkuat kapasitas kelembagaan pada sektor-sektor yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut serta mengembangkan
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 36
kebijakan, aturan-aturan dan pedoman teknis terkait pengelolaan ekosistem
terumbu karang yang arif dan bijaksana
Untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas
ekosistem terumbu karang perlu partisipasi dan peran aktif semua pihak
untuk bersama-sama mengamankannya untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang dapat merusak kelestarian ekosistem tersebut. Kelompok pengawasan
masyarakat perlu dibangun dan diberdayakan agar dapat berperan secara
optimal dalam menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang yang bernilai
sangat tinggi bagi perekonomian masyarakat dan daerah. Usaha-usaha
rehabilitasi dan restorasi agar kualitas ekosistem terumbu karang di lokasi ini
dapat ditingkatkan.
Dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di
Provinsi Bali agar fungsi-fungsi terumbu karang berlangsung secara optimal
dan pemanfaatan jasa-jasa lingkungannya dapat diperoleh secara
berkelanjutan maka pengelolaan terumbu karang di kawasan ini dilakukan
dalam kerangka “integrated coastal management”, termasuk di dalamnya
melakukan pemantauan (monitoring) secara berkala, peningkatan kapasitas
dan partisipasi para stakeholder melalui pelatihan pengelolaan terumbu
karang, pengaturan dan penaatan zonasi, pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan, penegakan hukum, dan pengelolaan berbasis masyarakat.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 37
DAFTAR PUSATAKA Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. 2009. Status Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Bali Tahun 2009. Denpasar.
Baker, I. and P. Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. The Unesco MAP and COMAR Programmes. Bangkok-Jakarta.
Barnes, R.S.K. and Hughes. 1990. An Introduction to Marine Ecology. Blackwell Scientific Publisher. London.
Bengen, D.G. 2000. Tehnik Pengembilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta.
Cesar, H.S.J. 2000. Coral Reefs: Their Fuctions, Threats and Economic Value. In Cesar, H.S.J. (ed.). Collection Essays on The Economics of Coral Reef. CORDIO, Dept. of Biology and Environmental Sciences, Kalmar University Kalmar, Sweden.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO. 167 pp.
Clark, J.R. 1995. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca Raton, New York, London, Tokyo.
Choat, J.H. 1991. The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. In : Sale, P.T. (ed.). The Ecological of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. New York.
Davis, R. 1990. Oceanography. W.C. Brown Publisher. Florida.
Ditlev, H. 1980. A Field-guide to the Reef-building Coral of the Indo-Pacific. Scandinavian Science Press Ltd. Klampenborg.
Effendi, F. 1997. Bahan Pecemar (Kimia ) dan Metoda Analisisnya pada Kawasan Pesisir dan Laut Secara Terpadu, Surabaya
English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsvile.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Jones, O.A. and R. Endean. 1973. Biology and Geology of Coral Reefs. Vol I: Geology 1. Academic Press. New York.
Jones, O.A. and R. Endean. 1977. Biology and Geology of Coral Reefs. Vol IV: Geology 2. Academic Press. New York.
Kenchington, R.A. and B.E.T. Hudson. 1988. Coral Reef Management Handbook. Unesco Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta.
Lovelock, C. 1993. Field Guide to The Mangrove of Queensland. Australian Instutute of Marine Science. Townsville.
Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali 38
Menteri Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 tahun 2001, tentang Standar Baku Mutu Kerusakan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Pusat Pengelolaan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara, Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Profil Ekosistem Terumbu Karang Di Provinsi Bali. Denpasar.
Puslitbang Perikanan - Balitbang Pertanian Departement Pertanian. 1996. Peningkatan Visi Sumberdaya Manusia Penelitian Perikanan Menyongsong Globalisasi IPTEK. Prosiding Rapat Kerja Tenis Puslitbang Perikanan, Serpong 19-20 November 1996.
Salm, B.V. and J.R. Clark. 1989. Marine and Coastal Protected Areas. IUCN and Natural Resources Gland, Switzerland.
Sudiarta, I K. 2002. Status dan Profil Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Bali. Lokakarya; Pembuatan Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan Bali Selatan. Bappedalda. Bali Denpasar
Suharsono dan Sukarno. 1992. Coral Assemblages Around Pulau Genteng Besar. Seribu Island Indonesia. Third ASEAN Science and Technoligy. Marine Science : Living Coastal resources.
Suharsono. 1998. Condition of Coraf Reef resources in Indonesia. Journal Pesisir & Lautan, Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (D.G. Veron, J.E.N. 1986. Coral of Australian and the Indo-Pacific. University of Hawaii Press. Honolulu.
Warner, G.F. 1984. Diving and Marine Biology, The Ecology of the Sublitroral. Cambridge University Press. Cambridge.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Swiss, dan Cambridge.
Recommended