View
244
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK
BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL
SELULOSA (HPMC) SEBAGAI SEDIAAN LOKAL
PENANGANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT
PERIODONTAL
SKRIPSI
HISSI FITRIYAH
109102000006
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JULI 2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK
BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL
SELULOSA (HPMC) SEBAGAI SEDIAAN LOKAL
PENANGANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT
PERIODONTAL
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
HISSI FITRIYAH
109102000006
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JULI 2013
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Nama : Hissi Fitriyah
Program Studi : Farmasi
Judul : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer
Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) Sebagai
Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit
Periodontal.
Telah dibuat sediaan mukoadhesif patch yang mengandung natrium diklofenak
sebagai sediaan lokal penanganan inflamasi pada penyakit periodontal. Penelitian
ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch
natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC).
Patch dibuat dalam 3 formula A1, A2 dan A3 dengan memvariasikan konsentrasi
larutan HPMC sebanyak 1%, 1,5% dan 2%. Patch dibuat dengan metode solvent
casting. Patch yang telah dibuat menunjukkan bahwa ketiga patch dapat melekat
dipermukaan membran gusi lebih dari 7 jam. Persen kumulatif difusi natrium
diklofenak pada jam ke-enam dari patch A1, A2 dan A3 berturut-turut 34%, 21%
dan 24%. Lapisan backing yang dibentuk dari etil selulosa diketahui dapat
menahan difusi natrium sebesar 97,5%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa patch yang terbaik ditunjukkan oleh formula A1.
Kata kunci : patch, natrium diklofenak, HPMC, Etil selulosa.
vi
ABSTRACT
Name : Hissi Fitriyah
Program Study : Pharmacy
Title : Formulation of Diclofenac Sodium Patch Based
Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) as Local
Administration for The Inflammatory Treatment in
Periodontal Disease.
Mucoadhesive patches containing diclofenak sodium have been made as local
administration for the inflamatory treatment in periodontal deasease. The
objectives of this research were to formulate and to study characteristic of the
resulting diclofenac sodium patch based hydroxy propyl methyl cellulose
(HPMC). Patches were formulated in three formulas termed A1, A2 and A3 by
varying the concentration of hidroxy propyl methyl celullose (HPMC) solution in
the formula as much as 1%, 1,5% and 2%. Patches were prepared by solvent
casting methode. In vitro residence time showed that all formulas patch can be
attachted on the mucosa gingival bovine more than 7 hours. Cumulatif diffusion
of diclofenak sodium at sixth hours from A1, A2 and A3 respectively were 34%,
21% and 24%. Backing layer formed from ethyl cellulose can inhibit diffusion of
diclofenac sodium as much as 97,5%. From these result, the best diclofenac
sodium patch showed by A1.
Keyword : patch, diclofenac sodium, HPMC, ethyl cellulose.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan
skripsi yang berjudul “Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer
Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) Sebagai Sediaan Lokal Penanganan
Inflamasi pada Penyakit Periodontal” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Sabrina, M.Farm., Apt., selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran
dan dukungan dalam penelitian ini.
2. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan semangat, doa dan
dukungan baik moral maupun material hingga terwujudnya skripsi ini.
6. Fanny Putu Saputra atas segala pengertian, semangat dan bantuannya.
7. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang
amat besar.
viii
8. Kakak-kakak laboran FKIK, ka Eris, ka lisna, ka Liken, ka Anis, Mba Rani,
ka Tiwi dan ka Rachmadi atas dukungan dan kerjasamanya selama kegiatan
penelitian.
9. Teman teman seperjuangan farmasi angkatan 2009 atas kebersamaan kita.
10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu Farmasi pada
khususnya. Amin.
Jakarta, Juli 2013
Penulis
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............ ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1. 2 Perumusan Masalah .................................................................. 3
1. 3 Hipotesis ................................................................................... 3
1. 4 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1. 5 Manfaat Penelitian .................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Penyakit Periodontal ................................................................ 5
2. 2 Natrium Diklofenak .................................................................. 7
2. 3 Anatomi Mukosa Rongga Mulut .............................................. 9
2. 4 Mukoadhesif ............................................................................. 12
2. 5 Patch ......................................................................................... 17
2. 6 Hidroxypropyl Methylcellulose (HPMC) ................................ 20
2. 7 Ethyl Cellulose (EC) ................................................................ 22
BAB 3 METODE PENELITIAN
3. 1 Alur Penelitian .......................................................................... 24
3. 2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 25
3. 3 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 25
3. 4 Prosedur Kerja .......................................................................... 25
3. 4.1 Formula Patch .............................................................. 25
3. 4.2 Pembuatan Buffer Fosfat pH 6,8 ................................. 27
3. 4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ........................................ 27
3. 4.4 Evaluasi Cairan Polimer .............................................. 27
3. 4.5 Evaluasi Patch ............................................................. 28
3.4.5.1. Organoleptis ................................................... 28
3.4.5.2. Evaluasi Fisik ................................................. 28
3.4.5.3. Uji Pelipatan ................................................... 28
3.4.5.4. Pengukuran pH Permukaan ............................ 29
xi
3.4.5.5. Uji Pengembangan ......................................... 29
3.4.5.6. Uji Waktu Tinggal ......................................... 29
3.4.5.7. Uji Kemampuan Penentrasi Zat aktif ............. 29
3.4.5.8. Uji Kebocoran Backing .................................. 30
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Karakteristik Cairan Polimer ..................................................... 31
4. 2 Karakteristik Fisikokimia Patch ............................................... 32
4. 3 pH Permukaan Patch ................................................................ 37
4. 4 Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Gusi Sapi ................... 38
4. 5 Derajat Pengembangan ............................................................. 39
4. 6 Kemampuan Penentrasi Natrium Diklofenak .......................... 41
4. 7 Kebocoran Backing Membran .................................................. 45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan ................................................................................ 47
5. 2 Saran .......................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Komposisi dan Keberadaan Keratin di Mukosa Mulut ........ 11
Tabel 3.1 Formula Patch Natrium Diklofenak ...................................... 26
Tabel 4.1 Viskositas Larutan Polimer ................................................... 31
Tabel 4.2 Uji Pelipatan Patch ................................................................. 34
Tabel 4.3 Sifat Fisikokimia Patch ......................................................... 35
Tabel 4.4 pH Permukaan Masing-masing Formula Patch .................... 37
Tabel 4.5 Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Membran Gusi Sapi 38
Tabel 4.6 Derajat Pengembangan Patch ............................................... 39
Tabel 4.7 Persentase Kumulatif Difusi Zat Aktif ................................. 41
Tabel 4.8 Jumlah Kumulatif Zat Aktif Yang Terdifusi ......................... 41
Tabel 4.9 Analisis Statistik Kruskal-Wallis Test dari Data Persentase
Difusi Natrium Diklofenak .................................................... 43
Tabel 4.10 Statistik Persentase Difusi Natrium Diklofenak .................... 43
Tabel 4.11 Fluks Natrium Diklofenak dari Masing-masing Formula .... 44
Tabel 4.12 Pengolahan Data Fluks Secara Statistik Menggunakan
ANOVA ................................................................................. 45
Tabel 4.13 Statistik Fluks Natrium Diklofenak ....................................... 45
Tabel 4.14 Persentase Kumulatif Kebocoran Backing ............................. 46
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Struktur Kimia Natrium Diklofenak ..................................... 7
Gambar 2.2. Area Rongga Mulut .............................................................. 9
Gambar 2.3. Lapisan Mukosa Mulut ......................................................... 10
Gambar 2.4. Tahap Proses Mukoadhesi .................................................... 13
Gambar 2.5 Struktur Formula HPMC ...................................................... 20
Gambar 2.6. Struktur Formula Etil Selulosa ............................................. 22
Gambar 3.1. Skema dari Franz Diffusion .................................................. 30
Gambar 4.1. Patch dari Masing-masing Formula ..................................... 32
Gambar 4.2. Organoleptis Patch ............................................................... 33
Gambar 4.3. Penampakan Mikroskopis Patch .......................................... 35
Gambar 4.4. Grafik Keragaman Bobot ...................................................... 36
Gambar 4.5. Grafik Ketebalan Patch ........................................................ 37
Gambar 4.6. Grafik Pengembangan Patch ................................................ 40
Gambar 4.7. Grafik Persentase Difusi Zat Aktif Melalui Membran
Gusi Sapi dari Masing-masing Formula ............................... 42
Gambar 4.8. Grafik Jumlah Difusi Zat Aktif Melalui Membran Gusi
Sapi dari Masing-masing Formula ....................................... 42
Gambar 4.9. Fluks Natrium Diklofenak .................................................... 43
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Kimia Natrium Diklofenak ..................................... 7
Gambar 2.2 Area Rongga Mulut .............................................................. 9
Gambar 2.3 Lapisan Mukosa Mulut ......................................................... 10
Gambar 2.4 Tahap Proses Mukoadhesi .................................................... 13
Gambar 2.5 Struktur Formula HPMC ...................................................... 20
Gambar 2.6 Struktur Formula Etil Selulosa ............................................. 22
Gambar 3.1 Skema dari Franz Diffusion .................................................. 30
Gambar 4.1 Patch dari Masing-masing Formula ..................................... 32
Gambar 4.2 Organoleptis Patch ............................................................... 33
Gambar 4.3 Penampakan Mikroskopis Patch .......................................... 35
Gambar 4.4 Grafik Keragaman Bobot ...................................................... 36
Gambar 4.5 Grafik Ketebalan Patch ........................................................ 36
Gambar 4.6 Grafik Pengembangan Patch ................................................ 40
Gambar 4.7 Grafik Persentase Difusi Zat Aktif Melalui Membran
Gusi Sapi dari Masing-masing Formula ............................... 42
Gambar 4.8 Grafik Jumlah Difusi Zat Aktif Melalui Membran Gusi
Sapi dari Masing-masing Formula ....................................... 42
Gambar 4.9 Fluks Natrium Diklofenak .................................................... 44
1 UIN Syarif Hidayatullah
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Diklofenak termasuk salah satu obat non-steroid anti-inflamasi drug
(NSAID) yang banyak digunakan untuk menangani nyeri dan inflamasi,
diklofenak juga digunakan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi pada penyakit
periodontal. Penelitian mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara
produksi prostaglandin lokal dan metabolit lainnya dari asam arakidonat
dengan terjadinya resorpsi tulang alveolar pada penyakit periodontal.
Penelitian telah menemukan bahwa senyawa yang dapat menghambat produksi
prostaglandin seperti obat golongan non steroidal anti-inflamasi drug
(NSAID), dapat mempengaruhi tahap kehilangan tulang pada penyakit
periodontal (Mohammed et al., 2009).
Hampir semua obat golongan NSAID memiliki kecenderungan
memiliki efek samping terhadap lambung dan duodenum (Wongso, 1996).
Penyebab kematian yang sering akibat dari pemakaian NSAID adalah
perdarahan lambung terutama pada pasien usia lanjut (Wongso, 1996).
Pemakaian diklofenak selama kehamilan juga tidak dianjurkan (Wilmana dan
Sulistia, 2007). Berdasarkan pedoman pelayanan farmasi untuk ibu hamil dan
menyusui yang dikeluarkan oleh Depkes RI natrium diklofenak digolongkan
pada katagori B dan D untuk wanita hamil dengan usia kehamilan di trimester
ketiga dan menjelang kelahiran. Semua obat anti radang non-steroid (NSAID)
dapat mengurangi peradangan dengan menghambat sintesis prostaglandin
sampai derajat tertentu. Karena prostaglandin memainkan peran yang sangat
besar pada perkembangan janin, penghambatan ini menyebabkan berbagai efek
pada ibu, janin dan neonatus (Rubin, 1999).
Upaya dalam menanggulangi efek samping dan bahaya penggunaan
natrium diklofenak bagi ibu hamil dan pasien dengan gangguan pada saluran
pencernaan adalah dengan dibuatnya suatu sediaan lokal yang dapat
menghantarkan obat langsung ke tempat aksi. Salah satu sediaan yang dapat
menghantarkan obat langsung ke tempat aksi adalah sediaan patch. Patch yang
2
UIN Syarif Hidayatullah
ideal harus dapat dengan cepat melekat dan memiliki kekuatan melekat yang
optimum, tidak mengganggu proses berbicara, makan dan minum, harus dapat
memberikan pelepasan obat yang searah menuju lapisan mukosa, tidak
menyebabkan infeksi sekunder seperti karies gigi dan harus memiliki
ketahanan yang baik akibat adanya pembilasan saliva (Izhar & John, 2012).
Patch terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan utama mengandung polimer yang
adhesif dilapisi dengan lapisan backing yang impermeable (Koyi dan Arsyad,
2013). Polimer mukoadhesif yang ideal memiliki karakteristik tidak toksik dan
dapat diabsorpsi pada saluran cerna, tidak menimbulkan iritasi, cocok jika
digunakan setiap hari dan polimer tidak menjadi penghalang untuk pelepasan
obat (Vimal et al., 2010). Kelompok polimer yang memiliki sifat mukoadhesif
antara lain adalah kelompok polimer hidrofilik. Beberapa kelompok polimer
hidrofilik dari polisakarida dan turunannnya seperti hidroksi propil metil
selulosa (HPMC) telah digunakan dalam penghantaran mukoadhesif (Roy et
al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Doshi et al., (2011),
formulasi film dengan polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) memiliki
sifat bioadhesi yang maksimum dibandingkan dengan film yang mengandung
polimer polivinil alkohol (PVA) dan film yang mengandung kombinasi PVA
serta polivinil pirolidon (PVP). Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh
Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch Salbutamol sulfat yang
mengandung konsentrasi polimer HPMC sebanyak 1,5% memiliki waktu
tinggal yang lebih lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan dengan
patch yang mengandung konsentrasi PVA 10% dengan waktu tinggal 2,20 ±
0,98 jam.
Lapisan backing dibentuk dari polimer yang bersifat impermeable
dengan air sebab fungsi dari lapisan backing adalah untuk mencegah zat aktif
terlarut dan tertelan bersama saliva serta untuk memberikan aliran zat aktif
secara searah ke lapisan mukosa (Yogananda & Rakesh, 2012). Polimer yang
banyak digunakan sebagai pembentuk lapisan backing adalah etil selulosa, poli
vinil alkohol (Koyi & Arsyad, 2013). Etil selulosa memiliki karakter tidak larut
dan tidak mengembang di air (Murtaza, 2012). Etil selulosa yang dilarutkan
dalam pelarut organik atau campuran pelarut organik digunakan untuk
3
UIN Syarif Hidayatullah
menghasilkan film yang tidak larut dalam air. Film yang terbentuk memiliki
kekuatan tarik yang tinggi dan memberikan aliran zat aktif yang searah dengan
sangat baik (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa telah digunakan
sebagai backing membran pada formulasi sediaan bukal film yang
mengandung zat aktif Carvedilol. Pada Penelitian tersebut sebagai backing
membran digunakan larutan dengan konsentrasi etil selulosa sebanyak 10 %
(w/v) (Viram et al., 2010).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibuat suatu
sediaan lokal yang berupa mukoadhesif patch. Patch yang akan dibuat
merupakan patch yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan utama yang
mengandung zat aktif dalam matriks polimer HPMC dengan penambahan
lapisan backing yang terbentuk dari polimer etil selulosa. Selain
memformulasikan dalam penelitian ini juga akan dilakukan evaluasi terhadap
sifat fisikokimia patch, waktu tinggal patch pada membran gusi sapi dan difusi
natrium diklofenak secara in vitro dengan menggunakan Franz diffusion cell.
1. 2. Perumusan Masalah
a. Bagaimana sifat adhesivitas patch yang mengandung polimer HPMC
pada membran mukosa gusi?
b. Bagaimana kemampuan difusi natrium diklofenak dari sediaan patch?
c. Bagaimana kemampuan polimer etil selulosa (EC) dalam mencegah
difusi zat aktif ke saliva?
1. 3 Hipotesis
a. Lapisan yang terbentuk dari polimer hidroksi propil metil selulosa
(HPMC) yang mengandung zat aktif dapat melekat pada lapisan
mukosa gusi.
b. Lapisan yang terbentuk dari polimer etil selulosa (EC) dapat menjadi
backing yang mencegah difusi zat aktif ke saliva.
4
UIN Syarif Hidayatullah
1. 4 Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memformulasi dan
mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis
polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC).
1. 5 Manfaat
Pada penelitian ini dapat memberikan informasi dalam pengembangan
sediaan patch natrium diklofenak yang digunakan secara lokal untuk
penanganan inflamasi pada penyakit periodontal.
5 UIN Syarif Hidayatullah
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Penyakit Periodontal
Jaringan periodontal merupakan bagian dari struktur gigi yang tersusun
atas bagian jaringan gigi lunak dan keras (terdiri dari gingiva, sementum,
ligamen periodontal) serta tulang alveolar yang berfungsi sebagai penyangga
gigi (Houwink et al., 1993).
Kelainan periodontal disebabkan oleh adanya plak pada gigi yang
disebabkan oleh adanya bakteri. Penyebab lainnya penyakit periodontal adalah
adanya variasi yang luas dari penyakit pada mukosa mulut yang terkadang
berdampak pada gingiva (Cawson & Odell, 2002).
Terdapat beberapa tahapan yang penting pada proses terjadinya
penyakit periodontal. Yang pertama adalah adanya mekanisme pertahanan
yang membentuk inflamasi pada gusi akibat paparan dari plak gigi. Proses
peradangan tersebut dikenal dengan gingivitis. Tahap selanjutnya adalah
terjadinya kerusakan periodontal, yang menyebabkan hilangnya jaringan
penyangga. Apabila kerusakan tersebut tidak ditanggulangi maka tahap
selanjutnya adalah hilangnya tulang mandibula, yang mengakibatkan tidak
dapat dihindarinya ekstraksi elemen gigi. Klasifikasi penyakit periodontal
dibagi atas dua golongan yaitu gingivitis dan periodontitis (Houwink et al.,
1993).
Gingivitis merupakan suatu peradangan pada periodonsium, yang
terbatas pada daerah gingiva dan dianggap reversibel. Gingivitis dianggap
sebagai pertahanan terhadap paparan bakteri yang menyebabkan plak pada
gigi. Plak yang terdeposit pada daerah gingiva diakibatkan oleh buruknya
kebersihan mulut serta tidak efektifnya proses membersihkan gigi. Proses
inflamasi pada peradangan gingiva pada awalnya terjadi di daerah sulkus
gingiva dan bagian yang terletak dibawah gingiva (Houwink et al., 1993).
Pada awal terjadinya gingivitis terdapat kecenderungan untuk
terjadinya perdarahan. Perdarahan kadang-kadang merupakan satu-satunya
gejala yang dapat dilihat pasien. Perdarahan biasanya timbul pada waktu
6
UIN Syarif Hidayatullah
menyikat gigi atau terkadang terjadi perdarahan spontan atau tanpa sebab.
Oleh sekelompok besar masyarakat gingiva yang berdarah masih dapat
dianggap sebagai proses yang normal dan tidak mengahawatirkan (Houwink et
al., 1993). Gejala lainnya adalah terdapatnya perubahan warna pada gingiva.
Warna gingiva berubah dengan meningkatnya peradangan, perubahan terjadi
dari warna merah muda ke merah tua sampai ungu. Perubahan tersebut
diakibatkan oleh adanya dilatasi pembuluh darah dan perubahan pada dinding
pembuluh darah yang mengarah pada pengurangan kecepatan aliran darah
serta adanya lebih banyak darah pada daerah yang meradang (Houwink et al.,
1993). Pembengkakan bentuk gingiva diakibatkan dinding pembuluh darah
menjadi lebih permeabel, maka terjadi perubahan keseimbangan osmotik
darah dan jaringan interstisial. Perubahan bentuk gingiva terjadi pada stadium
lebih lanjut yang diakibatkan oleh pembentukan jaringan granulasi, yang
mengandung banyak fibroblas, pembuluh darah dan sedikit serabut kolagen.
Pada gingivitis juga terkadang disertai dengan rasa nyeri (Houwink et al.,
1993). Gingiva yang mengalami peradangan dapat kehilangan fungsinya,
peradangan yang menyebabkan epitel menjadi lebih permeabel dan tidak dapat
lagi menjadi penghalang (barier) terhadap pengaruh zat asing yang berasal
dari rongga mulut (Houwink et al., 1993).
Periodontitis merupakan proses peradangan di dalam periodonsium
dimana sudah ada yang hilang dari bagian-bagian yang menghubungkan serat
antara elemen gigi dan jaringan sekelilingnya, pada periodontitis juga dapat
mengebabkan hilangnya tulang alveolar (Houwink et al., 1993). Periodontitis
merupakan salah satu penyebab utama lepasnya gigi pada dewasa dan
merupakan penyebab utama lepasnya gigi pada lanjut usia. Periodontitis
terjadi jika gingivitis menyebar ke struktur penyangga gigi (Cawson & Odell,
2002).
Periodontitis merupakan sebab umum dan poten yang menyebabkan
halitosis. Gejala ini tidak dirasakan oleh pasien tetapi dirasakan oleh orang
disekeliling pasien (Cawson & Odell, 2002). Kerusakan jaringan dan adanya
bekteri yang dapat menibulkan plak merupakan penyebab bau yang sangat
7
UIN Syarif Hidayatullah
tidak enak (kadang-kadang disertai dengan pemebentukan nanah) (Houwink et
al., 1993).
2. 2 Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak memiliki nama kimia Sodium 2-[(2,6-
dichlorophenyl)-amino] phenyl]-acetate, dengan formula molekul
C14H10Cl2NNaO2. Bobot molekul yang dimiliki Natrium diklofenak adalah
sebesar 318,1 (Reynold, 1982).
Gambar 2.1. Struktur kimia Natrium diklofenak (Reynold, 1982)
Natrium diklofenak praktis tidak berbau, berwarna putih kekuningan,
berbentuk bubuk kristal atau serbuk yang sedikit higroskopis dan memiliki pK
sekitar 4 (AHFS, 2002). Natrium diklofenak sedikit larut dalam air, larut
dalam alkohol, sedikit larut dalam aseton, mudah larut dalam metil alkohol
(Reynold, 1982).
Seperti NSAID lainnya model aksi dari natrium diklofenak tidak
diketahui, kemungkinan karena kemampuannya dalam menghambat sintesis
prostaglandin yang berhubungan dengan efek anti-inflamasi (Reynold, 1982).
Diklofenak menghambat sintesis prostaglandin di jaringan, dengan
menghambat COX1 dan COX2 (AHFS, 2002).
Diklofenak mengalami metabolisme tingkat pertama (first pass effect)
sehingga hanya sebanyak 50% yang dapat mencapai sirkulasi sistemik
(Reynold, 1982). Diklofenak dimetabolisme menjadi 4-hidroksidiklofenak, 5-
hidroksidiklofenak, 3-hidroksidiklofenak, dan 4,5- dihidroksidiklofenak.
Senyawa hasil metabolisme tersebut ekskresikan dalam bentuk glukoronida
dan konjugat sulfat, paling banyak ditemukan dalam urin (60%) tetapi juga
dalam empedu (35%) dan sebanyak 1% diekskresikan dalam bentuk lain
(Reynold, 1982).
8
UIN Syarif Hidayatullah
Diklofenak merupakan turunan asam fenilasetat, diklofenak merupakan
golongan analgesik non-narkotik (NSAID). Yang paling banyak digunakan
adalah garam natriumnya. Garam natrium diklofenak digunakan untuk
penangnan nyeri dan inflamasi di beberapa kondisi, seperti nyeri sendi,
rhematoid arthritis, osteoarthritis, natrium diklofenak juga digunakan dalam
penanganan nyeri seperti nyeri pada ginjal, gout akut, dysmenorrhoea dan
migren (Reynold, 1982).
Dosis lazim Natrium diklofenak yang diberikan secara oral dan rektal
sebesar 75 hingga 150 mg sehari. Dalam penanganan nyeri akibat terkilir, 1
plaster yang mengandung 1% natrium diklofenak dan diaplikasikan 1 kali
dalam sehari dalam 3 hari sedangkan untuk epiconylitis 1 plaster 2 kali dalam
sehari selama 14 hari (Reynold, 1982).
Efek samping yang banyak dilaporkan dari penggunaan diklofenak
adalah efek terhadap saluran cerna. Reaksi yang terjadi antara lain nyeri
lambung, mual, muntah dan diare. Kadang-kadang dapat menyebabkan juga
tukak lambung (peptic ulcer) dan perdarahan pada saluran cerna dapat terjadi.
Diklofenak dapat menjadi penyebab tukak lambung kronik, small bowel
perforation dan pseudomembranous colitis. Kerusakan ginjal dan hati dapat
terjadi pada pasien yang mengkonsumsi diklofenak. Hepatotoksik akibat
penggunaan diklofenak dapat diketahui setelah pemberian selama 6 bulan
(Reynold, 1982).
Berdasarkan pedoman pelayanan farmasi untuk ibu hamil dan
menyusui yang dikeluarkan oleh Depkes RI natrium diklofenak digolongkan
pada katagori B dan D untuk wanita hamil dengan usia kehamilan di trimester
ketiga dan menjelang kelahiran. Semua obat anti radang non-steroid (NSAID)
mengurangi peradangan dengan menghambat sintesis prostaglandin sampai
derajat tertentu. Karena prostaglandin memainkan peran yang sangat besar
pada perkembangan janin, penghambatan ini menyebabkan berbagai efek pada
ibu, janin dan neonatus. Efek samping yang dialami oleh ibu hamil antara lain
adalah pemanjangan kehamilan, pemanjangan proses persalinan, kehilangan
banyak darah sebelum dan setelah melahirkan, anemia dan pre-eklampsia.
Sedangkan efek terhadap janin dan bayi baru lahir antara lain adalah adanya
9
UIN Syarif Hidayatullah
kelainan hemostatik, peningkatan insiden perdarahan intrakranial, penutupan
prematur duktus arteriosus dan hipertensi paru persisten (Rubin, 1999).
2. 3 Anatomi Mukosa Rongga Mulut
Rongga mulut terdiri atas daerah bibir, pipi, lidah, hard palate, soft
palate dan daerah dasar mulut (Yogananda & Rakesh, 2012). Rongga mulut
dibatasi oleh membran mukosa dengan total area permukaan sebesar 100 cm2
(Kaul et al., 2011), yang meliputi mukosa bukal, sublingual, gingival, palatal
dan labial mukosa. Terdapat tiga jenis mukosa yang ditemukan pada lapisan
rongga mulut :
a. Lapisan mukosa Linning ditemukan dibagian daerah bibir, pipi (bukal),
soft palatal dan daerah sublingual. Memiliki ketebalan 500-800 µm dan
merupakan 60% dari bagian mukosa oral.
b. Lapisan mukosa yang khusus (Specialized mucosa) ditemukan dibagian
permukaan dorsal lidah, meliputi 15% dari total mukosa oral.
c. Mukosa masticatory, mukosa ini meliputi 25% total mukosa oral dan
memiliki ketebalan 100-200 µm, yang ditemukan pada daerah hard palatal
dan daerah gingiva (Yogananda & Rakesh, 2012).
Gambar 2.2. Area rongga mulut (Latheeshjla et al., 2012)
Terdapat tiga lapisan khas dari rongga mulut, ketiga lapisan tersebut
adalah epitel, membran basal, dan jaringan ikat. Rongga mulut dilapisi dengan
epitel, yang terletak di bawah membran basal pendukung. Membran basal ini,
pada gilirannya didukung oleh jaringan ikat (Kaul et al., 2012).
10
UIN Syarif Hidayatullah
Gambar 2.3. Lapisan mukosa mulut (Bhardwaj et al., 2012)
Sel epitel, sebagai lapisan pelindung untuk jaringan di bawahnya,
dibagi menjadi (a) permukaan non-keratin yang terdapat pada daerah di
lapisan mukosa langit-langit lunak, permukaan ventral lidah, dasar mulut,
mukosa alveolar, vestibula, bibir dan pipi, dan (b) epitel keratin yang
ditemukan di daerah langit-langit keras dan di bagian yang tidak fleksibel dari
rongga mulut. Sel-sel epitel, berasal dari sel-sel basal, matang berubah bentuk
dan bertambah besar saat bergerak menuju permukaan (Kaul et al., 2012).
Keratin merupakan protein yang berbentuk non filamen dengan ukuran
molekul 40 – 70 kDa. Jaringan yang mengandung keratin dan jaringan yang
tidak berkeratin meliputi 50% dan 30% dari total luas area di mulut. Perbedaan
diantara epitel yang mengandung keratin dan epitel yang tidak mengandung
keratin adalah perbedaan ukuran dari keratin. Epitel yang tidak mengandung
keratin mengandung protein dengan bobot molekul rendah dibandingkan
dengan keratin yang menyusun epitel berkeratin.
Membran basal membentuk lapisan khas antara jaringan ikat dan
epitel. Hal tersebut mengharuskan pelekatan antara epitel dan jaringan ikat di
bawahnya, yang berfungsi sebagai pendukung mekanik untuk epitel. Jaringan
ikat dibawah epitel memberikan banyak sifat mekanik pada mukosa mulut
(Kaul et al., 2012).
11
UIN Syarif Hidayatullah
Tabel 2.1. Komposisi dan Keberadaan Keratin di Mukosa Mulut
Jaringan Keberadaan keratin Komposisi
Bukal mukosa Non Keratin Sedikit netral, tetapi
mengandung lipid polar,
terutama kolesterol sulfat
dan glukosiceramida
Mukosa Sublingual Non Kerain
Mukosa gusi Keratin Lemak netral seperti
ceramida Palatal Keratin
Mukus merupakan sekret yang bening dan lengket yang membentuk
lapisan tipis, yang berupa lapisan gel yang melekat pada permukaan epitel.
Pada manusia ketebalan dari lapisan mukus ini bervariasi antara 50-450 µm.
Lapisan mukosa yang terbentuk oleh mukus yang disekresikan oleh lapisan sel
goblet atau oleh kelenjar eksokrin khusus dengan mukus sel acini. Komposisi
tepat dari lapisan mukus bervariasi tergantung pada spesies, lokasi anatominya
serta patofisiologi bagiannya. Secara umum komposisi mukus terdiri dari air
dengan konsentrasi 95%, glikoprotein dan lipid sebesar 0,5 – 5%, garam
mineral 0,5 – 1% dan protein bebas sebanyak 0,5-1% (Yogananda & Rakesh,
2012). Pada pH fisiologis, lapisan mukus mengandung muatan negatif
dikarenakan adanya residu asam sialic dan sulfat dan muatan dengan bobot
jenis yang tinggi disebabkan oleh adanya muatan negatif yang berperan pada
sifat bioadhesi. Lapisan mukus memiliki beberapa fungsi. Fungsi primer dari
lapisan mukus antara lain :
1) Mukus menjadi pelindung karena sifat hidrofobiknya
2) Lapisan mukus berperan sebagai penghalang (barier) dalam proses
absorpsi obat dan zat lainnya
3) Mukosa memiliki sifat melekat yang kuat dan dengan kuat terikat pada
lapisan permukaan epitel sebagai lapisan gel
4) Peran penting lapisan mukus adalah melapisi membran mukosa dan
menjaga kelembaban dari lapisan mukosa tersebut (Akhter et al., 2012).
12
UIN Syarif Hidayatullah
2. 4 Mukoadhesif
Adhesi (pelekatan) didefinisikan sebagai keadaaan suatu permukaan
yang berikatan bersama melalui daya antarmuka, yang dapat terjadi akibat
daya valensi atau aksi saling mengikat atau bahkan keduanya (Kumar et al.,
2011). Istilah bioadhesi digunakan untuk mendeskripsikan pelekatan antara 2
bahan yang salah satunya merupakan bahan biologis. Dalam sistem
penghantaran bioadhesif merujuk kepada pelekatan antara bahan pembantu
dalam formulasi dengan jaringan biologis. Istilah mukoadhesif menunjukkan
adanya pelekatan polimer pada permukaan mukosa (Roy et al., 2009). Sistem
penghantaran obat dengan mukoadhesif memanfaatkan polimer yang larut
dalam air serta dapat melekat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk
menetapkan sasaran obat pada suatu daerah tertentu di tubuh untuk periode
waktu yang lebih lama (Kumar et al., 2011).
Agar adhesi (pelekatan) dapat terjadi molekul harus dapat melekat
pada suatu permukaan dengan ikatan tertentu. Ikatan yang dapat terjadi antara
lain adalah ikatan ionik, ikatan kovalen, ikatan hidrogen, ikatan Vander Wall,
ikatan hidrofobik, ikatan yang membentuk jembatan disulfida, daya hidrasi,
daya elektrostatik dan daya sterik (Kumar et al., 2011).
Ada dua tahap yang dapat menjelaskan proses interaksi antara bahan
mukoadhesif dengan membran mukosa (Kaul et al., 2011). Tahap pertama
adalah kontak, ditandai dengan terjadinya kontak antara bagian mukoadhesif
dengan membran mukosa. Tahap kedua adalah tahap konsolidasi
(penggabungan), terjadinya berbagai interaksi fisikokimia untuk membentuk
suatu gabungan dan memperkuat pelekatan serta untuk memperpanjang
pelekatan (Kaul et al., 2011).
13
UIN Syarif Hidayatullah
Gambar 2.4. Tahap proses mukoadhesi (Kaul et al., 2011)
Karena mekanisme mukoadhesif itu termasuk rumit, maka proses
mukoadhesif tidak dapat dijelaskan oleh satu teori saja (Kaul et al., 2011).
Terdapat berbagai teori mengenai adhesi (pelekatan) yang digunakan untuk
menjelaskan proses mukoadhesif. Teori teori tersebut antara lain :
1. Teori adsorpsi
Teori ini menjelaskan, setelah terjadi kontak antara dua permukaan, bahan
akan melekat disebabkan adanya daya permukaan. Ada dua jenis ikatan
kimia yang berperan. Yang pertama adalah ikatan kovalen yang tidak
diinginkan dalam proses bioadhesi karena ikatan tersebut memiliki daya
lekat yang kuat yang dapat menghasilkan ikatan yang permanen. Ikatan
yang kedua adalah ikatan kimia yang memiliki gaya tarik menarik yang
berbeda, meliputi gaya elektrostatik, gaya Vander Wall, ikatan hidrogen
dan ikatan hidrofobik (Kumar et al., 2011).
2. Teori difusi
Berdasarkan teori ini, rantai polimer dengan mukus akan bercampur
dengan kedalaman yang cukup untuk membentuk suatu ikatan semi-
permanen. Kedalaman penetrasi keduanya tergantung pada koefisien difusi
dan lamanya waktu kontak. Koefisien difusi tergantung pada bobot jenis
antara cross-links (Kumar et al., 2011).
3. Teori elektronik
Berdasarkan teori ini, transisi elektronik terjadi akibat kontak permukaan
pelekat dan karena adanya perbedaan dalam struktur elektronik. Pelekatan
terjadi akibat gaya elektrostatik antara glikoprotein mucin dengan bahan
14
UIN Syarif Hidayatullah
bioadhesif. Transfer elektron terjadi antara dua buah pembentukan lapisan
ganda dari muatan elektron pada permukaan (Kumar et al., 2011).
4. Teori mekanik
Berdasarkan teori ini, pelakatan muncul akibat saling mengikat dari suatu
cairan pelekat ke bagian yang tidak teratur pada permukaan kasar pada
substrat. Difusi tersebut akan membentuk suatu ikatan bersama pada
struktur yang memberikan peningkatan pelekatan (Kumar et al., 2011).
5. Teori pembasahan (Wetting teori)
Teori ini menjelaskan bahwa kemampuan melekat dan kontak dari suatu
bahan dijelaskan oleh kemampuan suatu cairan atau pasta tersebar dalam
sistem biologis. Selain itu teori pembasahan juga menyatakan jika sudut
kontak cairan pada permukaan substrat lebih rendah, maka ada afinitas
yang lebih besar bagi cairan ke permukaan substrat. Jika dua permukaan
substrat tersebut berkontak satu sama lain dengan adanya cairan, cairan
dapat bertindak sebagai perekat antara permukaan substrat (Kumar et al.,
2011).
Berdasarkan teori-teori tersebut, proses bioadhesi secara luas dapat
diklasifikasikan menjadi dua katagori. Katagori pertama yaitu proses kimia
yang meliputi teori elektronik dan teori adsopsi, katagori kedua adalah proses
fisika yang meliputi teori pembasahan dan teori difusi (Roy et al., 2009).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan mukoadhesi,
antara lain polimer, lingkungan yang mempengaruhi dan perubahan fisiologis
(Vimal et al., 2010).
1. Polimer dan faktor yang mempengaruhinya meliputi bobot molekul
polimer, konsentrasi polimer aktif, fleksibilitas dari rantai polimer serta
konformasi ruang dari polimer (Vimal et al., 2010).
a. Bobot molekul yang optimum untuk menghasilkan sifat bioadhesi
yang maksimum tergantung pada jenis polimer bioadhesif yang
digunakan. Secara umum telah diketahui bahwa bobot molekul
minimal yang diperlukan untuk menghasilkan sifat bioadhesif yang
baik adalah polimer dengan bobot molekul 100.000. Sifat bioadhesif
15
UIN Syarif Hidayatullah
dapat meningkat dengan meningkatnya bobot molekul dari suatu
polimer (Vimal et al., 2010).
b. Konsentrasi polimer yang digunakan juga mempengaruhi sifat
bioadhesif dari suatu bahan. Terdapat konsentrasi optimum dari
penggunaan polimer bioadhesif untuk menghasilkan sifat bioadhesi
yang maksimal. Dalam sistem dengan konsentrasi polimer yang
tinggi, yang melampaui batas optimal, kekuatan adhesinya akan
berkurang secara signifikan dikarenakan molekul yang tergulung
menjadi terpisah dari medium sehingga rantai yang tersedia untuk
saling berpenetrasi menjadi terbatas (Vimal et al., 2010).
c. Sifat fleksibilitas dari rantai polimer. Sifat fleksibilitas sangat
diperlukan dalam proses saling berpenetrasi serta membentuk
gulungan. Polimer yang larut dalam air membentuk ikatan silang,
gerakan dari masing-masing rantai polimer berkurang dan
menurunkan lengan efektif yang dapat berpenetrasi ke dalam lapisan
mukus, sehingga dapat mengurangi kekuatan bioadhesifnya (Vimal
et al., 2010).
d. Selain bobot molekul dan panjang rantai dari polimer, konformasi
ruang dari polimer juga penting. Walaupun memuliki bobot molekul
yang besar contohnya dextran (BM 19.500.000) memiliki kekuatan
adhesif yang sama dengan polietilen glikol (PEG) dengan bobot
molekul 200.000. Konformasi heliks dari dextran dapat melindungi
gugus aktif yang bertanggung jawab terhadap sifat adhesinya, tidak
seperti dextran, PEG memiliki konformasi linier (Vimal et al., 2010).
2. Faktor lainnya adalah faktor lingkungan, seperti tempat pelekatan, pH,
waktu kontak serta derajat pengembangan (Vimal et al., 2010).
a. Lokasi pelekatan dari sistem bioadhesi mempengaruhi kekuatan
adhesinya. Kekuatan adhesi meningkat dengan kekuatan saat aplikasi
atau dengan durasi pengaplikasiannya hingga optimal. Tekanan awal
pengaplikasian pada jaringan mukoadhesif efektif dalam menentukan
kedalaman dari saling berpenetrasi. Jika tekanan tinggi diterapkan
untuk jangka waktu yang cukup lama, polimer dapat menjadi
16
UIN Syarif Hidayatullah
mukoadhesif walaupun polimer tersebut tidak memiliki interaksi yang
menarik dengan mukus (Vimal et al., 2010).
b. pH dapat mempengaruhi muatan di permukaan mukus, seperti yang
telah diketahui beberapa polimer bioadhesi terionisasi pada lapisan
tersebut. Mukus akan memiliki perbedaan muatan tergantung pada pH
karena adanya pemisahan dari gugus fungsi pada karbohidrat dan asam
amino dari rantai polipeptida (Vimal et al., 2010).
c. Waktu kontak antara materi bioadhesi dan lapisan mukosa menentukan
derajat pengembangan dan saling penetrasi dari rantai bioadhesif.
Selain itu, kekuatan bioadhesi meningkat dengan peningkatan waktu
kontak awal (Vimal et al., 2010).
d. Derajat pengembangan, tergantung pada konsentrasi polimer,
konsentrasi ion serta keberadaan air (Vimal et al., 2010).
3. Perubahan fisiologis yang terdiri dari perubahan mucin serta suatu penyakit.
a. Perubahan mucin secara normal sangat penting karena dua alasan. Yang
pertama, perubahan mucin mengharapkan batasan pelekatan dari bahan
mukoadhesif pada lapisan mukus. Walaupun kekuatan adhesi yang
besar dari bahan bioadhesi, bahan tersebut dapat terlepas akibat
perubahan mucin. Alasan yang kedua, perubahan mucin menghasilkan
senyawa antara yang larut dalam molekul mucin. Molekul tersebut
berinteraksi dengan bahan mukoadhesi sebelum memberi kesempatan
untuk berinteraksi dengan lapisan mukosa. Perubahan mucin
bergantung pada faktor lain seperti makanan (Vimal et al., 2010).
b. Fisikokimia dari mukus dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang
diakibatkan suatu penyakit, seperti flu, tukak lambung, infeksi bakteri
dan jamur pada saluran reproduksi wanita (Vimal et al., 2010).
Polimer yang digunakan dalam sediaan mukoadhesif merupakan
polimer yang larut maupun yang tidak larut dalam air, yang dapat
mengembang dan berikatan dengan agen sambung silang. Polimer tesebut
harus memiliki polaritas yang optimal untuk memastikan bahwa polimer
tersebut memungkinkan untuk terbasahi oleh mukus dan memiliki fluiditas
17
UIN Syarif Hidayatullah
optimal yang memungkinkan untuk saling adsorpsi dan saling berpenetrasi
antara polimer dan mukus (Vimal et al., 2010).
Polimer mukoadhesif yang melekat pada permukaan epitel mucin
secara luas dapat dibagi menjadi 3 kelas, yaitu :
a. Polimer yang menjadi lengket ketika berkontak dengan air dan
memperlihatkan sifat bioadhesivitasnya.
b. Polimer yang melekat secara tidak spesifik, melalui interaksi non kovalen
terutama ikatan elektrostatik (seperti, ikatan hidrogen dan ikatan
hidrofobik).
c. Polimer yang berikatan secara spesifik dengan reseptor di permukaan
(Vimal et al., 2010).
Polimer mukoadhesif yang ideal memiliki karakteristik berikut ini
(Vimal et al., 2010) :
a. Polimer dan produk degradasinya harus tidak toksik dan dapat diabsorpsi
pada saluran cerna.
b. Tidak iritasi terhadap membran mukosa.
c. Membentuk ikatan yang non kovalen dengan sel epitel permukaan mucin.
d. Cepat melekat di jaringan dan memiliki lokasi yang spesifik.
e. Polimer tidak rusak dalam penyimpanan selama waktu tertentu.
f. Harganya tidak mahal.
g. Cocok jika digunakan setiap hari dan polimer tidak menjadi penghalang
untuk pelepasan obat (Vimal et al., 2010).
2. 5 Patch
Patch dideskripsikan sebagai sediaan yang terdiri dari dua lapisan,
dimana lapisan yang mengandung polimer yang adhesif dilapisi dengan
lapisan backing yang impermeable (Koyi & Arsyad, 2013). Lapisan
mukoadhesif pada patch dapat melekat pada mukosa oral, daerah di gusi dan
lainnya untuk mengontrol pelepasan zat aktif. Patch memiliki sifat fleksibilitas
yang baik sehingga lebih dapat ditoleransi oleh pasien dibandingkan dengan
sediaan mukoadhesif tablet. Patch juga lebih dapat menjamin keakuratan dosis
18
UIN Syarif Hidayatullah
dibandingkan dengan sediaan gel atau salep (Shravan et al., 2012). Tipe patch
ada 2 jenis antara lain :
1. Tipe matriks
Patch dengan tipe matriks dirancang agar zat aktif, polimer dan bahan
tambahan lainnya dicampur bersama.
2. Tipe reservoir
Patch dengan tipe ini dirancang dalam sistem reservoir yang mengandung
lubang untuk zat aktif dan bahan tambahan lainnya agar terpisah dari
lapisan adhesif. Backing yang impermeable digunakan untuk mengontrol
arah pelepasan zat aktif (Shravan et al., 2012).
Patch terdiri dari beberapa komponen antara lain :
1. Bahan aktif.
Obat yang mengalami first pass effect serta obat bagi pasien dengan
kondisi khusus merupakan kandidat terbaik untuk dibuat dalam sediaan
patch. Zat aktif dapat ditambahkan sebesar 5-25% w/w dari bobot total
polimer (Yogananda & Rakesh, 2012).
2. Polimer (lapisan adhesif)
Polimer mukoadhesif digunakan untuk menghantarkan zat aktif ke tempat
spesifik dan untuk mengoptimalkan penghantaran obat dikarenakan adanya
kontak yang lebih lama. Polimer pada lapisan ini akan berkontak dengan
mukosa yang merupakan faktor penting dalam keberhasilan penghantaran
obat (Yogananda & Rakesh, 2012).
3. Lapisan Backing
Polimer yang bersifat impermeable dengan air dapat digunakan untuk
membentuk lapisan backing pada patch. Lapisan backing ini harus
memiliki fleksibilitas yang baik, kakuatan tarik yang tinggi serta permeasi
air melewati lapisan ini harus rendah. Fungsi utama dari lapisan backing
adalah memberikan aliran zat aktif secara searah ke lapisan mukosa.
Lapisan backing ini juga dapat mencegah zat aktif terlarut dalam saliva dan
mencegah zat aktif tertelan bersama saliva. Bahan yang digunakan dalam
pembuatan lapisan backing ini harus inert. Lapisan ini memiliki ketebalan
sekitar 75-100 µm (Yogananda & Rakesh, 2012).
19
UIN Syarif Hidayatullah
4. Plasticizer
Merupakan komponen yang digunakan untuk membentuk film tipis yang
halus dan fleksibel dari satu jenis polimer atau campuran polimer.
Konsentrasi polimer yang digunakan secara umum berkisar antara 0-20%
w/w dari bobot kering polimer. Plasticizer dapat mencegah film pecah,
mudah sobek dan mengelupas (Yogananda & Rakesh, 2012).
5. Peningkat Penetrasi
Merupakan senyawa yang dapat membantu meningkatkan penetrasi zat
aktif. Bahan yang digunakan harus tidak toksik, inert, tidak menimbulakan
iritasi dan tidak menyebabkan alergi (Yogananda & Rakesh, 2012).
Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam proses pembuatan
mukoadhesif patch, antara lain metode solvent casting, hot melt extruction dan
direct milling (Shravan et al., 2012).
1. Solvent Casting
Film oral lebih sering dibuat dengan metode solvent casting, komponen
yang larut dalam pelarut dilarutkan untuk menghasilkan larutan kental
yang jernih. Zat aktif dan komponen lainnya dilarutkan dalam sejumlah
kecil pelarutnya dan dikombinasikan menjadi larutan bulk. Campuran ini
ditambahkan kedalam larutan kental. Udara yang terperangkap
dipindahkan dengan vakum. Larutan yang dihasilkan dicetak sebagai film
dan dibiarkan mengering, kemudian dipotong-potong menjadi lembaran
dengan ukuran yang diinginkan.
2. Hot Melt Extrusion
Hot Melt Extrusion (HME) umum digunakan untuk membuat granul, tablet
sustained release, sistem penghantaran obat transdermal dan transmukosal.
Film yang diproses dengan tehnik ini melibatkan pembentukan polimer
menjadi film dengan proses pemanasan. Campuran pembawa obat diisikan
ke dalam hopper dan dicampur dan dilelehkan dengan ekstruder. Die akan
membentuk lelehan menjadi bentuk film yang diinginkan. HME meliputi
pencampuran pembawa obat pada suhu lebih rendah dan waktu tinggal
lebih singkat (< 2 menit), ketiadaan pelarut organik, produk buangan
20
UIN Syarif Hidayatullah
minimum, kontrol parameter operasi yang baik, dapat untuk operasi
berkelanjutan dan scale up.
3. Direct milling
Dalam metode ini, proses pembuatan dilakukan tanpa menggunakan
pelarut. Obat dan bahan tambahan lainnya secara mekanik dicampur
dengan menggunakan direct milling atau kneading, biasanya tanpa
menggunakan larutan sedikitpun. Setelah dicampur, hasilnya digulung di
release liner hingga mencapai ketebalan yang diinginkkan. Kemudian
dilapisi dengan lapisan backing.
2. 6 Hidroksi Propil Metil Selulosa
Hidroksi propil metil selulosa atau dengan nama lain Benecel MHPC;
E464; Hidroksi propil metil selulosa; hypermellose; hypromellosum; Methocel;
methyl cellulose propylene glycol ether; methyl hydroxypropylcellulose;
Metolose; MHPC; Pharmacoat; Tylopur; Tylose MO. Merupakan polimer
dengan karakteristik bentuk berupa serbuk granul atau berserat dengan warna
putih kecoklatan (krem) dengan tidak memiliki rasa dan bau (Rowe, Paul and
Marian, 2009).
Keterangan : R adalah H, CH3 atau CH3CH(OH)CH2
Gambar 2.5 Struktur HPMC (Rowe, Paul and Marian, 2009).
HPMC larut dalam air dingin dan membentuk larutan koloid kental,
praktis tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol (95%) dan eter, tetapi
dapat larut dalam campuran etanol dan diklormetan, campuran metanol dan
diklormetan serta larutan air dan alkohol. Beberapa grade dari HPMC larut
dalam larutan aseton, campuran aseton dan propan-2-ol dan pelarut organik
lainnya. Beberapa grade dapat mengembang dalam etanol. HPMC dengan
21
UIN Syarif Hidayatullah
konsentrasi 2% dalam larutan air memiliki pH sebesar 5,0–8,0 (Rowe, Paul
and Marian, 2009).
HPMC tidak bercampur dengan beberapa zat pengoksidasi kuat.
HPMC merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks
dengan garam logam atau ion organik dan membentuk endapan yang tidak
terlarut. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 (Rowe, Paul and Marian, 2009).
HPMC digunakan sebagai bahan bioadhesif, pembentuk film, zat
penyalut, zat pengontrol pelepasan obat, agen pendispersi, peningkat disolusi,
emulgator, stabilizer emulsi, zat peningkat viskositas, pengikat, mukoadhesif
dan agen peningkat kelarutan (Rowe, Paul and Marian, 2009).
HPMC merupakan salah satu polimer yang paling banyak digunakan
dalam penghantaran obat melalui rute bukal. HPMC dikategorikan sebagai
polimer hidrofilik yang merupakan polimer yang dapat larut dalam air. Jenis
polimer ini akan mengembang ketika ditempatkan dalam media berair yang
disertai dengan disolusi matriks. Beberapa kelompok polimer polisakarida dan
turunannnya seperti HPMC memiliki permukaan aktif sebagai sifat tambahan
dalam kemampuannya membentuk film (Roy at al, 2009). Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Doshi et al., tahun 2011, diketahui
bahwa film diklofenak yang mengandung polimer HPMC memiliki waktu
tinggal yang paling lama dibandingkan dengan film yang mengandung polimer
PVA dan kombinasi PVA-PVP. Selain itu penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa film yang mengandung HPMC memiliki kekuatan
bioadhesif yang paling tinggi. Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh
Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch Salbutamol sulfat yang
mengandung polimer HPMC sebanya 1,5% memiliki waktu tinggal yang lebih
lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan dengan patch yang
mengandung PVA 10% dengan waktu tinggal 2,20 ± 0,98 jam (Lalatendu et
al., 2004).
22
UIN Syarif Hidayatullah
2. 7 Etil Selulosa (EC)
Etil selulosa merupakan selulosa hasil reaksi antara etil klorida dengan
alkali selulosa. Etil selulosa mmemiliki nama kimia Cellulose ethyl ether
[9004-57-3], selain itu Etil selulosa juga memiliki sinomin antara lain
Aquacoat ECD; Aqualon; Ashacel; E462; Ethocel; ethylcellulosum; Surelease.
Etil selulosa berfungsi sebagai agen penyalut (coating agent), perasa, pengisi
tablet, pengikat tablet dan peningkat viskositas (Rowe, Paul and Marian,
2009).
Gambar 2.6. Struktur Formula Etil selulosa (Rowe, Paul and Marian, 2009)
Etil selulosa berupa bubuk putih, bebas mengalir dan tidak berasa. Etil
selulosa praktis tidak larut dalam gliserin, propilen glikol dan air. Etil selulosa
yang mengandung kurang dari 46,5% gugus etoksi mudah larut dalam
kloroform, metil asetat dan tetrahidrofuran serta campuran hidrokarbon
aromatik dengan etanol (95%). Etil selulosa yang mengandung tidak kurang
dari 46,5% gugus etoksi mudah larut dalam kloroform, etanol (95%), etil
asetat, metanol dan toluen (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa tidak
mengembang dan tidak larut dalam air dikarenakan etil selulosa memiliki
kepadatan dan porositas yang merupakan kunci utama dalam pelepasan obat
dari bahan yang tidak larut air. Walaupun etil selulosa tidak larut dalam air,
etil selulosa dapat menyerap air, dikarenakan ikatan hidrogen antara atom
oksigen dan gugus etil pada etil selulosa. Etil selulosa memiliki bobot jenis 0,4
g/cm3 (Rowe, Paul and Marian, 2009).
Berdasarkan kandungan gugus etoksi (%), etil selulosa dibagi menjadi
tiga kelas, antara lain kelas K, N dan T yang masing masing mengandung
gugus etoksi 44-47,9 %, 48-49% dan 49,6-51,0%. Selain itu berdasarkan
panjangnya rantai polimerisasi atau jumlah unit anhidroglukosanya, etil
selulosa memiliki perbedaan tingkatan viskositasnya (Murtaza, 2012).
23
UIN Syarif Hidayatullah
Viskositas etil selulosa yang diukur pada suhu 250C dengan menggunakan 5%
etil selulosa yang dilarutkan dalam campuran 80% toluen dengan 20% etanol
(w/w), memiliki viskositas yang berbeda antara 7-100 mPa (7-100 cP) (Rowe,
Paul and Marian, 2009).
Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran
pelarut organik digunakan untuk menghasilkan film yang tidak larut dalam air.
Etil selulosa dengan viskositas yang tinggi dapat menghasilkan film yang kuat
dan tahan lama. Film etil selulosa dapat dimodifikasi untuk merubah
kelarutannya dengan penambahan Hypermellose atau plasticizer (Rowe, Paul
and Marian, 2009).
Etil selulosa juga digunakan sebagai backing membran dalam sediaan
bukal patch. Membran yang terbentuk memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan
memberikan aliran zat aktif yang searah dengan sangat baik (Rowe, Paul and
Marian, 2009). Etil selulosa telah digunakan sebagai backing membran pada
formulasi sediaan bukal film yang mengandung zat aktif Carvedilol. Pada
Penelitian tersebut sebagai backing membran digunakan larutan etil selulosa
sebanyak 10 % (w/v) yang dilarutkan dalam etanol dan ditambahkan propilen
glikol sebagai plasticizer (Viram et al., 2010).
Etil selulosa merupakan bahan tambahan yang tidak toksik, tidak
menimbulkan alergi serta tidak menimbulkan iritasi. Etil selulosa tidak
kompatibel dengan parafin padat dan padatan mikrokristalin (Rowe, Paul and
Marian, 2009).
24 UIN Syarif Hidayatullah
BAB 3
METODE PENELITIAN
3. 1 Alur Penelitian
Evaluasi viskositas
Pembuatan larutan pembentuk patch
Larutan HPMC 1%, 1,5% dan 2%
Pembuatan lapisan HPMC yang mengandung Na diklofenak
Evaluasi Fisik
Keragaman Bobot
Keseragaman Kandungan
Keragaman Ketebalan
Organoleptis
Derajat
Pengembangan pH Permukaan
Uji Waktu
Tinggal
Uji kebocoran
backing
Uji Kemampuan
Difusi Zat Aktif
Kesimpulan
Pembahasan
Analisis Data
Pembuatan lapisan backing
Pembuatan patch bilayer
Larutan etil selulosa
Uji Pelipatan
25
UIN Syarif Hidayatullah
3. 2 Tempat dan Waktu Penelitian
Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Penelitian 1 Prodi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Laboratorium Kesehatan Lingkungan (Kesling) Prodi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian berlangsung 5 bulan, dari bulan Maret 2013 hingga Juli 2013.
3. 3 Alat dan Bahan
3. 3.1 Alat
Timbangan analitik (AND GH-202), viskotester HAAKE 6R, pengaduk
magnetik (WIGGEn HAUSER), mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang),
cetakan film, mikroskop optik (Olympus IX 71, Jepang), disintegrator
(Electrolab ED-2L), desikator, oven (Eyela NDO- 400, Jepang), cutter,
gunting, Franz diffusion cell, spuit, vial, spektrofotometer Uv Visible
(Hitachi U-2910) dan alat-alat gelas yang sering dipakai di laboratorium.
3. 3.2 Bahan
Na Diklofenak (PT. Indofarma), Hidroksi propil metil selulosa 50 cPs
(ShinEtsu, Japan), etil selulosa N100 (Hercules), aquades, gliserin (Brataco,
Indonesia), Propilen glikol (Brataco, Indonesia), Etanol 70%, Etanol 95%
(Mallincrkrodt, USA), Kloroform (Merck, Indonesia), Natrium hidroksida
(Merck, Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (Merck, Indonesia), mukosa
gingival sapi, cyanoacrylate adhesive, silika, kertas saring dan pH indikator
(Merck, Indonesia).
3. 4 Prosedur Kerja
3. 4.1 Formula Patch
Melalui perhitungan, maka tiap 20 gram formula mengandung komponen-
komponen seperti yang ada dalam tabel 3.1.
a. Preparasi lapisan HPMC
HPMC ditimbang secara akurat kemudian dilarutkan dalam 15 gram etanol
70% dalam gelas beker dan diaduk dengan menggunakan pengaduk
magnetik. Ke dalam larutan polimer tersebut ditambahkan gliserin dan
26
UIN Syarif Hidayatullah
diaduk homogen kembali. Dalam beker terpisah, natrium diklofenak
dilarutkan dalam 3 gram etanol 70% dan ditambahkan sejumlah propilen
glikol sebagai peningkat penetrasi, larutan tersebut kemudian diaduk
homogen. Larutan zat aktif tersebut dicampurkan ke dalam larutan polimer
dan diaduk hingga homogen dengan bantuan pengaduk magnetik. Terakhir
larutan polimer yang telah mengandung zat aktif dicukupkan massanya
hingga 20 g. Sebelum dimasukkan dalam cetakan, viskositas larutan polimer
diukur terlebih dahulu. Sebanyak 20 gram larutan HPMC (jumlah ini hasil
optimasi, menghasilkan ketebalan yang sesuai dengan pengamatan visual)
tersebut dituang dalam cetakan dan dikeringkan pada suhu 500C selama 18
jam.
Tabel 3.1. Formula patch Natrium diklofenak
Bahan Satuan Formula
A1 A2 A3
LAPISAN HPMC
Natrium diklofenak gram 0,015 0,015 0,015
HPMC (50 mPa) gram 0,2 0,3 0,4
Gliserin gram 0,08 0,12 0,16
Propilen glikol gram 0,02 0,03 0,04
Etanol (70%) gram 19,685 19,535 19,385
LAPISAN BACKING
Etil selulosa (100 mPa) gram 0,480 0,480 0,480
Propilen glikol gram 0,096 0,096 0,096
Kloroform ml 10 10 10
Etanol (95%) ml 5 5 5
b. Preparasi Pacth
Etil selulosa ditimbang dengan tepat sebanyak 0,480 g dan dilarutkan dalam
10 ml kloroform, kemudian kedalam larutan tersebut ditambahkan propilen
glikol yang telah ditambahkan 5 ml etanol dan diaduk homogen
menggunakan pengaduk magnetik. Pengadukan dilakukan selama 30 menit.
Sebelum dimasukkan dalam cetakan, viskositas larutan polimer diukur
terlebih dahulu. Larutan polimer etil selulosa tersebut kemudian dituang ke
27
UIN Syarif Hidayatullah
dalam cetakan yang telah mengandung lapisan HPMC. Kemudian
dikeringkan selama 8 jam dalam suhu 400C. Setelah semua lapisan patch
kering, patch dipisahkan dari cetakan. Patch dipotong dengan ukuran 8 x 20
mm2.
3. 4.2 Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 6,8
Dibuat dengan mencampur sebanyak 250 ml larutan kalium dihidrogen fosfat
0,2 M dengan 112 ml NaOH 0,2 M kemudian dicukupkan volumenya dengan
air bebas karbondioksida hingga volumenya 1000 ml.
3. 4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum (λmaks)
Dilakukan scanning panjang gelombang dari larutan standar natrium
diklofenak menggunakan spektrofotometer UV-Visibel dengan panjang
gelombang 200-300 nm.
b. Pembuatan Larutan Standar Na Diklofenak
Ditimbang secara akurat 5 mg Na diklofenak kemudian dilarutkan dalam 50
ml buffer fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan induk standar sebesar 100
µg/ml. Dari larutan induk tersebut diambil sebanyak 200, 400, 600, 800 dan
1000 µl kemudian dicukupkan volumenya hingga 10 ml, sehingga dihasilkan
larutan dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Masing-masing larutan
standar natrium diklofenak diambil dan diukur absorbansi larutan tersebut
dengan panjang gelombang 275,5 nm (sesuai hasil scanning sebelumnya).
3. 4.4 Evaluasi Cairan Polimer
3.4.4.1. Evaluasi Viskositas Larutan Polimer (Yogananda & Rakesh, 2012)
Larutan yang mengandung polimer dan plasticizer disiapkan dengan
konsentrasi yang sesuai dengan formula pembuatan patch. Viskositas larutan
polimer dan plasticizer tersebut diukur dengan menggunakan Viskometer
Brookfield. Menggunakan spindel nomor 2 (R2) dengan kecepatan putar 100
rpm pada temperatur ruang.
28
UIN Syarif Hidayatullah
3. 4.5 Evaluasi Patch
3.4.5.1. Organoleptis (Balasubramanian et al., 2012)
Meliputi pengamatan secara mikroskopis dan makroskopis terhadap dari fisik
patch yang dibuat. Meliputi pengamatan warna patch dan tekstur permukaan
patch.
3.4.5.2. Evaluasi Fisik
a. Keragaman bobot (Yogananda & Rakesh, 2012)
Pengujian terhadap keragaman bobot patch dilakukan dengan menimbang 10
buah patch dengan ukuran 8 x 20 mm2
secara acak dari setiap batch
kemudian dihitung massa rata-ratanya dan dibandingkan dengan massa patch
satu per satu kemudian dihitung simpangan bakunya.
b. Keseragaman kandungan (Doshi, 2011 dan Yogananda & Rakesh, 2012)
Diambil patch dari masing-masing formula dengan ukuran 8 x 20 mm2
kemudian dilarutkan dalam 42,5 ml buffer fosfat pH 6,8 dan diaduk dengan
menggunakan magnetik stirer selama 2 jam. Larutan tersebut kemudian
ditambahkan 7,5 ml etanol 96% dan dilakukan pengadukan kembali hingga 4
jam. Larutan kemudian disaring dan dianalisis dengan menggunakan
spektrofotometer Uv-Vis dengan panjang gelombang 275,5 nm. Dengan
blangko yang mengandung patch tanpa zat aktif yang telah dilarutkan dalam
campuran buffer fosfat pH 6,8 dan etanol 96% dengan perbandingan 85:15.
c. Keragaman ketebalan (Yogananda & Rakesh, 2012)
Ketebalan patch diukur dengan mikrometer di tiga titik pada masing-masing
patch, dan kemudian dihitung rata-rata ketebalannya. Ketebalan patch
dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm).
3.4.5.3. Uji Pelipatan (Bindu et al., 2010)
Uji pelipatan ditentukan dengan berulang kali melipat patch di tempat yang
sama sampai patch tersebut patah. Pelipatan patch dilakukan maksimal
sebanyak 300 kali. Jumlah dari berapa kali patch bisa dilipat di tempat yang
sama tanpa berhenti merupakan nilai dari ketahanan lipat patch.
29
UIN Syarif Hidayatullah
3.4.5.3. Pengukuran pH Permukaan (Yogananda & Rakesh, 2012)
Diambil patch secara acak, patch dimasukkan ke dalam wadah yang telah
berisi 0,5 ml aquades (pH 6) selama 120 menit dalam temperatur ruang dan
pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH indikator.
3.4.5.4. Uji Pengembangan (Swelling studies) (Yogananda & Rakesh, 2012)
Pengembangan patch diukur dengan menempatkan patch dari masing-masing
formula dengan ukuran 1 x 2 cm2
ke dalam beaker glass yang mengandung
20 ml larutan buffer fosfat pH 6,8. Bobot patch ditimbang setiap 5 menit,
sebelum ditimbang patch dikeringkan terlebih dahulu dengan tissue.
Penimbangan dilakukan hingga menit ke 30. Derajat pengembangan dihitung
dengan menggunakan persamaan :
Keterangan : w1 = bobot sebelum (gram), w2 = bobot setelah berkontak dengan larutan
buffer (gram).
3.4.5.6. Uji Waktu Tinggal ( in vitro residence time) (Chinna Reddy et al., 2011)
Uji waktu tinggal patch dengan menggunakan modifikasi
disintegrator USP. Menggunakan 800 ml larutan buffer fosfat pH 6,8 yang
dipertahankan suhunya pada 370C sebagai larutan medium. Mukosa dari gusi
sapi segar disiapkan dan direkatkan di atas permukaan kaca dengan bantuan
perekat (cyanoacrylate adhesive). Sebelum patch diletakkan di atas mukosa,
lapisan mukosa terlebih dahulu dibasahi dengan 50 µl larutan buffer fosfat
pH 6,8 dan patch diletakkan di permukaan mukosa dengan sedikit ditekan.
Kaca tersebut dimasukkan ke dalam alat disintegrator. Amati waktu yang
diperlukan hingga patch terlepas dari permukaan mukosa gusi.
3.4.5.7. Uji Kemampuan Penetrasi Zat Aktif (Koyi dan Arshad, 2012)
Menggunakan Franz diffusion cell pada suhu 370C ± 0,2
0C. Mukosa
gusi sapi segar diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor. Patch
diletakkan dengan bagian inti menghadap ke arah mukosa. Kompartemen
% Derajat pengembangan =
x 100
30
UIN Syarif Hidayatullah
reseptor diisi dengan larutan buffer fosfat pH 6,8 dan diaduk secara konstan
dengan kecepatan sedang. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120,
180, 240, 300 dan 360 diambil 1 ml larutan buffer dari kompartemen reseptor
dan ditambahkan juga sejumlah larutan buffer dengan volume yang sama.
Larutan tersebut diencerkan dengan buffer yang sama kemudian dilakukan
analisis dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang
275,5 nm.
Gambar 3.1. Skema dari Franz Diffusion Cell (Koyi dan Arshad, 2012)
3.4.5.7. Uji Kebocoran Backing
Menggunakan Franz diffusion cell pada suhu 370C ± 0,2
0C. Patch diletakkan
dengan bagian backing menghadap ke arah reseptor. Kompartemen reseptor
diisi dengan larutan buffer fosfat pH 6,8 dan diaduk secara konstan dengan
kecepatan sedang. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240,
300 dan 360 diambil 1 ml larutan buffer dari kompartemen reseptor dan
ditambahkan juga sejumlah larutan buffer dengan volume yang sama.
Larutan tersebut diencerkan dengan buffer yang sama kemudian dilakukan
analisis dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang
275,5 nm.
31 UIN Syarif Hidayatullah
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Karakteristik Cairan Polimer
Polimer utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah HPMC,
proses pembentukan larutan polimer dilakukan dengan melarutkan HPMC
dengan berbagai konsentrasi sesuai formula ke dalam etanol 70%. Pemilihan
etanol 70% disebabkan polimer HPMC praktis tidak larut dalam etanol 96%
tetapi dapat larut dalam campuran air dan alkohol (Rowe, Paul and Marian,
2009). Penggunaan etanol sebagai pelarut dalam pembuatan larutan polimer
HPMC sebagai larutan pembentuk film juga telah dilakukan pada formulasi
film natrium diklofenak sebagai sediaan mukoadhesif bukal
(Balasubramanian et al., 2012).
Pengamatan secara visual terhadap organoleptis cairan polimer
pembentuk lapisan HPMC menunjukkan bahwa semua larutan polimer
dengan konsentrasi yang berbeda memiliki kesamaan warna, semua formula
memberikan warna larutan yang jernih. Selain dari pengamatan visual,
dilakukan juga pengamatan pengaruh perbedaan konsentrasi polimer dari
ketiga formula terhadap viskositas larutan. Larutan polimer yang dibentuk
memiliki perbedaan viskositas. Hasil pengukuran viskositas larutan polimer
tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Viskositas larutan polimer
Formula Viskositas (cPs)
A1 30
A2 44
A3 60
Backing 80
32
UIN Syarif Hidayatullah
4. 2 Karakteristik Fisikokimia Patch
Patch yang dibuat terdiri dari dua lapisan, lapisan utama merupakan
lapisan yang mengandung polimer adhesif dan natrium diklofenak sedangkan
lapisan kedua adalah lapisan backing yang berfungsi untuk menahan difusi
natrium diklofenak ke saliva serta untuk memberikan arah difusi zat aktif
yang searah. Patch dibuat dengan metode solven casting, metode ini
memiliki kelebihan pengerjaannya mudah dilakukan. Beberapa penelitian
sebelumnya yang memformulasikan patch untuk sediaan oral juga
menggunakan metode solven casting, beberapa penelitian tersebut diataranya
penelitian yang dilakukan oleh Balasubramanian et al., tahun 2012 yang
memformulasikan sediaan film bukal dengan zat aktif natrium diklofenak.
Secara visual patch dengan formula A1, A2, A3 dan blangko
memiliki bentuk yang penampilan yang serupa. Semua patch berwarna
jernih. Seperti yang dilihat pada gambar 4.1.
A1
A2
A3
Gambar 4.1. Patch dari masing-masing formula. Kiri = patch dari satu
cetakan. Kanan = patch yang berukuran 8x20 mm2.
33
UIN Syarif Hidayatullah
Patch yang terbentuk tidak terlihat adanya pemisahan antara lapisan
adhesif yang mengandung polimer HPMC dengan lapisan backing yang
mengandung polimer etil selulosa. Pada proses pembentukan patch bilayer
lapisan HPMC yang telah terbentuk ditambahkan larutan polimer etil
selulosa. Penggabungan ini tidak menyebabkan adanya perubahan bentuk
dari lapisan HPMC. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 400C selama 8
jam. Pada percobaan pendahuluan pemanasan dilakukan hingga lapisan etil
selulosa kering yaitu membutuhkan waktu selama 6 jam, tetapi lapisan kedua
polimer tersebut tidak saling bersatu. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar
4.2 yang menunjukkan penampakan patch secara mikroskopis dengan
perbesaran 100 kali.
A B
Gambar 4.2. Organoleptis patch. A = patch bilayer yang dikeringkan selama
6 jam (mengalami pemisahan). B = Patch bilayer yang
dikeringkan selama 8 jam (tidak mengalami pemisahan).
Patch yang terbentuk agak kaku, terutama pada lapisan baking.
Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan uji pelipatan pada patch, patch
dilipat pada lokasi yang sama hingga patch robek. Hasil uji pelipatan jika
diambil rata-ratanya menunjukkan bahwa lapisan backing memiliki
ketahanan terhadap pelipatan hingga lipatan ke-25, sedangkan lapisan HPMC
tidak mengalami kerusakan hingga pelipatan ke-300. Penambahan gliserin
sebagai plasticizer sebanyak 40% untuk lapisan HPMC mampu membentuk
lapisan polimer yang tidak mudah sobek. Hasil uji pelipatan dapat dilihat
pada tabel 4.2.
Pemisahan
34
UIN Syarif Hidayatullah
Tabel 4.2. Uji pelipatan patch
Formula Lapisan HPMC Lapisan Backing
A1 > 300 22
A2 > 300 25
A3 > 300 27
Untuk memastikan sediaan patch yang terbentuk memiliki
organoleptis yang serupa dilakukan pengamatan organoleptis secara
mikroskopis. Pengamatan secara mikroskopis juga bertujuan untuk
mengetahui apakah natrium diklofenak dalam sediaan tersebut tidak
mengalami rekristalisasi. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan
bahwa patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai zat aktif dengan
patch yang tidak mengandung zat aktif memiliki penampak yang sama di
bawah mikroskop. Hasil pengamatan di bawah lensa mikroskop dengan
perbesaran 100x menunjukkan bahwa natrium diklofenak yang telah
dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol dan kemudian ditambahkan pada
larutan yang telah mengandung polimer dan plasticizer yang kemudian
dilakukan proses pengeringan tidak mengalami rekristalisasi. Natrium
diklofenak pada masing-masing formula terdispersi secara molekuler dalam
larutan polimer HPMC sehingga hasil pengamatan secara mikroskopis tidak
menunjukkan adanya partikel dari natrium diklofenak. Hasil pengamatan
secara mikroskopis tersebut dapat dilihat pada gambar. 4.3.
Karakteristik fisikokimia patch natrium diklofenak yang berbasis
polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dapat dilihat pada tabel 4.3.
35
UIN Syarif Hidayatullah
A1
A2
A3
Blangko
Na
diklofenak
Gambar 4.3. Penampakan mikroskopis patch. Kiri = gambar mikroskopis
bagian permukaan patch. Kanan = gambar mikroskopis
penampang melintang.
Tabel 4.3. Sifat fisikokimia patch
Formula Bobot (mg) Ketebalan
(µm)
Kandungan Zat Aktif
(µg)
A1 10 ± 1 70 ± 1 814 ± 17
A2 17 ± 0 102 ± 1 851 ± 11
A3 23 ± 2 112 ± 0 800 ± 1
36
UIN Syarif Hidayatullah
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa patch yang dihasilkan
memiliki bobot dan ketebalan yang cukup seragam yang dilihat dari
simpangan baku yang diperoleh. Peningkatan jumlah polimer pada formula
secara langsung menyebabkan peningkatan bobot dan ketebalan patch yang
dibentuk. Bobot patch paling rendah diperoleh dari bobot formula A1 dengan
konsentrasi larutan polimer HPMC terendah yaitu 1%, sedangkan bobot
patch terberat adalah patch dengan formula A3 yang mengandung
konsentrasi larutan polimer HPMC terbanyak yaitu 2%.
Gambar 4.4. Grafik keragaman bobot
Begitu juga ketebalannya, ketebalan maksimal dihasilkan patch
dengan konsentrasi larutan polimer terbesar yaitu 2% sedangkan patch
dengan ketebalan minimal dihasilkan oleh formula A1 yang mengandung
konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1%.
Gambar 4.5. Grafik ketebalan patch
37
UIN Syarif Hidayatullah
Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti yang
telah dilakukan oleh Hamabindu tahun 2012. Dari penelitiannya diketahui
bahwa peningkatan konsentrasi polimer HPMC pada formulasi patch yang
mengandung Cyproheptadine Hydrochloride menunjukkan adanya
peningkatan bobot dan ketebalan dari patch yang terbentuk (Himabindu,
2012). Adanya keseragaman bobot dan ketebalan pada patch yang dibuat
diharapkan memberikan distribusi zat aktif yang seragam, karena zat aktif
yang ditambahkan pada proses preparasi patch sudah dalam bentuk
terdispersi secara molekuler dalam etanol, sehingga keseragaman distribusi
zat aktif pada sediaan dipengaruhi oleh ketebalan patch. Pengujian
kandungan zat aktif dalam sediaan menunjukkan bahwa jumlah zat aktif
dalam sediaan patch yang dibuat sekitar 800-851 µg. Pengujian kandungan
zat aktif menggunakan medium campuran antara buffer posfat pH 6,8 –
etanol 96% dengan perbandingan 85:15. Penggunaan campuran etanol ini
bertujuan untuk meningkatkan kelarutan natrium diklofenak dalam medium
air, karena natrium diklofenak memiliki karakteristik agak sukar larut dalam
air. Sebelum dilakukan pengujian kandungan natrium diklofenak dalam
sediaan patch yang berukuran 8 x 20 mm2
dilakukan pengujian terhadap
perolehan kembali dari natrium diklofenak dalam 1 cetakan. Hasil perolehan
kembali diketahui sebesar 91,148 %.
4.3 pH Permukaan Patch
Tabel 4.4. pH permukaan masing-masing formula patch
Formula pH
A1 6
A2 6
A3 6
pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH indikator. pH
permukaan patch dapat dilihat pada tabel 4.4. Dari tabel tersebut diketahui
pH semua formula dihasilkan sebesar 6. Dari hasil pengukuran pH ini
diharapkan sediaan patch yang akan diaplikasikan pada mukosa gusi
38
UIN Syarif Hidayatullah
diharapkan tidak menimbulkan iritasi pada permukaan mukosa gusi sebab pH
permukaan sediaan patch berada pada range pH saliva yaitu 5,6-7 (Kaul,
Verma, Rawat & Saini, 2011).
4.4 Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Gusi Sapi
Pengujian waktu tinggal patch menggunakan membran gusi sapi
segar yang diambil dari rumah pemotongan hewan. Pengujian dilakukan
menggunakan modifikasi disintegrator USP. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa semua formula patch dapat melekat pada membran mukosa gusi sapi
selama lebih dari 7 jam.
Tabel 4.5. Waktu tinggal patch pada permukaan membran gusi sapi
Formula Waktu Tinggal (jam)
A1 >7
A2 >7
A3 >7
Penambahan polimer HPMC pada formula patch tidak mempengaruhi
waktu pelekatan sediaan pada membran mukosa gusi. Jika dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Doshi et al., tahun 2011, waktu
tinggal patch yang dibentuk pada penelitian ini memiliki waktu tinggal yang
lebih lama pada mukosa gusi. Hasil pengujian waktu tinggal yang telah
dilakukan oleh` Doshi et al., tahun 2011, menunjukkan bahwa film
diklofenak yang mengandung polimer HPMC sebanyak 1,5% memiliki
waktu tinggal yang paling lama sekitar 74 menit dibandingkan dengan film
yang mengandung polimer PVA dan kombinasi PVA - PVP. Selain itu
penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa film yang mengandung HPMC
memiliki kekuatan bioadhesif yang paling tinggi. Selain itu dari penelitian
yang dilakukan oleh Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch
Salbutamol sulfat yang mengandung polimer HPMC sebanya 1,5% memiliki
waktu tinggal yang lebih lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan
dengan patch yang mengandung PVA 10% dengan waktu tinggal 2,20 ± 0,98
jam (Lalatendu et al., 2004)
39
UIN Syarif Hidayatullah
4.5 Derajat Pengembangan
Derajat pengembangan polimer merupakan titik kritis dalam
menentukan sifat bioadhesif dari polimer tersebut. Pelekatan (adhesi) terjadi
dengan cepat ketika pengembangan polimer dimulai tetapi ikatan yang
dibentuk bukan ikatan yang kuat (Doshi, Koliyote & Joshi, 2011).
Tabel 4.6. Derajat pengembangan patch dalam medium buffer fosfat pH 6,8
Waktu
Perendaman (s)
Formula
A1 A2 A3
0 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0
5 97 ± 20 98 ± 53 138 ± 4
10 127 ± 29 158 ± 48 151 ± 12
15 129 ± 21 164 ± 22 168 ± 13
20 151 ± 31 175 ± 38 182 ± 19
25 100 ± 30 161 ± 20 162 ± 12
30 65 ± 32 116 ± 84 143 ± 11
Derajat pengembangan dari masing-masing formula patch dapat
dilihat pada tabel 4.6. Derajat pengembangan yang diamati pada menit ke-20
menunjukkan bahwa derajat pengembangan terbesar dihasilkan oleh patch
dengan formula A3 yang mengandung konsentrasi larutan HPMC sebesar 2%
diikuti oleh formula A2 dan yang terendah adalah formula A1. Adanya
peningkatan bobot setelah dilakukan perendaman beberapa waktu dalam
medium buffer fosfat pH 6,8 diakibatkan adanya absorpsi air. Hasil
pengamatan derajat pengembangan pada gambar 4.6, menunjukkan bahwa
semakin lama waktu perendaman akan menyebabkan meningkatnya derajat
pengembangan patch. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menjelaskan bahwa pada patch dengan komposisi polimer hidrofilik persen
derajat pengembangannya akan meningkat bersamaan dengan peningkatan
waktu perendaman (Shalini, Kumar & Kothiya, 2012). Penurunan derajat
pengembangan pada menit ke 25 dan menit ke 30 disebabkan oleh adanya
disolusi matriks HPMC. Polimer HPMC merupakan salah satu dari bagian
kelompok polimer hidrofilik, sifat polimer hidrofilik tersebut adalah
40
UIN Syarif Hidayatullah
kemampuannya untuk mengembang dengan derajat yang tidak terbatas ketika
berkontak dengan air dan dengan cepat akan mengalami disolusi (Vimal., et
al, 2010).
Gambar. 4.6. Grafik pengembangan patch dalam medium buffer fosfat pH
6,8
Karakteristik derajat pengembangan ini dapat digunakan untuk
meramalkan pelepasan zat aktif dari matriks HPMC. Peningkatan jumlah
polimer pada sediaan akan menyebabkan adanya peningkatan penyerapan air
ke dalam matriks yang dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel pada
lapisan yang telah terhidrasi, dengan adanya peningkatan jumlah polimer
dalam matriks akan menyebabkan peningkatan ketebalan dari lapisan gel
tersebut. Pembentukan lapisan gel ini akan menjadi barier dan dapat
menimbulkan penurunan pelepasan zat aktif melalui matriks HPMC
(Chandra., et al, 2008).
4.6 Kemampuan Penetrasi Natrium Diklofenak
Persentase kumulatif difusi natrium diklofenak melalui membran gusi
sapi diuji secara in vitro dengan menggunakan Franz diffusion cell dengan
luas area difusi sebesar 2 cm2 dengan volume kompartemen reseptor
sebanyak 22,5 ml.
41
UIN Syarif Hidayatullah
Tabel 4.7. Persentase kumulatif difusi zat aktif melewati membran gusi sapi
Waktu (s) % Kumulatif Difusi Zat Aktif
A1 A2 A3
0 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0
15 18 ± 5 16 ± 2 17 ± 0
30 18 ± 5 17 ± 1 13 ± 0
45 20 ± 5 20 ± 1 12 ± 0
60 22 ± 4 19 ± 3 12 ± 1
90 26 ± 3 19 ± 2 13 ± 1
120 28 ± 8 23 ± 2 15 ± 2
180 31 ± 3 22 ± 0 18 ± 3
240 33 ± 1 22 ± 2 20 ± 1
300 32 ± 1 21 ± 1 22 ± 1
360 34 ± 0 21 ± 0 24 ± 1
Tabel 4.8. Jumlah kumulatif zat aktif yang terdifusi melewati membran gusi
sapi
Waktu (s) Kumulatif Difusi Zat Aktif (µg)
A1 A2 A3
0 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0
15 181 ± 50 175 ± 18 172 ± 4
30 180 ± 55 185 ± 12 125 ± 2
45 202 ± 47 213 ± 14 116 ± 4
60 224 ± 42 206 ± 34 124 ± 13
90 265 ± 34 201 ± 21 129 ± 5
120 283 ± 78 245 ± 20 152 ± 23
180 319 ± 31 232 ± 4 177 ± 32
240 339 ± 6 230 ± 24 203 ± 10
300 328 ± 12 219 ± 10 217 ± 10
360 347 ± 1 222 ± 4 237 ± 10
Dari hasil pengujian tersebut diketahui difusi zat aktif yang terbanyak
dihasilkan oleh formula A1 yang diikuti oleh A3 dan difusi terendah
diperoleh dari patch dengan formula A2, jika diurutkan maka difusi zat aktif
dari masing-masing formula yaitu A1>A3>A2. Persen natrium diklofenak
yang terdifusi pada masing-masing formula dapat dilihat pada gambar 4.5,
sedangkan gambar 4.6 menunjukkan jumlah zat aktif yang terdifusi.
42
UIN Syarif Hidayatullah
Gambar 4.7. Grafik persentase difusi zat aktif melalui membran gusi sapi
dari masing-masing formula
Gambar 4.8. Grafik jumlah difusi zat aktif melalui membran gusi sapi dari
masing-masing formula
Dari hasil pengamatan persentase difusi natrium diklofenak dari
matriks polimer pada formula A1 menunjukkan persentase difusi zat aktif
yang terbesar, Sedangkan persentase difusi natrium diklofenak dari formula
A2 tidak menunjukkan adanya peningkatan difusi zat aktif selama
pengamatan. Persentase difusi natrium diklofenak pada formula A2
menunjukkan persentase difusi yang terendah. Pengolahan data secara
statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh formula terhadap persentase
difusi natrium diklofenak dapat dilihat dalam tabel 4.9 dan 4.10.
43
UIN Syarif Hidayatullah
Tabel 4.9. Analisis statistik Kruskal-Wallis test dari data persentase difusi
natrium diklofenak
difusi
Chi-Square 17.171
df 2
Asymp. Sig. .000
Tabel 4.10. Statistik persentase difusi natrium diklofenak
(I)
formula
(J)
formula
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A1 A2 .049091* .024178 .047 .00078 .09741
A3 .092318* .024178 .000 .04400 .14063
A2 A1 -.049091* .024178 .047 -.09741 -.00078
A3 .043227 .024178 .079 -.00509 .09154
A3 A1 -.092318* .024178 .000 -.14063 -.04400
A2 -.043227 .024178 .079 -.09154 .00509
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Dari hasil pengolahan data menggunakan statistik menunjukkan
bahwa hasil uji difusi natrium diklofenak dari masing-masing formula
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang dapat diamati dari nilai
signifikansi yang dihasilkan pada pengujian. Persentase difusi natrium
diklofenak dari formula A2 dan A3 menunjukkan adanya perbedaan tetapi
perbedaan yang dihasilkan tidak signifikan.
Hasil uji difusi natrium diklofenak melalui membran gusi sapi pada
penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang
mempengaruhi difusi natrium diklofenak adalah membran gusi yang
digunakan dalam pengujian (Martin et al., 1993). Adanya perbedaan
ketebalan dari membran yang digunakan dari masing-masing pengujian akan
menyebabkan perbedaan laju difusi natrium diklofenak melewati membran
sehingga dapat mempengaruhi jumlah zat aktif yang terdifusi. Laju difusi
natrium diklofenak dapat dilihat pada tabel 4.11. Hasil pengujian fluks
diketahui bahwa nilai fluks natrium diklofenak terbesar dihasilkan oleh
44
UIN Syarif Hidayatullah
formula A1 yang mengandung konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1%
diikuti oleh A3 yang mengandung konsentrasi larutan polimer 2% dan nilai
fluks terkecil ditunjukkan oleh formula A2 yang mengandung konsentrasi
larutan HPMC 1,5%. Tingginya nilai fluks natrium diklofenak pada formula
A3 dibandingkan dengan formula A2 disebabkan adanya perbedaan
ketebalan membran yang digunakan, ketebalan membran yang digunakan
pada formula A2 lebih tebal dibandingkan dengan membran yang digunakan
pada pengujian formula lainnya. Pengaruh perbedaan ketebalan membran
gusi yang digunakan terhadap laju difusi zat aktif dari masing-masing
formula dapat dilihat pada tabel 4.11.
Tabel 4.11. Fluks natrium diklofenak dari masing-masing formula
Formula Ketebalan (mm) Fluks (µgcm-2
jam-1
)
A1 1,78 ± 0,02 28,917 ± 0,094
A2 2,16 ± 0,01 18,468 ± 0,340
A3 1,88 ± 0,00 19,746 ± 0,869
Gambar 4.9. Fluks natrium diklofenak
Berdasarkan pengolahan data melalui statistik diketahui bahwa
terdapat perbedaan fluks difusi dari masing-masing formula. Hasil ini dapat
dilihat pada tabel 4.12. Perbedaan fluks difusi natrium diklofenak dari
formula A2 dan A3 terlihat berbeda secara tidak signifikan. Perbedaan fluks
dari masing-masing formula dapat dilihat pada tabel 4.13.
45
UIN Syarif Hidayatullah
Tabel 4.12. Pengolahan data fluks secara statistik menggunakan ANOVA
Tabel 4.13. Statistik fluks natrium diklofenak
4. 7 Kebocoran Backing Membran
Untuk meningkatkan jumlah natrium diklofenak yang difusi melalui
membran gusi maka sediaan patch diberikan suatu lapisan backing. Lapisan
backing ini tidak hanya berfungsi untuk menghambat difusi natrium
diklofenak ke arah rongga mulut sehingga dapat masuk ke saluran
pencernaan fungsi lain dari lapisan backing ini untuk mengoptimalkan difusi
natrium diklofenak dengan cara memberikan difusi yang searah (Yogananda
& Rakesh, 2012).
Lapisan etil selulosa dibuat dengan melarutkan etil selulosa dalam
campuran etanol 96% dan kloroform dengan perbandingan 10:15.
Penggunaan campuran pelarut organik tersebut mengikuti formula yang telah
dicobakan oleh Manoj, Prabhushankar & Sathes tahun 2010. Penelitian
tersebut memformulasikan Metronidazol sebagai sediaan film periodontal.
Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran pelarut
organik digunakan untuk menghasilkan film yang tidak larut dalam air
fluks
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 123.809 2 61.904 12.568 .007
Within Groups 29.554 6 4.926
Total 153.363 8
(I) patch
(J)
patch
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A1 A2 8.598667* 1.812132 .003 4.16454 13.03279
A3 6.839333* 1.812132 .009 2.40521 11.27346
A2 A1 -8.598667* 1.812132 .003 -13.03279 -4.16454
A3 -1.759333 1.812132 .369 -6.19346 2.67479
A3 A1 -6.839333* 1.812132 .009 -11.27346 -2.40521
A2 1.759333 1.812132 .369 -2.67479 6.19346
46
UIN Syarif Hidayatullah
sehingga diharapkan lapisan tersebut dapat memberikan aliran zat aktif yang
searah dengan sangat baik (Rowe, Paul and Marian, 2009). Hasil pengujian
kebocoran backing dapat dilihat pada tabel 4.10. Difusi natrium diklofenak
dari membran etil selulosa berkisar antara 0 - 2,5%, hal ini menunjukkan
bahwa membran etil selulosa dapat menahan difusi zat aktif ke saliva dan
memberikan difusi zat aktif yang searah sehingga dapat mengoptilmalkan
difusi natrium diklofenak melewati membran.
Tabel 4.14. Persentase Kumulatif Kebocoran backing
Waktu (s) % Kumulatif Kebocoran Backing
0 0,00 ± 0
15 0,65 ± 0
30 1,14 ± 1
45 1,37 ± 1
60 1,67 ± 1
90 1,82 ± 1
120 1,89 ± 1
180 2,10 ± 1
240 2,51 ± 1
300 2,27 ± 1
360 2,16 ± 0
Pengujian kebocoran backing dengan menggunakan Franz diffusion
cell ini terdapat kelemahan. Hasil kebocoran yang dapat diamati hanya
kebocoran zat aktif dari permukaan atas saja, sedangkan kebocoran zat aktif
dari sisi samping patch tidak dapat terukur, sehingga diperlukan metode lain
yang dapat mengukur kebocoran zat aktif dari semua sisi sediaan.
Penggunaan etil selulosa sebagai lapisan backing memiliki
kelemahan. Pada proses pembentukan lapisan backing dari etil selulosa
menggunakan campuran etanol 96% dan kloroform. Penggunaan kloroform
dalam formulasi sediaan mukoadhesif dikhawatirkan keamanannya, adanya
sisa kloroform dalam sediaan dikhawatirkan dapat menimbulkan efek yang
tidak diharapkan seperti hepatotoksik dan reaksi neprotoksik. Produk
kesehatan tidak boleh mengandung kloroform lebih dari 0,5% (w/w atau v/v)
(Martindal ed 35). Untuk memastikan keamanan dari lapisan backing perlu
dilakukannya pengujian residu pelarut dalam sediaan.
47
UIN Syarif Hidayatullah
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan
1. Semua formula patch dapat melekat di permukaan membran gusi sapi
selama lebih dari 7 jam.
2. Persen kumulatif difusi natrium diklofenak pada jam ke-enam dari
matriks HPMC pada formula A1, A2 dan A3 berturut-turut adalah 34 ± 0
%; 21 ± 0%; 24 ± 1%.
3. Fluks difusi natrium diklofenak pada formula A1, A2 dan A3 berturut-
turut adalah 28,917 ± 0,094 µgcm-2
jam-1
; 18,468 ± 0,340 µgcm-2
jam-1
;
19,746 ± 0,869 µgcm-2
jam-1
.
4. Membran backing dapat menahan difusi natrium diklofenak menuju
saliva dan memberikan difusi yang searah.
5. Patch yang terbaik ditunjukkan oleh formula A1.
5. 2 Saran
1. Diperlukan pengujian kebocoran zat aktif melalui sisi samping dari
patch.
2. Diperlukan pelarut organik yang lebih aman untuk membentuk membran
backing.
3. Diperlukan pengujian sisa pelarut organik dalam sediaan untuk
memastikan keamanan sediaan patch.
4. Diperlukan uji stabilitas patch yang mengandung natrium diklofenak.
5. Dilakukan uji pelepasan natrium diklofenak dari matriks HPMC.
6. Diperlukan pengujian aktivitas anti-inflamasi dari patch.
48
UIN Syarif Hidayatullah
DAFTAR PUSTAKA
Akhter, Md Habban, Jeetendra G, Mohiuddin dan Shah F. 2012. A Comprehensive
Review on Buccal Drug Delivery Sistem. International Journal of
Pharmaceutical Research and Development. Vol 3 (11). Hal: 59 - 77.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal : 775
Balasubramanian, Narayanan N, Senthil K, Vijaya K, Azhagesh. 2012.
Formulation and evaluation of mucoadhesive buccal films of Diclofenac
Sodium. Indian J. Innovations Dev, Vol. 1, Hal : 68-73.
Bhardwaj, Nishant, Mukhopadhyay S, Tangri P dan Goswami L. 2012. Buccal
Mucosa : A Novelistic Route of Drug Delivery. International Journal of
Pharmaceutical and Chemical Sciences Vol 1(3). Hal : 837- 849.
Bindu, TVL et al., 2010. Preparation and evaluation of ciprofloxacin loaded
chitosan-gelatin composite films for wound healing activity. International
Journal of Drug Delivery. Hal : 175.
Cawson. R. A dan E. W. Odell. 2008. Oral Pathology and Oral Medicine, Eight
Edition : Elsevier. Hal : 77- 98
Chandra, Ramesh, Vamshi, Kishan dan Madhsudan. 2008. Developmen of
Mucoadhesive Patches for Buccal Administration of Prochlorperazine :
Evaluation of In Vitro Release and Mechanical Properties. International
Journal of Pharmaceutical Sciences adn Nanotechnology. Volume 1. Hal :
64-70
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pedoman Pelayanan
Farmasi Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan : Departemen Kesehatan R.I. Hal : 38
Doshi, Abha, Koliyote S, Joshi B. 2011. Design And Evaluation of Buccal Film of
Diclofenac Sodium. International Journal Of Pharmacy And Biological
Sciences. Volume 1. Hal : 17-30.
Houwink, et al. 1993. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan.Yogyakarta : Gajah
Mada University Press. Hal : 160-183
Himabindu. S, D. Sathish dan Shayeda. 2012. Formulation and In-vitro
Evaluation of Mucoadhesive Buccal Patches of Cyproheptadine
Hydrochloride. Journal of Applied Pharmaceutical Science. Volume 2.
Hal 196-201
Izhar, Ahmed Syed dan John Paul. 2012. Buccal Mucoadhesive Based Drug
Delivery Devices. World Journal of Pharmaceutical Research Vol 1(3).
Hal : 548-575.
49
UIN Syarif Hidayatullah
Kaul, Mahima, Surender V, Aruna R dan Sapna S. 2011. An Overview on Buccal
Drug Delivery System. International Journal of Pharmaceutical Science
Research Vol. 2(6). Hal : 1303-1321.
Koyi, Pradeep dan Arshad Bashir Khan. 2013. Buccal Patches: A Review.
International Journal of Pharmaceutical Science Research. Vol 4. Hal : 83
– 89.
Kumar V, Aggarwal G, Zakir F dan Choudhary A. 2011. Buccal Bioadhesive
Drug Delivery- A Novel Technique. International Journal of Pharmacy
and Biological Sciences, Hal : 129-144.
Lalatendu Panigrahi, Snigdha P dan Saroj K.G. 2004. Design and
Characterization of Mucoadhesive Buccal Patches of Salbutamol
Sulphate. Acta Poloniae Pharmaceutica – Drug Research. Vol 61 No. 5
Hal : 351 – 360.
Latheeshjlal, Sunil M, Vaidya M, G. Swetha dan Phanitejaswini. 2011.
Muccoadhesive Drug Delivery System : An Overview. International
Journal of PharmTech Research Vol 3(1). Hal : 42-49.
Lohani, Alka, Neelima P dan Rajeshwer K. 2011. Formulation and
Characterization of Mucoadhesive Buccal Film of Ranitidine
Hydrochloride. International Journal of Pharmaceutical Science Research
Vol. 2(9). Hal : 2457-2462.
Manoj Kumar, G.L Prabhushankar dan P.R. Sathesh babu. 2010. Formulation and
In-Vitro Evaluation of Periodontal Films Containing Metronidazole.
International Journal of PharmTech Research Vol 2(4). Hal : 2188-2193
Martin, Alfred, James Swarbrick, and Arthur Cammarata. 1993. Farmasi Fisik
Jilid 2 Edisi III. Alih Bahasa: Yoshita. UI Press, Jakarta. Hal : 828-844
Mohammed, Gulzar, NM Harish, R Narayan C dan Prabhakar P. 2009.
Formulation of Chitosan-Based Ciprofloxacin and Diclofenac Film For
Periodontitis Therapy. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 8
(1). Hal : 33-41.
Murtaza, Ghulam. 2012. Ethylcellulose Microparticles: A Review. Acta Poloniae
Pharmaceutica-Drug Research, Vol. 69 No. 1. Hal : 11- 22.
Reynold, James E F. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia. Twenty Eight
Edition (35th
Edition). London : The Pharmaceutical press.
Rowe, R.C., Paul, J.S., and Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipient Sixth Edition. Chicago, London : Pharmaceutical Press. Hal :
262-267
Rowe, R.C., Paul, J.S., and Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipient Sixth Edition. Chicago, London : Pharmaceutical Press. Hal :
326-329
Rubin, Peter. 2000. Peresepan Untuk Ibu Hamil edisi 2. Jakarta : Hipokrates. Hal :
65-77
50
UIN Syarif Hidayatullah
Roy, S et al.,2009. Polymers in Mucoadhesive Drug Delivery System: A Brief
Note. Designed Monomersand Polymers 12. Hal ; 483-495
Shalini, G Kumar dan P Kothiyal. 2012. Formulation and Evaluation of Buccal
Patches of Simvastatin by Using Different Polymers. The Pharma
Innovation Vol. 1 No. 7. Hal : 87-92
Shravan, Kumar, Murali K, Nagaraju T, Gowthami R, Rajashekar M. 2012.
Comprehensive Review on Buccal Delivery. International Journal of
Pharmacy Vol 2(1). Hal : 205-217.
Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2007. Obat Obat Penting Edisi ke Enam.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal : 321-347
Venkatalakshmi, Yajaman S, Madhuchudana C, Sasikala C dan Mohan V.
2012.Buccal Drug Delivery Using Adhesive Polymeric Patches.
International Journal of Pharmaceutical Science Research; Vol. 3(1), Hal
: 35-41.
Vimal, A.B Gupta, Raj K, Jaideep S dan Brajesh K. 2010. Mucoadhesive
Polymers: Means of Improving the Mucoadhesive Properties of Drug
Delivery System. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. Vol
2(5). Hal :418-432.
Viram, Parmar, et al. 2010. Formulation Development and Evaluation of Buccal
Films Of Carvedilol.International Journal of Pharmaceutical Science
Research. Vol 1. Hal : 149 – 156.
Wilmana, Freddy dan Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke Lima.
Jakarta : Gaya Baru. Hal : 230-246
Wongso, Sayan. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. Hal : 212-219
Yogananda & Rakesh dan Rakesh B. 2012. An Overview on Mucoadhesive
Buccal Patches. International Journal of Universal Pharmacy and Life
Sciences. Vol 2(2). Hal : 348- 373.
51
UIN Syarif Hidayatullah
LAMPIRAN
52
UIN Syarif Hidayatullah
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Gambar .......................................................................................... 53-55
Lampiran Tabel ............................................................................................... 55-60
Lampiran Perhitungan ...................................................................................... 60-62
Lampiran Sertifikat ......................................................................................... 63-65
53
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 1. Gambar Alat-Alat yang Digunakan
HAAKE Viskotester 6R Mikrometer Digital Mitutoyo
Franz Difusion Cell
Lampiran 2. Patch setelah dilakukan digunakan pengujian
Keterangan : A = patch setelah digunakan evaluasi persentase derajat
pengembangan, B = patch yang belum digunakan untuk
pengujian.
A B
54
55
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 6. Data Bobot Patch
Formula Bobot Hari ke- (mg)
0 1 2 3 4 7 8
A1
1 251 230 227 226 226 226 226
2 247 230 226 224 223 223 223
3 247 232 225 224 224 224 224
A2
1 379 347 342 341 341 341 341
2 380 350 350 348 348 348 348
3 389 366 356 354 353 353 353
A3
1 522 477 471 470 470 470 470
2 532 485 476 474 474 474 474
3 540 493 479 477 477 477 477
B
1 338 327 309 306 305 305 305
2 340 311 308 307 307 307 307
3 349 319 313 313 313 313 313
56
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 7. Data Keragaman Bobot Patch
Formula
Bobot (mg) Bobot
rata-
rata
SD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A1
1 10 8 10 12 9 7 7 11 10 11 9,50 1,716
2 12 10 12 11 12 10 12 13 10 10 11,20 1,135
3 12 9 11 11 10 9 10 11 10 9 10,20 1,033
A2 1 18 18 21 17 18 15 19 15 17 16 17,4 1,838
2 19 16 16 18 18 17 17 16 17 17 17,1 0,994
A3
1 23 21 25 25 27 23 27 23 25 25 24,50 1,958
2 21 26 23 23 24 21 23 26 23 23 23,30 1,703
3 20 19 19 20 20 19 23 23 23 23 20,90 1,853
Lampiran 8. Ketebalan Patch
Formula Ketebalan (µm)
Rata-rata SD 1 2 3
A1
1 70 70 68 69,333 1,155
2 74 70 72 72,000 2,000
3 72 70 68 70,000 2,000
A2
1 101 104 102 102,667 1,155
2 101 101 103 101,667 1,155
3 102 100 99 100,333 1,528
A3
1 111 111 112 111,889 0,782
2 113 112 111 112,000 1,000
3 112 112 113 112,333 0,577
57
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 9. Keseragaman Kandungan Zat Aktif
Formula Absorbansi x FP Zat Aktif
(mg) Rata-rata SD
A1
1 0,123 3,253 5 813,190
814 17 2 0,126 3,327 5 831,713
3 0,121 3,188 5 796,990
A2
1 0,127 3,355 5 838,657
851 11 2 0,130 3,438 5 859,491
3 0,129 3,420 5 854,861
A3
1 0,121 3,197 5 799,306
800 1 2 0,122 3,206 5 801,620
3 0,121 3,197 5 799,306
Lampiran 10. Derajat Pengembangan
Formula A1
Waktu
perendaman
(s)
% derajat pengembangan Rata-rata SD
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,0
5 75,37 101,50 114,25 97,04 19,8
10 98,77 124,30 156,95 126,67 29,2
15 152,51 112,01 121,02 128,51 21,3
20 161,77 115,67 174,31 150,58 30,9
25 69,27 103,30 128,10 100,22 29,5
30 29,47 91,46 73,32 64,75 31,9
Formula A2
Waktu
perendaman
(s)
% derajat pengembangan Rata-rata SD
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,0
5 123,33 132,89 37,39 97,87 52,6
10 101,76 184,83 186,53 157,71 48,5
15 138,74 177,05 175,40 163,73 21,7
20 165,36 217,63 142,71 175,23 38,4
25 141,24 181,93 160,99 161,38 20,3
30 20,51 173,14 155,61 116,42 83,5
58
UIN Syarif Hidayatullah
Formula A3
Waktu
perendaman
(s)
% derajat pengembangan Rata-rata SD
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,0
5 123,33 132,89 37,39 97,87 52,6
10 101,76 184,83 186,53 157,71 48,5
15 138,74 177,05 175,40 163,73 21,7
20 165,36 217,63 142,71 175,23 38,4
25 141,24 181,93 160,99 161,38 20,3
30 20,51 173,14 155,61 116,42 83,5
Lampiran 11. Waktu Tinggal Patch Pada Permukaan Membran Gusi Sapi.
Formula Waktu Tinggal (menit)
30 60 90 120 180 210 240 270 300 330 360 390 420
A1
1 + + + + + + + + + + + + +
2 + + + + + + + + + + + + +
3 + + + + + + + + + + + + +
A2
1 + + + + + + + + + + + + +
2 + + + + + + + + + + + + +
3 + + + + + + + + + + + + +
A3
1 + + + + + + + + + + + + +
2 + + + + + + + + + + + + +
3 + + + + + + + + + + + + +
59
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 12. Difusi Natrium Diklofenak Melalui Membran Gusi Sapi
Waktu
(s)
% Kumulatif Difusi Natrium Diklofenak
A1 A2 A3
1 2 Rata-
rata SD 1 2
Rata-
rata SD 1 2
Rata-
rata SD
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
15 14,25 21,21 17,73 4,92 15,30 17,65 16,48 1,66 16,91 17,53 17,22 0,44
30 13,86 21,54 17,70 5,43 16,57 18,14 17,36 1,11 12,66 12,37 12,52 0,20
45 16,60 23,07 19,84 4,57 21,00 19,11 20,05 1,34 11,94 11,33 11,63 0,43
60 19,13 24,93 22,03 4,11 21,59 17,10 19,34 3,18 13,35 11,46 12,40 1,34
90 23,68 28,37 26,03 3,32 20,33 17,49 18,91 2,01 13,24 12,52 12,88 0,51
120 22,36 33,15 27,76 7,63 21,75 24,37 23,06 1,86 16,85 13,60 15,23 2,30
180 29,23 33,49 31,36 3,01 21,52 22,03 21,77 0,36 19,98 15,44 17,71 3,21
240 33,71 32,86 33,28 0,60 23,27 20,05 21,66 2,27 21,03 19,64 20,33 0,98
300 31,38 33,07 32,23 1,20 21,29 19,97 20,63 0,93 22,40 20,97 21,69 1,01
360 34,01 34,16 34,09 0,11 21,10 20,56 20,83 0,38 24,43 22,96 23,70 1,04
Lampiran 13. Kebocoran Backing
Waktu (s)
% kumulatif kebocoran Backing
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rata-Rata SD
0 0,000 0,000 0,000 0,000 0,00
15 0,108 1,028 0,822 0,652 0,48
30 0,529 1,134 1,755 1,139 0,61
45 0,616 1,487 1,999 1,367 0,70
60 0,809 1,896 2,307 1,671 0,77
90 1,186 1,790 2,497 1,824 0,66
120 1,184 1,724 2,769 1,892 0,81
180 1,557 2,622 2,130 2,103 0,53
240 1,671 3,460 2,413 2,515 0,90
300 1,714 2,760 2,334 2,269 0,53
360 1,887 2,375 2,209 2,157 0,25
60
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 14. Absorbansi larutan standar Natrium diklofenak
Lampiran 15. Contoh perhitungan persentase difusi natrium diklofenak dari
formula A1.
Diketahui : Y0 = 0,000
Y15 = 0,046
Y30 = 0,048
y = 0,0059 + 0,036 x
Ditanya : C0 = ?
C15 = ?
C30 = ?
% difusi zat aktif pada t0 = ?
% difusi zat aktif pada t15 =?
% difusi zat aktif pada t30 =?
A. Mencari nilai x pada menit ke-0
y = 0,0059 + 0,036 x
0,000 = 0,0059 + 0,036 x
C0 = 0,000 ppm
B. Mencari nilai x pada menit ke-15
y = 0,0059 + 0,036 x
0,046 = 0,0059 + 0,036 x
C15 = 1,114 ppm
C. Mencari nilai x pada menit ke-30
y = 0,0059 + 0,036 x
Konsentrasi Absorbansi
0 0,000
2 0,081
4 0,151
6 0,228
8 0,298
10 0,359
61
UIN Syarif Hidayatullah
% difusi =
x 100
Difusi = x0 X Volume (L) X Faktor Pengenceran
Difusi = (x15 + FK0) X Volume (L) X Faktor Pengenceran
% difusi =
x 100
0,048 = 0,0059 + 0,036 x
C30 = 1,169 ppm
D. Zat aktif yang terdifusi pada menit ke 0
Difusi = 0,000 (
)X 0,0225 (L) X 5
Difusi = 0 mg
% difusi =
x 100
% difusi =
E. Zat aktif yang terdifusi pada menit ke 15
Difusi = (x15 + FK0) X Volume (L) X Faktor Pengenceran
Faktor koreksi t0 = C0 x
Faktor koreksi = 0,000 x
Faktor koreksi = 0,000
Difusi = (1,114 (
) + 0,000) X 0,0225 (L) X 5
Difusi = 0,125 mg
% difusi =
x 100
% difusi =
62
UIN Syarif Hidayatullah
Difusi = (x30 + FK0 + FK15) X Volume (L) X Faktor Pengenceran
% difusi =
x 100
F. Zat aktif yang terdifusi pada menit ke-30
Difusi = (x30 + FK0 + FK15) X Volume (L) X Faktor Pengenceran
Faktor koreksi t15 = C15 x
Faktor koreksi = 1,114 x
Faktor koreksi = 0,050
Difusi = (1,169 (
) + 0,000 + 0,050) X 0,0225 (L) X 5
Difusi = 0,137 mg
% difusi =
x 100
% difusi =
Lampiran 16. Contoh perhitungan fluks difusi natrium diklofenak dari formula
A1.
Diketahui : M = 347,00 µg
t = 6 jam
s = 2 cm2
M = ?
J = ?
J =
J =
J = 28,917 µg cm-2
jam-1
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 17. Sertifikat analisis natrium diklofenak
64
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 18. Sertifikat analisis HPMC
65
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 19. Sertifikat analisis etil selulosa
Recommended