View
13
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
gelombang
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya
Undang-undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung tepatnya tanggal 21 Nopember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung menjadi propinsi yang ke-33 dari seluruh Propinsi di Indonesia. Propinsi ini
secara administratif dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Bangka,
Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan,
Kabupaten Belitung, kabupaten Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang.
Pembentukan propinsi baru mencanangkan berbagai rencana untuk
pembangunan. Namun efek negatifnya adalah mengendurnya peraturan untuk
praktek penambangan timah dasar laut yang dahulu hanya dilakukan oleh PT.Timah.
Hal itu mengakibatkan bertambahnya praktek tambang ilegal di Selat Bangka.
Selat Bangka sudah terkenal dengan kekayaan alam berupa timahnya sejak
300 tahun yang lalu. Eksploitasi timah di Selat Bangka dilakukan dengan
penambangan lepas pantai dan penambangan darat. Penambangan lepas pantai di
Selat Bangka dilakukan dengan pengerukan tanah dasar laut yang menyebabkan
rusaknya bentuk topografi dasar laut. Akibat yang ditimbulkan adalah bentuk
topografi dasar laut perairan Bangka menjadi lebih curam sehingga daya abrasi
pantai menjadi semakin kuat. Kerusakan menjadi lebih parah dengan maraknya
penambangan ilegal dan penambangan legal yang masih berlangsung.
Kegiatan penambangan timah lepas pantai di dasar laut yang bersifat legal
melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal isap.
Cara kerja dari kedua alat ini adalah dengan menggali dan menyedot pasir timah
yang ada di dasar laut. Cara yang sama juga dilakukan dalam penambangan ilegal
dengan menyelam langsung ke bekas bekas lubang penambangan timah legal yang
telah ditinggalkan, lalu menyedot pasir timah dengan mesin pompa. Hal itu tentunya
2
akan menyebabkan dasar laut menjadi tidak teratur akibat dari lubang lubang yang
ditimbulkan dari kegiatan penggalian dan pengisapan pasir timah lepas pantai.
Lubang lubang ini dapat diketahui melalui penyajian informasi perubahan
bentuk topografi dasar laut perairan Selat Bangka. Penyajian informasi yang
dilakukan berupa analisis perubahan bentuk topografi dasar laut di perairan Selat
Bangka. Data pengukuran batimetri dasar laut perairan Selat Bangka dan data
pendukung lainnya diperlukan sebagai bahan untuk menganalisis perubahan bentuk
topografi dasar lautnya. Analisis perubahannya dilakukan dengan membandingkan
topografi dasar laut sebelum dan sesudah pembentukan propinsi Bangka Belitung.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi dari bentuk topografi dasar
laut perairan Selat Bangka dalam bentuk visual tidak langsung sehingga bisa dilihat
bentuk topografi dasar laut tersebut sebelum dan sesudah tahun 2000 di dasar laut
Selat Bangka.
I.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai perubahan
yang terjadi di Selat Bangka dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2012 akibat
penambangan timah di dasar laut. Berdasarkan permasalahan tersebut maka
pertanyaan yang diajukan sebagai berikut :
1. Bagaimana perubahan bentuk topografi dasar laut Selat Bangka akibat
penambangan timah lepas pantai?
2. Berapa besarnya perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di dasar
laut Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai?
I.3 Batasan Masalah
Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Area penelitian mencakup wilayah Selat Bangka bagian selatan dengan
koordinat 23859 24731 LS dan 1054744 1055427 BT.
2. Penelitian ini menggunakan 2 epoch, peta batimetri tahun 1996 dalam bentuk
digital dan data pengukuran batimetri bulan Juni 2012 di Selat Bangka.
Penelitian ini dibatasi hanya dari 2 data tersebut walaupun penambangan
3
timah sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda dikarenakan
ketersediaan data yang terbatas.
3. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode analisis
perubahan mengunakan selisih kedalaman dan nilai volume yang dihasilkan
antar 2 epok.
4. Hasil yang dicapai adalah peta perubahan bentuk topografi dasar laut Selat
Bangka.
I.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menyajikan informasi mengenai perubahan bentuk topografi dasar laut Selat
Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.
2. Mengetahui besar perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di Selat
Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.
I.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu didapatkan informasi yang
lengkap tentang bentuk topografi dasar laut di Selat Bangka dan perubahan
kedalaman serta volume yang dihasilkan terhadap bentuk topografi dasar laut akibat
penambangan timah lepas pantai di Selat Bangka.
I.6 Tinjauan Pustaka
Poerbandono (2005) menyatakan bahwa penentuan kedalaman titik
pemeruman, merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu
kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar
perairan. Menurut prinsip dan karakter teknologi yang digunakan penentuan
kedalaman dapat dilakukan dengan metode mekanik, optik atau akustik.
Wibawa, H. K. (2006) meneliti tentang hasil analisis pada hasil survei hidro-
oseanografi di kawasan rencana pelabuhan Oswald Siahaan, tepatnya di Desa
4
Labuhan Angin, Tapian Nauli, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menghasilkan
kontur topogafi yang relatif datar (kemiringan 0 2%), pengaruh arus terhadap
perairan relatif kecil (< 0.3 m/dt),tinggi gelombang permukaan angin yang relatif
kecil (< 10 cm), dan sedimentasi serta kadar garam relatif kecil. Kesimpulan dari
penelitian tersebut menyatakan bahwa kawasan Labuhan Angin di Teluk Tapian
Nauli sangat ideal untuk menjadi lokasi rencana pembangunan pelabuhan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis beracuan pada prinsip dan cara
pengukuran batimetri untuk melakukan analisis perubahan topografi dasar laut
menggunakan 2 buah peta batimetri yang dihasilkan dari hasil 2 pengukuran
batimetri dalam kurun waktu yang berbeda. Penulis melakukan koreksi terhadap data
batimetri dengan koreksi tranducer dan koreksi pasang surut agar data kedalaman
hasil ukuran direduksikan ke bidang referensi tertentu. Data koordinat tersebut
kemudian diproses menjadi peta batimetri lalu dibandingkan dengan peta batimetri
lain yang telah terkoreksi untuk mengetahui perubahan kedalaman dan volume yang
dihasilkan.
I.7 Landasan Teori
I.7.1 Survei Hidrografi
Poerbandono (2005) mengatakan hidrografi adalah cabang ilmu yang
berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat dan bentuk dasar perairan
serta dinamika badan air untuk tujuan navigasi dan aktivitas kelautan lainnya.
Fenomena dasar perairan meliputi batimetri atau topografi dasar laut, jenis material
dasar laut dan morfologi dasar laut. Dinamika badan air meliputi pasang surut dan
arus. Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika badan air dsistem
referiperoleh melalui kegiatan survei hidrografi. Data tersebut diolah dan disajikan
sebagai informasi geospasial yang mengacu pada suatu sistem referensi tertentu.
Survei hidrografi dalam penelitian ini meliputi :
1. Survei topografi
2. Survei batimetri
3. Pengamatan pasang surut air laut
5
I.7.1.1. Survei topografi. Survei topografi adalah pemetaan permukaan bumi
fisik dan kenampakan hasil budaya manusia. Pengukuran dilakukan secara langsung
untuk mendapatkan data teristris berupa data azimuth, data ukuran sudut dan jarak,
serta data elevasi. Data data tersebut diperlukan untuk penggambaran topografi
daerah tersebut berupa peta topografi. Kegiatan dalam survei topografi meliputi
(Basuki, 2006):
1. Persiapan
Persiapan dalam melakukan survei meliputi persiapan peralatan,
perlengkapan dan personil. Masing masing persiapan harus dipastikan
lengkap sebelum terjun ke lapangan.
2. Survei pendahuluan
Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat keadaan lapangan secara
menyeluruh. Hasil dari survei ini dapat menentukan teknik pengukuran
dan posisi titik titik kerangka peta (bench mark) yang dapat digunakan
dalam pengukuran.
3. Survei pengukuran
Survei pengukuran merupakan kegiatan untuk mendapatkan
kerangka kontrol pemetaan dan detil daerah pengukuran. Bench mark
(BM) yang sudah dipasang dan ditandai menjadi titik titik kontrol
pemetaan dan titik ikat pengukuran detil. Titik titik BM juga digunakan
sebagai titik kontrol pemeruman pada survei batimetri.
Titik titik tersebut diukur jarak, azimuth, sudut dan elevasinya
terhadap titik BM lainnya dalam suatu poligon. Azimuth diukur untuk
memberikan orientasi arah utara pada kerangka kontrol pemetaan.
Pengukuran posisi detil dilakukan dengan pengikatan pada kerangka peta
dengan metode jarak dan sudut.
I.7.1.2. Survei batimetri. Survei batimetri adalah kegiatan untuk menentukan
posisi titik di dasar perairan dalam suatu koordinat tertentu . Pengukuran dilakukan
dalam lajur lajur pengukuran (pemeruman) yang diikatkan pada titik ikat di darat.
Hasil kegiatan ini diproses menjadi model bentuk topografi dasar perairan yang
divisualisasikan dalam bentuk peta batimetri. Tahap tahap kegiatan survei
6
batimetri terdiri dari penentuan posisi horizontal pemeruman (x,y), penentuan
kedalaman (h), dan pengamatan pasang surut air laut (Wibawa, 2006).
1. Penentuan posisi horizontal
Salah satu metode pengikatan untuk menentukan posisi horizontal titik
pemeruman adalah dengan metode perpotongan ke belakang. Titik
pemeruman ditentukan dari titik ikat yang telah diketahui koordinatnya. Titik
pemeruman diukur sudutnya terhadap titik ikat yang berada di daratan pantai.
Hasil ukuran sudut digunakan untuk mendapatkan nilai azimuth yang
menunjukkan arah utara. Nilai azimuth tersebut digunakan untuk
mendapatkan koordinat titik pemeruman dari titik ikat. Hasil akhirnya berupa
posisi horizontal (x,y) titik pemeruman yang telah terikat dengan titik ikat
atau titik acuan dengan sistem koordinat yang sama dengan titik acuan.
2. Penentuan kedalaman laut
Penentuan kedalaman laut dilakukan dengan kegiatan pemeruman.
Pemeruman adalah penentuan kedalaman dasar laut yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran kondisi topografi dasar laut. Alat yang digunakan
adalah alat perum gema (echosunder). Prinsip kerja alat ini adalah dengan
mengukur selang waktu yang diperlukan pulsa gelombang suara untuk
menempuh jarak dari tanducer ke dasar laut dan kembali lagi ke tranducer.
Tranducer adalah perangkat dari echosounder yang diletakkan di bawah air.
Tranducer berfungsi mengubah pulsa energi listrik menjadi energi akustik
agar dapat merambat di dalam air dan mengubahnya kembali menjadi energi
listrik sehingga didapatkan bacaan kedalaman yang terukur. Tranducer
dipasang tegak lurus bidang permukaan laut pada sisi luar di tengah-tengah
bagian buritan dan haluan dengan kedalaman yang sesuai sehingga apabila
kapal bergerak vertikal akibat gelombang, bagian bawah transducer tetap
berada di bawah permukaan air. Sinkronisasi data kedalaman dan posisi
horizontal dilakukan secara otomatis oleh firmware (software yang berada di
dalam alat). Letak tranducer tidak tepat di permukaan air, sehingga perlu
dilakukan koreksi draft tranducer pada masing masing ukuran.
Penambahan bacaan kedalaman (h) dan nilai draft tranducer (d)
7
menghasilkan kedalaman perairan saat pengukuran. Prinsip pengukuran
dengan echosounder dapat dijelaskan dalam Gambar I.1.
Gambar I.1. Pengukuran kedalaman dengan echosounder
I.7.1.3. Pengamatan pasang surut air laut. Air laut dalam pergerakannya selalu
naik turun secara periodik. Fenomena ini disebut pasang surut (pasut) laut. Pasut air
laut dipengaruhi oleh benda benda langit terutama bulan dan matahari. Oleh karena
itu, penentuan pasut laut diamati selama 1 piantan,1 bulan, 1 tahun, atau dalam
jangka waktu tertentu sesuai pengaruh kedua bulan dan matahari terhadap bumi.
Pengamatan pasut laut dalam periode waktu tersebut akan menghasilkan suatu
ketinggian maksimum dan minimum di laut sesuai periode waktu yang telah
ditentukan. Tujuan pengamatan pasut secara umum meliputi dua hal berikut ini :
1. untuk keperluan analisis harmonik dan prediksi pasut laut pada suatu daerah
perairan tertentu. Hasilnya berupa data tipe pasut dan prediksi bacaan pasut laut
untuk kurun waktu tertentu.
2. untuk menentukan bidang mean sea level (MSL) dan bidang acuan
kedalaman atau datum vertikal. MSL merupakan bidang referensi untuk posisi
vertikal (ketinggian). Datum vertikal digunakan sebagai referensi tinggi untuk
pengukuran kedalaman laut. Beberapa datum vertikal yang sering digunakan
ditunjukkan dalam Tabel I.1.
muka laut
rerata
d = Draft tranducer
Antena GPS
Tranducer
h = kedalaman
Dasar Laut
kapal
8
Tabel I.1. Macam macam datum vertikal
No. Istilah Definisi
1. Highest
Astronomical Tide
(HAT)
Ketinggian pasut tertinggi yang dapat diprediksi dari
rata rata kondisi meteorologi dan kombinasi dari
beberapa kondisi astronomis.
2. Higher High Water
Large Tide
(HHWLT)
Rata rata pasut tinggi tertinggi dengan pengamatan
selama periode 19 tahun.
3. Lowest Astronomical
Tide (LAT)
Ketinggian pasut terendah yang dapat diprediksi
dari rata rata kondisi meteorologi dan kombinasi
dari beberapa kondisi astronomis.
4. Lower Low Water
Large Tide
(LLWLT)
Rata rata pasut rendah terendah dengan pengamatan
selama periode 19 tahun.
5. Mean Higher High
Water (MHHW)
Tinggi rata rata pasut tinggi tertinggi di suatu
tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.
6. Mean Lower Low
Water (MLLW)
Tinggi rata rata pasut rendah terendah di suatu
tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.
7. Mean Sea Level
(MSL)
Tinggi rata rata muka air laut di suatu stasiun pasut
untuk semua pengukuran pasut selama periode 19
tahun. Pengukuran biasanya per jam dari suatu
tinggi referensi tetap.
Data pengamatan pasut laut diperlukan untuk penyajian hasil survei batimetri
berupa peta batimetri. Peta batimetri dalam pembuatannya memerlukan suatu bidang
referensi kedalaman berupa muka surutan peta. Muka surutan peta adalah sebutan
lain dari datum vertikal di laut. Muka surutan peta tidak pernah menyentuh
permukaan air laut karena pendefinisian suatu muka surutan peta terletak di bawah
permukaan air laut terendah di suatu daerah yang bersangkutan. Namun untuk
pekerjaan teknis dimana muka surutan peta belum diketahui, digunakan sounding
datum sebagai pengganti muka surutan peta. Muka surutan peta berupa jarak surutan
9
peta (Z0) yang dihitung dari duduk tengah (S0) sampai muka surutan peta yang
ditentukan. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum ditunjukkan dalam
Gambar I.2.
Gambar I.2. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum
Data pasut laut diperoleh dari pengukuran pasut laut di stasiun pasut laut
dalam kurun waktu tertentu. Biasanya di stasiun pasut laut tersebut terdapat sebuah
alat ukur pasut laut. Alat sederhana yang biasa digunakan adalah tide pole atau
palem. Ketinggian muka air atau besar pasut laut yang terjadi dicatat secara manual
oleh operator dengan interval waktu tertentu dalam suatu formulir pengamatan pasut
laut. Cara ini lebih mudah dan efisien dengan ketelitian sekitar 2,5 cm, serta akan
menghindari adanya data kosong.
I.7.2 Pengikatan Stasiun Pasang Surut
Pengikatan stasiun pasang surut atau dalam penelitian ini menggunakan
palem bertujuan untuk menyatukan bidang referensi antara ketinggian topografi
dengan kedalaman perairan pada bidang muka surutan peta. Palem (P) diikatkan
terhadap Benchmark (BM) di darat dengan waterpassing. Hasil yang diperoleh
berupa tinggi BM terhadap suatu muka surutan peta. Sebagai contoh muka surutan
yang digunakan adalah MLLW, maka titik BM terhadap MLLW dijelaskan dalam
persamaan (I.1).
= .........................................................(I.1)
Keterangan :
Duduk Tengah (S0)
Muka Surutan Peta
Z0
Sounding
Datum
Z
10
: tinggi titik BM terhadap muka surutan peta
: rata rata selisih tinggi pengukuran pergi pulang stasiun pasut dan
BM
: Muka surutan peta yang ditentukan
Nilai MLLW diperoleh dari hasil pengolahan data pasut dari pengamatan pasut di
stasiun pasut.
I.7.3. Pengolahan Data
I.7.3.1. Pengolahan data pasut laut. Data pasut laut diolah untuk mendapatkan harga
amplitudo (A) dan keterlambatan fase (g) dari konstanta harmonik pasut. Konstanta
harmonik pasut adalah konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya
pasut. Konstanta-konstanta pasut tersebut memilliki sifat yang harmonik terhadap
waktu, sehingga dinamakan konstanta harmonik pasut. Secara garis besar konstanta
harmonik pasut dapat dibagi menjadi tiga kelompok seperti di bawah ini (Rawi,
1999):
1. Konstanta harmonik pasut periode harian (diurnal period tide)
2. Konstanta harmonik pasut periode harian ganda (semidiurnal period tide)
3. Konstanta harmonik pasut periode panjang (long period tide)
Selain konstanta-konstanta di atas, terdapat konstanta harmonik pasut lainnya
yang disebabkan oleh gesekan antara air laut dengan perairan dangkal (shallow water
tide).
Pengolahan data pasut umumnya menggunakan 9 komponen utama konstanta
harmonik pasut untuk keperluan rekayasa, yaitu: M2, S1, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan
MS4. Penjelasan mengenai komponen harmonik pasut tersebut dijelaskan pada Tabel
I.2.
Tabel I.2. Komponen harmonik utama pasang surut
Tipe
Pasut Keterangan Simbol
Kec. Sudut
(/jam)
Ganda Dipengaruhi oleh Bulan Utama
Dipengaruhi oleh Matahari Utama
M2
S2
28,9841
30,0000
11
Dipengaruhi oleh akibat lintasan bulan
berbentuk ellips
Dipengaruhi oleh lintasan matahari
berbentuk ellips
N2
K2
28,4397
30,0821
Tunggal Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan dan
deklinasi matahari
Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan Utama
Dipengaruhi oleh deklinasi Matahari
Utama
K1
O1
P1
15,0411
13,9430
14,9589
Perairan
Dangkal
Kecepatan sudut dua kali kecepatan sudut
M2
Merupakan modulasi dari M2 dan S2
dengan kecepatan sudut jumlah kecepatan
sudut M2 dan S2
M4
MS4
59,97
59,98
Pengolahan data pasut juga bertujuan untuk mengetahui sifat dan karakteristik
pasut di suatu tempat dari hasil pengamatan pasut dalam kurun waktu tertentu dapat
diketahui dengan melakukan analisis harmonik pasang surut laut. Tujuan dari analisis
harmonik pasut adalah untuk menghitung amplitudo dan keterlambatan fase.
Amplitudo yang dihitung merupakan hasil respons dari kondisi laut setempat
terhadap pasang surut setimbang sedangkan kelambatan fase yang dihitung
merupakan kelambatan fase dari gelombang tiap komponen terhadap pasang surut
setimbang. nilai perubahan amplitudo dan kelambatan fase tersebut dinyatakan
dalam konstanta harmonik.
Metode yang sering digunakan untuk analisis harmonik adalah metode kuadrat
terkecil atau lebih dikenal dengan metode least square. Persamaan pada metode
kuadrat terkecil dengan faktor meteorologis diabaikan, maka tinggi pasut merupakan
superposisi dari komponen pembentuknya yang dinyatakan dalam persamaan (I.2) di
bawah ini (Ali, 1994):
= + 0 + cos ( )=1 ..................................
(I.2)
12
Keterangan:
: elevasi pasut fungsi dari waktu
: duduk tengah (mean sea level)
: perubahan duduk tengah musiman yang disebabkan oleh monsun
atau angin, jadi oleh faktor meteorologis
: amplitudo komponen ke-i
: 2/Ti, Ti = periode komponen ke-i
: fase komponen ke-i
t : waktu
N : jumlah komponen.
Bentuk lain dari persamaan (I.2) adalah:
= + + cos =1 +
=1 .......
Keterangan:
Ar dan Br: konstanta harmonik ke-i
k : jumlah komponen pasut
tn : waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu
tengah-tengah pengamatan.
Nilai hasil perhitungan dengan persamaan (I.3) akan mendekati elevasi
pasut pengamatan jika:
2 = 2
== ...............................(I.4)
Fungsi 2 minimum jika memenuhi hubungan ini:
2
= 0;
2
= 0;
2
= 0, = 1,2, ................(I.5)
Persamaan (I.3) bertujuan menghitung besarnya So, ar, dan br menggunakan
operasi persamaan sebagai berikut:
1 = . 1 dan 2 = . 2
Keterangan:
(I.3)
13
P1: matrik parameter (a1, a2, ................,ak+1), yaitu:
12..
+1
di mana ak+1 = So
P2: matrik parameter (b1, b2, .............................,bk), yaitu:
12...
1: matrik pengamatan, yaitu:
cos 1
=
cos 2
=
cos
=
=
H2: matrik pengamatan, yaitu:
sin 1
=
sin 2
=
.
.
.
.
.
.
sin 1
=
14
A: matrik koefisien, yaitu:
1,1 1,2 . . 1,2,1 2,2 . . 2,
.
.
.+1,1 2, . . ,
B: matrik koefisen, yaitu:
1,1 1,2 . . 1,2,1 2,2 . . 2,
.
.
.+1,1 2, . . ,
Dengan:
i,j =sin 2n+1 ji /2
2 sin ji /2+
sin 2n+1 j +i /2
2 sin j +i /2...........................
, =sin 2n+1 ji /2
2 sin ji /2+
sin 2n+1 j +i /2
2 sin j +i /2...........................
Dari persamaan (I.6) dan (I.7) untuk i = j ditentukan:
sin 2 + 1 /2
2 sin j i /2=
2 + 1
2
Dan jika i = j = k di mana = 0, ditentukan:
sin 2 + 1 + /2
2 sin j + i /2=
2 + 1
2
Setelah besaran parameter (a1, a2,.........,ak+1) dan besaran parameter (b1,
b2...........,bk) kemudian dapat ditentukan:
1. Duduk tengah permukaan laut (mean sea level)
0 = ak+1
(I.6)
(I.7)
15
2. Amplitudo tiap komponen pasut:
= 2 + 2
3. Fase tiap komponen pasut:
Pr = Arc tan
Sehingga persamaan (I.2) dapat dinyatakan menjadi:
= + cos ( )=1 ...........................................(I.8)
Koreksi terhadap fase dan amplitudo ditunjukkan pada persamaan seperti di
bawah ini:
gi = i + Vi + ui ......................................................................(I.9)
=
.....................................................................................(I.10)
Faktor koreksi amplitudo (f), koreksi fase (u), dan fase komponen (V) dapat
dihitung dari fungsi-fungsi di bawah ini:
s = 277,025 + 129,38481 (Y-1900) + 13,17640 (D+L) (dalam derajat)
h = 260,190 0,23872 (Y-1900) + 0,98565 (D+L) (dalam derajat)
p = 334,385 + 40,66249 (Y-1900) + 0,11140 (D+L) (dalam derajat)
N = 259,157 19,32818 (Y-1900) + 0,05295 (D+L) (dalam derajat)
Keterangan:
Y : tahun masehi
D : jumlah hari yang telah berlaku dari jam 00.00 tanggal 1 Januari tahun Y
L : bagian integer dari (1/4)(Y-1901)
Perhitungan selanjutnya adalah menghitung nilai argumen astronomis untuk
koreksi nilai amplitudo dan fase konstanta harmonik yang sering disebut sebagai
koreksi nodal , , dan . Untuk menghitung nilai menggunakan persamaan
sebagai berikut:
16
fM2 = 1,0004 + 0,0373 cos N + 0,0002 cos 2N
fS2 = 1
fN2 = fM2
fK1= 1,006 + 0,115 cos N 0,008 cos 2N + 0,0006 cos 3N
fO1 = 1,0089 + 0,1871 cos N 0,00147 cos 2N + 0,0014 cos 3N
fM4= fM2 x fM2
fMS 4= fM2
fK2= 1,0241 + 0,2863 cos N + 0,0083 cos 2N 0,0015 cos 3N
fP1= 1
fSo = 0
Perhitungan nilai menggunakan persamaan sebagai berikut:
uM2= -2,14 sin N
uS2= 0
uN2= 2
uK1= -8,86 sin N + 0,68 sin 2N 0,07 sin 3N
uO1= 10,8 sin N 1,34 sin 2N + 0,04 sin 3N
uM4= uM2+ uM2
uMS 4= uM2
uK2= -17,74 sin N + 0,68 sin 2N 0,04 sin 3N
uP1= 0
uSo = 0
Perhitungan nilai menggunakan persamaan sebagai berikut:
VM2= -2s + h + M2x CT
VS2= S2 x CT
VN2= 3s + 2h + p + N2 x CT
VK1= h + 90 + K1 x CT
VO1= -2s + h 270 + O1x CT
VM4= VM2 + VM2
VMS 4 = -2s + MS 4 x CT
17
VK2= 2h + K2 x CT
VP1= -h + 270 + P1 x CT
VS0 = 0
Pada persamaan di atas, CT merupakan jam atau data pasang surut yang tepat
di tengah-tengah periode pengamatan. Dengan menjumlahkan dan dari masing-
masing komponen harmonik pasut yang bersesuaian, maka diperoleh harga ( + )
untuk masing-masing konstituen (Pangesti, 2012).
Hasil analisis harmonik tersebut menghasilkan konstanta konstanta
harmonik pasut. Konstanta harmonik pasut ini diolah untuk mengetahui tipe
pasutnya. Tipe pasut yang timbul berbeda beda tergantung pada tempat pasut
terjadi. Defant (1985) mengelompokkan pasut menurut perbandingan jumlah
amplitudo komponen harian tunggal (diurnal) dan harian ganda (semi diurnal)
berupa bilangan Formzahl dalam persamaan (I.11).
=K1+O1
M2 +S2..........................................................................(I.11)
Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl dapat dilihat di Tabel I.3.
Tabel I.3. Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl
Nilai Bentuk Tipe Pasut Fenomena
0 < < 0,25 Harian ganda
murni
2 kali pasang dalam satu hari
0,25 < < 1,5 Campuran condong
harian ganda
2 kali pasang dalam satu hari dengan
interval yang berbeda
1,5 < < 3 Campuran condong
harian tunggal
1 atau 2 kali pasang dalam satu hari
dengan interval yang berbeda
> 3 Harian tunggal
murni
1 kali pasang dalam satu hari
I.7.3.2. Perhitungan kedalaman tereduksi. Kegiatan Survei Batimetri menghasilkan
data kedalaman yang masih mentah dan harus dikoreksi. Koreksi yang diberikan ke
masing masing ukuran antara lain :
18
1. Koreksi alat dan kecepatan perambatan gelombang suara
Koreksi kesalahan karena ketidaksamaan antara kecepatan standar di laut dan
kecepatan gelombang suara dapat dilakukan dengan bar check. Koreksi ini
menggunakan perbandingan kedalaman suatu titik yang telah ditentukan
kedalamannya, biasanya dengan plat baja yang digantung dengan tali atau kawat
dengan kedalaman hasil pengukuran echosounder. Selisih hasil perbandingan adalah
besar kesalahan yang harus dikoreksikan ke hasil ukuran. Bar check dilakukan pada
saat sebelum dan sesudah pengukuran dalam satu hari. Hasil koreksi tidak ikut dalam
perhitungan data karena koreksi dilakukan pada waktu pengukuran.
2. Koreksi draft tranducer
Koreksi ini diperlukan karena posisi tranducer tidak tepat di permukaan air
laut. Koreksi dilakukan dengan mengukur jarak tranducer ke batas air laut di tali
penghubung ke tranducer. Nilai kedalaman setelah dikoreksikan terhadap draft
tranducer dihitung dengan persamaan (I.12) berikut :
0 = + ........................................................................................(I.12)
Keterangan :
0 : kedalaman terkoreksi
: kedalaman hasil bacaan echosounder
: nilai draft tranducer
Koreksi ini bernilai positif dan ditambahkan dalam perhitungan kedalaman.
3. Koreksi pasut laut
Koreksi pasut dilakukan karena data kedalaman harus direduksikan ke bidang
referensi tertentu, dalam penelitian ini muka surutan peta menggunakan MLLW.
Nilai MLLW dicari dengan persamaan (I.13) berikut :
= 0 (2+2)..................................................................(I.13)
Nilai 0 dicari dengan penjumlahan seluruh amplitudo konstanta harmonik utama
pasut dengan persamaan (I.14) berikut :
0 = 1 + 1 + 1 + 2 + 2 + 2 + 2 + 4 + 4............................(I.14)
Hubungan kedalaman ukuran dan pasut dalam skala waktu diterangkan dalam
Gambar I.3.
19
Gambar I.3. Hubungan kedalaman ukuran dan pasut
Jadi, besar nilai kedalaman tereduksi dihitung dengan persamaan (I.15) berikut :
= 0 ( )...................................................... (I.15)
Keterangan :
: kedalaman tereduksi
0 : kedalaman terkoreksi
: tinggi pasut saat t
: tinggi muka surutan peta
Nilai Ht diperoleh melalui proses interpolasi linear dari bacaan pasut pada waktu
pemeruman.
I.7.4 Interpolasi Data
Tempfli (1977) mendefinisikan interpolasi adalah penentuan nilai pendekatan
dari variabel f (p) pada titik antara P dalam ruang berdimensi r. Secara umum
interpolasi dapat didefinisikan sebagai penentuan nilai suatu besaran berdasarkan
besaran lain yang sudah diketahui nilainya sebagai acuan, dimana letak besaran yang
akan ditentukan sebagai besaran antara dicari di antara besaran yang sudah
diketahui. Hubungan antara titik titik acuan tersebut didekati menggunakan fungsi
interpolasi dan penetuan nilai besaran antara sehingga didapatkan nilai interpolasi
yang berada di antara titik titik acuan.
Penggunaan teknik interpolasi dalam penelitian ini diterapkan dalam
penentuan tinggi pasut pada waktu tertentu dan penggambaran garis kedalaman
berdasarkan data kedalaman yang ada. Penggunaan teknik interpolasi ini juga
digunakan penentuan nilai koordinat suatu titik diatas peta batimetri.
Dasar Laut
H muka air t
MLLW
H H0
20
X0 X X1
f
(x1) f (x)
f
(x0)
Interpolasi diklasifikasikan dalam beberapa macam. Salah satunya adalah
klasifikasi interpolasi berdasarkan jumlah fungsi interpolasi pada suatu daerah
(sekelompok data acuan) dikelompokkan menjadi interpolasi global dan interpolasi
titik.
I.7.4.1 Interpolasi global. Interpolasi global menggunakan pendekatan satu fungsi
dalam suatu wilayah interpolasi. Salah satu contoh yaitu interpolasi linear.
Interpolasi linear merupakan bentuk yang paling sederhana dari interpolasi global.
Interpolasi ini menghubungkan dua titik dengan garis lurus. Interpolasi linear dapat
dilihat di Gambar I.4.
Gambar I.4. Interpolasi Linear
Jika dilihat dari gambar I.4., interpolasi linear dapat dinyatakan dalam persamaan
(I.16) berikut :
1 (0)
0=
1 (0)
1 0............................................ (I.16)
Keterangan :
1 : fungsi besaran yang dicari
(0) : fungsi besaran acuan pertama
1 : fungsi besaran acuan kedua
: nilai besaran yang dicari
0 : nilai besaran acuan pertama
1 : nilai besaran acuan kedua
21
I.7.4.2. Interpolasi titik. Interpolasi titik merupakan interpolasi yang menggunakan
unit area terkecil. Setiap titik di interpolasi ini mempunyai fungsi interpolasi yang
berbeda di setiap interval, sehingga satu set nilai parameter yang baru sebagai fungsi
interpolasi harus ditentukan kembali. Penentuan jarak maksimum titik acuan
terhadap titik antara dilakukan dahulu untuk menentukan jumlah titik acuan yang
digunakan sebagai parameter. Salah satu contoh interpolasi titik yaitu dengan
menggunakan rata rata berat. Pemberian bobot lebih besar pada nilai yang sangat
dekat daripada titik titik yang jauh. Tahap perhitungannya sebagai berikut :
1. Penentuan jarak maksimum (d0).
Penentuan jarak dilakukan dengan menghitung jarak titik antara ke masing
masing titik acuan. Jumlah titik acuan sebanyak tiga buah akan menghasilkan
geometri jarak yang terkontrol terhadap titik antara. Penentuan jarak maksimum
dapat dilihat pada Gambar I.5.
Gambar I.5. Interpolasi titik
Jika X adalah nilai antara dan (X1, X2, X3) adalah nilai titik titik acuan, g(x)
adalah kedalaman titik antara, dan {g(x1), g(x2), g(x3)}adalah kedalaman titik titik
acuan, maka titik acuan yang digunakan adalah yang paling dekat dengan titik antara,
yaitu titik acuan 2 dan 3. Jarak maksimum adalah rata rata hasil selisih nilai
koordinat x titik acuan 2 ke titik antara dan hasil selisih nilai koordinat x titik acuan 3
ke titik antara.
2. Penentuan fungsi jarak yang digunakan W (d).
X1 X2 X X3
g
(x3) g (x)
g(x1)
g(x2)
x
22
Penentuan jarak ini dilakukan dengan mengurangi nilai koordinat X masing -
masing titik acuan ke titik antara.
D adalah matrik Jarak. W adalah matrik bobot jarak.
=
2 3
=
1
11
2
1
3. Perhitungan nilai interpolasi. Bentuk matematisnya adalah :
= 1
=1
=1
= AT F........................................................(I.17)
A adalah matrik fungsi bobot jarak terhadap jumlah bobot jarak. F adalah matrik
fungsi nilai kedalaman.
=
1
2
=
1112
1
Berat yang diambil harus dari suatu fungsi yang berkurang terhadap jarak.
I.7.5 Penyajian Kondisi Topografi
Kondisi topografi suatu lokasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan
topografi dapat disebabkan oleh alam atau aktivitas manusia, contohnya
penambangan timah lepas pantai di dasar laut. Perubahan tersebut dapat diketahui
dengan membandingkan dua data dari lokasi yang sama dengan jangka waktu yang
berbeda. Perubahan yang terjadi berupa perubahan ketinggian atau kedalaman untuk
di dasar laut serta penambahan atau kekurangan massa berupa pasir atau material di
dasar laut yang diperlihatkan dalam nilai volume.
Data topografi yang telah diolah dan tereferensi terdiri dari satu atau lebih
jangka waktu (epok) yang berbeda di lokasi yang sama. Data topografi epok pertama
adalah acuan ketinggian 0 dimana belum terjadi perubahan. Data topografi epok
23
kedua dan seterusnya adalah data yang dianggap telah terjadi perubahan. Nilai
perubahan kedalaman dihitung dengan persamaan (I.18).
= 2 1 .................................................... (I.18) Keterangan :
: selisih kedalaman kedua epok
2 : kedalaman epok kedua
1 : kedalaman epok pertama
Persamaan (I.18) menghasilkan nilai selisih kedalaman antar 2 epok. Luas
potongan penampang melintang epok 1 dan epok 2 menghasilkan luas permukaan
gabungan dari kedua epok yang di rata rata . Nilai luas permukaan dicari dengan
persamaan (I.19).
=1 +2
2 ................................................................ (I.19)
Keterangan :
: selisih kedalaman kedua epok
1 : Luas permukaan epok pertama
2 : Luas permukaan epok kedua
Nilai sama dengan nilai jarak antar kedua ujung permukaan. Nilai luas
permukaan dan hasil selisih tersebut digunakan untuk menghitung volume. Volume
dihitung menggunakan persamaan (I.20) (Takasaki, 1980).
= ................................................................ (I.20) Keterangan :
: selisih kedalaman kedua epok
A : Luas permukaan gabungan dari 2 epok
V : Volume yang dihasilkan
I.7.5.1. Penampang memanjang dan melintang. Penampang memanjang adalah irisan
tegak pada suatu permukaan dengan mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas
permukaan bumi. Penampang memanjang digunakan untuk melakukan pengukuran
yang jaraknya jauh, sehingga dikerjakan secara bertahap beberapa kali. Nilai panjang
yang besar membuat skala vertikal yang digunakan dibuat berbeda dengan
skala horisontalnya.
24
Penampang melintang adalah sebuah penampang vertikal yang tegak lurus
terhadap garis sumbu pada stasiun penuh dan stasiun plus dalam interval jarak
tertentu. Penampang ini menyatakan batas-batas suatu galian atau timbunan rencana
atau yang sudah ada. Penentuan luas potongan melintang menjadi sederhana bila
potongan melintang tersebut digambar diatas kertas gambar potongan melintang.
Potongan melintang digambar dengan skala yang disesuaikan untuk kemudahan
dalam penggambaran.
Penyajian kondisi topografi suatu permukaan dapat disajikan dengan 2 sajian
meliputi penampang memanjang dan penampang melintang. Penampang ini
merepresentasikan kenampakan kondisi topografi dalam bentuk 2D. Hasilnya berupa
gambar penampang (profil) yang menggambarkan tampang atau irisan dari kondisi
topografi suatu permukaan. Penampang memanjang dan melintang bisa juga
merepresentasikan perubahan kondisi topografi berupa perubahan kedalaman dan
volume yang terjadi dari 2 epok yang berbeda di lokasi yang sama.
I.8 Hipotesis
Bentuk topografi dasar laut Selat Bangka mengalami perubahan akibat
penambangan timah lepas pantai.
Recommended