View
80
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Sering kali kita mengalami kesulitan untuk menentukan kandungan
mineral suatu bahan hasil pertanian secara langsung dari bahan aslinya seperti
apa yang ada di dalam bahan pangan tersebut. Oleh karena itulah, perlu dicari
suatu alternatif untuk menganalisis kandungan mineral yang ada dalam bahan
hasil pertanian yaitu dengan cara pengabuan.Pengabuan merupakan suatu
proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi selama beberapa waktu
sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat anorganik berwarna
putih keabu-abuan yang disebut abu. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil
pembakaran bahan organik. Kadar abu dari suatu bahan dapat menunjukkan
kandungan mineral yang ada dalam bahan tersebut.
Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan
anorganik sehingga terjadi perubahan radikal organik dan segera terbentuk
elemen logam dalam bentuk oksida atau bersenyawa dengan ion-ion negatif.
Kandungan abu dan komposisinya bergantung pada macam bahan dan cara
pengabuan yang digunakan. Ada dua macam cara pengabuan, yaitu cara
kering (langsung) dan cara basah (tidak langsung). Kedua cara pengabuan
tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Cara kering
dilakukan dengan mengoksidasikan zat-zat organik pada suhu 500-600oC
kemudian melakukan penimbangan zat-zat tertinggal. Sedangkan cara basah
dilakukan dengan menambahkan senyawa tertentu pada bahan yang diabukan
sepeti gliserol, alkohol asam sulfat atau asam nitrat.
Penentuan kadar abu total yang dilakukan terhadap bahan hasil pertanian
bertujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan,
mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter nilai gizi
bahan makanan.Oleh karena begitu pentingnya peranan abu untuk
menganalisis kandungan komponen mineral yang terdapat dalam bahan hasil
pertanian, maka perlu kiranya untuk melakukan kegiatan praktikum penetapan
kadar abu.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui berbagai cara penetapan kadar abu bahan pertanian
Untuk mengukur kadar abu bahan hasil pertanian dengan cara langsung
dan cara tidak langsung
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metodeb Pengabuan Kering Dan Basah
Dalam proses pengabuan suatu bahan, ada dua macam metode yang dapat dilakukan, yaitu cara kering (langsung) dan cara tidak langsung (cara basah).
2.1.1 Pengabuan Kering
Cara kering dilakukan dengan mengoksidasikan zat-zat organik pada suhu
500-600oC kemudian melakukan penimbangan zat-zat tertinggal. Pengabuan cara
kering digunakan untuk penentuan total abu, abu larut, tidak larut air dan tidak
larut asam. Waktu pengabuan lama, suhu yang diperlukan tinggi, serta untuk
analisis sampel dalam jumlah banyak. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam melakukan pengabuan cara kering, yaitu mengusahakan suhu pengabuan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kehilangan elemen secara mekanis karena
penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penguapan
beberapa unsur, seperti K, Na, S, Ca, Cl, dan P.
2.1.2 Pengabuan Basah
Pengabuan cara basah dilakukan dengan menambahkan senyawa tertentu
pada bahan yang diabukan sepeti gliserol, alkohol asam sulfat atau asam nitrat.
Pengabuan cara basah dilakukan untuk penentuan elemen mineral. Waktu
pengabuan relatif cepat, suhu yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi, untuk analisis
sampel dalam jumlah sedikit, memakai reagen kimia yang sering berbahaya
sehingga perlu koreksi terhadap reagen yang digunakan.
Jumlah sampel yang akan diabukan bergantung pada keadaan bahannya.
Dalam hal ini, kandungan abunya dan kadar air bahan. Bahan-bahan yang kering
biasanya 2-5 gram, seperti biji-bijian dan pakan ternak. Untuk bahan yang
kandungan airnya tinggi, jumlah bahan yang diabukan adalah cukup tinggi sekitar
10-50 gram karena saat dipanaskan maka air dalam bahan akan menguap dan
bahan menjadi mengalami susut berat sehingga apabila sampel yang dianalisis
terlalu sedikit, kemungkinan sisa zat tertinggal yang akan ditimbang tidak ada
sehingga analisis bisa terganggu.
Bahan yang mengandung kadar air tinggi perlu dioven terlebih dahulu
sebelum diabukan agar proses pengabuan tidak berlangsung terlalu lama. Bahan
yang berlemak banyak dan mudah menguap harus diabukan menggunakan suhu
mula-mula selama beberapa saat lalu baru dinaikkan ke suhu pengabuan agar
komponen volatil bahan tidak cepat menguap dan lemak tidak rusak karena
teroksidasi. Sedangkan untuk bahan yang dapat membuih perlu dikeringkan dalam
oven terlebih dahulu dan ditambahkan zat antibuih, seperti olive atau parafin lalu
bisa mulai diabukan. Hal ini dilakukan karena timbulnya banyak buih dapat
menimbulkan potensi ledakan yang cukup membahayakan (Apriantono, 1989).
Bahan yang akan diabukan dimasukkan ke dalam wadah yaitu krus baik
dari porselen, quartz, silika ataupun nikel. Penggunaan wadah bergantung pada
jenis bahan dan cara pengabuan yang digunakan. Ukuran wadah mulai dari 15mL
sampai 100mL. Dengan demikian, bahan-bahan yang banyak mengandung
senyawa-senyawa yang bersifat asam sangat dianjurkan menggunakan wadah
yang terbuat dari porselen yang dilapisi silika bagian pernukaan dalam wadah,
seperti saat menganalisis kadar abu buah-buahan.
Untuk mengetahui kandungan abu yang dapat larut dan tidak dapat larut,
perlu dilakukan tindakan berupa melarutkan sisa pengabuan dalam aquades,
kemudian disaring. Endapan yang terdapat di kertas saring merupakan abu yang
tidak dapat larut. Sedangkan yang ada dalam air merupakan abu yang mudah
larut. Untuk mengetahui jenis mineral yang terkandung di dalamnya, dapat
dilakukan dengan menggunakan metode titrasi atau serapan panjang gelombang
dengan spektrofotometer ( Fauzi, 1994: 8).
2.2 Bahan Baku Yang Digunakan
2.2.1 Tepung Tapioka
Tepung tapioka merupakan salah satu produk hasil olahan singkong yang banyak
digunakan sebagai bahan baku utama maupun bahan penolong dalam beberapa
produk pangan baik di rumah tangga maupun industri. Salah satu penggunaan
tepung tapioka dalam industri pangan adalah sebagai penyalut pada produk
kacang salut. Penyalut pada produk tersebut diharapkan memiliki tingkat
pengembangan dan kerenyahan yang baik, namun dalam aplikasinya penggunaan
jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan mutu penyalut yang
berbeda pula. Perbedaan mutu produk kacang salut yang dihasilkan dapat
dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun
belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang sifat atau karakteristik
tepung tapioka yang diperlukan bagi suatu penyalut kacang.
Menurut Radley (1976), fungsionalitas pati pada produk pangan ataupun
nonpangan tergantung dari sifat fisik pati. Sifat fisik pati tersebut dipengaruhi oleh
dua komponen utama dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin. Menurut Matz
(1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack)
dipengaruhi oleh rasio dari amilosa dan amilopektin. Menurut Balagopalan et al.
(1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati diperoleh dari hasil perubahan
pati selama dan setelah pemasakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur
produk antara lain gelatinisasi, daya kembang, viskositas, dan retrogradasi. Faktor
pH pada pati juga dapat mempengaruhi mutu produk berbahan dasar pati.
Menurut Taggart (2004), asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat
dalam pati, sehingga menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang.
2.2.2 Kopi
Kopi dapat digolongkan sebagai minuman psikostimulant yang akan
menyebabkan orang tetap terjaga, mengurangi kelelahan, dan membuat perasaan
menjadi lebih bahagia. Oleh karena itu, tidak mengherankan di seluruh dunia kopi
menjadi minuman favorit, terutama bagi kaum pria. Senyawa kimia yang ada
didalam kopi terdiri dari senyawa volatile dan non-volatil. Senyawa volatile
berpengaruh pada aroma kopi, sedangkan senyawa non-volatil akan berpengaruh
terhadap mutu kopi, seperti kafein yang merupakanalkaloid xanthin. Selain kafein,
di dalam kopi juga terdapat chlorogenic acid, yaitu salah satu jenis senyawa
polyphenol yang menjadi antioksidant kuat di dalam kopi. Kopi jenis robusta
kandungan senyawa polyphenolnya lebih tinggi dibandingkan kopi arabika
ataupun tanaman lain (Johnston, 2003).
Kadar kafein di dalam kopi dipengaruhi oleh tempat tumbuhnya dan cara kopi
disajikan (Daglia M, 2000). Efek kafein di dalam tubuh ialah menghambat
reseptor adenosine sehingga kurang baik untuk tubuh (Lanchare M.P, 2006).
Akan tetapi selain bekerja pada reseptor adenosin kafein juga bekerja pada
respetor lain secara tidak spesifik, hal ini tentu saja dapat menyebabkan efek yang
bisa menguntungkan untuk tubuh (Akio Ohta, 2008). Kadar kafein pada saliva
merupakan index nyata dari kadar kafein plasma, 65-85 % kafein plasma. Kadar
puncaknya kurang lebih 0,25-2 mg/l bila dosis secangkir kopinya 0,4-2,5 mg/kg.
Untuk dosis kurang dari 10 mg/kg
2.3 Prinsip Analisa Pengabuan Kering Pada Praktikum
Pengabuan cara kering dilakukan dengan mengoksidasikan zat-zat organik pada
suhu 500-600oC kemudian melakukan penimbangan zat-zat tertinggal. Prosedur
kerja dimulai dari langkah pertama yaitu menyiapkan wadah berupa krus
porselen . Digunakan krus porselen karena cepat mencapai berat konstan dan
murah biayanya walaupun mudah pecah. Langkah selanjutnya adalah mengoven
krus porselen selama15’. Tujuannya adalah menghilangkan (menguapkan) air
yang terdapat atau menempel pada krus porselen sehingga tidak mengganggu
ketepatan analisis. Lalu didinginkan dalam eksikator selama 30’. Penggunaan
eksikator bertujuan untuk menyeimbangkan kelembapan relatif (RH) krus dengan
kelembapan udara/lingkungan sehingga krus tidak mudah menarik air dari
udara/lingkungan yang nantinya akan dapat mengganggu ketepatan analisis. Hal
ini perlu dilakukan karena krus yang baru saja dioven, pori-porinya akan
membesar/bersifat porous sehingga akan bersifat higroskopis (mudah menarik air
dari lingkungan) dan akan dapat mempengaruhi berat saat penimbangan.
Akibatnya data yang diperoleh tidak akurat. Setelah itu krus porselen ditimbang
sebagai a gram (sebagai berat krus porselen kosong). Setelah itu, ditambahkan a
gram bahan sampel yang akan dianalisis ke dalam krus porselen. Untuk bahan
kering, maka bahan langsung dapat dimasukkan ke dalam krus porselen,
sedangkan jika bahan mengandung kadar air lebih dari 30%, maka bahan harus
dioven terlebih dahulu agar saat bahan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan
tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk menjadi abu (bahan cepat
menjadi abu). Lalu krus yang berisi sampel ditimbang sebagai b gram (sebagai
berat bahan awal). Kemudian krus berisi sampel dimasukkan ke dalam tanur
pengabuan selama 3 jam. ( Fauzi, 1994: 8).
Proses pengabuan di dalam tanur berlangsung dalam dua tahapan, yaitu
tahap I berlangsung pada suhu 300oC dan tahap II berlangsung pada suhu 800oC.
Pada tahap I yang berlangsung pada suhu 300oC terjadi penguapan bahan-bahan
organik sekaligus kandungan airnya. Tahap ini berlangsung sampai asap habis.
Pada tahap II yang berlangsung pada suhu 800oC terjadi proses pengabuan semua
bahan-bahan organik sehingga dihasilkanlah bahan anorganik sisa pembakaran
yaitu abu yang berwarna putih keabu-abuan. Tahap ini berlangsung sampai tanda
alarm berbunyi dan alarm segera dimatikan karena porses sudah selesai. Setelah
itu bahan dibiarkan dalam tanur selama sehari agar suhu abu stabil, pembentukan
abu bisa berlangsung lebih sempurna dan menurunkan suhu yang terlalu tinggi
agar abu tidak bersifat terlalu higroskopis. Kemudian krus berisi abu dimasukkan
ke dalam eksikator selam 30’. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan
kelembapan relatif (RH) krus dengan kelembapan udara/lingkungan sehingga krus
tidak mudah menarik air dari udara/lingkungan yang nantinya akan dapat
mengganggu ketepatan analisis. Hal ini perlu dilakukan karena krus yang baru
saja dioven, pori-porinya akan membesar/bersifat porous sehingga akan bersifat
higroskopis (mudah menarik air dari lingkungan) dan akan dapat mempengaruhi
berat saat penimbangan. Akibatnya data yang diperoleh tidak akurat. Setelah itu
krus porselen berisi abu ditimbang sebagai c gram (sebagai berat bahan setelah
dieksikator). Penentuan kadar abu (% abu) dilakukan dengan perhitungan berat
abu dibagi berat bahan lalu dikalikan 100%. ( Fauzi, 1994: 8).
2.4 Pentingnya Pengabuan Bagi Sebagian Produk
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya bergantung pada macam bahan dan cara
pengabuan yang digunakan. Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar
mineral dalam bahan tersebut. Ada dua macam garam mineral yang terdapat
dalam bahan, yaitu:
1. Garam organik : garam asam malat, oksalat, asetat, pektat
2. Garam anorganik : garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat
Pengabuan dilakukan untuk menentukan jumlah mineral yang terkandung dalam
bahan. Penentuan kadar mineral bahan secara asli sangatlah sulit sehingga perlu
dilakukan dengan menentukan sisa hasil pembakaran atas garam mineral bahan
tersebut. Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan
anorganik sehingga terjadi perubahan radikal organik dan terbentuk elemen logam
dalam bentuk oksida atau bersenyawa dengan ion-ion negatif (Anonim, 2008:10).
Penentuan abu total dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya
suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan
parameter nilai gizi bahan makanan.
AB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
Kurs porselen 6 buah
Oven
Eksikator
Neraca analitik
Tanur
Penjepit
Spatula
2.1.2 Bahan
Kopi fermentasi
Kopi tanpa fermentasi
Kadar abu
2.2 Skema Kerja
Kurs porselen
Oven 15 menit
Eksikatior 5 menit
Timbang (a gram)
Masukkan tanur
Atur suhu pada skala 30-40
Selama 1 jam / samapi asapnya hilang
Naikkan suhu pada skalan 60-80 selama 4 jam
Timbang (c gram)
Timbang 3 gram bahan 3x (b gram)
BAB 4. HASIL PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Perhitungan
4.1.1 Kopi Sangrai Tanpa Fermentasi
Pengulangan Berat Kurs
Porselin (gr)
Berat Bahan
(gr)
Berat Kurs
Porselin + Bahan
(gr)
Berat Kurs Porselin +
Bahan Setelah
Pengabuan (gr)
Berat Bahan Setelah
Pengabuan (gr)
Kadar abu
(g/100 g, %bb)
1 18,240 3,007 21,247 18,369 0,129 4,289
2 11,842 3,035 14,877 11,967 0,125 4,118
3 8,532 3,001 11,533 8,666 0,134 4,465
Rata - rata 4,291
SD 0,1735
RSD 3,885
4.1.2 Kopi Sangrai Dengan Fermentasi
Pengulangan
Berat Kurs
Porselin (gr)
Berat Bahan
(gr)
Berat Kurs
porselin + Bahan
(gr)
Berat Kurs Porselin +
Bahan Setelah
Pengabuan (gr)
BeratBahan Setelah
Pengabuan (gr)
Kadar abu (g/100 g,
%;bb)
1 10,702 3,021 13,723 10,851 0,149 4,932
2 10,972 3,043 14,015 11,116 0,144 4,732
3 7,994 3,039 11,033 8,142 0,148 4,870
Rata – rata 4,844
SD 0,1024
RSD 2,113
4.1.3 Tepung Tapioka
Pengulangan (1, 2, 3)
Berat Kurs
Porselin (gr)
Berat Bahan
(gr)
Berat Kurs
porselin + Bahan
(gr)
Berat Kurs Porselin +
Bahan Setelah
Pengabuan (gr)
Kadar abu (%, bb)
Kadar abu (%;bk)
1 13,871 3,016 16,887 13,872 0,0331 % 0,0387 %
2 12,952 3 15,952 12,953 0,0333 % 0,0389 %
3 14,825 3,012 17,837 14,827 0,0641 % 0,0749 %
Rata – rata 13,882 3,009 16,892 13,884 0,0435 % 0,0508 %
SD0,936 %
0,008
%0,942 % 0,937 0,0178 % 0,0208 %
RSD6,742 %
0,265
%5,576 % 6,748 40,9195 % 40,9448 %
4.2 Pembahasan
Pada praktikum anaisa kadar abu yang telah dilakukan terdapat prosedur-
prosedur (tahapan) yang harus dilakukan selama analisa dilakukan. Dari
serangkaian tahapan tersebut diperolehlah data pengamatan seperti yang telah
dipaparkan pada data pengamatan. Dibawah ini pembahasan dari masing-masing
analisa kadar abu terhadap beberapa bahan.
4.2.1 Kopi Sangrai Tanpa Fermentasi
Pada praktikum analisa kadar abu dengan sempel kopi sangrai tanpa
fermentasi dengan 3 kali pengulangan didapatkan nilai rata-rata 4,291 % berat
(bb). Nilai rata-rata ini menunjukkan jumlah kandungan mineral yang terdapat
dalam bahan kopi sangrai tanpa fermentasi sebesar 4,291 g/100. Dengan nilai
RSD sebesar 3,885%., angka ini menunjukkan bahwa praktikumyang dilakukan
mendapatkan dat yang akurat, dengan nilai RSD dibawah 5. Jumlah kandungan
mineral dalam pengabuan kopi sangrai tanpa fermentasiini menunjukkan bahawa
kopi ini memiliki kualitas yang baik karena kandungan mineral yang diinginkan
pada kopi hanya sedikit sekitar 5%.
4.2.2 Kopi Sangrai Fermentasi
Pada praktikum analisa kadar abu dengan sempel kopi sangrai fermentasi
dengan 3 kali pengulangan didapatkan nilai rata-rata 44,844% berat (bb). Nilai
rata-rata ini menunjukkan jumlah kandungan mineral yang terdapat dalam bahan
kopi sangrai tanpa fermentasi sebesar 4,844g/100. Dengan nilai RSD sebesar
2,113 %., angka ini menunjukkan bahwa praktikumyang dilakukan mendapatkan
dat yang akurat, dengan nilai RSD dibawah 5. Jumlah kandungan mineral dalam
pengabuan kopi sangrai fermentasi ini menunjukkan bahawa kopi ini memiliki
kualitas yang baik karena kandungan mineral yang diinginkan pada kopi hanya
sedikit sekitar 5%.
4.2.3 Tepung Tapioka
Pada praktikum yang telah dilakukan pada analisa kadar abu dengan
menggunakan sampel bahan tepung tapioka diperoleh data nilai rata-rata kadar
abu sebesar 0,0508%. Dimana data ini menunjukan kandungan mineral yang
terdapat pada tepung tapioka ialah 0,0508%
Sedangkan
Nilai RSD yang didapatkan pada praktikum aanalisa kadar abu dengan sempel
tepung tapiokadidapatkan Nilai RSD yang sangat besar yaitu dengan nilai
40,94%. Dimana dengan nilai RSD yang sebesar itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa data pengamatan yang telah diperoleh memiliki tingkat keakurasian yang
sangat buruk. Hal ini dikarenakan nilai RSD yang sangat jauh melebihi 5%.
Kesalahan ini bisa disebabkan oleh 2 faktor, kesalahan praktikum atau bahan
yang mutunya sudah tidakbaik.
BAB 5. PEMBAHASAN5.1 Kesimpulan
Kadar abu dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya
simpan dari bahan pangan tersebut.
Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut
pengabuan.
Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan
tersebut.
Ada dua macam garam mineral yang terdapat dalam bahan, yaitu:
1. Garam organik : garam asam malat, oksalat, asetat, pektat
2. Garam anorganik : garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat
Penentuan abu total dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya
suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta
dijadikan parameter nilai gizi bahan makanan
5.2 Saran
Pada praktikum ini harusnya dilakukan dengan sangat teliti karena
analisa kadar abu dapat untuk mengetahui baik buruknya bahan pangan, apabila
terjadi kesalahanmaka akan membahayakan konsumen dan mutu
LAMPIRAN
Perhitungan tepung tapioca
1. Kadar Abu (%, bb)
(Berat kurs porselen + bahan setelah pengabuan – berat kurs porselen) / berat
bahan x 100%
- Pengulangan I : rata-rata X =
0,0331+0,0333+0,0641/3
13,872 – 13,871/3,016 x 100% = 0,0331% = 0,0435 %
- Pengulangan II :
12,953 – 12,952/3 x 100% = 0,0333 %
- Pengulangan III :
14,827 – 14,825/3,012 x 100% = 0,0641 %
2. Kadar Abu (%, bk)
(Kadar abu %bb) / (100-kadar air bb) x 100%
- Pengulangan I :
0,0331 / (100 – 14,5) x 100% = 0,0387 % rata-rata X =
0,0387+0,0389+0,0749/3
- Pengulangan II : = 0,0508%
0,0333 / (100 – 14,5) x 100% = 0,0389 %
- Pengulangan III :
0,0641 / (100 – 14,5) x 100% = 0,0749 %
Kadar abu (%bb)
SD = √(0,0331-0,0435)2 + (0,0333-0,0435) 2 + (0,0641-0,0435) 2
2
= √0,00031828 = 0,0178 %
RSD = SD/ X x 100
= 0,0178/ 0,0435 x 100 = 40,9195 %
Kadar abu (%bk)
SD = √ (0,0387-0,0508)2+(0,0389-0,0508)2+(0,0749-0,0508)2
2
= √0,000434415 = 0,0208 %
RSD = SD/ X x 100
= 40,9448 %
DAFTAR PUSTAKA
Apriantono, Fardiaz dan Puspitasari. 1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB.
Balagopalan, C., Padmaja, G., Nanda, S.K., dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in
Food, Feed, and Industry. CRC Press, Baco Raton, Florida
Fauzi, Mukhammad. 1994. Analisa Hasil Pangan (Teori dan Praktek). Jember:
UNEJ
Johnston K.L, Clifford M.N, Morgan L.M. 2003. Coffee Acutely Modifies
Gastrointestinal Hormon Secretion and Glucose Tolerance in Human:
Glycemic Effect of Chlorogenic Acid and Caffeine. Am J Clin Nutr.
Lanchare M.P. 2006. The Pharmacology and Toxicology of Caffeine. J Food
Savety.
Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech
International Inc., Texas
Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers,
London.
Recommended