View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
Laporan Penelitian
KARAKSTERISTIK PENDERITA ABSES LEHER DALAM DI RSUP
SANGLAH DENPASAR PERIODE 1 JANUARI-31 DESEMBER 2014
Oleh
Luh Witari Indrayani, I Dewa Arta Eka Putra, Komang Andi Dwi Saputra,
Wayan Suardana
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk dalam ruang potensial
diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.1,2,3
Insiden dari abses leher dalam lebih tinggi pada era pre antibiotika namun
tetap menjadi masalah yang penting di negara dunia ketiga yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Pada era pre antibiotika, 70% berasal dari penyebaran
infeksi dari faring dan tonsil sedangkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh
infeksi gigi.4
Abses leher dalam dapat menimbulkan komplikasi serius yang berakibat
fatal seperti obstruksi jalan nafas, pneumonia, abses paru, mediastinitis,
perikarditis dan trombosis vena jugularis interna.5,6
Disamping drainase abses, pemberian antibiotika juga diperlukan untuk
penanganan yang lebih adekuat. Untuk mendapatkan antibiotika yang efektif
terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan
antibiotika terhadap kuman. Namun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga diperlukan pemberian antibiotika secara empiris.3,7
Pengetahuan yang baik tentang anatomi fascia dan ruang-ruang potensial
leher serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk memperkirakan
penyebaran dan penatalaksanaan yang adekuat.
2
1.2. Rumusan Masalah
“Bagaimana karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat di
RSUP Sanglah Denpasar?”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita abses
leher dalam yang berobat di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan jenis kelamin, umur.
2. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan keluhan utama.
3. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan diagnosis
4. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan faktor penyulit
5. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan kultur kuman
6. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan sensitifitas antibiotika
7. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan lama perawatan
8. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat
di RSUP Sanglah berdasarkan komplikasi
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar bagi penelitian
selanjutnya dan menjadi acuan bagi penatalaksanaan abses leher dalam secara
lebih baik.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Leher
Pada daerah leher, terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fascia servikal. Fascia servikal dibagi menjadi dua yaitu fascia servikalis
superfisial dan profunda. Fascia servikalis superfisial terletak di bawah dermis
dan terdiri dari jaringan fibroadiposa. Fascia ini membungkus saraf sensoris,
pembuluh darah superfisialis, kelenjar limfe, muskulus platisma dan otot
mimik.3,8
Fascia servikalis profunda terdiri dari jaringan ikat fibrus dan dibagi
menjadi tiga lapisan yaitu lapisan superfisial, media dan profunda. Lapisan
superfisial fascia profunda disebut juga investing layer. Rule of two dari lapisan
superfisial ini adalah membungkus dua otot yang terletak diatas tulang hyoid
yaitu muskulus masseter dan venter anterior muskulus digastrikus; dua otot leher
yaitu muskulus trapezius dan muskulus sternokleidomastoideus; dua kelenjar
ludah yaitu kelenjar parotis dan submandibula; dua ruang yaitu ruang parotis dan
mastikator.3,8
Lapisan media fascia profunda yang disebut juga fascia servikal terdiri dari
divisi muskular dan viscera. Divisi muskular membungkus muskulus
sternohyoid, muskulus sternotiroid, muskulus tirohyoid dan muskulus omohyoid.
Divisi viscera mengelilingi kelenjar paratiroid, kelenjar tiroid, esofagus, laring,
muskulus konstriktor faring dan muskulus buccinator.8
Lapisan profunda fascia profunda disebut juga fascia prevertebra, terdiri
dari divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak diantara fasia bukofaringeal di
anterior dan divisi prevertebra di posterior. Divisi alar merupakan dinding
anterior dari ruang bahaya atau danger space. Fascia ini meluas dari basis kranii
sampai vertebra torakal kedua. Divisi prevertebra terletak di depan kolumna
vertebrae dan meluas ke lateral melewati otot prevertebra dan kemudian berfusi
dengan prosesus transversus dan ligamen penyertanya. Fascia ini merupakan
dinding anterior dari ruang prevertebra dan dinding posterior dari danger space.8
4
Gambar 1. Potongan midsagital leher8
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang meliputi
keseluruhan panjang leher, ruang suprahioid dan infrahioid. Ruang yang
melibatkan sepanjang leher terdiri dari ruang retrofaring, danger space, ruang
prevertebra dan ruang karotis. Ruang retrofaring meluas dari basis kranii hingga
bifurkasio trakea pada mediastinum superior. Ruang retrofaring berbatasan
dengan selubung karotis di sisi lateral, fascia bukofaringeal di anterior dan divisi
alar fascia prevertebra di posterior. Danger space berbatasan dengan ruang
retrofaring di anterior dan ruang prevertebra di posterior, meluas dari basis kranii
hingga diafragma. Ruang prevertebra meluas dari basis kranii hingga os
coccygeus, berbatasan dengan danger space di anterior, tulang vertebra di
posterior dan prosesus transversus di lateral. Ruang karotis atau disebut juga
ruang visceral vaskular merupakan ruang potensial di dalam selubung karotis. Di
dalam ruang ini terdapat arteri karotis, vena jugularis interna, nervus vagus dan
pleksus simpatikus.8,9
Ruang suprahioid terdiri dari ruang submandibula, parafaring, parotis,
mastikator, peritonsil dan temporal. Ruang submandibula terletak diantara
5
mukosa dasar mulut dan fascia profunda lapisan superfisial pada bagian bawah.
Ruang ini dibatasi oleh os hyoid di posteroinferior, mandibula di anterior dan
lateral serta dasar lidah di posterior. Ruang ini dibagi secara tidak komplit oleh
muskulus milohyoid menjadi ruang sublingual pada bagian atas dan ruang
submandibula dan submental di bagian bawah. Area submandibula dan
submental dipisahkan oleh venter anterior muskulus digastrikus namun kedua
area ini saling berhubungan secara bebas satu sama lainnya. Ruang submental
dibatasi oleh os hyoid pada bagian inferior, mandibula pada bagian superior dan
venter anterior muskulus digastrikus pada kedua sisi lateral. Ruang submental
berisi vena jugularis anterior, nodus limfatikus submental, muskulus dan nervus
milohyoideus, arteri fasialis cabang submental dan vena fasialis.8,9
Di dalam ruang parotis terdapat kelenjar parotis, pembuluh limfe, arteri
karotis eksterna, arteri temporalis superfisialis, vena fasialis posterior, nervus
fasialis dan nervus aurikulotemporalis. Lapisan superfisial fascia profunda
berpisah di sekitar mandibula untuk membentuk ruang mastikator. Di ruang ini
terdapat muskulus masseter, muskulus pterigoideus medial dan lateral, ramus dan
korpus mandibula, tendon temporalis. Ruang mastikator terdiri dari ruang
masseter dan ruang pterigoid. Ruang masseter terletak diantara ramus mandibula
dan muskulus masseter sedangkan ruang pterigoid terletak diantara ramus
mandibula dan muskulus pterigoideus. Ruang ini terletak di anterior dan lateral
ruang parafaring dan inferior ruang temporal.8,9
Ruang peritonsil terletak lateral dari kapsul tonsil dan medial dari muskulus
konstriktor superior. Arkus palatoglosus dan palatofaring membentuk batas
anterior dan posterior ruang ini. Pada bagian inferior dibatasi oleh 1/3 bagian
posterior lidah.3,8
Ruang temporal terletak diantara fascia temporalis pada bagian lateral dan
periosteum bagian skuamosa os temporal pada bagian medial. Muskulus
temporalis memisahkan ruang ini menjadi ruang superfisial dan profunda.3,8
Ruang infrahioid terdiri dari ruang viseral anterior dan suprasternal. Ruang
viseral anterior atau disebut juga ruang pretrakeal terletak pada leher anterior dari
kartilago tiroid kearah bawah sampai mediastinum superior setinggi vertebrae
6
torakal keempat. Ruang suprasternal terletak di superior sternal notch, dibungkus
oleh lapisan superfisial fascia profunda.8
Gambar 2. Potongan melintang leher setinggi tiroid8
2.2. Abses Leher Dalam
2.2.1. Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya pus di dalam ruang potensial
diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher dsb.1,2,3
2.2.2. Epidemiologi
Shih dkk pada tahun 2008 melaporkan bahwa rasio laki-laki dan perempuan
yang terkena abses leher dalam adalah 3:2 dengan umur rata-rata 49,2 tahun dan
abses submandibula sebagai kejadian terbanyak. Penyebab terbanyak adalah
infeksi orofaring diikuti dengan infeksi gigi.7
Coelho dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa rasio laki-laki dan
perempuan adalah 4:3 dengan umur rata-rata 31,86 tahun, penyebab terbanyak
adalah infeksi gigi.6
Sedangkan Abshirini dkk pada tahun 2009 menemukan
53,74% laki-laki dan 44,21% perempuan. Abses submandibula adalah kejadian
terbanyak dan penyebab terbanyak adalah infeksi gigi.5
7
2.2.3 Etiologi dan Patogenesis
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal
dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik karena perluasan langsung maupun laserasi atau perforasi.
Penyebab abses leher dalam diantaranya adalah infeksi orofaring, infeksi
gigi, sialolit, sialadenitis, benda asing, tuberkulosis. Infeksi gigi dapat mengenai
pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal
gigi ke daerah sekitarnya. Apeks gigi molar satu yang berada diatas perlekatan
muskulus milohyoideus menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih
dahulu ke daerah sublingual sedangkan apeks molar kedua dan ketiga berada
dibawah perlekatan muskulus milohyoideus sehingga infeksi akan lebih cepat ke
daerah submandibula.7,8
Abses leher dalam secara umum disebabkan oleh polimikroba, yaitu
campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Organisme aerob
seperti Streptokokus viridan, Streptokokus beta hemolitikus, Stafilokokus aureus
dan epidermidis. Bakteri anaerob seperti Bacteroides melaninogenicus,
Peptostreptokokus, Fusobakterium. Bakteri gram negatif seperti Hemofilus,
Escherichia, Pseudomonas, Neisseria dan Klebsiella.6,8
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan oleh
kuman flora normal di saluran nafas atas seperti Streptokokus dan Stafilokokus.
Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti
Prevotela dan Fusobakterium.1,8
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.1,8
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama
8
dengan gejala infeksi pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan.
Abshirini dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus
yang diteliti adalah bengkak pada leher 87,1%, trismus 53,7%, disfagia 30,6%
dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala
spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya materi purulen yang terbentuk
diluar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil. Pada abses peritonsil didapatkan
gejala demam, nyeri tenggorok, odinofagia, hipersalivasi, otalgia, suara
bergumam atau disebut juga hot potato voice, sukar membuka mulut atau disebut
juga trismus. Pada pemeriksaan fisik tampak palatum molle membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris. Uvula
membengkak dan terdorong ke sisi kontralateral dan trismus. Tonsil
membengkak, hiperemi dan terdorong ke sisi kontralateral.1,3,8
Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi,
terutama terjadi pada bayi atau anak dibawah dua tahun. Gejala biasanya
odinofagia dan disfagia. Selain itu, juga dapat muncul gejala demam, pergerakan
leher terbatas dan sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan
sumbatan jalan nafas terutama di hipofaring. Pada pemeriksaan tampak benjolan
unilateral pada dinding belakang faring, mukosa terlihat bengkak dan
hiperemis.3,10,11
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis atau kelenjar limfatik. Abses ini juga dapat terjadi akibat penjalaran abses
leher dalam yang berdekatan seperti abses peritonsil, abses submandibula, abses
retrofaring maupun mastikator. Gejalanya berupa demam, trismus, nyeri
tenggorok, odinofagia dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring kearah
medial, pembengkakan di sekitar angulus mandibula.1,3,10
Abses submandibula dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar liur, kelenjar limfe submandibula maupun kelanjutan infeksi ruang leher
dalam yang lain. Terdapat demam, pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, lidah terangkat keatas dan terdorong ke belakang.1,3
9
Angina Ludovici atau Ludwig’s angina adalah infeksi ruang submandibula
berupa peradangan atau selulitis dengan tanda berupa pembengkakan seluruh
ruang submandibula, tidak membentuk abses sehingga keras pada perabaan.
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut. Terdapat nyeri
tenggorok, disfagia, ruang submandibula tampak membengkak, keras pada
perabaan dan hiperemi. Dasar mulut membengkak, lidah terdorong keatas dan
belakang.3,10
Abses parotis merupakan suatu proses lanjutan dari parotitis supuratif akut
dan didefinisikan sebagai pengumpulan pus dalam ruang parotis karena proses
radang sebagai respon terhadap infeksi. Faktor predisposisi dari abses parotis
adalah pasien dengan oral hygiene yang buruk, pada keadaan dehidrasi,
sialolithiasis, usia tua, immunocompromised, malnutrisi dan diabetes melitus.
Gejala klinisnya adalah nyeri dan pembengkakan di daerah parotis dan dapat
disertai trismus. Nyeri dapat menyebar ke telinga dan daerah temporalis. Pada
pemeriksaa didapatkan pembengkakan, indurasi dan hiperemi di daerah parotis.
Terkadang didapatkan fluktuasi di daerah tersebut dan pada aspirasi didapatkan
adanya pus. Sekret purulen dapat ditemukan di orifisium duktus Stensen.1,3
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah
pemeriksaan darah lengkap, mikrobiologi dan resistensi, foto polos, USG dan CT
Scan. Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya didapatkan leukositosis. Pada
pemeriksaan mikrobiologi dan resistensi, pus diambil dengan aspirasi memakai
jarum aspirasi atau dilakukan insisi.1,8
Pemeriksaan foto polos yang dapat dilakukan diantaranya foto servikal
lateral, panoramik dan toraks. Foto servikal lateral dapat memberikan gambaran
adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah prevertebra, adanya benda
asing, gambaran udara di subkutan maupun air fluid level. Pada abses retrofaring
tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta
pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan 22 mm pada orang
dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
Foto panoramik dilakukan pada abses leher dalam yang dicurigai berasal dari
gigi. Foto toraks dilakukan untuk mengevaluasi adanya mediastinitis. Adanya
10
emfisema subkutis, pneumomediastinum, pelebaran mediastinum pada foto
toraks merupakan tanda adanya mediastinitis.1,8
Pada pemeriksaan CT Scan dengan kontras tampak adanya gambaran abses
berupa lesi hipodens dengan ring enhancement pada dindingnya. USG
merupakan pemeriksaan yang lebih murah dan kurang invasif. Selain untuk
fungsi diagnostik, USG juga dapat digunakan untuk tuntunan drainase abses.8,12
2.2.6. Terapi
Prinsip penatalaksanaan abses leher dalam adalah menjaga patensi jalan
nafas, pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, hidrasi dan nutrisi adekuat
dan evakuasi abses baik dengan anestesi lokal maupun umum. Sebelum ada hasil
pemeriksaan kultur dan sensitivitas, antibiotika diberikan secara empiris yang
efektif terhadap kuman aerob maupun anaerob.3,8,13
Untuk kasus dengan sumber
infeksi dari oral atau odontogenik dapat diberikan Klindamisin 600 mg intravena
setiap 6-8 jam atau Ampisilin-sulbaktam 3 gr intravena setiap 6 jam atau
kombinasi Penisilin G 2-4 MU intravena setiap 4-6 jam dan Metronidazole 500
mg intravena setiap 6-8 jam. Jika sumber infeksi berasal dari rhinogenik atau
otogenik dapat diberikan Ampisilin-sulbaktam 3 gr intravena setiap 6-8 jam atau
kombinasi Seftriakson 1 gr intravena setiap 24 jam dan Metronidazole 500 mg
intravena setiap 6-8 jam atau kombinasi Siprofloksasin 400 mg intravena setiap
12 jam dan Klindamisin 600 mg intravena setiap 6-8 jam. Pada pasien dengan
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA dapat diberikan
Vankomisin 1000 mg (15 mg/kg) intravena setiap 12 jam atau Linezolide 600 mg
intravena setiap 12 jam. Pada pasien-pasien dengan immunocompromised ada
beberapa pilihan terapi diantaranya adalah kombinasi Sefepim 2 gr intravena
setiap 12 jam dan Metronidazole 500 mg intravena setiap 6-8 jam, Imipenem 500
mg intravena setiap 6 jam, Meropenem 1 gr intravena setiap 8 jam atau
Piperasilin-tazobaktam 4,5 gr intravena setiap 6 jam. Terapi parenteral diberikan
sampai pasien bebas panas dan terdapat perbaikan klinis dalam 48 jam. Setelah
itu dapat dilanjutkan dengan pemberian antibiotika oral selama 2-3 minggu.
Pemberian antibiotika dapat diperpanjang apabila terdapat komplikasi.17
11
Setelah ada hasil uji kepekaan antibiotika terhadap kuman penyebab maka
diberikan antibiotika yang sesuai. Jika terdapat perbaikan pada pemberian
kombinasi antibiotika secara empiris maka antibiotika dapat diteruskan. Jika
tidak, maka antibiotika diganti sesuai uji kepekaan.1,3
2.2.7. Komplikasi
Komplikasi dari abses leher dalam yang dapat terjadi diantaranya adalah
sumbatan jalan nafas, mediastinitis, abses paru, pneumonia, perikarditis,
trombosis vena jugularis dan ruptur arteri karotis.7,8
III. KERANGKA KONSEP
Gambar 3. Kerangka konsep penelitian.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif retrospektif
dengan mengambil data sekunder dari catatan medis penderita infeksi leher
dalam yang berobat ke RSUP Sanglah Denpasar.
Infeksi gigi, infeksi
orofaring, benda asing,
sialolit,sialadenetis,trauma,
tuberkulosis
Karakteristik:
Jenis kelamin
Usia
Keluhan utama
Kultur kuman
Sensitifitas antibiotika
Lama perawatan
Faktor penyulit
Komplikasi
Inflamasi
Pembentukan pus
Abses leher dalam
12
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di poliklinik THT-KL, ruang rawat inap dan IRD
RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari sampai Desember 2014.
4.3. Penentuan Sumber Data
4.3.1. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah semua penderita infeksi leher dalam yang
berobat ke RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari sampai Desember 2014.
4.3.2. Sampel penelitian
Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu setiap
penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan sebagai sampel
penelitian.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah penderita yang terdiagnosis abses
leher dalam dan berobat ke RSUP Sanglah Denpasar mulai periode Januari 2014
sampai Desember 2014. Kriteria eksklusi adalah penderita dengan catatan medis
yang tidak lengkap.
4.4. Definisi Operasional Variabel
a) Abses leher dalam adalah terkumpulnya pus di dalam ruang potensial
diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi seperti gigi, mulut, tenggorok, telinga dan leher.
b) Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan.
c) Usia adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran berdasarkan
kalender masehi.
d) Gejala adalah keluhan subyektif yang dirasakan oleh penderita.
e) Lokasi adalah ruang leher dalam yang mengalami infeksi.
f) Kultur kuman adalah pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan jenis
kuman.
13
g) Sensitifitas antibiotika adalah antibiotika yang sensitif terhadap pertumbuhan
kuman.
h) Faktor penyulit adalah kondisi atau keadaan yang mempengaruhi penyakit
dasar.
i) Komplikasi adalah penyakit yang timbul kemudian sebagai tambahan dari
abses leher dalam.
4.5. Cara Pengumpulan Data
Data diambil dari catatan medis penderita yang terdiagnosis infeksi leher
dalam dan berobat ke RSUP Sanglah Denpasar. Hasil pemeriksaan dicatat dalam
lembar pengumpulan data untuk selanjutnya dilakukan analisis.
4.6. Pengolahan Data
Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan narasi.
III. HASIL PENELITIAN
Karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat ke RSUP Sanglah
Denpasar periode adalah sebagai berikut
Berdasarkan tabel 1. didapatkan penderita abses leher dalam sejumlah 29
orang dengan perbandingan laki-laki sejumlah 22 orang atau sebesar 75,86% dan
perempuan sejumlah 7 orang atau sebesar 21,14%.
Tabel 1. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin N Persentase (%)
Laki-laki 22 75,86
Perempuan 7 24,14
Jumlah 29 100
Berdasarkan tabel 2. didapatkan karakteristik penderita abses leher dalam
berdasarkan usia terbanyak pada kelompok usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun
masing-masing sejumlah 9 orang atau 31,03%. Sedangkan karakteristik paling
sedikit didapatkan pada kelompok usia 11-20 tahun, 61-70 tahun dan 71-80 tahun
14
masing-masing sejumlah 1 orang atau 3,45%. Rata-rata usia penderita abses leher
dalam pada penelitian ini adalah 50,33 tahun.
Tabel 2. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan usia
Usia (tahun) N Persentase (%)
0-10 0 0
11-20 1 3,45
21-30 3 10,35
31-40 5 17,24
41-50 9 31,03
51-60 9 31,03
61-70 1 3,45
71-80 1 3,45
>80 0 0
Jumlah 29 100
Berdasarkan tabel 3. sebanyak 29 orang penderita abses leher dalam
dengan gejala klinis nyeri, 15 orang atau pasien dengan demam, 11 orang
dengan sulit menelan, 8 orang atau dengan trismus dan 2 orang atau dengan
gejala sesak.
Tabel 3. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan gejala klinis
Gejala klinis N
Nyeri 29
Demam 15
Sulit menelan 11
Trismus 8
Sesak 2
Berdasarkan tabel 4. karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan
lokasi yang terbanyak adalah abses peritonsiler sejumlah 9 orang atau 31,04%
15
dan yang paling sedikit adalah abses peritonsiler dengan pseudoangina Ludovici,
abses peritonsiler dengan pseudoangina Ludovici dan mediastinitis, abses
submandibula dengan perluasan ke regio bukal, abses submandibula dengan
mediastinitis, pseudoangina Ludovici dengan abses parafaring dan pseudoangina
Ludovici dengan pleuropneumonia masing-masing sejumlah 1 orang atau
sebanyak 3,45%.
Tabel 4. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan lokasi
Lokasi N Persentase (%)
Abses peritonsiler 9 31,04
Abses submandibula 5 17,24
Pseudoangina Ludovici 5 17,24
Abses parafaring 2 6,89
Abses parotis 2 6,89
Abses peritonsiler+pseudoangina
Ludovici
1 3,45
Abses peritonsiler+pseudoangina
Ludovici+mediastinitis
1 3,45
Abses submandibula dengan
perluasan ke regio bukal
1 3,45
Abses submandibula+mediastinitis 1 3,45
Pseudoangina Ludovici+abses
parafaring
1 3,45
Pseudoangina
Ludovici+pleuropneumonia
1 3,45
Jumlah 29 100
Berdasarkan tabel 5. didapatkan karakteristik penderita abses leher dalam
berdasarkan hasil kultur kuman didapatkan terbanyak adalah jenis kuman
Streptococcus viridans sejumlah 12 orang atau 41,37%. Sedangkan jenis kuman
Streptococcus pyogens merupakan jenis kuman yang paling sedikit didapatkan
16
sejumlah 1 orang atau 3,44%. Sebanyak 5 orang atau 17,24 % tidak didapatkan
adanya pertumbuhan kuman pada kultur.
Tabel 5. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan kultur kuman.
Kultur kuman N %
Streptococcus viridans 12 41,37
Streptococcus pyogens 1 3,44
Streptococcus β 3 10,34
Streptococcus α 3 10,34
Klebsiella Pneumonia 3 10,34
Enterococcus sp 2 6,88
Tidak ada pertumbuhan kuman 5 17,24
Jumlah 29 100
Berdasarkan tabel 6. didapatkan karakteristik penderita abses leher dalam
berdasarkan sensitifitas terhadap antibiotika dimana dari 29 kasus hanya 24 kasus
yang didapatkan hasil tes sensitifitas antibiotika yang sensitif terhadap kuman.
Karakteristik terbanyak didapatkan sensitifitas antibiotika pada golongan
sefalosporin dan karbapenem dimana sensitif terhadap sefepim dan meropenem
masing-masing sebesar 100%. Sedangkan karakteristik paling sedikit didapatkan
sensitifitas antibiotika pada golongan tetrasiklin sebesar 20,83%.
Tabel 6. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan sensitifitas
antibiotika terhadap kuman.
Golongan
antibiotika
Nama antibiotika N=24 %
Ampisilin Ampisilin 9 37,5 Amoksisilin/asam klavulanat 12 50
Sefalosporin Sefalotin 20 83,33 Sefuroksim 20 83,33 Sefotaksim 18 75 Sefepim 24 100
Karbapenem Imipenem 18 75 Meropenem 24 100
Glikopeptida Vankomisin 12 50 Makrolid Eritromisin 8 25
Tetrasiklin Tetrasiklin 5 20,83
Linkosamid Klindamisin 10 41,66
Oksalolidinones Linezolid 20 83,33
17
Kloramfenikol Kloramfenikol 7 29,16
Aminoglikosida Amikasin 10 41,66 Gentamisin 10 41,66
Fluorokuinolon Siprofloksasin 12 50 Levofloksasin 18 75
Berdasarkan tabel 7. didapatkan sejumlah 26 orang atau 89,65% pasien
tanpa faktor penyulit dan sejumlah 3 orang atau 10,35% pasien dengan faktor
penyulit yaitu diabetes mellitus, CKD (chronic kidney disease) dan ACKD
(Acute on chronic kidney disease).
Tabel 7. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan adanya penyulit
atau tidak.
Faktor penyulit N Persentase (%)
Diabetes mellitus 1 3,45
CKD(C 1 3,45
ACKD 1 3,45
Tidak ada 26 89,65
Jumlah 29 100
Berdasarkan tabel 8. Karakteristik penderita abses leher dalam dengan
lama rawat inap terbanyak adalah selama 4 dan 6 hari sejumlah masing-masing 5
orang atau 17,24%. Karakteristik lama rawat inap yang paling sedikit adalah
selama 9,11,15,20,21,33 hari sejumlah masing-masing 1 orang atau 3,45%. Rata-
rata lama perawatan penderita abses leher dalam pada penelitian ini adalah 8,8
hari.
18
Tabel 8. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan lama perawatan.
Lama perawatan (hari) N Persentase (%)
3 3 10,35
4 5 17,24
5 2 6,89
6 5 17,24
7 2 6,89
8 3 10,35
9 1 3,45
11 1 3,45
15 1 3,45
20 1 3,45
21 1 3,45
33 1 3,45
Jumlah 100
Berdasarkan tabel 7. didapatkan sejumlah 25 orang atau 86,22% pasien
tanpa komplikasi dan 4 orang atau 13,78% pasien dengan komplikasi.
Tabel 9. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan komplikasi
Komplikasi N Persentase (%)
Tanpa komplikasi 25 86,22
Dengan komplikasi 4 13,78
Jumlah 29 100
19
VI. PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk14
dari 185 kasus abses leher
dalam didapatkan 58,9% pasien adalah laki-laki dan 41,1% pasien adalah
perempuan. Suebara dkk15
melaporkan bahwa dari total 80 kasus abses leher
dalam ditemukan 69% penderita adalah laki-laki dan 31% penderita adalah
perempuan. Pada penelitian ini ditemukan 75,86% pasien adalah laki-laki dan
24,14% pasien adalah perempuan.
Menurut Gorjon dkk16
usia rata-rata penderita abses leher dalam adalah
37,2 tahun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk14
didapatkan usia
rata-rata penderita abses leher dalam adalah 49,5 tahun. Suebara dkk15
pada
penelitiannya melaporkan usia rata-rata penderita abses leher dalam adalah 37,1
tahun. Yang dkk7
pada penelitiannya melaporkan bahwa usia rata-rata penderita
abses leher dalam adalah 49,2 tahun. Sedangkan pada penelitian ini usia rata-rata
penderita abses leher dalam adalah 50,33 tahun.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gorjon dkk16
didapatkan 50,6% pasien
dengan abses peritonsiler, 58% dengan abses submandibula, 23% dengan abses
parotis, 17% pasien dengan abses parafaring, 16% pasien dengan abses
retrofaring, 11% pasien dengan abses maseter, 9% pasien dengan abses
pterigomaksilari dan 7% pasien dengan pseudoangina Ludovici. Suebara dkk15
pada penelitiannya melaporkan 45% pasien dengan abses submandibula, 16,25%
pasien dengan abses submandibula dan abses parfaring, 18,75% pasien dengan
abses parafaring, 6,25% pasien dengan abses di bagian posterior leher, 6,25%
pasien abses parafaring dengan mediastinitis dan efusi pleura, 2,5% pasien
dengan abses parotis, 1,25% pasien dengan abses retrofaring, 1,25% pasien
dengan abses retrofaring dan mediastinitis, 1,25% pasien dengan abses
parafaring dan mediastinitis dan 1,25% pasien dengan abses submandibula
dengan perluasan ke mastoid. Pada penelitian ini sebanyak 31,04% pasien
dengan abses peritonsiler,17,24% pasien dengan abses submandibula,17,24%
20
pasien dengan pseudoangina Ludovici, 6,89% pasien dengan abses parafaring,
6,89% pasien dengan abses parotis, 3,45% pasien dengan abses peritonsiler dan
pseudoangina Ludovici, 3,45% pasien abses peritonsiler dengan pseudoangina
Ludovici dan mediastinitis, 3,45% pasien abses submandibula dengan perluasan
ke regio bukal, 3,45% pasien abses submandibula dengan mediastinitis, 3,45%
pasien pseudoangina Ludovici dengan abses parafaring dan 3,45% pasien
pseudoangina Ludovici dengan pleuropneumonia.
Pada penelitian yang dilakukan Kamath dkk4
ditemukan sebanyak 66%
pasien dengan gejala klinis sulit menelan, sebanyak 59% dengan nyeri pada
leher, 48% dengan demam, 21% dengan trismus dan sesak sebanyak 17%.
Suebara dkk15
pada penelitiannya melaporkan pasien abses leher dalam dengan
gejala klinis nyeri sebanyak 98,75%, demam sebanyak 85%, nyeri menelan
sebanyak 23,75%, sulit menelan sebanyak 11,25%, sesak sebanyak 10% dan
nyeri pada gigi sebanyak 3,75%. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 100%
penderita abses leher dalam dengan gejala klinis nyeri, 51,72% pasien dengan
demam, 37,93% dengan sulit menelan, 27,58% dengan trismus dan 6,89%
dengan gejala sesak.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yang dkk7
dilaporkan bahwa kuman
terbanyak yang ditemukan pada penderita abses leher dalam adalah
Streptococcus viridans sebanyak 48,31% kemudian Klebsiella pneumoniae
sebanyak 29,21% dan Staphylococcus aureus sebanyak 14,60%. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Huang dkk14
kuman terbanyak yang ditemukan adalah
Streptococcus viridans dan Klebsiella pneumoniae dalam jumlah yang sama
banyak yaitu 33,9%. Pada penelitian ini hasil kultur kuman didapatkan
terbanyak adalah jenis kuman Streptococcus viridans sejumlah 12 orang atau
41,37%. Sedangkan jenis kuman Streptococcus pyogens merupakan jenis kuman
yang paling sedikit didapatkan sejumlah 1 orang atau 3,44%. Sebesar 17,24%
tidak didapatkan adanya pertumbuhan kuman pada kultur.
Menurut penelitian yang dilakukan Yang dkk7
dilaporkan bahwa sensitifitas
terhadap antibiotika Ceftriaxone dan Clindamycin sebanyak 76,40% terhadap
Ceftriaxone dan Metronidazole sebanyak 70,79% terhadap Penicillin,
21
Gentamicin dan Clindamycin sebanyak 67,42% dan sebanyak 61,80% terhadap
Cefuroxime dan Clindammycin. Pada penelitian ini karakteristik penderita abses
leher dalam berdasarkan sensitifitas terhadap antibiotika dimana dari 29 kasus
hanya 24 kasus yang didapatkan hasil tes sensitifitas antibiotika yang sensitif
terhadap kuman. Karakteristik terbanyak didapatkan sensitifitas antibiotika pada
golongan sefalosporin dan karbapenem dimana sensitif terhadap sefepim dan
meropenem masing-masing sebesar 100%. Sedangkan karakteristik paling
sedikit didapatkan sensitifitas antibiotika pada golongan tetrasiklin sebesar
20,83%.
Suebara dkk15
melaporkan bahwa sebanyak 23,75% pasien abses leher
dalam dengan faktor penyulit yaitu diabetes mellitus, 17,5% pasien dengan
hipertensi, 11,25% dengan penyakit jantung, 8,75% dengan penyakit kanker, 5%
dengan penyakit paru, 3,75% dengan infeksi HIV dan sebanyak 3,75%
merupakan pengguna narkoba. Huang dkk14
pada penelitiannya menemukan
bahwa sebanyak 34,1% pasien abses leher dalam dengan penyakit sistemik
diantaranya 88,8% dengan diabetes mellitus, 9,5% dengan uremia atau gagal
ginjal kronis, 4,8% pasien dengan sirosis hati, 2,4% pasien dengan sindrom
mielodisplastik dan sebanyak 1,2% pasien dengan keganasan pada lambung
yang sedang menjalani kemoterapi. Pada penelitian ini 89,65% pasien tanpa
faktor penyulit dan sebanyak 3 orang atau 10,35% pasien dengan faktor penyulit
yaitu diabetes mellitus, CKD dan ACKD.
Huang dkk14
melaporkan pada penelitiannya lama perawatan pasien abses
leher dalam rata-rata adalah 13 hari. Pasien dengan diabetes mellitus rata-rata
selama 19,7 hari, pasien dengan komplikasi rata-rata 27,3 hari. Pada penelitian
ini didapatkan rata-rata lama perawatan pasien abses leher dalam adalah 8,8 hari.
Huang dkk14
juga melaporkan bahwa sebanyak 16,2% pasien dengan
komplikasi sedangkan pada penelitian ini sebanyak 13,78% pasien dengan
komplikasi.
22
IV. KESIMPULAN
Dua puluh sembilan penderita dengan abses leher dalam diinklusi pada
penelitian ini dengan menilai karakteristik yang berhubungan dengan jenis
kelamin, usia, keluhan, diagnosis, kultur kuman, sensitifitas terhadap
antibiotika, lama perawatan, faktor penyulit serta komplikasi. Penderita dengan
abses leher dalam yang datang ke RSUP Sanglah periode Januari sampai
Desember 2014 dengan distribusi jenis kelamin yaitu laki-laki yaitu 75,86% dan
perempuan 24,14% dengan rata-rata usia 50,33 tahun. Penderita abses leher
dalam dengan diagnosis terbanyak adalah abses peritonsiler sebanyak 31,04%.
Sebesar 100% penderita abses leher dalam dengan gejala klinis nyeri. Pada
kultur kuman yang terbanyak ditemukan adalah Streptococcus viridans
sebanyak 41,37% dan sensitifitas antibiotika pada golongan sefalosporin dan
karbapenem dimana sensitif terhadap sefepim dan meropenem masing-masing
sebesar 100%. Penderita abses leher dalam sebanyak 89,65% tanpa faktor
penyulit. Rata-rata lama perawatan pasien abses leher dalam pada penelitian ini
adalah 8,8 hari. Penderita abses leher dalam sebanyak 86,22% tanpa komplikasi.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Novialdi, Pulungan MR. Pola kuman abses leher dalam. Bagian THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2010. Diunduh dari url:
http://repository.unand.ac.id/18384. Diakses tanggal 24 Agustus 2015.
2. Novialdi, Triana W. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan intubasi
dan komplikasi fistula faringokutan. Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. 2011. Diunduh dari url:
http://repository.unand.ac.id/18174. Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
3. Rahardjo SP. Infeksi leher dalam. Graha Ilmu: Jakarta; 2006
4. Kamath MP, Shetty AB, Hegde MC, Sreedharan S, Bhojwani K,
Padmanabhan K, dkk. Presentation and management of deep neck space
abscess. Indian Journal of otolaryngology and Head and Neck Surgery (serial
online) 2003 Okt-Des; 1 (1). Diunduh dari url:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23119999. Diakses tanggal 5 Agustus
2015.
5. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H, Hosseinnejad F, Ghazipour A, Yavari M,
dkk. Predisposing factors for the complications of deep neck infection.
Iranian Journal of Otolaryngology (serial online) 2010 April. Diunduh dari
url: http://ijorl.mums.ac.id. Diakses tanggal 4 Agustus 2015.
6. Coelho MS, Ramos G, Prestes LC, Andrea S, de Oliviera MSB, Lobo P. Deep
neck infections-classification in levels of severity. Intl Arch Otorhinolaryngol
[serial online] 2009 Jun. Diunduh dari url: http://www.arquivosdeorl.org.br.
Diakses tanggal 4 Agustus 2015.
7. Yang SW, Lee MH, See LC, Huang SH, Chen TM, Chen TA. Deep neck
abscess-an analysis of microbial etiology and the effectiveness of antibiotics
(serial online) 2008. Diunduh dari url:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108716. Diakses tanggal 6
Oktober 2015.
http://repository.unand.ac.id/18384http://repository.unand.ac.id/18174http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23119999http://ijorl.mums.ac.id/http://www.arquivosdeorl.org.br/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108716
24
8. Aynehchi BB, Har-El G. Deep neck infections. Dalam: Johnson JT, Rosen
CA, penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-
5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h. 794-814.
9. Hegde A, Mohan S, Lim WEH. Infections of the deep neck spaces. Singapore
Med J (serial online) 2011; 53 (50). Diunduh dari url:
http://apamedcentral.orgi. Diakses tanggal 6 Oktober 2015.
10. Conrad DE, Parikh SR. Deep neck infections. Infectious Disorders-Drug
Targets (serial online) 2011; 12 (4). Diunduh dari url:
http://www.ingentaconnect.com. Diakses tanggal 28 September 2015.
11. Reilly BK, Reilly JS. Retropharyngeal abscess: diagnosis and treatment
update. Infectious Disorders-Drug Targets (serial online) 2012; 12 [4].
Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22338591. Diakses
tanggal 28 September 2015.
12. Biron VL, Kurien G, Dziegielewski P, Barber B, Seikaly H. Surgical vs
ultrasound-guided drainage of deep neck space abscesses: a randomized
controlled trial;surgical vs ultrasound drainage. Journal of Otolaryngology-
Head & Neck Surgery (serial online) 2013; 42 (18). Diunduh dari url:
http://www.journalotohns.com/content/42/1/18. Diakses tanggal 17 Oktober
2015.
13. Garca MF, Budak A, Demir N, Cankaya H, Kiroglu AF. Characteristics of
deep neck infection in children according to weight percentile. Clinical and
Experimental Otorhinolaryngology (serial online) 2014 Jun; 7 (2). Diunduh
dari url: http://dx.doi.org/10.3342/ceo.2014.7.2.133. Diakses tanggal 25
September 2015.
14. Huang TT, Liu TC, Chen PR, Tseng FY, Yeh TH, Chen YS. Deep neck
infection: analysis of 185 cases. Wiley InterScience. 2004 Oktober:h.855-60.
15. Suebara AB,Goncalves AJ, Alcadipani FAMC, Kavabata NK, Menezes MB.
Deep neck infection: analysis of 80 cases. Brazillian Journal of
Otorhinolaringology 74(2).2008 Mar-Apr;h.253-9.
16. Gorjon PS, Perez PB, Martin ACM, Dios JCP, Alonso SE, Cabanillas MIC.
Deep neck infection: review of 286 cases. Elsevier Espana 2011 Jun:h.32-41.
http://apamedcentral.orgi/http://www.ingentaconnect.com/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22338591http://www.journalotohns.com/content/42/1/18http://dx.doi.org/10.3342/ceo.2014.7.2.133
25
17. Shah UK, Hall MB. Deep neck space infections empiric therapy. Diunduh
dari url:http;//www.emedicine.medscape.com/article/2014986-overview.
Diakses tanggal 20 Februari 2016.
Recommended