View
79
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
STUDI KASUS 1 MODUL EMG
SEORANG LAKI-LAKI YANG MENGELUH SERING KENCING
KELOMPOK X
Stella May Herliv 03009242
Suci Ananda Putri 03009243
Susi Indrawan 03009245
Syavina Wardah 03009247
Syahriar Muhammad 03009248
Sylvia Alviodita 03009249
Tara Wandhita Usman 03009250
Teresa Shinta Prameswari 03009252
Tezar Andrean 03009253
Theresia Sutjiarto 03009254
Thiea Arantxa 03009255
Tri Annisa 03009257
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
13 MARET 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit multisistem dengan ciri hiperglikemia
akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Kelainan pada sekresi/kerja
insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa
DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat, tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.1
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh dunia
menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari
24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar
glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram).
Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes
Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita
dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial
rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku
Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun
yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas
(sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi
perhari.2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Robert
Umur : 18 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : -
Status pernikahan : -
Agama : -
HASIL ANAMNESIS
- Pasien mengeluh selalu merasa cepat lelah, lemas dan sering buang air kecil baik pada
siang hari maupun malam.
- Setiap malam tidak kurang dari enam kali dia buang air kecil dan banyak.
- Harus sering minum air pada malam hari karena setelah BAK, dia merasa sangat haus.
- Siang hari selalu memerlukan membeli soft drink, untuk penawar hausnya yang tidak
tertahankan.
- Kemarin merasa sangat letih dan mengantuk hingga tidak dapat berpikir jernih.
Dari hasil anamnesis, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami:
- Poliuria, yaitu volume buang air kecil yang lebih banyak daripada normal.
- Polakisuria, yaitu frekuensi buang air kecil yang sering daripada normal.
- Polidipsi, yaitu frekuensi minum yang lebih sering daripada normal, yang diakibatkan
rasa haus yang terus-menerus dirasakan. Pasien selalu membeli soft drink pada siang hari.
- Nokturia, yaitu frekuensi buang air yang sering pada malam hari, yang dialami pasien
tidak kurang dari enam kali setiap malam.
- Rasa cepat lelah dan lemas, dan kemarin pasien merasa sangat letih dan mengantuk
hingga tidak dapat berpikir jernih.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : -
Kesadaran : -
Tanda vital
Tekanan darah : 115/75 mmHg
Nadi : -
Suhu : -
Pernapasan : -
Antropometri
Tinggi badan : 175 cm
Berat badan : 60 kg
BMI : 19,6 kg/m2
Dari hasil pemeriksaan fisik, dapat disimpulkan bahwa:
- Tekanan darah pasien dalam batas optimal, dengan nilai optimal 110-120/70-80 mmHg.
- Indeks massa tubuh pasien dalam batas normal, dengan nilai normal sekitar 18-20 kg/m2.
Namun masih harus dikonfirmasikan apakah selama ini terdapat penurunan berat badan
atau tidak.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Glukosa +++ (-)
Keton ++ (-)
Leukosit 0-2/LPB 0-1/LPK
Eritrosit 0-1/LPB 0-1/LPK
Protein (-) (-)
Dari hasil urinalisis, dapat disimpulkan bahwa:
- Pasien mengalami glukosuria, yang ditunjukkan dari pemeriksaan glukosa dengan hasil
positif 3.
- Terdapat ketonuria yang ditunjukkan dari pemeriksaan keton dengan hasil positif 2.
- Tidak ada hematuria, yang menunjukkan bahwa tidak terjadi kebocoran eritrosit pada
ginjal maupun tidak ada perdarahan pada traktus urinarius.
- Tidak ada piuria, yang menunjukkan bahwa tidak terjadi infeksi saluran kemih.
- Tidak ada proteinuria, yang menunjukkan bahwa fungsi filtrasi ginjal terhadap protein
masih dalam batas normal.
A. FAKTOR RESIKO YANG TERIDENTIFIKASI
Tidak banyak faktor risiko yang dikenal untuk diabetes tipe 1, meskipun peneliti terus
menemukan kemungkinan baru. Beberapa faktor risiko yang diketahui meliputi:
Riwayat keluarga. Siapapun yang memiliki orang tua atau saudara dengan diabetes tipe 1
memiliki sedikit peningkatan risiko mengembangkan kondisi tersebut.
Genetika. Kehadiran gen tertentu menunjukkan peningkatan risiko pengembangan
diabetes tipe 1. Dalam beberapa kasus - biasanya melalui uji klinis berupa uji genetik.
Geografi. Insiden diabetes tipe 1 cenderung meningkat saat Anda melakukan perjalanan
jauh dari khatulistiwa. Masyarakat yang tinggal di Finlandia dan Sardinia memiliki
insiden tertinggi diabetes tipe 1 - sekitar dua sampai tiga kali lebih tinggi dari bunga di
Amerika Serikat dan 400 kali dari orang yang tinggal di Venezuela.
Kemungkinan faktor risiko untuk diabetes tipe 1 meliputi:
Paparan virus. Paparan Epstein-Barr virus, coxsackievirus, virus gondok atau
sitomegalovirus dapat memicu kerusakan autoimun sel islet, atau virus dapat langsung
menginfeksi sel-sel islet.3
Usia. Diabetes Mellitus Tipe 1 timbul pada anak dan dewasa muda4. Ini merupakan satu-
satu nya faktor risiko yang teridentifikasi dalam kasus ini, dimana diketahui pasien
Robert berusia 18 tahun.
B. MASALAH DAN HIPOTESIS
Masalah Dasar Masalah Hipotesis
Cepat lelah dan lemas Keluhan pasien 1. Anemia
2. Kurang gizi
3. Hipoglikemia
4. Diabetes Melitus
Polakisuria Keluhan pasien :
Sering buang air kecil baik
siang atau malam
1. Infeksi Saluran Kemih
2. Diabetes Melitus
3. Diabetes Insipidus
4. Hipertensi
Poliuria Keluhan pasien :
Selain sering, volume urin
juga banyak
1. Diabetes Melitus
2. Diabetes Insipidus
3. Hipertensi
Polidipsi Keluhan pasien :
Sering minum air pada
malam hari dan siang hari
1. Diabetes Melitus
2. Diabetes Insipidus
Glukosuria Glukosa urin +3 1. Diabetes Melitus
Ketonuria Keton urin +2 1. Diabetes Melitus
Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yang diperoleh dapat disingkirkan beberapa
kemungkinan hipotesis:
1. Poliuria dan polakisuria bukan disebabkan karena hipertensi karena tekanan darah pasien
masih normal.
2. Cepat lelah dan lemas bukan disebabkan oleh kekurangan gizi karena BMI pasien dalam
batas normal untuk Asia (19.57). BMI pada pasien ini sah karena berat pasien tidak
Anamnesis(cepat lelah, lemas,
mengantuk, polakisuria, poliuria,
polidipsi)
Anemia
Kekurangan Gizi
Diabetes Melitus
Diabetes Insipidus
Infeksi Saluran Kemih
Hipertensi
Pemeriksaan fisikBMI 19.57 (normal)Tekanan darah 115/75
Anemia
Diabetes Melitus
Diabetes Insipidus
Infeksi Saluran Kemih
Pemeriksaan LaboratoriumGlukosa +3Keton +2Leukosit 0-2/LPB (normal)Eritrosit 0-1/LPBProtein (-)
Anemia (masih perlu pemeriksaan lanjut)
Diabetes Melitus
Kekurangan Gizi
Hipertensi
Diabetes Insipidus
Infeksi Saluran Kemih
dipengaruhi oleh edema karena pada pemeriksaan laboraturium urin tidak ditemukan
protein.
3. Hipotesis Diabetes Insipidus dapat disingkirkan karena pada Diabetes Insipidus tidak
disertai glukosuria.
4. Hipotesis Infeksi Saluran Kemih dapat disingkirkan karena leukosit pada urin masih
dalam batas normal.
Skema Hipotesis
C. PENGKAJIAN MASALAH DAN DIAGNOSIS
Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Untuk
diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian, dapat juga dipakai
bahan darah utuh dari vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka criteria
diagnostic yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
PERKENI membagi alur diagnostic DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM seperti polidipsi, polifagi, poliuri dan berat badan turun tanpa
sebab yang jelas. Sedangkan untuk gejala tidak khasnya lemas, kesemutan, luka yang
sukar sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi dan pruritus vulva. Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Table criteria DM
1
2
3
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan
75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Diagnosis kerja:
Diabetes mellitus
Patofisologi Diabetes melitus tipe I:
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses
imunologik maupun idiopatik.
Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk
kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit,
antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Proses perusakan ini
hampir pasti karena proses autoimun, meski rinciannya masih samar. Pertama, harus ada
kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai
proses ini pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini merupakan satu
mekanisme pemicu tetapi agen non infeksius juga dapat terlibat. Ketiga, dalam rangkaian
respon peradangan pankreas, disebut insulitis. Sel yang mengifiltrasi sel beta adalah monosit
atau makrofag dan limfosit T teraktivasi. Keempat, adalah perubahan atau transformasi sel
beta sehingga tidak dikenali sebagai sel sendiri, tetapi dilihat oleh sistem imun sebagai sel.
Kelima, perkembangan respon imun karena dianggap sel asing terbentuk antibodi sitotoksik
dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan
sel beta dan penampakan diabetes.
DM tipe 1 berkembang sebagai akibat dari faktor genetik,lingkungan, dan faktor imunologi
yang menghancurkan sel-sel pancreas. Gejala DM tidak akan muncul pada seorangindividu
hingga ± 80% sel pankreas dihancurkan.
1 Umumnya berkembang dari masa anak ± anak dan bermanifestasi saat remaja yang
kemudian berprogres seiring bertambahnya umur (Gambar A-1). DM tipe ini
sangat bergantung dengan terapi insulin karena jika tidak mendapatkan insulin penderita akan
mengalami komplikasimetabolik serius berupa ketoasidosis dan koma
Faktor Genetik
Berdasarkan studi yang ada didapatkan berbagai gen yang dapat memicu timbulnya DM tipe
1. Gen yang paling berpengaruh adalah lokus HLA pada kromosom 6p21 yaitu sekitar 50%
penderita DM tipe 1 memilikiHLA-DR3 atau HLA-DR4 haplotype. Beberapa gen non-HLA
yang dapat memicu timbulnya DM tipe 1adalah insulin denganvariable number of tandem
repeats(VNTRs) pada region promoter. Polimorfisme dariCTLA4 dan PTPN22 menganggu
fungsi aktivitasnya sebagai inhibitor respon sel T dapat memicu prosesautoimun pada DM
tipe 1.
faktor Autoimmunitas
Di antara sekian banyak jenis sel pankreas, hanya sel β yang dihancurkan oleh sistem imun.
Walaupun demikian tipe sel islet lain seperti sel α yang memproduksi glukagon, sel Δ yang
memproduksi somatostatin,dan sel PP yang memproduksi polipeptida pankreas, masih
berfungsi. Terlebih lagi, secara embriologi sel-sel islet lain tersebut mirip dengan sel β dan
juga mengekspresikan protein yang sebagian besar sama dengan sel. Sel β peka terhadap efek
toksik dari beberapa sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon, dan interleukin
1 (IL-1). Mekanisme dari proses kematian sel β belum diketahui dengan pasti, namun proses
ini dipengaruhi oleh pembentukkan metabolit nitric oxide (NO), apoptosis, dan sitotoksisitas
dari sel TCD8+.1 Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah kegagalan dari self-
tolerance sel T. Kegagalan toleransiini dapat disebabkan oleh defek delesi klonal pada sel
T self-reactive pada timus, defek pada fungsi regulator atau resistensi sel T efektor terhadap
supresi sel regulator. Hal hal tersebut membuat sel T autoreaktif bertahan dan siap untuk
berespon terhadap self-antigens. Aktivasi awal dari sel tersebut terjadi pada noduslimfe
peripankreatik sebagai respon terhadap antigen yang dilepaskan dari sel Pulau Langerhans
yang rusak
Sel T yang teraktivasi bergerak ke pancreas merusak sel β. Populasi sel T yang dapat
menyebabkan kerusakan tersebut adalah TH1 cells (merusak dengan mensekresi sitokin =
including IFN- and TNF) dan CD8+ CTLs. 2 Sel islet pankreas yang menjadi target
autoimun antara lain adalah
Islet cell autoantibodies (ICA) yangmerupakan suatu komposisi dari beberapa antibodi yang
spesifik pada molekul sel islet pankreas sepertiinsulin, glutamic acid decarboxylase (GAD),
ICA-512/IA-2 (homolog tirosin-fosfatase), dan phogrin (proteingranul yang mensekresi
insulin). Sehingga antigen tersebut merupakan marker dari proses autoimun DM tipe1. 1,2
Faktor Lingkungan
Berbagai faktor lingkungan sering dikaitkan dengan DM, namun tidak satupun pernah terbukti
benar-benar berpengaruh. Faktor yang diduga memicu DM antara lain meliputi virus
(coxsackie B, mumps,cytomegalovirus dan rubella). Terdapat 3 hipotesis yang menjelaskan
bagaimana virus dapat menimbulkan DM tipe 1 Akibat infeksi virus, inflamasi, serta
kerusakan sel Pulau Langerhans. Virus memproduksi protein yang mirip dengan antigen sel β
sehingga memicu respon imun yang juga beraksi dengan sel β pada pancreas. Infeksi virus
terdahulu yang menetap pada jaringan Pankreas kemudian terjadi reinfeksi dengan virus yang
sama yang memiliki epitop antigenic yang sama memicu respon imun pada sel Pulau
Langerhans. Dari ketiga hipotesis tersebut belum ada yang dapat menjelaskan secara pasti
pathogenesis infeksi virus terhadap timbulnya DM tipe 1. Vaksinasi pada anak tidak ada
hubungannya dengan timbulnya DM tipe 1. Faktor lain yang dapat memicu DM tipe 1 adalah
protein susu bovine dan komponen nitrosurea.
D. RENCANA PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan:
Definisi keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa tergantung pada pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah, beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna dalam
menentukan subklas, penelitian epidemiologi, dalam menentukan mekanisme dan
perjalanan alamiah diabetes.
Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian :
- Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta. Hal ini dapat dinilai dengan memeriksa
konsentrasi insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-peptide). Nilai –
nilai “Glycosilated hemoglobin”, nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat
gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
- Indeks proses diabetogenik. Untuk penilaian proses diabetogenik, saat ini telah dapat
dilakukan penentuan tipe dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer antibody dalam
sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau langerhans, anti GAD (Glutamic Acid
Decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap
pancreas.5
Rawat inap sampai ketoasidosis teratasi.
Non medikamentosa
Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Medikamentosa:
Insulin
E. DASAR PENATALAKSANAAN
Terdapat 4 pilar (dasar) tatalaksana untuk penyakit diabetes mellitus, yaitu edukasi, terapi
gizi medik, latihan jasmani, dan yang terakhir adalah terapi farmakologis. Tujuan terapi
adalah untuk mengendalikan penyakit dan memperkecil terjadinya komplikasi pada
penderita DM. Kelompok kami sepakat mendahulukan 3 pilar teratas (edukasi, diet dan
latihan fisik) dan memberikan terapi farmakologi setelah memperoleh hasil tes gula darah
pasien atau hasil tes C-Peptide untuk menentukan tipe DM. Jadi, yang kami cantukan
dibawah ini adalah terapi farmakologi yang dapat menjadi pilihan setelah dokter
menegakkan diagnosis (beserta tipe) DM.
Edukasi
Edukasi sangat penting diberikan oleh dokter untuk setiap pasien yang diduga maupun
sudah didiagnosis menderita DM. Edukasi harus diberikan secara terus menerus dan
dalam pengawasan tenaga ahli. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal
membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim
kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang
berlangsung seumur hidup.
Kepada pasien harus diberitahukan bahwa penyakitnya ini bersifat kronik, tidak bisa
sepenuhnya sembuh namun dapat dikendalikan. Dokter harus bisa menanamkan kesadaran
diri pada pasien untuk mengkontrol penyakitnya dan menjadi motivator. Perlu
dinformasikan juga kepada pasien tentang apa saja tatalaksana yang harus dijalani, kapan
dan bagaimana ia harus memonitor perkembangan penyakitnya, apa saja kemungkinan
komplikasi dan bagaimana perkiraan prognosisnya.
Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan
inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses
edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan
evaluasi.
Terapi Gizi (Diet)
Tujuan dari terapi gizi yang diberikan pada penderita DM adalah untuk mencegah
peninggian kadar gula darah setelah makan sehingga dapat menurunkan gejala DM,
mencegah hipoglikemi pada penderita yang mendapat terapi insulin, mencapai berat badan
ideal, menormalkan serum kolesterol dan trigliserid, dan mencegah artheriosclerosis
prematur.
Karbohidrat
Digunakan sebagai sumber energi, pada penderita diabetes tidak boleh diberikan lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi perhari atau tidak lebih dari 70% jika
dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal. Catatan lain
yaitu, jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi asal tidak melebihi
total kalori perhari, menggunakan pemanis non kalori (sakarin, aspartame, acesulfam,
sukralosa), konsumsi alkohol tidak lebih dari 60 gram/hari.5
Kentang, nasi, dan berbagai macam roti termasuk sumber karbohidrat yang sebaiknya
dihindari karena mengandung zat tepung yang tinggi. Beberapa sumber karbohidrat
yang tinggi gula seperti madu, selai, dan jelly juga sebaiknya dihindari. Beberapa
buah-buahan juga mengandung gula yang tinggi tapi tidak sepenuhnya dihindari
karena juga mengandung serat tinggi dan mudah dicerna tubuh.6
Protein
Beberapa pedoman menyetujui penderita DM tanpa gangguan fungsi ginjal
direkomendasikan mengkonsumsi protein dalam jumlah yang sama dengan orang
normal (tidak menderita DM) yaitu sebesar 15-20% dari total kalori perhari.7 namun,
pada penderita DM dengan gangguan fungsi ginjal, pemberian protein diturunkan
sampai 0.85 gram/kg BB/hari dan tidak kurang dari 40 gram.5
Lemak
Batasi konsumsi lemak jenuh dengan jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan
kalori perhari. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg perhari, jika kadar LDL ≥ 100
mg/dl maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi adalah 200 mg/hari. Selain itu
dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan
asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan membatasi asupan asam lemak bentuk
trans.5
Sebisa mungkin menghindari konsumsi lemak jenuh dengan menggunakan minyak
zaitun atau canola untuk memasak, selain itu kuranhi konsumsi daging merah, susu
dan produk susu karena bahan-bahan ini tinggi akan kadar lemak.6
Untuk mengetahui jumlah kebutuhan kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada
tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Status gizi dapat ditentukan dengan
menghitung BMI atau berdasarkan rumus Broca.
Contoh konsumsi harian penderita DM sebagai berikut:6
Sarapan : satu butir telur dan sepotong roti gandum ditambah dengan jus buah
tanpa gula atau bisa diganti dengan teh atau kopi tanpa gula (dengan pemanis non
kalori yang telah disebutkan diatas)
Makan siang : sayuran hijau dengan ayam atau ikan, daging kambing boleh
dikonsumsi sesekali. Ditambah dengan salad tanpa minyak.
Makan malam : bisa sama dengan makan siang.
Disarankan porsi makanan dibagi atas 3 porsi makan besar (sarapan, makan siang dan
makan malam) dan 3 porsi makan kecil sebagai selingan.
Latihan Fisik
Latihan fisik pada penderita DM bertujuan untuk menurunkan kadar gula darah
dengan cara meningkatkan kebutuhan otot terhadap glukosa. Selain itu, kegiatan fisik
dapat mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup.
Macam latihan fisik yang dapat dipilih adalah:
Continuous
Latihan berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa henti. Contohnya
jogging 30 menit tanpa istirahat.
Rhytmical
Latihan fisik berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
Contohnya dengan jalan kaki, jogging, lari, berenang, bersepeda, dan mendayung.
Interval
Latihan dilakukan selang-selinf antara gerak cepat dan lambat. Contohnya jalan
cepat diselingi dengan jalan lambat.
Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intesnitas ringan sampai
sedang hingga mencapai 30-60 menit.
Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi. Contohnya
dengan berjalan santai atau berjalan cepat, jogging, berenang dan bersepeda.
Terapi Farmakologis
Insulin
Insulin diberikan secara subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah
dalam batas normal sepanjang hari yaitu 80-160 mg% setelah makan. Insulin dapat
segera diberikan dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria.5
Golongan biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di
jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan
meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Preparat yang ada dan aman
adalah metformin. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Metformin juga
dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan
total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga
2%. Pada pemakaian tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah
sampai 20%.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi akut dapat berupa :
1.Hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/dl
2.Keto Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis metabolic dan
iperketogenesis
3.Koma Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang ditimbulkan oleh
hiperlaktatemia.
4.Koma Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3 hanya saja tidak ada
hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.
Komplikasi kronis :
Biasanya terjadi pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam jangka waktu kurang
lebih 5 tahun. Dapat dibagi berdasarkan pembuluh darah serta persarafan yang kena atau
berdasakan organ. Pembagian secara sederhana sebagai berikut :
1. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah yang dapat dilihat
secara mikroskopis) antara lain pembuluh darah jantung / Penyakit Jantung Koroner,
pembuluh darah otak /stroke, dan pembuluh darah tepi / Peripheral Artery Disease.
2. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain retinopati diabetika
(mengenai retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai ginjal).
3. Neuropati, mengenai saraf tepi. Penderita bisa mengeluh rasa pada kaki/tangan
berkurang atau tebal pada kaki atau kaki terasa terbakar/bergetar sendiri.
G. PROGNOSIS
Prognosis pada pada pasien menurut kelompok kami adalah sebagai berikut :
Ad vitam : ad Bonam
Karena jika pasien patuh dalam terapi, penyakit DM yang terkontrol memiliki harapan
hidup yang cukup tinggi. Kematian biasanya dikarenakan komplikasi dari DM.
Ad Fungsionam : dubia ad malam
DM kronik merusak hampir semua organ karena timbunan glukosa dalam darah. Dan
penyakit ini tidak bisa benar-benar disembuhkan.
Ad Sanantionam : ad bonam
Karena tidak ada kekambuhan untuk diabetes melitus.
BAB III
PEMBAHASAN
Informasi yang diberikan pada kasus pertama ini kurang lengkap sehingga membuat
kelompok kami sulit untuk mengambil suatu diagnosis pasti. Kelompok kami akhirnya hanya
dapat menarik suatu diagnosis kerja Diabetes Mellitus.
Diagnosis
Pada hasil anamnesis, informasi yang menurut kami perlu ditanyakan adalah:
Apakah ada penurunan berat badan yang signifikan dalam waktu singkat?
Apakah jadi sering lapar?
Dua pertanyaan di atas diarahkan kepada gejala khas Diabetes Mellitus (DM), yakni polifagi
dan berat badan yang menurun tanpa sebab yang jelas.8,9 Sedangkan untuk gejala khas poliuria
dan polidipsia sudah didapatkan dari kasus.
Selanjutnya, perlu juga ditanyakan anamnesis yang mengarah pada gejala-gejala tidak khas
DM yang tidak tercantum dalam skenario kasus, diantaranya luka yang sulit sembuh, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi.8,9
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi gula darah. 8,10 Pada scenario
kasus tidak diberikan hasil pemeriksaan glukosa darah. PERKENI membagi alur diagnosis
DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal.8
Diagnosis DM juga dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria berikut:8,10
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Atau
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L
TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) dilakukan dengan standar WHO, menggunakan
beban glukosa yang setara dengan 78 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Dari hasil pemeriksaan urinalisis yang dicantumkan dalam skenario kasus, didapatkan
keadaan glukosuria dan ketonuria pada pasien ini. Keadaan glukosuria dapat dijumpai pada
semua tipe diabetes, sedangkan untuk ketonuria biasa ditemukan pada diabetes mellitus tipe
1.9 Untuk patofisiologinya dapat dilihat pada bab sebelumnya.
Faktor Risiko
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada setiap individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT) ≥ 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut:8
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African, American, Latino, Native American, Asian
American, Pacific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau riwayat Diabetes
Mellitus Gestational (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi)
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sehingga dapat ditentukan langkah yang
tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju
DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3
tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. TGT berkaitan dengan resistensi insulin.8
Pada kasus, tidak ditemukan faktor risiko seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu,
perlu dilakukan anamnesis yang lebih mendalam pada pasien ini.
Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi di atas diambil dari American Diabetes Association (ADA) tahun 2003. Pada
tahun 2009 ADA menambahkan satu klasifikasi lain, yaitu Diabetes mellitus gestasional.8
Dari hasil diskusi, kelompok kami tidak mengklasifikasikan diabetes mellitus yang diderita
oleh pasien ini. Karena untuk membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan 2 diperlukan
pemeriksaan kadar insulin dan peptida-C.9
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
3. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing. p. 1880-3
2. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes:
estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2004
May;27(5):1047-53.
3. Mayo Clinic. Risk Factor of Diabetes Mellitus Type 1. Available at :
http://www.mayoclinic.com/health/type-1-diabetes/DS00329/DSECTION=risk-
factors. Accesed on March 9th, 2012.
4. Greenstein B, Wood D. At a Glance : Sistem Endokrin. 2nd ed. Jakarta: Erlangga
Medical Series; 2010. p. 85
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, K Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 1880- 82.
6. Available at :http://www.diabetesmellitus-information.com/diabetes-diet-
management.htm
7. Available at http://www.guideline.gov/syntheses/synthesis.aspx?id=16430
8. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing;2009. p.1880-3
9. Medscape. Khardori R. Type 1 Diabetes Mellitus Clinical Presentation. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/117739-clinical. Accessed on March 5, 2012
10. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: Mc-Graw Hill Companies
Inc.;2008. p.7037-9
BAB V
PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Sekian penjelasan kami menganai hasil diskusi kasus pertama. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih kepada tutor pembimbing dan para narasumber yang kemudian akan menilai
makalah dan presentasi kami. Kritik dan saran akan kami jadikan pembelajaran untuk diskusi,
pembuatan makalah, ataupun seminar selanjutnya. Semoga ilmu yang dipelajari dapat
berguna.
Recommended