View
186
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
makalah ini di buat untuk memenuhi tugas ujian akhir blok
Citation preview
Peran Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Leadership and Manajemen in
Nursing
Disusun oleh:
KELOMPOK 1
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2013
Kelompok 1
1. Ahmad Jaelani (SA10002)
2. Bagus Permadi (SA10012)
3. Christa Juli Sari. S (SA10015)
4. Dessy Angghita (SA10017)
5. Ita Juwita Sari (SA10029)
6. Marsiyanti (SA10033)
7. Riris Natalia. S (SA10043)
8. Sustania (SA10047)
9. William (SA10052)
10. Yunita Sari (SA11060)
11. Yusnita Heidi Laura (SA10053)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Tuhan YME yang mana berkat Rahmat dan Hidayah-
Nya Tugas Makalah Peran Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan dapat di
selesaikan tepat pada waktunya.Adapun materi yang dibahas dari makalah ini
adalah Peran Kepeminpinan dan Manajemen Keperawatan yang ada di lapangan
berdasarkan jurnal.
Kami menyadari bahwa terselesaikannya tugas ini, tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Herwinda Sinaga S.Kep, Ners
2. Dr.Blacius Dedi, SKM, M.Kep
3. Saurmian Sinaga, S.Kep,Ners,M.MKes
4. Semua anggota kelompok 1 yang telah bekerjasama dalam mengerjakan
tugas makalah ini.
Kami menyadari akan berkembangnya ilmu pengetahuan yang tak pernah
berhenti, oleh karena itu kami menerima semua saran dan kritik guna untuk
memperbaiki di masa mendatang.
Bandung, 14Oktober 2013
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................4
1.2.1 Tujuan Umum....................................................................................4
1.2.2 Tujuan Khusus...................................................................................4
1.3 Metode Penulisan......................................................................................5
1.4 Sistematika Penulisan................................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................6
2.1 Kepemimpinan Dalam Keperawatan.........................................................6
2.2 Pengertian Kepemimpinan........................................................................7
2.3 Teori Kepemimpinan.................................................................................8
2.4 Gaya Kepemimpinan.................................................................................9
2.5 Pemimpin yang efektif............................................................................10
2.6 Kepemimpinan dan kekuasaan................................................................12
2.7 Pimpinan dan kepemimpinan..................................................................13
2.8 Konsep Manajemen Keperawatan...........................................................15
2.9 Proses Manajemen Keperawatan.............................................................16
2.10 Manajemen konflik..............................................................................17
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................23
3.1 Manajemen Kepala Ruangan dan Motivasi Kerja...................................23
ii
iii
3.2 Gaya Kepemimpinan Manajemen Konflik Kepala Ruangan..................32
3.3 Kompetensi Kepala Ruang Dalam Pelaksanaan Standar Manajemen
Pelayanan Keperawatan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perawat Dalam
Mengimplementasikan Model Praktik Keperawatan profesional......................34
BAB IV PENUTUP...............................................................................................46
4.1 Simpulan..................................................................................................46
4.2 Saran........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................48
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepanjang sejarah, keperawatan di tuntut untuk berespon terhadap perubahn
teknologi dan kekuatan sosial. American Nurses Association/ ANA (1996)
menyatakan bahwa tanggung jawab manajerial yang baru berada pada
penggelolaan layan keperawatan yang memerlukan perawat administrator
yang memiliki pengetahuan, terampil dan komponen dalam semua aspek
manajemen. Saat ini, terdapat penekanan yang lebih besar pada bisnis
pelayanan kesehatan, dengan manajer dilibatkan dalam aspek pinansial dan
pemasaran pada bagian masing-masing. Untuk menghadapi perluasan
tanggung jawab dan tuntutan, peran manajer harus beralih kedimensi baru
untuk menfasilitasi kualitas hasil perawatan pasien dan memenuhi tujuan
umum dan tujuaan khusus institusi.
Demikian juga, kebutuhan untuk mengembangkan keterampilan
kepemimpinan tidak sebesar reformasi yang ada di pelayanan kesehatan pada
tinggkat nasional, Negara, dan komunitas. Keterampilan kepemimpinan juga
diperlukan untuk team building (membangun tim) di tinggkat organisai.
Menjamin keberhasilan perekrut, mempertahankan kekompoakan staf
keperawatan, dan mempertahankan praktek berkualitas tinggi bergantung
pada keberhasilan team building.
American Nurses Association (1996) telah mengidentifikasi tiga
kecendrungan nasional dan dampak selanjutnya pada pelayanan kesehatan.
Pertama, peningkatan dalam managed care, yang ditujukan untuk menekan
peningkatan biaya pelayanan kesehatan nasional, menghasilkan perancangan
1
2
kembali sebagian besar organisasi pelayanan kesehatan. Kedua, terjadi
pergeseran dalam lokus pelayanan, dari perawat akut komunitas ke komunitas
dan rawat jalan. Ketiga, pergeseran terjadi juga dari perawatan episodik ke
perawatan preventif atau restoratif. Dua pergeseran terakhir mengakibatkan
penurunan kebutuhan pelayanan rawat inap dan peningkatan kebutuhan
pelayanan rawat jalan dan pelayanan tradisional, misalnya perawatan di
rumah, perawatan jangka panjang, dan kesehatan mental komunitas.
Karena tuntutan lingkungan terhadap pemenuhan kebutuhan semakin cepat,
pimpinan perawat harus mengembangkan ketrampilan dalam bidang
keuangan dan politik secara inovatif. Untuk beradaptasi dengan realita
managed care, perawat harus dipersiapkan menjadi pemikir kritis dan
manajer. Mereka harus siap menghadapi perubahan, bertahan dalam
lingkungan yang tidak stabil, dan menciptakan hasil sistem pendukung untuk
yang lainnya (Porter O’ Grady 2000).
Manajer adalah seorang yang mempunyai wewenang untuk memerintah
orang lain. Seorang manajer dalam menjalankan pekerjaan dan tanggung
jawabnya menggunakan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, ia perlu memimpin pegawai, karyawan,
pekerja, atau apapun sebutannya. Tidak setiap orang yang ditunjuk sebagai
pemimpin bisa menjalankan pekerjaan dengan baik. Selain itu, tidak setiap
pemimpin dapat menjadi pemimpin yang baik.
Mc. Gregor menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan
individu secara keseluruhan yang selalu mengadakan interaksi dengan dunia
individu lainnya. Apa yang terjadi dengan orang tersebut merupakan akibat
dari perilaku orang lain. Sikap dan emosi dari orang lain mempengaruhi
orang tersebut. Bawahan sangat tergantung pada pimpinan dan berkeinginan
untuk diperlakukan adil. Suatu hubungan akan berhasil apabila dikehendaki
oleh kedua belah pihak. Bawahan memerlukan rasa aman dan akan
memperjuangkan untuk melindungi diri dari ancaman yang bersifat semu
3
atau yang benar-benar ancaman terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dalam
situasi kerja.Atasan/ pimpinan menciptakan kondisi untuk mewujudkan
kepemimpinan yang efektif dengan membentuk suasana yang dapat diterima
oleh bawahan, sehingga bawahan tidak merasa terancam dan ketakutan.Untuk
dapat melakukan hal tersebut di atas, baik atasan maupun bawahan perlu
memahami tentang pengelolaan kepemimpinan secara baik, yang pada
akhirnya akan terbentuk motivasi dan sikap kepemimpinan yang professional.
Istilah manajemen dan kepemimpian sering diartikan hanya berfungsi pada
kegiatan supervise, tetapi dalam keperawatan fungsi tersebut sangatlah luas.
Jika posisi anda sebagai seorang ketua tim, kepala ruangan atau perawat
pelaksana dalam suatu bagian, anda memerlukan suatu pemahaman tentang
bagaimana mengelola dan memimpin orang lain dalam mencapai tujuan
asuhan keperawatan yang berkualitas. Sebagai perawat professional, anda
tidak hanya mengelola orang tetapi sebuah proses secara keseluruhan yang
memungkinkan orang dapat meyelesaikan tugasnya dalam memberikan
asuhan keperawatan serta meningkatkan keadaan kesehatan pasien menuju ke
arah kesembuhan.
Seperti halnya keperawatan, ilmu manajemen mengembangkan dasar teori
dari berbagai ilmu, seperti bisnis psikologi, sosiologi, dan antropologi.
Karena organisasi bersifat kompleks dan bervariasi, maka pandangan teori
manajemen adalah bagaimana manajemen dapat berhasil dan apa yang harus
di perbaki/ dirubah dalam mencapai suatu tujuan organisasi.
Keperawatan pada saat ini tengah mengalami beberapa perubahan mendasar
baik sebagai sebuah profesi maupun sebagai pemberi pelayanan kepada
masyarakat dimana tuntutan masyarakat pada keperawatan agar berkontribusi
secara berkualitas semakin tinggi.
Sebagai sebuah profesi, keperawatan dihadapkan pada situasi dimana
karakteristik profesi harus dimiliki dan dijalankan sesuai kaidahnya.
4
Sebaliknya, sebagai pemberi pelayanan, keperawatan juga dituntut untuk
lebih meningkatkan kontribusinya dalam pelayanan kepada masyarakat yang
semakin terdidik, dan mengalami masalah kesehatan yang bervariasi serta
respon terhadap masalah kesehatan tersebut menjadi semakin bervariasi pula.
Oleh karena itu, pada saat ini diperlukan kepemimpinan yang mampu
mengarahkan profesi keperawatan dalam menyesuaikan dirinya ditengah-
tengah perubahan dan pembaharuan sistem pelayanan kesehatan.
Kepemimpinan ini sekiranya yang fleksible, accessible, dan dirasakan
kehadirannya, serta bersifat kontemporer.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskansalah satu acuan dalam memenuhi
penilaian penguasaan,khususnya pada mata kuliah Manajemen dan
Kepemimpinan Dalam Keperawatan.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari kepemimpinan
dan manajemen pelayanan keperawatan.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan peran dan fungsi pemimpin.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan teori kepemimpinan dan gaya
kepemimpinan
4. Mahasiswa mampu mengaplikasikan manajemen dalam
keperawatan dalam praktik keperawatan.
5
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah
pola deskripsi, yakni mengambarkan, memaparkan serta menjelaskan kembali
apa yang telah kami dapat dan telah kami pelajari sebelumnya dari berbagai
sumber yang telah kami padukan menjadi satu rangkaian berdasarkan
pemahaman kami, agar para Mahasiswa juga dapat mengerti dan memahami
tentang salah satu mata kuliah yang kami sajikan dalam makalahini. Ada pula
sumber yang kami dapatkan adalah sebagai berikut:
1. Mencari bahan diperpustakaan berdasarkan sumber yang sesuai dengan
materi.
2. Wawancara narasumber sesuai dengan topik.
3. Mencari buku sumber yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan.
4. Mencari di internet, jurnal, dan lain-lain.
1.4 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan, bab ini berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan yang kami paparkan serta jelaskan secara
rinci.
Bab II Tinjauan Teori
Bab ini berisikan pembahasan teori, pengertian kepemimpinan dalam
keperawatan, teori kepemimpinan, gaya kepemimpinan, pemimpin yang
efektif, kepemimpinan dan kekuasaan, pimpinan dan kepemimpinan,
manajemen konflik,
Bab III Pembahasan
Bab ini berisikan pembahasan dari jurnal
Bab IV Penutup
Penutup, bab ini berisikan tentang simpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Kepemimpinan Dalam Keperawatan
Manajemen keperawatan pada dasarnya berfokus pada perilaku manusia.
Untuk mencapai tingkat tertinggi dari produktivitas pada pelayanan
keperawatan, pasien membutuhkan manajer perawat yang terdidik dalam
pengetahuan dan ketrampilan tentang perilaku manusia untuk mengelola
perawat profesional serta pekerja keperawatan nonprofessional.
Mc. Gregor menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan
individu secara keseluruhan yang selalu mengadakan interaksi dengan dunia
individu lainnya. Apa yang terjadi dengan orang tersebut merupakan akibat
dari perilaku orang lain. Sikap dan emosi dari orang lain mempengaruhi
orang tersebut. Bawahan sangat tergantung pada pimpinan dan berkeinginan
untuk diperlakukan adil. Suatu hubungan akan berhasil apabila dikehendaki
oleh kedua belah pihak.Bawahan memerlukan rasa aman dan akan
memperjuangkan untuk melindungi diri dari ancaman yang bersifat semu
atau yang benar-benar ancaman terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dalam
situasi kerja.Atasan atau pimpinan menciptakan kondisi untuk mewujudkan
kepemimpinan yang efektif dengan membentuk suasana yang dapat diterima
oleh bawahan, sehingga bawahan tidak merasa terancam dan ketakutan.Untuk
dapat melakukan hal tersebut, baik atasan maupun bawahan perlu memahami
tentang pengelolaan kepemimpinan secara baik, yang pada akhirnya akan
terbentuk motivasi dan sikap kepemimpinan yang profesional.
6
7
2.2 Pengertian Kepemimpinan
Ada beberapa batasan tentang kepemimpinan , antara lain :
a. Kepemimpinan adalah perpaduan berbagai perilaku yang dimiliki
seseorang sehingga orang tersebut mempunyai kemampuan untuk
mendorong orang lain bersedia dan dapat menyelesaikan tugas - tugas
tertentu yang dipercayakan kepadanya ( Ordway Tead ).
b. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas
seseorang atau sekelompok orang untuk mau berbuat dan mencapai
tujuan tertentu yang telah ditetapkan ( Stogdill ).
c. Kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh
yang dimiliki seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut
secara sukarela mau dan bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (Georgy R. Terry).
d. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas
seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu yang
telah ditetapkan dalam suatu situasi tertentu (Paul Hersay, Ken
Blanchard).
Dapat dipahami dari empat batasan di atas bahwa kepemimpinan akan
muncul apabila ada seseorang yang karena sifat- sifat dan perilakunya
mempunyai kemampuan untuk mendorong orang lain untuk berpikir,
bersikap, dan ataupun berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang
diinginkannya.
Kepemimpinan dalam konteks organisasi utamanya menekankan pada fungsi
pengarahan yang meliputi memberitahu,menunjukkan, dan memotivasi
bawahan. Fungsi manajemen ini sangat terkait dengan faktor manusia dalam
suatu organisasi, yang mencakup interaksi antar manusia dan berfokus pada
kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain.
Di dalam keperawatan kepemimpinan merupakan penggunaan ketrampilan
seorang pemimpin (perawat dalam mempengaruhi perawat-perawat lain yang
8
berada di bawah pengawasannya untuk pembagian tugas dan tanggung jawab
dalammemberikan pelayanan asuhan keperawatan sehingga tujuan
keperawatan tercapai.Setiap perawat mempunyai potensi yang berbeda dalam
kepemimpinan, namun ketrampilan ini dapat dipelajari sehingga selalu dapat
diterapkan dan ditingkatkan.
2.3 Teori Kepemimpinan
Ada beberapa yang pernah dikemukakan, antara lain:
a. Teori orang besar atau teori bakat
Teori orang besar (the great men theory) atau teori bakat (Trait theory) ini
adalah teori klasik dari kepemimpinan.Di sini disebutkan bahwa seorang
pemimpindilahirkan,artinya bakat-bakattertentu yang diperlukan seseorang
untuk menjadi pemimpin diperolehnya sejak lahir.
b. Teori situasi
Bertolak belakang dengan teori bakat ialah teori situasi (situasional
theory). Teori ini muncul sebagai hasil pengamatan, dimana seseorang
sekalipun bukan keturunan pemimpin, ternyata dapat pula menjadi
pemimpin yang baik. Hasil pengamatan tersebut menyimpulkan bahwa
orang biasa yang jadi pemimpin tersebut adalah karena adanya situasi yang
menguntungkan dirinya, sehingga ia memiliki kesempatan untuk muncul
sebagai pemimpin.
c. Teori Ekologi
Sekalipun teori situasi kini banyak dianut, dan karena itu masalah
kepemimpinan banyak menjadi bahan studi, namun dalam kehidupan
sehari - hari sering ditemukan adanya seorang yang setelah berhasil
dibentuk menjadi pemimpin, ternyata tidak memiliki kepemimpinan yang
baik. Hasil pengamatan yang seperti ini melahirkan teori ekologi, yang
menyebutkan bahwa seseorang memang dapat dibentuk untuk menjadi
9
pemimpin, tetapi untuk menjadi pemimpin yang baik memang ada bakat -
bakat tertentu yang terdapat pada diri seseorang yang diperoleh dari alam.
2.4 Gaya Kepemimpinan
Telah disebutkan bahwa gaya kepemimpinan tersebut dipengaruhi oleh sifat
dan perilaku yang dimiliki oleh pemimpin. Karena sifat dan perilaku antara
seorang dengan orang lainnya tidak persis sama, maka gaya kepemimpinan
(leadership style) yang diperlihatkanpun juga tidak sama. Bertitik tolak dari
pendapat adanya hubungan antara gaya kepemimpinan dengan perilaku
tersebut, maka dalam membicarakan gaya kepemimpinan yang untuk bidang
administrasi sering dikaitkan dengan pola manajemen (pattern of
management), sering dikaitkan dengan pembicaraan tentang perilaku.
Tegantung dari sifat dan perilaku yang dihadapi dalam suatu organisasi dan
atau yang dimiliki oleh pemimpin, maka gaya kepemimpinan yang
diperlihatkan oleh seorang pemimpin dapat berbeda antara satu dengan yang
lainnya.
Berbagai gaya kepemimpinan tersebut jika disederhanakan dapat dibedakan
atas empat macam, yaitu :
a. Gaya Kepemimpinan Diktator
Pada gaya kepemimpinan diktator (dictatorial leadership style) ini upaya
mencapai tujuan dilakukan dengan menimbulkan ketakutanserta ancaman
hukuman. Tidak ada hubungan dengan bawahan, karena mereka dianggap
hanya sebagai pelaksana dan pekerja saja.
b. Gaya Kepemimpinan Autokratis
Pada gaya kepemimpinan ini (autocratic leadership style) segala
keputusan berada di tangan pemimpin. Pendapat atau kritik dari bawahan
10
tidak pernah dibenarkan. Pada dasarnya sifat yang dimiliki sama dengan
gaya kepemimpinan dictator tetapi dalam bobot yang agak kurang.
c. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Pada gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style)
ditemukan peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan yang
dilakukan secara musyawarah. Hubungan dengan bawahan dibangun
dengan baik. Segi positif dari gaya kepemimpinan ini mendatangkan
keuntungan antara lain: keputusan serta tindakan yang lebih obyektif,
tumbuhnya rasa ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi.
Sedangkan kelemahannya: keputusan serta tindakan kadang-kadang
lamban, rasa tanggung jawab kurang, serta keputusan yang dibuat
terkadang bukan suatu keputusan yang terbaik.
d. Gaya Kepemimpinan Santai
Pada gaya kepemimpinan santai (laissez-faire leadership style) ini peranan
pimpinan hampir tidak terlihat karena segala keputusan diserahkan kepada
bawahan, jadi setiap anggota organisasi dapat melakukan kegiatan masing-
masing sesuai dengan kehendak masing- masing pula.
2.5 Pemimpin yang efektif
Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pemimpin yang
dapat mempengaruhi orang lain agar dapat bekerja sama untuk mencapai hasil
yang memuaskan bagi terjadinya perubahan yang bermanfaat. Ada beberapa
kepemimpinan yang efektif antara lain menurut:
a. Ruth M. Trapper (1989 ), membagi menjadi 6 komponen:
1. Menentukan tujuan yang jelas, cocok, dan bermakna bagi kelompok.
Memilih pengetahuan dan ketrampilan kepemimpinan dan dalam
bidang profesinya.
11
2. Memiliki kesadaran diri dan menggunakannya untuk memahami
kebutuhan sendiri serta kebutuhan orang lain.
3. Berkomunikasi dengan jelas dan efektif.
4. Mengerahkan energi yang cukup untuk kegiatan kepemimpinan
5. Mengambil tindakan
b. Hellander (1974)
Dikatakan efektif bila pengikutnya melihat pemimpin sebagai seorang
yang bersama - sama mengidentifikasi tujuan dan menentukan alternatif
kegiatan.
c. Bennis (Lancaster dan Lancaster, 1982)
Mengidentifikasi empat kemampuan penting bagi seorang pemimpin,
yaitu:
1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan kompleks tentang sistem
manusia (hubungan antar manusia).
2. Menerapkan pengetahuan tentang pengembangan dan pembinaan
bawahan.
3. Mempunyai kemampuan hubungan antar manusia, terutama dalam
mempengaruhi orang lain.
4. Mempunyai sekelompok nilai dan kemampuan yang memungkinkan
seseorang mengenal orang lain dengan baik.
d. Gibson ( Lancaster dan Lancaster,1982 )
Seorang pemimpin harus mempertimbangkan:
1. Kewaspadaan diri (self awarness)
Kewaspadaan diri berarti menyadari bagaimana seorang pemimpin
mempengaruhi orang lain. Kadang seorang pemimpin merasa ia sudah
membantu orang lain, tetapi sebenarnya justru telah menghambatnya.
2. Karakteristik kelompok
Seorang pemimpin harus memahami karakteristik kelompok meliputi:
norma, nila -nilai kemampuannya, pola komunikasi, tujuan, ekspresi
dan keakraban kelompok.
12
3. Karakteristik individu
4. Pemahaman tentang karakteristik individu juga sangat penting karena
setiap individu unik dan masing - masing mempunyai kontribusi yang
berbeda.
2.6 Kepemimpinan dan kekuasaan
Menurut Gardner yang dikutip oleh Russel (2000) mendefinisikan kekuasaan
sebagai suatu kapasitas uuntuk memastikan hasil dari suatu keinginan dan
untuk menghambat mereka yang tidak mempunyai keinginan.
1. Dasar - dasar kekuasaan
Franch dan Raven mengemukakan lima dasar kekuasaan interpersonal,
yaitu :
a. Kekuasaan legitimasi
Kekuasaan yang sah adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi sehubungan dengan posisinya. Kekuasaan legitimasi
tidak tergantung kepada bawahan. Seseorang dengan posisi yang lebih
tinggi dalam organisasi mempunyai kekuasaan pada orang-orang yang
di bawahnya.
b. Kekuasaan penghargaan
Pimpinan yang menggunakan kekuasaan legitimasi dapat
menggunakan penghargaan untuk memperoleh kerja sama dari
bawahan. Bawahan mungkin akan menanggapi petunjuk atau
permintaan apabila pimpinan dapat menyediakan penghargaan yang
bernilai , misalnya: kenaikan gaji, pemberian bonus, pemberian hari
libur dan lain - lain.
c. Kekuasaan paksaan
Kekuasaan paksaan adalah kekuasaan dengan hukuman. Bawahan
akan tunduk karena ketakutan. Walaupun kekuasaan paksaan mungkin
13
digunakan untuk memperbaiki perilaku yang tidak produktif dalam
organisasi, namun seringkali menghasilkan akibat yang sebaliknya.
d. Kekuasaan charisma
Seseorang pemimpin yamg kharismatik dapat mempengaruhi orang
karena benar - benar dari pribadi dan tingkah laku dari pimpinan
tersebut.
e. Kekuasaan ahli
Seseorang yang mempunyai keahlian khusus mempunyai nilai yang
lebih tinggi. Kekuasaan ini tidak terikat pada urutan tingkatan.
Kelima dari tipe kekuasaan interpersonal di atas adalah saling ketergantungan
karena tipe-tipe tersebut dapat dipakai dengan cara dikombinasikan dengan
berbagai cara dan masing-masing dapat mempengaruhi yang lainnya.
2.7 Pimpinan dan kepemimpinan
Manajer atau kepemimpinan adalah orang yang bertugas melakukan proses
atau fungsi manajemen. Berdasarkan hierarki tugasnya pimpinan
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Pimpinan tingkat pertama (Lower Manager)
Adalah pimpinan yang langsung berhubungan dengan para pekerja yang
menjalankan mesin peralatan atau memberikan pelayanan langsung pada
konsumen. Pimpinan ini diutamakan memiliki proporsi peranan technical
skill yang terbesar dan konseptual skill yang terkecil.
b. Pimpinan tingkat menengah (Middle Manager)
Adalah pimpinan yang berada satu tingkat di atas Lower Manager.
Pimpinan ini menjadi saluran informasi dan komunikasi timbal balik
14
antara Lower Manager dan Top Manager , yakni pimpinan puncak (di
atas Middle Manager) sehingga pimpinan ini diutamakan memiliki
kemampuan mengadakan hubungan antara keduanya. Konseptual skill
adalah ketrampilan dalam penyusunan konsep - konsep, identifikasi, dan
penggambaran hal-hal yang abstrak. Sedangkan techmnical skill adalah
ketrampilan dalam melakukan pekerjaan secara teknik. Hubungan antara
manusia merupakan ketrampilan dalam melakukan komunikasi dengan
sesama manusia lain.
c. Pimpinan puncak (Top Manager)
Pimpinan puncak adalah manajer yang menduduki kewenangan
organisasi tertinggi dan sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan
administrasi. Pimpinan ini memiliki proporsi peranan konseptual skill
yang terbesar dan technical skill yang terkecil.
Hubungan antar manusia ada dua jenis :
a. Human Relations
Adalah hubungan antar manusia intern dalam organisasi guna
membina lancarnya tim kerja.
b. Public Relations
Adalah hubungan antar manusia ekstern keluar organisasi.
Tugas - tugas pimpinan :
a. Sebagai pengambil keputusan
b. Sebagai pemikul tanggung jawab
c. Mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sebagai pemikir
konseptual
d. Bekerja dengan atau melalui orang lain
e. Sebagai mediator, politikus, dan diplomat.
15
Peranan pemimpin terhadap kelompok:
a. Sebagai penghubung interpersonal, yaitu merupakansimbol suatu
kelompok dalam melakukan tugas secara hukum dan sosial, mempunyai
tanggung jawab dan memotivasi, mengatur tenaga dan mengadakan
pengembangan serta merupakan penghubung jaringan kerja di luar
kelompok.
b. Sebagai inovator atau pembaharu
c. Sebagai pemberi informasi, yaitu memonitor informasi yang ada di
lingkungan organisasi, menyebarluaskan informasi dari luar kepada
bawahan dan mewakilikelompok sebagai pembicara.
d. Menghimpun kekuatan
e. Merangsang perdebatan masyarakat
f. Membuat kedudukan perawat di media massa
g. Memilih suatu strategi utama yang paling efektif, bertindak di saat yang
tepat
h. Mempertahankan kegiatan
i. Memelihara formaf desentralisasi organisasi
j. Mendapatkan dan mengembangkan data penelitian yang terbaik
k. Mempelajari pengalaman
l. Jangan menyerah tanpa mencoba.
2.8 Konsep Manajemen Keperawatan
Pada langkah awal kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang
dimaksudkan dengan Manajemen Keperawatan, Manajemen merupakan suatu
pendekatanyang dinamis dan proaktif dalam menjalankan suatu kegiatan di
organisasi. Sedangkan Manajemen Keperawatan adalah: proses bekerja
melalui anggota staff keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan
secara professional.
16
Proses Manajemen Keperawatan sejalan dengan proseskeperawatan sebagai
suatu metode pelaksanaan asuhan keperawatan secara professional, sehingga
diharapkankeduanya salingmenopang. Sebagaimana yang terjadi di dalam
proses keperawatan, di dalam Manajamenen Keperawatan-pun terdiri dari
Pengumpulan data, identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi hasil. Karena Manajemen Keparawatan mempunyai kekhususan
terhadap mayoritas tenaga daripada seorang pegawai, makasetiap tahapan di
dalam proses manajemen lebih rumit jika dibandingkan dengan proses
keperawatan.
2.9 Proses Manajemen Keperawatan
Proses adalah suatu rangkaian tindakan yang mengarah pada suatu tujuan. Di
dalam proses keperawatan,bagian akhir mungkin berupa sebuah pembebasan
dari gejala, eliminasi resiko, pencegahan komplikasi, argumentasi
pengetahuan atau ketrampilan kesehatan dan kemudahan dari kebebasan
maksimal. Didalam proses manajemen Keperawatan, bagian akhir adalah
perawatan yang efektif dan ekonomis bagi semua kelompok pasien.
Proses Manajemen Keperawatan :
1. Pengkajian/ Pengumpulan Data
Pada tahap ini perawat dituntut tidak hanya megumpulkan informasi
tentang keadaan pasien, melainkan juga mengenai institusi
(rumahsakit/puskesmas), tenaga keperawatan,administrasi dan bagian
keuangan yang akan mempengaruhi fungsi organisasi keperawatan
secara keseluruhan.
Pada tahap ini harus mampu mempertahankan level yang tinggi bagi
efisiensi salah satu bagian dengancara menggunakan ukuran pengawasan
untuk mengidentifikasikan masalah dengan segera, dan setelah mereka
17
terbentuk kemudian dievaluasi apakah rencana tersebut perlu diubah atau
prestasi yang perlu dikoreksi.
2. Perencanaan
Perencanaan disini dimaksudkan untuk menyusun suatu rencana yang
strategis dalam mencapai tujuan, seperti menentukan kebutuhan dalam
asuhan keperawatan kepada semua pasien, menegakkan tujuan dalam
asuhan keperawatan, mengalokasikan anggaran belanja, memutuskan
ukuran dan tipe tenaga keperawatan yang dibutuhkan, membuat pola
struktur organisasi yang dapat mengoptimalkan efektifitas stafserta
menegakkan kebijaksanaan dan prosedur operasional untuk mencapai
visidan misi yang telah ditetapkan.
3. Pelaksanaan
Pada tahap ini Manajemen Keperawatan memerlukan kerja melalui orang
lain ,maka tahap implementasi didalam proses manajemen terdiri daridan
bagaimana memimpin orang lain untuk menjalankan tindakan yang telah
direncanakan.
4. Evaluasi
Tahap akhir dari proses manajerial adalah melakukan evaluasi seluruh
kegiatan yang telah dilaksanakan. Pada tahap ini manajemen akan
memberikan nilai seberapa jauh staf mampu melaksanakan tugasnya dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung dalam
pelaksanaan.
2.10 Manajemen konflik
Konflik, menurut Deutsch (1969) didefinisikan sebagai suatu perselisihan
atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran,
hasrat, dan perilaku seseorang yang terancam. Penyebab konflik, Edmund
18
(1979) menyebutkan sembilan faktor umum yang berkaitan dengan semua
kemungkinan penyebab konflik, yaitu:
a. Spesialisasi
Sebuah kelompok yang bertanggung jawab untuk suatu tugas
tertentu atau area pelayanan tertentu memisahkan dirinya dari
keompok lain. Seringkali berakibat terjadinya konflik antar
kelompok.
b. Peran yang bertugas banyak
Peran keperawatan membutuhkan seseorang untuk dapat menjadi
seorang manajer, seorang pemberi asuhan yang trampil, seorang ahli
dalam hubungan antar manusia, seorang negosiator, penasihat , dan
sebagainya. Setiap sub peran dengan tugas - tugasnya memerlukan
orientasi yang berbeda - beda yang dapat menyebabkan konflik.
c. Interdependensi peran
Peran perawat pelaksana dalam praktek pribadi tidak akan serumit
seperti peran perawat dalam tim kesehatan yang multidisiplin,
dimana tugas seseorang perlu didiskusikan dengan orang lain yang
mungkin bersaing untuk area - area tertentu.
d. Kekaburan tugas
Ini diakibatkan oleh peran yang mendua dan kegagalan untuk
memberikan tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas
pada individu atau kelompok.
19
e. Perbedaan
Sekelompok orang dapat mengisi peran yang sama tetapi perilaku
sikap, emosi, dan kognitif orang - orang ini terhadap peran mereka
bisa berbeda.
f. Kekurangan sumber daya
Persaingan ekonomi, pasien, jabatan, adalah sumber absolut dari
konflik antar pribadi dan antar kelompok.
g. Perubahan
Saat perubahan menjadi lebih tampak, maka kemungkinan tingkat
konflik akan meningkat secara proporsional.
h. Konflik tentang imbalan
Bila orang mendapat imbalan secara berbeda-beda, maka sering
timbul konflik, kecuali jika mereka terlibat dalam perbuatan sistem
imbalan.
i. Masalah komunikasi
Sikap mendua, penyimpangan persepsi, kegagalan bahasa, dan
penggunaan saluran komunikasi secara tidak benar, semuanya akan
menyebabkan konfllik.
20
Manajemen atau penatalaksanaan konflik dapat dilakukan melalui upaya
sebagai berikut:
a. Disiplin
Upaya disiplin digunakan untuk menata atau mencegah konflik,
perawat pengelola harus mengetahui dan memahami ketentuan
peraturan organisasi. Jika ketentuan tersebut belum jelas maka perlu
dilakukan klarifikasi. Disiplin merupakan cara untuk mengoreksi atau
memperbaiki staf yang tidak diinginkan.
b. Mempertahankan tahap kehidupan
Konflik dapat diatasi dengan membantu individu perawat mencapai
tujuan sesuai dengan tahapan kehidupannya, yang meliputi :
1. Tahap dewasa muda
2. Tahap dewasa menengah
3. Tahap manusia diatas 55 tahun
c. Komunikasi
Komunikasi merupakan seni yang penting untuk mempertahankan
lingkungan yang terapeutik. Melalui peningkatan komunikasi yang
efektif maka konflik dapat dicegah.
d. Asertif training
Perawat yang asertif mengetahui bahwa mereka bertanggung jawab
terhadap pikiran, perasaan, dan tindakannya. Peningkatan kesadaran,
training sensitivitas dan training asertif dapat meningkatkan
kemampuan pengelola keperawatan dalam mengatasi perilaku konflik.
21
Teknik manajemen konflik :
a. Menetapkan tujuan
Apabila ingin terlibat dalam manajemen konflik, maka perawat perlu
memahami gambaran yang menyeluruh tentang masalah atau konflik
yang akan diselesaikan. Tujuan yang ingin dicapai antara lain :
meningkatkan alternatif penyelesaian masalah konflik, bila perlu
motivasi fihak yang terlibat untuk mendiskusikan alternatif
penyelesaian masalah yang mungkin diambil sehingga pihak yang
terlibat konflik dapat bertanggung jawab terhadap keputusan yang
dipilih.
b. Memilih strategi
1) Menghindar
Untuk mencegah konflik yang lebih berat pada situasi yang
memuncak, maka strategi menghindar merupakan alternatif
penyelesaian konflik yang bersifat sementara yang tepat untuk
dipilih.
2) Akomodasi
Mengakomodasikan pihak yang terlibat konflik dengan cara
meningkatkan kerja sama dan keseimbangan serta
mengembangkan kemampuan penyelesaian masalah yang tepat
dengan cara mengumpulkan data yang akurat dan mengambil
suatu kesepakatan bersama.
3) Kompromi
Dilakukan dengan mengambil jalan tengah di antara kedua pihak
yang terlibat konflik.
22
4) Kompetisi
Sebagai pimpinan, perawat dapat menggunakan kekuasaan yang
terkait dengan tugas stafnya melalui upaya meningkatkan
motivasi antar staf, sehingga timbul rasa persaingan yang sehat.
5) Kerja sama
Apabila pihak-pihak yang terlibat konflik bekerja sama untuk
mengatasi konflik tersebut, maka konflik dapat diselesaikan
secara memuaskan
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Manajemen Kepala Ruangan dan Motivasi Kerja
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat Rumah Sakit
Immanuel Bandung di Ruang Hana mengatakan peran kepemimpinan
khususnya kepala ruangan di Ruang Hana sudah cukup baik, dimana Kepala
Ruangan bersifat tegas dan datang setiap pagi tepat pada waktunya, selalu
mengikuti operan shift serta selalu memberikan arahan-arahan kepada
perawat pelaksana di Ruang Hana. Selain itu peran Kepala Ruangan di Ruang
Hana ini sudah sesuai dengan salah satu peran seorang manager di mana
seorang pemimpin dapat memberikan motivasi kepada rekan kerja lainnya,
selain itu Kepala Ruangan selalu menjadi panutan bagi perawat lainnya,
Kepala Ruangan juga dapat memberikan motivasi yang membangun bagi
rekan kerja lainnya. Nilai lebih dari pemimpin harus dapat berbaur dengan
rekan kerja lainnya dan lebih peduli terhadap rekan kerjanya juga.
Hal ini berhubungan dengan pelaksanaan fungsi manajemen Kepala Ruangan
dengan motivasi perawat pelaksana yang telah didasari oleh hasil penelitian
Tesis “HUBUNGAN PELAKSANAAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA
RUANGAN DENGAN MOTIVASI PERAWAT PELAKSANA DI RUANG
RAWAT INAP RSUP UNDATA PALU” yang menyatakan bahwa seorang
manajer harus mampu membimbing dan memotivasi staf agar bekerja sesuai
dengan standar sehingga tujuan tercapai, dan seorang manajer juga harus
melakukan pengawasan yang sitematis agar berdampak pelaksanaan asuhan
keperawatan yang sesuai standar, sehingga pelayanan yang diberikan lebih
efektif dan efisien.
23
24
Adapun hasil dari penelitian yang meliputi fungsi manajemen kepala ruangan
yang mencakup; perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
dengan motivasi, hubungan fungsi manajemen kepala ruanga dengan motivasi
perawat pelaksana dan hubungan karakteristik responden dengan motivasi
perawat pelaksana.
Hasil analisis berdasarkan umur dibagi menjadi dua kategori. Dari kategori
tersebut menunjukan bahwa perawat pelaksana dalam kelompok umur ≥ 29
tahun lebih banyak 76 orang (51,0 %), daripada perawat pelaksana dalam
kelompok umur < 29 tahun sebanyak 73 orang (48,9 %). Hal ini manunjukan
bahwa perawat pelaksana pada RSUP Undata Palu lebih banyak merupakan
usia produktif. Hasil ini sesuai denga Dessler (2004), yang menyatakan
bahwa umur produktif terbagi menjadi beberapa tahap yaitu pada umur 25
tahun yang merupakan awal individu berkaris, umur 25 – 40 tahun
merupakan tahap penentu bagi seseorang untuk memilih bidang pekerjaan
yang sesuai dengan karir, dan umur 40 tahun merupakan puncak karir dan
umur diatas 40 tahun mulai terjadi penurunan karir. Seperti yang
diungkapkan oleh pendapat Siagian (1999), bahwa semakin panjang umur
seseorang, diharapkan ia semakin bijaksana dan semakin bertanggung jawab
dalm interaksinya dengan orang lain.
Hasil analisis dari jenis kelamin terbanyak perempuan sebanyak 127 orang
(85,2 %), sedangkan laki-laki sebanyak 22 orang (14,8 %). Hubungan antara
jenis kelamin dengan motivasi perawat pelaksana didapatkan ada sebanyak 70
orang (55,1 %) perawat pelaksana berjenis kelamin perempuan menunjukan
motivasi baik. Sedangkan 57 orang (44,9 %) perawat pelaksana menunjukan
motivasi kerja kurang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat dikemukakan oleh
Siagian (1999). Menurut asumsi peneliti bahwa jenis kelamin perawat
pelaksana di RSUP Undata Palu tidak ada hubungan dengan motivasi karena
proporsi perawat laki-laki dalam sampel hanya mencapai 14,8 % sehingga
tidak berimbang dengan jenis kelamin perempuan.
25
Hasil analisis berdasarkan lama kerja responden ≥ 6 tahun paling banyak
yaitu 75 orang (50,3 %), sedangkan lama kerja responden < 6 tahun sebanyak
74 orang (49,7 %). Menurut siagian (1999), bahwa seseorang yang sudah
lama bekerja pada satu organisasi tidak identik dengan produktivitas yang
tinggi. Orang yang masa kerjanya lama tidak berarti bahwa yang
bersangkutan memiliki tingkat kemangkiran yang rendah. Daya tarik untuk
pindah pekerjaan pun biasanya juga rendah.
Hasil analisis berdasarkan status perkawinan yang paling banyak adalah
responden yang menikah sebanyak 98 orang (65,8 %), sedangkan yang belum
menikah sebanyak 51 orang (34,2 %). Menurut Siagian (1999), belum
ditemukan korelasi antara status perkawinan seseorang dengan produktivitas
kerjanya, tetapi terlihat kaitan antara status perkawinan dengan tingkat
kemangkiran, terutama di kalangan wanita. Artinya dengan berbagai alas an
yang mudah dipahami, tingkat kemangkiran seorang wanita yang sudah
menikah, apalagi kalau sudah mempunyai anak, cenderung lebih tinggi
dibandingkan seorang wanita pekerja yang belum menikah cenderung lebih
rajin dari pria yang belum menikah. Mungkin karena rasa tanggung jawab
yang besar kepada keluarganya dan karena takut kehilangan sumber
penghasilan jika sering mangkir, seorang pria yang sudah menikah
menunjukan kecenderungan tingkat kemangkiran yang rendah. Perilaku
seperti itu mungkin tidak semata-mata didasarka kepada rasa tanggung jawab
yang besar terhadap keluarganya, akan tetapi didasarkan juga atas rasa harga
dirinya. Menurut asumsi peneliti perawat pelaksana yang sudah menikah
tidak memiliki hubungan dengan motivasi, namun status perkawinan
memiliki hubungan dengan tingkat kemangkiran seseorang terutama
dikalangan wanita.
Hasil analisis berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak adalah
responden dengan tingkat pendidikan D3 Keperawatan sebanyak 127 orang
(85,2 %), S1 Keperawatan sebanyak 13 orang (8,7 %) dan SPK sebanyak 9
26
orang (6,0 %). Hasil analisa hubungan antara tingkat pendidika dengan
motivasi perawat pelaksana didapatkan ada sebanyak 67 (52,8 %) perawat
pelaksana berpendidikan D3 keperawatan menunjukan motivasi baik.
Sedangkan 60 orang (47,2 %) perawat pelaksana menunjukan motivasi kerja
kurang baik.
Pendidikan merupakan suatu indicator yang mencerminkan kemampuan
seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan latar belakang
pendidikan eseorang dianggap mampu menduduki suatu jabatan tertentu
(hasibun, 2005). Menurut Siagian (1999), semakin rendah tingkat
pendidikannya, semakin rendah pula tingkat kognitifnya.
Menurut peneliti perencanaan bila dilaksanakan akan memudahkan usaha
yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Dengan perencanaan yang baik,
manajer dan staf akan mengetahui denga jelas tujuan suatu organisasi, mereka
mengetahui jenis dan kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan. Salah satu fungsi perencanaan adalah menempatkan prang/staf
berdasarkan bakat, pendidikan formal, pengalaman, kepribadian sehingga
memenuhi asas penempatan orang yang tepat pada bidang pekerjaan yang
tepat, pada waktu yang tepat dan dengan tingkat imbalan yang tepat pula.
Penelitian ini sesuai dengan pendapat Gillies (1998), yang menyatakan fungsi
perencanaan sebaiknya dilakukan oleh kepala ruangan secara optimal agar
dapat memberikan arah kepada perawat pelaksana , mengurangi dampak
perubahan yang terjadi, memperkecil pemborosan atau kelebihan dan
menentukan standar yang akan digunakan dalam melakukan pengawasan
serta pencapaian tujuan. Penelitian ini bertentangan dengan Dumauli (2008),
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelaksanaan fungsi
perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana.
Kepala ruangan sebagai coordinator kegiatan perlu menciptakan kerjasama
yang baik, pemberian tanggung jawab dan keenangan yang sesuai dan saling
menunjang satu sama lain sehingga tercipta suasana kerja yang
27
menyenangkan. Selain itu dengan tersedianya fasilitas yang mendukung dan
menunjang kelancaran tugas perawta sehingga dapat lebih bersemangat dalam
melakukan pekerjaanya. Hal ini pengaruhnya sangat besar dalam merangsang
motivasi perawat pelaksana .pentingnya fungsi pengorganisasian yaitu
bagaimana staf memahami struktur organisasi dan tanggung jawab dari
struktur tersebut, hal ini juga meningkatkan pengetahuan staf tentang
organisasi, bagaimana memahami bawahan yang mengalami masalah serta
mengembangkan jaringan pengawasan ( Marquis dan Houston, 2000).
Menurut peneliti pelaksanaan fungsi manajemen pengorganisasian kepala
ruangan berupaya untuk mencpai tujuan secara sistematik, sehingga ada
pembagian tugas yang jelas, ada koordinasi yang baik, ada satu kesatuan
komando, terdapat pembagian tanggung jawab dan wewenang yang sesuai
dengan kemampuan serta keterampilan dari perawat pelaksana dalam
memberikan pelayanan keperawatan.
Pengawasan memungkinkan rencana yang telah dilaksanankan oleh sumber
daya secara efektif dan efisien sesuai standar yang ditetapkan. Pegawasan
yang sistematis akan berdampak pelaksanaan asuhan keperawatan yang
sesuai standar, sehingga pelayanan yang diberikan lebih efektif dan efisien.
Pengawasan yang berlebihan akan menimbulkan birokrasi, mematikan
kreatifitas yang akhirnya merugikan. Sebaliknya pengawasan yang tidak
mencukup dapat menimbulkan pemborosan sumber daya serta mempersulit
pencapaian tujuan (Handoko, 1999). Menurut teori X dari Mc.Gregor (dalam
Hasibuan,2003), untuk memotivasi karyawan harus dilakukan dengan cara
pengawasan yang ketat, dipaksa, dan diarahkan supaya mereka mau bekerja
sungguh-sungguh. Jenis motivasi ini cenderung kepada motivasi negative
yakni dengan menerapkan hukuman yang tegas. Pengawasan merupakan
melakukan pemeriksaan tentang segala sesuatu yang dilaksanakan apakah
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, sesuai dengan prinsip-prinsip
yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan, apakah menunjukan kekurangan
28
atau kesalahan, sehingga dengan adanya pengawasan dapat diperbaiki
sehingga tidak terjadi lagi (Fayol, 1949, dalam Swansburg & Swnasburg,
1999).
Pendapat peneliti dengan adanya fungsi pengawasan diharapkan pelaksanaan
dari perencanaan yang telah ditetapkan dapat lebih terarah sesuai dengan
standar yang telah di tetapkan. Pegawasan yang sistematis akan berdampak
pelaksanaan asuhan keperawatan yang sesuai standar, sehingga pelayanan
yang diberikan oleh efektif dan efisien. Oleh sebab itu fungsi pengawasan
perlu dilaksanakan dan ditingkatkan memberikan pelayanan keperawatan.
Fungsi manajer adalah menjamin mutu pelayanan yang baik. Keperawatan
salah satu profesi di rumah sakit yang berperan penting dalam
penyelenggaraan upaya menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan rumah sakit. Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan
antara fungsi manajemen pengarahan dan pengawasan dengan motivasi
perawat pelaksana sehingga memberikan informasi kepada rumah sakit
terutama bidang keperawatan tentang aspek yang perlu mendapat prioritas
serta aspek yang perlu dipertahankan dalam meningkatkan motivasi perawat
pelaksana di ruang rawat inap RSUP Undata Palu, sehingga perawat
pelaksana memiliki motivasi yang baik dalam memberikan pelayanan asuhan
keperawatan.
Selain motivasi kerja, gaya kepemimpinan Kepala Ruangan juga dapat
mempengaruhi produktivitas kerja perawat pelaksana. Berdasarkan jurnal
Keperawatan HKBP belige, Vol.1 No.1, juni 2013 Halaman 34-45 dengan
judul “Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dan Produktivitas Kerja
Perawat Pelaksana di Instalasi Rawat Inap RS HKBP BALIGE” yang disusun
oleh Daniel Tambunan, S.Sos, MARS dan Elfrida Nainggolan, SKM. Prodi
D3 Keperawatan Akper HKBP balige, Tobasa, Sumut.
29
Dari hasil penelitiannya mengenai hubungan gaya kepemimpinan kepala
ruangan dan produktivitas kerja perawat pelaksanaan di Instalasi Rawat Inap
RS HKBP Balige tahun 2012 melalui metode observasi dan wawancara
diperoleh data sebagai berikut :
1. Gaya Kepemimpinan
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa gaya kepemimpinan yang ada di
Instalasi Rawat Inap adalah demokratis sebesar 33,3%, otoriter 33,33%
dan Laissez Faire sebesar 33,33%.
2. Produktivitas
Dari hasil penelitian terhadap pelaksana di Instalasi Rawat Inap VIP RS
HKBP Belige diperoleh data bahwa mayoritas responden mempunyai
produktivitas kerja tinggi sebesar 66,67% dan mayoritas responden
mempunyai produktivitas kerja rendah sebesar 33,33%.
Dari hasil penelitian terhadap perawat pelaksana di instalasi rawat inap
kelas 2 RS HKBP Balige diperoleh data bahwa mayoritas responden
mempunyai produktivitas kerja rendah sebesar 54,55% dan minoritas
responden mempunyai produktivitas kerja tinggi sebesar 45,45%.
Dari hasil penelitian terhadap perawat pelaksana di instalasi Rawat Inap
Kelas 3 RS HKBP Belige diperoleh diperoleh data bahwa mayoritas
responden yang berproduktivitas kerja rendah sebesar 84,61% dan
minoritas responden yang berproduktivitas kerja tinggi sebesar 15,38%.
3. Hubungan Gaya Kepemimpinan dan Produktivitas Kerja
Dari hasil penelitian terhadap hubungan gaya kepemimpinan kepala
ruangan terhadap produktivitas kerja perawat pelaksana di Istalasi Rawat
Inap VIP RS HKBP Belige diperoleh data bahwa gaya kepemimpinan
30
otoriter didapatkan produktivitas kerja tinggi sebesar 66,67% dan
produktivitas kerja rendah sebesar 33,33%.
Dari Hasil Penelitian terhadap hubungan gaya kepemimpinan kepala
ruangan terhadap produktivitas kerja perawat pelaksana di Instalasi Rawat
Inap Kelas 2 RS HKBP Belige Kepemimpinan demokratis didapatkan
produktivitas kerja tinggi sebesar 45,45% dan produktivitas kerja rendah
sebesar 54,55%.
Dari hasil penelitian terhadap hubungan gaya kepemimpinan kepala
ruangan terhadap produktivitas kerja perawat pelaksana di instalasi Rawat
Inap Kelas 3 RS HKBP Balige bahwa dengan gaya kepemimpinan Laissez
Faire didapatkan produktivitas kerja tinggi sebesar 15,38% dan
produktivitas kerja rendah sebesar 84,41%.
Dari data-data diatas dapat di simpulkan bahwa gaya kepemimpinan yang
aling Efektif di Instalasi Rawat Inap RS HKBP Balige tahun 2012 adalah
otoriter dengan produktivitas kerja tinggi (55,56%) dan produktivitas
Rendah (44,44%), gaya kepemimpinan demokratis dengan produktivitas
kerja tinggi (45,45%) dan produktivitas kerja rendah (54,55%) , dan gaya
kepemimpinan Laissez Faire dengan Produktivitas kerja Tinggi (15,38%)
dan produktivitas kerja rendah (84,61%).
Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi Produktivitas Kerja.
Produktivitas kerja perawat pelaksana di instalasi Rawat Inap RS HKBP
Balige tahun 2012. berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 37
Responden di Instalasi Rawat Inap RS HPKP Balige tahun 2012 ditemukan
beberapa gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh Kepala Ruangan.
31
a. Otoriter
Hasil penelitian yang dilakukan pada 10 responden di Instalasi Rawat Inap
VIP (Rindu Alam) RS HKBP Balige tahun 2012 menunjukan bahwan gaya
kepemimpinan kepala runagan adalah autokratis dengan produktivitas
kerja tinggi sebesar 66,67% dan produktivitas kerja rendah sebesar
33,33%. Dalam bidang keperawatan tindakan yang diberikan adalah
berupa pelayanan jasa kepada pasien. sehingga pemimpin otoriter sangat
efektif digunakan dalam memimpin.
b. Demokratis
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 12 responden di Istalasi Rawat
Inap Kelas 2 RS HKBP Balige tahun 2012 didapatkan bahwa gaya
kepemimpinan Kepala Ruangan adalah demokrasi dengan produktivitas
kerja tinggi sebesar 45,45% dan produktivitas kerja rendah sebesar
45,55%. seperti yang telah dibahas pada tinjauan pustaka pimpinan yang
demokratis sangat mengakui harkat dan martabat manusia, menganggap
bahwa bawahannya merupakan unsur paling terpenting dalam organisasi,
rela dan mau melimpahkan wewenang pengambilan keputusan kepada
bawahan dan tetap bertanggung jawab atas tindakan bawahannya itu.
c. Laissez Faire
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 14 responden di Istalasi Rawat
Inap Kelas 3 RS HKBP Balige tahun 2012 ditemukan gaya kepemimpinan
kepala ruangan adalah Laissez Faire dengan produktivitas kerja tinggi
sebesar 15,38% dan Produktivitas Kerja Rendah sebesar 84,61%. Gaya ini
efektif dijalankan apabila perawat diruangan tersebut memiliki
pengalaman yang banyak dalam merawat pasien dan keterampilan yang
baik, kreativitas tinggi, pintar, memiliki kinerja yang baik dan tanggap
akan kondisi pasien sehingga tidak memerlukan pengawasan dari atasan.
32
Gaya Kepemimpinan yang ditemukan di Instalasi Rawat Inap RS HKBP
Balige tahun 2012 adalah Otoriter, Demokratis dan Laissez Faire. Dari ketiga
Gaya Kepemimpinan tersebut, Gaya Kepemimpinan yang paling efektif
dijalankan di Instalasi Rawat Inap adalah otoriter dengan produktivitas kerja
tinggi sebesar 66,67% dan produktivitas kerja rendah sebesar 33,33%. Dari
ketiga gaya kepemimpinan tersebut masih ada produktivitas kerja perawat
yang rendah.
3.2 Gaya Kepemimpinan Manajemen Konflik Kepala Ruangan
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat di Ruang Hana
Rumah Sakit Immanuel Bandung ada beberapa yang kurang maksimal pada
peran kepala ruangan, yaitu pembagian jadwal dinas belum merata antara
perawat yang satu dengan perawat yang lainnya, selain itu juga kurang bisa
mengambil keputusan untuk mengambil perawat dari ruangan lain apabila
ruang tersebut kekurangan perawat sewaktu pasien banyak.
Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian dalam jurnal “Gaya Kepemimpinan
dan Manajemen Konflik Kepala Ruangan Di Instalasi Rindu A RSUP H.
Adam Malik Medan” didapatkan bahwa:
1. Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan
Gaya kepemimpinan terwujud melalui interaksi antara pemimpin dengan
orang-orang yang dipimpinnya yang terjadi dalam berbagai kondisi yang
mempengaruhinya. Gaya bersikap dan bertindak akan tampak dari cara
memberi tugas, perintah, berkomunikasi, membuat keputusan,
memberikan bimbingan dan menegur kesalahan bawahan. Berdasarkan
penelitian ini didapatkan bahwa gaya kepemimpinan kepala ruangan
yang dipersepsikan oleh perawat pelaksana adalah gaya kepemimpinan
partisipatif (70,8%). Pada gaya kepemimpinan pasrtisipatif, pengambilan
keputusan diambil secara bersama, ada diskusi bersama dalam
pemecahan masalah, dan diterapkan pada anggota yang memiliki
33
kemampuan tetapi tidak memiliki kemampuan, ketidakmauan cenderung
disebabkan karena ketidakyakinan pada kemampuan diri anggota.
Ditemukan paling banyak kepala ruangan yang menerapkan sikap
partisipatif apabila perawat pelaksana tersebut (47,2%). Kepala ruangan
akan berdiskusi dengan perawat pelaksana tersebut dan membantu
perawat pelaksana untuk mengambil keputusan yang tepat. Hasil
penelitian Caroline (2007) didapatkan bahwa gaya kepemimpinan
partisipatif berhubungan positif dengan integritas kerja anggotanya. Hal
ini terjadi karena gaya kepemimpinan partisipatif dari pemimpin
membuat anggota merasa menjadi bagian dari organisasi sehingga
mendorong peningkatan integritas dalam diri anggota
2. Manajemen Konflik Kepala Ruangan
Konflik dapat terjadi karena manusia memiliki sifat dominasi,
kepengaruhan, keteguhan hati dan kepatuhan (Bachtiar, 2004). Menurut
Marquis dan Huston (2010) ada aktegori konflik yang utama yaitu
intrapersonal, interpersonal dan interkelompok. Berdasarkan penelitian
ini ditemukan bahwa kepala ruangan di seluruh ruang rawat inap instalasi
Rindu A RSUP H. Adam Malik medan adalah kompromi (44,4%). Pada
saat terjadi konflik, perawat pelaksana mempersiapkan strategi yang
dilakukan oleh kepala ruangan berupa kompromi dimana pemecahan
konflik ini bersifat sementara, hal ini dilakukan karena pada pemecahan
masalah dengan kolaborasi tidak terpecahkan dalam al ini tidak ada pihak
yang dirugikan. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa manajemen
konflik yang paling sedikit dipersepsikan oleh perwat pelaksana adalah
kompetisi (9,7%). Hal ini karena jumlah responden laki-laki dalam
penelitian hanya 4,2%. Laki-laki pada umumnya memanajemen konflik
lebih ke kompetisi. Hasil penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian
Kunavikitkul yang mendapatkan bahwa manajemen konflik yang
dipersepsikan perawat paling sedikit adalah kompetisi. Hal ini
34
berhubungan dengan usia, pendidikan, daerah klinis tempat bekerja,
posisi, dan pengalaman kerja.
3.3 Kompetensi Kepala Ruang Dalam Pelaksanaan Standar Manajemen
Pelayanan Keperawatan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perawat
Dalam Mengimplementasikan Model Praktik Keperawatan profesional
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat di Ruang Hana
Rumah Sakit Immanuel Bandung mengatakan bahwa managemen dalam
keperawatan ini tidak terlepas dari pemberian asuhan keperawatan kepada
klien, berdasarkan wawancara di katakan setiap perawat harus melakukan
pengkajian terhadap pasien yang sudah di berikan oleh PJ Shift, dan baru
melakukan intervensi sesuai dengan keluhan klien. Selain itu juga dikatakan
dalam melakukan dokumentasi keperawatan sudah cukup efektif namun
belum maksimal, hal ini disebabkan karena banyaknya pekerjaan yang harus
di lakukan dan banyaknya format pendokumentasian yang harus di isi.
Dengan demikian dapat di kolerasikan dengan hasil analisis tesis Ilmu
Kesehatan Masyarakat oleh Sri Wahyuni tahun 2007 dengan judul “Analisis
Kompetensi Kepala Ruang dalam Pelaksanaan Standar Manajemen Pelayanan
Keperawatan dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Perawat dalam
Mengimplementasikan Model Praktik Keperawatan Profesional di Instalasi
Rawat Inap BRSUD Banjarnegara”
1. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa deskripsi kompetensi Kepala
Ruangan dalam analisis kompetensi evaluasi yang dimiliki Kepala Ruang
dan pengaruhnya terhadap kinerja perawat dalam mengimplementasikan
MPKP yaitu :
a. Hanya sebagian Kepala Ruang yang mengetahui rencana
pengembangan RS
b. Tidak ada kepala Ruang yang menyusun perencanaan berdasarkan data
klinis dan kinerja pelayanan
35
c. Sebagian besar Kepala Ruang mempunyai orientasi bahwa ruang
lingkup perencanaan hanya meliputi perencanaan barang
d. Sebagian Kepala Ruang tidak mengikuti system perencanaan yang
ditetapkan, terbukti ada yang langsung mengambil barang yang tersedia
di gudang, menemui Bidang keuangan untuk klarifikasi dan
mengajukan bon permintaan barang ke rekanan
e. Tidak pernah melakukan koordinasi dengan manajemen
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor penyebab diantaranya :
1) Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari pelaku persepsi,
obyek yang dipersepsikan dan situasi dimana persepsi dilakukan
2) Belum terbentuk visi bersama karena transisi kepemimpinan sehingga
komitmen kebersamaan untuk pengembangan RS dan perbaikan mutu
pelayanan masih kurang
Adapun hasil yang di dapat dari analisis tersebut di dapatkan kinerja baik dan
kinerja kurang baik. Dalam kinerja baik terdapat 51, 5% profesionalisme
askep, 56, 1% pendokumentasian, dan 42, 4% serah terima tugas. Sedangkan
dalam kinerja kurang baik terdapat profesionalisme askep sebanyak 48, 5%,
pendokumentasian 43, 9%, dan serah terima tugas 57, 6%.
Hasil analisis ini menyatakan bahwa persepsi perawat tentang kompetensi
perencanaan yang dimiliki oleh Kepala Ruang berbeda-beda, perbedaan
tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bekerja untuk
membentuk dan dapat memutarbalikan persepsi seseorang yang dapat berasal
dari pelaku persepsi (pemersepsi) yang terdiri dari sikap, motivasi,
kepentingan, pengalaman dan pengharapan, faktor situasi dimana persepsi
dilakukan, seperti : waktu, keadaan atau tempat kerja dan keadaan sosial serta
faktor obyek atau target yang dipersepsikan, misalnya hal baru, gerakan,
bunyi, ukuran , latar belakang dan kedekatan.
36
Dari hasil yang dilakukan dapat diketahui bahwa pada kelompok perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalam hal perencanaan,
maka banyaknya perawat yang menunjukan kinerja implementasi MPKP
dengan baik sebesar 41,2% (lebih kecil) di banding dengan perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang kompeten dalam
melakukan perencanaan 58.8%, sedangkan pada kelompok perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang kompeten dalam hal
perencanaan, maka banyaknya perawat yang akan melakukan implementasi
MPKP dengan kurang baik sebesar 43.8 % (lebih kecil) dibanding dengan
perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalam
melakukan perencanaan 56.2%.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi Kepala Ruangan dalam
hal perencanaan tidak mempunyai pola hubungan yang bermakna dengan
kinerja perawat dalam mengimplementasi MPKP, atau dapat disimpulkan
bahwa pada perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruangan
kompeten dalam perencanaan belum tentu mereka mengimplementasikan
Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) dengan baik, dan sebaliknya
pada perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang
kompeten dalam perencanaan belum tentu mereka mengimplementasikan
Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) dengan kurang baik.
Dari hasil analisis tersebut menunjukan bahwa implementasi Model Praktik
Keperawatan Profesional (MPKP) oleh perawat pelaksana tidak berhubungan
dengan kompetensi Kepala Ruangan dalam melaksanakan perencanaan, hal ini
dapat disebabkan oleh adanya faktor motivasi instrumentalis, yaitu penilaian
tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas
(keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu).
2. Dari hasil analisis Kompetensi pengorganisasian yang dimilki Kepala
Ruangdan pengaruhnya terhadap kinerja perawat dalam
37
mengimplementasikan MPKP (Model Praktik Keperawatan Profesional) di
dapatkan deskripsi kompetensi Kepala Ruangan sebagai berikut:
a. Seluruh Kepala Ruang tidak melakasanakan pengelolaan bangsal
sesuai struktur organisasi yang ditetapkan.
b. Sebagian besar Kepala Ruang masih menerapkan menerapkan metode
penugasan fungsional.
c. Ada beberapa Kepala Ruang belum melaksanakan system
pendelegasian yang baik.
d. Hampir semua Kepala Ruang tidak melaksanakan system pencatatan
dan pelaporan alkes maupun linen dengan baik.
e. Seluruh Kepala Ruang melakukan pengelolaan obat dengan baik.
f. Hanya ada 4 ruang yang melakukan sistem serah terima pasien, itupun
tidak dilakukan dengan konsisten
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa factor diantaranya :
1) Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari pelaku persepsi,
obyek yang dipersepsikan dan situasi dimana persepsi dilakukan
2) Kurangnya evaluasi dan supervisi dari atasan.
3) Kurangnya proses transfer of knowlwdge
Adapun hasil yang di dapat dari analisis tersebut di dapatkan kinerja baik dan
kinerja kurang baik. Dalam kinerja baik terdapat 51, 5% profesionalisme
askep, 56, 1% pendokumentasian, dan 42, 4% serah terima tugas. Sedangkan
dalam kinerja kurang baik terdapat profesionalisme askep sebanyak 48, 5%,
pendokumentasian 43, 9%, dan serah terima tugas 57, 6%.
Dari hasil tabulasi dapat diketahui bahwa pada kelompok perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalam hal
pengorganisasian, maka banyaknya perawat yang akan melakukan
implementasi MPKP dengan baik sebesar 44.1% (lebih kecil) dibanding
dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang
38
kompeten dalan melakukan pengorganisasian 55,9%, sedangkan pada
kelompok perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang
kompeten dalam hal pengorganisasian, maka banyaknya perawat yang akan
melakukan implementasi dengan kurang baik sebesar 40.6 % (lebih kecil)
dibanding dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang
kompeten dalan melakukan pengorganisasian (59.4%) sehingga dapat
disimpulkan bahwa kompetensi Kepala Ruangan dalam hal pengorganisasian
tidak mempunyai pola hubungan yang bermakna dengan implementasi MPKP
yang dilakukan oleh perawat .
3. Dari hasil analisis kompetensi stafing yang dimilki Kepala Ruang dan
pengaruhnya terhadap kinerja perawat dalam mengimplementasikan
MPKP (Model Praktik Keperawatan Profesional) di dapatkan deskripsi
kompetensi Kepala Ruangan yaitu sebagai berikut :
a. Sebagian besar Kepala Ruang belum melakukan analisis kebutuhan
tenaga dengan benar.
b. Hanya sebagian kecil Kepala Ruang yang belum mempunyai
pengalaman dalam seleksi perawat baru.
c. Kepala Ruang yang masih barau belum dapat melaksanakan program
orientasi dengan efektif.
d. Sebagian besar Kepala Ruang sudah mampu menyelesaikan konflik
dengan baik.
e. Semua Kepala Ruang telah dapat menyusun jadual dinas dengan baik.
f. Belum semua Kepala Ruang dapat melakukan mobisasi staf dengan
efektif.
g. Seluruh Kepala Ruang sudah melaksanakan penilaian kinerja sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
Hal tersebut dikarenakan beberapa factor diantaranya :
39
1) Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari pelaku
persepsi, obyek yang dipersepsikan dan situasi dimana persepsi
dilakukan
2) Manajemen data (sistem informasi RS) yang kurang baik.
Adapun hasil yang di dapat dari analisis tersebut di dapatkan kinerja baik
dan kinerja kurang baik. Dalam kinerja baik terdapat 51,
5%profesionalisme askep, 56, 1% pendokumentasian, dan 42, 4% serah
terima tugas. Sedangkan dalam kinerja kurang baik terdapat
profesionalisme askep sebanyak 48, 5%, pendokumentasian 43, 9%, dan
serah terima tugas 57, 6%.
Dari hasil uji statistik melalui analisis bivariat, dapat diketahui bahwa pada
kelompok perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang
kompeten dalam hal stafing , maka banyaknya perawat yang akan
melakukan implementasi MPKP dengan baik sebesar 47.1% (lebih kecil)
dibanding dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang
kurang kompeten dalan melakukan stafing (52,9%), sedangkan pada
kelompok perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang
kompeten dalam hal satfing, maka banyaknya perawat yang akan
melakukan implementasi MPKP dengan kurang baik sebesar 43.8 % (lebih
kecil) dibanding dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala
Ruang kompeten dalan melakukan stafing 56.3%, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kompetensi Kepala Ruang dalam hal stafing tidak
mempunyai pola hubungan yang bermakna dengan implementasi MPKP
yang dilakukan oleh perawat.
4. Dari hasil analisis kompetensi pengarahan yang dimilki Kepala Ruang dan
pengaruhnya terhadap kinerja perawat dalam mengimplementasikan
MPKP (Model Praktik Keperawatan Profesional) di dapatkan deskripsi
kompetensi Kepala Ruangan yaitu sebagai berikut :
40
a. Sebagian besar Kepala Ruang tidak melaksanakan pertemuan rutin
ruangan secara teratur.
b. Sebagian besar Kepala Ruang telah memberikan bimbingan kepada par
perawat ( dan praktikan ) dengan teratur.
c. Beberapa Kepala Ruang melaksanakan pembinaan etika secara
informal
d. Belum semua Kepala Ruang yang bertugas sebagai supervisi dapat
menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa factor diantaranya :
1. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari pelaku
persepsi, obyek yang dipersepsikan dan situasi dimana persepsi
dilakukan
2. Kurangnya kemampuan Kepala Ruang dalam manajemen waktu
Adapun hasil yang di dapat dari analisis tersebut di dapatkan kinerja baik
dan kinerja kurang baik. Dalam kinerja baik terdapat 51, 5%
profesionalisme askep, 56, 1% pendokumentasian, dan 42, 4% serah
terima tugas. Sedangkan dalam kinerja kurang baik terdapat
profesionalisme askep sebanyak 48, 5%, pendokumentasian 43, 9%, dan
serah terima tugas 57, 6%.
Dari hasil tabulasi diketahui bahwa pada kelompok perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruangan kompeten dalam hal
pengarahan, maka banyaknya perawat yang akan melakukan implementasi
MPKP dengan baik sebesar 52.3% (lebih besar) di banding dengan
perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruangan kurang
kompeten dalan melakukan pengorganisasian 47,7%, sedangkan pada
kelompok perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruangan
kurang kompeten dalam hal pengarahan, maka banyaknya perawat yang
akan melakukan implementasi MPKP dengan kurang baik sama besar,
41
50% dibanding dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala
Ruangan kompeten dalan melakukan pengarahan.
Hasil analisis tersebut dapat menyimpulkan bahwa padaperawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalampengarahan
belum tentu mereka mengimplementasikan Model PraktikKeperawatan
Profesional dengan baik, dan sebaliknya pada perawat yangmempunyai
persepsi bahwa Kepala Ruang kurang kompeten dalampengarahan belum
tentu mereka mngimplementasikan Model PraktikKeperawatan
Profesional dengan kurang baik. Dari hasil tersebutmenunjukan bahwa
implementasi Model Praktik Keperawatan Profesional(MPKP) oleh
perawat pelaksana tidak berhubungan dengan kompetensiKepala Ruang
dalam melaksanakan pengarahan.
5. Dari hasil analisis kompetensi evaluasi yang dimilki Kepala Ruangan
dan pengaruhnya terhadap kinerja perawat dalam
mengimplementasikan MPKP (Model Praktik Keperawatan
Profesional) di dapatkan deskripsi kompetensi Kepala Ruangan yaitu
sebagai berikut :
a. Sebagian besar Kepala Ruang melakukan evaluasi terhadap
respon pasien pasca kegiatan pelayanan.
b. Beberapa Kepala Ruang memeriksa kembali pendokumentasian
askep yang telah dilakukan oleh perawat,
c. Seluruh Kepala Ruang memberikan teguran, nasihat kepada
perawat yang melakukan kesalahan dalam melakukan tindakan.
d. Hampir semua Kepala Ruang berusaha untuk menindaklanjuti
dan memperbaiki pelayanan yang dirasa masih kurang.
Hal tersebut di karenakan oleh beberapa factor diantaranya :
42
1. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari pelaku
persepsi, obyek yang dipersepsikan dan situasi dimana persepsi
dilakukan
2. Evaluasi merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan
yang mempunyai peran penting dalam upaya perbaikan mutu
pelayanan perawatan.
Adapun hasil yang di dapat dari analisis tersebut di dapatkan kinerja
baik dan kinerja kurang baik. Dalam kinerja baik terdapat 51, 5%
profesionalisme askep, 56, 1% pendokumentasian, dan 42, 4% serah
terima tugas. Sedangkan dalam kinerja kurang baik terdapat
profesionalisme askep sebanyak 48, 5%, pendokumentasian 43, 9%,
dan serah terima tugas 57, 6%.
Dari hasil uji statistik dapat diketahui bahwa pada kelompok perawat
yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalam hal
evaluasi , maka banyaknya perawat yang akan menunjukkan kinerja
yang baik implementasi MPKP dengan baik sebesar 67.6 % (lebih
besar) dibanding dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa
Kepala Ruang kurang kompeten dalan melakukan pengarahan
(32.4%), sedangkan pada kelompok perawat yang mempunyai
persepsi bahwa Kepala Ruang kurang kompeten dalam hal evaluasi ,
maka banyaknya perawat yang akan melakukan implementasi MPKP
dengan kurang baik sebesar 65.6% (lebih banyak) dibanding dengan
perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruangan kompeten
dalan melakukan evaluasi (34.4%).
Dari analisistersebut dapat disimpulkan bahwa pada perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalam fungsi
evaluasi mereka mengimplementasikan Model Praktik Keperawatan
Profesional (MPKP) dengan baik, dan sebaliknya pada perawat yang
mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kurang kompeten dalam
43
melaksanakan fungsi evaluasi mereka mereka akan
mengimplementasikan Model Praktik Keperawatan Profesional
(MPKP) dengan kurang baik. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa
implementasi Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) oleh
perawat pelaksana berhubungan dengan kompetensi Kepala Ruang
dalam melaksanakan fungsi evaluasi.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa 51.5% perawat mempunyai
persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalam melaksanakan
evaluasi, dan hal ini berhubungan dengan implementasi perawat
pelaksana. Salah satu uraian tugas Kepala Ruang adalah
melaksanakan fungsi pengawasan, pengendalian dan penilaian yang
meliput kegiatan : mengawasi dan menilai pelaksanaan asuhan
keperawatan yang telah di tentukan., melaksanakan penilaian terhadap
upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang
perawatan, mengawasi peserta didik dari institusi untuk memperoleh
pengalaman belajar, sesuai tujuan program pendidikan, melaksanakan
penilaian.
6. Dari hasil analisis kompetensi pegendalian mutu yang dimiliki Kepala
Ruang dan pengaruhnya terhadap kinerja perawat dalam
mengimplementasikan MPKP (Model Praktik Keperawatan
Profesional) didapatkan deskripsi Kompetensi Kepala Ruangan yaitu
sebagai berikut :
a. Seluruh Kepala Ruang telah melakukan pencatatan kejadian infeksi
nosokomial, tetapi belum dapat melakukan analisis.
b. Sebagian besar Kepala Ruang tidak lagi melakukan kegiatan survey
kepuasan pelanggan sejak 6 bulan terakhir.
c. Sebagian Kepala Ruang mempunyai peran dalam kegiatan audit
kasus yang diselenggrakan Komite Medis.
44
d. Seluruh Kepala Ruang belum melakukan melakukan evaluasi
terhadap kejadian kecelakaan kerja.
e. Keluhan tentang pelayanan yang disampaikan pasien , segera
direspon oleh sebagian besar Kepala Ruang.
f. Tidak ada tindak lanjut pelaksanaan GKM pasca pelatihan
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya :
1. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari pelaku
persepsi, obyek yang dipersepsikan dan situasi dimana persepsi
dilakukan
2. Kurangnya koordinasi dengan Tim Pengendalian Mutu RS.
3. Tidak ada tindak lanjut pelaksanaan GKM pasca pelatihan
Adapun hasil yang di dapat dari analisis tersebut di dapatkan kinerja
baik dan kinerja kurang baik. Dalam kinerja baik terdapat 51, 5%
profesionalisme askep, 56, 1% pendokumentasian, dan 42, 4% serah
terima tugas. Sedangkan dalam kinerja kurang baik terdapat
profesionalisme askep sebanyak 48, 5%, pendokumentasian 43, 9%,
dan serah terima tugas 57, 6%.
Dari hasil analisis bivariat dapat diketahui bahwa pada kelompok
perawat yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten
dalam hal pengendalian mutu , maka banyaknya perawat yang akan
melakukan implementasi MPKP dengan baik sebesar 52.9% (lebih
besar) dibanding dengan perawat yang mempunyai persepsi bahwa
Kepala Ruang kurang kompeten dalan melakukan stafing (47.1%),
sedangkan pada kelompok perawat yang mempunyai persepsi bahwa
Kepala Ruang kurang kompeten dalam hal pengendalian mutu , maka
banyaknya perawat yang akan melakukan implementasi MPKP dengan
kurang baik sebesar 53.1 % (lebih banyak) dibanding dengan perawat
45
yang mempunyai persepsi bahwa Kepala Ruang kompeten dalan
melakukan pengendalian mutu (46.9%).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi Kepala Ruang
dalam hal pengendalian mutu tiidak mempunyai pola hubungan yang
bermakna dengan implementasi MPKP yang dilakukan oleh perawat.
Hal ini disebabkan oleh karena indikator mutu yang digunakan dalam
pengukuran kualitas pelayanan tidak berhubungan secara pribadi
dengan prestasi kerja perawat sehingga dalam memberikan penilaian
mereka cenderung menilai bahwa Kepala Ruang kompeten dalam
melaksanakan fungsi pengendalian mutu, pendapat ini diperkuat dengan
hasil penelitian yang menunjukan bahwa sebanyak 53% (35) perawat
menyatakan Kepala Ruang mampu melaksanakan fungsi pengendalian
mutu dengan baik, yang bertolak belakang dengan hasil wawancara
peneliti dengan Kepala Ruang yang menilai bahwa pelaksanaan fungsi
pengendalian mutu kurang baik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat
dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suku
satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya
memiliki beberapa kriteria yang tegantung pada sudut pandang atau
pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat,
sifat-sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat
berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan
diterapakan. Rahasia utama kepemimpinan adalah kekutan terbesar seorang
pemimpin bukan dari kekuasaannya, bukan kecerdasannya, tetapi dari
kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras
memperbaiki dirinya sebelum memperbaiki orang lain.
Konflik dapat menjadi masalah serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli
apapun bentuk dan tingkat konpleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut
mungkin tidak membawa kematian bagi organisasi, tetapi pasti dapat
menurunkan kinerja organisai tersebut, jika konflik tersebut di biarkan
berlarut-larut tanpa penyelsaian (hakim, 2007) dalam hal inilah peran
pemimpin sangat menentukan bagaimana pemimpin itu dapat menggelola
konflik dengan baik, bahakan bisa menjadikannya sebagai hal sesuatu yang
dapat memacu motivasi dan bukan menurunkan tingkat kinerja bawahan.
Oleh karena itu keahlian pemimpin dalam menggelola konflik sangat di
perlukan dalam sebuah organisasi.
46
47
4.2 Saran
1. Seorang pemimpin hendaknya mampu membimbing, mengarahkan dan
mengayomi anggotanya tanpa membedakan antara anggota yang satu
dengan anggota yang lain.
2. Dalam proses manajemen keperwatan seharusnya melibatkan seluruh
personil bukan hanya berpusat pada pemimpin atau manajer.
3. Segala keputusan yang dibuat harus dimusyawarahkan dan harus dapat
diterima oleh semua pihak dalam manajemen keperawatan.
4. Dengan model kepemimpinan yang efektif ini, diharapkan di masa yang
akan datang profesi keperawatan bisa diterima dengan citra yang baik di
masyarakat luas sebagai suatu profesi yang dikembangkan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
AGF Consulting. 2003. Manajemen Keperawatan.
http://xa.yimg.com/kq/groups/22981121/1635102248/name/MANAJEMEN
%252BKEPERAWATAN.pdf diakses pada tanggal 12 Oktober 2013
Nursalam. 2008. Manajemen Keperawatan; Aplikasi dalam prektik Keperawatan
Profesional Edisi 2: Salemba Medika. Jakarta
Nursalam.2002. Manajemen Keperawatan; Aplikasi pada prakrik keperawtan
professional edisi 3:selemba Medika. Jakarta
Parmin. 2010. Hubungan Pelaksanaan Fungsi Manajemen Kepala Ruangan
Dengan Motivasi Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RSUP Undata
Palu. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia
Rustandi J.P dan Fathi Achmad. 2012. Gaya Kepemimpinan dan Manajemen
Konflik Kepala Ruanagn Di Instalasi Rindu A RSUP H. Adam Malik
Medan. jurnal.usu.ac.id/index.php/jkh/article/download/177/131 diakses
pada tanggal 12 Oktober 2013 Pukul 06.13
Swansburg, Russel C. 2000, Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan; EGC. Jakarta
Tambunan Daniel dan Naingggolan Elfrida. 2013. Gaya Kepemimpinan Kepala
Ruangan dan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Instalasi Rawat
Inap RS HKBP Balige. Jurnal Keperawatan HKBP Balige, 1 (1): 34-45
Wahyuni Sri. 2007. Analisis Kompetensi Kepala Ruang Dalam Pelaksanaan
Standar Manajemen Pelayanan Keperawatan dan Pengaruhnya Terhadap
Kinerja Perawat Dalam Mengimplementasikan Model Praktik Keperawatan
48
49
Profesional Di Instalasi Rawat Inap BRSUD Banjarnegara. [Tesis].
Semarang: Universitas Dipenogoro
Yulianti Hana, Warouw Herman dan Palandeng Hendry. 2013. Hubungan
Kepemimpinan Kepala Ruangan Menurut Persepsi Perawat Terhadap
Motivasi Kerja Perawat Pelaksana Di Ruang Instalasi Rawat Inap F BLU
RSUP PROF. Dr. R.D. Kandou Manado. Ejournal Keperawatan, 1(1): 1-9
Recommended