Makalah Rheumatoid Arthritis

Preview:

DESCRIPTION

rhi

Citation preview

Makalah Farmakoterapi 1

IMUNOPATOLOGI 2RHEUMATOID ARTHRITIS (RA)

Disusun oleh :

Theresia Nurida A. (108114126)

Lukas Surya W. (108114128)

Trifonia Rosa K. (108114131)

Retno Pamungkas (108114135)

Maria Jessica C. D. (108114138)

Suhartati Mentari R.B. (108114139)

FKK-B 2010

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA2013

A. EPIDEMIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS

Rheumatoid arthritis atau sering disingkat RA merupakan penyakit yang banyak

dialami oleh penduduk dunia. Penelitian tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi penduduk

dunia yang mengidap RA sebanyak 0,5 – 1 %. Angka prevalensi RA di Amerika mencapai

0,6%, dengan 1,06% nya adalah wanita(dua kali lipat dari laki-laki, yaitu 0,61%). Di China

dan Jepang sendiri, terdapat 0,2 – 0,3 % penduduk yang menderita RA. Hal ini menunjukkan

bahwa RA juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Selain itu, perbedaan prevalensi RA tiap

daerah menunjukkan bahwa RA juga dipengaruhi oleh lingkungan (Gibofsky, 2012).

Pada salah satu penelitian tahun 2012, sebanyak 46,030 pasien dengan diagnosa RA

teridentifikasi. Dua per tiga pasien adalah perempuan, dan kebanyakan pasien berusia paruh

baya dan lansia. Penderita RA terbesar didapati pada pasien usia 50 – 59 tahun (27,7%),

diikuti pasien dengan usia 60 – 69 tahun, dan kemudian di atas 70 tahun. Rata-rata usia

pasien penderita RA adalah 57 tahun, sedangkan penyakit penyerta yang kerap membarengi

adalah kardiovaskuler, kanker, dan diabetes (Blumentals, 2012).

Di Indonesia sendiri, data penderita RA belum banyak dikaji. Pada tahun 2006,

diketahui sebanyak 0,3 – 0,6 % penduduk Indonesia menderita OA (Ming Dai, 2003). Secara

genetis, RA dipengaruhi oleh ekspresi dari gen HLA yang merupakan gen pembentuk MHC.

Penelitian mengungkapkan, 70% individu dengan gen HLA terekspersi mengalami RA. Hal

in juga berlaku bagi kembar monozigot yang memiliki gen tersebut. Tidak semua ras di bumi

akan mengekspresikan gen dari HLA (epitope) tertentu yang berinteraksi dengan MHC

membentuk respon yang spesifik bagi RA, oleh karena itu, penyebaran penyakit RA antar

daerah berbeda-beda tergantung dominasi dari ras yang mendiami daerah tersebut.

B. DEFINISI RHEUMATOID ARTHRITIS

Rheumatoid arthritis adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan kelainan

inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakterisasi dengan sendi

simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik (Sukandar, 2009).

Rheumatoid arthritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum

disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi pada RA

akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang persendian. Kejadian inflamasi

ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama membran sinovial (membran yang membungkus

sendi berisi cairan sinovial). Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri,

kelelahan, ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah

akibat perkembangan penyakit yang progresif (Gibofsky, 2012).

1

Rheumatoid Arthritis kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III. Hal

ini dikarenakan dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya kompleks imunoglobulin G

yang berada pada cairan sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Selain itu, RA

merupakan kelainan sistem imun yang merupakan autoimun disease. Hal ini dikarenakan

pada dasarnya terjadi kelainan pada sel-sel limfosit yang mengakibatkan teraktivasinya jalur-

jalur imun dan protein-protein imun sehingga terjadi reaksi inflamasi.

C. PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat

adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya

kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III

dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III

Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang

disebabkan adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi suatu

antigen yang mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi ini mengaktivasi

jalur komplemen klasik, maka akan terjadi sekresi protein-protein imun dan sel-sel imun

yang kemudian dapat memicu reaksi inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian

dimana kompleks imun tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.

Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk

disebabkan oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan tubuh

lain) sehingga tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas tipe III ini dipicu

oleh berbagai sebab seperti kelainan autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang

terpapar dari luar seperti spora jamur (Marc, 2009).

Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)

2

Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat

memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat

memicu kompleks antibodi adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetin,

fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen

seperti spoa dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paru-

paru. Kompleks antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)

Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan teraktivasinya

protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu teraktivasinya komplemen jalur

klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri

dari C1 q,r,s) akan membelah protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan

menempel pada kompleks imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu,

protein C1 akan membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b

akan menempel pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3 menjadi C3a dan

C3b. C3b memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan C3 konvertase membentuk

C5 konvertase dan yang kedua menempel pada permukaan kompleks imun dan berperan

sebagai opsonin bagi fagosit. C5 konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai

opsonin dan C5b sebagai MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein

komplemen lain (C7, C8, dan C9).

3

Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)

Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil, dan

eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan

peradangan sendi.

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab

internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri

dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase

menderita RA apabila pada DNA nya terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan.

Pengekspresian gen ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang

nantinya akan berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada

orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen).

ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan

pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes,

2011).

Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor eksternal juga

mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling banyak menyebabkan RA

adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya sitrunilasi pada protein-protein yang berada

dalam jaringan ikat seperti vimetin. Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak

pada sel-sel jaringan ikat terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi

merupakan antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat

menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat sitrunilasi

protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan berikatan dengan

antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA

4

positif belum tentu menunjukkan adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat

ACPA, namun belum tentu seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi

sehingga belum tentu terbentuk kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak

diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi),

aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga menyebabkan

terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks (Ursum, 2009).

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis

Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel

dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan adanya antigen berupa protein

tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan

berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa

sedangkan sel dendrit dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-

beta. Protein-protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan

menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada

penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang memiliki

penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal

ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang

membantu Sel T pada membran sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan

mensekresikan IgG. Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan

IgG dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks

imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi

menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mclnnes, 2011).

5

Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi seperti

netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan mensekresikan mediator-

mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu,

makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang pada persendian sehingga menyebabkan

kerusakan sendi. Selain makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai

pensintesis sitokin dan senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis

beberapa kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).

Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah IL-1, IL-6,

dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas sehingga menyebabkan

deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein

reseptor tirosin kinase dengan jalur JAK (Mclnnes, 2011).

6

4. Manifestasi Rheumatoid Arthritis

Inflamasi kronis yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai macam

manifestasi. Dua macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah kerusakan tulang

rawan dan erosi tulang.

a. Kerusakan Tulang Rawan

Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan sendi)

seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari permukaan protein

binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi FLS (Fibroblast-Like

Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix Metaloproteinase) sehingga

meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain itu, enzim matriks lain seperti

ADAMTS akan mengurangi integritas dari kartilago. Berbagai macam sitokin pada

cairan sendi juga akan meningkatkan perombakan tulang rawan pada persendian. Hal

ini menyebabkan radiografi pada penderita RA menunjukan adanya penyempitan jarak

antar persendian (Mclnnes, 2011).

b. Erosi Tulang

Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa RA dan

berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif. Berbagai macam

sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan osteoklas dan invasi pada

permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17, dan IL-1 akan meningkatkan

deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya. Osteoclast akan menyebabkan reaksi

enzimatik asam yang akn menghancurkan jaringan bermineral termasuk tulang rawan

dan tulang (Mclnnes, 2011).

D. GEJALA DAN TANDA RHEUMATOID ARTHRITIS

Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat

peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan

berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan

pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala

penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi

(kambuh) ataupun gejala kembali (AHRQ, 2008).

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,

kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan

kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis

rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya

7

penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan

gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).

Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi,

berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai

pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai

persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan

temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba

hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas

tangan dan kaki adalah hal yang umum (AHRQ, 2008).

Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :

1. Stadium sinovitis

Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi,

edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.

2. Stadium destruksi

Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan

sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.

3. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan

gangguan fungsi secara menetap (AHRQ, 2008).

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini

sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-

sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan

pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi

dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan

lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah

tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut

usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan

kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,

mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi

kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat

terjadi berulang.

Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis adalah

nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga hebat ketika

8

beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala lain. Kekakuan otot-otot

selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien rheumatoid arthritis serta osteoarthritis.

Namun, di antara pasien dengan osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam

aktivitas. Untuk pasien rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa

menjadi meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada

pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan menyakitkan

untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan menyebabkan cacat permanen.

Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang berakhir pada sendi, erosi kartilago dan

pecahnya tendon di sekitar sendi. Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari.

Misalnya, ibu jari yang cacat dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari

melengkung atau disebut cacat leher angsa dll (NHS, 2012).

Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi. Ini muncul

sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri, keras, oval atau bulat

massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti pergelangan tangan, siku, pergelangan

kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru.

Dalam paru-paru mereka dapat menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam

dan sekitar paru-paru.Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya

jumlah sel darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah

baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS, 2012).

Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau vaskulitis arthritis.

Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat menyebabkan ulserasi kulit yang

dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan

komplikasi seperti perdarahan atau perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri,

mati rasa atau kesemutan sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin

terlibat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi

cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan miokarditis.

Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang mungkin mengalami

peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up. Flare up biasanya sulit untuk

memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).

Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah pada kualitas

hidup. Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan kesejahteraan emosional serta

kesehatan mental. Kondisi terkait lainnya dengan kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan

(NHS, 2012).

9

E. DIAGNOSIS RHEUMATOID ARTHRITIS

Pendekatan perawatan pasien dengan RA dapat digolongkan menjadi 2 grup :

RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang terjadi kurang

dari 3 bulan

Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena inflamasi dan

/atau karena kerusakan sendi.

Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa InflamasiCiri-ciri Dengan Inflamasi Tanpa InflamasiNyeri sendi Dengan aktivitas dan pada

saat istirahatDengan aktivitas

Pembengkakan sendi Jaringan lunak Pada banyak tulangErythema local Kadang-kadang Tidak adaPanas Lokal Berkali-kali Tidak adaKekakuan pagi hari > 30 menit < 30 menitGejala sistematik Umum, khususnya keletihan Tidak ada

(Aleteha, et al, 2010).

Membedakan RA Dari Arthritis Dengan Inflamasi LainnyaKemungkinan RA Diagnosis pembeda Anjuran ciri-ciri Diagnosis

alternatif Kekakuan pada

pagi hari > 30 menit

Kristal arthropathy Mucosal ulcer, fotosensitif, psoriasis, ruam pada kulit

Raynaud’s

Pembengkakan atau nyeri sendi pada 3 atau lebih sendi

Psoriatic arthritis Lupus

Raynaud’s Inflamasi okular-

iritis/uveitis Urethritis

Keterlibatan simetris dari tangan dan kaki (khususnya metacarpophalangeal, metatarsophalangeal)

Reaktif arthritis Spondyloathropaties Polyarticular sepsis

Inflammatory bowel disease

Infeksius diare Nephritis Isolated distal

interphalangeal joint inflammation

Durasi 4 minggu atau lebih

Source : www. BCGuidelines.ca (BCGuidelines.ca : Rheumathoids Arthritis : Diagnosis, Manajemen and

Monitoring, 2012)

Diagnosis Reumathoid Arthritis (RA) dilakukan secara klinis didasarkan terutama

pada temuan pemeriksaan fisik.  Ada 2 kriteria klasifikasi utama diringkas dalam Tabel1.

10

Kriteria klasifikasi yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh American College of

Rheumathology (ACR), sebelumnya American Rheumatism Assosiation, telah dikritik untuk

fokus mereka pada identifikasi pasien dengan penyakit RA lebih pasti (yaitu, mereka yang

telah mengembangkan erosif kronis penyakit), sehingga kriteria yang dibuat tahun 1987 gagal

mengidentifikasi pasien dengan penyakit dini, yang memberikan keuntungan, bisa

mendapatkan manfaat paling banyak dari terapi yang tersedia (Aleteha, et al, 2010).

Baru-baru ini, ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR)

menciptakan kelompok kerja sama dengan tujuan utama untuk mengembangkan kriteria

klasifikasi untuk mengidentifikasi pasien RA awal (dini) selama proses perkembangan

penyakit. Seperti pada usaha kriteria tahun 1987, kriteria klasifikasi tahun 2010 adalah sarana

untuk mengidentifikasi pasien untuk uji klinis, untuk membedakan pasien dengan sinovitis,

dan untuk menentukan kelompok resiko tertinggi untuk mengembangkan persisten atau erosif

RA. Namun, klasifikasi ACR/EULAR tahun 2010 juga diciptakan secara skematis untuk

mengidentifikasi RA tetap (Aleteha, et al, 2010).

Ada beberapa perbedaan penting antara kriteria RA 1987 dan kriteria klasifikasi 2010

untuk RA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kriteria 1987 dipersyaratkan score

minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di pagi hari, jumlah keseluruhan

sendi yang terlibat, presence of symmethry, Rheumathoid nodule, uji faktor rheumatoid

positif (RF), dan tes perubahan radiografi. Dalam kriteria 2010, penilaian pasien ditujukan

bagi mereka dengan sinovitis klinis setidaknya 1 sendi (joint) tidak dijelaskan oleh penyakit

lain. Sistem penilaian penyakit menggunakan dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe joint

yang terlibat. Joint yang terlibat didefinisikan sebagai pembengkakan sendi atau nyeri sendi

pada pemeriksaan indikasi sinovitis aktif. sendi besar (Large Joint) meliputi bahu, siku,

pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Sendi kecil (Small Joint) mengacu pada

metacarpophalangeal (MCP), proximal interphalangeal (PIP), 2-5 Metarshophalangeal

(MTP), sendi interphalangeal jempol, dan pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal

kecuali dari assessment karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).

Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul, atau arthritis

simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan simetris bukan merupakan

kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan dari presentasi bilateral meningkat

dengan adanya peningkatan lebih besar sendi-sendi yang terlibat dan lebih progresifnya

penyakit (Aleteha, et al, 2010).

Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak adanya RF

(afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin) sebagai salah satu domain.

11

Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya atau tidak adanya yang baru-baru in

diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein antibody (ACPA). Nilai dari RF dan ACPA

merupakan penanda dari disfungsi autoimun, dinilai berdasarkan range nilai; dimana

“Normal” didefinisikan sebagai kurang dari upper limit normal (ULN) dari hasil

laboratorium, positif-rendah diantara ULN dan kurang dari 3 kali nilai ULN, dan positif

tinggi lebih dari 3 kali nilai ULN. Penanda (marker) inflamasi, kecepatan sedimentasi

eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) level dinilai berdasarkan referensi standar

laboratorium (Aleteha, et al, 2010).

Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi dipertimbangkan,

tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari nilai akhir. Pada kriteria 2010

nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif untuk RA, dan karenanya pasien akan

dipertimbangkan untuk menjalani pengobatan (Aleteha, et al, 2010).

Karena itu disarankan menggunakan kriteria 2010 ACR/EULAR untuk

assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi lebih awal

pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.

12

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM RHEUMATOID ARTHRITIS

Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan RA. Pemeriksaan tersebut

antara lain :

1. Rheumatoid Factor

Rheumatoid Factor (RF) merupakan antibodi atau immunoglobulin yang dimiliki

oleh sekitar 70 sampai 80 persen orang dewasa yang memiliki rheumatoid arthritis.

Beberapa orang dengan kondisi kronis lainnya peradangan, dan sampai 5 persen orang

sehat, juga positif memiliki faktor rheumatoid. Tes untuk faktor rheumatoid dilakukan

dengan menggunakan aglutinasi lateks atau nephelometry. Jika hasil tes positif untuk

faktor rheumatoid, sampel darah Anda lebih lanjut dianalisis menggunakan seri

pengenceran untuk mendapatkan titer yang (pengenceran darah pasien masih

menghasilkan hasil yang positif). Menggunakan uji aglutinasi lateks, titer lebih besar dari

1:20 tidak normal. Titer tinggi juga berkorelasi dengan keparahan penyakit. Sebagai

contoh, 1:320 kemungkinan akan mencerminkan keparahan dari rheumatoid arthritis

dibandingkan 1:40. Menggunakan nephelometry, hasil lebih dari 23 unit dan titer lebih

dari 1:80 tidak normal. Beberapa tes faktor rheumatoid kini dilaporkan dalam IU

(International Unit) (Eustice, 2007).

Rheumatoid Arthritic Factor (RF) adalah pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi

adanya antibodi golongan IgM , IgG atau IgA yang terdapat dalam serum pada penderita

rheumatoid arthritis ( Nerl, 2012).

Serum dari pasien dengan rheumatoid arthritis biasanya berisi autoantibodi ke

bagian Fc IgG manusia. Autoantibodi ini disebut "faktor rematik" karena hubungan

mereka dengan penyakit terkait. Faktor Rheumatoid terutama dimiliki untuk kelas IgM

imunoglobulin. Namun, faktor rheumatoid telah dikaitkan dengan masing-masing subclass

IgG manusia dan dengan IgA dan IgE. Peningkatan kadar faktor rheumatoid tidak hadir

dalam penyakit sendi lainnya seperti osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gout, demam

rematik, arthritis supuratif, psoriatic arthritis, arthritis colitic dan sindrom Reiter. Karena

ini tingkat kekhususan, deteksi arthritis. Faktor sangat berguna sebagai indikator

rheumatoid arthritis. tes RF dapat membantu dokter dalam deteksi, diagnosis, prognosis,

dan pemantauan terapi rheumatoid arthritis. Tes untuk faktor rheumatoid adalah tes

serologi yang paling banyak digunakan sebagai bantuan untuk diagnosis rheumatoid

arthritis. Metode penentuan RF meliputi presipitasi kapiler, radioimmunoassay, laser dan

tingkat nephelometry dan tes aglutinasi partikel (Nerl, 2012).

13

2. UJI ACPA

Test ACPA dikenal juga sebagai tes antibody anti-cyclic citrullinated peptide

(anti-CCP) yang merupakan enzyme-linked immunosorbent assay dimana tes ini untuk

melihat kehadiran antibodi yang mengenali antigen tertentu yang mengandung citrulline.

Citrulline merupakan non-standar asam amino yang dibuat dengan modifikasi enzimatik

arginin (proses yang dikenal sebagai citrullination) (Suwannalai, 2011).

Antibody protein anti-citrullinated (ACPA) terlibat dalam patogenesis penyakit

rheumatoid arthritis (RA). ACPA dapat ditemukan pada awal perjalanan penyakit bahkan

sebelum onset penyakit, dan adanya ACPA pada saat diagnosis dapat memprediksi

perjalanan penyakit. Selain itu, ACPA dapat berkontribusi untuk patogenesis penyakit

dengan mengaktifkan sel-sel kekebalan tubuh dan sistem komplemen. Respon ACPA

kemungkinan merupakan respon B-sel T-cell-dependent, mengingat sifat protein dari

antigen yang dikenali dan mengikat kuat dengan antigen leukosit manusia bersama-sama

dengan alel epitop. Evolusi seperti respon biasanya ditandai dengan gelombang pertama

antibodi IgM setelah kontak dengan antigen pertama, segera diikuti oleh kehadiran IgG.

Setelah paparan antigen berulang, respon IgG yang lebih didorong sedangkan penurunan

puncak IgM. Pengamatan terakhir ini dijelaskan oleh kehadiran Ig-switched, afinitas

matang, sel memori B yang terbentuk dalam kehadiran sel T CD4 +. Sel-sel T helper

memberikan aktivitas yang diperlukan untuk pematangan afinitas, switching isotipe dan

pembentukan sel memori (Suwannalai, 2011).

ACPA tes didasarkan pada deteksi autoantibodi dengan ELISA atau MEIA atau

immunoenzymofluorimetry. Pemeriksaan ACPA meliputi anti-cyclic citrullinated peptide

(Anti- CCP) dan anti-mutated citrullinated vimentin (anti-MCV).

- Anti-Cyclic Citrullinated Peptide (Anti- CCP)

Antibodi Anti –CCP adalah singkatan anti-cyclic antibodi peptida citrullinated.

Ini adalah protein yang diproduksi sebagai bagian dari proses yang mengarah ke

peradangan sendi pada rheumatoid arthritis. Ini adalah tes yang digunakan untuk

mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis. Saat ini, antibodi anti-CCP adalah

penanda paling spesifik untuk rheumatoid arthritis. Dengan spesifisitas sekitar 98%, itu

adalah penanda diandalkan untuk mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis.

Pada pasien RA sering menghasilkan autoantibodi diarahkan terhadap protein

dan peptida yang mengandung citrulline asam amino. Citrulline dihasilkan dalam

lingkungan inflamasi oleh modifikasi asam amino arginine oleh enzim peptidylarginine

14

deiminase. Sehingga metode anti-CCP ini dapat digunakan sebagai metode uji untuk

mendiagnosis penyakit RA (Langguth, 2006).

(Bose, 2012).

Pada sel, beberapa protein struktural menjalani 'citrullination' di bawah arahan

enzim seluler. Residu arginin menjalani deimination untuk membentuk asam amino

non-standar citrulline. Peptida citrullinated lebih cocok ke dalam HLA-DR4 molekul

yang sangat terkait dengan perkembangan rheumatoid arthritis, keparahan dan

prognosis. Hal ini juga diketahui bahwa banyak jenis peptida citrullinated hadir dalam

tubuh, baik di dalam maupun di luar sendi. Pada akhir 1990-an, antibodi terhadap

peptida citrullinated yang 'ditemukan'. Sera dari pasien dengan rheumatoid arthritis

mengandung antibodi yang bereaksi terhadap peptida citrullinated. Peptida buatan

digunakan dalam tes antibodi terhadap CCP (tes anti-CCP). Serum pasien dicampur

dengan ini peptida dan jika mengandung antibodi anti-CCP mereka akan mengikat

bersama-sama. Pengikatan ini dapat dideteksi oleh immunosorbent assay enzim-linked

(Langguth, 2006).

- Anti MCV (Mutated Citrunilated Vimentin)

Anti MCV adalah suatu isoform antigenik baru dari vimentin yang ditemukan

pada pasien rheumatoid arthritis. Dan termasuk dalam golongan ACPA. Marker alami

anti-MCV merupakan pengembangan lebih lanjut dari anti-CCP. Anti MCV

menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding anti-CCP mauapun RF untuk

diagnosis dini rheumatoid arthritis. vimentin citrullinated identik dengan sebelumnya

dikenal antigen Sa, yang merupakan singkatan dari Savoie, nama pasien di antaranya

respon autoantibody pertama kali diidentifikasi. Antibodi anti-Sa memberikan

spesifisitas yang tinggi> 98%, tetapi sensitivitas terbatas 22% sampai 40% untuk pasien

15

dengan alat tes komersial untuk mendeteksi antibodi anti-SA, studi yang dilakukan

sejauh ini menunjukkan kemungkinan nilai prognostik untuk klinis yang parah pada

rheumatoid arthritis. Selain itu, antibodi anti-Sa memiliki Nilai prediktif tinggi sekitar

84% sampai 99% untuk rheumatoid arthritis dan yang terkait erat dengan manifestasi

extraartikular dan keterlibatan sendi yang parah. Penelitian terbaru telah menunjukkan

bahwa kedua citrullination dan mutasi dapat mempengaruhi antigenitas vimentin.

ELISA berdasarkan mutation citrullinated vimentin (MCV) telah tersedia secara

komersial untuk diagnosis rheumatoid arthritis untuk beberapa waktu dan memiliki

sekitar kepekaan diagnostik yang sama dan spesifisitas sebagai antibodi anti-CCP

(Egerer , 2009)

3. X-RAY

X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan jaringan

lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat memperlihatkan

erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray dapat membantu dalam

memantau perkembangan penyakit dan kerusakan sendi dari waktu ke waktu. Scanning

tulang, prosedurnya menggunakan sedikit zat radioaktif, juga dapat digunakan untuk

menunjukkan sendi yang meradang. Pemindaian MRI juga dapat digunakan untuk

menunjukkan kerusakan sendi (Stoppler, 2013).

American College of Rheumatology telah mengembangkan sistem untuk

mengklasifikasikan rheumatoid arthritis yang terutama didasarkan pada penampilan X-ray

dari sendi. Sistem ini membantu para profesional medis menggolongkan keparahan

rheumatoid arthritis sehubungan dengan tulang rawan, ligamen, dan tulang.

16

Tahap I

Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tanda-tanda

penipisan tulang

Tahap II

1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau tanpa/sedikit

kerusakan tulang

2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan

3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi

4. Atropi pada otot yang berdampingan

5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi

Tahap III

1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan penipisan tulang di

sekitar sendi

2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi

3. Atrofi otot yang ekstensif

4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi

Tahap IV

1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan osteoporosis di

sekitar sendi

2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai ankilosis)

3. Atrofi otot yang ekstensif

4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak sekitar sendi (Stoppler, 2013).

Reumatologis juga mengklasifikasikan status fungsional penderita RA sebagai

berikut:

Kelas I : benar-benar mampu melakukan aktivitas seperti biasa sehari-hari

Kelas II : mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa tapi terbatas

dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga, pekerjaan rumah tangga)

Kelas III : mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas dalam pekerjaan

dan kegiatan lainnya

Kelas IV : terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa, pekerjaan,

dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).

17

4. Laju Endap Darah (Erythrocyte Sedimentation Rate)

Laju endap darah adalah uji yang umumnya digunakan untuk penilaian aktivitas

penyakit. Tes ini untuk memastikan keparahan inflamasi dan digunakan untuk memonitor

pekembangan pengobatan RA (McNeil, 2005).

Laju endap darah mengukur seberapa cepat eritrosit mengendap pada test tube.

Protein tertentu akan ada pada inflamasi yang melekat pada eritrosit, yang menyebabkan

mereka terikat bersama dan lebih cepat jatuh ke bawah test tube. Kecepatan jatuh ESR

diukur dalam jam (McNeil, 2005).

Pada RA laju endap darah biasanya meningkat, merefleksikan inflamasi dari

penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi, namun seluruh tubuh. Dan

pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi sistemik yang merata pada seluruh tubuh,

dan ditunjukkan pada laju endap eritrosit (Ruderman, 2008).

Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah adalah

metode westergren.

a. Metode Westergren

Keseluruhan serum di anti koagulasi dengan sodium sitrat dan didiamkan.

Setelah 1 jam, jarak dalam milimeter antara bagian atas tube dan sedimen eritrosit yang

terukur. Nilai normal tidak disesuaikan dengan umur dan gender pada beberapa

laboratorium, padahal karakteristik ini mempengaruhi laju endap darah. Laju endap

darah umumnya meningkat bersamaan dengan usia dan agak meningkat pada wanita.

Batasan tinggi normal pada pria adalah sama dengan usia dibagi 2, sedangkan pada

wanita, ditambah usia ditambah 10 dan dibagi 2 (Klipple, 2008).

Laju endap darah dapat diguNakan untuk mengidentifikasi seberapa keparahan

yang diderita pasien awal dalam menentukan artritis mereka, dan juga digunakan untuk

memonitor terapi. Pasien yang pengobatannya tepat dan perkembangan penyakit yang

membaik, akan menunjukan laju endap eritrosit yang menurun dan dapat menunjukan

respon dari pengobatan (Ruderman, 2008).

b. C-Reactive Protein (CRP)

Selama proses inflamasi, protein abnormal spesifik yang disebut C-reactive

protein (CRP) muncul dalam darah pada respon inflamasi sitokin seperti IL-6. Protein

ini hampir tidak ada pada serum darah orang sehat. Level CRP dapat meningkat

dramatis (100 kali atau lebih) setelah trauma parah, infeksi bakteri, inflamasi, bedah,

atau proliferasi neoplastik. Pengukuran CRP sudah banyak digunakan dalam aktivitas

penilaian dari penyakit inflamasi, untuk mendeteksi infeksi setelah bedah, untuk

18

mendeteksi penolakan transplantasi, dan memonitor progres inflamasi (Fishbach,

2009).

Level serum CRP berubah dengan cepat dibandingkan laju endap darah; dengan

stimulus yang adekuat, CRP dapat meningkat dalam waktu 4 sampai 6 jam dan normal

dalam 1 minggu. CRP sering diukur secara simultan dengan laju endap darah sebagai

pengukuran inflamasi yang umum (McNeil, 2005).

c. Metode Nephelometri

Nephelometri menggunakan antibodi untuk berikatan dengan target protein dan

mengukur penyebaran cahaya oleh antigen-antibodi kompleks. ELISA menggunakan

coated plate untuk membentuk ikatan kompleks antibodi-antigen. Ikatan kompleks ini

dideteksi oleh tambahan antibodi kedua yang dilabeli dengan enzin, kemudian

dicampurkan dengan substrat, menghasilkan warna yang dapat diukur dengan

spektrofotometri. Karena CRP adalah serum protein stabil dan pengukurannya tidak

mempengaruhi komponen serum yang lain, maka cenderung kurang tidak tetap

dibandingkan laju endap darah. CRP dipengaruhi oleh usia dan gender. Umumnya,

level <0,2 mg/dL dinilai normal dan level >1 mg/dL dianggap konsisten dengan

inflamasi (McNeil, 2005).

G. PENATALAKSANAAN TERAPI RHEUMATOID ARTHRITIS

1. Non-farmakologi (lifestyle)

Terapi non-farmakologi RA, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Berhenti merokok

b. Melakukan operasi penggantian sendi

c. Memelihara aktivitas fisik

d. Melakukan diet sehat

e. Menjaga berat badan agar tetap ideal

Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Melakukan olahraga teratur

b. Melakukan terapi okupasi

c. Hidroterapi

d. Memberikan edukasi kepada pasien (Gcelu and Kalla, 2011).

Istirahat merupakan hal yang dibutuhkan untuk terapi non-farmakologi. Istirahat

menjadi pengobatan dalam mengurangi sakit. okupasi dan terapi fisik dapat dilakukan

19

pasien dengan olahraga ringan atau menjaga mobilitas (pergerakkan). Mengurangi berat

badan dapat membantu mengurangi radang pada sendi (Singh, et al 2012).

2. Farmakologi

Terapi farmakologi RA menggunakan obat-obatan sebagai berikut :

a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)

Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik sederhana

berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan kortikosteroid

digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika dibutuhkan. NSAID jarang

digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid arthritis karena NSAIDs tidak

menyembuhkan penyakit melainkan hanya sebagai tambahan bagi obat golongan

DMARDs. Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum

memulai penggunaan DMARDs (Singh, et al 2012).

- Glukokortikoid

Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis tunggal, baik

secara intramuskuler atau intra-arterikuler untuk menginduksi berkurangnya

inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat digunakan untuk meredakan gejala

jangka pendek dan tanda-tanda penyakit dari RA (Gcelu and Kalla, 2011).

b. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)

Ada bukti kuat bahwa terpai dini dengan menggunakan sintetis DMARDs dapat

mengurangi perkembangan radiografi, dan juga terapi DMARD tidak harus ditunda.

Pada pasien dengan inflamasi artritis sebelum memenuhi kriteria ACR untuk RA, terapi

menggunakan sintetis DMARDs mengurangi proses kerusakan karena radiografi

(Gcelu and Kalla, 2011).

DMARDs menjadi first-line terapi untuk RA. Untuk terapi dengan DMARD

harus dimulai pada 3 bulan pertama setelah simptomnya muncul. Pengobatan dini

dengan menggunakan DMARD dapat mengurangi resiko kematian. Pasien yang

menderita RA, resiko kematiannya lebih tinggi dibanding dengan orang-orang yang

tidak terkena RA (Singh, et al 2012).

1) Methotrexate

Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar rematologi untuk

mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan kehamilan dan ibu

20

menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki kontraindikasi dengan pasien penyakit

hati kronik, imunodefisiensi, kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan

dengan pasien yang memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit.

Methotrexate bersifat teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang

hamil. Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat, sehingga dapat

menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh. Methotrexate menghambat

produksi sitokin, menghambat biosintesis purin, dan menstimulasi pelepasan

adenosin, yang semuanya dapat sebagai antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang

cepat, hasilnya dapat dilihat 2- 3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate

dapat dilakukan dengan cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan (Singh,

et al 2012).

2) Leflunomide

Leflunomide merupakan DMARDs yang menghambat sintesis pirimidin,

menurunkan proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi. Leflunomide diberikan

secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari selama 3 hari, dan diikuti dosis harian

20 mg sehari. Leflunomide memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX.

Leflunomide dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi

dengan pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide

dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat teratogenik

(Singh, et al 2012).

3) Hydroxychloroquine

Farmakokinetik obat hydroxychloroquine kurang dipahami. Hydroxychloroquine

memiliki keuntungan yaitu kurangnya toksisitas myelosuppresive, hati, dan ginjal

yang mungkin terdapat pada DMARD yang lain. Hydroxychloroquine diberikan

secara oral dengan dosis awal berkisar 200-300 mg, setelah 1-2 bulan dapat

diturunkan menjadi 200 mg perhari (Singh, et al 2012).

4) Sulfasalazine

Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon menjadi

sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine mencapai kolon,

bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan hubungan antara kedua

molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA, sulfapyridine diserap kedalam

tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam urin. Efek-efek sampingan ini termasuk

mual, rasa panas di dada (heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes),

dan, dalam kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada

21

pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan jumlah

sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau oleh perubahan ke

suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine digunakan dalam dosis hingga 2-

4 g / hari (Singh, et al 2012).

5) Minocycline

Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan gejala

rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang dikombinasi dengan

obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala persisten dari bentuk arthritis.

Minocycline mengurangi produksi zat yang menyebabkan peradangan, seperti

prostaglandin dan leukotrien, sambil meningkatkan produksi interleukin-10, suatu

zat yang mengurangi peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul

(mg) 100 miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan dapat

memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah lahir serta

menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir ketika diambil selama

paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat mengurangi efektivitas beberapa pil

KB (Singh, et al, 2012).

6) Garam Emas

Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak digunakan di

negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan adalah injeksi dengan

dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum banyak diketahui dengan pasti

(Singh, et al 2012).

c. Terapi DMARD Biologis

DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan telah

terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan struktural pada awal

penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs tidak berhasil dalam terapi RA.

Namun, DMARDs biologis lebih mahal daripada DMARDs tradisional, dan ini

membatasi penggunaannya pada awal penyakit (Gcelu and Kalla, 2011). Terapi

biologis adalah rekayasa genetika molekul protein yang memblok proinflamasi sitokin

TNF-alfa dan IL-1, mengurangi sel B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel

T untuk mencegah co-stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas sel T.

Obat-obat penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab, etanercept, adalimumab,

penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B perifer yaitu rituximab dan yang

berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept (Singh, et al 2012).

22

1) Etanercept

Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75 terkait dengan

fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF, sehingga secara biologis

membuat etanercept aktif dan mencegahnya berinteraksi dengan permukaan sel

reseptor TNF yang menyebabbkan aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi

subkutan, 50 mg sekali seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian

etanercept dihindari oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah

menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan DMARDs

(Singh, et al 2012).

2) Infliximab

Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG1 tikus dan manusia.

sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos tikus ke TNF

manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut digabungkan ke bagian IgG

kontan manusia untuk mengurangi antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut,

ketika diinjeksikan pada manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi

dengan reseptor TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena

dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8 minggu.

Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein asing, methotrexate

seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal yang digunakan untuk terapi RA

sepanjang pasien menggunakan infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik

artritis dan ankylosing spondylitis (Singh, et al 2012).

3) Adalimumab

Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena tidak ada

komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari pada infliximab. Obat

ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang diaplikasikan secara subkutan

setiap 14 hari (Singh, et al 2012).

4) Antagonis reseptor IL-1

Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan antiinflamasi yang

terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor IL-1 pada sel target dapat

mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-1 sangat penting dalam patogenesis

RA. IL-1 menstimulasi pelepasan faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan

memperantarai perpindahan dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan

23

faktor yang diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang

menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).

5) Abatacept

Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati RA pada

pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal mencapai respon yang

memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan berikatan pada reseptor CD80/CD86

di sel antigen, abatacept menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T,

mencegah sel T mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan

pengurangan sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.

Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler dari domain

4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan dengan obat) dan

fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia untuk mencegah fiksasi

komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus intravena berdasarkan berat pasien

( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750 mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu

untuk 2 dosis setelah dosis awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang

gagal mencapai respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya

memiliki respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).

6) Rituximab

Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari protein utama

manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari antibodi tikus untuk

mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari sel limfosit B dewasa. Ikatan

rituximab dengan sel B menghasilkan deplesi perifer sel B, dengan pemulihan

bertahap setelah beberapa bulan. Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan

durasi aksi yang memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan

reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya gagal

menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg diberikan 2 minggu

secara terpisah (Singh, et al 2012).

7) Tocilizumab

Tocilizumab  adalah yang pertama dikelas  pengobatan RA dengan menargetkan

reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia dalam tubuh  yang

menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang sistemik menetap yang dialami

penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab adalah suatu antibodi yang menghambat

titik dimana IL-6 menempel pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel

pada sel, sel tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi

24

dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk nyeri dan

bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan tocilizumab

memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi akibat penyakit RA.

Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan dengan cara diinjeksikan sekali

setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).

8) Certolizumab pegol

Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid arthritis

yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6 bulan, serta memiliki

rheumatoid arthritis “aktif” yang parah. Certolizumab pegol memiliki struktur yang

berbeda dengan inhibitor TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen

ikatan antibodi (Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG

TNF, karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig konstan.

Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali injeksi 200 mg)

untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti dengan dosis 20 mg setiap

minggu (Singh, et al, 2012).

9) Golimumab

Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang menargetkan dan

menetralkan membran yang terikat TNF-alpha. Golimumab sedang diselidiki untuk

administrasi oleh subkutan (SC) injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal,

Golimumab diberikan 50 mg secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).

Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika terapi single

DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus methotrexate dan methotrexate

plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine khususnya efektif. Suatu penelitian menyarankan

bahwa terapi kombinasi awal dengan salah satunya menggunakan methotrexate, sulfasalazine

plus prednisone, atau infliximab plus methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada

rheumatoid arthritis awal (Singh, et al 2012).

25

MTX / DMARD lain + Prednisone + NSAID selama 3 bulan

poor respon

DMARD lain DMARD kombinasi DMARD biologi

poor respon

DMARD triple combination (DMARD + biologi) +Prednison dosis rendah

Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab RA.

Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan NSAID maupun

kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA dapat dihambat dengan

MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan dapat ditekan dengan NSAID atau

kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara bersamaan juga merupakan alternatif apabila

single DMARD tidak berhasil. Hal ini penyebab RA tidak hanya dikarenaan satu hal saja

melainkan banyak. Penggunaan satu DMARD hanya akan menghambat sebagian penyebab

RA. Misalkan penggunaan MTX hanya akan menghambat pembentukan sitokin dan sintesis

purin, namun bila dilakukan kombinasi dengan sulfasalazine dapat menyebabkan hambatan

pada sintesis mediator inflamasi yang lebih luas (Singh, et al 2012).

Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan DMARD biologis. DMARD

biologis merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat interaksi TNF alfa

dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20, dan lain sebagainya. Efek

farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis memang lebih baik karena kerjanya

yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua

dalam pengobatan RA (Singh, et al 2012).

26

DAFTAR PUSTAKA

AHRQ, 2008, Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults, http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repFiles/RheumArthritisConsumerGuide_Singlepage.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2013.

Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria : An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.

Blumental, 2012, Rheumatoid Arthritis And The Incidence Of Influenza And Influenza-Related Complications: A Retrospective Cohort Study BMC Musculoskeletal Disorders 2012, 13:158, 2-10.

Bose , N, MD ., 2012 , Should I Order An Anti-CCP Antibody Tes to Diagnose Rheumatoid Arthritis? , Cleveland Clinic Journal Of Medicine, Ohio.

Egerer, K., 2009, The Serological Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, Deutsches Ärzteblatt International, Germani.

Eustice, C., 2007, Everything Health Guide To Arthritis, Adam Media, Avon, pp. 53.

Fischbach, F., dan Dunning, M.B., 2009, A Manual of Laboratory and Diagnosic Test, 8th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 634.

Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In Rheumatoid Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.

Gibofsky, 2012, Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, The American Journal of Managed Care, VOL. 18, No. 13, pp :295-302.

Klareskog, 2006, A New Model for an Etiology of Rheumatoid Arthritis Smoking May Trigger HLA–DR (Shared Epitope)–Restricted Immune Reactions to Autoantigens Modified by Citrullinationm, American College of Rheumatology, vol 54 no 1 pp : 38-46.

Klipple, J.H., Crofford, L.J., dan Stone, J.H., 2008, Primer On The Rheumatic Disease, Springer, London, pp.15-16.

Langguth ,D ., 2006 , Antibodies to Cyclic Citrullinated Peptides: HowTthey Assist In TheDiagnosis of Rheumatoid Arthritis , Autralian Precriber , Australia.

Marc, 2009, Hypersensitivity Reactions and Methods of Detection, Neuroscience, vol 372,

pp.1-4.

Mclnnes, 2011, The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis, N Engl j med, vol 365, pp : 2205-2219.

27

McNeil, M.E.A., 2005, The First Year: Rheumatoid Arthritis, Da Capo Press, Cambridge, pp. 58.

Ming Dai, 2003, Prevalence of Rheumatic Symptoms, Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, and Gout in Shanghai, China: A COPCORD Study, The Journal of Rheumatology, 2245-2251.

Nerl, 2012, Accutex Rheumatoid Factor (RF) Latwx Test, Nerl Diagnostics LLC, Washington DC.

NHS, 2012, Symptoms Of Rheumatoid Arthritis, http://www.nhs.uk/Conditions/Rheumatoid-arthritis/Pages/Symptoms.aspx, diakses pada tanggal 18 April 2013.

Ruderman, E., 2008, What is Erythrocyte Sedimentation Rate (Sed Rate) And How Is It Used To Diagnose Rheumatoid Arthritis ?, http://abcnews.go.com/Health/PainArthritis, diakses pada tanggal 17 April 2013.

Scott, 2010, Rheumatoid arthritis, Lancet, vol 376, 1094-1108.

Singh, J.A., et al, 2012, 2012 Update of the 2008 American College of Rheumatology Recommendations for the Use of Disease-Modifying Antirheumatic Drugs and Biologic Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care & Research, Vol. 64, No. 5, May 2012, pp 625–639.

Stoppler, M.C., 2013, Rheumatoid Arthritis, http://www.medicinenet.com/rheumatoid_arthritis, diakses pada tanggal 17 April 2013.

Sukandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 659.

Swannalai , P.,2011, The Fine Specificity of IgM Anti-citrullinated Protein Antibodies (ACPA) is Different From That Of IgG ACPA, Biomed Central, Netherland.

Ursum, 2010, Different Properties Of ACPA and Igm-RF Derived From A Large Dataset: Further Evidence Of Two Distinct Autoantibody Systems, Rhinitis Research and Therapy, 11, no3, pp: 1-6.

28

29