View
226
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
Sindrom Steven Johnson
Citation preview
1
Sindrom Steven Johnson
Ineke PutriFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061Email: ineke.2013fk355@civitas.ukrida.ac.id
AbstrakSindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Dalam anamnesis perlu ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik. Untuk sindrom steven johnson perlu dilihat adanya trias kelainan pada sindrom steven johnson yaitu kelainan pada kulit, selaput lender orifisium dan mata. Pada pasien dilakukan inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain. Diagnosis bandingnya ada dua yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) dan Staphylococcal Scaled Skin Syndrome (SSSS). Penatalaksanaan yang baik berakibat pada penyembuhan. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian mengatakan karena adanya nekrosis epidermal. Sampai saat ini, urutan yang tepat dari aktivasi molekuler dan seluler yang mengarah pada pengembangan SJS / TEN hanya sebagai dimengerti. Gejala bermuala di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genetalia sehingga terbentuk trias: stomatitis, konjungtivitis dan uretritis. Terdapat berbagai macam komplikasi dari penyakit ini. Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat yang dikonsumsinya sejak 2 hari yang lalu. Tubuhnya membuat suatu tolakan reaksi terhadap obat tersebut dengan menifestasi terhadap kulitnya dalam tampakan yang melepuh. Dalam keadaan ini dengan gambaran klinik yang digambarkan, anak tersebut didiagnosis menderita sindrom steven johnson. Kata kunci: melepuh, alergi
AbstractStevens-Johnson syndrome, commonly abbreviated SJS, is a very serious adverse
reactions to the drug. In a careful history should be asked if anything to do with systemic drug allergies. For steven johnson syndrome should be seen a triad of abnormalities on steven johnson syndrome are disorders of the skin, mucous membranes and eyes orifice. In patients inspection, palpation and auscultation. Investigations are conducted in a laboratory examination to get a picture of early disease and includes, among others. The differential diagnosis is twofold toxic epidermal necrolysis (NET) and Staphylococcal Scaled Skin Syndrome (SSSS). Management of a good result in healing. Death ranged from 5-15% in severe cases with various complications or late and inadequate treatment. The cause is not known with certainty, but some studies say because of the presence of epidermal necrosis. Until now, the exact sequence of molecular and cellular activation that leads to the development of SJS / TEN just as understandable. Symptoms of oral mucosa bermuala in the form of bullous lesions or erosions, erythema, followed by mucosa eyes, genitalia, forming the triad: stomatitis, conjunctivitis and urethritis. There are various complications of this disease. Boys are experiencing allergies to drugs consumed since 2 days ago. His body was made a repulsion reaction to the drug with the
2
manifestation against the Tampakan blistered skin. In these circumstances the clinical picture described, the child was diagnosed with Stevens-Johnson syndrome.Keywords: blister, allergy
Pendahuluan
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dengan bagian luar
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15 % berat
badan. Kulit juga merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,
elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada
lokasi tubuh.1
Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga
ada versi efek samping ini yang lebih buruk lagi,yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik
(toxic epidermal necro-lysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema
multiforme (EM). Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr.
Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya.2
Rumusan Masalah
Anak laki-laki 13 tahun melepuh pada kedua lengan, badan, atas, bokong dan kedua paha
setelah minum obat sejak 2 hari lalu.
Hipotesis
Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat tertentu
Sasaran Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat menjelaskan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis kasus tersbut.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan cara penatalaksanaan kasus tersebut
3
Skenario 14
Anak laki-laki, 13 tahun, dirawat di RS dengan keluhan melepuh pada kedua lengan,
badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum obat sejak 2 hari yang lalu.
Anamnesis
Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau
keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan
kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Anamnesis mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosa penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara
dokter dengan penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara
kesuluruhan. Seorang dokter harus menguasai cara melakukan anamnesis yang baik sehingga
dapat mengarahkan dan menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk memperoleh kesimpulan
yang merupakan penegakkan diagnosis dari sindrom Steven-Johnson.3,4
Dalam anamnesis, harus diketahui adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang dan dulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat pribadi dan riwayat ekonomi.
Perlu ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik.5
Tabel 1 Anamnesis Kulit5
Keluhan Pada
Kulit
Pertanyaan Lanjut
Gatal Lokasi gatal-prediksi, perluasan area gatal, semenjak kapan kegatalan
dan waktu-waktu khusus gatal.
Merah Dokter melihat adanya eritema atau purpura. Pertanyaan adalah adakah
merah pada semua tubuh atau beberapa bagian tubuh? Selainnya
ditanya apakah suhu persekiraan mempengaruhi kemerahan kulit seperti
kedinginan, kehujanan atau panas.
Bersisik Skuama/sisiknya apakah tebal, halus, kasar atau berlapis dan dimana
tempat yang bersisik serta warnanya.
Sakit/Panas Semenjak kapan sakit/nyeri, nyeri di bagian mana dan apakah kalau di
4
cubit atau terkena air dingin manapun panas terasa nyeri.
Bau Bagian kulit yang mana berbau. Kebiasaannya pasien dengan gangrene
diabetik akan sangat berbau
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari seorang ahli medis
yang memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Pada pemeriksaan ini,
dapat ditentukan lokalisasi dan sifat-sifat dari suatu penyakit. Untuk sindrom steven johnson
perlu dilihat adanya trias kelainan pada sindrom steven johnson yaitu kelainan pada kulit, selaput
lender orifisium dan mata. Pada pasien dilakukan inspeksi, palpasi dan auskultasi.5
Pada inspeksi, dilihat:5
1. Adanya eritema, area kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang
teroksigenasi pada vaskularisasi dermal
2. Adanya area yang melepuh dan perkembangannya ditubuh
3. Pengeluaran cairan pda bula (lepuhan) baik jumlah, warna dan bau
4. Pada area mulut adakah terdapatnya bula atau lepuhan dan lesi arosive serta adanya rasa
gatal, rasa terbakar dan kekeringan di mata
5. Kemampuan klien dalam menelan dan minum serta berbicara secara normal juga ditentukan
6. Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jari napas, klien tampak sesak,
terdengar stridor saat ekspirasi/respirasi, reaksi dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan, frekuensi pernapasan > 20x/menit, reflek bentuk ada, pernapasan cepat dan
dangkal, klien batuk
Pada palpasi, dilihat:5
1. Nadi melemah akibat terjadinya dehidrasi
2. Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan
Pada auskultasi, dilihat:5
1. Sekret dalam rongga pernafasan ditandai dengan suara wheizing
2. Peristaltik usus meningkat atau menurun
5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk
mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain:5,6,7
1. Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakkan
diagnosis.
2. CBC (Complete Blood Count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena infeksi bakteri.
Kalau terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Disamping itu,
juga ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria.
3. Immunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom steven johnson dengan
penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
4. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin
5. Pemeriksaan elektrolit
6. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
7. Pemeriksaan brochoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan.
8. Imaging studies: chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
9. Pada histopatologi, kelainan berupa: infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh
darah dermis superficial, edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar,
degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal, nekrosis sel
epidermal dan kadang-kadang adneksa, dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Diagnosis Kerja
Diagnosis sindrom steven johnson 90 % berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat,
ada kolerasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap
manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya dengan
faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi dan
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan
perdarahan eosinofil. Kadar igG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila
6
lesi klasik tidak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung
ditegakkan diagnosis.8
Diagnosis Banding
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah umumnya merupakan penyakit berat gejala
kulit yang terpenting dan khas adalah epidermolisis yang menyeluruh, dapat disertai kelainan
pada selaput lendir di orifisium dan mata. NET adalah suatu penyakit kulit yang bisa berakibat
fatal, dimana lapisan kulit paling atas mengelupas lembar demi lembar. Nekrolisis epidermal
toksik adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak
disebabkan oleh obat-obatan. NET merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan
berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru. Nekrolisis
epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema
multiforme dan sindrom steven-johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi
kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih
membran mukosa. Penyakit ini mirip dengan sindron steven johnson.1,4
SSSS (Staphylococcal Scaled Skin Syndrome) biasanya terjadi pada anak-anak dan
neonatus, namun dapat pula terjadi pada dewasa yang menderita gagal ginjal dan pasien
immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal. Area eritem terasa
nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada membrane mukosa, telapak tangan dan kaki.
Nikolsky sign dapat (+) seperti TEN (ToxicEpydermal Necrolysis), tapi dihasilkan oleh
pemisahan subkorneal superficial bukan pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi
berupa bula yang mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi
lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis
yang adanya nasal discharga yang purulen.9
Tabel 2 Perbedaan SSSS, NET, dan SSJ
SSSS NET SSJ
Etiologi Staphylococcus aureus,
infeksi mata, infeksi
THT
Oba, reaksi graft vs
host
Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
mkanan
Pasien Anak-anak, bayi < 5 Dewasa Dewasa, anak > 3
7
tahun tahun
Gejala Klinis - Eritem muka, leher,
inguinal, axilla (24
jam)→generalis (24-
48 jam)→bula
dinding kendur
- Epidermolisis
- Nickolsky sign +
- Mukosa jarang
- PA: celah pada
stratum granulosum
- Akut
- Gejala prodromal
- KU buruk
- Eritema generalisata,
vesikel, bula,
purpura
- Kulit, mukosa bibir
mulut, orifisium
genital
- Epidermolisis +
- Niclosky sign +
- PA: celah pada
subepidermal
- Gejala prodromal
- Trias:
Kulit: eritem, vesikel,
bula dan purpura,
Mukosa: orifisium
mulut, faring, traktus
respiratorius,
esophagus
(pseudomembran)
Mata
- Epidermolisis -
- Nickolsky sign –
- PA: kelainan
dermis sedikit
sampai nekrolisis
epidermal
Komplikasi Selulitis, pneumonia,
septikemia
Akut tubular nekrosis bronkopneumonia
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom steven-johnson berdasarkan atas tingkat keparahan penyakit
yang secara umum meliputi:10
1. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan
penderita.
2. Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang
biasa digunakan berupa dekametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis
segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan dosis 20
8
mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian
obat dihentikan. Kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
3. Antibiotik, penggunaan kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas penderita
menurun, maka antibiotik harus diberikan untuk sekunder, misalnya broncopneumonia yang
dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik.
Antiniotik yang memenuhi syarat tersebut anatara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400
mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600 mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2
x 80 mg. Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua.
Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap
gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan gentamisin
4. Menjaga keseimbangan cairan, elektolit dan nutrisi. Hal ini perlu diperhatikan karena
penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
ditenggorokkan serta kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa
glukosa 5 % atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium,
kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan
diet tinggi protein dan rendah garam, KCL 3 x 500 mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk
mencegah penekanan korteks adrenal ACTH (synacthen depot) dengan dosis 1 mg/hari
setiap minggu dimulai setelah pemberian kortikosteroid.
5. Transfusi darah. Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3
hari, maka dapat diberikan tranfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari intravena dan
obat-obat hemostatik.
6. Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita
mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi
protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita kembali normal. Penderita
selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang
lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.
7. Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks
diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg
atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas
9
sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler. Agen
hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen hemostatik
yang sering digunkan adalah vitamin K.
8. Perawatan pada kulit. Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan
penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan orintment berupa vaselin,
polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali
melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan
sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan
asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama anatara
dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.
9. Perawatan pada mata. Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,
kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan orintment.
Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunkaan untuk mencegah terjadinya
corneal ephitelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari
terjadinya infeksi sekunder.
10. Perawatan pada genital. Larutan slain dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada
area genital penderita. Penderita sindrom steven-johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka katerisasi
sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
11. Perawatan pada oral. Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan
pemberian anastesik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%.
Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan
nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah
sperinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perwatan berupa kompres
asam borrat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan
triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa
digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur
karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu
kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh
saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak akan bekerja dengan optimum sehingga
tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.
10
Prognosis
Lesi individu biasanya akan sembuh dalam waktu 1-2 minggu, kecuali terjadi infeksi
sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa. Pengembangan gejala sisa yang serius,
seperti gagal pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis pada mereka yang
terkena dampak. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi
atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang
lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis. Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variabel yang digunakan
untuk meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan juga pada TEN.11,12
Pencegahan
Obat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diingankan dari yang
ringan sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat menimbulkan
efek yang tidak diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar
bahwa anda memerlukan obat dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar bahwa anda
memerlukan obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat pastikan mebaca
petunjuk dalam kemasan obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah meminum obat.Jangan
minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis penyakit, periksa kembali
apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi penyakit yang diderita. Cara-cara
ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari obat yang diminum.13
Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian mengatakan karena
adanya nekrosis epidermal. Terdapat empat kategori etiologi yaitu: (1) infeksi; (2) drug-induced;
(3) keganasan; (4) idiopatik. Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada
keganasan atau reaksi terhadap suatu obat. Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ
adalah herpes simplex virus (HSV), AIDS, infeksi cirus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok,
venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola. Penyebab bakteri adalah grup
A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae.
Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan yang disebabkan
oleh jamur. Malaria dan trikominiasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa. Pada anak-
11
anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi. Berbagai karsinoma dan limfoma
telah dikaitkan. SSJ adalah idiopatik pada kasus 25-50% kasus. Faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab, yaitu obat antibakterial sulfonamid, anti kejang aromatik, allupurinol,NSAID,
lamotrigene dan neviraprine. Adapun obat-obatan dengan resiko nekrosis, antara lain: (1) resiko
tinggi: allupurinol, sulfamethoxazole, sulfadiazine, sulfapyridine, sulfadoxine, carbamazepine,
lamotrigine, phenobarbital, phenytoin, phenylbutazone, nevirapine, oxicam NSAID,
thiacetazone; (2) resiko rendah: NSAID asam asetat, aminopenicillin, chepalosporin, quinolones,
cyclins, macrolides; (3) resiko meragukan: paracetamol (acetaminophen), pyrazolone analgesics,
corticosteroid, NSAID; (4) resiko aman aspirin, sulfonylurea, thiazide diuretics, furosemide,
aldactone, calcium channel blocker, beta blocker, angiotensin-coverting enzyme inhibitor,
angiotensin II receptor antagonist, stratins, hormones, vitamins.12,14
Epidemiologi
Selama beberapa dekade terutama laporan kasus dan kasus serangkaian reaksi kulit yang
parah telah dipublikasikan. Setelah retrospektif berskala besar pertama, penelitian dilakukan di
Perancis dan Jerman pada 1980-an, berdasarkan populasi registri pada SJS, TEN dan EMM
adalah dimulai di Jerman pada tahun 1990. Hal ini telah beroperasi sejak itu dan, berdasarkan
pada tinggi-tingkat cakupan dari 80-90%, mampu memberikan tingkat insiden yang kuat untuk
SJS, TEN dan tumpang tindih mereka 1-2 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Untuk SJS dan
TEN distribusi gender hampir sama (sedikit lebih betina) dan dominan perempuan sekitar 65%
bisa diamati pada SJS / TEN-tumpang tindih, sedangkan laki-laki lebih atau anak laki-laki
mengembangkan EMM (hampir 70%). Kematian hampir 10% untuk pasien dengan SJS, kira-
kira 30% untuk pasien dengan SJS / TEN-tumpang tindih dan hampir 50% untuk pasien dengan
TEN. Untuk SJS, SJS / TEN-tumpang tindih dan TEN bersama-sama dengan angka kematian
hampir 25%. Dalam rangka untuk mengevaluasi kematian karena SJS / TEN, waktu kematian
dalam kaitannya dengan timbulnya reaksi, usia pasien, penyakit yang mendasari dan jumlah deta
semen kulit harus dipertimbangkan. Oleh sebaliknya, hampir tidak ada pasien dengan EMM
meninggal sebagai konsekuensi kondisi ini. Di Eropa, sekitar 5% dari pasien dengan SJS / TEN
yang terinfeksi HIV, namun jumlah tersebut tampaknya telah menurun di dekade terakhir.
Seperti yang diharapkan, distribusi usia dan jenis kelamin berbeda antara terinfeksi HIV dan
12
pasien non-terinfeksi HIV dengan SJS / TEN, sedangkan angka kematian dan hasil yang
sebanding.15
Patogenesis
Sampai saat ini, urutan yang tepat dari aktivasi molekuler dan seluler yang mengarah
pada pengembangan SJS / TEN hanya sebagai dimengerti. Patogenesis yang diusulkan harus
memperhitungkan kelangkaan reaksi dan keterlibatan jenis tertentu obat. Bukti kuat
menunjukkan bahwa SJS/TEN dikaitkan dengan penurunan kapasitas untuk detoksifikasi reaksi
menengah dalam metabolisme obat. Hal ini diduga diprakarsai oleh respon imun ke sebuah
kompleks antigenik yang dibentuk oleh reaksi dari metabolik tersebut dengan jaringan host
tertentu.16
Kerentenan genetik juga mungkin memainkan peran, sebagaimana dibuktikan oleh
peningkatan insiden HLA-B12 pada individu yang TENnya telah berkembang. Sitotoksik T sel
mengekspresikan reseptor kulit-homing, kulit limfosit-terkait antigen (CLA), terlihat pada awal
perkembangan lesi kulit. Ini mungkin obat-spesifik sel T sitotoksik. Sitokin penting seperti
interleukin IL-6, TNF-ɑ, interferon-γ, IL-18 dan Fas ligan (FasL) juga hadir dalam epidermis lesi
dan atau cairan melepuh pasien dengan TEN, dan tindakan mereka bisa menjelaskan beberapa
gejala konstitusional TEN serta perbedaan sring diamati antara tingkat kerusakan epidermal dan
kekurangan dari infiltrat inflammatory. Terakhir, interval yang khas anatara onset terapi obat dan
SJS / TEN adalah antara 1 dan 3 minggu, menunjukkan periode sensitisasi dan memberikan
dukungan lebih lanjut untuk peran sistem kekebalan tubuh dalam patogenesis mereka. Periode
ini (memori) yang jauh dipersingkat pada pasien yang sayangnya kembali terkena obat yang
sebelumnya mengakibatkan SJS atau TEN.16
Baru-baru ini, telah jelas menunjukkan bahwa kerusakan jaringan dijelaskan oleh
patologis sebagai nekrolisis epidermal adalah karena kematian sel keratinosit besar melalui
apoptosis. Sel mati oleh apoptosis adalah proses fisiologis yang diatur secara ketat yang
memungkinkan penghapusan sel yang tidak diinginkan tanpa menyebabkan respon inflamasi dan
konsekuensinya. Perubahan dalam kontrol apoptosis ditemukan disejumlah penyakit manusia,
misalnya kanker, gangguan autoimun, penyakit degeneratif dan AIDS.16
Apoptosis keratinosit jelas merupakan ciri dari tahap awal SJS dan TEN, dan itu adalah
tanda morfologi pertama jelas dari kerusakan jaringan yang spesifik pada penyakit ini. Gambar
13
histologis yang lebih klasik ‘Nekrolisis’ ekstensif adalah pada kenyataannya, gambar setelah
apoptosis keratinosit. Memang, negara apoptosis sel-sel yang bersifat sementara. Dalam situasi
fisiologis, sel apoptosis dengan cepat dihilangkan pada tahap awal oleh fagosit, yang kedua
memiliki kemampuan untuk secara khusus mendeteksi dan internalisasi sel apoptosis.16
Dalam situasi dimana kejadian apoptosis menguasai kemampuan fagosit untuk
menghilangkan sel-sel tersebut, sel-sel apoptosis semakin menjadi nekrotik dan mengeluarkan isi
intraseluler mereka, sehingga memicu respon inflamasi. Dalam SJS dan TEN, dalam hitungan
jam, apoptosis keratinosit menjadi sangat melimpah di kulit lesi, sehingga cepat besar kapasitas
fagositik profesional dan non-profesional (keratinosit misalnya) fagosit terletak di kulit. Dalam
hitungan jam ke hari, ini keratinosit apoptosis menjadi nekrotik, bersama-sama dengan hilangnya
kohesi ke keratinosit yang berdekatan dan membran basal, epidermis seluruh kehilangan
viabilitas, sehingga menciptakan citrahistologis akrab full-thickness nekrosis epidermal.16
Sitokin tertentu dari keluarga TNF, dengan mengikat reseptor spesifik permukaan sel
(reseptor kematian), memiliki kemampuan untuk menginduksi apoptosis. Reseptor kematian
seperti berfungsi sebagai sensor permukaan sel yang mendeteksi keberadaan spesifik sinyal
kematian ektraseluler dan cepat memicu kerusakan seluler dengan apoptosis. Salah satu sensor
seluler dan memicu apoptosis adalah apa yang disebut Fas (CD95, Apo-1) dan Fas ligan (FasL,
CD95L) reseptor-ligan pasangan, kulit adalah bagian pertama kerusakan jaringan pada awal SJS
dan TEN dan kedua Fas dan FasL diketahui dinyatakan dalam keratinosit epidermal.16
Baru-baru ini menunjukkan bahwa apoptosis keratinosit dalam kulit lesi pasien dengan
TEN dikaitkan dengan ekspresi yang sangat meningkat dari FasL keratinosit bersama-sama
dengan tingkat lestari ekspresi Fas keratinosit.16
Model yang muncul adlaah bahwa, dikulit normal, rendahnya tingkat FasL diekspresikan
oleh keratinosit dan terlokalisasi intraseluler. Dalam kulit lesi dari TEN, tingkat tinggi FasL
diekspresikan oleh keratinosit dan Fas FasL pada sel menginduksi multimerization Fas dan
sinyal cepat kematian sel keratinosit oleh apoptosis. Seperti Fas dan FasL yang coexpressed pada
sejumlah besar keratinosit pada kulit lesi, apoptosis keratinosit bisa melimpah, sehingga
perusakan lahan besar epidermis.16
14
Gejala Klinik
Interval waktu dari mengkonsumsi obat hingga timbulnya gejala ialah 1-3
minggu. Awalnya muncul gejala prodromal setelah beberapa hari, seperti demam, malaise, nyeri
sendi, setelah 1-3 hari timbul lesi mukokutaneus, konjungtiva rasa terbakar atau gatal, nyeri pada
kulit, sensasi terbakar, nyeri tekan, hilang rasa. Lesi pada mulut nyeri, fotofobia, serta cemas.
Gejala bermuala di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genetalia sehingga terbentuk trias: stomatitis, konjungtivitis dan uretritis. Gejala prodromal tak
spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu
tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan di sekitar lubang
badan (mulut, alat genital, anus) berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan. Kelainan pada selaput
lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.17,18
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya
menurun, penderita dapat sporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokkan.
Erupsi awalnya simetris tersebar di wajah, badan, dan ekstremitas. Lesi awalnya berupa eritem,
bercak merah, makula, purpura, bentuk ireguler, dan bersifat progresif. Selain itu kelainan pada
membran mukosa sering didapatkan pada kasus yang berupa kemerahan pada mukosa, yang
nyeri pada membran mukosa sering didapatkan pada kasus yang berupa kemerahan pada
mukosa, yang nyeri pada mukosa buccal, okuler, dan genital.14
Komplikasi
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:19,20
1. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara
seluruh kasus yang ada.
2. Kehilangan cairan dan darah
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock
4. Oftalmologi - ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan karena gangguan
lakrimasi
5. Gastroenterologi – esophageal strictures
6. Genitourinari - nekrosis ginjal tubular, gagal ginjal, penis scarring, stenosis vagina
15
7. Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia
8. Kutaneous – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
9. Infeksi sistemik, sepsis
Kesimpulan
Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat yang dikonsumsinya sejak 2 hari
yang lalu. Tubuhnya membuat suatu tolakan reaksi terhadap obat tersebut dengan menifestasi
terhadap kulitnya dalam tampakan yang melepuh. Dalam keadaan ini dengan gambaran klinik
yang digambarkan, anak tersebut didiagnosis menderita sindrom steven johnson.
Daftar Pustaka
1. Djuanda A, Hamzah M. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.h.131
2. Sindrom stevens-johnson Yayasan Spritia 01 Agustus 2010; 562
3. Sudoyono AW, Setyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.2861
4. Hamzah M. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.h.139
5. Adithan C. Steven johnson syndrome: drug alert. JIPMER 2009;2(1)
6. Doenges. Rencana asuhan keperawatan. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2000
7. Darmstadt GIL, Sidbury R. Textbook od pediatics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2004.h.2192
8. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga;
2005.h.152
9. Bolognia J. Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2005.h.330
10. Ramayanti S. Manifestasi oral dan penatalaksanaan pada penderita sindrom steven-johnson.
Majalah Kedokteran Andalas Juli-Desember 2011; 35(2):95-7
11. Judarwanto W. Sindrom steven-johnson. Edisi 16 Mei 2009. Diunduh dari
www.childrenallergyclinic.wordpress.com, 22 April 2015
16
12. Tyagi S. Stevens-johnson syndrome-a life threatening skin disorder: a review. J. Chem.
Pharm. Res 2010; 2(2): 618-19,622
13. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi alergi obat. Kapita selekta
kedokteran. Media aesculapius.jakarta 2002.h.139
14. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (steven-johnson syndrome and toxic
epidermal necrolisis. Edisi ke-7. New York: McGrae-Hill; 2008.h.349-55
15. Expert review. The current understanding of Stevens–Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Expert Rev. Clin. Immunol 2011; 7(6):803–815
16. French LE, Prins C. Erytheme multiforme, steven-johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.1-17
17. Wolff K, Johnson RA. Arthropod bites, stings and cutaneous infection. Edisi ke-6. New
York: McGraw-Hill; 2009.h.860
18. Siregar RS. Atlas bewarna saripati penyakit kulit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.h.141-2
19. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2004.h.135-136
20. Carrol MC, Yeung-Yue KA, Esterly NB. Drug induced hypersensitivity syndrome in
pediatric patients. Pediatric 2001;108:491
Recommended