26
1 Sindrom Steven Johnson Ineke Putri Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694- 2061 Email: [email protected] Abstrak Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Dalam anamnesis perlu ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik. Untuk sindrom steven johnson perlu dilihat adanya trias kelainan pada sindrom steven johnson yaitu kelainan pada kulit, selaput lender orifisium dan mata. Pada pasien dilakukan inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain. Diagnosis bandingnya ada dua yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) dan Staphylococcal Scaled Skin Syndrome (SSSS). Penatalaksanaan yang baik berakibat pada penyembuhan. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian mengatakan karena adanya nekrosis epidermal. Sampai saat ini, urutan yang tepat dari aktivasi molekuler dan seluler yang mengarah pada pengembangan SJS / TEN hanya sebagai dimengerti. Gejala bermuala di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genetalia sehingga terbentuk trias: stomatitis, konjungtivitis dan uretritis. Terdapat berbagai macam komplikasi dari penyakit ini. Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat yang dikonsumsinya sejak 2 hari yang lalu. Tubuhnya membuat suatu tolakan reaksi terhadap obat tersebut dengan menifestasi terhadap kulitnya dalam tampakan yang melepuh. Dalam keadaan ini dengan gambaran klinik yang digambarkan, anak tersebut didiagnosis menderita sindrom steven johnson. Kata kunci: melepuh, alergi Abstract

pbl

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sindrom Steven Johnson

Citation preview

Page 1: pbl

1

Sindrom Steven Johnson

Ineke PutriFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061Email: [email protected]

AbstrakSindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat

gawat terhadap obat. Dalam anamnesis perlu ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik. Untuk sindrom steven johnson perlu dilihat adanya trias kelainan pada sindrom steven johnson yaitu kelainan pada kulit, selaput lender orifisium dan mata. Pada pasien dilakukan inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain. Diagnosis bandingnya ada dua yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) dan Staphylococcal Scaled Skin Syndrome (SSSS). Penatalaksanaan yang baik berakibat pada penyembuhan. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian mengatakan karena adanya nekrosis epidermal. Sampai saat ini, urutan yang tepat dari aktivasi molekuler dan seluler yang mengarah pada pengembangan SJS / TEN hanya sebagai dimengerti. Gejala bermuala di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genetalia sehingga terbentuk trias: stomatitis, konjungtivitis dan uretritis. Terdapat berbagai macam komplikasi dari penyakit ini. Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat yang dikonsumsinya sejak 2 hari yang lalu. Tubuhnya membuat suatu tolakan reaksi terhadap obat tersebut dengan menifestasi terhadap kulitnya dalam tampakan yang melepuh. Dalam keadaan ini dengan gambaran klinik yang digambarkan, anak tersebut didiagnosis menderita sindrom steven johnson. Kata kunci: melepuh, alergi

AbstractStevens-Johnson syndrome, commonly abbreviated SJS, is a very serious adverse

reactions to the drug. In a careful history should be asked if anything to do with systemic drug allergies. For steven johnson syndrome should be seen a triad of abnormalities on steven johnson syndrome are disorders of the skin, mucous membranes and eyes orifice. In patients inspection, palpation and auscultation. Investigations are conducted in a laboratory examination to get a picture of early disease and includes, among others. The differential diagnosis is twofold toxic epidermal necrolysis (NET) and Staphylococcal Scaled Skin Syndrome (SSSS). Management of a good result in healing. Death ranged from 5-15% in severe cases with various complications or late and inadequate treatment. The cause is not known with certainty, but some studies say because of the presence of epidermal necrosis. Until now, the exact sequence of molecular and cellular activation that leads to the development of SJS / TEN just as understandable. Symptoms of oral mucosa bermuala in the form of bullous lesions or erosions, erythema, followed by mucosa eyes, genitalia, forming the triad: stomatitis, conjunctivitis and urethritis. There are various complications of this disease. Boys are experiencing allergies to drugs consumed since 2 days ago. His body was made a repulsion reaction to the drug with the

Page 2: pbl

2

manifestation against the Tampakan blistered skin. In these circumstances the clinical picture described, the child was diagnosed with Stevens-Johnson syndrome.Keywords: blister, allergy

Pendahuluan

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dengan bagian luar

lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15 % berat

badan. Kulit juga merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,

elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada

lokasi tubuh.1

Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat

gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga

ada versi efek samping ini yang lebih buruk lagi,yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik

(toxic epidermal necro-lysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema

multiforme (EM). Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr.

Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat

menentukan penyebabnya.2

Rumusan Masalah

Anak laki-laki 13 tahun melepuh pada kedua lengan, badan, atas, bokong dan kedua paha

setelah minum obat sejak 2 hari lalu.

Hipotesis

Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat tertentu

Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

untuk menegakkan diagnosis kasus tersbut.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan cara penatalaksanaan kasus tersebut

Page 3: pbl

3

Skenario 14

Anak laki-laki, 13 tahun, dirawat di RS dengan keluhan melepuh pada kedua lengan,

badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum obat sejak 2 hari yang lalu.

Anamnesis

Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau

keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan

kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke

diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap

keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Anamnesis mempunyai peranan yang sangat

penting dalam menegakkan diagnosa penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara

dokter dengan penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara

kesuluruhan. Seorang dokter harus menguasai cara melakukan anamnesis yang baik sehingga

dapat mengarahkan dan menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk memperoleh kesimpulan

yang merupakan penegakkan diagnosis dari sindrom Steven-Johnson.3,4

Dalam anamnesis, harus diketahui adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat

penyakit sekarang dan dulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat pribadi dan riwayat ekonomi.

Perlu ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik.5

Tabel 1 Anamnesis Kulit5

Keluhan Pada

Kulit

Pertanyaan Lanjut

Gatal Lokasi gatal-prediksi, perluasan area gatal, semenjak kapan kegatalan

dan waktu-waktu khusus gatal.

Merah Dokter melihat adanya eritema atau purpura. Pertanyaan adalah adakah

merah pada semua tubuh atau beberapa bagian tubuh? Selainnya

ditanya apakah suhu persekiraan mempengaruhi kemerahan kulit seperti

kedinginan, kehujanan atau panas.

Bersisik Skuama/sisiknya apakah tebal, halus, kasar atau berlapis dan dimana

tempat yang bersisik serta warnanya.

Sakit/Panas Semenjak kapan sakit/nyeri, nyeri di bagian mana dan apakah kalau di

Page 4: pbl

4

cubit atau terkena air dingin manapun panas terasa nyeri.

Bau Bagian kulit yang mana berbau. Kebiasaannya pasien dengan gangrene

diabetik akan sangat berbau

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari seorang ahli medis

yang memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Pada pemeriksaan ini,

dapat ditentukan lokalisasi dan sifat-sifat dari suatu penyakit. Untuk sindrom steven johnson

perlu dilihat adanya trias kelainan pada sindrom steven johnson yaitu kelainan pada kulit, selaput

lender orifisium dan mata. Pada pasien dilakukan inspeksi, palpasi dan auskultasi.5

Pada inspeksi, dilihat:5

1. Adanya eritema, area kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang

teroksigenasi pada vaskularisasi dermal

2. Adanya area yang melepuh dan perkembangannya ditubuh

3. Pengeluaran cairan pda bula (lepuhan) baik jumlah, warna dan bau

4. Pada area mulut adakah terdapatnya bula atau lepuhan dan lesi arosive serta adanya rasa

gatal, rasa terbakar dan kekeringan di mata

5. Kemampuan klien dalam menelan dan minum serta berbicara secara normal juga ditentukan

6. Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jari napas, klien tampak sesak,

terdengar stridor saat ekspirasi/respirasi, reaksi dinding dada, penggunaan otot-otot

pernapasan, frekuensi pernapasan > 20x/menit, reflek bentuk ada, pernapasan cepat dan

dangkal, klien batuk

Pada palpasi, dilihat:5

1. Nadi melemah akibat terjadinya dehidrasi

2. Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan

Pada auskultasi, dilihat:5

1. Sekret dalam rongga pernafasan ditandai dengan suara wheizing

2. Peristaltik usus meningkat atau menurun

Page 5: pbl

5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk

mendapatkan gambaran penyakit secara dini dan mencakup antara lain:5,6,7

1. Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakkan

diagnosis.

2. CBC (Complete Blood Count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis

nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena infeksi bakteri.

Kalau terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Disamping itu,

juga ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria.

3. Immunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom steven johnson dengan

penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.

4. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin

5. Pemeriksaan elektrolit

6. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

7. Pemeriksaan brochoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat

dilakukan.

8. Imaging studies: chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.

9. Pada histopatologi, kelainan berupa: infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh

darah dermis superficial, edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar,

degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal, nekrosis sel

epidermal dan kadang-kadang adneksa, dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Diagnosis Kerja

Diagnosis sindrom steven johnson 90 % berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat,

ada kolerasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap

manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya dengan

faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah

tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi dan

pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan

perdarahan eosinofil. Kadar igG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit

menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila

Page 6: pbl

6

lesi klasik tidak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung

ditegakkan diagnosis.8

Diagnosis Banding

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah umumnya merupakan penyakit berat gejala

kulit yang terpenting dan khas adalah epidermolisis yang menyeluruh, dapat disertai kelainan

pada selaput lendir di orifisium dan mata. NET adalah suatu penyakit kulit yang bisa berakibat

fatal, dimana lapisan kulit paling atas mengelupas lembar demi lembar. Nekrolisis epidermal

toksik adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak

disebabkan oleh obat-obatan. NET merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan

berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru. Nekrolisis

epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema

multiforme dan sindrom steven-johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi

kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih

membran mukosa. Penyakit ini mirip dengan sindron steven johnson.1,4

SSSS (Staphylococcal Scaled Skin Syndrome) biasanya terjadi pada anak-anak dan

neonatus, namun dapat pula terjadi pada dewasa yang menderita gagal ginjal dan pasien

immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal. Area eritem terasa

nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada membrane mukosa, telapak tangan dan kaki.

Nikolsky sign dapat (+) seperti TEN (ToxicEpydermal Necrolysis), tapi dihasilkan oleh

pemisahan subkorneal superficial bukan pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi

berupa bula yang mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi

lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis

yang adanya nasal discharga yang purulen.9

Tabel 2 Perbedaan SSSS, NET, dan SSJ

SSSS NET SSJ

Etiologi Staphylococcus aureus,

infeksi mata, infeksi

THT

Oba, reaksi graft vs

host

Obat, infeksi,

keganasan, post

vaksinasi, radiasi,

mkanan

Pasien Anak-anak, bayi < 5 Dewasa Dewasa, anak > 3

Page 7: pbl

7

tahun tahun

Gejala Klinis - Eritem muka, leher,

inguinal, axilla (24

jam)→generalis (24-

48 jam)→bula

dinding kendur

- Epidermolisis

- Nickolsky sign +

- Mukosa jarang

- PA: celah pada

stratum granulosum

- Akut

- Gejala prodromal

- KU buruk

- Eritema generalisata,

vesikel, bula,

purpura

- Kulit, mukosa bibir

mulut, orifisium

genital

- Epidermolisis +

- Niclosky sign +

- PA: celah pada

subepidermal

- Gejala prodromal

- Trias:

Kulit: eritem, vesikel,

bula dan purpura,

Mukosa: orifisium

mulut, faring, traktus

respiratorius,

esophagus

(pseudomembran)

Mata

- Epidermolisis -

- Nickolsky sign –

- PA: kelainan

dermis sedikit

sampai nekrolisis

epidermal

Komplikasi Selulitis, pneumonia,

septikemia

Akut tubular nekrosis bronkopneumonia

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sindrom steven-johnson berdasarkan atas tingkat keparahan penyakit

yang secara umum meliputi:10

1. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan

penderita.

2. Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang

biasa digunakan berupa dekametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg

sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum

membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis

segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari

kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan dosis 20

Page 8: pbl

8

mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian

obat dihentikan. Kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.

3. Antibiotik, penggunaan kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas penderita

menurun, maka antibiotik harus diberikan untuk sekunder, misalnya broncopneumonia yang

dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang

menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik.

Antiniotik yang memenuhi syarat tersebut anatara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400

mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600 mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2

x 80 mg. Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua.

Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap

gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan gentamisin

4. Menjaga keseimbangan cairan, elektolit dan nutrisi. Hal ini perlu diperhatikan karena

penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan

ditenggorokkan serta kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa

glukosa 5 % atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium,

kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan

diet tinggi protein dan rendah garam, KCL 3 x 500 mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk

mencegah penekanan korteks adrenal ACTH (synacthen depot) dengan dosis 1 mg/hari

setiap minggu dimulai setelah pemberian kortikosteroid.

5. Transfusi darah. Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3

hari, maka dapat diberikan tranfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari intravena dan

obat-obat hemostatik.

6. Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada

penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita

mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi

protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita kembali normal. Penderita

selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang

lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.

7. Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks

diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg

atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas

Page 9: pbl

9

sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler. Agen

hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen hemostatik

yang sering digunkan adalah vitamin K.

8. Perawatan pada kulit. Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan

penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan orintment berupa vaselin,

polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali

melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan

sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan

asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama anatara

dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.

9. Perawatan pada mata. Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,

kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan orintment.

Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunkaan untuk mencegah terjadinya

corneal ephitelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari

terjadinya infeksi sekunder.

10. Perawatan pada genital. Larutan slain dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada

area genital penderita. Penderita sindrom steven-johnson yang seringkali mengalami

gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka katerisasi

sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.

11. Perawatan pada oral. Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan

pemberian anastesik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%.

Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan

nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah

sperinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perwatan berupa kompres

asam borrat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan

triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa

digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur

karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu

kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh

saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak akan bekerja dengan optimum sehingga

tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

Page 10: pbl

10

Prognosis

Lesi individu biasanya akan sembuh dalam waktu 1-2 minggu, kecuali terjadi infeksi

sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa. Pengembangan gejala sisa yang serius,

seperti gagal pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis pada mereka yang

terkena dampak. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi

atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang

lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,

bronkopneumonia, serta sepsis. Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variabel yang digunakan

untuk meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan juga pada TEN.11,12

Pencegahan

Obat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diingankan dari yang

ringan sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat menimbulkan

efek yang tidak diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar

bahwa anda memerlukan obat dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar bahwa anda

memerlukan obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat pastikan mebaca

petunjuk dalam kemasan obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah meminum obat.Jangan

minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis penyakit, periksa kembali

apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi penyakit yang diderita. Cara-cara

ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari obat yang diminum.13

Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian mengatakan karena

adanya nekrosis epidermal. Terdapat empat kategori etiologi yaitu: (1) infeksi; (2) drug-induced;

(3) keganasan; (4) idiopatik. Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada

keganasan atau reaksi terhadap suatu obat. Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ

adalah herpes simplex virus (HSV), AIDS, infeksi cirus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok,

venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola. Penyebab bakteri adalah grup

A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae.

Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan yang disebabkan

oleh jamur. Malaria dan trikominiasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa. Pada anak-

Page 11: pbl

11

anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi. Berbagai karsinoma dan limfoma

telah dikaitkan. SSJ adalah idiopatik pada kasus 25-50% kasus. Faktor yang dapat dianggap

sebagai penyebab, yaitu obat antibakterial sulfonamid, anti kejang aromatik, allupurinol,NSAID,

lamotrigene dan neviraprine. Adapun obat-obatan dengan resiko nekrosis, antara lain: (1) resiko

tinggi: allupurinol, sulfamethoxazole, sulfadiazine, sulfapyridine, sulfadoxine, carbamazepine,

lamotrigine, phenobarbital, phenytoin, phenylbutazone, nevirapine, oxicam NSAID,

thiacetazone; (2) resiko rendah: NSAID asam asetat, aminopenicillin, chepalosporin, quinolones,

cyclins, macrolides; (3) resiko meragukan: paracetamol (acetaminophen), pyrazolone analgesics,

corticosteroid, NSAID; (4) resiko aman aspirin, sulfonylurea, thiazide diuretics, furosemide,

aldactone, calcium channel blocker, beta blocker, angiotensin-coverting enzyme inhibitor,

angiotensin II receptor antagonist, stratins, hormones, vitamins.12,14

Epidemiologi

Selama beberapa dekade terutama laporan kasus dan kasus serangkaian reaksi kulit yang

parah telah dipublikasikan. Setelah retrospektif berskala besar pertama, penelitian dilakukan di

Perancis dan Jerman pada 1980-an, berdasarkan populasi registri pada SJS, TEN dan EMM

adalah dimulai di Jerman pada tahun 1990. Hal ini telah beroperasi sejak itu dan, berdasarkan

pada tinggi-tingkat cakupan dari 80-90%, mampu memberikan tingkat insiden yang kuat untuk

SJS, TEN dan tumpang tindih mereka 1-2 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Untuk SJS dan

TEN distribusi gender hampir sama (sedikit lebih betina) dan dominan perempuan sekitar 65%

bisa diamati pada SJS / TEN-tumpang tindih, sedangkan laki-laki lebih atau anak laki-laki

mengembangkan EMM (hampir 70%). Kematian hampir 10% untuk pasien dengan SJS, kira-

kira 30% untuk pasien dengan SJS / TEN-tumpang tindih dan hampir 50% untuk pasien dengan

TEN. Untuk SJS, SJS / TEN-tumpang tindih dan TEN bersama-sama dengan angka kematian

hampir 25%. Dalam rangka untuk mengevaluasi kematian karena SJS / TEN, waktu kematian

dalam kaitannya dengan timbulnya reaksi, usia pasien, penyakit yang mendasari dan jumlah deta

semen kulit harus dipertimbangkan. Oleh sebaliknya, hampir tidak ada pasien dengan EMM

meninggal sebagai konsekuensi kondisi ini. Di Eropa, sekitar 5% dari pasien dengan SJS / TEN

yang terinfeksi HIV, namun jumlah tersebut tampaknya telah menurun di dekade terakhir.

Seperti yang diharapkan, distribusi usia dan jenis kelamin berbeda antara terinfeksi HIV dan

Page 12: pbl

12

pasien non-terinfeksi HIV dengan SJS / TEN, sedangkan angka kematian dan hasil yang

sebanding.15

Patogenesis

Sampai saat ini, urutan yang tepat dari aktivasi molekuler dan seluler yang mengarah

pada pengembangan SJS / TEN hanya sebagai dimengerti. Patogenesis yang diusulkan harus

memperhitungkan kelangkaan reaksi dan keterlibatan jenis tertentu obat. Bukti kuat

menunjukkan bahwa SJS/TEN dikaitkan dengan penurunan kapasitas untuk detoksifikasi reaksi

menengah dalam metabolisme obat. Hal ini diduga diprakarsai oleh respon imun ke sebuah

kompleks antigenik yang dibentuk oleh reaksi dari metabolik tersebut dengan jaringan host

tertentu.16

Kerentenan genetik juga mungkin memainkan peran, sebagaimana dibuktikan oleh

peningkatan insiden HLA-B12 pada individu yang TENnya telah berkembang. Sitotoksik T sel

mengekspresikan reseptor kulit-homing, kulit limfosit-terkait antigen (CLA), terlihat pada awal

perkembangan lesi kulit. Ini mungkin obat-spesifik sel T sitotoksik. Sitokin penting seperti

interleukin IL-6, TNF-ɑ, interferon-γ, IL-18 dan Fas ligan (FasL) juga hadir dalam epidermis lesi

dan atau cairan melepuh pasien dengan TEN, dan tindakan mereka bisa menjelaskan beberapa

gejala konstitusional TEN serta perbedaan sring diamati antara tingkat kerusakan epidermal dan

kekurangan dari infiltrat inflammatory. Terakhir, interval yang khas anatara onset terapi obat dan

SJS / TEN adalah antara 1 dan 3 minggu, menunjukkan periode sensitisasi dan memberikan

dukungan lebih lanjut untuk peran sistem kekebalan tubuh dalam patogenesis mereka. Periode

ini (memori) yang jauh dipersingkat pada pasien yang sayangnya kembali terkena obat yang

sebelumnya mengakibatkan SJS atau TEN.16

Baru-baru ini, telah jelas menunjukkan bahwa kerusakan jaringan dijelaskan oleh

patologis sebagai nekrolisis epidermal adalah karena kematian sel keratinosit besar melalui

apoptosis. Sel mati oleh apoptosis adalah proses fisiologis yang diatur secara ketat yang

memungkinkan penghapusan sel yang tidak diinginkan tanpa menyebabkan respon inflamasi dan

konsekuensinya. Perubahan dalam kontrol apoptosis ditemukan disejumlah penyakit manusia,

misalnya kanker, gangguan autoimun, penyakit degeneratif dan AIDS.16

Apoptosis keratinosit jelas merupakan ciri dari tahap awal SJS dan TEN, dan itu adalah

tanda morfologi pertama jelas dari kerusakan jaringan yang spesifik pada penyakit ini. Gambar

Page 13: pbl

13

histologis yang lebih klasik ‘Nekrolisis’ ekstensif adalah pada kenyataannya, gambar setelah

apoptosis keratinosit. Memang, negara apoptosis sel-sel yang bersifat sementara. Dalam situasi

fisiologis, sel apoptosis dengan cepat dihilangkan pada tahap awal oleh fagosit, yang kedua

memiliki kemampuan untuk secara khusus mendeteksi dan internalisasi sel apoptosis.16

Dalam situasi dimana kejadian apoptosis menguasai kemampuan fagosit untuk

menghilangkan sel-sel tersebut, sel-sel apoptosis semakin menjadi nekrotik dan mengeluarkan isi

intraseluler mereka, sehingga memicu respon inflamasi. Dalam SJS dan TEN, dalam hitungan

jam, apoptosis keratinosit menjadi sangat melimpah di kulit lesi, sehingga cepat besar kapasitas

fagositik profesional dan non-profesional (keratinosit misalnya) fagosit terletak di kulit. Dalam

hitungan jam ke hari, ini keratinosit apoptosis menjadi nekrotik, bersama-sama dengan hilangnya

kohesi ke keratinosit yang berdekatan dan membran basal, epidermis seluruh kehilangan

viabilitas, sehingga menciptakan citrahistologis akrab full-thickness nekrosis epidermal.16

Sitokin tertentu dari keluarga TNF, dengan mengikat reseptor spesifik permukaan sel

(reseptor kematian), memiliki kemampuan untuk menginduksi apoptosis. Reseptor kematian

seperti berfungsi sebagai sensor permukaan sel yang mendeteksi keberadaan spesifik sinyal

kematian ektraseluler dan cepat memicu kerusakan seluler dengan apoptosis. Salah satu sensor

seluler dan memicu apoptosis adalah apa yang disebut Fas (CD95, Apo-1) dan Fas ligan (FasL,

CD95L) reseptor-ligan pasangan, kulit adalah bagian pertama kerusakan jaringan pada awal SJS

dan TEN dan kedua Fas dan FasL diketahui dinyatakan dalam keratinosit epidermal.16

Baru-baru ini menunjukkan bahwa apoptosis keratinosit dalam kulit lesi pasien dengan

TEN dikaitkan dengan ekspresi yang sangat meningkat dari FasL keratinosit bersama-sama

dengan tingkat lestari ekspresi Fas keratinosit.16

Model yang muncul adlaah bahwa, dikulit normal, rendahnya tingkat FasL diekspresikan

oleh keratinosit dan terlokalisasi intraseluler. Dalam kulit lesi dari TEN, tingkat tinggi FasL

diekspresikan oleh keratinosit dan Fas FasL pada sel menginduksi multimerization Fas dan

sinyal cepat kematian sel keratinosit oleh apoptosis. Seperti Fas dan FasL yang coexpressed pada

sejumlah besar keratinosit pada kulit lesi, apoptosis keratinosit bisa melimpah, sehingga

perusakan lahan besar epidermis.16

Page 14: pbl

14

Gejala Klinik

Interval waktu dari mengkonsumsi obat hingga timbulnya gejala ialah 1-3

minggu. Awalnya muncul gejala prodromal setelah beberapa hari, seperti demam, malaise, nyeri

sendi, setelah 1-3 hari timbul lesi mukokutaneus, konjungtiva rasa terbakar atau gatal, nyeri pada

kulit, sensasi terbakar, nyeri tekan, hilang rasa. Lesi pada mulut nyeri, fotofobia, serta cemas.

Gejala bermuala di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,

genetalia sehingga terbentuk trias: stomatitis, konjungtivitis dan uretritis. Gejala prodromal tak

spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu

tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan di sekitar lubang

badan (mulut, alat genital, anus) berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan. Kelainan pada selaput

lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat

penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.17,18

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya

menurun, penderita dapat sporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala

prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokkan.

Erupsi awalnya simetris tersebar di wajah, badan, dan ekstremitas. Lesi awalnya berupa eritem,

bercak merah, makula, purpura, bentuk ireguler, dan bersifat progresif. Selain itu kelainan pada

membran mukosa sering didapatkan pada kasus yang berupa kemerahan pada mukosa, yang

nyeri pada membran mukosa sering didapatkan pada kasus yang berupa kemerahan pada

mukosa, yang nyeri pada mukosa buccal, okuler, dan genital.14

Komplikasi

Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:19,20

1. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara

seluruh kasus yang ada.

2. Kehilangan cairan dan darah

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock

4. Oftalmologi - ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan karena gangguan

lakrimasi

5. Gastroenterologi – esophageal strictures

6. Genitourinari - nekrosis ginjal tubular, gagal ginjal, penis scarring, stenosis vagina

Page 15: pbl

15

7. Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia

8. Kutaneous – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder

9. Infeksi sistemik, sepsis

Kesimpulan

Anak laki-laki tersebut mengalami alergi terhadap obat yang dikonsumsinya sejak 2 hari

yang lalu. Tubuhnya membuat suatu tolakan reaksi terhadap obat tersebut dengan menifestasi

terhadap kulitnya dalam tampakan yang melepuh. Dalam keadaan ini dengan gambaran klinik

yang digambarkan, anak tersebut didiagnosis menderita sindrom steven johnson.

Daftar Pustaka

1. Djuanda A, Hamzah M. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.h.131

2. Sindrom stevens-johnson Yayasan Spritia 01 Agustus 2010; 562

3. Sudoyono AW, Setyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna

Publishing; 2009.h.2861

4. Hamzah M. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.h.139

5. Adithan C. Steven johnson syndrome: drug alert. JIPMER 2009;2(1)

6. Doenges. Rencana asuhan keperawatan. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2000

7. Darmstadt GIL, Sidbury R. Textbook od pediatics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders

Elsevier; 2004.h.2192

8. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga;

2005.h.152

9. Bolognia J. Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia:

Saunders Elsevier; 2005.h.330

10. Ramayanti S. Manifestasi oral dan penatalaksanaan pada penderita sindrom steven-johnson.

Majalah Kedokteran Andalas Juli-Desember 2011; 35(2):95-7

11. Judarwanto W. Sindrom steven-johnson. Edisi 16 Mei 2009. Diunduh dari

www.childrenallergyclinic.wordpress.com, 22 April 2015

Page 16: pbl

16

12. Tyagi S. Stevens-johnson syndrome-a life threatening skin disorder: a review. J. Chem.

Pharm. Res 2010; 2(2): 618-19,622

13. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi alergi obat. Kapita selekta

kedokteran. Media aesculapius.jakarta 2002.h.139

14. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (steven-johnson syndrome and toxic

epidermal necrolisis. Edisi ke-7. New York: McGrae-Hill; 2008.h.349-55

15. Expert review. The current understanding of Stevens–Johnson syndrome and toxic

epidermal necrolysis. Expert Rev. Clin. Immunol 2011; 7(6):803–815

16. French LE, Prins C. Erytheme multiforme, steven-johnson syndrome and toxic epidermal

necrolysis. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.1-17

17. Wolff K, Johnson RA. Arthropod bites, stings and cutaneous infection. Edisi ke-6. New

York: McGraw-Hill; 2009.h.860

18. Siregar RS. Atlas bewarna saripati penyakit kulit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.h.141-2

19. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2004.h.135-136

20. Carrol MC, Yeung-Yue KA, Esterly NB. Drug induced hypersensitivity syndrome in

pediatric patients. Pediatric 2001;108:491