View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PEMUJAAN TERHADAP LAKSAMANA CHENG HO (Studi Kasus di Klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan, Semarang)
Skripsi
Oleh MUHAMAD USMAN NIM : 101032121624
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1427 H / 2006 M
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya,
penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga, para sahabat
dan semua orang yang mengikuti petunjuk-Nya, sampai hari kemudian.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengakui bahwa dalam menyusun skripsi
ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun dengan bantuan
dan motivasi yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan rasa hormat
dan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, beserta segenap stafnya.
2. Ibu Dra. Hj. Hermawati, M.A., selaku ketua Jurusan Perbandingan Agama dan
bapak Syaiful Azmi, S. Ag., selaku sekretaris Jurusan Perbandingan Agama,
yang telah memberikan nasehat kepada penulis dan telah membantu dalam
penyelesaian kebutuhan administrasi.
3. Bapak Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si., selaku pembimbing yang senan tiasa
memberikan bimbingan, nasehat, pengarahan serta dorongan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta atas segala didikan, bimbingan, dorongan dan motivasinya kepada
penulis dalam mengenyam pendidikan di Fakultas ini.
5. Pimpinan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, perpustakaan LIPI, perpustakaan Umum
Daerah Semarang Jawa Tengah, beserta segenap stafnya yang telah membantu
penulis dalam menyediakan buku-buku yang dibutuhkan dalam penyusunan
skripsi ini.
6. Bapak Ir. Priambudi, Kwantong Hai, Wen, serta para setaf pegawai Yayasan
Klenteng Sam Po Kong yang telah membatu penulis dalam penyelesaian skripsi
ini.
7. Kedua orang tua penulis, yang selama ini telah memberikan motivasi, bantuan
moril maupun materil serta do'anya untuk kelangsungan studi penulis. Serta
adik-adikku dan keponakanku tercinta
8. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001
(Awad Ahmad, Aang Zaenal Mutaqin, Muhammad Purwadi, Irfan, Ali Imron,
Rosim, Atiatiyah, Sri Indah, Nur Hikmah, Kholisoh dan lain-lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu), yang telah memberikan motivasi selama perkuliahan
dan membatu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Teman-teman KPMDB : Hendrik, Margi, Arif, Wakro, Irwan, Alif, Darwanto,
Aziz, Saskiah dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Hanya kepada Allah SWT penulis memohon semoga segala jasa dan bantuan
mereka semua mendapatkan balasan yang lebih baik. Mudah-mudahan skripsi ini
bermanfaan terutama kepada penulis dan umumnya kepada masyarakat.
Jakarta, 11 Juni 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 5
.....................................................................................................
C. Metode Penelitian........................................................................ 6
D. Konsep dan Teori ........................................................................ 7
E. Sistematika Penulisan.................................................................. 10
BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORANG CINA
DI INDONESIA ............................................................................... 12
A. Sejarah Kedatangan Orang Cina Ke Nusantara (Indonesia) ....... 12
B. Riwayat Hidup Laksamana Cheng Ho ........................................ 17
C. Pelayaran Ekspedisi Laksamana Cheng Ho ................................ 20
D. Sejarah Singkat Laksamana Cheng Ho Ke Semarang................. 25
BAB III KLENTENG SAM PO KONG....................................................... 29
A. Sejarah Singkat Klenteng Sam Po Kong ..................................... 29
B. Bagian-bagian dari Klenteng....................................................... 32
C. Makna Simbol-simbol ................................................................. 36
D. Kegiatan dalam Klenteng ............................................................ 38
Peta Lokasi .................................................................................. 41
Tabel ............................................................................................ 42
Grafik........................................................................................... 43
Struktur Pengurus Yayasan ......................................................... 44
Gambar (denah) Klenteng ........................................................... 45
BAB IV PANDANGAN DAN KEYAKINAN TERHADAP LAKSAMANA
CHENG HO ..................................................................................... 48
A. Pandangan dan Keyakinan Menurut Umat Peranakan Cina Tridharma
dan Islam Jawa ............................................................................ 48
B. Pemujaan Laksamana Cheng Ho................................................. 50
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 53
A. Kesimpulan ................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................... 58
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sekarang ini pemujaan terhadap makhluk dan kekuatan
supranatural seperti roh leluhur, dewa-dewa dan dewi-dewi yang dapat menangani
masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan mengunakan teknologi
dan teknik organisasi merupakan sebagai bagian dari suatu kepercayaan yang masih
hidup diantara sejumlah bangsa. Dan bangsa-bangsa ini tidak selalu bangsa primitif,
bangsa yang lebih maju peradabannya pun masih mempercayainya.
Bangsa Cina merupakan suatu bangsa yang memiliki sejarah yang cukup
panjang konon, dimulai sekitar tahun 2.700 SM. Pada saat itu tradisi dan lembaga-
lembaga sudah terbentuk, sudah membudaya dan tersusun secara rapi.1 Kebudayaan,
kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara. Kegiatan agama orang Cina didasarkan
atas fondasi yang berakar pada kepercayaan yang sama, yaitu tentang hakikat alam
semesta, pusat hubungan keluarga patrilineal, dan sangat mengagungkan kepercayaan
terhadap hal-hal gaib, roh-roh. Dalam perwujudannya yang khas, pada umumnya
memiliki kegiatan meliputi pemujaan leluhur, kekuatan alam, penggunaan perantara dan
bentuk hubungan lain dengan dunia roh, pengusiran setan dan berbagai usaha
penyembuhan, perayaan musiman, serta pemujaan dewa-dewa setempat.2 Hal-hal
tersebut bahkan dapat kita lihat pada orang-orang Cina yang telah menetap di Indonesia
pada saat ini.
1Romdhon, dkk., Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 217.
2Benjamin Penny, “Agama dan Upacara”, Agama Orang Cina, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), h. 54. 1
Salah satu aspek dari kebudayaan orang Cina di Indonesia yang masih bertahan
dan merupakan suatu ciri yang menunjukan kecinaan mereka ialah dalam agama Cina
tradisional, yaitu tentang kepercayaan terhadap dewa-dewa dan roh (para leluhur atau
nenek moyang). Dalam agama Cina tradisional pemujaan terhadap arwah nenek
moyang merupakan hal yang mendasar bagi pandangan hidupnya.
Hubungan negeri Cina dengan Indonesia sudah sejak lama. Demikian juga
budaya Cina di Indonesia diterima dengan tangan terbuka, maka orang-orang Cina
datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaan dan agama. Mereka dengan
demikian, kebudayaan Cina menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Masyarakat
Cina banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaan masyarakat Cina pada umumnya,
yakni kepercayaan terhadap agama Budha, Taoisme dan Konfusianisme. Demikian juga
perkumpulan Sam Kauw Hwee (perkumpulan tiga agama). Adakalanya kepercayaan
ketiga agama itu dipuja bersama-sama atau yang di kenal dengan ajaran Tridharma.3
Tempat pemujaan atau ibadah orang Cina bernama klenteng. Klenteng
merupakan istilah paling umum yang digunakan di Indonesia saat ini untuk menyebut
Kuil Tionghoa. Istilah lain, seperti Vihara untuk kuil Budha dan lithang untuk tempat
suci Konghucu, dan sebagai istilah Cina, Seperti Bio dan Kong, juga biasa dipakai.
Istilah klenteng berasal dari frasa Guan-yin ting, ‘Kuil Guan-yin’, yaitu sebuah kuil
yang didirikan untuk menghormati dewa di Batavia tahun 1650.4 Di Indonesia baik di
kota-kota besar maupun kota-kota kecil terdapat satu atau dua klenteng yang khas dan
kaya dengan budaya Cina, yang digunakan sebagai tempat orang-orang untuk meminta
berkah, tempat untuk mengucapkan sukur. Untuk itu mereka membakar hio (dupa)
kepada dewa yang melindunginya. Besar kecilnya sebuah klenteng tergantung pada
3D. S. Marga Singgih, Tridharma Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Samarotungga, 1987), h. 1.
4James J. Fox, “Agama dan Upacara”, Klenteng, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), h. 56.
kekuatan dari umatnya untuk membiayai pembangunan dan memeliharanya. kenyataan
ini menunjukan bahwa dengan merantaunya orang-orang Cina ke negeri kita ini, tidak
dilupakan kepercayaan kepada leluhur. Klenteng Cina dapat dibagi dalam tiga
golongan: klenteng Budha, klenteng Tao, dan klenteng yang dibangun untuk
menghormati dan memperingati orang-orang yang pada masa hidupnya telah berbuat
banyak jasa bagi masyarakat.5
Klenteng merupakan tempat pemujaan atau ibadah orang-orang Cina yang
menganut ajaran Tridharma yang terdiri dari tiga unsur yaitu, Budha (Budhisme), Laocu
(Taoisme), dan Konghucu (Konfusius).6 Klenteng Sam Po Kong yang berada di Gedung
Batu, Simongan, Semarang merupakan klenteng yang terbuka bagi segala umat.
Didalamnya terdapat bermacam-macam pemujaan diantaranya Dewa Bumi, Kyai
Jurumudi atau Ong King Hong, Kyai Jangkar, Nabi Konghucu, Arwah Ho Ping, Kyai
Cundrik, dan Nyai Tumpeng, dan juga yang menjadi topik utama dalam pembahasan
skripsi ini yakni Cheng Ho atau Sam Po Kong.
Sedangkan pada masyarakat Islam Jawa mereka percaya kepada suatu kekuatan
yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang mereka kenal, arwah nenek moyang
atau roh leluhur, guru-guru agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah historis,
tokoh-tokoh pahlawan dari cerita mitologi yang dikenal karena suatu kejadian. Menurut
kepercayaan mereka itu dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman
ataupun keselamatan. Bilamana mereka berbuat sesuatu misalnya berpuasa, berpantang
melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, dan mendatangi tempat-tempat
yang kramat dengan melakukan pemujaan.
5Puspa Vasanty, Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat, Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), cet. 19, h. 361-362. 6Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), h. 445.
Kultus terhadap seorang tokoh atau pemujaan terhadap tempat-tempat kramat
merupakan fenomena yang hampir tersebar di Indonesia, termasuk di Semarang yaitu
klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan. Setiap tanggal 1 dan 15 Imlek
klenteng ini didatangi peranakan Cina dari Semarang dan daerah lainnya. Sedangkan
setiap malam Jumat Kliwon klenteng ini dikunjungi orang Islam Jawa di sekitar
Semarang dan daerah lainnya.
Bagi kalangan peranakan Cina dan Islam Jawa di Indonesia, khususnya
Semarang Cheng Ho diyakini bukan saja sebagai seorang bahariwan muslim dari
Tiongkok yang datang sekitar abad ke-14, tetapi sudah menjadi mitologi yang dianggap
sebagai manusia suci, dewa, sakti, bijak, dan dapat mendatangkan manfaat bagi semua
orang.
Menurut pengamatan penulis, masih banyak peranakan Cina yang kurang
memahami siapa sebenarnya Laksamana Cheng Ho, bagaimana kehidupannya dan apa
jasa-jasanya. walaupun dalam kehidupannya mereka memujanya.
Selain itu tujuan penulis untuk mengkaji Cheng Ho ialah karena ia seorang
bahariwan dan pedagang muslim tetapi di puja oleh peranakan Cina Umat Tridharma
dan umat Islam Jawa, maka penulis ingin mengungkap pandangan dan keyakinan
mereka tantang Cheng Ho.
Adapun alasan saya memilih Klenteng Sam Po Kong yang berada di Gedung
Batu Simongan Semarang tersebut sebagai tempat penelitian, adalah karena penulis
ingin mengetahui secara mendalam tentang keberadaan klenteng tersebut. Selain itu,
saya juga ingin mengetahui perjalanan klenteng tersebut dalam mempertahankan
keberadaannya.
Dengan alasan seperti tersebut diatas penulis ingin mengungkap mengenai
Cheng Ho dan Klenteng Sam Po Kong dalam sebuah skripsi yang berjudul
PEMUJAAN TERHADAP LAKSAMANA CHENG HO (Studi Kasus di Klenteng
Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan, Semarang).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Laksamana Cheng Ho adalah seorang bahariwan muslim dari negeri Cina yang
pernah berkunjung ke Semarang, karena kurangnya pemahaman tentang Cheng Ho
menyebabkan ia lebih dikenal sebagai tokoh yang dianggap suci, setengah dewa, sakti,
bijak, dan dapat dimintai berkah dan pertolongan.
Dalam kaitan dengan skripsi ini, penulis akan memfokuskan pada siapa Cheng
Ho dan mengungkap pandangan dan keyakinan peranakan Cina yang beragama
Tridharma dan Islam Jawa di Klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan,
Semarang.
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini. Penulis memberikan
rumusan masalah pada :
1. Siapakah Laksamana Cheng Ho?
2. Bagaimana pandangan peranakan Cina umat Tridharma dan Islam Jawa
tentang keberadaan Cheng Ho tersebut dan mengapa ia dipuja?
C. Metode Penelitian
Untuk penyusunan skripsi ini, pengumpulan data dilakukan dengan mengunkan
dua cara, yaitu :
1. Studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian atas buku-buku bacaan,
diktat-diktat, jurnal, majalah, artikel, surat kabar, dan bahan-bahan informasi
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang di bahas. Perpustakaan yang
dikunjungi penulis adalah perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat, perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Nasional dan
perpustakaan umum daerah Semarang Jawa Tengah.
2. Metode lapangan (field research) yaitu penulis mendatangi dan mengumpulkan
data di lapangan. Dilakukan dengan cara :
1. Observasi, dengan teknik ini penulis mengamati kenyataan yang
sebenarnya dilakukan oleh peranakan Cina umat Tridharma dan umat
Islam Jawa yang mengunjungi klenteng Sam Po Kong.
2. Wawancara, terbagi atas dua bagian, pertama wawancara mendalam
dengan mengunakan informasi kunci (orang-orang yang terkait di dalam
Klenteng Sam Po Kong). Kedua wawancara bebas yang menyangkut hal-
hal yang belum diungkap informasi kunci.
Penulis melakukan wawancara dengan bapak Kuantong Hai, bapak Wen
selaku pemandu di klenteng Sam Po Kong dan dengan juru kuci klenteng
Sam Po Kong. Dan wawancara dengan pengunjung yang melakukan
pemujaan dan sembahyang di klenteng Sam Po Kong.
D. Konsep dan Teori
Sarjana yang mengembangkan teori tentang pemujaan terhadap nenek moyang
atau pemujaan terhadap para leluhur adalah Jevons dalam bukunya Introduction to the
History of Religion. Tentang studi asal mula agama dalam hal pemujaan terhadap nenek
moyang atau pemujaan terhadap para leluhur dilakukan oleh Euhomerus, dan kemudian
dilanjutkan oleh H. Spencer. Euhomerus (seorang penulis Yunani) yang mengemukakan
bahwa roh-roh atau jiwa yang berpribadi yang dalam perkembangannya disebut dewa
dahulunya adalah raja-raja besar di bumi ini. Kemudian dalam sejarah agama-agama,
Euhomerus merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menunjukkan dan
menekankan bahwa dewa-dewa itu dahulunya adalah tokoh-tokoh pahlawan manusia
sendiri. Di Persi atau Iran, Fravashi yang dilukiskan dalam Yasna 13 sebagai Fravashi
Suci yang ada di bawah tanah sejak kematian mereka, dimuliakan dan dihormati sebagai
makhluk yang berkuasa dan menentukan terhadap manusia.7
Pemujaan dan Penghormatan terhadap para leluhur adalah manifestasi dari
macam-macam sikap terhadap orang yang telah meninggal di kalangan suku primitif.
Sikap terhadap orang yang sudah meninggal ditentukan oleh kelestarian hubungan
antara orang-orang yang masih hidup dengan orang-orang yang sudah mati.
Dalam sikap pemujaan dan penghormatan kepada para leluhur menurut Zakiah
Daradjat dalam buku Perbandingan Agama I terdapat beberapa macam bentuk kultus
pemujaan:
1. Tingkat pemujaan menurut kelas-kelas. Tidak semua leluhur mempunyai
tingkatan yang sama sebab di antara mereka terdapat yang paling berkuasa. Dan
sering terjadi anggota kelompok atau anggota suku dalam tingkatan biasa hanya
dipuja untuk sementara waktu saja. Bentuk sesembahan yang sangat merata di
antara suku-suku primitif adalah terhadap roh para pribadi agung yang
merupakan pusat kultus sesembahan terhadap leluhur. Di Yunani, India, Mesir,
Amerika, Afrika, Asia dan Australia, pemujaan dan penyembahan terhadap para
7Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 40-41.
pahlawan dan pribadi yang menonjol dalam masyarakat merebut hati
masyarakat.
2. Kultus sesembahan yang merupakan tumpuan harapan. Roh-roh para leluhur
dapat dipanggil untuk membantu kesulitan masyarakat. Terutama untuk
menjamin kelestarian garis jalur keturunan kerena biasanya ada keyakinan
bahwa roh para leluhur mendambakan kelestarian garis yang memuja dia. Selain
itu juga roh para leluhur diharapkan untuk menghindarkan penyakit atau wabah,
membantu memberikan hasil panen yang melimpah-limpah.
3. Roh leluhur sebagai dewa. Ada leluhur yang diyakini kedudukannya sama
dengan dewa.
4. Bentuk Kultus sesembahan yang bersifat individual. pemujaan terhadap roh
leluhur yang dilakukan secara individu.
5. Bentuk kultus sesembahan yang bersifat komunal. Leluhur yang disembah oleh
suatu kelompok keluarga, clan, suku ataupun bangsa karena para roh ini
merupakan anggota keluarga, clan, suku pada waktu hidupnya.
Bagi orang Cina disamping percaya bahwa kesehatan, keselamatan, kebahagiaan
dan rezeki itu datangnya dari kemurahan Tuhan, namun mereka pun percaya akan roh-
roh leluhur dan dewa-dewa karena mereka dapat memberikan perlindungan dan
mengawasi. Salah satu yang sangat di hormati di klenteng Sam Po Kong adalah Cheng
Ho. Cheng Ho bukan saja sebagai tokoh bahariwan tetapi juga tokoh yang didewakan
dan dipuja.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka dalam pembahasannya
telah dibagi beberapa bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, metode penelitian, kosep dan teori, dan
sistematika penulisan.
Bab Kedua, Menguraikan Sejarah dan perkembangan orang Cina di Indonesia,
yang didahului dengan sejarah orang Cina ke Nusantara (Indonesia),
pelayaran ekspedisi Laksamana Cheng Ho, sejarah singkat Laksamana
Cheng Ho ke Semarang, dan riwayat hidup Laksamana Cheng Ho.
Bab Ketiga, Klenteng Sam Po Kong, yang di dahului dengan sejarah singkat
Klenteng Sam Po Kong, bagian-bagian dari klenteng, makna dari
simbol-simbol yang ada di klenteng tersebut. Selain itu juga dilengkapi
dengan peta lokasi, tabel dan grafik penganut agama di Semarang,
struktur pengurus Yayasan Klenteng Sam Po Kong, serta gambar
(denah) Klenteng Sam Po Kong.
Bab Keempat, Menguraikan pandangan dan keyakinan menurut peranakan Cina yang
menganut agama Tridharma dan umat Islam Jawa. Dan pemujaan pada
laksaman Cheng Ho
Bab Kelima, Berisikan kesimpulan.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
ORANG CINA DI INDONESIA
A. Sejarah Kedatangan Orang Cina Ke Nusantara (Indonesia)
Sejak zaman kuno, posisi kepulauan Nusantara menjadi tempat persilangan
jaringan lalu lintas laut yang menghubungkan Benua Timur dan Benua Barat. Teknologi
perkapalan dan pengetahuan navigasi yang masih sederhana tidak mengurangi ramainya
jalur pelayaran ini, yakni dengan adanya jalur menyusuri pantai. Keadaan ini
menyebabkan berdatangan aneka ragam etnik yang terdiri dari beberapa kelompok besar
dan kecil yang semula terdiri dari pemuka agama, pendeta, dan terutama pedagang yang
hanya bermaksud berdagang atau sekedar singgah dalam ziarah keagamaan, ada juga
yang kemudian tinggal lama bahkan menetap di Nusantara. Kemudian menyusul
perantau yang terpaksa meninggalkan kampung asalnya karena adanya peperangan yang
melanda didaratan Cina yang tak kunjung selesai. Banyak penduduk Cina meninggalkan
negrinya dengan alasan untuk mencari penghidupan baru.
Sejarah tidak dapat memastikan kapan persisnya orang Cina datang ke wilayah
Nusantara. Bukti-bukti arkeologi dan antropologis, seperti benda-benda tertentu yang
berhubungan dengan kebudayaan Cina, memang dapat menunjukan bahwa mereka telah
hadir di Nusantara sejak sebelum Masehi. Namun baru pada abad ke-V Fa Hsien (Fa
Hian/Faxian), seorang pendeta Budha Tiongkok, sebagai orang Cina pertama yang
meninggalkan catatan tentang Nusantara. Sekitar tahun 339-414 M, ia melewat ke
sejumlah negara. Dalam perjalanan pulang dari India, karena cuaca buruk dia terpaksa
singgah di pulau Jawa selama lima bulan sambil menunggu angin baik yang akan 12
membawanya kembali ke Cina. Fa Hsien melaporkan bahwa saat itu belum ada orang
Cina yang tinggal di Jawa.8 Dua ratus tahun kemudian, yakni pada tahun 665 Hui-Neng,
seorang pendeta Budha dari Tiongkok, dalam perlawatannya ke India juga singgah dan
tinggal selama tiga tahun di sebuah tempat yang disebut Ho-ling, yaitu pusat
pemerintahan di pulau Jawa. Pada tahun 671, pendeta Yixing (I tsing) pengelana dari
Cina yang melewati Nusantara, dalam perjalanannya ia singgah di Sriwijaya, sekitar
Palembang sekarang. Setelah berlayar selama 20 hari dari Canton. Ia tinggal di
Sriwijaya selama enam bulan untuk mempelajari bahasa Sansekerta sebelum bertolak ke
India. di India ia tinggal selama sepuluh tahun untuk menuntut ilmu, dan kembali lagi
ke Sriwijaya untuk menetap selama empat tahun. Ia menyalin teks Budha berbahasa
Sansekerta ke dalam bahasa Cina. Kemudian ia pulang sebentar ke Canton, dan kembali
lagi ke Sriwijaya bersama beberapa temannya untuk kembali menulis buku.9
Sampai abad ke-VII, hanya pendeta Budha Cina yang mengujungi Sriwijaya
karena dalam perjalanan ke India. Pada zaman Sriwijaya, sudah ada hubungan
pelayaran yang teratur antara Cina dan pelabuhan melayu dikerajaan Sriwijaya. Kapal
yang berlayar dari Cina ke Sriwijaya dan kebalikannya adalah kapal dagang dari Persia
dan India.10 Karena pada sebelum abad ke-VIII pedagang-pedagang Cina mejalankan
dagang pasif.11 Sesudah abad ke-VIII, sikap para pedagang Cina berubah. Banyak para
pedagang Cina yang bertolak ke negara-negara selatan, mengunjungi pelabuhan
Sriwijaya dan Pelabuhan Melayu.
8Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, 2005), Cet. I,
h. 39. 9Tarmizi Taher, Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia,
(Jakarta: PPIM, 1997), h. 33. 10Slemet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara, (Yogyakarta: LKIS, 2005), Cet, I, h. 84. 11Pedagang-pedagang asing yang membawa dagangannya ke Tionhkok, dan mengangkut barang
dagangan yang di jual oleh pedagang-pedagang Tiongkok ke tempat lain. Pedagang-pedagang Tionghoa hanya menunggu dipelabuhan.
Meskipun hubungan perdagangan Cina dengan kepulauan Nusantara sudah
berlangsung cukup lama sebelum abad ke XV. Namun jumlah para pendatang dari Cina
pada waktu itu tidak banyak, lagi pula mereka tidak bermaksud tinggal menetap. Baru
pada abad ke XV dan XVI, di kota-kota sepanjang pantai utara pulau Jawa mulai
terdapat pemukiman sementara orang-orang Cina, terutama yang datang dari dua
propinsi di Cina Tenggara, Fijian atau Fukien dan Guangdong atau Kwantung.12 Mereka
bukanlah agamawan, tetapi para pedagang yang tertarik akan rempah-rempah, hasil
hutan dan hasil laut Nusantara. Di Tuban, Gresik dan Surabaya sudah ada pemukiman
orang Cina. Di Tuban misalnya berdiam lebih dari seribu orang Cina dan terdapat
gudang untuk hasil yang akan diekspor ke Cina sambil menunggu angin baik yang akan
membawa kapal mereka pulang ke negerinya. Di Gresik orang-orang Cina menyebut
pemukiman mereka dengan istilah Hsien Tsun atau Kampung Baru dan perkampungan
ini dipimpin seorang Cina.13 Munculnya perkampungan orang Cina di Jawa pada saat
itu, dikarenakan aktivitas perdagangan orang Cina pada masa Dinasti Sung dengan
armada lautnya telah berkembang pesat. Dikala itu orang-orang Cina telah menjadi
bagian dari jaringan perdagangan lokal di lautan selatan dan mampu melintasi samudra.
Pemerintahan Dinasti Sung mempunyai arti penting dalam kaitan dengan
kepulauan Nusantara. Armada laut pemerintahan Cina di bawah dinasti Sung, antara
lain bertujuan menguasai perdagangan di laut selatan. Selama periode tersebut, banyak
orang-orang Cina berlayar ke laut selatan, bahkan para saudagar yang berdagang ke laut
selatan menerima bantuan kredit dari pemerintah. Sampai tahun 1293, ribuan perahu
telah berlayar ke pulau Jawa dan makin lama makin banyak saudagar Cina yang
12Gondonomo, Kebudayaan Peranakan Tionghoa Dalam Khasanah Kebudayaan di Indonesia,
(Makalah), dalam seminar Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta: Yayasan Mitra Museum Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000), h. 10.
13Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, h. 41.
berkunjung ke sana. Kunjungan tersebut terus berlangsung sampai awal abad ke XIV
dimasa pemerintahan Dinasti Yuan (1271-1368). Tetapi, tahun 1368 Dinasti Yuan jatuh.
Akibatnya hubungan dengan laut selatan tidak lancar lagi dan berbagai peraturan yang
membatasi perdagangan dengan laut selatan dikeluarkan. Mereka yang masih tinggal di
laut selatan diharuskan kembali ke Cina dan mengakibatkan perdagangan dengan laut
selatan mengalami kemunduran.14
Keadaan yang tidak menentu selama pemerintahan dinasti Yuan segera
mengalami perubahan di masa pemerintahan dinasti Ming (1368-1644). Ketika raja
Yung Lo, salah seorang raja dari dinasti Ming, berkuasa pada 1402, diterapkan
kebijakan modifikasi perpajakan. Di masa raja Yung Lo pula tercatat perjalanan
legendaris yang dalakukan Cheng Ho. Perjalanan ini adalah untuk memulihkan martabat
pemerintahan kerajaan Cina di mata orang Cina Laut Selatan dan bermaksud memberi
dukungan psikologis kepada para pedagang Cina di Laut Selatan, yang sedang
menghadapi persaingan dan kerugian lantaran kehadiran para pedagang Eropa. Waktu
itu hubungan perdagangan anatara kawasan Nusantara dengan para pedagang dari Eropa
makin meningkat. Tak heran timbul persaingan guna mendapatkan hasil bumi tropis
seperti lada, merica, cengkeh dan sebagainya.15
Sejak bangsa Belanda berkuasa di bumi Nusantara, yaitu awal abad ke-XVII,
jumlah imigran dari Cina bertambah banyak. Mereka terdiri dari kelompok etnik Han
(Mayoritas penduduk Cina sampai sekarang) yang memilih Indonesia sebagai tanah
tujuan bermigrasi. Pada waktu memutuskan untuk mendirikan Batavia pada tahun 1619
dan sesudahnya, para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC banyak
14Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, h. 42.
15Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, h. 42-43.
mendatangkan tenaga dari daratan Cina untuk dijadikan sebagai tenaga trampil, kuli,
tukang, pedagang dan wirausahawan untuk memajukan koloni dan perdagangannya.16
Kedatangan orang Cina ke Nusantara dapat dibagi dalam tiga tahap : masa
kerajaan, kedatangan bangsa Eropa, dan penjajahan Belanda. Tahap pertama, dimana
masyarakat Nusantara masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan setempat, datangnya orang
Cina semata-mata didorong oleh hubungan perdagangan. Tahap kedua terjadi setelah
bangsa Eropa muncul di wilayah Asia Tenggara. Walaupun masih didorong oleh
perdagangan, jumlah pendatang orang Cina semakin meningkat untuk menghadapi
persaingan dengan orang Eropa, sehingga memungkinkan mereka tinggal di wilayah
Nusantara dalam waktu yang lama. Situasi ini disusul oleh tahap ketiga pada saat
kekuasaan Nusantara berada di bawah pemerintahan Belanda. Orang-orang Cina secara
sengaja didatangkan ke Nusanatara untuk membantu Belanda dalam mengatasi
kekurangan tenaga kerja, baik untuk tukang, pedagang, wirausahawan dan proyek
pertambangan dan perkebunan.17
B. Riwayat Hidup Laksamana Cheng Ho
Laksamana Cheng Ho atau Sam Po Kong dilahirkan kampung He Dai,
Kabupaten Kun Yung (sekarang Puning), Propinsi Yunnan Tengah Cina pada tahun
1371 M dengan nama kecil Ma Ho. Anak ketiga dari enam bersaudara dengan ayah
bernama Ma Ha-tche alias Haji Ma, seorang pelaut yang berasal dari suku bangsa Hui
(komunitas Muslim Cina campuran Mongol-Turki), dalam usia 38 tahun Haji Ma
16Gondonomo, Kebudayaan Peranakan Tionghoa Dalam Khasanah Kebudayaan di Indonesia,
(Makalah), dalam seminar Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta: Yayasan Mitra Museum Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000), h. 10.
17Tarmizi Taher, Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia, h.
33-34.
meninggal dunia dan dimakamkan di kampung He Dai, Kunyang, Yunnan. Sedangkan
ibunya dari marga Oen atau Wen. Moyangnya mula-mula yang berasal dari bangsa Se
Mu tinggal di Xi Yu (Xinjiang/ Singkiang) yang kemudian pindah ke Cina barat daya
dan menetap di Propnsi Yunnan.18
Keluarga Cheng Ho adalah penganut agama Islam yang taat. Kakek dan ayahnya
telah menunaikan ibadah haji (rukun Islam kelima). Pada masa itu perjalanan haji
ayahnya dengan melewati laut, dilaksanakan ketika Cheng Ho masih kecil. Sejak saat
itulah Cheng Ho bercita-cita menjadi pelaut untuk bisa mengunjungi negara-negara
yang jauh seperti ayahnya. Sejak kecil ia sudah belajar sastra dan menulis, ilmu hitung,
sejarah, dan alquran. Dan sudah lancar dalam mengunakan pit untuk menulis indah
huruf Cina dan Arab.19
Kaisar I dinasti Ming Chu Yuanchang atau Zhu Yuanzhang, pendiri dinasti
Ming. Pada tahun 1381 Ia memerintahkan Jendral Fu Youde untuk menyerbu Yunnan
untuk menghukum pengeran Mongol (sisa-sisa Dinasti Yuan yang sudah runtuh). Pada
saat itu sejumlah anak muda ditawan termasuk Cheng Ho untuk dipekerjakan di istana
sebagai pegawai istana. Cheng Ho pada waktu itu baru berusia 10 tahun.20
Sebagai seorang yang tengah bekerja di istana, ia kemudian ditunjuk untuk
menjadi pengiring Yung Le (Zhu Di/Chu Ti), salah seorang putra keempat kaisar Chu
Yuanchang atau Zhu Yuanzhang, dan ketika Cheng Ho telah berusia 20 tahun ia ikut
menyertai Yung Le (Zhu Di/Chu Ti) dalam serangkaian serangan militer. Cheng Ho
memulai karir militernya setelah ikut serta dalam serangan-serangan militer melawan
18Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, h.
xvii.
19Tartila Tartusi, Merpati Terbang ke Selatan (Kisah Perjalanan Muhibah Laksamana Haji Mohammad Cheng Ho), (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1992), cet. I, h. 10.
20Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 26.
orang-orang Mongol di daerah luar tembok besar Cina yang berlangsung antara tahun
1393 sampai tahun 1397.21
Karena jasa-jasanya yang luar biasa dalam membatu pangeran Yung Le (Zhu
Di/Chu Ti) dalam perang mengalahkan Kaisar Chu Yunwen, Cheng Ho selalu
mendampingi pangeran Yung Le yang bukan hanya menjadi junjungan tetapi lebih dari
itu telah menjadi sahabat karibnya dalam serangkaian aksi militer. Setelah Pangeran
Yung Le (Zhu Di/Chu Ti) menjadi Kaisar III dinasti Ming, Pada usia 34 tahun, Ma Ho
mendapat anugrah gelar nama keluarga (marga) Cheng 22 dan diberi jabatan penting
sebagai Tai Jian atau Sida Agung di Rumah Tangga Istana.23 sejak itu nama Ma Ho
menjadi Cheng Ho atau Sam Po Tay Jian. Ma Ho di Indonesia di kenal dengan sebutan
dan di tulis seperti The Ho, Sam Poo Toa Lang, Sam Poo Thay Jien, Sam Po Kong dan
Cheng Ho.24 Pada masa kaisar Yung Lo (Zhu Di/Chu Ti), ia memberi tugas Cheng Ho
untuk pelayaran ekpedisi ke negeri-negeri sebrang laut sebagai duta negeri Cina untuk
berhubungan dengan negara-negara lain. Semasa hidupnya Cheng Ho mengadakan misi
pelayaran dalam 28 tahun sebayak enam kali pada Kaisar III Yung Lo (Zhu Di/Chu Ti)
dan satu kali pada Kaisar V Ming Yen Tsung.25
Dalam pelayaran ekspedisi ketujuh atau terakhir, kesehatan Cheng Ho mulai
terganggu dan sakit-sakitan yang akhirnya ia meninggal dunia. Tidak diketahui dengan
pasti dimana ia meninggal dunia dan pada tahun berapa. Dalam pelayaran kembali dari
Mekkah setelah seluruh armadanya disatukan kembali di Calicut, India, dalam
21Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, h. 11. 22Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 27. 23Sumanto Qutuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam
Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV san XVI, (Jogjakarta: Inspeal Press, 2005), h. 84. 24Kong Hwa Swie, "Laksamana HM Zheng He." Media Konfusiani Informasi Edukasi dan
Komunikasi Tahun Ke I, No. 1 Juli 1995, h. 22. 25Leo Agung S, Sejarah Cina 1 (Dari Zaman Kuno Sampai dengan Perang Dunia I), (Sala Tiga:
Widya Sari Press, 2002), h. 37-38.
pelayaran ekpedisi ketujuh, karena sakit terpaksa menunggu di Calicut dan tidak turut
ke Mekkah, pada tahun 1433 ia meninggal dunia pada usia 62 tahun.26
Namun Menurut H. J. de Graaf dkk, dalam bukunya Cina Muslim di Jawa Abad
XV dan XVI Antara Historitas dan Mitos Cheng Ho meninggal di Nanking (Nanjing)
pada tahun 1435 dalam usia 65. Sesuai dengan tradisi umat Islam, jenasahnya
dimandikan dan dibungkus kain kafan putih, kemudian jenasahnya diarahkan sesuai
kiblat ke arah Mekkah dan dengan diiringi doa-doa lalu di buang ke laut Hindia. Sepatu
dan sejumput rambutnya, sesuai dengan permintaannya dibawa kembali ke Nanjing dan
dikuburkan di Bukit Niushou, dekat goa Budha di luar kota.27
C. Pelayaran Ekspedisi Laksamana Cheng Ho
Laksamana Chneg Ho (1371-1433) adalah seorang bahariwan Muslim dari
Yunnan Cina. Ia bahariwan besar bukan hanya di dalam sejarah pelayaran Cina, tetapi
juga disepajang sejarah pelayaran dunia. Selama 28 tahun ia memimpin armada
raksasanya untuk mengunjungi lebih dari 30 negera. Dengan armada setiap kali
pelayaran rata-rata 60 kapal besar dan jumlah total kapalnya lebih dari 200 buah kapal,
baik kapal dengan ukuran sedang dan kecil. Kapal besar yang dijuluki sebagi kapal
pusaka itu berukuran panjang 138 meter dan lebar 56 meter. Dan membawa anggota
pasukan kapal lebih dari 27.800 orang.28 Disamping itu, dia juga membawa barang-
barang seperti emas, karya-karya seni yang indah, kain sutra untuk ditukar dengan
bahan obat-obatan, rempah-rempah, mutiara, batu-batu permata dan lain-lain.
26Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, h. 39. 27Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 32. 28Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, h. 3-
4.
Pada saat negeri Cina diperintah kerajaan Ming dan mencapai puncak
kejayaannya di masa kaisar Yen Wang dengan gelar Ming Ch’eng Tsu (1403-1424),
atau lebih dikenal dengan nama Yung Le (Zhu Di/Chu Ti), ia berusaha mempersatukan
seluruh Cina di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Setelah usaha dalam
negerinya berhasil, ia melakukan pelayaran ekspedisi untuk memperluas pengaruh Ming
di luar Cina dan sekaligus memperkuat kedudukannya29. Selain itu ia menjalin
persahabatan serta perdagangan dengan negara-negara lain dan mengamankan jalur
pelayaran niaga Cina dengan menumpas para perampok yang selalu mengganggu kapal-
kapal niaga di jalur tersebut.
Untuk menjalankan kebijakan pelayaran ekpedisinya, kaisar Yung Le (Zhu
Di/Chu Ti) (1403-1424) mengutus Cheng Ho dan rekan-rekannya untuk memimpin
pelayaran ekspedisi ke negeri-negeri sebrang laut. Selain itu juga, maksud kaisar
mengirim Cheng Ho adalah untuk mencari jejak kaisar Jian Wen (Zhu Yunwen) yang
telah berhasil dijatuhkan dari singgahsananya. Pada saat itu Jian Wen (Zhu Yunwen)
dikabarkan telah melarikan diri ke luar negeri. Oleh karena itu kaisar ingin menangkap
kembali Jian Wen (Zhu Yunwen).30 Akan tetapi ini bukan tujuan utama ekspedisi
pelayaran Cheng Ho.
Laksamana Cheng Ho mengadakan pelayaran ekspedisinya sebanyak tujuh kali
yakni:
1. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1405 samapai tahun 1407
2. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1408 samapi tahun 1411
3. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1412 sampai tahun 1415
4. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1416 samapai tahun 1419
29Leo Agung S, Sejarah Cina 1 (Dari Zaman Kuno Sampai dengan Perang Dunia I), h. 36. 30Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, (Semarang: Tanjung Sari, 1978), h. 9.
5. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1421 samapai tahun 1422
6. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1424, tetapi tidak diketahui kapan
kembalinya.
7. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1430 samapai tahun 143331
Di bawah ini adalah negeri-negeri yang pernah dikunjungi oleng Cheng Ho,
Campa, Jawa, Camboja, Kukang, Siam, Calicut, Malaka, Brunai, Sumatera, Aru,
Cochin, Coilan Besar, Coilan Kecil, Soli dan Soli Barat, Cail, A-po-pa-tan, Comari,
Ceylon, Lambri, Pahang, Kalantan, Hormus, Pi-ja, Kepulauan Malsives, Sun La,
Magaddoxu, Ma-lin-la-sah, Dsaffar, Sa-li-wa-ni, Jubo (Dsheba), Bengal, Arabia, Li-tai
dan Nakur seluruhnya lebih dari 30 negeri yang berbeda.32 Menurut catatan-catatan dari
Liang Chi Cho negeri-negiri yang pernah dikunjungi antara lain33 :
A. Negeri-negeri yang terletak disebelah Timur Malaya :
1. Chamber atau Campa
2. Cannauh
3. Cambaja
4. Pualau Condore
5. Cape Padaran
6. Siam
7. Penang
8. Singapore
9. Strait of Lingga
10. Billiton
31Leo Agung S, Sejarah Cina 1 (Dari Zaman Kuno Sampai dengan Perang Dunia I), h. 37. 32 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002), h. 29. 33Riwayat Singkat Sam Poo Tay Djien, kutipan dari Buku Peringatan Berdirinya Yayasan
Klenteng Sam Po Kong tahun 1937.
11. Carimata
12. Pulau Bintang
13. Jawa
14. Madoera
15. Timor
B. Negeri-negeri yang terletak disekitar Mallaca :
1. Mallaca
2. Aru Island
3. Pulau Sembilan
C. Negeri-negeri yang terletak di Sumatra :
1. Palembang
2. Sumatra
3. Lambi
4. Nagor
5. Letai
6. Pulau Weg (Aceh)
7. Andaman Island
D. Negeri-negeri yang terletak disekitar India :
1. Bengala
2. Cochin
3. Quilon
4. Calcutta
5. Ceylon
6. Maldaire Island
E. Negeri-negeri yang terletak disekitar Arabia :
1. Djeffer (Jaffa)
2. Aden
3. Bormurg atau Ormug
4. Mecca
5. Lasan
F. Negeri-negeri di pesisir Afrika :
1. Magedexa
2. Barava
3. Juba
Pelayaran ekspedisi yang pertama sampai dengan ke enam dilakukan atas
perintah kaisar III Yung Le (Zhu Di/Chu Ti), sedangkan yang ketujuh atas perintah
kaisar V Ming Yen Tsung atau Hsuan Te (1425-1436). Dalam pelayarannya disamping
menjalankan kebijakan kaisar ia juga berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Tidak
sedikit kaum Muslimin yang diajak oleh Cheng Ho dalam pelayaran-pelayarannya.
Diantaranya Ma Huan, Ong King Hong, Hasan, Guo Chongli, Sha,ban, dan Pu Heri.34
Meskipun ia beragama Islam, ia juga menghormati aktivitas-aktivitas agama
Budha dan Taoisme. Ketika berada di kapal ia mempersilakan anggota rombongannya
yang beragama Budha dan Tao melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan
keyakinan dan tenang. Dan dalam beberapa kegiatan agama Budha Cheng Ho ikut pula
dalam kegiatannya, sehingga Cheng Ho mendapat gelar Tiga Pusaka atau Tri Ratna.35
Sebagai pimpinan armada pelayaran Cheng Ho sangat dihormati oleh anak buahnya. Ia
sangat arif dan bijaksana.
34Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000), h. 37.
35Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 30.
C. Sejarah Singkat Laksamana Cheng Ho ke Semarang
Sejak dulu, Jawa selalu mempesona. Kekayaan sumber daya kultural, sejarah
dinasti yang begitu panjang dan letaknya yang cukup strategis karena berada
dipersimpangan (crossroads) juga merupakan daya pikat tersendiri sekaligus
merangsang para emigran, petualang, pelancong, pedagang atau bahkan pelarian politik
dari berbagai negara, baik utuk sekedar transit pemukiman maupun menjalankan bisnis
dan transaksi politik.36
Ratusan tahun yang lalu, ketika pelabuhan Semarang belum bertempat
sebagaimana adanya sekarang, kapal-kapal yang berlabuh di Semarang harus berhenti di
Simongan. Dengan begitu Simongan di zaman dulu merupakan sebagai pelabuhan serta
letaknya ditepi laut.37
Kota Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah, sekarang ini berbeda dengan
Semarang pada abad ke XV, baik dari segi geografis, penduduk, ekonomi, sosial
maupun budayanya. Menurut catatan arsip milik orang Cina, leluhur mereka untuk
pertama kali mendarat di Batam (Banten, Jawa Barat), kemudian baru berpencar
menyusuri daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak,
Tanjung, Buyaran, dan akhirnya Semarang, Jawa Tengah.38
Mengenai tahun kedatangan Cheng Ho ke Semarang terdapat beberapa pendapat
yang berbeda, menurut catatan melayu teks Ir. M. O. Perlindungan dalam bukunya H. J.
De Graff bahwa Cheng Ho mendarat di Semarang pada tahun 1413 dan singgah selama
36Sumanto Qutuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam
Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV san XVI, (Jogjakarta: Inspeal Press, 2005), h. 57. 37Riwayat Singkat Sam Poo Tay Djien, kutipan dari Buku Peringatan Berdirinya Yayasan
Klenteng Sam Po Kong tahun 1937. Lihat pula pada Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid XIV, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994), Cet II, h. 359.
38 Liem Thian Joe, Riwayat Semarang, (Jakarta: Hasta Wahana, 2004), Cet. II, h. 1-2.
satu bulan untuk perbaikan kapal-kapalnya. Sedangkan menurut Liem Thian Joe dalam
bukunya Riwayat Semarang bahwa kira-kira pada tahun 1416 sudah ada orang Cina
yang menginjakkan kakinya di daerah Semarang, orang Cina pertama yang sampai di
Semarang ialah Sam Poo Tay Djin. Dia mempunyai peninggalan yang tidak bisa
dilupakan sampai sekarang, seperti Gedong Batu. Demikian pula pendapat Liem Djing
Tjie dalam inskripsi yang berada di Klenteng Sam Po Kong, bahwa Cheng Ho
mengunjungi tanah Jawa dua kali pada tahun 1406 dan 1416. Di tahun 1416 beliau
mendarat di Simongan yang pada waktu itu masih terletak di pantai laut.39
Terlepas dari pendapat-pendapat yang berbeda mengenai tahun kedatangan
Cheng Ho di Semarang, namun riwayat Semarang selalu dikaitkan dengan cerita
kedatangan Cheng Ho di kota Semarang. Manurut cerita dikalangan keturunan Cina di
Indonesia, khususnya di Semarang, tersiar kabar mengenai kedatangan armada Cheng
Ho di Semarang, Jawa Tengah. Pada pertengahan pertama abad ke XV, kaisar Yung Le
di Dinasti Ming mengutus suatu armada untuk mengadakan kunjungan muhibah ke laut
selatan. Armada tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho di bantu oleh Wang
Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua.
Ketika armada berlayar di pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit
keras. Menurut perintah Cheng Ho, armada itu singgah di pelabuhan Simongan
(kemudian bernama Mangkang), Semarang. Setelah mendarat, Cheng Ho dan awak
kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah dijadikan suatu tangsi untuk sementara.
Dan dibuatlah sebuah pondok kecil di luar gua sebagai tempat peristirahatan dan
mengobati bagi Wang Jinghong. Wong Jinghoang mulai membaik sakitnya. Sepuluh
hari kemudian Cheng Ho melanjutkan pelayarannya ke barat dengan meninggalkan 10
39Amin Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, h. 17.
awak kapal untuk menjaga kesehatan Wang Jinghong di samping sebuah kapal dan
perbekalan-perbekalan. Akan tatapi sesudah sembuh Wang Jinghong menjadi betah
tinggal di Semarang. Dipimpinnya 10 awak kapal itu untuk membuka lahan dan
membangun rumah. Dimanfaatkannya pula kapal yang disediakan Cheng Ho untuk
mereka bila hendak menyusul armadanya.40
Kapal tersebut digunakan Wang Jinghong untuk usaha perdagangan di
sepanjang pantai. Kemudian awak kapalnya beturut-turut menikah dengan wanita
setempat. Berkat jerih payah Wang Jinghong dan anak buahnya, kawasan sekitar gua
tersebut berangsur-angsur menjadi ramai dan makmur, bersama dengan orang-orangnya
ia kemudian mulai mengelola tanah untuk kehidupannya dan berdagang di sepanjang
pantai Jawa. Ia kemudian melakukan dakwah, mengajar dan menyebarkan agama Islam
kepada penduduk setempat yang kemudian menghoramatinya dan menyebut imam dan
jurumudi Sam Po.41 sehingga semakin banyak orang Cina yang datang dan bertempat
tinggal serta bercocok tanam di sana.
40Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h. 61.
41Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 33.
BAB III
KLENTENG SAM PO KONG
A. Sejarah Singkat Klenteng Sam Po Kong
Klenteng Sam Po Kong terletak di daerah Gedung Batu, di kaki bukit Simongan,
ditepi sungai Garang, Barat daya kota Semarang. Seperti yang telah diuraikan pada bab
terdahulu merupakan daerah pantai yang cukup ramai pada abad ke XIV. Daerah ini
dulu dikenal dengan bukit Simongan dan merupakan pelabuhan persinggahan Cheng Ho
beserta pengawal-pengawalnya. Di atas bukit Simongan terdapat sebuah gua yang
menurut cerita, merupakan tempat tinggal sementara Cheng Ho beserta pengawal-
pengawalnya. Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, di Semarang dibangunlah
sebuah klenteng Gedung Batu (Sam Po Kong) yang pada awalnya adalah sebuah
Masjid.42 Klenteng ini diziarahi baik oleh orang peranakan Cina maupun oleh orang
muslim Jawa. Di dekat gua di klenteng Sam Po Kong juga terdapat makam Wong
Jinghong (jurumudi) yang dikabarkan meninggal dunia dalam usia 87 tahun dan
dikuburkan dengan cara Islami. Sekarang ini, setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek,
kebanyakan yang datang kesini adalah orang Indonesia Peranakan Cina dari Semarang
dan daerah lainnya. Sedangkan pada setiap malam Jumat Kliwon, orang yang datang
kesini umumnya adalah non peranakan Cina, khususnya orang Jawa di sekitar
Semarang dan daerah lainnya yang beragama Islam.43
42Karena ketika Cheng Ho, Mah Huan dan Fei Xin singgah di Semarang mereka sering
melakukan sholat di masjid, H.J. De Graaf, dkk, Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: antara Historitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiaran Wacana, 1998), cet. I, h. 3.
43M. Ikhsan Tanggok, “Laksamana Cheng Ho Muslim dan Tokoh Mitologi.” Jurnal Al-Turas Vol. II, No. 1 Januari 2005, h. 42.
29
Klenteng Sam Po Kong mula-mulanya sebuah klenteng yang sangat sederhana.
Dalam gua tempat klenteng ini hanya terdapat patung Cheng Ho semata. Pada tahun
1704 M gua tersebut runtuh akibat angin ribut dan hujan lebat. Peristiwa tersebut
menyebabkan sepasang pengantin tewas tertimbun ketika sedang memuja di situ.44 Tak
lama kemudian gua yang runtuh itu digali dan dipulihkan seperti semula. Pada tahun
1724 M diadakan upacara sembahyang besar-besaran oleh penduduk Cina Semarang
sebagai pernyataan terima kasih karena dalam tempo sekian lama masyarakat Cina di
kota itu tidak mendapatkan gangguan apa pun dan perdagangan mereka pun bertambah
maju. Berbarengan dengan upacara tersebut lalu diadakan pengumpulan dana untuk
memperbaiki Klenteng Sam Po Kong. Di depan gua itu lalu didirikan sebuah emper,
agar bisa menjadi tempat berteduh bagi orang-orang yang selesai bersembahyang bisa
beristirahat untuk melewati waktu.45
Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan di kuasai oleh
Johannes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Dia menjadikan kawasan itu sebagai
sumber keuntungan. Masyarakat Cina yang hendak sembahyang di klenteng Sam Po
Kong dikenakan cukai. Karena cukai yang diminta sangat tinggi masyarakat tersebut
tidak mampu membayar secara perorangan. Maka dari itu Yayasan Sam Po Kong
Semarang mengupulkan dana sebesar 2.000 gulden sebagai biaya buka pintu klenteng
tersebut untuk satu tahun. Sekalipun cukai tahunan itu kemudian dikumpulkan sampai
500 gulden, tetapi masih cukup mahal bagi masyarakat Cina pada masa itu.46
Demi kelanjutan kegiatan penyembahan di Klenteng Sam Po Kong tanpa
membayar cukai yang tinggi, maka masyarakat Cina di Semarang membuat duplikat
44Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h.
62. 45Liem Thian Joe, Riwayat Semarang, h. 24. 46Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h.
62-63.
patung Cheng Ho yang kemudian diletakkan di Tay Kay Sie (Klenteng Keinsafan
Besar) yang dibangun pada tahun 1771, di Gang Lombok sebuah perkampungan
masyarakat Cina Semarang. Gara-gara ulah Johannes tersebut, kegiatan penyembahan
Cheng Ho dipindahkan ke Tay Kak Sie. Namun pada tahun 1879 seluruh perbukitan
Simongan akhirnya dapat dibeli oleh Oei Tjie Sien, ayah dari Oei Tiong Ham, saudagar
kaya yang terkenal dengan julukan Raja Gula di Indonesia. Setelah menjadi miliknya,
klenteng Sam Po Kong dipugar kembali. Sejak saat itu siapapun yang datang untuk
bersembahyang atau berziarah tidak dipungut bayaran.47
Baru pada tahun 1937 klenteng Sam Po Kong dipugar kembali, atas usaha Lie
Hoo Soen, klenteng Sam Po Kong diperbaiki dan diperbaharui dengan mendirikan
gapura, taman suci dan dibuat Pat Sian-loh (jalan Pat-sian) yang menghubungkan
klenteng dengan tempat pemakaman Kiyai Jurumudi.48
Untuk setengah abad lamanya klenteng Sam Po Kong tidak terjadi pemugaran
apa-apa yang penting, baru pada tahun 2002 klenteng Sam Po Kong diperbaharui secara
menyuruh. Dengan dibangun penginapan umum lantai tiga bagi para pengunjung dari
luar kota yang direncanakan akan selesai pada tahun 2007.49 Sekarang klenteng Sam Po
Kong bukan hanya menjadi tempat kegiatan keagamaan tetapi juga menjadi salah satu
obyek pariwisata di Semarang Jawa Tengah.
B. Bagian-bagian dari Klenteng
Bangunan klenteng ini terletak lebih kurang 5 km dari pusat kota Semarang ke
arah barat daya yang berada di jalan Simongan no. 129 Gedung Batu Semarang Barat
47Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h.
63-65. 48Riwayat Singkat Sam Poo Tay Djien, Kutipan dari: Buku Peringatan Yayasan Klenteng Sam
Poo Kong Tahun 1937, h. 13. 49Wawancara Pribadi dengan Bapak Wen, Semarang, Tanggal 24 Januari 2006.
yang masih dilindungi oleh pohon-pohon besar yang masih terpelihara hingga sekarang.
Klenteng ini luasnya kurang lebih 3 hektar yang mempunyai tiga pintu gerbang: utara
(utama), selatan, timur. Untuk sekarang memasuki klenteng melalui gerbang utara
(utama), karena untuk selatan dan timur masih tahap pembangunan.
Di atas pintu gerbang utara, tertulis dengan tulisan "Klenteng Sam Po Kong".
bila kita lihat ke atas terdapat dua patung ular naga50 dan di depan gerbang terdapat dua
patung Killin.51 20 m masuk kedalam terdapat bangunan pos keamanan, peristirahatan
dan sekaligus berfungsi sebagai tempat informasi. Di depan bangunan tersebut terdapat
dua patung Duara Pala.52
Klenteng Sam Po Kong terdiri dari Hio Swa (tempat penjualan peralatan
sembahyang), Kantor yayasan Sam Po Kong, Klenteng utama (Sam Po Kong), dan
klenteng-klenteng kecil disekitar klenteng utama seperti: Dewa Bumi, makam kyai Juru
Mudi, makam Kyai Djangkar, makam Ho Ping, makam Kyai dan Nyai Tumpeng,
makam Cundrik, dan Nabi Konghucu.
1. Klenteng Utama (Sam Po Kong)
Klenteng ini berada di sebelah kanan dari makam Juru Mudi. Di halaman
klenteng ini terdapat patung Laksamana Cheng Ho, tempat lilin-lilin dengan ukuran
besar (2 m dan 1,5 m) yang bertulisan nama-nama orang dan perusahaan yang
menyumbang dan didepannya terdapat dua buah patung Killin yang berfungsi sebagai
pelindung dan untuk mengusir roh jahat. Di bagian depan terdapat gua yang dulu
50Ular Naga adalah melambangkan kekaisaran atau untuk menentang kekuasaan bangsa lain,
atau lambang kesuburan. 51Killin adalah binatang yang berkepala naga, bertanduk satu, berbadan singam berkaki srigala,
bersisik kelopak bunga teratai dan memiliki ekor yang bercabang lima. Dan berfungsi sebagai pelindung dan mengusir roh jahat.
52Duara pala merupakan reca penthung (arca gada) yang berfungsi sebagai penjaga dan pelindung.
merupakan tampat tinggal Laksamana Cheng Ho dan beserta anakbuahnya.53 Di atas
gua terdapat senjata imitasi yang digunakan oleh para anakbuah Cheng Ho. Dan
dibagian depan terdapat hio lo54 untuk Thian. Disamping itu terdapat altar utama
diatasnya terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), sesajian. Dan di depan gua terdapat
altar Dewa Pintu yang diatasnya terdapat pelita (lampu minyak), sesajian dan
didepannya terdapat hio lo. Di klenteng ini terdapat lilin dengan ukuran kecil dan
sedang dari para pengunjung yang sembahyang, dan juga beberapa hiasan yang ada
disekitarnya termasuk sebuah beduk dan lonceng besar dan lampion (lampu kertas)
tergantung di langit-langit pendopo. Dibagian belakang terdapat gua untuk sembahyang
kepada Cheng Ho. Di kanan kiri gua terdapat prasasti perjalanan Laksamana Cheng Ho
dengan tiga bahasa (Indinesia, Cina, dan Inggris). Di dalam gua terdapat sebuah sumur
yang berfungsi airnya sebagai keselamatan dan dapat menyembuhkan penyakit.
Disamping itu terdapat sebuah altar laksamana Cheng Ho yang diatasnya terdapat
patung laksamana Cheng Ho, pelita (lampu minyak), bunga dan lampu hias. Di samping
kanan terdapat meja untuk tempat peralatan Ciam Si.55 Di dinding terdapat lukisan kapal
laksamana Cheng Ho. Di pojok kanan bangunan klenteng utama terdapat sebuah
Kimlo.56
2. Klenteng Dewa Bumi
Klenteng ini berada di depan kantor yayasan Sam Po Kong. Di muka bangunan
ini terdapat dua buah patung Killin yang fungsinya untuk mengusir roh-roh jahat.
53Karena sering terjadi banjir dan mengenangi goa tersebut, goa tersebut sekarang berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda peninggalan zaman dulu. Dan dibangunlah sebuah gua di belakang klenteng utama yang sekarang berfungsi sebagai tempat pemujaan Sam Po Kong
54Hio lo merupakan tempat untuk menencapkan hio atau dupa yang sudah dibakar atau setelah melakukan sembahyang. Hio lo dibuat dari tanah liat, besi atau bisa dari timah, berkaki empat berkuping dikiri kanannya. Pada bagian depannya terukir sebuah huruf Tionghoa huruf "hi" (lafal Hokkian) yang berartikan bahagia. Arti hio lo adalah perapian dupa. Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, h. 91.
55Ciam Sie merupakan alat sembahyang meramal nasib. 56Kimlo adalah dapur untuk membakar uang kertas.
Diatasnya terdapat dua patung naga. Diruangan depan terdapat hio lo dan dikanan
kirinya terdapat lilin-lilin besar dengan ukuran 1,5 m yang bertulisan nama-nama orang
dan nama perusahaan yang menyumbang. Diatasnya terdapat lampion (lampu kertas)
yang tergantung di langit-langit klenteng. Di tengah-tengah ruangan terdapat altar yang
diatasnya terdapat hio lo serta disamping kanan kirinya terdapat pelita (lampu minyak)
yang selalu menyala. Memasuki ruangan dewa bumi di atas dindingnya terdapat lukisan
Pat Shen (8 dewa)57 yang bertugas untuk kesejahteraan dan kebaikan umat.
Di dalam ruangan Dewa Bumi terdapat sebuah altar yang berbentuk meja
persegi panjang yang terdapat patung dewa bumi dan didepannya terdapat hio lo, lilin
kecil, pelita (lampu minyak), lampu hias dan sesajian berupa buah-buahan dan makanan
serta alat-alat untuk Ciam Sie. Di bawah altar ini terdapat Hauw Ciang Kun yang
bertugas untuk mengusir roh-roh jahat, dengan sesajian, hio lo, dan pelita (lampu
minyak) yang selalu menyala. Disamping kanan pojok bangunan terdapat kimlo.
3. Makam Juru Mudi
Makam ini berada disebelah kanan bangunan yayasan klenteng Sam Po Kong.
Di makam ini terdapat hio lo menghadap ke muka dan altar yang berisi hio lo, pelita
(lampu minyak), sesajian, dikanan kiri altar derdapat patung duara pala yang berfungsi
sebagai penjaga dan pelindung. Dibagian belakang altar terdapat makam Juru Mudi dan
didepannya terdapat hio soa.58 Disamping makam terdapat kimlo.
4. Kyai Djangkar
Bangunan ini berada disebelah kanan dari klenteng utama (Sam Po Kong). Di
bangunan ini terdapat hio lo yang menghadap ke muka dan terdapat tiga buah altar:
pertama altar Kyai Djangkar yang merupakan jangkar peninggalan laksamana Cheng
57Pat Sen atau 8 dewa bertugas untuk kesejahteraan dan kebaikan umat. 58Hio soa adalah dupa untuk sembahyang.
Ho. Dibagian altar terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), lilin-lilin dengan ukuran
kecil, sesajian dan didepannya terdapat hio soa. Kedua altar Nabi Konghucu yang
terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), lilin-lilin dengan ukuran kecil, dan sesajian.
Ketiga altar Ho Ping yang merupakan altar arwah para anak buah laksamana Cheng Ho.
Di altar ini terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), lilin-lilin dengan ukuran kecil, dan
terdapat hio lo dengan ukuran kecil.
5.Kyai dan Nyai Tumpeng
Makam ini berada di sebelah kanan dari makam Kyai Djangkar. Makam ini
terdapat hio lo dan tempat lilin-lilin kecil dikanan kirinya menghadap kemuka dan
terdapat tiga makam: pertama Kyai Tumpeng, Nyai Tumpeng, dan Kyai Djudrik.
Didepan makam ketiganya terdapat altar yang terdapat hio lo, pelita (lampu minyak),
sesajian dan lilin dengan ukuran kecil.
Makna Simbol-simbol
1. Dupa atau Hio
Dupa atau hio adalah bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap yang
berbau harum. Dupa atau hio menandai semangat dari kesucian dan
persembahan diri sendiri. Membakar dupa mengandung makna jalan suci yang
berasal dari kesatuan hatiku, hatiku dibawa melalui keharuman dupa dan bila
dibakar maka asapnya akan melambung ke atas, ini melambangkan bahwa doa
yang dipanjatkan akan samapai pada Tuhan (Thian). Selain itu dupa juga untuk
menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi, juga bisa mengusir
hawa atau hal-hal yang bersifat jahat. Kalau zaman dahulu sebelum ada lonceng
atau jam dupa ini dipakai sebagai pengukur waktu.59 Ukuran dupa bermacam-
macam, digunakan hendaknya sesuai dengan ukuran tempat dupa. Jumlah dupa
yang dugunakan bermacam-macam dengan fungsi masing-masing. Tempat dupa
(hio lo) bisa diletakkan di sisi lain, seperti di kanan, bawah kiri bawah, tengah
atas, kanan atas, kiri atas.
2. Lilin
Lilin ini hanya merupakan lambang apabila dinyalakan dapat memberikan
penerangan bermakna supaya kita diberikan penerangan, menerangi jalan
kehidupan dan penghidupan di waktu sekarang. Letak lilin dekat dengan tempat
dupa dimaksudkan agar setelah memasang lilin disesuaikan dengan ukuran
altar.60 Lilin dinyalakan terlebih dahulu sebelum dupa dinyalakan. Menurut
kepercayaan bahwa lilin-lilin yang dibiarkan menyala menyimbolkan rezeki
yang tak kunjung padam.
3. Buah-buahan
Buah-buahan dijadikan sebagai salah satu sajian untuk dewa, sebagai lambang
tanda bakti seorang umat kepada dewanya.
4. Bunga
Bunga merupakan sesuatu yang harum, melambangkan keindahan. Bunga juga
melambangkan ketidakkekalan, karena semua yang berkondisi adalah tidak
kekal dan tidak abadi. Bunga mekar yang harum dan indah akan dinikmati,
setelah layu dibuang. Demikian juga dengan jasmani kita adalah tidak kekal,
59Matakin, Tata agama dan tata laksana upacara agama Konghucu, (Bogor: Matakin, 1995), h.
30. 60Ukuran lilin biasanya dengan ukuran kecil dan besar, untuk ukuran kecil selalu ada pada
upacara besar maupun kecil. Sedangkan ukuran besar dinyalakan pada upacara besar
dapat tua, sakit, kemudian mati yang tidak memandang apakah kita mau atau
tidak.
Kegiatan dalam Klenteng
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam klenteng Sam Po Kong,61 adalah
sebagai berikut:
1. Sembahyang Sang Ang (Pek Kong Naik) yang dilakukan pada tanggal 24 Tjap Djie
Gwee (Desember Imlek) yang merupakan sembahyang urutan sembahyang tahun
baru untuk menghormati dewa dapur Zao Jun (Tjauw Koen Kong).
2. Sembahyang Nie Bwee (penghabisan tahun) yang dilakukan pada tanggal 30 Tjap
Djie Gwee (Desember Imlek)
3. Sembahyang Sien Tjia (tahun baru imlek) yang dilakukan pada tanggal 1 bulan 1
Imlek
4. Sembahyang Thuw Ge (pembukaan tahun dan bulan)
5. Sembahyang Tjek Ang (Pek Kong turun) yang dilakukan pada tanggal 4 bulan 1
Imlek
6. Sembahyang King Thie Kong (sembahyang Tuhan) pada tanggal 8 menjelang
tanggal 9 Djie Gwee (bulan pertama)
7. Sembahyang Kin Thie Kong dilengkapi dengan sajian untuk dewata tertinggi (Giok
Hong Siang Tee)
8. sembahyang Goan Siauw (sembahyang Tjap Go Me, sembahyang yang dilakukan
pada tanggal 15 Tjia Gwee malam (Januari Imlek)
61Wawancara Pribadi dengan Bapak Wen, Semarang, Tanggal 24 Maret 2006.
9. Sembahyang Tho tee kong (sing djiet) yang dilakukan pada tanggal 2 Djie Gwee
untuk merayakan hari lahir Pek Kong Tanah
10. Sembahyang Go Gwee Tjik (Pek Tjoen) yang dilakukan pada tanggal 5 Go Gwee
Mei Imlek
11. Sembahyang Poa Nie Tjik (pertengahan tahun) yang dilakukan pada tanggal 15 Lak
Gwee (Juni Imlek)
12. Sembahyang Sam Po Gia Hio (kedatangan Sam Po Kong di Gedong Batu
Semarang) yang dilakukan pada tanggal 29/30 bulan 6 tahun Imlek atau Lak Gwee
29 Imlek.
13. Sembahyang King Hong Ping besar untuk memperingati awak kapal armada Cheng
Ho.
14. Sembahyang Tiong Tjhioe Tjik (pada hari itu orang makan Tiong Tjhioe Pia) pada
tanggal 15 Agustus Imlek.
15. Sembahyang Sam Po Tay Djien (Sing Djiet) sebagai perayaan hari lahir Sam Po
Kong tanggal 29 bulan 11 tahun Imlek atau Cap It Gwee 29 Imlek.
16. Sembahyang Tang Tjik (Winter Solstice) tanggal 21, 22 atau 23 Desember Imlek.
17. Sembahyang Bwee Gwee (tutup tahun)
18. Sembahyang Kong Hu Tju (Konfusius)
Disamping Sembahyang-sembahyang tersebut, pada setiap malam Jumat Kliwon
terdapat kegiatan ritual sembahyang pemujaan Cheng Ho, Kyai Jurumudi atau Ong
King Hong, Kyai Jangkar, Kyai Cundrik, dan Nyai Tumpeng, yang dilakukan oleh non
peranakan Cina, khususnya orang Jawa Islam di sekitar Semarang dan daerah lainnya.
Pada setiap hari pun ada yang melakukan sembahyang pemujaan di klenteng Sam Po
Kong tetapi jumlahnya sedikit tidak seperti pada hari malam Jumat Kliwon.
Lampiran I (Peta Lokasi)
Tabel Pemeluk Agama Di Kota Semarang
Agama Th 2000 Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004
Islam 1105616 1114837 1135418 1154109 1162988
Katolik 90763 92357 95674 98858 99910
Protestan 87202 88750 93765 96596 97683
Budha 16583 16445 18748 18330 18411
Hindu 9503 9932 6400 6786 6858
Jumlah 1309667 1322321 1350005 1374679 1385850
Sumber : BPS Kota Semarang
Lampiran III (Grafik Pemeluk Agama)
Struktur Pengurus Yayasan Sam Po Kong
KETUA
WAKIL KETUA
SEKRETARIS BENDAHARA
ANGGOTA
Gambar (denah) Klenteng
3
1
16
4
6 5
7
8 9
14
15
18 19
20
10
2
11
13
12
17
10
U
Keterangan (denah) Klenteng berdasarkan observasi lapangan pada tanggal 24 Maret
2006.
1. Pintu utara yang merupakan pintu pertama dan utama dari seluruh kompleks
karena bersebelahan dengan area parkir
2. Tempat Istirahat
3. Toilet Umum
4. Hio Swa (tempat penjualan perlengkapan sembahyang)
5. Kantor Yayasan Sam Po Kong
6. Klenteng Dewa Bumi
7. Makam Kyai Jurumudi
8. Klenteng Utama Sam Po Kong
9. Goa Laksaman Cheng Ho
10. Prasasti Laksamana Cheng Ho
11. Altar Ho Ping
12. Altar Nabi Konghucu
13. Altar Kyai Djangkar
14. Makam Kyai Tumpeng, Nyai Tumpeng dan Kyai Djudrik
15. Asrama (penginapan umum)
16. Tempat parkir utama
17. Pos Keamanan
18. Pelataran terbuka atau sebagai pusat ruang terbuka
19. Pintu timur yang merupakan pintu masuk ke dua yang utama dari seluruh
kompleks
20. Pintu selatan yang merupakan pintu masuk ketiga yang utama dari seluruh
kompleks
BAB IV
PANDANGAN DAN KEYAKINAN TERHADAP
LAKSAMANA CHENG HO
A. Pandangan dan Keyakinan Menurut Umat Peranakan Cina Tridarma dan
Muslim Jawa
Laksamana Cheng Ho di Indonesia, Khususnya Semarang banyak dipuja oleh
umat Tridarma dari peranakan Cina dan umat Islam Jawa sebagai salah satu dewa yang
dijadikan pemujaan.
Laksamana Cheng Ho, Sam Po Kong atau Sam Po Tay Jin merupakan seorang
bahariwan Muslim dari Yunnan Cina yang menurut keturunan Cina umat Tridharma
merupakan orang yang bijaksana dan banyak berjasa, yang merupakan sebagai
panutan.62 Dan tokoh Cheng Ho dengan kepiawiannya dalam berdagang ia diyakini
sebagai dewa dagang yang harus di hormati.
Cheng Ho diyakini adalah dewa dagang yang menurut keturunan Cina umat
Tridharma dan orang Islam Jawa dapat mengabulkan permintaan manusia yang berdoa
dengan ikhlas dan penuh keyakinan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan
meminta berkah, usaha dagang, agar maju usahanya, dicarikan usaha yang tepat, cepat
mendapatkan jodoh, disembuhkan dari penyakit, keselamatan dunia dan lain
sebagainya.
Seperti menurut pengalaman bapak Yanto seorang Muslim Jawa asal Purwodadi
sejak tahun 1985 ia sudah datang ke klenteng ini setiap tahun pada malam Jumat
Kliwon untuk memohon keselametan dan diperlancarkan usaha dagangnya, tetapi kalau
62Wawancara Pribadi dengan Kwantong Hai, Semarang, Tanggal 28 Januari 2006.
48
usahanya sedang tidak lancar ia dua bulan sekali datang ke klenteng ini. Menurut
pengalaman ibu Hindun pedagang asal Pemalang, kalau usahanya lagi tidak lancar ia
mendatangi klenteng ini pada malam Jumat Kliwon memohon untuk diperlancar
usahanya. Di samping memohon dilancarkan usahanya ia juga memohon keselamatan
bagi dirinya dan keluarganya. Dan menurut pengalaman Nasikin petani asal Brebes ia
mendatangi klenteng ini malam Jumat Kliwon pada musim tanam agar tanamannya
berhasil, dan akhirnya pada musim panen ia berhasil dengan baik. Tetapi ia pun pernah
mengalami kegagalan panen, walaupun gagal panen ia tetap mendatangi klenteng. Lain
halnya dengan Iwan dan teman-temannya datang ke klenteng Sam Po Kong hanya ingin
melakukan Ciam Si atau meramal nasib.
Setiap pada malam Jumat Kliwon (perpaduan antara tujuh hari perhitungan
matahari dan lima hari perhitungan bulan, hari Jumat Kliwon muncul sekali setiap
bulan) kebanyakan dari mereka yang datang adalah orang muslim Jawa, selain itu juga
pada tanggal 1 dan 15 Imlek atau Cet It (tanggal 1) dan Cap Go (tanggal 15) adalah
keturunan Cina Umat Tri Dharma. Dan setiap harinya pun dari orang muslim Jawa dan
keturunan Cina Umat Tri Dharma ada yang memujanya, tetapi jumalahnya sedikit.
Di Klenteng Sam Po Kong Gedung Batu setiap tahunnya selalu merayakan
kedatangan Laksamana Cheng Ho, selain itu juga diadakan perayaan sembahyang dan
melakukan bakti sosial memberikan bahan makanan pokok kepada orang yang tidak
mampu.
B. Pemujaan Laksamana Cheng Ho
Pemujaan terhadap Laksamana Cheng Ho kebanyakan dilakukan oleh mereka
yang beragama Islam pada setiap malam Jumat Kliwon dan pada tanggal 1 dan 15 Imlek
atau Cet It (tanggal 1) dan Cap Go (tanggal 15) dilakukan peranakan Cina penganut
Tridharma, walaupun pada hari-hari biasa ada yang datang untuk memujanya.
Bagi orang yang datang untuk sembahyang kepada Sam Po Kong, dia harus
membeli perlengkapan sembahyang seperti hio, lilin, uang kertas di Hio Saw (tempat
penjualan perlengkapan sembahyang) di dalam komplek klenteng ini, kecuali kembang
harus di beli di luar komplek klenteng ini. Kemudian perlengkapan sembahyang di
bawa ke klenteng utama (Sam Po Kong).63 Bagi orang Muslim pemujaan dilakukan oleh
seorang juru kunci sedangkan bagi peranakan Cina melakukannya sendiri. Sebelum
melakukan pemujaan juru kunci menanyakan maksud kedatangan, nama, dan asalnya.
Kemudian juru kunci menyalakan lilin dan uang kertas bagi yang membawa, kemudian
membakar hio tersebut dan melakukan sembahyang kepada Tuhan atau Thian.
Sembahyang kepada Thian dengan cara menghadap keluar atau ke langit dengan
mengangkat hio setinggi kepala sebanyak tiga kali dan menundukkan kepala sebanyak 3
atau 4 kali. Setelah selesai sembahyang, hio tersebut ditancapkan ke hio lo sebanyak
tiga batang, kemudian sisa hio tersebut digunakan oleh juru kunci untuk memuja pada
Men Shen atau dewa pintu, setelah itu hio tersebut ditancapkan lagi ke hio lo dewa
pintu, yang artinya meminta izin untuk melakukan sembahyang pada dewa Sam Po
Kong.
Setelah selesai sembahyang kepada Thian dan dewa pintu, juru kunci masuk
kedalam gua temapat pemujaan kepada Sam Po Kong, juru kunci kembali melakukan
sembahyang atau pemujaan terhadap Sam Po Kong, memohon agar apa yang menjadi
63Untuk perlengkapan sembahyang setiap orang atau pemuja diantara mereka ada yang
mengunakan hio, lilin ukuran kecil dan besar, uang kertas, dan bunga. Namun mereka tetap mengunakan hio.
keinginan orang yang datang ke sini dapat dikabulkan, tanpa membakar hio.64 Setelah
selesai sembahyang atau pemujaan, juru kunci melakukan Chiam Si, dengan cara
mengocok Po Ciam65 yang ditempatkan di dalam suatu tempat yang berbentuk tabung
yang terbuat dari bambu, sampai salah satu dari 28 batang Po Ciam keluar dari
tempatnya dan kemudian sebatang Po Ciam tersebut diletakkan untuk sementara.
Setelah itu, juru kunci mengambil Po Pai66. Sebelum Po Pai itu dilambungkan, terlebih
dahulu juru kunci meminta izin kepada Sam Po Kong dengan cara
menyembayangkannya, setelah itu Po Pai dilambungkan dan biar jatuh ke lantai. Jika
dua buah Po Pai ini jatuh dalam keadaan satu telungkep dan satunya lagi terlentang,
berarti dewa Sam Po Kong setuju. Jika kedua Po Pai ini jatuh terlentang kedua-duanya
atau terlungkep kedua-duanya, berarti dewa Sam Po Kong tidak setuju, dan mengocok
Po Ciam dan melambungkan Po Pai harus diulang sampai apa yang diharapkan tercapai,
yaitu satu terlentang dan satu terlungkep. Langkah selanjutnya adalah mengambil kertas
jawaban yang tersedia sesuai dengan nomor yang keluar pada langkah sebelumnya pada
juru kunci. Setelah melakukan Ciam Si, proses meminta sesuatu kepada dewa Sam Po
Kong dianggap selesai.67
64Untuk menghindari terjadinya kebakaran di dalam gua, maka sekarang tidak mengunakan hio. Tapi hanya dengan cara kwi ping Sien, sikap berlutut tegap, lutut kiri di tark disamakan dengan lutut kanan sehingga posisinya kini berdiri tegap diatas lutut. Tangan dalam sikap pau thai kik pat tik (tangan kanan digenggam ditutup tangan kiri, diletakan di depan hulu hati). Atau cara khau siu (menunduk kepala), dari sikap kwi ping sien lalu genggaman tangan dibuka diletakan di lantai, membentuk segitiga pat tik, lalu kepala ditundukan samapai mengena tapak tangan, kemudian kembali kwi ping sien.
65Po Ciam adalah salah satu peralatan Ciam Si berupa bambu yang dibuat menjadi batangan-batangan yang bertulisan nomor pada salah satu ujungnya, yang berjumlah 28 nomor.
66Po Pai adalah sebuah benda yang terbuat dari bonggol bambu yang diukur berbentuk biji buah mangga yang dibelah menjadi dua bagian dan dicet ada yang berwarna merah hitam.
67Pelaksanaan pemujaan Cheng Ho hasil wawancara dengan Bapak Wen. Lihat pula pada M. Ikhsan Tanggok, “Laksamana Cheng Ho Muslim dan Tokoh Mitologi.” Jurnal Al-Turas Vol. II, No. 1 Januari 2005, h. 45-46.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa laksamana Cheng Ho merupakan tokoh utusan politik
yang sekaligus merangkap utusan perniagaan atau perdagangan dari Cina dinasti Ming
yang pernah mengadakan pelayaran ekspedisi sampai ke Indonesia khususnya
Semarang, Jawa Tengah.
Kedudukan Cheng Ho di klenteng Sam Po Kong Simongan, Semarang, adalah
sebagai tokoh sentral yang dipuja dan dimintai pertolongan. Cheng Ho terkenal piawai
dalam urusan perniagaan atau perdagangan. Akan tetapi, konsekwensi dari
kepiawaianya dalam urusan perdagangan ia diyakini sebagai dewa dagang. Untuk itu,
kebanyakan dari peranakan Cina dan orang Islam Jawa yang datang ke klenteng karena
ada dorongan ekonomi, yaitu memohon kepada Cheng Ho untuk memudahkan mereka
dalam mendapatka rezeki. Namun adapula dari peranakan Cina yang datang ke klenteng
Sam Po Kong karena dorongan untuk menghormati leluhur seperti seorang anak kepada
orang tuanya, saudara kepada saudara lainnya, dan rakyat kepada pemimpinnya.
Menurut hemat penulis, dalam pelaksanaan pemujaan dan sembahyang yang ditujukan
kepada Cheng Ho seharusnya dimaksudkan untuk dapat mengenang dan mendoakan
serta dapat mengamalkan prilakunya.
Klenteng Sam Po Kong tidak seperti kebanyakan klenteng lain yang hanya
digunakan untuk beribadah bagi peranakan Cina khusunya umat Tridharma. Keunikan
53
klenteng Sam Po Kong terlihat pada kunjungan oleh umat dari agama lain seperti Islam.
Akulturasi tersebutlah yang akhirnya menyebabkan klenteng ini selalu ramai dikunjungi
oleh berbagai umat dengan keperluannya masing-masing tanpa saling mengganggu dan
tanpa menghambat hubungan satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Agung S, Leo. Sejarah Cina I (Dari Zaman Kuno Sampai dengan Perang DuniI), Sala
Tiga : Widya Sari Press, 2002.
Budiman, Amen. Semarang Riwayatmu Dulu. Semarang: Tanjung Sari, 1978.
Daradjat, Zakiah, dkk. Perbandingan Agama I. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid XIV. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994.
Fox, James J. “Agama dan Upacara”, Klenteng. Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
Gondonomo. Kebudayaan Peranakan Tionghoa Dalam Khasanah Kebudayaan di
Indonesia, (Makalah), dalam seminar Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan
Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Mitra Museum Indonesia dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2000.
Graaf, H.J. De, dkk. Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: antara Historitas dan
Mitos. Yogyakarta: Tiaran Wacana, 1998.
Joe, Liem Thian. Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana, 2004.
Lan, Nio Joe. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Djakarta, 1961.
Muljana, Slemet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS, 2005.
Matakin, Tata agama dan tata laksana upacara agama Konghucu. Bogor: Matakin,
1995.
Penny, Benjamin. “Agama dan Upacara”, Agama Orang Cina. Jakarta: Buku Antar
Bangsa, 2002.
Purwanto, Hari. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu, 2005. 55
Qurtuby, Sumanto. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa
dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV san XVI. Jogjakarta:
Inspeal Press, 2005.
Romdhon, dkk. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Singgih, D. S. Marga. Tridharma Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Samarotungga,
1987.
Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa, 2002.
Swie, Kong Hwa "Laksamana HM Zheng He." Media Konfusiani Informasi Edukasi
dan Komunikasi Tahun Ke I, No. 1 Juli 1995.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Balai
Pustaka, 1988.
Taher, Tarmizi. Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di
Indonesia. Jakarta: PPIM, 1997.
Tartusi, Tartila. Merpati Terbang ke Selatan (Kisah Perjalanan Muhibah Laksamana
Haji Mohammad Cheng Ho). Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1992.
Tanggok, M. Ikhsan. “Laksamana Cheng Ho Muslim dan Tokoh Mitologi.” Jurnal Al-
Turas Vol. II, No. 1 Januari 2005.
Vasanty, Puspa. Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2002.
Wawancara Pribadi dengan Kwantong Hai. Semarang, Tanggal 23 Januari 2006.
Yuanzhi, Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di
Nusantara). Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000.
Riwayat Singkat Sam Poo Tay Djien, kutipan dari Buku Peringatan Berdirinya
Yayasan Klenteng Sam Po Kong tahun 1937.
Grafik Pemeluk Agama Di Kota Semarang
Sumber : BPS Kota Semarang
0200.000400.000600.000800.000
1.000.0001.200.0001.400.000
Th 2000 Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004
IslamKatolikProtestanBudhaHindu
Recommended