View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
PENERAPAN MODEL PROBING-PROMPTING UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI O MANGUNHARJO
TAHUN PELAJARAN 2016/ 2017
Mely Yunita1
Sukasno2 Nur Fitriyana
3
STKIP-PGRI Lubuklinggau
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Penerapan Model Probing-Prompting Untuk Mengukur Kemampuan
Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas VIII SMP Negeri O. Mangunharjo Tahun Pelajaran
2016/2017”. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah kemampuan berpikir kritis
matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 0 Mangunharjo tahun pelajaran 2016/2017 setelah
diterapkan pembelajaran dengan model probing-prompting termasuk dalam kategori baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa
kelas VIII SMP Negeri O Mangunharjo tahun pelajaran 2016/2017 setelah diterapkan
model Probing-Prompting. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
eksperimen semu yang dilaksanakan tanpa adanya kelompok atau kelas pembanding.
Populasinya adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri O Mangunharjo Tahun Pelajaran
2016/2017 yang berjumlah 180 siswa dan sebagai sampel adalah kelas VIII.C dengan 30
siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes berupa soal essay yang memuat
indikator-indikator kemampuan berpikir kritis. Data yang terkumpul dianalisis
menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil analisis uji-t pada taraf signifikan = 0,05. diperoleh
thitung (2,9326) > ttabel (1,699), sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis matematis siswa kelas VIII SMP Negeri O Mangunharjo Tahun Pelajaran 2016/2017
setelah penerapan model Probing-Prompting secara signifikan dalam katagori baik. Rata-
rata nilai kemampuan berpikir kritis matematis setelah dilakukan penerapan model
Probing-Prompting sebesar 65,98 dengan kategori baik.
Keywords: Probing-Prompting, Kemampuan Berpikir Kritis, Matematiss.
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu serta
perkembangan teknologi yang berguna bagi kemajuan bangsa. Menurut Husnidar, Ikhsan
& Rizal (2014:72) sebagai salah satu materi dalam pendidikan, matematika memegang
peran penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam menghadapi
perkembangan zaman. Hal tersebut sesuai dengan tujuan diberikannya matematika
menurut Tim MKPBM (dalam Amir, 2015:60) yang mengemukakan bahwa metematika
diberikan mulai dari pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi untuk membantu
siswa mempersiapkan diri menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan yang
selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional,
1Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau
2,3Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
2
kritis dan mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Berdasarkan tujuan tersebut, kemampuan berpikir kritis merupakan bagian penting
dalam pembelajaran matematika. Sesuai dengan pendapat Yulianti (2014:95) bahwa
kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran yang mencakup berpikir
dasar, berpikir kritis dan berpikir kreatif sedangkan matematika dengan penalaran tidak
dapat dipisahkan. hal ini dikarenakan matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran
manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran, sehingga tidak mungkin
seseorang bermatematika atau doing mathematics tanpa bernalar (Yulianti, 2014:95).
Menurut Suryosubroto (2009:192) Proses berpikir merupakan suatu pengalaman
memproses persoalan untuk mendapatkan dan menentukan suatu gagasan yang baru
sebagai jawaban dari persoalan yang dihadapi. Maka dari itu orang yang berpikir kritis
matematis akan cenderung bersikap positif terhadap matematika, sehingga akan berusaha
menalar dan mencari strategi penyelesaian masalah matematika. Husnidar, Ikhsan & Rizal
(2014:72) menyatakan bahwa penguasaan kemampuan berpikir kritis tidak cukup
dijadikan sebagai tujuan pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental yang
memungkinkan siswa untuk mengatasi berbagai permasalahan masa mendatang di
lingkungannya. Untuk itu dalam proses belajar mengajar guru tidak boleh mengabaikan
penguasaan kemampuan berpikir kritis siswa. Siswa perlu dibiasakan dalam pembelajaran
untuk aktif berpikir, memberikan pendapat terhadap setiap jawabannya serta memberikan
tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh guru, dan membimbing siswa mengaitkannya
dengan konsep yang telah dimiliki, sehingga apa yang dipelajari menjadi bermakna.
Pada kenyataan di lapangan menunjukkan hasil pembelajaran matematika dalam
aspek kemampuan berpikir kritis matematis belum sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti di SMP Negeri O Mangunharjo pada
tanggal 18 April 2016, peneliti melihat siswa masih belum aktif dalam pembelajaran
matematika. Siswa hanya cenderung terpaku dengan apa yang diberikan oleh guru ketika
proses belajar, sehingga peneliti tidak melihat terjadinya proses berpikir kritis di kelas. Hal
ini juga terlihat dari hasil tes yang dilakukan oleh peneliti. dari 30 siswa hanya 9 siswa
yang mampu menyelesaikan 2 soal dari 5 soal yang memuat indikator kemampuan berpikir
kritis secara tepat, sedangkan untuk 3 soal lainnnya tidak terdapat siswa yang menjawab
secara tepat untuk memenuhi indikator kemampuan berpikir kritis yang diinginkan.
Dari hasil wawancara dengan salah satu guru mata pelajaran matematika di SMP
Negeri Mangunharjo, rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis siswa disebabkan
3
oleh siswa yang rasa ingin tahu terhadap pembelajaran matematika masih lemah, siswa
cenderung terpaku dengan contoh-contoh penyelesaian yang diberikan oleh guru, sehingga
siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal yang sedikit berbeda dengan contoh
soal yang diberikan oleh guru. Pemberian contoh dan soal-soal latihan berupa soal hitung
biasa dan jarang memberikan soal yang dalam penyelesaiannya menuntut kemampuan
berpikir kritis. Berdasarkan hal tersebut, sudah seharusnya guru mampu menciptakan suatu
kondisi belajar yang aktif, efektif, menyenangkan dan bermakna bagi siswa, serta mampu
melatih kemampuan berpikir kritis matematisnya.
Untuk mencapai harapan tersebut seorang guru harus terampil dalam memilih model
pembelajaran yang tepat dengan pokok bahasan yang disajikan dengan karakteristik siswa.
Menurut Rusman (2010:133) Model pembelajaran bukan semata-mata menyangkut
kegiatan guru mengajar akan tetapi harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sebagai
berikut: (1) tujuan pembelajaran yang hendak dicapai; (2) hubungan dengan materi
pembelajaran; (3) sudut peserta didik serta hal lain yang nonteknis.
Menurut Panner (dalam Komalasari, 2011:268) kemampuan berpikir kritis matematis
siswa dapat dilatih dan dikembangkan. Pengembangan keterampilan berpikir kritis ini
sama halnya dengan keterampilan motorik, keduanya memerlukan latihan. Salah satu
pendekatan yang terbaik untuk mengembangkan keterampilan berpikir adalah memberikan
pertanyaan-pertanyaan sambil membimbing siswa mengaitkan dengan konsep yang telah
dimilikinya. Oleh karena itu model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan adalah model
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan argument,
dan memberikan pertanyaan kepada siswa serta mampu membimbing siswa mengaitkan
dengan konsep yang telah dimilikinya. Salah satunya adalah model probing-prompting.
Probing-prompting adalah cara mengajukan serangkaian pertanyaan yang sifatnya
menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan
lama siswa dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari (Suharsono, 2015:282).
Selanjutnya, siswa mengkontruksi konsep-prinsip dan aturan menjadi pengetahuan baru,
dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Penerapan Model Probing-Prompting pada Pembelajaran Matematika Siswa Kelas VIII
SMP Negeri O Mangunharjo Tahun Pelajaran 2016/2017”.
B. LANDASAN TEORI
Menurut arti katanya, probing adalah penyelidikan dan pemeriksaan (Huda,
2013:281). Sedangkan dari segi bahasa istilah probing memiliki arti menyelidiki
4
(Suharsono, 2015:281). Probing dapat berupa pertanyaan yang bersifat menggali, dan
mengajukan pertanyaan berkelanjutan yang mendorong siswa untuk mendalami jawaban
terhadap pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan ini disebut probing question.
Probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapat jawaban lebih
dalam dari siswa yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas jawaban, sehingga
diperoleh jawaban berikutnya yang lebih jelas, akurat, dan beralasan (Huda, 2013:281).
Prompting adalah mendorong atau menuntun (Huda, 2013:281). Sedangkan dari
segi bahasa istilah prompting berarti mengarahkan dan menuntun (Suharsono, 2015:282).
Menurut Suharsono (2015:282) bentuk pertanyaan prompting dibedakan menjadi 3 macam
yaitu: (1) Mengubah pertanyaan dalam susunan kata-kata yang lebih sederhana merujuk
pada pertanyaan semula; (2) Mengajukan pertanyaan dengan kata-kata sederhana yang
sesuai dengan pengetahuan dan tingkat berpikir siswa; (3) Mereview informasi yang
diberikan dan pertanyaan yang membantu siswa untuk mengingat, dan menelaah jawaban
yang semula. Dengan kata lain prompting adalah cara lain menanggapi jawaban siswa
ketika mereka gagal menjawab pertanyan, atau jawabannya kurang sempurna.
Probing-prompting adalah cara mengajukan serangkaian pertanyaan yang sifatnya
menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan
lama siswa dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari (Suharsono, 2015:282).
Menurut Sudarti (dalam Huda, 2013:13) probing-prompting adalah suatu pembelajaran
dengan cara guru mengajukan pertanyaan untuk membimbing siswa menggunakan
pengetahuan yang ada pada dirinya agar dapat membangun sendiri menjadi pengetahuan
baru.
Langkah-langkah model probing-prompting dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Guru membagi siswa berkelompok dengan teman sebangkunya.
b. Siswa dihadapkan pada situasi baru, misalkan dengan memberikan gambar, rumus,
atau situasi lainnya yang mengandung permasalahan.
c. Guru memberikan serangkaian pertanyaan menggali secara teratur kepada siswa yang
berkaitan dengan materi ajar.
d. Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil.
e. Guru menunjuk satu siswa untuk menjawab pertanyaan. Jika jawaban tepat, Guru
meminta tanggapan siswa lain. Jika jawaban kurang tepat atau salah guru memberi
pertanyaan lain yang jawabannya petunjuk penyelesaian jawab tersebut. Dilanjutkan
5
dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir tingkat tinggi sampai dapat
menjawab sesuai dengan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) atau indikator.
f. Guru mengajukan pertanyaan akhir pada siswa berbeda untuk menekankan apakah
indikator benar-benar dipahami oleh seluruh siswa.
g. Guru memberikan kuis atau latihan mengenai materi yang dipelajari.
Berikut ini kelebihan dan kekurangan Probing-Prompting (Suharsono, 2015:282)
di antaranya adalah:
a. Kelebihan Probing-Prompting.
1) Mendorong siswa aktif berpikir.
2) Memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas.
3) Perbedaan pendapat antara siswa dapat dikompromikan ketika diskusi.
4) Pertanyaan dapat dibuat menarik, memusatkan perhatian siswa, sehingga ketika
siswa sedang ribut atau mengantuk, suasana menjadi segar, nyaman, dan hidup
lagi.
5) Berfungsi sebagai cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang
lampau.
6) Mendorong keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan
mengemukakan pendapat.
b. Kekurangan Probing-Prompting.
1) Siswa merasa takut, ketika guru kurang mendorong siswa untuk berani
bertanya atau menjawab.
2) Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berpikir dan
mudah dipahami siswa.
3) Untuk jumlah siswa yang banyak, tidak cukup waktu untuk memberikan
pertanyaan kepada tiap siswa.
4) Memerlukan waktu yang lama.
Berpikir adalah serangkaian, gagasan, idea atau konsepsi-konsepsi yang diarahkan
kepada suatu pemecahan masalah (Madawistama, 2015:249). Menurut Dewey (dalam
Komalasari, 2011:226) berpikir dimulai apabila seseorang dihadapkan pada sesuatu
masalah (perplexity). Seseorang menghadapi sesuatu yang membutuhkan jalan keluar
akan memanfaatkan pengetahuan. Dalam memanfaatkan pengetahuan tersebut akan terjadi
suatu proses tertentu di otak sehingga ditemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapinya, proses tersebutlah yang dinamakan berpikir. Proses berpikir merupakan
suatu pengalaman memproses persoalan untuk mendapatkan dan menentukan suatu
6
gagasan yang baru sebagai jawaban dari persoalan yang dihadapi (Suryosubroto,
2009:192). Menurut Sanjaya (2011:107) Dalam kegiatan belajar di kelas proses berpikir
tidak hanya pada materi pelajaran, tetapi juga diutamakan pada kemampuan siswa untuk
memperoleh pengetahuannya sendiri.
Berpikir kritis adalah sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam
kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk,
menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah (Jhonson, 2007:183). Menurut
Madawistama (2015:249) berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan dan reflektif
dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang dipercayai atau dilakukan.
Menurut Ismaimuza & Musdalifah (2013:376) kemampuan berpikir kritis yang
diukur ada lima aspek yaitu: (1) Mengidentifikasi konsep; (2) Menghubungkan antar
konsep; (3) Mengevaluasi; (4) Memecahkan masalah; (5) Menganalisis.
Dari indikator di atas penulis menyimpulkan bahwa indikator berpikir kritis yang
disesuaikan dengan pedoman skor penilaian, yaitu:
1. Mengidentifikasi, mampu menemukan dan menentukan informasi penting dalam soal
(fakta, data dan konsep) dan menghubungkan sehingga dapat menyimpulkan
penyelesaian dan mengujinya kembali
2. Menganalisis masalah, mampu merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian
sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami. Untuk menjawab aspek analisis, siswa
harus dapat menguraikan sebab-sebab dan melakukan perhitungan berdasarkan aturan
tertentu.
3. Menghubungkan, mampu untuk menghubungkan informasi penting dalam soal (fakta,
data dan konsep) sehingga benar dalam penyelesaian dan mengujinya kembali.
4. Memecahkan masalah, mampu memahami soal dengan kritis sehingga setelah kegiatan
membaca soal mampu menangkap pokok pikiran (diketahui, ditanya dan kecukupan
unsur) dan menyusun model/pola penyelesaian sebuah konsep.
5. Mengevaluasi, mampu membuat pertimbangan dan putusan tentang nilai informasi,
bahan-bahan atau metode-metode. Kemampuan evaluasi memerluhkan kemampuan
dalam pemahaman, mengaplikasi, analisis dan sintesis. Artinya tipe hasil belajar
evaluasi mensyaratkan dikuasainya tipe hasil belajar sebelumnya.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini menggunakan metode
eksperimen semu (quasi eksperiment) yang dilaksanakan tanpa adanya kelas pembanding.
7
Desain atau rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-test dan
post-test. Desain penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
𝐴 𝑂1 𝑋 𝑂2 (Arikunto, 2010:124)
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII
SMP Negeri O Mangunharjo tahun pelajaran 2016/2017. Dengan sampel kelas VIII. C
sebagai kelas eksperimen yang diberikan perlakuan pembelajaran dengan mengunakan
model probing-prompting.
Tes diberikan sebanyak dua kali, yaitu tes kemampuan awal sebelum mengikuti
pembelajaran (pre-test) dan tes kemampuan akhir sesudah mengikuti pembelajaran (post-
test). Tes yang diberikan pada penelitian ini berbentuk essay yang memuat indikator-
indikator kemampuan berpikir kritis.
Pemberian skor kemampuan berpikir kritis dimodifikasi dari Facione (Ismaimuza
& Musdhalifa, 2013:377) seperti pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Tes Berpikir Kritis Aspek yang Diukur Respon Siswa Terhadap Soal Skor
Mengidentifikasi
Tidak menjawab atau memberi jawaban yang salah. 0
Menemukan atau mendeteksi hal-hal yang penting dari soal yang
diberikan.
1
Menemukan atau mendeteksi hal-hal yang penting, tetapi membuat
kesimpulan yang salah.
2
Menemukan atau mendeteksi hal-hal penting serta membuat
kesimpulan yang benar, tetapi melakukan kesalahan dalam
menghitung.
3
Menemukan hal penting, membuat kesimpulan yang benar, serta
melakukan perhitungan yang benar.
4
Menghubungkan
Tidak menjawab, atau memberi jawaban yang salah. 0
Bisa menentukan fakta, data, dan konsep, tetapi belum bisa
menghubungkannya.
1
Bisa menentukan fakta, data, konsep, dan bisa menghubungkan dan
menyimpulkannya antara fakta , data, konsep yang didapat tetapi
salah dalam melakukan perhitungan.
2
Bisa menentukan fakta, data, konsep, dan bisa menghubungkan dan
menyimpulkannya antara fakta ,data, konsep yang didapat dan benar
dalam melakukan perhitungan.
3
Bisa menentukan fakta, data, konsep, dan bisa menghubungkan dan
menyimpulkannya antara fakta ,data, konsep yang didapat dan benar
dalam melakukan perhitungan serta menguji kebenaran dari jawaban.
4
Tidak menjawab; atau memberi jawaban yang salah. 0
Bisa menemukan fakta, data, dan konsep, tetapi belum bisa
menghubungkankannya.
1
Bisa menemukan fakta, data, dan konsep, serta bisa menghubungkan
antara fakta, data, dan konsep tetapi salah dalam perhitungannya.
2
Bisa menemukan fakta, data, dan konsep, serta bisa menghubungkan
serta benar dalam perhitungannya.
3
8
Menganalisis Bisa menemukan fakta, data, dan konsep, serta bisa menghubungkan
serta benar dalam melakukan perhitungannya, dan mengecek
kebenaran hubungan yang terjadi.
4
Memecahkan
masalah
Tidak menjawab, atau memberi jawaban yang salah. 0
Bisa menentukan informasi dari soal yang diberikan, tetapi belum
bisa memilih informasi yang penting.
1
Bisa menentukan informasi dari soal yang diberikan dan bisa
memilih informasi yang penting.
2
Bisa menentukan informasi dari soal yang diberikan, bisa memilih
informasi yang penting dan memilih strategi benar dalam
menyelesaikannya, tetapi melakukan kesalahan dalam melakukan
perhitungannya.
3
Bisa menentukan informasi dari soal yang diberikan, bisa memilih
informasi yang penting serta memilih strategi yang benar dalam
menyelesaikannya, dan benar dalam melakukan perhitungannya.
4
Mengevaluasi
Tidak menjawab atau memberi jawaban yang salah. 0
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanya, dan kecukupan unsur)
dengan benar tetapi model matematika salah.
1
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanya, dan kecukupan unsur)
dengan benar dan membuat model matematika dengan benar, tetapi
penyelesaiannya salah.
2
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanya, dan kecukupan unsur)
dengan benar dan membuat model matematika dengan benar serta
benar dalam menyelesaikannya.
3
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanya, dan kecukupan unsur)
membuat dan menyelesaikan model matematika yang benar, dan
mengecek kebenaran jawaban yang diperoleh.
4
Sumber: Ismaimuza & Musdhalifa (2013) dimodifikasi dari Facione (1994)
klasifikasi rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada table 3.3.
Table 3.3 Klasifikasi nilai rata-rata Kemampuan Berpikir Kritis Persentase kemampuan berpikir kritis Interprestasi
81< x ≤ 100 Sangat baik
72 < x ≤ 81 Baik
44 < x ≤ 72 Cukup
25 < x ≤ 44 Kurang
0 < x ≤ 25 Sangat Kurang
Sumber: dimodifikasi dari Syahbana (2012:23)
Teknik analisis data dalam penelitian ini terhadap data kemampuan berpikir kritis
matematis adalah menghitung skor rata-rata dan simpangan baku, uji normalitas data, uji
homogenitas, dan uji hipotesis.
Sebelum instrumen digunakan, instrumen diuji coba terlebih dahulu untuk
mengetahui kualitas dan mutu soal yang digunakan sebagai alat pengumpul data. Dari
tujuh butir soal terdapat enam soal yang valid dan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar
0,77. Hal ini berarti soal tes tersebut memiliki derajat reliabilitas tinggi, sehingga dapat
dijadikan alat ukur.
9
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil perhitungan data tes awal dari 30 siswa yang mengikuti tes awal
diperoleh nilai tertinggi adalah 16 dan nilai terendah adalah 5 dengan kemampuan berpikir
kritis siswa rata-rata 9,66%. Dari 30 siswa yang mengikuti pre-test, 100% siswa atau
seluruh siswa mendapatkan nilai yang masuk dalam katagori kemampuan berpikir kritis
sangat kurang.
Berdasarkan hasil perhitungan data tes akhir diperoleh data bahwa dari 30 siswa
yang mengikuti post-test, nilai tertinggi adalah 82 dan nilai terendah adalah 35 dan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah diberi perlakuan pembelajaran
menggunakan model probing-prompting adalah 65,98%. Dari 30 siswa yang mengikuti
post-test terdapat 4 siswa atau 13,33% siswa yang kemampuan berpikir kritis
matematisnya termasuk dalam kategori sangat baik, 19 siswa atau 63,33% siswa
berkategori baik, 6 siswa atau 20% siswa termasuk dalam kategori kemampuan berpikir
kritis cukup baik dan 1 siswa atau 3,33% siswa termasuk dalam kategori kurang baik.
Berdasarkan data tes akhir dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa setelah diberikan perlakuan pembelajaran menggunakan
model probing-prompting. Dari rata-rata kemampuan berpikir kritis tes awal sebesar
9,66% setelah diterapkan pembelajaran menggunakan model Probing-Prompting sebesar
65,98%. Sehingga rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa sebesar 56,32%.
Berdasarkan analisis data hasil post-test menunjukkan nilai thitung > ttabel (2,9326 >
1,699) artinya H0 ditolak dan Ha diterima.Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini dapat diterima kebenarannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
“kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP Negeri O Mangunharjo tahun pelajaran
2016/2017 setelah diterapkan Model Probing-prompting secara signifikan dalam kategori
baik”.
Pembahasan
Pada pelaksanaan penelitian yang diawali dengan kegiataan pre-test, Dari hasil
analisis kemampuan data awal siswa diperoleh rata-rata nilai pre-test sebesar 9,66%. Pada
tes awal ini terlihat kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang sangat kurang, yaitu
dari 30 siswa yang mengikuti tes awal, 100% siswa atau seluruh siswa tersebut memiliki
kemampuan berpikir kritis matematis sangat kurang. Setelah diberikan pre-test, dilanjutkan
dengan pembelajaran dengan menggunakan model probing-prompting.
10
Sebelum pertemuan pertama dilaksanakan, peneliti mengadakan sosialisasi tentang
pembelajaran matematika dengan menggunakan model probing-prompting. Sosialisasi ini
diperlukan karena model probing-prompting ini belum pernah diterapkan sebelumnya.
Selain itu peneliti sebelum kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama peneliti
memberikan jam pelajaran tambahan atau Les matematika. Les tersebut diberikan dengan
pembelajaran secara konvensional dengan materi relasi dan fungsi yang meliputi
pengertian relasi, menyatakan relasi, pengertian fungsi, notasi fungsi dan nilai fungsi serta
menyatakan fungsi. Les matematika ini diperlukan karena pembelajaran model probing-
prompting ini merupakan pembelajaran yang bersifat pengulangan dan berfungsi sebagai
cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang lampau.
Sebelum pertemuan pertama dilaksanakan, peneliti mengadakan sosialisasi tentang
pembelajaran matematika dengan menggunakan model probing-prompting. Sosialisasi ini
diperlukan karena model probing-prompting ini belum pernah diterapkan sebelumnya.
Selain itu peneliti sebelum kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama peneliti
memberikan jam pelajaran tambahan atau Les matematika. Les tersebut diberikan dengan
pembelajaran secara konvensional dengan materi relasi dan fungsi yang meliputi
pengertian relasi, menyatakan relasi, pengertian fungsi, notasi fungsi dan nilai fungsi serta
menyatakan fungsi. Les matematika ini diperlukan karena pembelajaran model probing-
prompting ini merupakan pembelajaran yang bersifat pengulangan dan berfungsi sebagai
cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang lampau.
Pertemuan pertama Kegiatan pembelajaran menggunakan model probing-
prompting ini dilakukan tanggal 9 September 2016 proses pembelajaran di kelas
eksperimen jam pembelajaran pada kelas VIII.C sebanyak dua jam pembelajaran
dimaksimalkan peneliti untuk melakukan perlakuan pertama pada materi pengertian relasi
dan menyatakan relasi. Pada pelaksanaan pembelajaran, siswa terlihat tegang dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru karena siswa tidak bisa menjawab. Guru
memiliki kendala untuk menuntun siswa mendapatkan jawaban yang benar, karena siswa
kurang menguasai materi prasyarat, yaitu materi himpunan, anggota himpunan, dan
himpunan bagian dari suatu himpunan. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan siswa
menjawab pertanyaan guru mengenai pengertian relasi dan cara menyajikan relasi, yang
bersifat menggali dan menuntun, sehingga kondisi kelas menjadi tidak kondusif karena
siswa sibuk bertanya dan berdiskusi dengan siswa dari kelompok lain.
Beberapa siswa juga terlihat tidak membantu teman sekelompoknya dalam
berdiskusi karena sibuk melakukan kegiatan yang tidak berkaitan dengan pembelajaran.
11
Untuk mengatasinya, guru berkeliling kelas untuk mengawasi jalannya diskusi dan
membantu siswa yang kesulitan. Selain itu waktu yang terbatas, menyebabkan pembahasan
materi kurang maksimal. Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan rendah tidak dapat
memahami materi yang telah dibahas selain itu juga siswa kesulitan dalam mengerjakan
latihan yang memuat indikator kemampuan berpikir kritis terutama pada indikator
mengevaluasi, menghubungkan dan memecahkan masalah. Hal ini terjadi karena masalah
yang disajikan pada model probing-prompting dengan kemampuan berpikir kritis
merupakan masalah yang membutuhkan kemampuan berpikir cukup tinggi, sehingga
umumnya yang dapat mengikuti model pembelajaran dan kemampuan berpikir kritis
tersebut dengan baik adalah siswa yang tergolong berkemampuan tingkat tinggi pula.
Namun peneliti selalu berusaha untuk meminimalisirkan kendala-kendala tersebut dengan
mengevaluasi tiap pertemuan, seperti mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan kepada siswa.
Pada pertemuan kedua tanggal 15 September 2016, siswa telah mampu mengikuti
pembelajaran dengan baik. Hal ini terbukti makin banyaknya siswa yang menyampaikan
pendapat dan siswa telah mampu menjawab pertanyaan yang diajukan walaupun siswa
harus banyak diberikan pertanyaan yang sifatnya menuntun terlebih dahulu. siswa mulai
mampu menyelesaikan soal-soal latihan yang memuat indikator kemampuan berpikir kritis,
walaupun dalam penyelesaian soal latihan tersebut masih ada kekeliruan terutama untuk
indikator mengevaluasi.
Pada pertemuan ketiga dilaksanakan pada tanggal 16 September 2016, pada
pertemuan ketiga ini hambatan-hambatan yang terjadi pada pertemuan pertama dan kedua
perlahan-lahan mulai mengalami perubahan yang baik. Pada pertemuan ini siswa sudah
mulai terbiasa belajar dengan menggunakan model probing-prompting. Siswa sudah dapat
bekerjasama dengan baik dalam berdiskusi kecil untuk merumuskan jawaban yang
diajukan oleh peneliti, siswa juga sudah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti siswa-siswa lain pun sudah aktif menyampaikan pendapat mereka.
Soal-soal latihan yang memuat indikator berpikir kritis, yang meliputi mengidentifikasi,
menganalisis, menghubungkan, memecahkan masalah, dan mengevaluasi juga sudah bisa
diselesaikan tetapi masih ada penjelasan-penjelasan yang masih belum tepat. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa ada peningkatan dari
pertemuan pertama dan kedua.
Setelah diberikan perlakuan menggunakan model probing-prompting pada kelas
VIII.C diberikan tes akhir untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa
12
setelah adanya perlakuan dengan model probing-prompting. Berdasarkan hasil tes akhir
rata-rata nilai yang diperoleh siswa yaitu 65,98%. Pada tes akhir ini menunjukkan
kemampuan kemampuan berpikir kritis matematis dari 30 siswa terdapat 4 atau 13,33%
siswa yang memiliki kemampuan kemampuan berpikir kritis matematis yang sangat baik,
19 atau 63,33% siswa termasuk dalam kategori baik, 6 siswa atau 20% siswa yang
memiliki kemampuan berpikir kritis matematis cukup baik dan 1 siswa atau 3,33%
termasuk dalam kategori kurang baik. Jadi, terdapat peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematis pada tes awal dari rata-rata sangat kurang yaitu 9,66% dan pada tes akhir
rata-rata kemampuan berpikir matematis termasuk dalam katagori baik yaitu 65,98%
sehingga peningkatan rata-rata nilai tersebut adalah 56,32%. Persentase indikator
kemampuan berpikir kritis hasil post-test setelah diterapkan model probing-prompting
kelas esperimen dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Siswa No Indikator Rata-rata Persentase (%)
1 Mengidentifikasi 2,98 74,13%
2 Menganalisis 2,60 65%
3 Menghubungkan 2,51 62,71%
4 Memecahkan Masalah 2,42 60,56%
5 Mengevaluasi 1,98 49,58%
Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat bahwa indikator mengidentifikasi mendapat
persentase sebesar 74,13% dan termasuk dalam kategori baik, dengan pencapaian
persentase yang tertinggi. Indikator mengidentifikasi merupakan indikator yang
memerlukan kemampuan berpikir dengan tingkatan yang rendah. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Benyamin S Bloom (Purwanto, 2010:50) bahwa indikator mengidentifikasi
termasuk dengan kategori berpikir tingkat C1 (Pengetahuan) yang merupakan kemampuan
paling rendah tetapi paling dasar dalam kawasan kognitif. Pada model probing-prompting
aktifitas terpusat pada kegiatan guru yang menghadapkan siswa pada situasi baru, misalkan
dengan memberikan gambar, rumus, atau situasi lainnya yang mengandung masalah dan
memberikan serangkaian pertanyaan menggali secara teratur kepada siswa. Aktifitas
tersebut menuntut siswa untuk mengingat kembali pengetahuan lama siswa, sehingga dapat
melatih kemampuan berpikir kritis dalam mengidentifikasi yang termasuk kategori berpikir
tingkat C1.
Pada indikator menganalisis dengan tingkat berpikir C4 (menganalisis) didapat
persentase sebesar 65% artinya kemampuan berpikir kritis matematis pada indikator
menganalisis termasuk dalam kategori baik. Untuk indikator menghubungkan dengan
13
tingkat berpikir C5 (sintesis) didapat persentase sebesar 62,71%, artinya kemampuan
berpikir kritis matematis pada indikator menghubungkan termasuk dalam kategori baik.
Pada indikator memecahkan masalah yang termasuk tingkat berpikir C4 (menganalisis)
mendapatkan hasil yang baik dengan persentase sebesar 60,56%, dan termasuk dalam
kategori baik. Aktivitas diskusi kecil yang dilakukan siswa untuk merumuskan jawaban
pada kegiatan model probing-promting dapat menumbuhkan dan mengaktifkan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam menganalisis, menghubungkan, dan
memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan setelah siswa menangkap ide yang dipelajari
melalui pengamatan yang dilakukan berdasarkan apa yang peneliti berikan misal gambar,
rumus atau lainnya, dengan kelompok diskusinya siswa dituntut untuk menganalisis
pengamatannya lalu menghubungkan informasi yang baru dengan skema pengetahuan
yang telah ada, setelah memahami soal dan menangkap pokok pikiran siswa menyusun
sebuah pola penyelesaian untuk memecahkan masalah sehingga aktifitas tersebut dapat
menunjang kemampuan berpikir tingkat C4 (menganalisis) dan C5 (mensintesis).
Sedangkan pada indikator mengevaluasi mendapatkan hasil persentase terendah
yaitu 49,58% dengan kategori cukup. Indikator mengevaluasi ini termasuk dalam kategori
berpikir tingkat C6 (mengevaluasi) yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Benyamin S Bloom (Purwanto, 2010:50) yang berpendapat bahwa mengevaluasi
merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Oleh karena itu siswa masih
kesulitan untuk mencapai kategori baik pada indikator mengevaluasi ini, sehingga masih
memerlukan banyak latihan untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Aktifitas siswa
memberikan jawaban dan siswa lain memberikan tanggapan pada kegiatan model probing-
promting dapat menumbuhkan dan mengaktifkan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa dalam mengevaluasi. Hal ini dikarenakan saat siswa mengungkapkan pendapat dan
mempertahankan pendapat, siswa dilatih untuk menilai dan meyakini hasil pekerjaan
mereka benar atau tidak.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis uji t dengan nilai post-test menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VIII.C SMP Negeri O.
Mangunharjo setelah diterapkan model probing-promting secara signifikan dalam kategori
baik. Hal ini ditunjukkan dari hasil tes akhir diperoleh thitung = 2,9326. dengan derajat
kebebasan dk = n – 1 = 30 – 1 = 29, = 0,05 diperoleh ttabel = 1,699 sehingga thitung > ttabel
(2,9326 > 1,699) maka Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis diterima,
kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VIII SMP Negeri O Mangunharjo tahun
pelajaran 2016/2017 setelah diterapkan pembelajaran dengan model Probing-Prompting
14
secara signifikan dalam kategori baik. Hal tersebut disebabkan karena pembelajaran
matematika dengan menggunakan model Probing-Prompting membuat siswa lebih aktif,
mendorong keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan
pendapat, memberi kesempatan siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas,
dan dengan menggunakan model Probing-Prompting bahan pembelajaran yang lampau
dapat ditinjau kembali (review).
E. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VIII SMP Negeri O Mangunharjo tahun
pelajaran 2016/2017 setelah diterapkan pembelajaran dengan model Probing-Prompting
secara signifikan dalam kategori baik. Setelah pembelajaran menggunakan model Probing-
Prompting pada kelas eksperimen rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis matematis
sebesar 65,98 dengan katagori baik.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar kemampuan berpikir kreatif
matematika siswa meningkat, dapat dilaksanakan dengan model pembelajaran probing-
prompting. Hal ini dikarenakan model pembelajaran probing-prompting membuat siswa
lebih aktif dalam proses kegiatan belajar sehingga dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Zubaidah. 2015. Mengungkap Seni Bermatematika dalam Pembelajaran. Suska
Journal of Mathematics Education. Vol. 1 No. 1 Hal 60–76.
Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajaran Offset.
Husnidar, Ikhsan & Rizal. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa. Jurnal
Didaktik Matematika. Vol. 1 No. 1 Hal 71–82.
Ismaimuza, Dasa & Musdalifah, Selvi. 2013. Pengembangan Instrumen Kemampuan
Berpikir Kritis Untuk Siswa SMP. Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Matematika II. ISBN 978-602-8824-49-1. Hal 375-378.
Johnson, Elaine. 2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar
Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC.
Komalasari, Kokom. 2011. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT
Refika Aditama.
15
Madawistama, Tirto, S. 2015. Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kreativitas
Matematik Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori Valsiner. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi. ISBN 2338-8315. Hal 257–
264.
Purwanto. 2010. Evaluasi Hasil belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusman. 2010. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Keprofesionalan Guru.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, H. Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Suharsono. 2015. Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematik Siswa
SMA Menggunakan Model Probing Prompting. Jurnal Ilmu Pendidikan dan
Pengajaran. Vol. 2 No. 03 Hal 278–289.
Suryosubroto. 2009. Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Syahbana, Ali. 2012. Pengembangan Perangakat Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP. Jurnal
Edumatica. Vol. 02 No. 02 Hal 17–26.
Yulianti. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Peluang Berbasis Reciprocal
Teaching untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMK Negeri
3 Lubuklinggau. Jurnal Pendidikan Matematika. Vol 4 No 1 Hal 97–113.
Recommended