View
142
Download
10
Category
Preview:
DESCRIPTION
Peritonitis
Citation preview
DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSUD KARAWANG
PERITONITIS
Pembimbing : dr. Ade Sigit Mayangkoro, Sp.B
Disusun oleh :
Tri Mustikawati
030.08.242
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
CO-ASSISTANT ILMU BEDAH RSUD KARAWANG
PERIODE 8 OKTOBER 2012- 15 DESEMBER 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri, organisme berasal dari
penyakit saluran gastrointestinal atau, pada wanita, dari organ reproduktif internal.. Bakteri
paling umum yang terlibat adalah E.coli, Klebsiella, Proteus, dan Pseudomonas . Inflamasi dan
ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah
appendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonotis juga dapat
dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian
belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian
bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke
dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia
Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus
abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan
peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya
yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.(1)
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan
dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang
aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa
superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini
memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan
pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan
n.lumbalis I.
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap
yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran
yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang
meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan
ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di
tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian
peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.(2)
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas,
pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada
usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh
darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus
besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti
celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi
lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan
melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus
yang terentang antara lambung dan liver.
II.2. Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput
peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis. Seringkali disebabkan dari
penyebaran infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah
perforasi dari organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar
dari organ lain yang menjalar melalui darah.(3)
II.3. Etiologi
Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke
dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,
intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat disebabkan
oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang
mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana vaskular
(trombosis dari mesenterium/emboli).(4)
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis), ruptur saluran
cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, seperti Escherichia coli atau Bacteroides
sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar.
II.4. Klasifikasi
Infeksi peritoneal diklasifikasikan menjadi primer (spontan), sekunder (berhubungan
dengan proses patologi yang berlangsung di organ dalam), atau tersier (infeksi berulang yang
terjadi setelah terapi yang adekuat). Infeksi intaabdomen dapat dibagi menjadi lokal (localized)
atau umum (generalized/ infektif), dengan atau tanpa pembentukan abses.
Penyebab terbanyak dari peritonitis primer adalah peritonitis yang disebabkan karena
bakteri yang muncul secara spontan (Spontaneus Bacterial Peritonitis) yang sering terjadi karena
penyakit hati kronis.(5) Peritonitis primer dibedakan menjadi : 1) Spesifik yaitu Peritonitis yang
disebabkan oleh infeksi kuman yang spesifik seperti kuman Tb. 2) Non spesifik yaitu Peritonitis
yang disebabkan oleh infeksi kuman yang non spesifik seperti pneumonia. Infeksi peritonitis
relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Sekitar 10-30%
pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan berakhir menjadi SBP. Penyebab lain
yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan
duodenum, perforasi kolon akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker, dan strangulasi kolon
asendens.
Penyebab peritonitis
Area sumber Penyebab
Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,
tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan apendiks Iskemia kolon
Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma
Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous
Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi
intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik.
Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi
bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula
penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan
asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites,
semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan
opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia
coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya
sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%,
jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5%
kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi
campur beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan
oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri
rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan
SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran
cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula
terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan
ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung
gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami
peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk
membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan
pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang
tepat untuk pasien seperti ini (Mansjoer, 2000).
II.6 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Terbentuk kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis
generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai
timbul ileus paralitik ; usus kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguuria, dan mungkin syok.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.[2] Jika bahan
yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan
menimbulkan peritonitis generalisata sehingga aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan syok. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat menimbulkan
terjadinya obstruksi usus.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau perforasi tumor. Terjadi
proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan.
Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti
oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus
II.7 Gejala Klinis
Manifestasi utama dari peritonitis adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi
nyeri dan nyeri tekan bergantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya
bersifat local atau umum. Pada peritonitis local seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa
komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami
peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri
tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul(rebound). Ketegangan dinding perut
merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat local atau umum. Pada
awalnya mungkin masih ada peristaltik usus tetapi biasanya akan hilang sejalan dengan
berkembangnya penyakit dan suara usus menghilang. Hipotensi, takikardi, oligouria,
leukositosis, demam, muntah adalah kelainan-kelainan yang sering ditemukan terutama pada
peritonitis umum.
Nyeri perut yang terjadi merupakan nyeri yang somatik. Nyeri somatik terjadi karena
rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf tepi, misalnya rangsangan pada peritoneum
parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri yang timbul dapat lokal, dan dapat pula merata
pada seluruh perut tergantung luasnya rangsangan pada peritoneum. Karena rangsangan tersebut
berlangsung terus pada peritoneum, rasa nyeri dirasakan terus menerus.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan secara tepat
letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan,
rangsang kimiawi, atau proses radang.[3]
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsangan peritoneum dan
menyebabkan nyeri. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum dapat
menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Setiap gerakan penderita, baik berupa gerak tubuh
maupun gerak napas yang dalam atau batuk, juga akan menambah rasa nyeri sehingga penderita
gawat perut yang disertai rangsang peritoneum berusaha untuk tidak bergerak, bernapas dangkal,
dan menahan batuk.[3]
II.7. Diagnosis
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali. Diagnosis
peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.[5]
Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan pasien datang
dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya,
nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan
kemudian infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi
(peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut,
iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul langsung secara umum/general sejak dari awal.
Mual dan muntah biasanya sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat
terjadi karena gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder. [6] Anamnesis mengandung
data kunci yang dapat mengarahkan diagnosis gawat abdomen. Sifat, letak dan perpindahan nyeri
merupakan gejala yang penting. Demikian juga muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya
syok, nyeri tekan, defans muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai gejala dan
tanda penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan perjalanan selanjutnya sangat penting untuk
menegakkan diagnosis.
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Pasien
tampak kesakitan, gambaran facies Hippocrates (tulang pipi tampak menonjoldengan pipi yang
cekung), Pernafasan costal, cepat dan dangkal. Pernapasan abdominal tidak tampak karena
dengan pernapasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum. Perut Distensi.
Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul
gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan
hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan
yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif,
pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan
dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan
ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati
adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut
membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase.
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. [2]
Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit di
abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuik pasien. Auskultasi
dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis
umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena
peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.[6]
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu
dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai
pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans
muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale
(nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan
ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas
atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, akibat dari
perforasi usus yang berisi udara sehingga udara akan mengisi cavum peritoneum sehingga pada
perkusi hepar terjadi perubahan suara redup menjadi timpani dan perkusi abdomen hipertimpani
karena adanya udara bebas tadi.Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus
dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan
diagnosis. Pada pemeriksaan rectal toucher akan didapatkan tonus m.sphingter ani yang
menurun, ampula recti berisi udara dan nyeri pada semua arah.
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan
informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah
panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general
peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus,
karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus
ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan
pada alat kelamin dalam perempuan.[3]
Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah mengambil keputusan,
misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses. Kadang perlu juga dilakukan pemeriksaan
Roentgen dan endoskopi. Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai
hemoglobin dan hemotokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi.
Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan ( leukositosis). Hitung trombosit
dan dan faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu
menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat abdomen.
Pencitraan diagnostik yang perlu dilakukan biasanya foto abdomen 3 posisi (supine,
upright and lateral decubitus position) untuk memastikan adanya tanda peritonitis, udara bebas,
obstruksi, atau paralisis usus. Pemeriksaan ultrasonografi sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis kelainan hati, saluran empedu, dan pankreas. [3]
Kadang-kadang, aspirasi cairan dengan jarum (peritoneal fluid culture) dapat digunakan
untuk pemeriksaan laboratorium. Dimana cairan yang diambil diperiksa untu mengetahui
organisme penyabab, sehingga dapat diketahui antibiotik yang efektif yang dapat digunakan.
Prosedur ini cukup sederhana, dan dapat dilakukan pada saat pasien berdiri atau pun berbaring.[6]
Dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan iritasi peritoneal, pemeriksaan fisik
secara komplit, adalah penting. Proses penyakit di thoraks dengan iritasi diafragma (misal:
emyema), proses ekstra peritoneal (misal: pyelonefritis, cystitis, retensi urin) dan proses pada
dinding abdomen (misal: infeksi, hematoma dari rektus abdominis) dapat menimbulkan gejala
dan tanda yang serupa dengan peritonitis. Selalu periksa pasien dengan hati-hati untuk
menyingkirkan hernia inkarserat yang juga menimbulkan gejala serupa.
II.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan memuasakan
pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.7
Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1) kontrol infeksi
yang terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3) memperbaiki fungsi organ, dan (4)
mengontrol proses inflamasi.9
Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis.
Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain:
1. Pre Operasi
Resusitasi cairan
Oksigenasi
NGT, DC
Antibiotika
Pengendalian suhu tubuh
2. Durante Operasi
Kontrol sumber infeksi
Pencucian rongga peritoneum
Debridement radikal
Irigasi kontinyu
Ettapen lavase/stage abdominal repair
3. Pasca Operasi
Balance cairan
Perhitungan nutrisi
Monitor vital Sign
Pemeriksaan laboratorium
Antibiotika
II.9. Prognosis
Angka mortalitas umumnya adalah 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis, antara
lain:
1. jenis infeksinya/penyakit primer
2. durasi/lama sakit sebelum infeksi
3. keganasan
4. gagal organ sebelum terapi
5. gangguan imunologis
6. usia dan keadaan umum penderita
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%. Pasien
dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses
abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang
jelek.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004.
2. Principles of Surgery/ editor, Seymour I. Schwartz .[et al.], —9th ed. McGraw-Hill, A
Division of The McGraw-Hill Companies. An Enigma Electronic Publication, 2010.
3. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit =
Pathophysiology.clinical concepts of disease processes/Sylvia Anderson Price, Lorraine
McCarty Wilson; alih bahasa, Bram U. Pendit… [et.al] ; editor, Huriawati Hartanto. –Ed.6.-
Jakarta: EGC, 2005.
4. Buku ajar bedah/ David C. Sabiston; alih bahasa, Petrus Andrianto, Timan I.S.; Editor,
Jonatan Oswari—Jakarta : EGC.
5. Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus
http://medlineplus.gov/ accessed on dec 1st 2012
6. Genuit, Thomas,...[et al], 2004. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Instant Access
to The Minds of Medicine http://www.emedicine.com/ accesed on dec 1st 2012
7. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002311/Peritonitis. accessed on dec 2nd
2012
8. http://www.Universityof Maryland medical centre. edu/altmed/articles/peritonitis-000127.htm,
accessed on dec1 st 2012
Recommended