View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Tegangan: Sosok/ Artikulasi
Pameran Seni Rupa Dosen ISI Yogyakarta - ITB: "Tegangan:
Sosok/Artikulasi". Diterbitkan oleh UPT Galeri Seni ISI
Yogyakarta. Dicetak di Yogyakarta, Indonesia, September 2013.
UPT Galeri ISI Yogyakarta, Jalan Parangtritis Km 6,5, Sewon,
Bantul, Yogyakarta. www.isi.ac.id.
3
PengantarKepala UPTGaleri SeniISI Yogyakarta
Perjalanan seni rupa Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan hadirnya dua perguruan tinggi seni yang berkembang di pulau Jawa yakni Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI) yang pada awal berdirinya 1950 dikenal sebagai Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan pada tahun 1949 berdiri Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan Fakultas Seni Rupa dan Desainnya. Kedua perguruan ini menghasilkan para pemikir, praktisi seni dan alumni yang memiliki keberagaman dan keunikannya tersendiri. Sudah barang tentu produk pendidikan dan lulusan yang dihasilkan dari masing-masing pendidikan seni ini salah satunya disebabkan oleh kompetensi dan kepakaran para pengajarnya.
Tidak dapat dipungkiri, sejak awal ada semacam kompetisi (seni dan wacana) yang kuat dan militan dari kedua perguruan ini. Dikatakan pula bahwa ITB lekad dengan istilah sebagai kampus laboratorium Barat yang disebabkan penerapan pengetahuan dan teori dari Barat yang kuat dan ketat dalam proses pengajarannya. Sedangkan ASRI (ISI Yogyakarta) disebutkan sebagai kampus kerakyatan yang disebabkan
proses pembelajarannya semacam kesanggaran. Selain itu secara kekaryaan juga memiliki perbedaan yang mencolok. Di ITB Bandung, pada awalnya karya seni yang berkembang dan menjadi ikonik yang kuat adalah karya-karya abtraksi sedangkan di Yogyakarta karya yang menggejala kuat adalah realistik. Berpuluh tahun para pengajar dari masing-masing perguruan saling memperkuat positioning kesenian kedua kubu dengan pencapaian kesenian dan wacana seni yang terus berkembang. Pameran ini menjadi penting dilaksanakan dan menarik dicermati, karena baru pertama kali pengajar seni dari masing-masing Institusi Seni ini secara khusus dihadirkan dalam satu ruang pamer dan kini dihadirkan di Galeri Seni ISI Yogyakarta.
Nah, bagaimana posisi pergulatan estetika tersebut saat ini setelah masing-masing dosen senior yang menjadi garda depan dialektika seni rupa Indonesia tersebut banyak yang sudah pensiun dan almarhum? Apakah masih ada pencirian yang khas dan partikuler atas posisi wacana kekaryaan Bandung dan Yogyakarta yang nampak dari karya-karya seni para pengajarnya? Barangkali inilah sisi yang menarik yang bisa diungkap oleh pameran seni rupa yang bertajuk “Tegangan: Sosok/Artikulasi” untuk menandai lagi
proses perubahan dan perkembangan kekaryaan dan pemikiran antara FSR ISI Yogyakarta terwakili melalui karya pengajar dari Jurusan Seni Murni (prodi Lukis, Patung, dan Grafis) dan FSRD ITB melalui karya-karya penciptaan terbaik para staf pengajarnya (studio Lukis, Patung, Grafis, Keramik, dan Intermedia). Semoga pembacaan yang dilakukan secara kuratorialship akan memberikan cakrawala baru memandang hubungan dialektika seni yang berkembang di antara karya seni modern hingga kontemporer dari dosen-dosen termutakhir FSR ISI Yogyakarta dan FSRD ITB serta timbal baliknya terhadap kontribusi perkembangan akademik bagi mahasiswa dan bagi sesama pengajar.
Galeri Seni ISI Yogyakarta secara khusus mengucapkan terima kasih atas partisipasi para pengajar baik dari FSR ISI Yogyakarta dan FSRD ITB. Kepada panitia yang telah bekerja keras terwujudnya perhelatan seni ini, saya ucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya dalam membagi waktu sebagai dosen, perupa, dan panitia pameran. Untuk para hadirin pecinta seni, selamat mengapresiasi karya-karya yang tergelar di Galeri Seni ISI Yogyakarta.
Yogyakarta, 5 September 2013
I Gede Arya Sucitra, S.Sn., M.A. AC Andre Tanama, "After Beuys", 2013,
85 x 85 x 125 cn, painted fiberglass
Asmudjo Jono
Irianto, "Artsy
Fartsy #11", 2011-
2013, 1,5 x 2 m,
acrylic on canvas
(crop)
5
Seni dan Perguruan Tinggi Seni dalam Tekanan Mekanisme PasarA. Rikrik Kusmara
“The art market is a complex beast that is mutating all the time”. (Sarah Thornton, 2008)
Seni Rupa paSca RefoRmaSi
Perkembangan medan sosial seni rupa Indonesiai dekade 2000-an menunjukkan perubahan arah perkembangan baru yang berbeda dengan era 1990-an. Arus utama seni rupa ‘sosial politik’ meredup seiring dengan tumbangnya Orde Baru dan lahirnya kecenderungan seni rupa kontemporer pasca Era Reformasi. Babak sejarah baru ini secara ringkas dapat digambarkan dalam beberapa indikasi sbb:
1. Perubahan sosial politik pasca reformasi berdampak pada perkembangan ekonomi yang lebih liberal, salah satunya mendorong peluang ekonomi di bidang seni rupa. Peluang di awal tahun 2000 ini seiring dengan pasar seni Asia yang sedang berkembang, boom seni rupa kontemporer Cina akibat ekonomi Cina yang tumbuh pesat, dan meledaknya
pasar seni rupa kontemporer Cina di balai lelang dunia. Perkembangan tersebut juga membawa sentimen baru perdagangan karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia bersamaan dengan masuknya karya-karya seniman Cina ke dalam pasar domestik. Hal tersebut membuat gairah pasar seni domestik meningkat, dan perdagangan seni rupa kontemporer mendorong sirkulasi produksi artistik domestik - mulai dari meningkatnya nilai jual karya seniman-seniman yang menonjol di era 1990-an, hingga didorongnya perupa-perupa muda menjadi ikon baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia
2. Dorongan kuat peluang pasar seni rupa yang tinggi baik akibat sentimen pasar maupun daya beli kolektor domestik yang kuat, membuat peluang untuk mengembangkan infrastruktur galeri sebagai pintu bagi apresiasi dan distribusi karya meningkat secara statistik sejak awal tahun 2000 hingga tahun 2010.
3. Sentimen pasar yang menguat dan persaingan pelaku medan sosial seni yang meningkat drastis membutuhkan justifikasi dan media promosi yang memadai. Kebutuhan tersebut mendorong kemunculan media publikasi dalam bentuk majalah seni rupa di tahun 2000-an, dan pemanfaatan berbagai media informasi untuk mendukung pola distribusi.
4. Mekanisme pasar yang dikelola dengan agresif oleh pihak swasta tidak diikuti dengan regulasi maupun inisiatif Pemerintah. Akibatnya perkembangan infratsruktur Pemerintah tidak dapat ikut aktif mendorong perkembangan seni ‘versi negara’, yang dapat mendorong lebih luas perkembangan seni rupa.
“If we place the Indonesian art world against an ideal Western template, there aresuperficial similarities but closer examination indicates the absence of any workablepublic institutions supporting a contemporary art culture or the development of amodern art historical consciousness.” (Ingham, 2007)
5. Perkembangan seni rupa kontemporer yang banyak dikembangkan sektor swasta yang berorientasi pada pasar, cenderung memperkuat elit seni rupa yang banyak berpusat di kota-kota besar, khususnya Jakarta.
mekaniSme paSaR dan dampaknya dalam melihat fenomena Seni
Pada tahun 1990 kritikus seni rupa Sanento Yuliman menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Boom!, Kemana Seni Lukis Kita?”. Dalam makalah yang disampaikan pada sebuah acara saresehan di Surabaya tersebut Sanento memaparkan sebuah fenomena ‘ledakan’ pasar seni lukis modern di akhir tahun 80-an yang dipicu oleh perkembangan ekonomi dan pertumbuhan infrastruktur yang mengakibatkan penjualan seni lukis meningkat drastis. Dalam pemaparannya Sanento menjelaskan bagaimana medan sosial seni (Sanento pada saat itu menyebutnya medan seni lukis) berkembang sekaligus menunjukkan kemunduran. Perkembangan infrastruktur seni seperti galeri, kolektor, penjualan seni dengan harga tinggi yang memihak jenis seni lukis tertentu, menyebabkan seni lukis mengalami pemiskinan dan pendusunan (Yuliman, 2001).
Pemikiran Sanento yang berusia hampir dua dekade lalu tentang situasi boom seni lukis tersebut, memiliki banyak kemiripan dalam konteks seni rupa kontemporer (pasca reformasi). Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat, infrastruktur yang berkembang, mendorong terjadinya boom seni rupa kontemporer. Boom seni rupa kontemporer pada faktanya adalah juga boom seni lukis. ‘Ledakan’ aktivitas seni rupa kontemporer hemat saya pada dasarnya adalah sirkulasi pasar seni lukis, dengan
rekor-rekor harga penjualan yang tinggi.
Berkembangnya seni rupa kontemporer Indonesia tidak lepas dari kepercayaan bahwa seni lukis berfungsi sebagai penyangga utama ekonomi seni. Nilai signifikan dan ‘likuiditas’ seni lukis menjadi pendukung seniman kontemporer dalam menghadirkan proyek karya-karya eksploratifnya melalui media non lukis baik secara langsung hadir bersama dalam sebuah pameran maupun secara tidak langsung. Tantangan bagi seniman dalam kondisi ini adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan eksplorasi dan dukungan dana untuk melakukan eksplorasi.
Dalam kasus penelitian yang saya lakukan tahun 2006-2010, terdapat fenomena menarik dimana mekanisme pasar mendorong kecenderungan stereotype hadirnya karya karya seni menjadi tiga pendekatan presentasi pada setiap pameran, yaitu karya lukis (berbasis kanvas), karya berbasis patung/objek/instalasi dan karya media baru fotografi/video. Dari penelitian partisipatif yang saya cermati, paradigma ini menunjukkan pergeseran penting peran produsen seni yang sedianya milik seniman. Penghadiran seni dalam seni rupa kontemporer juga didorong oleh sejumlah aktor medan sosial seni.
Dalam kasus pameran-pameran seni kontemporer Indonesia yang menjadi bahan kajian saya – dalam kondisi arus kuat pasar seni lukis –,
Anusapati, "Seri Lipatan (Fold Series) #1",
2013, k.l 80 x 80 x 20 cm, Kayu Jati
7
pemanfaatan media lukis yang dihadirkan bersama media-media lain dalam sebuah pameran, mengakibatkan konsekuensi pengalaman seni yang disertai dengan ‘kecurigaan’. Bahwa praktek-praktek seni kontemporer mengandung tendensi berlakunya ‘politik representasi medium’. Presentasi media dalam sebuah pameran merupakan tujuan-tujuan kolektif produsen seni (seniman, promotor/galeri dan kurator) yang pada dasarnya saling menitipkan kepentingan non estetik.
Arus ekonomi yang kuat dalam boom pasar seni rupa kontemporer Indonesia dan pasar seni dunia – dengan demand pameran yang cukup tinggi di berbagai forum seni Nasional dan Internasional – banyak dikelola oleh aktor medan sosial seni swasta yang tentu saja berorientasi pada dimensi profit. Statistik pameran-pameran yang cukup tinggi dalam satu dekade terkhir ini yang sering disebut ‘perkembangan’ cenderung menunjukkan seni rupa kontemporer hadir dalam sisi yang pragmatis dan tidak banyak didukung oleh aktifitas atau lembaga kritik seni rupa yang kuat. Tulisan-tulisan kritik dalam bentuk buku umumnya swadaya diterbitkan seniman atau tulisan dalam bentuk kritik populer dalam surat kabar atau majalah, sehingga tradisi kritik seni yang ketat, mendalam belum banyak muncul dan berdampak kuat pada ‘penilaian’ seni.
Jejaring seni-ekonomi pada seni rupa kontemporer terlihat semakin transparan. Sebuah pameran seni sekaligus menunjukkan seluruh siklus produksi seni, mulai dari siapa yang mensponsori, karya diproduksi oleh bantuan siapa, kurator mana yang menjustifikasi. Akhirnya karya berujung pada isu statistik harga koleksi karya (lukis) dan kemudian muncul di balai lelang dengan harga yang berlipat ganda.
Saya mencermati kondisi tersebut menunjukkan praktek seni rupa kontemporer yang berlaku secara ‘telanjang’. Seni rupa kontemporer Indonesia kehilangan dimensi kejutan ketika paradigma presentasinya menunjukkan stereotype politik representasi medium. “Art in the process has lost most of its singularity and unpredictability”, menurut Jean Baudrillard dalam bukunya tentang fenomena konspirasi dalam medan sosial seni (Baudrillard, 2005).
Permasalahan kritis dalam situasi seperti dijelaskan di atas, memperlihatkan situasi paradoks, di satu sisi kita meyakini kehadiran sebuah fenomena seni, tapi sekaligus menihilkannya karena terlalu telanjangnya representasi siklus produksi dan konsumsi seni yang berujung pada komodifikasi pasar. Hal lain juga saya cermati adalah pergeseran orientasi dalam pembahasan seni, situasi yang lebih mengedepankan aspek-aspek ekstrinsik seni (sistem karir/branding seniman, karya dikoleksi oleh siapa, statistik penjualan dsb) dibandingkan nilai-nilai instrinsiknya, hal ini menunjukkan gejala aspek-aspek sosiologis lebih mendominasi aspek-aspek estetik dalam mengapresiasi karya seni.
tantangan BaRu menceRmati kaRya Seni
Implikasi mekanisme pasar dan politik medium adalah menyadari bahwa proses penghadiran seni merupakan bentuk kolektifitas sejumlah aktor medan sosial seni, situasi ini mendorong kegiatan apresiasi yang meluas tidak saja pengalaman melihat bentuk karya seni, tapi juga pengalaman melihat konteks penghadiran seni ( karya apa dipamerkan dimana). Saya melihat pentingnya apresiasi seni holistik atau melihat seni dalam proses keseluruhan dalam mencermati bentuk-bentuk seni rupa kontemporer. Hal tersebut semakin
mendorong pentingnya pemahaman sosiologi seni atau medan sosial seni sebagai bagian dari kesadaran kontekstual seniman dan apresiator.
Kemudian seni rupa kontemporer banyak mempraktekkan peran jejaring yang semakin luas sebagai bagian dari penghadiran bentuk-bentuk seni. Pergeseran seni dari dimensi estetik menuju dimensi sosial memunculkan satu kata kunci baru dalam seni rupa kontemporer, yaitu jejaring seni.
Implikasi dari menguatnya jejaring seni sebagai modal eksistensi seni kontemporer menuntut pemahaman epistemologis baru tentang seni, yaitu rentang kompleksitas seni. Saya menganalogikannya dalam rentang vertikal dan horizontal. Rentang vertikal adalah pencapaian kualitas estetik, sedangkan rentang horizontal adalah dampak resonansi seni di wilayah sosial melalui kekuatan jejaring. Keduanya terangkum menjadi pencapaian artistik.
haRapan pada peRan pendidikan tinggi Seni
1. Memperkuat tradisi kritik. Sudah hampir setengah abad lebih orientasi utama perguruan tinggi seni adalah mencetak seniman. Perlu mempertimbangkan juga memperbanyak peneliti yang juga penulis-penulis aktif yang langsung terlibat di medan sosial seni.
2. Projek-projek karya seni atau projek kuratorial yang didanai oleh perguruan tinggi.
3. Mengevaluasi kembali sistem studio sebagai ‘given medium’, dan membuka peluang ‘medium needed’ bagi setiap calon kreator/seniman.
4. Kompleksitas seni kontemporer
membutuhkan kerjasama interdisiplin, antar unsur-unsur pelaku medan sosial seni agar lebih efektif dan efisien, sudah lama seharusnya kita membuka program Art Management. Birokrasi yang rumit di Perguruan Tinggi lambat merespon kebutuhan ini. Jargon ekonomi kreatif, seni rupa global, mustahil menghasilkan output dan outcome yang maskimal tanpa disiplin manajemen seni.
5. Fenomena seni rupa kontemporer semakin dekat dengan interaksi global, baik dari aspek wacana, keilmuan maupun potensi ekonomi. Dibutuhkan banyak pendekatan ‘bahasa’ untuk mengkomunikasikan berbagai fenomena seni Indonesia di lingkup global. Masih banyak ilmu-ilmu seni yang belum menjadi mayor, spesifik dan tersedia pakarnya untuk duta komunikasi seni rupa Indonesia di lingkungan perguruan tinggi, baik sebagai pengantar pameran, buku-buku seni, jurnal dsb. Fase ini yang saya kira kini tengah
dirasakan sempit dan terbatas di lingkungan prodi Seni Rupa ITB.
Sepakat dengan sosiolog Sarah Thornton, mekanisme pasar dan komodifikasi pada dasarnya selalu mengikuti perjalanan seni. Masalahnya saya kira adalah apakah Perguruan Tinggi akan menarik garis tegas secara kritis terhadap mekanisme pasar, atau akan merespons positif gerakan fluktuasi pasar. Ini yang saya kira belum terlihat tegas dan ideologis, sehingga output dan outcome ‘pertumbuhan’ seni dari kaca mata Perguruan Tinggi seni indikatornya menjadi sulit diukur.
Hemat saya dalam kondisi terakhir ini dimana boom pasar seni rupa kontemporer terkoreksi akibat resesi ekonomi, tidak perlu menjadi constrain utama. Sudah banyak indikasi diperlukannya fase baru perkembangan pranata seni rupa Indonesia yang lebih terstruktur, kajian dan karya seni yang memperkaya spektrum seni, yang dalam hal ini bisa diperankan oleh Perguruan Tinggi.
Ira Adriati W., "In Between
Motherhood and Self Actualization",
2013, Video Art, durasi 5 menit
9
Tegangan: Sosok/ ArtikulasiSUwARno wISeTRoToMo
Dosen seni rupa di perguruan tinggi seni, dari waktu ke waktu berhadapan dengan tantangan yang semakin kompleks. Tidak saja persoalan ‘kemasteran’ gagasan dan teknik yang terwujud dalam karya-karya mereka, tetapi juga persoalan kecanggihan ‘artikulasi’ dalam bentuk kemampuan memberikan pandangan dan perspektif kritis pada mahasiswa. Kedua hal itu, ‘derajat kemasteran’ dan ‘artikulasi’, semestinya merupakan pencapaian dan kemampuan yang melekat pada setiap dosen seni rupa (dosen yang seniman, atau seniman yang dosen). Kemampuan itu akan sangat menentukan dalam proses mengajar-belajar, dan pada ujungnya sangat mempengaruhi proses pengondisian kualitas mahasiswa yang ideal.
Melihat hal itu, maka dosen seni rupa memiliki dua peran sekaligus. Sebagai dosen, mereka adalah para pemantik api motivasi para mahasiswanya; memberikan semangat, menunjukkan berbagai arah, dan menginspirasi. Sebagai seniman, mereka memiliki tanggungjawab pribadi untuk berkompetisi merebut ruang-ruang presentasi, demi membangun
karier dan eksistensi kesenimanannya. Yang menjadi persoalan adalah, kedua peran dan tanggung jawab itu mesti diraih dalam waktu bersamaan; yakni, pertama, tanggung jawab mengajar dengan segenap urusan administrasinya yang kompleks, dan kedua, kebutuhan atas ‘kebebasan’ serta waktu yang cukup demi mengeksplorasi kemampuan artistik dan estetik bagi karya-karya keseniannya.
Pada kedua hal itulah letak ketidakmudahannya. Menjadi dosen yang ideal sudah pasti membutuhkan waktu yang cukup; untuk membaca, memperbarui (up date) pengetahuan-wawasan, menyiapkan materi ajar, tatap muka di kelas maupun di studio, bimbingan, kemudian menunaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang lain, yakni penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Mereka juga harus menulis di jurnal, menulis di koran atau majalah. Sementara itu menjadi seniman yang ideal juga memerlukan “fasilitas” (waktu, kebutuhan pendukung, dan sebagainya) yang sama.
Secara teknis sepertinya kedua persoalan di atas ‘hanya’ persoalan bagaimana membagi waktu. Akan tetapi sesungguhnya tak sesederhana itu. Persoalan intensitas dan pendalaman memerlukan waktu yang cukup, dalam pengertian tidak sekadar membagi dengan ketat waktu sepanjang 24 jam. Intensitas, antara lain adalah persoalan fokus dalam pergulatan, yang memerlukan waktu tanpa batas. Menjadi dosen yang “baik” semestinya mencurahkan seluruh perhatian pada wilayah belajar-mengajar, ditambah beban-benan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Demikian pun menjadi seniman atau perupa, semestinya juga memerlukan perilaku yang sama.
Di sisi yang lain, aturan pemerintah (dalam kaitan kinerja dan ntanggung jawab dosen) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) demikian ketat, dan hampir tidak masuk akal menyelaraskan keduanya untuk mencapai ideal. Bagi Dikti, tak ada perkecualian dalam hal aturan main untuk dosen-dosen di Perguruan Tinggi Seni, meskipun, seperti sudah diurai di atas, memiliki tanggungjawab ganda. Dengan kata lain, para dosen seni rupa tak bisa menghindar dari aturan main seperti itu.
Akibat yang paling nyata dari kondisi semacam itu, secara umum adalah pencapaian para dosen yang tanggung (tentu saja ada sejumlah dosen yang memiliki pencapaian pada keduanya dengan baik, tetapi hal itu dapat dilihat sebagai
‘kasus’ khusus). Tanggung dalam pengertian; sebagai seniman maupun menjadi pengajar dalam kondisi tak maksimal. Kondisi semacam itu, sungguh menjadi persoalan serius bagi institusi pendidikan di mana yang bersangkutan berada. Karena terkait erat dengan peran-peran yang harus dimainkan di depan mahasiswa, maupun di tengah masyarakat. Maka, yang dibutuhkan adalah siasat-siasat yang (sebisa mungkin) cerdas untuk tetap bisa menjaga peran-peran itu memiliki eksistensi yang memadai.
Dalam suatu era yang kondisi (dan aturan main) yang berbeda, lahirlah sosok-sosok dengan pencapaian yang karismatik seperti Fadjar Sidik, Widayat, Saptoto, Edhi Sunarso, Nyoman Gunarsa, Sun Ardi, Y. Eka Suprihadi, Herry Wibowo, Subroto Sm, Aming Prayitno, Suwaji, Mon Mudjiman, Sudarisman, Edi Sunaryo hingga Anusapati (di FSR ISI Yogyakarta), atau A. Sadali, Mochtar Apin, But Mochtar, Srihadi Soedarsono, A.D. Pirous, G. Sidharta Soegijo, Sunaryo, hingga Tisna Sanjaya (di FSRD ITB Bandung). Mereka, dapat dikatakan, mencapai keduanya dengan baik; sebagai dosen maupun seniman. Mereka menjadi figur yang menginspirasi, baik bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat luas.
Masalah-masalah semacam itulah, antara lain yang mendasari diselenggarakannya Pameran Pengajar Seni Rupa 2013 se Indonesia “Melihat/Dilihat” di Galeri Nasional Indonesia Jakarta beberapa waktu lalu. Kali ini dalam skala yang lebih
kecil dan spesifik, diselenggarakan Pameran Seni Rupa karya para Dosen Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta dan Fakultas Seni Rupa dan Disain (FSRD) ITB Bandung, di Galeri Seni ISI Yogyakarta.
Pameran ini merupakan ikhtiar untuk melihat seberapa ‘tanggung jawab ganda’ para dosen tersebut berpengaruh pada pencapaian karya (artistik) dan pemikiran (wacana) mereka. Pameran ini ingin menunjukkan kompleksitas “tegangan terkait dengan pencapaian derajat kemasteran (kepiawaian) dan kemampuan artikulasi” para dosen seni rupa FSR ISI Yogyakarta dan FSRD ITB Bandung. Kedua institusi ini memiliki sejarah panjang, pergulatan, sentimen, dan melahirkan tokoh-tokoh perupa yang tercatat dalam sejarah seni rupa Indonesia. Keduanya, dengan sejarah dan latar belakang sosial-budaya yang berbeda, melahirkan karya-karya dan pemikiran seni rupa yang terus menantang untuk dibaca ulang. Juga, kedua institusi ini terus-menerus melahirkan generasi baru perupa maupun pemikir/pengkaji seni rupa yang memberikan aksentuasi bagi perkembangan seni rupa Indonesia.
Pameran ini akan mengedepankan pencapaian individu setiap dosen; seberapa ‘penting’ pencapaian kreativitas dan pemikiran mereka, terkait dengan eksistensinya sebagai ‘sosok’ pengajar. Dari pameran ini juga akan dilihat, apakah kini, di tengah latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan budaya
Satrio Hari Wicaksono, "Hegemony",
2013, Charcoal on Paper
11
yang terus bergeser, karya-karya para dosen dari kedua institusi ini masih menunjukkan perbedaan, atau kesamaan? Dari fakta-fakta hari ini, lantas apakah yang bisa diperbincangkan, dan lebih jauh lagi apa yang bisa diagendakan oleh kedua institusi penting ini?
Pertanyaan tersebut penting, karena betapapun kedua institusi ini memainkan peran penting sebagai ‘agen’ penciptaan dan pemikiran seni rupa di Indonesia. Jangan-jangan kita – para dosen di FSR ISI Yogyakarta maupun di FSRD ITB Bandung – tak sepenuhnya menyadari tentang pergeseran, bahkan gelombang besar perubahan praktek seni rupa dan pemikiran seni rupa di dunia. Jangan-jangan kita, para dosen ini tetap mengajar dengan pola dan gaya yang ‘lama’, dengan keyakinan lama, dengan pengetahuan dan wawasan yang lama. Bahkan, pengalaman saya di FSR ISI Yogyakarta, sejumlah dosen masih alergi dengan kata dan fungsi kurator. Mereka, sejumlah kecil dosen itu, merasa tersinggung eksistensinya dengan peran dan fungsi kurator, yang antara lain dipahami sebatas menyeleksi dan memilih seseorang terpilih dan tidak terpilih dalam suatu pameran, tanpa pemahaman yang lebih luas apa, mengapa, bagaimana itu kurator. Sejumlah kecil dosen masih asik dengan dirinya sendiri, tak pernah secara terbuka membicarakan karya-karyanya, tak pernah diketahui argumentasi-argumentasinya, dan
berada dalam kebanggaan semu. Hari ini dan hari-hari ke depan, tak terelakkan, peran dosen seni rupa semakin dituntut untuk “gaul” – dalam hal semangat memperbarui pengetahuan dan metode mengajar – bagi para mahasiswanya. Dosen harus semakin terbuka pada perkembangan, semakin siap dengan dialog, dan menjadi pemicu untuk menumbuhkan sikap dan perilaku kritis, baik bagi mahasiswanya maupun bagi masyarakat luas. Pertanyaannya, kalau kesadaran semacam itu tak dimiliki dan tak mau memulai, bagaimana sosok dosen semacam ini mampu menginspirasi para mahasiswanya?
Pameran ini dapat kita gunakan untuk memetakan kualitas sosok dosen dalam hal pencapaian dan kualitas kesenimanan serta karya-karyanya di satu sisi, dan kualitasnya sebagai seorang dosen. Karena itu, pameran ini juga dapat dibaca sebagai kesempatan melakukan refleksi kritis bagi para dosen; kemudian merupakan kesempatan bagi publik untuk melakukan konfirmasi (juga menagih) atas peran dan tanggungjawab intelektual serta profesionalitas mereka.
Yogyakarta, September 2013
Suwarno Wisetrotomo / Dosen di Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta. Kini sedang dalam proses menyelesaikan studi S3 bidang Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Wiwik SW., "Behind the Mask", 2013,
80 x 70 cm, Ink on Canvas
AB. Dwiantoro, dilahirkan di Magelang, 18 Agustus 1953. Staf
pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Alamat Jl.
Jeruk E 4 Sidoarum Blok 2, Yogyakarta 55564, Indonesia.
Telepon 0274798528, Mobile Phone 08157915666. Aktivitas
pameran tiga tahun terakhir: 2012: “Diversity in Harmony“
International Visual Art Exhibition di Temple Gallery, Eger,
Hungaria. 2011: “Membaca Garis, Marayakan Subroto“ di ISI
Yogyakarta. Pameran Lukisan and Patung in Lyanica Gallery,
Eger, Hungaria. Pameran Lukisan “Tunas Yang Terbentang
1970-1980“ di Gedung Masterpiece, Jakarta. “Deversity
Through Bamboo Exspression“ instalasi seni di FSR ISI
Yogyakarta. Pameran Seni Rupa “Dies ISI Yogyakarta ke 27“
di Galeri ISI Yogyakarta.
AC. Andre Tanama, dilahirkan di Yogyakarta, 28 Maret 1982.
Pendidikan: S1 Jurusan Seni Murni (Minat Utama Seni grafis)
FSR ISI Yogyakarta (2005, cum laude), S2 Pascasarjana ISI
Yogyakarta (2010, cum laude). Staf pengajar di Jurusan Seni
Murni FSR ISIYogyakarta (2006 hingga sekarang). Selular:
+628562911888. Alamat Perumahan Alam Citra B.39, Jl.
Parangtritis Km.7, Sewon, Bantul 55188, D.I. Yogyakarta,
Indonesia. Email: andre_tanama@yahoo.com. Blog: www.
gwensilentproject.blogspot.com. Website: www.andretanama.
com. Penghargaan antara lain Finalist of Indonesian
Printmaking Triennale III, Bentara Budaya, Jakarta (2009),
Academic Art Award I (Printmaking) Emerging Artist from
Indonesia Institute of the Arts Yogyakarta, Jogja Gallery,
Yogyakarta (2007), 1st Winner of Indonesian Printmaking
Triennale II, Bentara Budaya, Jakarta (2006). Pameran
tunggal: 2013: “Wayang Monyong“, Miracle Art Space, Jogja.
2012: Willem Kerseboom Gallery, Amsterdam. “Agathos“,
Langgeng Gallery, Magelang, Jawa Tengah. 2010-2011: “The
Tales of Gwen Silent“, Bentara Budaya Jakarta & Bentara
Budaya Yogyakarta.
Agus Kamal, dilahirkan di Pemalang, 31 juli 1956. Pendidikan:
lulus S1 Institut Seni Indonesia Yogyakarta Tahun 1986.
Alamat: Jl.Bantul Km 8 utara lapangan Cepit, Pendowoharjo,
Jogjakarta. Cell phone +628122747780. Email: aguskammal@
gmail.com. Aktivitas pameran tiga tahun terakhir: 2012:
Pameran Kembar Mayang. Ulang tahun dr Oei Hong Djien
ke- 73 di Museum H Widayat . 2011: Pameran Membaca
Garis “Merayakan Pak Broto“, di Galeri ISI Yogyakarta.
Penghargaan antara lain Tahun 1990 Penghargaan Medali
Emas dalam Biennale Seni Lukis II Jogjakarta. Tahun 1988
Penghargaan Medali Perak dalam Biennale Seni Lukis I
Jogjakarta. Tahun 1985 Penghargaan “Karya Terbaik“ Dies
Natalis I ISI (Institut Seni Indonesia) Jogjakarta.
Amir Hamzah, dilahirkan di Padang Sidempuan, 27 April
1970. Pendidikan: S1 Jurusan Seni Murni (Minat Utama Seni
Lukis) FSR ISI Yogyakarta (1991 “ 1998), Program Pascasarjana
Antropologi UGM (2006 “ 2009). Staf pengajar di Jurusan
Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Alamat
Tegal Senggotan Rt 3 Rw 11 No.85a. Tirtonirmolo Kasihan,
Bantul,Yogyakarta. 55181. Hanphone 0819 311 782 39. Email:
amirhamzah_aji@ymail.com. Aktivitas pameran tiga tahun
terakhir: 2012: Tugu dan mobil-mobil mainan, Pameran Seni
Visual “Memaknai Pusat“, Pameran foto, sketsa, data sejarah
dan karya seni rupa tentang tugu Jogja, Jogja Gallery, 21
Juli “ 21 Agustus. Lingkaran-lingkaran emas dan warna kuning,
Diversity in Harmony, International Art exhibition, Temple
Gallery, Eger, Hungary, 2 - 9 Oktober. 2011: Still Life painting,
Festival Seni Rupa Islami JNM (Jogja National Museum),
Yogyakarta, 6 “ 8 Mei. Unik dan menjauh, Membaca Garis
Merayakan pak Broto, Pameran Purna Tugas Subroto SM,
Gallery ISI Yogyakarta 12 “ 22 Oktober. Aktivitas lain, juri
lomba lukis lokal dan nasional, kurator beberapa pameran
seni lukis, pembicara seminar, serta menulis.
Amrizal Salayan St. Parpatih, born in Bukittinggi, 8 Oktober
1958. Education MA, Fine Arts, ITB, Bandung (2001 “ 2004),
BFA in Fine Arts, Sculpture, FSRD ITB, Bandung (1984 “ 1988),
Studying Fine Arts at FKSS IKIP, Padang, West Sumatra
(1979 “ 1980). Solo exhibition “Kefanaan“ (Final Project, MA,
Fine Arts, ITB), Galeri Soemardja, Bandung (2004). Recent
exhibition: 2013: “locafore“Bale pare exhibition hall, kota
baru parahyangan,bandung 13 september “oktober; “Ia
ada dengan ketiadaannya, inaugurasi karya“, lawangwangi
creative space, Bandung, 28 july; “VISUAL ART, report/
knowledge #2“, Galeri Soemardja ITB Bandung, 16 “ 30
March. 2012: “report/knowledge“, Galeri Soemardja ITB
Bandung 16 “ 23 February; “dOMESTIc STUFF“ (1), Galeri
Salihara Jakarta 14 April “ 6 May; “PAPERED?“ Gedung
Indonesia Menggugat Bandung 17 “ 23 June; “domestic stuff“
(2), Rumah Seni Cemeti Yogyakarta 12 July “ 25 August;
“JEJAK “, Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta 4-12
November; “BIENALLE SUMATRA“ Taman Budaya Sumatra
Barat, Padang 5 December 2012 -5 January 2013.
Anusapati, dilahirkan di Surakarta, INDONESIA, Setember
1957. Pendidikan: “ASRI“ Indonesia Fine Arts College,
Yogyakarta. Drs (BFA), 1983. School of Art and Design,
PRATT INSTITUTE, New York, USA. MFA, 1990. Staf pengajar
di Jurusan Seni Murni FSR ISI Yogyakarta (1985 hingga
sekarang). President Asosiasi Pematung Indonesia (API).
Pameran tunggal dua tahun terakhir: 2013: “SHADOW“.
Sinsin Fine Art, Hong Kong . 2012: “MateREALITY“. Sangkring
Art Space, Yogyakarta. Simposium antara lain: 2012:
STONELAND. Stone Sculpture Symposium, Iksan City,
South Korea. 2005: Shihmen Reservoir Driftwood Sculpture
Symposium. Tao Yuen County, Taiwan.
Asmudjo Jono Irianto, born in Bandung 1962, 26th September.
Education:1990: BA, Fine Art Department, Faculty of Art
and Design, Bandung Institute of Technology. MA, Fine Art
Department, Faculty of Art and Design, Bandung Institute
of Technology. Course: Workshop Curatorship (Tutor:
Budi Adi Nugroho, "quotes 1 ist dieser preis wert", 2011, 120 x
60 x 30 cm, fiber reinforced plastic, polyurethane paint
13
Toshio Shimmizu/Independent Curator, Japan), The Japan
Foundation, Jakarta. Organized by The Japan Foundation &
Directorate General of Culture Department Education and
Culture, Indonesia. Lecturer on Art History, Art Appreciation
and Art Critic, Ceramic Course Work, Fine Art Department,
Faculty of Art and Design, ITB (1991 “ now). Curatorial
Experiences (2013): “Who I Am“ Galeri 678, Jakarta; “Horizon
of Strength“, Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta; “Subject Matter:
Locus of Collectivism“, Art1 Gallery, Jakarta; “Disthing: Objects
of Discontentment“, Rachel Ibrahim Gallery, Jakarta; “Potpuri:
Reposisi Medium & Lokasi, Gereja Tua Kota Kupang, Kupang
NTT. Craft Expert (2008): Pelatihan pengembangan motif
hias, Klampok, Banjarnegara, Perindustriann Propinsi Jawa
Tengah; Pendampingan pengembangan desain, Klampok,
Banjarnegara, perindustrian Propinsi Jawa Tengah; Pelatihan
Pengembangan Desain, Desa Banyumulek, Lombok Barat,
Departemen Perindustrian Pusat; Tenaga ahli PT Kalam
Kalijaga untuk survey dan pengawasan dalam rangka bantuan
mesin/peralatan kerajinan gerabah/keramik hias dari
Depatemen Perindsutrian.
Bambang Ernawan, dilahirkan di Cikampek, 11 Agustus 1954.
Alamat Rumah Jl. Atletik VI No.9 Arcamanik, Bandung. Telp./
Faks. 022-7104374 / 022-7104374. Alamat Kantor: Jl. Ganesa
No.10, Bandung. Telp./Faks. 022-2515291 / 022-2515291.
Handphone 08122352201. E-mail: bernawan@fsrd.itb.
ac.id. Pendidikan: Magister Seni Rupa ITB (1992). Sarjana
Seni Rupa ITB (1983). Pameran tiga tahun terakhir: 2012:
Pameran Bersama “REPORT/KNOWLEDGE 1st Academic Staff
Exposition“ Galeri Soemardja ITB, Bandung. 2011: Pameran
Bersama “BAYANG“ Indonesia Islamic Contemporary Art
Galeri Soemardja ITB, Bandung. Penelitian: Barongan dalam
Pengembangan Cinderamata Khas Blora (2012); Aplikasi
Medium Lokal (Indigenus Material) Dalam Karya Seni Rupa
Sebagai Upaya Mewujudkan Ciri Khas Khas Indonesia (2012);
Medium Lokal (Indigenus Material) Dalam Karya Seni Rupa
Sebagai Upaya Mewujudkan Ciri Khas Khas Indonesia (2011).
Pelatihan: Upgrading Skill Para Engraver di Divisi Percetakan
Uang Kertas dan Para Moulder di Divisi Percetakan Uang
Logam Perum PERURI, Jakarta (2002); Guru Sekolah
Menengah Kejuruan Jurusan Seni Rupa dan Kerajinan Se-
Indonesia (1996); Menggambar Anatomi Manusia dan Binatang
untuk Perum PERURI, Jakarta (1993). Elemen estetik antara
lain: Relief Gedung YDPP Telkom, Bandung (2002); Patung
Naga Kura untuk Graha C.N.I, Jakarta (1999); Patung dan
Relief Expo Tsukuba, Jepang (1984).
Budi Adi Nugroho, born in Pare-pare, 10 January 1982.
Education: Bachelor of Visual Art (2005); Major in Sculpture
Studio, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of
Technology ; Master of Visual Art (2009); Majoring in
Three Dimentional Artwork, Faculty of Art and Design
Bandung Institute of Technology. Solo Exhibitions: 2011:
Toys with Semionaut Soup, Soemardja Gallery, Bandung;
Toys with Semionaut Soup, Ambiente Gallery, Jakarta. 2007:
Outdoor Public Sculpture Exhibition , “Playscope“, Ciburial
Village, Dago Pakar Timur Area, 28th November 2007- 28th
December. Selected Group Exhibitions: 2012 : “PARALLAB
group exhibition-A Role Play“ Artsphere Gallery, Jakarta,
February. “Report/ Knowledge“ 1st Academic Exposition,
Soemardja Gallery, BDG. 2011: “Ekspansi: Pameran Besar Seni
Patung Indonesia“ Indonesia National Gallery, Jakarta, July;
“ARTJOG11“ Yogyakarta Art Fair.
Dadang Sudrajat, dilahirkan di Sumedang, 5 Juni 1969.
Alamat Komplek Neglasari II Blok F2 Ujungberung Bandung
40617. Mobile phone 081 224 85 113. Alamat Kantor Jalan
Ganesa No. 10 Bandung FSRD ITB Dep. SeniRupa.
E-mail: dzagat@yahoo.com. Pendidikan: Program Sarjana
Departemen Seni Murni Studio Seni Lukis 1990 “ Tanggal
21 Oktober 1995. Progarm Pasca Sarjana Departemen Seni
Murni ITB 1997 “2000. Pameran tunggal: 2006: Pamerang
tunggal `Subliminal` di Galeri Soemardja Bandung. Pameran
Bersama: 2011: Pameran Seni Rupa Kontemporer Islam
Indonesia 2011 `Bayang` di Galeri Nasional Indonesia Jakarta;
Pameran hasil riset dosen ITB `ITB Tekno 2011` dengan judul
riset Cat organik sebagai media alternatif untuk lukisan yang
ramah lingkungan (Green Art) Program riset peningkatan
kapasitas; Pameran Drawing IASR ITB di Gedung Indonesia
Menggugat Bandung. 2010: Pameran `Universary galeri
Canna 10th` / Tribute kepada S. Sudjojono di galeri Canna
Jakarta. Penelitian antara lain: 2012: Aktivitas Seni sebagai
Media Komunikasi Kultural Ilmu dan Sains untuk Penyadaran
Lingkungan di Sungai Cigondewah. Topik:Urban Green Design
Insfrastructure. Program JICA CADL. 2011: Media alternative;
cat organik pelapis kanvas untuk lukisan cat minyak yang
ramah lingkungan (Green Art) Program riset peningkatan
kapasitas. 2010: Cat organik sebagai media alternatif untuk
lukisan yang ramah lingkungan (Green Art). Program riset
peningkatan kapasitas ITB.
Dendi Suwandi, dilahirkan di Pangandaran, 23 Pebruari 1959.
Pendidikan: S1 ISI Yogyakarta (1985), S1 FSRD ITB (1993).
Alamat Sentanan RT 05, Kasongan, Bangunjiwo, Bantul. Cell
phone 085228622229. Telepon 0274 6461638. Pameran
tiga tahun terakhir: 2013: Telapak, Art As Life Style, Taman
Budaya, Yogyakarta. 2012: Dinamika Bentuk dan Ruang
(2), Diversity In Harmony, Temple Gallery, Eger, Hungary.
2011: Shelter, Diversity Through Bamboo Expressions, Pasca
Sarjana, ISI Yogyakarta.
Deni Junaedi, dilahirkan di Sukorejo Kendal, 21 Juni 1973.
Pendidikan S1 Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta (1997-2004),
S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Program
Sekolah Pascasarjana UGM (2010-2012). Sejak 2006 hingga
saat ini sebagai staf pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta. Aktivitas pameran tiga tahun terakhir: 2013:
Pameran Seni Rupa “Silaturahmi #2: Membangun Peradaban
Millenium II Muhammadiyah (Seni Rupa Sebagai Jalan
Persaudaraan), Bentara Budaya Jakarta; Pameran Karya
Pengajar Seni Rupa 2013, “melihat/dilihat“, Galeri Nasional
Indonesia, Jakarta. 2012: Pameran Internasional “Diversity
in Harmony“, Temple Gallery, Eger, Hungaria. 2011: Pameran
“Festival Seni Islami Nasional“, Jogja National Museum,
Yogyakarta. Penghargaan seni antara lain Nominasi Indonesia
Art Award 2010, “Contemporaneity“, Galeri Nasional
Indonesia, Jakarta (2010), Jakarta Art Award 2008, “Warna-
Warni Jakarta“, Ancol, Jakarta, Indonesia (2008), Karya
Pilihan dalam Pameran Terseleksi “Setelah 20 Mei“, Jogja
Gallery, Yogyakarta (2008).
Edi Sunaryo, dilahirkan di Banyuwangi, 4 September 1951.
Staf pengajar di Jurusan Seni Murni FSR ISI Yogyakarta,
dan S2 Penciptaan Seni ISI Yogyakarta. Pendidikan Doktor
(S3) Penciptaan Seni ISI Yogyakarta (2012), Magister Bidang
Seni Rupa Murni ITB (1997), Sarjana Bidang Seni Lukis
STSRI “ASRI“ Yogyakarta (1980). Perumahan Sidoarum III,
Jl. Rajawali 53 Godean, Sleman, Yogyakarta 55564. HP.
08122604399. Email: edsunaryo@yahoo.com. Penghargaan
antara lain pemenang Jakarta Art Award (2008), Penghargaan
Pemenang PRATISARA AFFANDI ADI KARYA (1979 dan 1975).
Penelitian: Konflik Etnis di Indonesia “ Model Rekonsiliasi
Antar Etnis di Kota Ambon dan Kab.Sambas, RUUK
Kementrian Riset dan Teknologi (2006). Pameran tunggal:
2012: Pameran lukisan di Jogja Gallery, Yogyakarta. 2006:
Pameran lukisan di Edwin Gallery Jakarta. 2003: Pameran
lukisan di Museum Nasional Jakarta. 2000: Pameran lukisan
di MOOM Gallery Jakarta. 1992: Pameran lukisan di Chase
Manhattan Bank, Jakarta. 1987: Pameran lukisan di Chase
Manhattan Bank, Jakarta.
Eko Sunarto, dilahirkan di Yogyakarta 1 Mei 1960. Pendidikan
terakhir Pascasarjana ISI Yogyakarta. Staf pengajar di
Jurusan Seni Murni FSR ISI Yogyakarta, Minat Utama
Seni Patung. Alamat Tajen, Sidomoyo, Godean, Sleman,
Yogyakarta. Telepon 0274 7492801. Cell phone 0815 790
7440. Email: ekopatung60@yahoo.com. Aktivitas pameran
lima tahun terakhir: 2010: Pameran di Egger dan Budapest,
Hungaria; Pameran Art Towards Global Competition di
Yogyakarta; 2009: Pameran “ Exposign“ Dies Perak ISI
Yogyakarta, di JEC Yogyakarta; Pameran “Exploration of
Creativity“, D“Peak Art Space Jakarta. Aktivitas selain
pameran yaitu melukis, mematung, mendalami teknik melukis
Renaissance di Pascasarjana ISI Yogyakarta (2006). Karya
monumental antara lain: patung Mascot PON XVIII Riau
(2012); Monumen Prof. Masri Singarimbun di UGM (2008);
Patung untuk Jembatan Siak, Riau (2005).
Ira Adriati Winarno, dilahirkan di Bandung, 23 September
1970. Alamat Jl. Pagermaneuh 55, Punclut, Bandung, 40391.
Tel/Fax. 08122030713. Email ira.adriati@gmail.com.
Pendidikan: S1 1994 Jurusan Seni Murni FSRD ITB - Lulus
dengan predikat cum laude, S2 1997 Program Magister
Seni Rupa FSRD ITB, S3 2010 Program Doktor Ilmu Seni
dan Desain FSRD ITB - Lulus dengan predikat cum laude.
Sejak 1995 hingga saat ini sebagai Staf Pengajar Program
Studi Seni Rupa FSRD ITB. Pengharga an: 2007 Tanda
Kehormatan Republik Indonesia Satyalancana Karya Satya
X. Aktivitas pameran: 2013: Jakarta; Report/Knowledge #2
- Galeri Soemardja FSRD ITB, Bandung. 2012: Paper “
Gedung Indonesia Menggugat, Bandung; Report/Knowledge
#1 - Galeri Soemardja FSRD ITB, Bandung. Buku: Mencari
Perempuan Perupa Dunia (2007), Perahu Sunda (2004).
I Gede Arya Sucitra, dilahirkan di Denpasar, 8 Juli 1980.
Pendidikan: S1 ISI Yogyakarta, Minat Utama Seni Lukis
(1999 “ 2005, cum laude), S2 Pascasarjana Pengkajian Seni
Pertunjukkan & Seni Rupa, UGM (2010 “ 2012, cum laude).
Staf pengajar di FSR ISI Yogyakarta, Jurusan Seni Murni,
Minat Utama Seni Lukis (2006 hingga sekarang). Kepala UPT
Galeri Seni ISI Yogyakarta (2012 “ 2016). Ketua Sanggar
Dewata Indonesia (SDI) Yogyakarta (2008 “ 2013). Pameran
tunggal: 2009: Pameran Tunggal Lukisan “Friend or Foe“
Komaneka Fine Art Gallery, Ubud Bali. 2005: Pameran
lukisan “ Erotisme “ di Gedung Minat Utama Seni Lukis, FSR
ISI Yogyakarta. Penghargaan seni: Finalis Kompetisi Seni
Rupa “The Dream“ Tujuh Bintang Art Award, Jogjakarta
(2009), 30 Finalis Radar Bali Art Awards, Bali (2008).
Lutse Lambert Daniel Morin, dilahirkan di Yogyakarta, 7
Oktober 1976. Pendidikan S1 di Fakultas Seni Rupa Jurusan
Seni Murni Minat Utama Patung ISI Yogyakarta (1998 “ 2005).
Alamat Jagalan Beji PA I / 490 Kel. Purwokinanti, Kecamatan
Pakualaman Yogyakarta 55112. Telepon 0274-545091, cell
phone 083876942379, email lutsemorin@yahoo.co.id. Sejak
2006 hingga saat ini sebagai staf pengajar di ISI Yogyakarta.
Aktivitas pameran tiga tahun terakhir: 2013: “Silaturahmi
#2“ Membangun Peradaban Millenium II Muhammadiyah,
Bentara Budaya, Jakarta; “Melihat dan Dilihat“Pameran Karya
Pengajar Seni Rupa Nusantara 2013, Galeri Nasional Jakarta;
Forum Komunikasi seni 2013, Malang Jawa Timur. 2011:
“Bunga-Bunga Impian: Respon Seni Untuk Alam“ International
Cultural Centre (ICC) Pandaan Pasuruan Jawa Timur; “Art
Motoring I“ Indonesian Classic Car Owner Club, Galeri
Nasional Jakarta; “E(art)H Project Sin City An Exhibition Of
Sustainable Art“ Galeri Nasional, Jakarta. Finalis Bandung
Contemporary Art Award (BaCAA)#2, Lawangwangi Art &
Science Estate, Bandung (2012), “Contemporaneity “Indonesia
Art Award, Galeri Nasional Jakarta (2010), “Tanpa Batas“,
Indonesia Art Award, Galeri Nasional Jakarta (2007).
Muksin Md., dilahirkan di Blora, 14 Juli 1968. Alamat
Komplek Binamarga Blok 1 No 41, Binaharapan, Arcamanik,
Bandung. Cell phone 08156221159. Email muksin@fsrd.itb.
ac.id. Pendidikan Magister Seni FSRD-ITB (1999), Manajemen
Ekskutif KADIN-UNIBRAW (1997), Sarjana seni Rupa FSRD-Pius Prio Wibowo, " The Way to Heaven", Tinggi 70 cm, lebar
10 cm, panjang 11 cm, Besi, Stainless Steel, Pewter, Emas,
Batu, Teknik Cor Logam
Pritha Fitria Natasha Bekti,
Mixed media
15
ITB (1994), Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta (1989).
Sejak 1996 hingga saat ini sebagai Staf Pengajar FSRD-ITB, KK Seni
Rupa, bidang keahlian Seni Lukis + Kertas Seni. Pengalaman workshop:
Workshop dan Visiting Artis di Awa-Washi Awagami Papermaking
Jepang (2013); Workshop Kertas seni di FSRD ITB (1992); Kaca Patri
bersama Susan Bradbury dari Inggris (1990). Penghargaan antara lain:
Satya Lencana Pembangunan dari Presiden RI, bidang Pengolahan
Serat alami dengan sistem Enzimatis untuk karya seni 2 dimensi (2010);
Sebagai Teladan Peduli Lingkungan dari Kota Madya Jawa Barat (1998);
Penghargaan Nasional KALPATARU sebagai Pembina Lingkungan di bidang
daur ulang limbah kertas seni berwawasan lingkungan (1998). Pameran
tunggal di Galeri Soemardja Bandung (1995). Aktivitas pameran dua tahun
terakhir: 2013: Pameran“REPORT/ KNOWLEDGE“ #2 Academic Staff
Exposition, SoemardjaGallery, Bandung. 2012: Pameran“PAPERED“, Gedung
Indonesia Menggugat, Bandung; Pameran“REPORT/KNOWLEDGE“ 1st
Academic Staff Exposition, SoemardjaGallery, Bandung.
Pius Prio Wibowo, dilahirkan di Bandung, 15 Desember 1960. Alamat Griya
Bukit Mas II D1-17, Bojong Koneng “ Cikutra, Bandung 40191. Telepon/
Fax 022-7278090, cell phone 081931437620. Email pius@fsrd.itb.ac.id.
Pendidikan antara lain: “Teknik Electroplating Workshop“, Bengkel
Senirupa A, Bandung (2000); “Metal Casting Workshop“ (timah) bersama
para mahasiswa Seni Patung, Bengkel Senirupa A, Bandung (1999);Lulus
dari Jurusan Murni - Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD),
Institut Teknologi Bandung, Bandung (1991); Lulus dari Jurusan Desain
Interior, Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Yogyakarta (1984). Jabatan
antara lain: Pendiri Bengkel Senirupa A (1984); Dosen Teori dan Praktek
di Lab. Seni Patung FSRD-ITB (sejak 1996); Kepala Studio Seni Patung
FSRD-ITB (1999). Aktivitas pameran tiga tahun terakhir: 2013: “Visual
Art - Report/Knowledge #2“2013, 2nd Academic Staff Exposition, Galeri
Soemardja FSRD-ITB, Bandung. 2012: “Visual Art - Report/Knowledge
#2“2012“, 1st Academic Staff Exposition, Galeri Soemardja FSRD-ITB,
Bandung. 2011: Patung “Miniatur Penyaliban Tuhan Yesus Kristus“, Kalianda,
Lampung.
Pracoyo, dilahirkan di Yogyakarta, 9 Desember 1959. Pendidikan Sarjana
Strata 2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, UGM Yogyakarta, Sarjana S1 Bidang Seni
Murni ISI Yogyakarta, SMSR Yogyakarta. Staf pengajar di Jurusan Seni
Murni FSR ISI Yogyakarta. Alamat Rumah Pogung Baru Blok E No. 36
J1.Kaliurang Km. 5 Yogyakarta Kode Pos 55284, Telp. (0274) 523073. Cell
phone 085878267889 , Email: mannewpracoyo@yahoo.co.id. Aktivitas
seni tiga tahun terakhir: 2012: Diversity in Harmony: International Visual
Art Exhibition, Temple Gallery, Eger, Hungary, tgl 2 s.d 9 Oktober 2012.
2013. Pameran Seni Rupa Tahun Emas Sekolah Seni Rupa Indonesia
di Gedung SMKN3 Yogyakarta. 2011: Pameran Seni Rupa di Auditorium
Pabrik Pupuk KALTIM, Bontang Kalimantan Timur.
Satrio Hari Wicaksono, dilahirkan di Jakarta, 15 Juni 1986. Pendidikan:
Sarjana Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (2004-2009), Magister Seni
Rupa, Institut Teknologi Bandung (2009-2012). Alamat: Jl. Pasirturi no.6 RT
05 RW 05 Sukaluyu Bandung 40123. Cell phone: +628562258314. Email:
rio5430@yahoo.co.id, shwicaksono@gmail.com. Pameran dan workshop
antara lain: 2010: Pameran “Sang Ahli Gambar dan Kawan-Kawan, Tribute
kepada S. Sudjojono“, Museum Barli, Bandung; Pameran “Reflection of
Megacities“, Galeri North Art Space, Jakarta; Pameran “Recreate x Reality
x Representation“, Galeri Soemardja, Bandung; Workshop “Repetition of
Lines and Colour“ bersama I Wayan Sujana, Institut Teknologi Bandung,
Bandung. Penghargaan: Finalis Jakarta Art Award (2010).
Setiawan Sabana, born in Bandung on Mei 10“th 1951. Graduated Bachelor
of Art in 1977, majoring in printmaking in Faculty of Art and Design ITB.
In 1982 achieved Master of Fine Art from Nothern illinois University USA.
Achieved Doctor from Doctoral Program ITB in 2002 and also achieved
professor from the same institute. Awarded Gold Medal, 2“nd Seoul
International Art Exhibition, Pan Asia Association, Seoul, Korea in 1985.
Awarded in 1989, The Japan Foundation fellowship to carry on a research
on the contemporary Japanese printmaking. Achieved Satyalancana
Karya Satya XX Tahun from The President of Indonesia Republic in
2006. Active on many group exhibitions since 1980 until now, including
exhibition in Indonesia, ASEAN countries, Asian Countries, USA, Europe
and Australia. Lectured in several events in ASEAN country universities,
Europe, Japan, Korea and Australia. Held several solo exhibitions in
Indonesia, Japan and America. His Last solo Exhibition is “Jagat Kertas“ in
2011, and published a book with the same title.
Setyo Priyo Nugroho, dilahirkan di Semarang, 9 Agusutus 1975. Sataf
pengajar di Jurusan Seni Murni FSR ISI Yogyakarta. Pendidikan: S-1
ISI Yogyakarta. Alamat Gampingan 869 WB I Pakuncen, Yogyakarta.
Pameran tiga tahun terakhir: 2013: Pameran Nusantara, META AMUK ,
Galeri Nasional, Jakarta. 2012: Pameran ORIENTASI20+ Jogja Living
Artist Grand Indonesia, Jakarta. 2011: Pameran Tugas Akhir Penciptaan
, “Menjinakkan Senjata“, Galeri ISI Yogyakarta; Pameran Purna Tugas
Soebroto SM, Merayakan Garis, Merayakan Pak Broto, UPT Galeri ISI
Yogyakarta; Pameran Bambu, Divercyti Throug Bamboo Expression, FSR
ISI Yogyakarta; Biennale Ja-Tim, Go ArtSpace Gallery, Surabaya; Pameran
Ilustrasi Cerpen Kompas 2010, Bentara Budaya Jakarta.
Subroto Sm., dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, 23 Maret 1946.Tahun 1962
masuk Bagian Seni Lukis ASRI; tahun 1965 lulus SSRI; tahun 1968, lulus
Sarjana Muda ASRI; tahun 1975 lulus sarjana Jurusan Seni Lukis STSRI
ASRI Yogyakarta; tahun 1975-1977 belajar keramik di Tokyo Gakugei
University, Jepang; tahun 1999 lulus Magister Humaniora UGM Yogyakarta.
Mulai mengajar di Jurusan Seni Lukis STSRI “ASRI“ tahun 1969 (magang),
sebagai CPNS mulai tahun 1971. Alamat rumah: Jl. Suryodiningratan
68 Yogyakarta, 55141. Telpon rumah: 0274377373/ HP: 0827266627;
E-mail: subrotosm@yahoo.com. Penghargaan: Piagam & Hadiah “Wendy
Sorensen Memorial Fund-USA“ untuk seni lukis terbaik ASRI (1968);
Piagam Penghargaan sebagai salah satu pencipta lambang ISI Yogyakarta,
bersama Drs Parsuki; (23 Juli 2008). Pameran tunggal di Bentara Budaya
Yogyakarta (1984); di Galeri Milenium Jakarta (2002).
TITOES LIBERT, dilahirkan di Ambon, 31 Juli 1954. Lulus STSRI “ASRI“
1982, Lulus Magister penciptaan Seni “Pascasarjana ISI Yogyakarta“
2011. Mengajar di FSR ISI Yogyakarta Jurusan Seni Murni dari tahun 1985
sampai sekarang. Aktif mengikuti pameran bersama dalam dan luar negeri.
Pameran tiga tahun terakhir: 2013: Pameran Instalasi dan Workshop di
Villany, Hungary; Pameran Gagal Ekspresi di Yogyakarta; Pameran Lukisan
dan Patung Alumni/eks ASRI/ STSRI/ FSRD/ ISI Yogyakarta, di Kasablanka
Jakarta. 2012: Pameran bersama MEMAKNAI PUSAT, Jogja Gallery,
Yogyakarta. 2011: Pameran Tugas Akhir Pascasarjana ISI Yogyakarta. Di
Gallely Biasa, Yogyakarta; Pameran Dies Natalis ISI Yogyakarta ke-27 di
UPT Gallery ISI Yogyakarta.
WIYONO, dilahirkan di Pacitan,18 Januari 1967. Alamat: Perum Pesona
Tirtoadi A2 Jetis, Tirtoadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. E-mail joseph_
wiyono@yahoo.com, tlpn: 081578877651. Lulus Program Studi Seni Lukis
FSR ISI Yogyakarta 1996, lulus Magister Penciptaan Seni Pascasarjana
ISI Yogyakarta 2013. Mengajar di FSR ISI Yogyakarta Jurusan Seni Murni
mulai 1996 hingga sekarang. Aktivitas Pameran tiga tahun terakhir:
2013: Pameran Seni Rupa“Grey“ di Grand Indonesia Jakarta; Diversity
in Harmony: International Visual Art Exhibition, Temple Gallery, Eger,
Hungary. 2012: Pameran Tunggal “Manusia di Persimpangan“, Bentara
Budaya Yogyakarta; Pameran Tugas Akhir Pascasarjana ISI di ruang
pamer Pascasarjana ISI Yogyakarta. 2011: Pameran bersama MEMAKNAI
PUSAT di Jogja Gallery, Yogyakarta; Pameran Dies Natalis ISI Yogyakarta
ke-27 di UPT Gallery ISI Yogyakarta.
Deden Hendan Durahman, "CORPUS
NIRMANA-01", 2013, Digital Photography,
200 x 100 cm
Setiawan Sabana, "Leluhur Kertas", 2013,
botol kaca, kertas, abu, ukuran variasi
17
Dendi Suwandi, "Lafaz dalam Tiga Matra",
2013, 38 X 48 X 15 cm, Satam Stone,
Lutse Lambert Daniel Morin,
"DENSUS XXX", 2013, 60 x 60 x
42cm, alumunium (on progress)
19
AB. Dwiantoro, "Bangun", 2013, 140
cm x 200 cm, akrilik pada kanvas
Amir Hamzah, "ODALISQUE", 2013, 150 x
150 cm, akrilik pada kanvas
I Gede Arya Sucitra, "Ketika Merokok Menjadi Lelaku
Spiritual", 2011, 200 x 150 cm, akrilik pada kanvas
Edi Sunaryo, "Ibu Bumi", 2012, 130 x 120 cm,
cat minyak pada kanvas
Deni Junaedi, "The One Side Square (Comet ISON and
al-Mahdi)", 2013, 160 x 100 cm, Cat minyak di kanvas
Agus Kamal, "Mereka yang Sakit", 2013, 275 X
150 cm, cat minyak pada kanvas
Subroto Sm., "Penyaliban", 2012, 70 x
90 cm, cat akrilik di kanvas
21
Eko Sunarto, "The Jean", 2012, 190 x 110 cm,
cat minyak pada kanvas
Nunung Nurdjanti, "The Queen of Butterfly",
2009, 150 x 100 cm, monoprint pada kanvas
Pracoyo, ""The Power Culture", 2013, 45
cm x 55 cm, akrilik pada kanvas
Satrio Hari Wicaksono, "Hegemony",
2013, Charcoal on Paper
Titoes Libert, "Khat", 2013,
90 x 120 cm, mix media
YS. Nurjoko, "Labeling 100 % Halal", 2009,
120 x 145 cm, acrylic on canvas
Amrizal Salayan, "Fana yesterday,
tommorow is today", 2011, polyester
Asmudjo Jono Irianto, "Artsy Fartsy #11",
2011-2013, 1,5 x 2 m, acrylic on canvas
Tisna Sanjaya, "Seri Air Kehidupan,
50 x 40 cm, mix media
23
Bambang Ernawan,
"Lima Waktu", 2013, @
90 x 90 cm, Aklirik
di atas kayu lapis,
kanvas, neon, aklirik
Dadang Sudrajat, "Simbiosis 3#",
2013, 100 x 150 cm, akrilik
Muksin MD, "Cap Jempol II", 2013, 85 x 60 cm,
Hand-made paper Kozo Fiber + Korosif wire
Zusfa Roihan, "Painting from my favourite artist
#5 (Sudjana Kerton and Ernest Dezente), 2011,
150 x 200 cm, oil on canvas
Willy Himawan, "I was there", 2012,
140 x 100 cm, oil on canvas
Patriot Mukmin,
"Keberadaan
Pikiran #7: Dialog &
Keseimbangan", 2012,
133 x 122 cm,, cat
minyak dan akrilik di
kanvas, ditempel ke 16
bilah kayu
Dimas Arif Nugroho, "BEWEG3", 2013, 100 x 91,5 cm,
Digital Photography acrylic dibond
Dikdik Sayahdikumullah, "Greencoloring",
2013, 50 x 60 cm, oil on canvas
Kiki Rizky Soetisna Putri,
Media (all) nylon yarn on
hycon, 50 cm x 50 cm, framed
#1: "Tell the believing men to lower
their gaze and be modest. That is
purer for them. Allah is Aware of
what they do."
#2: "Ya ay yuhan Nabee (Prophet) ! If
believing women come to you, taking
oath of allegiance unto you that they will
ascribe nothing as partner unto Allah, and
will neither steal nor commit adultery nor
kill their children, nor produce any lie that
they have devised between their hands and
feet, nor disobey you in what is right, then
accept their allegiance and ask Allah to
forgive them. Allah is Forgiving, Merciful."
#3: "Good tidings and a warning. But most
of them turn away so that they hear not."
#4: "When the caravan left (Egypt) their
father said: "I do indeed scent the
presence of Yusuf (Joseph): though you
may deny it."
#5: "Eat that over which the name of Allah
has been mentioned, if you are believers
in His revelations."
Setyo Priyo Nugroho, "Go Home", 2012, 80 x 80 x
120 cm, Senapan mainan plastik, besi dan kayu Jati
wiyono, "Menjaga yang Dicipta", 2013, 140 X 140 cm,
akrilik di kanvas (on progress)
Recommended