View
60
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 1
BAB I
PENDAHULUAN
Bagi negara beriklim tropis seperti Indonesia, keadaan cuaca yang panas, sangat kering
atau lembab akan mempengaruhi status kesehatan hewan. Variasi perubahan cuaca akan
mempengaruhi fluktuasi prevalensi penyakit yang dalam kondisi tertentu dapat mencapai titik
intensitas yang sangat tinggi atau sebaliknya dapat pula mencapai titik intensitas yang rendah,
bahkan / mungkin meghilang sama sekali. Bila suhu dan kelembaban udara sangat tinggi,
prevalensi parasit atau penyakit dapat berkembang dan meningkat sampai ke situasi kesehatan
hewan, sehingga hewannya tidak dapat dipertahankan lagi keseimbangannya. Keadaan yang
demikian sekurang-kurangnya menyebabkan dua kemungkinan, kemungkinan pertama
organisme parasit tetap bertahan dan berkembang biak di dalam suasana lingkungan yang ada
dan tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Kemungkinan kedua adalah lingkungan memiliki
dampak yang merugikan terhadap hewan itu sendiri, seperti lingkungan yang lembab sehingga
parasit dapat berkembang dengan baik.
Kambing dan domba merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara petani
ternak di pedesaan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai tabungan yang sewaktu-waktu
dapat dijual untuk keperluan hidupnya. Namun demikian, dalam pemeliharaan ternak kambing
memerlukan perhatian terhadap kesehatannya. Salah satu penyakit yang biasanya timbul dan
perlu diwaspadai adalah Haemoncosis.
Secara umum parasit dapat terjadi bila terpenuhi komponen-komponen sebagai berikut :
(1) adanya parasit, (2) adanya sumber parasituntuk hospes yang rentan (reservoir: hospes antara
atau hospes definitif), (3) proses pembebasan stadium parasit dari reservoir, (4) proses penularan
terhadap hospes yang rentan, (5) adanya hospes yang rentan. Adanya parasit di dalam hospes
yang rentan tidak harus di ikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis. Banyak proses parasitisme
yang bila di ukur dari jumlah parasit di dalam tubuh hospes definitive jumlahnya cukup banyak,
tetapi perubahan klinisnya tidak dapat dikenali dari luar (sub klinis).
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 2
Adanya parasit yang patogen di dalam tubuh hospes tidak selalu mengakibatkan
parasitisme yang sifatnya klinis. Jumlah parasit yang menyerang hospes yang rentan harus cukup
banyak agar terjadi keseimbangan hubungan parasit-hospes. Jumlah tersebut sangat bervariasi
tergantung pada jenis parasitnya, jenis hospes yang rentan dan bahkan untuk satu jenis hospes
pun dapat bervariasi tergantung pada waktu terjadinya parasitisme. Parasitisme akan
memperlihatkan gejala klinis bila keseimbangan hubungan antara hospes dengan parasit
terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan hospes yang menurun dan / atau oleh
peningkatan jumlah parasit yang pathogen dalam tubuh hospes.
Untuk dapat menyebabkan parasitisme secara klinis sifat pathogen parasit dipengaruhi
oleh virulensi parasit dan mikrohabitat parasit dalam organ penderita. Keruskan jaringan oleh
parasit yang virulen dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Perubahan yang
ditimbulkan oleh parasit dapat berupa kerusakan sel dan jaringan, perubahan fungsi faali dari
hospes, penurunan daya tahan terhadap agen penyakit lain, masuknya agen penyakit sekunder
setelah terjadi kerusakan mekanik dan parasit mampu menyebarkan mikroorganisme patogen.
Karena kerusakan jaringan menyebabkan fungsi faali akan mengalami penurunan dan mungkin
berbentuk sebagai hilangnya nafsu makan, gangguan digesti, gangguan penyerapan, hilangnya
cairan dan elektrolit dan hypersensitivity secara lokal atau sistemik.
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 3
MENDIAGNOSA KASUS PENYAKIT PADA KAMBING
Diagnose
A. Anamnesa
B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan feses
2. Pemeriksaan urine
Gambar metode pemeriksaan urin yang dilakukan
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 4
3. Pemeriksaan darah
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 5
LABORATORIUM KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Darussalam Banda Aceh Telp (0651) 51977 Pesawat 157,158
Nama Pemilik : Teaching Farm FKH Unsyiah
Alamat Pemilik : Jl. InongBalee, Tungkop-Darussalam
Signalement :Warna bulu merah hitam, ras local, umur 2 tahun,
Jenis Hewan :Kambing
Jenis Kelamin :Betina
I. ANAMNESA : Kambing kurusa, nafsu makan kurang, dan bulu kusam.
II. STATUS PRAESENT
1. KeadaanUmum :Kulit kusam
a. Gizi :Buruk
b. Temperamen :Jinak
c. Habitus :Lordosis
2. Frekuensi nafas : 27x/menit
Frekuensi pulsus :113x/menit
SuhuTubuh : 39 oC
3. Kulit dan bulu : Turgor kulit jelek dan bulu kusam
4. Selaput lendir :Anemi
5. Kelenjar limfe : -
6. Alat pernafasan : -
7. Alat peradaran darah : -
8. Alat pencernaan : Anus kotor
9. Alat kelamin dan urinasi : -
10. Urat saraf : -
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 6
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Kulit : a. Parasit : -
b. Jamur : -
2. Feses : a. Keadaan feses : Normal
b. Parasit Interna : Ditemukan telur cacing
c. Protozoa : -
d. Mikroba : -
3. Urin : a. Warna :Kuning jernih
b. Bau :Amonia
c. Eritrosit : -
d. Urobilinogen : Normal
e. Bilirubin : +
f. Protein : 30 (0,3)mg/dL
g. Nitrit : -
h. Keton : -
i. Glukosa : -
j. pH : 8
k. Densitas : 1,000
l. Leukosit : Ca.25
4. Darah : a. WBC :17,0 x 103
b. Hb :7,1 g/dL
c. RBC : 1,51 x 106
d. PCV : -
e. MCV : 29,8
f. MCH : 47,0pg
g. MCHC : 161,3 g/dL
h. RDW-CV : 17,3%
i. RDW-SD : 16,7
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 7
IV. DIAGNOSA : Hemonchosis
V. DIFFERENTIAL DIAGNOSA :
VI. PROGNOSA : Dubius
VII. TERAPI : -
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 8
BAB II
PEMBAHASAN
Sampel pemeriksaan yang digunakan kambing lokal di Teaching Farm Fakultas
Kedokteran Hewan Unsyiah dengan no 008. Hewan kurus, nafsu makan kurang, dan bulunya
kusam. Frekuensi nafas 27 kali/menit masih dalam keadaan normal karena frekuensi nafas
normal pada kambing 26-54 kali/menit, frekuensi pulsus 113 kali/menit tidak normal karena
frekuensi pulsus normal pada kambing 70-104 kali/menit ini mungkin hewan pada saat
pemeriksaan dalam keadaan stress sehingga frekuensinya tidak normal, menurut Walser, (1990)
pada sapi, domba, dan babi ditemukan adanya frekuensi pulsus yang tinggi selama masa
menyusu dan kemudian mengalami penurunan seiring dengan pertambahan umur. Suhu tubuh
hewan 39 0C masih dalam keadaan normal karena suhu normal pada kambing 38-49,9 0C nilai
suhu tubuh ini tidak berbeda dengan nilai pada ruminansia kecil lain (domba) pada umur yang
sama (Bostedt, 1990) atau rata-rata suhu tubuh fisiologis pada kambing dewasa 39,4 0C.
Pemeriksaan darah ternak ruminansia yang umum dan biasa dilakukan yaitu untuk
mengetahui kesehatan umum ternak dan mendiagnosa suatu penyakit secara umum penghitungan
jumlah eritrosit, leukosit, PCV, dan Hemoglobin (Hb)
Eritrosit
Faktor yang mempengaruhi kualitas eritrosit bukan saja jumlah sel-selnya tetapi juga
kadar Hb, PCV dan kadar konstituen darah laninya. Factor lain yang dapat mempengaruhi
kualitas eritrosit adalah umur, sex, gizi, kehamilan, laktasi, iklim, fase estrus, dan ketinggian
lokasi (Widjajakuisuma dan Sikar, 1986). Dari pemeriksaan darah yang dilakukan pada kambing
no 008 di dapatkan hasil RBC 1,51 x 106 ini menanndakan hasilnya rendah dibandingkan dengan
nilai normal RBC pada seekor kambing yaitu 8-18 x 106 bila pada ternak ruminansia terjadi
defisiensi vitamin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan eritrosir
misalnya penyakit anemia terjadi apabila jumlah sel-sel darah merah yang fungsional atau
jumlah hemoglobin berkurang jauh di bawah keadaan normal. Anemia dapat terjadi karena
pembentukan darah yang kurang memadai karena gizi yang tidak baik masuk disini adanya
defisiensi zat besi, C1, vitamin dan asam-asam amino di dalam makanan, tapi dapat juga
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 9
disebabkan oleh hilangnya darah karena perdarahan dari luka atau karena parasit seperti cacing
[perut atau karena sel-sel darah merah tidak berhasil menjadi masak secara normal (Frandson,
1993).sedangkan pada polisitemia atau peningkatan produksi eritrosit bisa disebabkan karena
adanya hipoksia jaringan akibat kadar oksigen dalam udara terlalu rendah, transportasi oksigen
dari alveoli paru-paru ke sirkulasi terganggu hemoglobin tidak dapat melepaskan oksigen ke
jaringan.
Leukosit
Didalam aliran darah kebanyakan sel-sel darah putih bersifat nonfungsional dan hanya
diangkut ke jaringan ketika dan dimana dibutuhkan saja , sel darah putih dibagi ke dalam dua
golongan yaitu: granulosit (adanya bintik granula) terdiri dari netrofil, eosinofil, basofil, yang
termasuk arganulosit limposit dan monosit. Dari pemeriksaan di dapatkan nilai leukosit 17,0 x
103 tinggi bila dibandingkan dengan nilai normal yaitu 4000-13000 peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis) sering disebabkan oleh infeksi, umum, infeksi lokal, intoksikasi, dan obatan-
obatan, pertumbuhan neoplasma yang ganas, peredaran akut di dalam rongga tubuh, hemolisis
eritrisitdan leukemia.
Hematokrit (PCV)
Pada ternak \-ternak yang sehat (normal) penghitungan PCV harus sebanding dengan
jumlah eritrosit dan Hb. Hematokrit di pergunakan untuk menghitung jumlah darah dan untuk
mengecek jumlah sel darah merah. Meskipun hematokrit bukan pengukuran volume darah yang
tepat, derajat hemokonsentrasi pada syok dan berhubungan dengan kesehatan, trauma, dan luka-
luka bakar dapat dinilai dengan hematokrit (Mitruka dan Rawnsley, 1977).
Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein komplek terkonyugasi
yang mengandung besi. Proteinnya adalah globulin suatu histon. Warna hemoglobin senyawa
metalik disebabkan oleh heme yaitu suatu senyawa yang mengadnung suatu atom besi
(Widjajakuisuma dan Sikar, 1986), ditambah globin yang merupakan protein globular yang
terdiri dari 4 rantai asam-asam amino. Hemoglobin menggabung dengan oksigen udara yang
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 10
terdapat di dalam paru hingga terbentuklah oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan
oksigen itu ke sel-sel jaringan dalam tubuh, karena adanya hemoglobin, darah dapat mengangkut
sekitar 60 kali oksigen lebih banyak di bandingkan dengan air dalam jumlah kondisi yang sama
(Frandson, 1993)
Dari hasil pemeriksaan di dapatkan hasil Hb 7,1 g/dl rendah di bandingkan dengna nilai
normal Hb yaitu 8-12 g/dl hemoglobin, hematokrit dan eritrosit akan meningkat apabila hewan
dalam keadaan takut atau hewan dalam keadaan gembira. Hal ii dapat disebabkan karena
dilepaskannya katekolamin (epinefrin/norepinefrin), akibatnya tekanan darah meningkat dan
disertai kontraksi dari limpa sehingga eritrosit akan di pindahkan untuk ikut aliran darah begitu
juga jika terjadi penurunan Hb bisa di sebabkan oleh salah astunya oleh anemia.
Pemeriksaan Feses
Adanya parasit yang patogen di dalam tubuh hospes tidak selalu mengakibatkan
parasitis me yang sifatnya klinis. Jumlah parasit yang menyerang hospes yang rentan
harus cukup banyak agar terjadi keseimbangan hubungan parasit-hospes. Jumlah tersebut
sangat berva-riasi tergantung pada jenis parasitnya, jenis hospes yang rentan dan bahkan
untuk satu jenis hospes pun dapat bervariasi tergantung pada waktu terjadinya
parasitisme. Parasitis me akan memperlihatkan gejala klinis bila ke-seimbangan hubungan
antara hospes dengan parasit terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan hospes
yang menurun dan / atau oleh peningkatan jumlah parasit yang pa-togen dalam tubuh
hospes. Untuk dapat me nyebabkan parasitisme secara klinis sifat pato-gen parasit
dipengaruhi oleh virulensi parasit dan mikrohabitat parasit dalam organ pen-derita.
Keruskan jaringan oleh parasit yang vi rulen dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung.
Perubahan yang ditimbulkan oleh parasit dapat berupa kerusakan sel dan jaring-an,
perubahan fungsi faali dari hospes, penu runan daya tahan terhadap agen penyakit lain,
masuknya agen penyakit sekunder setelah ter-jadi kerusakan mekanik dan parasit mampu
menyebarkan mikroorganisme patogen. Kare-na kerusakan jaringan menyebabkan
fungsifaali akan mengalami penurunan dan mungkin berbentuk sebagai hilangnya nafsu
makan, gangguan digesti, gangguan penyerapan, hi langnya cairan dan elektrolit dan
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 11
hipersensi-tivity secara lokal atau sistemik. Dari pemeriksaan feses di temukan telur cacing
Haemonchus contortus di dalam feses.
Haemonchus contortus merupakan parasit yang patogenik, luas penyebaran dan tingkat
infeksinya dapat mencapai 80%. Kambing dan domba mudah terkena infeksi cacing sapuran
pencernaan ini karena Indonesia yang beriklim tropis basah sangat menguntungkan
kelangsungan hidup dan mempermudah penularannya.
Patogenitas Haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi, hal tersebut
tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai 250 larva infektif akan terjadi
kematian, sedangkan pada domba dewasa jika terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing
Haemonchus contortus. Telah dilaporkan bahwa infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba
dan ditemukan sebanyak 20.000 sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999).
Kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
produksi karena sifat cacing adalah menghisap darah yang mengakibatkan anemia hemoragie
dengan ditandai penurunan jumlah eritrosit dan PCV. Infeksi kronis dapat berjalan lama karena
masih adanya sejumlah cacing. Jika disertai nutrisi jelek maka berakibat penurunan berat badan
dan disertai penurunan protein dalam tubuh.
Panjang cacing Haemonchus contortus betina 18-30 mm dan jantan sekitar 10-20 mm.
pada cacing betina secara mikroskopis usus yang berwarna merah berisi darah saling melilit
dengan uterus yang berwarna putih
Etiologi
Haemonchus contortus merupakan cacing kawat yang tinggal di dalam abomasum
domba, kambing, sapi serta golongan ruminansia lainnya. Nama lain yang dikenal bagi cacing ini
adalah “cacing lambung”, “cacing kawat”, dan “cacing halus”. Cacing ini mempunyai lanset
pada bagian dorsal dari rongga mulut dan papillae cervical berbentuk duri kira-kira 300 µ dari
ujung anterior. Cacing jantan mempunyai bursa yang berbentuk seperti huruf y dan spikula.
Cacing betina mempunyai ovarium dan uterus berwarna putih yang meliliti saluran pencernaan
berwarna merah, berekor kecil dan berujung runcing. Vulva ditutupi oleh penutup anterior yang
saling melebar dan terbuka.
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 12
Gambar : Bagian ujung belakang Haemonchus contortus dengan bursa dan spikula
Siklus hidup
Siklus hidup Haemonchus contortus dan nematode lain pada ruminansia bersifat
langsung, tidak membutuhkan hospes intermediet. Cacing dewasa hidup di abomasum,
memproduksi telur. Telur dikeluarkan oleh ternak bersama-sama dengan pengeluaran feses.
Diluar tubuh hospes, pada kondisi yang sesuai telur menetas dan menjdai larva. Larva stadium
L1 berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3 yang merupakan stadium infektif. Larva
infektif menempel pada rumput-rumput dan teringesti oleh domba selanjutnya larva akan dewasa
di abomasums.
Infestasi pada domba terjadi apabila larva stadium tiga (L3) termakan oleh domba, yang
biasanya berlangsung dilapangan pada waktu domba merumput. Kemudian bergerak dari
retikulorumen ke abomasums. Di dalam retikulorumen larva infektif akan segera melepaskan
kulit yang membungkusnya, hal ini terjadi satu jam setelah domba terinfeksi (Dakkak et al,
1981). Kemudian Larva ketiga mengadakan ekdisis dalam waktu 48 jam setelah di dalam
abomasum, membentuk larva stadium keempat (L4). Menurut Whitlock (Dakkak et al,
1981)hanya larva tidak berselubung yang dapat berkembang di dalam abomasums. L4 dilengkapi
dengan “bucal capsul” sementara. Cacing menjadi dewasa di dalam abomasums 19 hari setelah
infestasi dan telur pertama dikeluarkan bersama tinja induk semang 18-21 hari setelah infestasi.
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 13
Gambar : Siklus hidup cacing Haemonchus spp (Whittier, et al., 2003)
Kerugian
Haemonchus contortus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor perhari
menhabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu
tahap I, 3 minggu setelah terinfeksi ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini
merupakan tahap akut, tahap II, antara 3-8 minggu setelah terinfeksi kehilangan darah dan zat
besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III,
terjadi kelelahan sistem eritropoetik yang disebabkan oleh kukarangan besi dan protein hal ini
merupakan tahap kronis.
Gejala klinis
Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus contortus bersamaan dengan
kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung dibawah rahang, diare, tapi kadang-
kadang kambing sudah mati sebelum diare muncul. Gejala lain yang menonjol yaitu: penurunan
berat badan, pertumbuhan yang jelek, dan penurunan jumlah produksi susu
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 14
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan identifikasi telur-telur cacing di bawah
mikroskop. Diagnosis Haemonchosis secara serologis menggunakan antibody poliklonal untuk
mendeteksi infeksi Haemonchosis pada domba dan kambing sampai saat ini di Indonesia belum
ada laporan. Penelitian yang dilakukan oleh Kodyman et al. (2000) menunjukkan antigen dari
produksi eksresi dan sekresi cacing Haemonchosis yang mengandung protein 15 dan 24 kDa
merupakan protein yang sangat imunogenik sehingga bisa dikembangkan sebagai vaksin sub unit
untuk Haemonchosis.
Mufasirin dkk. (2002) telah memproduksi antibody poliklonal spesifik terhadap protein
ekresi dans ekresi dengan berat molekul sebesar 33 kDa dari cacing Haemonchus contortus
isolate local dari kambing dan domba. Antibody yang didapatkan dapat digunakan untuk
mendeteksi protein Haemonchus contortus dalam sirkulasi darah sehingga antibody tersebut
dapat dikembangkan untuk diagnosis Haemonchus contortus pada ternak kambing dan domba.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan menggembalakan ternak terlalu
pagi, pemotongan rumput sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan
mengurangan pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.
Pengobatan
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain
albendazole dengan dosis 5-10 mg/kg bb, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg bb, dan
thiabendazole dengan dosis 44-46 mg/kg bb. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan
awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tapi thiabnedazole sering
menyebebkan resistensi. Pemberian daun nenas segar maupun serbuk daun nenas kering
menurunkan jumlah telur cacing Haemonchus contortus pada feses kambing PE sampai 45%
namun efektifitas anthihelmentiknya menurun dengan cepat. Efektifitas pemberian atau frekuensi
pemberian maupun kombinasi keduanya.
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 15
DAFTAR PUSTAKA
Kodyman, F.N., H.D. Scaling., M.A Vanleuwen., S. Mackella. And J.F Huntley. 2000. Protection in Lambs Vaccinated with Haemonchus contortus antigens is age Related and Corellates with IgE rather than IgGI Antibody. Parasite. Immunonal; 22(1):13-20
Mufasirin, N.D.R Lastuti, dan LS. Hamid. 2002. Identifikasi dan produksi antibody poliklonal protein spesifik eksresi-eksresi cacing Haemonchus contortus untuk diagnosis haemonchosis pada domba dan kambing. Laporan Penelitian DUE-Like Batch III tahun 2002, FKH, Unair. Surabaya.
Dakkak, A.J. Floramenti, L. Bueno. 1981. Haemonchus contortus third stage larvae in sheep kinetics of arrival into abomasums and transformation during rumino-omasal transit. Researchin Veterinary Science 31:384-385.
Panjaitan. T dan Astutu, L.G.S. 2009. Pengendalian Infestasi Cacing Haemonchus contortus Menggunakan Daun Nenas Pada Kambing PE. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Mataram
Walser, K. 1990. Herz und Kreislaufsystem, Atmung, Blut, Nieren, Dalam: Walser K, and H. Bostedt (Eds.): Neugeborenen- und Saeuglingskunde der Tiere. Ferdinan Enke Velag. Stuttgart. Pp. 4-23.
Bostedt, H. 1990. Erkrangkungen bei Schaf-und Ziegenlaemmen. Dalam: Walser K and H, Bostedt (Eds): Neugeborenen-und Saeulingskunde der Tiere. Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart. Hal: 336-413.
Frandson, R.D. 1993. Darah dan cairan Tubuh Lainnya. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke 4 Gajah Mada University Press.
Widjajkusuma, R dan H. Sikar. 1986. Fisiologi Hewan. Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Bogor
Mitruka, B.M and H.M Rawnsley. 1977 Clinical Biochemical and Hematogical Reference Valuesin Normal Exsperimental Animals. Mason Publishing. U.S.A
Recommended