View
40
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Aplikasi material FRP sebagai fungsi perbaikan dan perkuatan struktur
beton yang sudah ada telah berkembang pesat di beberapa negara seperti Amerika
Utara (Labossiere et.al. 1997; Hasen et.al. 1998; Grace and Abdel-Sayed 2003),
Eropa (Meier et.al. 1992; Steiner 1996; Nanni 1997; Matthys et.al. 2004; Blasi
et.al. 2004; Rostasy et.al. 2004) dan di Jepang (Ichimasu et.al. 1993; Katsumata
et.al. 2001). Teknik perkuatan seperti ini dapat dibuat efisien, tidak menyebabkan
karat seperti plat baja external. Fungsi perkuatan dengan sistim komposit FRP
adalah untuk meningkatkan kekuatan atau memberikan peningkatan kapasitas
lentur, geser, axial dan daktilitas, atau berbagai kombinasi diantaranya. Daya
tahan FRP yang tinggi lebih ekonomis digunakan pada lingkugan korosif dimana
baja akan mudah berkarat. Penggunaan FRP lebih populer mengingat banyaknya
keuntungan yang dapat diperoleh seperti bobot unit yang kecil, mudah
diaplikasikan dan ditangani, biaya instalasi dan pemeliharaan yang rendah.
Kerugian yang paling prinsip penggunaan FRP sebagai sistim perkuatan adalah
harga material yang relatif lebih mahal. Pada situasi tertentu, bagaimanapun, FRP
memberikan jalan keluar yang paling ekonomis dalam masalah perkuatan karena
secara dramatis dapat menekan biaya tenaga kerja [Meier and Erki, 1997].
FRP dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas lentur dan geser balok
beton bertulang, lentur pelat, desak, geser dan lentur kolom. FRP dalam bentuk
lembaran, plat atau batangan dapat dipasang pada permukaan balok atau plat yang
8
mengalami peregangan sebagai perkuatan lentur. Sebagai perkuatan geser balok,
lembaran FRP dapat direkatkan pada sisi balok. Penggunaan pada kolom,
lembaran FRP atau pelapisan dapat ditempatkan pada bagian luar kolom untuk
meningkatkan daktilitas dan kekuatan.
2.1.1 Beton bertulang
Material konstruksi beton bertulang mempunyai sifat yang unik
dibandingkan dengan material lain seperti kayu, baja, aluminium atau plastik
karena beton bertulang adalah material konstruksi yang menggunakan dua jenis
bahan yang berbeda secara bersamaan. Beton bertulang adalah merupakan
gabungan yang logis dari dua jenis bahan: beton polos, yang memiliki kekuatan
tekan yang tinggi akan tetapi mempunyai kekuatan tarik yang rendah, dan
batangan-batangan baja yang ditanamkan di dalam beton dapat memberikan
kekuatan tarik yang diperlukan. Dengan demikian prinsip-prinsip yang mengatur
perencanaan struktur dari beton bertulang dalam beberapa hal berbeda dengan
prinsip-prinsip yang mengatur perencanaan struktur dari bahan yang terdiri dari
satu macam saja.
Gambar 2.1 memperlihatkan kekuatan balok yang secara nyata dapat
ditingkatkan dengan menambahkan batangan-batangan baja di daerah tarik. Baja
tulangan yang mampu menerima tekan dan tarik juga dimanfaatkan untuk
menyediakan sebagian dari daya dukung kolom beton dan kadang-kadang di
dalam daerah tekan balok.
9
Gambar 2.1
Kedudukan batang-batang tulangan dalam balok beton bertulang
Baja dan beton dapat bekerja sama atas beberapa alasan yaitu (1) lekatan
(bond, atau interaksi antara batangan baja dengan beton keras disekelilingnya)
yang mencegah slip relatif antara baja dan beton, (2) campuran beton yang
memadai memberikan sifat anti resap yang cukup dari beton untuk mencegah
karat baja dan (3) angka kecepatan muai yang hampir serupa yaitu dari 0,0000055
sampai dengan 0,000075.
2.1.2 Perekat (Adhesive)
FRP direkatkan pada permukaan elemen struktur secara kimiawi dengan
perekat. Perekatan secara kimiawi sangat praktis karena tidak menyebabkan
terjadinya konsentrasi tegangan, lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan
perekat mekanis dan tidak menyebabkan kerusakan pada material dasar atau
material kompositnya. Perekat yang paling cocok digunakan pada material
komposit adalah perekat yang mempunyai bahan dasar epoxy resin. Perekat ini
dibuat dari campuran dua komponen. Komponen utamanya adalah cairan organik
yang diisikan kedalam kelompok epoxy, mengikat susunan satu atom oksigen dan
dua atom karbon. Reaksi ini ditambahkan pada campuran untuk mendapatkan
campuran akhir. Permukaan yang akan dilekatkan harus dipersiapkan untuk
P A
A
Baja
Tulangan
Baja Tulangan
Potongan A-A
Garis netral
Beton Daerah tekan
Daerah tarik
10
mendapatkan lekatan yang efektif. Permukaan harus bersih dan kering, bebas dari
kontaminan seperti: oxida, oli, minyak dan debu.
2.1.3 FRP
Material komposit dibentuk oleh dua material atau lebih yang mempunyai
sifat alami dan makroskopik yang berbeda. Pada fiber komposit, dua material itu
adalah fiber mutu tinggi dan resin. Sifat mekanik komposit adalah yang paling
bertanggung jawab pada jenis ini, tergantung dari arah dan jumlah serat.
Sedangkan fungsi resin adalah untuk mentransfer tegangan dari dan ke serat fiber.
2.1.4 Fiber
Secara spesifik, fiber sebagai material yang diaplikasikan sebagai
perkuatan dapat berupa serat kaca, karbon dan kevlar. Masing-masing mempunyai
kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Nilai karakteristik masing-
masing fiber diberikan pada Tabel 2.1. Nilai elastiknya linear untuk semua fiber,
tetapi nilai lelehnya tidak signifikan. Pemilihan tipe fiber untuk aplikasi tertentu
sangat tergantung pada beberapa faktor seperti: tipe struktur, beban yang
direncanakan, kondisi lingkungan dan lain-lain.
Fiber diproduksi berbentuk:
1. Lembaran, pada umumnya mempunyai arah serat sembarang meskipun ada
yang mempunyai arah serat biaxial dan triaxial, diatas lapisan bagian belakang
yang dapat dilepas atau berbentuk anyaman.
2. Fiber yang sebelumnya dicairkan dengan resin (“pre-preg material”), dimana
perawatannya dilakukan di site dengan pemanasan atau dengan cara lain.
11
Fiber produksi pabrik, kemungkinan mempunyai perbandingan kekuatan
searah serat 70 % dan ke arah melintang serat sebesar 30 %. Fiber mempunyai
ketebalan minimum 0,1 mm dengan lebar 500 mm atau lebih.
Tabel 2.1
Karakteristik fiber
Fibre
Tensile
strength
(N/mm2)
Modulus of
Elasticity
(kN/mm2)
Elongation
(%)
Specific
density
Carbon high strength
Carbon high module
Carbon ultra high
module
Aramid
Glass
4300-4900
2740-5490
2600-4020
3200-3600
2400-3500
230-240
294-329
510-610
424-430
70-85
1.9-2.1
0.7-1.9
0.4-0.8
2.4
3.5-4.7
1.8
1.78-1.81
1.91-2.12
1.44
2.6
Sumber: Simonelli (2005)
2.2 Dasar teori
Menurut Banthia (2003) penambahkan bahan fiber komposit pada
permukaan yang tertarik dapat meningkatkan kapasitas momen dari balok atau
pelat.
Mode Keruntuhan Lentur dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti:
1. Kehancuran beton
2. Melelehnya baja diikuti oleh hancurnya beton
3. Melelehnya baja diikuti oleh putusnya FRP
4. Terkelupasnya FRP dekat atau pada hubungan beton/FRP
12
Gambar 2.2. menunjukkan diagram distribusi tegangan dan regangan
penampang beton bertulang dengan perkuatan FRP.
Gambar 2.2
Diagram tegangan regangan penampang beton bertulang dengan perkuatan FRP
2.2.1 Tarikan pada baja tulangan
Berdasarkan Gambar 2.2, Banthia (2003) menetapkan hubungan sebagai
berikut:
)()( chcdcbifrpsc (2.1)
Gaya-gaya dalam yang bekerja pada penampang :
cbfC 1
,
cfrp1 (2.2)
ysssss untukAfT (2.3)
yssyss untukAfT (2.4)
dimana fs dan As masing-masing adalah tegangan dan luas penampang baja, fy
dan εy masing-masing adalah tegangan dan regangan leleh baja.
Gaya yang bekerja pada FRP didapatkan dengan:
frpufrpfrpfrpfrpfrpfrp untukAET (2.5)
b
h
bfrp
d
Cc c a=β1c
Ts
Tfrp ffrp εfrp εbi
εst εsi
εci
fs
α1f’c f’c εct
N.A
13
frpufrpfrp untuk0T (2.6)
Keseimbangan gaya-gaya dalamnya adalah:
frpsc TTC dengan momen tahanan Mr =Ts(d – a/2)-Tfrp(h – a/2) (2.7)
2.2.2 Keruntuhan desak pada beton
Pada kasus ini, mode kegagalan lentur dimulai oleh kehancuran beton (εc=
εcu= 0,0035 untuk struktur dan 0,003 untuk jembatan), regangan FRP dan baja
dapat dihitung dengan persamaan berikut:
εs = εcu{(d – c)/c} . (2.8)
εfrp = εcu{(d – c)/c} – εbi (2.9)
Jarak c dihitung dari permukaan penampang yang tertekan sampai ke garis netral.
Dianggap baja tarik tidak mengalami leleh:
0)(
))((2
1
'
1
cufrpfrpfrpsss
bicufrpfrpfrpcussscc
hAEdAE
cAEAEbcf (2.10)
Momen tahanan terfaktor dapat dihitung sebagai:
)2
()2
( ahAEadAfM frpfrpfrpfrpsssr (2.11)
Dianggap baja tarik mengalami leleh
0hAEc)Af)(AE(bcf cufrpfrpfrpsysbicufrpfrpfrp
2
1
'
cc1 (2.12)
)2
ah(AE)2
ad(AfM frpfrpfrpfrpsysr (2.13)
14
2.2.3 Keruntuhan tarik FRP
Menurut Banthia (2003), jika tegangan tarik pada FRP terjadi lebih dahulu,
sementara regangan tarik baja lebih besar dari regangan lelehnya maka regangan
pada beton dan baja dapat dihitung sebagai berikut.
)ch/cd)(( bifrpus (2.14)
)ch
c)(( bifrpus (2.15)
Jarak c dari garis netral ke permukaan atas penampang tertekan dihitung menurut
rumus:
(2.16)
dan momen terfaktornya adalah:
(2.17)
2.2.4 Interaksi antara beton dengan FRP
Mekanisme transfer gaya antara beton dengan FRP pada bagian ini
menjelaskan secara diskriptif persamaan dasar sederhana yang dapat memberikan
klarifikasi masalah phisik.
Dalam dua dimensi mekanisme tersebut disebut sebagai mode I dan mode
II. Mode I adalah pergeseran relatif antara dua permukaan yang dilekatkan
sedangkan mode II berhubungan dengan transfer displacement. Kedua mode pada
umumnya simultan dalam proporsi yang berbeda. Pada kasus interaksi beton
dengan FRP pada elemen struktur yang mengalami lentur, mode II adalah
dominan. Mode II menyebabkan tegangan geser. Tegangan geser akan diteruskan
15
ke beton penutup tulangan melalui lekatan. Persamaan keseimbangan pada elemen
plat adalah:
d
dEt
d
dt
mfrp
frpfrp
mfrp
frp (2.18)
dimana: τ adalah tegangan geser, tfrp, Efrp, σmfrp,εmfrp, χ berturut-turut adalah tebal,
Modulus Young, tegangan axial rata-rata, regangan axial rata-rata dan panjang
FRP.
Rumus dasar tegangan geser lekatan antara FRP dan balok adalah:
frp
frp
Ib
yVA (2.19)
dimana: τ = tegangan geser lekatan; V=gaya geser yang bekerja pada penampang;
Ap= luas penampang FRP; y =jarak antara garis netral penampang ke titik berat
penampang FRP; I=Inersia penampang terhadap garis netral; bp=luas penampang
FRP.
2.3 Deskripsi Metode Elemen Hingga
Pada tahap analisis struktur, seringkali dipergunakan model matematis
yang biasanya diekspresikan dalam hubungan atau ketergantungan antara satu
atau beberapa besaran dengan satu atau beberapa besaran lainnya. Hubungan ini
umumnya dinyatakan dalam bentuk persamaan difrensial biasa, persamaan
difrensial parsial atau persamaan lainya. Kenyataannya banyak persoalan analisis
struktur yang sangat rumit sehingga solusi dari model struktur tidak dapat
diselesaikan dengan cara eksak, yaitu cara penyelesaian matematis yang solusinya
secara eksak harus memenuhi hukum-hukum pembentukan model struktur
16
(hukum keseimbangan, kompatibilitas, dan hukum bahan) disetiap titik dalam
model struktur tersebut.
Cara mengatasi persoalan analisis struktur yang terlalu rumit diselesaikan
secara eksak adalah dengan menggunakan aproksimasi. Meskipun solusi yang
dihasilkan tidak eksak, tetapi dapat dibuat sangat dekat dengan hasil yang
sebenarnya.
Ada bermacam-macam metode yang sering digunakan untuk
menyelesaikan persamaan difrensial parsial atau partial diffrensial equation
(PDE) secara numerik, yang pada umumnya melakukan deskritisasi untuk
menyederhanakan PDE menjadi persamaan diskrit simultan, antara lain metode
finite difference, metode finite volume, metode boundary element dan metode
elemen hingga. Diantara beberapa metode tersebut, metode elemen hingga
menjadi salah satu yang diterima dan dipakai secara luas dalam berbagai aplikasi
engineering, termasuk dalam analisis problem elastisitas struktur.
Metode elemen hingga memerlukan prosedur diskritisasi (descritization)
untuk dapat mengubah persamaan difrensial menjadi satu set persamaan aljabar
(diskrit) yang terdiri dari matrik kekakuan, vektor gaya (force vector), dan vektor
displacement yang belum diketahui. Prinsip dari diskritisasi pada metode elemen
hingga adalah memodelkan struktur atau memodelkan elemen struktural menjadi
suatu kumpulan elemen-elemen kecil (assemblage). Bentuk geometrik tiap elemen
dibuat sesederhana mungkin sehingga lebih mudah dianalisis daripada strukur
aslinya. Proses diskritisasi dilakukan dengan cara menentukan titik-titik tertentu
untuk menjadi pemodelan struktur sesungguhnya, yang dinamakan titik nodal
17
(nodal point), dimana pendifinisian elemen dan analisis selanjutnya hanya
mengacu pada titik-titik tersebut, bukan lagi pada struktur sesungguhnya yang
masih merupakan media kontinyu. Informasi dari titik nodal serta pendifinisian
elemen dipakai untuk membentuk shape functions, yang digunakan
menginterpolasikan respon titik-titik nodal ke semua lokasi domain yang ditinjau.
Prosedur penentuan titik-titik nodal dan mendifinisikan elemen-elemen untuk
mendiskritkan domain struktur yang ditinjau inilah yang disebut dengan
“meshing”.
Akan tetapi karakteristik dan bentuk geometri struktur yang ditinjau dapat
berubah seiring berubahnya kondisi struktur, seperti akibat penyebaran retak
(crack propagation) dan deformasi yang besar. Untuk mengatasi hal seperti ini
biasanya perlu dilakukan deskritisasi ulang, dalam kasus metode elemen hingga
disebut dengan remeshing disetiap konfigurasi domain struktur yang berubah
sehingga mesh tetap sesuai dengan bentuk geometri yang baru.
Hasil analisis yang diperoleh dari analisis elemen hingga akan berbeda jika
dibandingkan dengan hasil analisis yang diperoleh dari eksperimen, terutama yang
berkenaan dengan kapasitas ultimit struktur. Salah satu penyebabnya adalah
respon struktur yang komplek dengan berbagai ketidak linearan yang dimiliki oleh
material beton bertulang yang tidak dapat dimodel secara akurat.
2.4 Manual Program FEA LUSAS versi 13.57
LUSAS versi 13.57 merupakan salah satu program yang berbasis elemen
hingga. Penyajian model adalah dalam bentuk grafis yang terdiri dari berbagai
18
macam geometri seperti titik, garis, bidang, volume dan pendifinisian atribut yang
berupa material, beban, tumpuan dan mesh. Program LUSAS menyediakan 100
jenis elemen yang diklasifikasikan dalam kelompok elemen sesuai dengan
fungsinya yaitu: Bars, Beams, 2D Continum elements, 3D Continum elements,
Plates, Shell, Membranes, Joints, Field Elements dan Interface Elements.
Program LUSAS secara umum menggunakan Sistem Keseimbangan Statis
tiga dimensi yaitu: surface forces, body forces dan concentrated load.
Benda (elemen 3-dimensi) dapat berdeformasi dari konfigurasi semula sebesar u
dengan memberikan kenaikan regangan ε yang berhubungan dengan tegangan σ.
Di dalam analisis finit elemen benda dianggap sebagai kumpulan elemen kecil
yang terhubung pada titik nodal. Perpindahan setiap elemen merupakan interpolasi
dari perpindahan titik nodal yang menghubungkan setiap elemen.
2.4.1 Analisis Statis Non Linear
Sifat nonlinear mungkin terbangun dari beberapa bentuk termasuk defleksi
yang besar, tegangan yang besar, hukum tegangan-regangan, deformasi yang
tergantung dari kondisi batas, dan deformasi yang tergantung dari besarnya beban.
(1) Analisis Material Non Linear
Jenis analisis ini harus dapat digunakan jika hubungan tegangan-regangan
material benar-benar non linear. Sebagai contoh idealisasi hubungan tegangan-
regangan untuk baja batangan seperti Gambar 2.3.
19
Gambar 2.3
Idealisasi hubungan tegangan-regangan untuk baja batangan
Gambar 2.3 menunjukkan linear pada batas elastis dimana Analisis Elastis
dapat memperkirakan konfigurasi deformasi yang akurat bila batas tegangan leleh
tidak dilampaui. Jika leleh terjadi diikuti dengan menurunnya kekakuan baja
masih dapat mengikuti aturan tegangan-regangan. Oleh karena itu peningkatan
beban masih dapat diijinkan untuk menggambarkan respon semua material.
Gambar 2.4 adalah contoh sederhana penggabungan dua material baja.
20
Gambar 2.4
Contoh sederhana penggabungan dua material baja
LUSAS memiliki beberapa model material yang berbeda dengan variasi
cara pemodelan pisik material yang diijinkan termasuk baja elastis, beton, busa
dan tanah.
21
(2) Analisis Geometri Non Linear
Dalam analisis ini yang menjadi pertimbangan adalah mengubah efek
deformasi struktur kedalam kekakuan struktur dan posisi beban yang dikerjakan.
Gambar 2.5 adalah sebagai ilustrasi, balok diatas tumpuan sederhana dengan
beban yang terdistribusi merata. Solusi linear sederhana dapat memprediksi
momen lentur tumpuan dan gaya aksial nol. Tetapi kenyataannya, sebagai balok
yang mengalami lentur dan juga adanya sudut inklinasi balok pada tumpuan
menyebabkan terjadinya komponen gaya aksial. Gaya ini menjadi signifikan jika
deformasi dan sudut inklinasi tumpuan menjadi besar.
Gambar 2.5
Respon Geometri Non Linear Balok dengan tumpuan sederhana
(3) Ketergantungan Deformasi terhadap Kondisi Batas
Dalam Analisis ini kondisi batas dimodifikasi selama keadaan dimana
analisis tergantung pada bentuk deformasi struktur. Gambar 2.6 adalah sebagai
contoh ilustrasi, dimana masa sebagai subyek yang menerima beban P dan
diinisialkan berada diatas tumpuan pegas tunggal. Jika beban meningkat, kontak
22
dapat terjadi pada pegas kedua yang mana akan merubah respon beban-deformasi
struktur.
Gambar 2.6
Respon pegas-masa dengan kondisi tumpuan non linear
2.4.2 Pentahapan Waktu (Time Steping) dan Tangen Modulus Matrik
Untuk memecahkan masalah respon nonlinear material dan geometri
struktur, prosedur pentahapan waktu dan beban harus digunakan. Jika derajat
nonlinearitas terjadi secara signifikan selama tahap beban, tegangan-tegangan
yang terintegrasi mengikuti derajat struktur tidak akan mencukupi keseimbangan
23
gaya luar. Konsekuensinya adalah terjadinya gaya residu (sisa). Maka koreksi
akan dilakukan terhadap prosedur untuk memperoleh keseimbangan. Korektor
paling sederhana yang mungkin digunakan adalah pengembangan dari seri Taylor
untuk memperoleh pendekatan terhadap hasil.
Prosedur keseimbangan iterasinya dikenal sebagai Iterasi Newton-Raphson
dan ditunjukkan pada Gambar 2.7 yang juga menampilkan sifat pisik yang
signifikan dari Tangen Modulus sebagai tangen hubungan antara Tegangan-
Regangan dari konfigurasi yang sudah ada.
Gambar 2.7
Ilustrasi Iterasi Newton-Raphson untuk Respon Derajat
Kebebasan Tunggal
24
2.4.3 Prosedur Iterasi
(1) Iterasi Newton
Walaupun Iterasi Newton-Raphson adalah stabil dan converges
quadratically (menyajikan estimasi awal yang sangat mendekati hasil), namun
punya kekurangan pada saat tangen matrik kekakuan memerlukan inversi
(kebalikan) pada masing-masing iterasi. Juga, mungkin akan gagal mencapai
konvergen jika terdapat material struktur dengan nonlinearitas ekstrim. Untuk
kasus ini, Modifikasi Iterasi Newton mungkin lebih efektif. Dengan Iterasi
Newton modifikasi, tangen matrik kekakuan semula akan diganti dengan matrik
kekakuan sebelumnya, dinyatakan dari awal kenaikan. Hal ini dapat mengurangi
biaya komputasi/iterasi sebagai faktorisasi tangen matrik kekakuan tidak
diperlukan untuk setiap iterasi.
Gambar 2.8 (a), (b) dan (c) menunjukkan bentuk dasar Modifikasi
Newton-Raphson yang terdiri dari Initial Stiffness Method, KT1 Method dan KT2
Method.
Nilai konvergensi Iterasi Newton Modifikasi bukan quadratik dan
prosedurnya sering menjadi divergen. Bagaimanapun, jika dipasangkan dengan
prosedur pencarian baris bentuknya sebagai iterasi algoritma dan terutama sekali
cocok untuk struktur yang mempunyai material dengan nonlinearitas ekstrim.
Iterasi Newton-Raphson lebih efektif untuk persoalan geometri non-linear dari
pada Iterasi Newton Modifikasi.
25
Gambar 2.8a
Initial Stiffness Method
Gambar 2.8b
KT1 Method
Gambar 2.8c
KT2 Method
26
(2) Pelacakan Baris
Teknik Pelacakan Baris (Line Searches) didisain untuk meningkatkan nilai
konvergensi antara Iterasi Newton Penuh dan Modifikasi. Teknik ini melibatkan
modifikasi terhadap kenaikan lendutan terakhir untuk Iterasi.
Proses ini berulang sampai kriteria konvergensi terpenuhi atau sampai
dengan jumlah pelacakan baris per iterasi yang telah dirancang terlebih dahulu
bersesuaian (Gambar 2.9). Pelacakan baris tidak dapat dilakukan bila interval
penghitungan mendekati satuan atau mendekati nol. Jika interval langkah
mendekati satuan, pelacakan baris masih sedikit diperlukan. Jika interval langkah
mendekati nol, telah dibuat sedikit pengembangan terhadap hasil, dan arah
kenaikan yang baru akan diberikan oleh pengulangan hasil yang bersifat
menguntungkan.
Gambar 2.9
Prosedur Pelacakan Baris
(3) Konvergensi
Jika menggunakan solusi algoritma kenaikan/iteratif, ukuran konvergensi
dari solusi digunakan untuk menggambarkan saat keseimbangan dapat diterima.
27
Pemilihan kriteria konvergensi yang sesuai adalah yang paling penting. Toleransi
yang sering terlalu ketat mungkin menghasilkan iterasi yang tidak perlu dan
konsekuensi lainnya adalah menyia-nyiakan sumber daya komputer dan jika
toleransi terlalu longgar mungkin tidak akan menghasilkan jawaban yang akurat.
Menetapkan nilai toleransi sangat berarti dalam suatu pengujian. Pada
umumnya, persoalan geometri nonlinear yang sensitif memerlukan urutan kriteria
konvergensi yang ketat untuk menjaga hasil dalam keseimbangan yang akurat,
sedangkan toleransi yang longgar biasanya lebih efektif dengan sebagian besar
persoalan material nonlinear dimana residu lokal yang tinggi masih mungkin
ditoleransi.
2.4.4 Prosedur Inkrementasi
Untuk menggambarkan alur solusi nonlinear diperlukan prosedur
kombinasi inkrementasi/iteratif. Tersedia dua metode dalam Program Lusas yaitu:
1. Constant load level incrementation (inkrementasi level beban konstan)
2. Modifikasi inkrementasi panjang busur (termasuk metode Crisfield atau
Rheinboldt)
(1) Level Beban Konstan
Dengan prosedur inkrementasi/iteratif level beban konstan (Gambar 2.10),
beban diaplikasikan kedalam inkrementasi tetap yang khas dan pilihan algoritma
iteratifnya digunakan untuk memperoleh konfergensi hasil pada setiap level
beban. Dalam LUSAS, level beban mungkin lebih spesifik dilakukan secara
manual sama seperti mencocokkan rangkaian beban, atau secara otomatis
28
menggunakan perintah INCREMENTATION. Dengan inkrementasi manual,
kegagalan konvergensi iterasi algoritmanya akan mengakibatkan penghentian
analisis. Tetapi penghentian otomatis analisis mungkin diabaikan, sehingga
inkrementasi beban berikutnya akan diterapkan pada konfigurasi yang tidak
konvergen sebelumnya.
Gambar 2.10
Prosedur Inkrementasi/iteratif Level Beban Konstan
Jika hasil gagal mencapai konvergen dengan ikrementasi otomatis, ukuran
ikrementasinya akan direduksi dan konvergensinya dicari dalam level beban yang
baru. Tetapi reduksi beban ini mungkin juga diabaikan, sehingga hasilnya
mungkin juga berakhir atau dilanjutkan dengan mengaplikasikan ikremen beban
selanjutnya.
29
Metode inkrementasi level beban konstan gagal jika solusi mencapai limit
point (Gambar 2.11) dan metode ini tidak bisa diterapkan pada pembebanan paksa
(pressure loading).
Gambar 2.11
Ilustrasi Limit Point untuk Respon Derajat Kebebasan Tunggal
(2) Metode Modifikasi Panjang Busur (Metode Crisfield)
Metode umum yang dapat mengikuti seluruh alur solusi limit point disebut
Metode Modifikasi Panjang Busur (Gambar 2.12). Implementasi Algoritma dalam
Program LUSAS mengikuti usulan Crisfield tetapi harus dimodifikasi untuk dapat
menerima modifikasi beban yang proporsional atau tidak proporsional.
Yang khas dalam Metode Modifikasi Panjang Busur adalah bahwa tingkat beban
tidak tetap selama ikrementasi beban yaitu selama prosedur iterasi, beban
dimodifikasi sampai konvergensi mendekati limit point tercapai.
Manfaat pembatasan panjang busur lainnya adalah menstabilkan proses iteratif.
Hal ini mempunyai arti yang sangat penting pada saat menggunakan metode
30
iterasi Newton. Metode panjang busur mungkin juga dapat meningkatkan efisiensi
hasil/solusi bahkan ketika limit point dilibatkan.
Gambar 2.12
Modifikasi Incrementasi Beban Panjang Busur untuk
Respon Derajat Kebebasan Tunggal
(3) Kontrol Panjang Busur (Metode Rheinboldt)
Metode Panjang Busur mungkin diingat sebagai bentuk umum kontrol
lendutan yang dapat diterapkan, secara phisik, persoalan ini tidak melibatkan
kontrol lendutan. Ini secara efektif dapat diterima dalam metode panjang busur
Crisfield, dimana Standar Enclidean mengenai inkrementasi lendutan dibatasi
pada nilai yang tetap.
(4) Pelacakan Baris dengan Metode Panjang Busur
Implementasi metode pelacakan baris yang tepat secara Matematika
dengan modifikasi metode panjang busur adalah sangat komplek, sebab dalam
melakukan penyesuaian terhadap interval setiap langkah beban menyebabkan
persamaan limitnya tidak dapat digunakan.
31
Sedangkan metode ini efektif, jika gagal untuk menghitung penyesuaian
tingkat beban sebenarnya selama pelacakan baris benar-benar mengubah arah
iterasi sampai mencapai energi minimum. Disamping itu, pelacakan baris harus
digunakan secara hati-hati pada saat menelusuri alur keseimbangan yang tidak
stabil, karena posisi keseimbangan tidak boleh bersamaan dengan status energi
minimumnya.
(5) Penyesuaian beban secara otomatis
Inkrementasi panjang busur disesuaikan untuk setiap inkremen, sehingga
inkremen beban yang besar dapat digunakan untuk level beban dengan sedikit
linearitas, inkremen beban yang kecil akan digunakan untuk tingkat beban dimana
respon adalah sangat tidak linear. Hal ini dapat dicapai dengan mencoba
mempertahankan nilai iterasi yang konstan pada setiap langkah.
Pada kejadian dimana konvergensi gagal setelah iterasi mencapai nilai
maksimum, inkrementasi dimulai lagi dengan mereduksi inkremen panjang busur.
2.4.5 Software Analisis Finite Elemen LUSAS
Analisis Finit Elemen secara lengkap terdiri dari 3 (tiga) langkah, yaitu:
Pre-Processing, Finite Element Solver dan Result Processing. Sistem pada
Program Finit Elemen LUSAS, mengandung dua bagian pelaksanaan analisis finit
elemen secara lengkap yaitu:
1. LUSAS Modeller, sangat interaktif bagi pengguna dalam pemodelan grafis
sebelum dan sesudah proses.
2. LUSAS Solver, untuk melaksanakan Analisis Finit Elemen.
32
Memodel struktur dilaksanakan pada tahap pra-proses. Model disajikan
dalam bentuk grafis dengan dua bagian besar yaitu fitur geometri dan asign
atribut. Terdapat empat fitur geometri pada LUSAS yaitu titik, garis, permukaan
dan volume. Dasar penggambaran geomeri adalah beberapa titik yang
dihubungkan menjadi garis; garis dengan garis yang berhubungan menjadi
permukaan dan kombinasi beberapa permukaan menjadi volume. Seluruh
geometri harus dipastikan menurut sistim sumbu Cartesian demikian juga untuk
sistim sumbu lokal dan sistim sumbu global.
Define dan Assign Attribute adalah untuk mengidentifikasi dan
memasukkan data propertis model struktur. Yang termasuk didalam sistim atribut
LUSAS adalah mesh, geometri, material dan beban.
Berikutnya adalah tahap solusi yang dikenal sebagai Finite Element
Solver. Metode kekakuan akan diproses pada tahap ini dan menghasilkan file data
yang diperlukan. Tahap akhir adalah proses hasil dengan melibatkan penggunaan
perangkat untuk melihat dan menganalisis jawaban yang dihasilkan oleh LUSAS
Solver.
2.4.6 Element 1-dimensi
Elemen 1-dimensi hanya digunakan jika perpindahan atau tempratur
mempunyai fungsi untuk satu kordinat saja. Jenis elemen ini harus mempunyai
sekurang-kurangnya dua titik dalam sumbu kontroidalnya. Elemen ini dapat
mempunyai 2 titik, 3 titik, 4 titik dan seterusnya, semakin banyak titik akan
memberikan hasil dengan akurasi yang lebih tinggi, tetapi pada saat yang sama
33
membutuhkan kalkulasi yang lebih komplek. Contoh elemen 1-dimensi adalah
elemen linear quadratic dan elemen kubik. Gambar 2.13 menunjukkan elemen 1-
dimensi dan Gambar 2.14 menunjukkan penambahan beban yang bekerja pada
model kantilever yang menggunakan elemen 1-dimensi.
Gambar 2.13
Elemen 1-dimensi
Gambar 2.14
Penambahan beban yang bekerja pada model kantilever yang
menggunakan elemen 1-dimensi
2.4.7 Elemen 2-dimensi
Elemen 2-dimensi digunakan jika perpindahan atau tempratur mempunyai
fungsi untuk dua kordinat x dan y. Jenis elemen ini merupakan layer yang
mempunyai tiga titik penghubung atau lebih. Contoh untuk elemen 2-dimensi
adalah elemen linear triangular, yang paling mudah untuk dimodel, elemen linear
34
rektangular, elemen kurva triangular dan elemen kurva rektangular. Lihat Gambar
2.15.
Gambar 2.15
Elemen 2-dimensi
2.4.8 Elemen 3-dimensi
Elemen 3-dimensi digunakan jika perpindahan atau tempratur mempunyai
fungsi untuk tiga kordinat x, y dan z. Masing-masing panjang tepi sangat
menentukan sebab tidak terdapat dimensi elemen yang lebih besar dari 2-dimensi
lainnya. Elemen 3-dimensi paling banyak diterapkan sampai saat ini sehubungan
dengan tingkat akurasinya. Gambar 2.16 menunjukkan beberapa variasi elemen 3-
dimensi.
Gambar 2.16
Beberapa variasi elemen 3-dimensi
35
Berdasarkan jenis material (material properties) terdapat enam model joint
pada FEA LUSAS yaitu spring stiffness only, general properties, elasto-plastic
uniform tension and compression with isotropic hardening, elasto-plastic general
with isoropic hardening, smooth contact with an initial gaps, dan frictional
contact with an initial gap.
2.5 Penelitian-penelitian mengenai balok dengan perkuatan lembar CFRP
Penelitian oleh Jumaat dan Alam (2006) mereview beberapa masalah yang
timbul dalam pemakaian lapisan perekat atau metode perekatan dalam perkuatan
balok beton bertulang. Bahwa setiap elemen struktur didisain menurut tipe
pembebanannya. Demikian pula pada sejumlah elemen struktur sipil, seperti balok
beton bertulang yang sering memerlukan tambahan perkuatan dalam kaitannya
dengan peningkatan beban. Menurut situasi dan ekonomi, menambah perkuatan
balok beton bertulang masih lebih baik dilakukan daripada penggantian. Material
dan metode yang berbeda seperti beton yang disemprotkan (sprayed concrete),
ferrocement, plat baja, dan Fibre Reinforced Polymer (FRP) dapat digunakan
sebagai perkuatan balok beton bertulang yang sudah ada, dimana metode
pelapisan dengan plat baja dan lembaran FRP adalah yang paling populer
dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Sasaran utama penelitiannya adalah
meninjau kembali metode perkuatan yang sudah ada, perhatian terhadap perkuatan
menggunakan lembaran baja dan FRP dan perhatian terhadap masalah yang
ditimbulkan oleh metode dengan perekatan.
36
Perkuatan plat baja adalah metode yang populer dalam kaitannya dengan
ketersediaan, murah, sifat material yang seragam, kemudahan pengerjaan serta
mempunyai kekakuan dan kekuatan terhadap kelelahan yang tinggi. Sedangkan
efektifitas dari metode ini tergantung dari penyiapan permukaan dan metode
perekatan antara permukaan beton dan plat baja.
Disimpulkan pula bahwa penambahan plat baja yang direkatkan pada
balok beton bertulang dapat meningkatkan kekakuan lentur, mereduksi retak dan
deformasi pada setiap tahap pembebanan dan memberikan kontribusi terhadap
mode peningkatan kapasitas lentur ultimit. Reduksi terhadap retak dan deformasi
meningkat dengan meningkatnya ketebalan plat baja dan ketebalan perekat,
walaupun bukan pada waktu yang bersamaan. Juga dilaporkan bahwa plat baja
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kontrol retak daripada kontrol
terhadap deformasinya. Kekakuan balok beton yang diperkuat menurun sebanding
dengan meningkatnya ketebalan plat.
Studi mengenai perkuatan struktur menggunakan FRP terus mengalami
peningkatan beberapa tahun terakhir. Secara umum FRP mempunyai keunggulan
sangat baik dalam hal ketahanan terhadap korosi, ketahanan terhadap kelelahan
(mungkin dengan beberapa perkecualian FRP berbahan dasar serat kaca),
kepadatan yang rendah, kekakuan dan kekuatan yang tinggi dan mempunyai
koefisien muai panas yang sangat rendah searah serat. Material FRP mempuyai
sifat mekanis dan fisik diatas baja, terutama pada kekuatan terhadap regangan dan
kelelahan. Maka dari itu FRP banyak digunakan pada daerah dengan perbedaan
suhu yang tinggi. Tingkat kegagalan yang rendah selama pemakaian bertahun-
37
tahun dalam struktur teknik sipil menjadikan pemakaian FRP lebih efisien
dibandingkan dengan plat baja, walaupun harga material FRP lebih mahal dari
material baja.
FRP lebih efektif jika digunakan untuk perkuatan lentur dibandingkan
dengan perkuatan geser sehubungan dengan sifat material yang unisotropic, FRP
sebagai perkuatan geser dapat digunakan dengan baik dengan mengubah arah
serat. Peningkatan luas penampang GFRP dan perekat memberikan peningkatan
kekuatan lentur pada balok beton bertulang yang direhabilitasi dengan lembaran
GFRP. Hasil pengujian mendekati hasil teoritis menggunakan teori balok beton.
[seperti dilaporkan oleh Saadatmanesh and Ehsani, University of Arizona dalam
Jumaat and Alam, 1990].
Kegagalan dini pada perekat adhesive merupakan masalah yang sangat
komplek dan juga merupakan masalah yang sangat penting dan ekstrim sebab
mekanisme pengelupasan perekat bersifat getas dan tiba-tiba. Penelitian
menunjukkan bahwa tiga mekanisme pengelupasan dikenal sebagai flexural
peeling, shear peeling dan axial peeling
Alfano et.al. (2005), menganalisis mekanisme kegagalan balok beton
bertulang yang diperkuat dengan FRP dengan model finit-elemen 2D. Balok
disimulasi dengan tiga tipe, yaitu balok kontrol tanpa perkuatan FRP dan dua
balok yang masing-masing diperkuat dengan lapisan pultruded CFRP dan lembar
pre-preg CFRP. Disebutkan bahwa mekanisme kegagalan balok beton bertulang
dengan perkuatan FRP melibatkan pengelupasan ujung fibre reinforced
composite, lepasnya ikatan FRP atau lepasnya ikatan penutup beton memerlukan
38
model komposit yang lebih canggih daripada berdasarkan hipotesis penampang
melintang setelah terjadinya deformasi. Analisis finit elemen 2D dengan empat
titik beban, Gambar 2.17 dapat memberikan gambaran hasil percobaan mengenai
perilaku non linear balok beton bertulang, pola retak dalam balok, mekanisme
slip baja tulangan dan kemungkinan lepasnya FRP.
Gambar 2.17
Balok beton bertulang: geometri dan pembebanan
Model finit element ini disajikan hanya dalam setengah model karena
simetris, pola retak didifinisikan dengan 14 retak vertikal yang dirancang masing-
masing berjarak 100 mm, jarak yang diperkirakan sama dengan hasil penelitian
yang telah dilaporkan. Hypotesa yang telah dibuat adalah plane strain dengan
lendutan yang kecil.
Dari hasil penelitiannya, tampak bahwa retak yang terbatas pada suatu area
yang sangat kecil mempunyai efek signifikan dalam penentuan tegangan geser
2800
1100 800 1100
300
150
Ø12
Ø20
Ø12 FRP
300
39
pada permukaan beton dengan FRP, yang mana sesuai dengan model non linear
yang dikembangkan. Pada kasus retak tegangan geser pada permukaan beton
dengan FRP dengan cepat menghilang pada bagian sebelah kiri beban yang
bekerja, yaitu pada area momen konstan balok.
Gorji (2009) menganalisis Perkuatan FRP pada balok beton bertulang
menggunakan Metode Variasi Energi (Variation Energy Methode). Dalam
penelitiannya, Gorji (2009) menyajikan metode analisis untuk memprediksi
lendutan rektangular balok beton bertulang yang diperkuat dengan FRP pada
bagian bawah balok.
Balok yang diuji adalah balok bentang tunggal diatas dua tumpuan sendi
dan rol. Model balok selengkapnya disajikan pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18 Geometri balok Gorji
Bentang bersih : 10000 mm
40
Lebar x tinggi (b x h) : 300x750 mm2
d : 677 mm
tf : 3,00 mm
d2 : 73 mm
As1; As2 : 2453 mm2 (5Ø25); 1257 mm
2 (4Ø20)
Pada analisis numerik dengan program ANSYS 3-D yang dilakukan
dengan memodel seperempat bagian balok yang mewakili keseluruhan balok dan
beban yang simetris, Gorji (2009) mengambil asumsi-asumsi dasar sebagai
berikut:
Bidang datar tetap datar dan distribusi regangan elemen pada penampang
melintang adalah linear setinggi penampang.
Tidak ada slip diantara baja tulangan dengan beton atau beton dengan FRP.
Beton hanya bekerja pada bagian desak saja dan hubungan antara teganga-
regangan adalah linear.
Balok dibebani merata sebesar 60kN/m’ yang digunakan sebagai
perbandingan antara metode variasi dan metode finit elemen. Dengan keseluruhan
detail balok, lendutan balok dapat dihitung dengan metode variasi.
41
Gambar 2.19
Hubungan beban-lendutan antara model variasi dengan model finit elemen
Gorji (2009) menyimpulkan model finit elemen menunjukkan persamaan
perilaku yang sangat baik dibandingkan dengan model variasi. Walaupun pada
tahap awal terjadi perbedaan perilaku beban-lendutan antara model finit elemen
dan model variasi, tetapi itu tidak terlalu signifikan. Perbedaan tersebut terjadi
karena tensile strength balok beton bertulang diperhitungkan pada model FE tetapi
pada model variasi diabaikan. Model variasi energi sangat efektif digunakan untuk
memprediksi besarnya lendutan pada setiap bagian balok beton yang diperkuat
dengan FRP.
Studi mengenai parameter pengujian balok beton yang diperkuat dengan
merekatkan lembaran komposit, beberapa diantaranya dilaporkan oleh Jumaat
M.Z. and Alam (2006), Raoof and Zang (1998), Alfano at.al. (2005), Garden et.al.
(1997), Changji at.al. (2003), Dewobroto (2005) dan Lamana at.al. (2004).
Berbagai konfigurasi penampang plat dan beban yang bekerja telah banyak diteliti
42
dan terungkap bahwa lembaran yang direkatkan dapat meningkatkan kapasitas
ultimit balok tetapi disisi lain mengurangi daktilitas. Lembaran yang direkatkan
secara proporsional, efektif memberikan peningkatan momen kopel dalam setelah
lelehnya baja tulangan. Pada semua kasus, kegagalan berhubungan dengan
tegangan geser longitudinal yang relatif tinggi pada permukaan perekat-beton,
namun kegagalan beton pada semua pengujian dan lepasnya perekat dari beton
tidak dapat diobservasi. Tertundanya kegagalan penjangkaran ujung plat
disebabkan oleh ketahanan plat terhadap pemisahan tetapi tidak meningkatkan
kekakuan struktur sampai dengan melelehnya baja tulangan.
Garden et.al. (1997) memodel balok beton bertulang dengan bentang satu
meter dengan empat titik beban seperti Gambar 2.20. Beton menggunakan semen
portland biasa dengan perbandingan air bebas : semen = 0,4 : 1 dan semen :
agregat kasar : agregat halus = 1 : 1,1 : 1,9. Diameter maksimum agregat kasarnya
adalah 10 mm sedangkan diameter maksimum agregat halusnya adalah 5 mm.
Pengujian dilakukan adalah untuk mengetahui perilaku struktur dengan beberapa
variasi parameter yaitu aspek ratio plat (antara tebal dan lebar) dengan luas
penampang yang sama; perbandingan antara tinggi/lebar balok; dan bentuk
pengangkeran akhir plat.
43
Gambar 2.20
Geometri dan penampang melintang balok
Hasil pengujian yang dilakukan Garden at.al. (1997) menunjukkan bahwa
balok tanpa plat perkuatan mengalami mode kegagalan biasa dengan retak karena
lendutan yang besar dengan momen yang konstan. Melelehnya baja tulangan
memindahkan sumbu netral jauh ke atas yang menyebabkan hancurnya beton.
Retak geser juga terjadi, tetapi tidak begitu lebar sepanjang balok diberi tulangan
geser yang cukup. Semua kasus pada plat, kegagalan disebabkan oleh pemisahan
penutup beton dimulai dari baja tulangan tarik.
Teknik perekatan Fibre Reinforced Plastic (FRP) pada permukaan lentur
atau sisi lain dari balok beton bertulang menjadi sangat populer penggunaannya
sebagai perkuatan atau perbaikan. Mode kegagalan balok beton bertulang dengan
perkuatan bervariasi. Salah satu diantaranya yang paling kritis adalah putusnya
lembaran FRP. Penelitian oleh Changjie et.al. (2003) menyajikan metode numerik
untuk mensimulasi kegagalan putus lembaran FRP. Simulasi kegagalan
menggunakan empat balok uji dan salah satu hasil pengujian dikomparasi dengan
metode numerik. Kesimpulan menunjukkan mode kegagalan perkuatan FRP pada
balok beton bertulang dapat tersimulasi dengan baik dengan metode ini.
44
Dari empat balok uji, balok pertama diperkuat dengan lembaran Carbon
FRP (CB1), balok kedua dengan CFRP prategang (CB2), balok ketiga diperkuat
dengan lembaran CFRP dengan dua tulangan prategang didalam balok (PB1) dan
yang keempat diperkuat dengan lembaran CFRP prategang dan juga dengan dua
tulangan prategang di dalam balok beton bertlang (PB2). Gambar 2.21
menunjukkan geometri dan penampang melintang balok.
Gambar 2.21
Geometri dan penampang melintang balok
(Sumber: Changjie et.al., 2003)
Changji at.al. (2003) melakukan pemodelan 2-D balok hanya setengah
bentang dengan pertimbangan geometri dan beban balok yang simetris. Beton
dimodel sebagai elemen yang solid, lembar FRP dan baja tulangan dimodel
sebagai elemen garis. Sebagai elemen garis (baja tulangan atau lembar CFRP)
dianggap melekat sempurna dengan beton, dan regangan baja tulangan (atau
lembar FRP) diestimasi mengikuti regangan balok bertulang induknya. Demikian
45
pula untuk bantalan tumpuan dan beban dimodel sebagai elemen baja solid (pejal).
Pemodelan ini dilakukan dengan program ATENA 2-D.
Hasil komparasi antara pengujian dan pemodelan disajikan dalam Gambar
2.22 berikut:
Gambar 2.22
Komparasi antara pengujian dan pemodelan.
(Sumber: Changjie et.al., 2003)
Dewobroto (2005) melakukan analisis non-linear untuk mensimulasi
keruntuhan balok beton bertulang dengan program yang berbasis metode elemen
hingga (m.e.h) komersiil ADINA (2003). Dalam pemodelan ini, Dewobroto
(2005) menganggap baja sebagai material homogen yang propertinya terdefinisi
dengan jelas dan material beton merupakan material heterogen dari semen, mortar
dan agregat batuan, yang properti mekaniknya bervariasi dan tidak terdefinisi
46
dengan pasti dianggap material homogen dalam konteks macro. Sebagai
benchmark data uji balok eksperimen, Dewobroto menggunakan seri pengujian
balok dari Universitas Toronto (Vechio-Shim, 2004), Gambar 2.25, yang
konfigurasinya sama dengan uji eksperimen Bresler-Scordelis (1963) dengan
alasan pengujian ini mempunyai dokumentasi yang lengkap dan berkualitas tinggi.
Gambar 2.25
Setup Pengujian Balok Bench-mark (VecchioShim, 2004)
Analisis pemodelan metode elemen hingga ini menggunakan pendekatan
plane-stress sehingga digunakan elemen 2-D solid untuk material beton,
sedangkan untuk tulangan menggunakan elemen Truss (gaya aksial) yang
digabung dengan material bi-linear dari material baja.
Keruntuhan lentur pada penelitian ini diidentifikasi dari hubungan kurva
beban-lendutan yang menjadi datar (horisontal) dimana kekakuan struktur menjadi
nol. Sedangkan pada keruntuhan geser menjadi berbeda, bagian kurva yang datar
tidak selalu dijumpai, meskipun demikian keduanya (lentur dan geser)
menghasilkan kesulitan numerik yang sama. Proses perhitungan pada daerah itu
menjadi “fail”, yaitu iterasi yang menjadi tidak konvergen. Apabila hal tersebut
terjadi maka beban inkremental perlu diperkecil dan proses incremental ditambah.
47
Program ADINA yang digunakan menyediakan fasilitas penambahan beban
secara otomatis (Automatic Time Stepping). Fasilitas Automatic Time Stepping
juga dapat ditemui pada program LUSAS.
Investigasi awal terhadap kelayakan perkuatan beton bertulang dalam
menahan lentur menggunakan perekat bubuk aktif untuk merekatkan lembaran
komposit dengan beton dilakukan oleh Lamanna et.al. (2004). Berdasarkan
kriteria kegagalan awal pada sistim perekatan, tujuan utama dari penelitiannya
adalah kegagalan desak beton setelah baja tulangan mengalami leleh pertama, dan
untuk mendapatkan mode kegagalan daktilitas semu. Sasaran penelitian lainnya
adalah untuk membandingkan kesimpulan dari hasil percobaan dengan prediksi
teoritis.
Spesimen yang diuji ditunjukkan pada Gambar 2.26, adalah beton
bertulang dengan disain mutu 21 MPa (C 21) dan 24 MPa (C 24). Bentang beton
spesimennya adalah 1220 mm, dengan luas penampang 153x153 mm2 dan dicetak
di laboratorium, disediakan oleh suplier lokal. Lembar FRP direkatkan sejauh 2.5
cm (1 inchi) dari tumpuan dan tidak mempunyai angker mekanis pada setiap
ujung FRP.
48
Gambar 2.26
Spesimen uji beton bertulang
(Sumber: Lamanna et.al., 2006)
Gambar 2.27
Skema pembebanan dan pengujian
(Sumber: Lamanna et.al., 2006)
Ukuran balok dan luas tulangan sama untuk semua pengujian, didisain
mengikuti peraturan ACI 138. Tulangan tariknya adalah 2 batang No. 4 grade 60,
sedangkan tulangan desaknya adalah 2 batang No. 3 grade 60 yang dipasang
49
untuk menjaga agar sengkang tetap berada pada posisinya selama proses
pengecoran.
Balok diperkuat dengan lembaran material “pultruded glass vinylester
FRP composite” yang bervariasi dan dibuat khusus untuk penelitian ini. Pengujian
beton bertulang dengan ukuran kecil dapat memberikan gambaran bahwa
pemasangan lembaran komposit dengan perekat bubuk-aktif cukup memadai
untuk diaplikasikan dengan cepat sebagai perkuatan pada balok beton bertulang.
Perkembangan retak pada beton berkaitan dengan penetrasi perekat. Retakan
merupakan fungsi dari jenis perekat dan lebarnya, panjang dan jarak ujung ke
tumpuan. Awal retakan akibat penetrasi perekat dapat diamati hampir pada semua
pengujian, sampai pada jarak 76,2 mm. dari ujung balok uji. Retakan lebih
tertahan pada balok dengan perkuatan akibat meningkatnya momen ultimit yang
dicapai selama lembaran FRP masih melekat.
Pada beban batas, deformasi yang besar dan retak beton tampaknya
menurunkan efisiensi metode ini, tetapi pada semua pengujian beton dengan
perkuatan dapat menunjukkan peningkatan yang memuaskan dalam kaitannya
dengan leleh sampai beban batas. Perkuatan beton bertulang dengan lembaran
komposit dengan perekat bubuk-aktif merupakan pilihan yang tepat untuk
dilakukan apalagi kecepatan instalasi merupakan prioritas utama.
Suta (2008) melakukan penelitian dengan program FEA LUSAS terhadap
balok T standar Bina Marga dengan variasi bentang 10, 15, 20 dan 25 meter.
Masing-masing bentang diberi perkuatan plat baja dengan variasi ketebalan 4,0
mm, 6,0 mm, 8,0 mm dan 10,0 mm. balok diuji dengan 3 (tiga) titik beban, dua
50
titik merupakan tumpuan sendi dan rol, sedangkan satu titik adalah posisi beban
titik di tengah bentang. Balok diuji sampai mencapai lendutan ijin. Balok, lem dan
plat dimodel dengan elemen bidang (surface element), sedangkan tulangan balok
dimodel dengan elemen batang (bar element). Sebagai verifikasi terhadap
kehandalan FEA LUSAS, Suta (2008) menggunakan model 2-D dan 3-D balok
sederhana yang diambil dari example FEA LUSAS dengan bentang 3300 mm,
ukuran penampang 150 x 300 mm2. Perbedaan hasil hubungan “beban-lendutan”
antara 2-D dan 3-D yang diperoleh ditampilkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Perbandingan hasil beban-lendutan saat beban layan
Cara Analisis P
(kN)
Selisih
(%)
Lendutan
(mm)
Selisih
(%)
Keterangan
Balok 2-D (full) 16,289 +0,02 3,08 -5,52 FEA LUSAS
Balok 3-D (full) 16,286 0,00 2,06 0,00 FEA LUSAS
Sumber: Suta (2008)
Pada akhir simpulan penelitiannya, Suta (2008) merekomendasi untuk
bentang 10 m digunakan panjang plat 6000 mm dengan tebal 4,0 mm dan 6,0 mm
serta lebar 320 mm. Untuk bentang 15 m digunakan panjang 10200 mm, dengan
4,0 mm dan 6,0 mm tebal serta 350 mm lebar. Untuk bentang 20 m digunakan
panjang 13200 mm, dengan 6,0 mm dan 8,0 mm tebal serta 460 mm lebar. Untuk
bentang 25 m digunakan panjang 16200 mm, dengan tebal 8,0 mm dan 10,0 mm
serta lebar 680 mm.
Recommended