Upload
operator-warnet-vast-raha
View
206
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MID
MAKALAH TEORI HUMANISTIC DAN LANDASAN FILOSOFISNYA
DISUSUN OLEH :NAMA : WA ODE MURNI JAENAWATI STAMBUK : 21311181JURUSAN : TIK MATA KULIAH : TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 1
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
KELAS RAHA
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah kelompok ini yang berjudul “TEORI HUMANISTIC DAN
LANDASAN FILOSOFISNYA” untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan
Pembelajaran.
Makalah ini terwujud berkat rahmat dan karunia Allah SWT serta bantuan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu terwujudnya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, sehingga dengan segala kerendahan hati kami mengharapakan saran
dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya kinerja kami yang akan
mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan
dan informasi yang bermanfaat bagi semua pihak.
Wasalamu’alaikum wr.wb
Raha, Mei 2014
Penyusun
Makalah Teori Humanistic Dan Landasan Filosofisnya1
Oleh
Wa Ode Murni Jaenawati2
A. PENDAHULUAN
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi
belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
siswa. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan dalam
berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku
ketrampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya
penerimaanya. Jadi belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi
terhadap semua situasi yang ada pada siswa. Belajar merupakan suatu proses
yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang ada
pada siswa.
Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori
dan belajar, secara umum teori belajar di kelompokan dalam empat kelompok
atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar Behavioristik (2) Teori Belajar Kognitif
(3) Teori Belajar Humanistik (4) Teori Belajar Sibernik.
Untuk memahami lebih lanjut maka dalam makalah ini akan
membahas mengenai Teori Belajar Humanistik.
B. RUMUSAN Masalah
1. Apa Pengertian Teori Belajar Humanistik?
2. Siapa sajakah tokoh Teori Belajar Humanistik?
3. Apa Saja Prinsip Dalam Teori Belajar Humanistik?
4. Bagaimana Aplikasi Teori Belajar Humanistik?
5. Apa Implikasi Teori Belajar Humanistik?
1Tugas Mid Mata Kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran 1, Dosen : Sudirman, S.Pd, M.Pd2Stambuk 21311181, Semester II, Kelas Khusus, Adm. Pendidikan Konsentrasi TK
B. KONSEP DASAR DAN TEORI
I. PENGERTIAN
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku
manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia.
Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi
sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi
penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis (Misiak dan Sexton, 2005).
Psikologi humanistik berdasarkan kepada keyakinan bahwa nilai-nilai etika
merupakan daya psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan
manusia. Keyakinan ini membawa kepada usaha meningkatkan kualitas manusia
seperti pilihan, kreativitas, interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk
menjadi lebih bebas. Situs yang sama menyebutkan bahwa psikologi humanistik
juga didefinisikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan kepada
berbagai nilai, sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, pertama
psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk
memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang
luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia
menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam
pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah
pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-
hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi
humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas,
kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa
mencapainya, serta nilai-nilai manusia Dalam metode-metode studinya, psikologi
humanistik menggunakan berbagai metode mencakup wawancara, sejarah hidup,
sastra, dan produk-produk kreatif lainnya. (Misiak dan Sexton, 2005).
3http://nindihong.wordpress.com/2013/12/22/psikologi-perspektif-humanistik/4http://reynasusanty.blogspot.com/2012/11/pengertian-humanistik.html
Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari
psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Permasalah
ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi Humanistik dari James Bugental
(1964), sebagai berikut:
1. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen.
2. Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya.
3. Kesadaran manusia menyertakan kesadaran akan diri dalam konteks orang
lain.
4. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggung jawab.
5. Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki
kreativitas.
Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme
dengan tokoh-tokohnya seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre.
II. SEJARAH HUMANISTIK
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul
pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang
berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli
psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas
mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus
tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri,
kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis
dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran
psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi
yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami
tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran
guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan
bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari
dalam diri.
5http://inspirasi.co/forum/post/3915/sejarah_negatif_dan_refleksi_humanistik6http://temantanpabulu.blogspot.com/2012/10/psikopatologi-humanistik-sejarah.html
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan
Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan
Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor
eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan
tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara
manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk
mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab
personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964)
mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1)
keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2)
manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia
lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan
hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat
bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran
dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan
pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs
dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi.
Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang
dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat
dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian. Dari
pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan
psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya
telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang,
yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954)
meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan
kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa
setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki
kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha
menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi
humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu
filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan
personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya
menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan
personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru
dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih
berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada
pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000).
Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan
perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang
salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan
kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam
usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya
tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif
sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari
Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas
klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta
menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka
dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers
menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban
yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor
bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan
kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi
humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang
dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education).
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan
melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan
keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik
ini.
III. CIRI-CIRI DAN TUJUAN PSIKOLOGI HUMANISTIK
Sebagai suatu paradigma, psikologi humanistik mempunyai ciri-ciri
tertentu. Empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik sebagai berikut :
(Misiak dan Sexton, 2005)
Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada
pengalaman sebagai fenomena dalam mempelajari manusia
Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih,
kreativitas, menilai, dan realisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang
manusia yang mekanistik dan reduksionistik
Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang
akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan serta
menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan
signifikansi.
Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan
dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada
setiap individu. Memang individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri
serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-
kelompok sosial.
Sedangkan Charlotte Buhler—pemimpin internasional dan juru bicara senior
psikologi humanistik—menekankan ciri-ciri psikologi humanistik berikut ini
sebagai hal-hal yang mendasar, yaitu: (dalam Misiak dan Sexton, 2005)
Mencoba menemukan jalan masuk ke arah studi dan pemahaman individu sebagai
keseluruhan.
7http://makalah-listanti.blogspot.com/2011/12/aliran-psikologi-yang-mendasari-teori.html
Berhubungan erat dengan eksistensialisme yang menjadi landasan filosofisnya
dan terutama dengan pengalaman intensionalitas sebagai ”inti diri dan motivasi
individu”.
Konsep tentang manusia yang paling sentral adalah kreativitas.
IV. KONSELING DAN TERAPI
Psikologi humanistik meliputi beberapa pendekatan untuk konseling dan
psikoterapi. Pada pendekatan-pendekatan awal ditemukan teori perkembangan
dari Abraham Maslow, yang menekankan pada hirarki kebutuhan dan motivasi,
psikologi eksistensial dari Rollo May yang mempelajari pilihan-pilihan manusia
dan aspek tragis dari keksistensian manusia, dan terapi person-centered atau
client-centered dari Carl Rogers, yang memusatkan seputar kemampuan klien
untuk mengarahkan diri sendiri (self-direction) dan memahami perkembangan diri
sendiri.
Pendekatan-pendekatan lain dalam konseling dan terapi psikologi humanistik
adalah Gestalt therapy, humanistic psychotherapy, depth therapy, holistic health,
encounter groups, sensitivity training, marital and family therapies, body work,
dan the existential psychotherapy dari Medard Boss. Teori humanisitk juga
mempunyai pengaruh besar pada bentuk lain dari terapi yang populer, seperti
Harvey Jackins‘ Re-evaluation Counselling dan studi dari Carl Rogers. Seperti
yang disebutkan oleh Clay.
Psikologi humanistik cenderung untuk melihat melebihi model medikal dari
psikologi dengan tujuan membuka pandangan non-patologis dari seseorang.
Kunci dari pendekatan ini adalah pertemuan antara terapis dan klien dan adanya
kemungkinan untuk berdialog. Hal ini seringkali berimplikasi terapis
menyingkirkan aspek patologis dan lebih menekankan pada aspek sehat dari
seseorang. Tujuan dari kebanyakan terapi humanistik adalah untuk membantu
klien mendekati perasaan yang lebih kuat dan lebih sehat terhadap diri sendiri,
yang biasa disebut self-actualization. Semua ini adalah bagian dari motivasi
psikolgi humanistik untuk menjadi ilmu dari pengalaman manusia, yang
memfokuskan pada pengalaman hidup nyata dari seseorang.
V. TEORI HUMANISTIK
Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana
manusia melihat kehidupan mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada
prespektif optimistik tentang sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada
kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam
mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka.
Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan
perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap
dan perilaku mereka.
VI. TOKOH-TOKOH HUMANISTIK
Sebagaimana behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun
mempunyai tokoh-tokoh yang terkenal, yang pemikiran-pemikiran dan teori-
teorinya memberikan kontribusi yang cukup besar demi perkembangan psikologi
humanistik. Dari tokoh-tokoh tersebut, ada dua orang tokoh yang berperan besar
dalam pembentukkan serta perkembangan psikologi. Kedua tokoh tersebut adalah
Abraham Maslow dan Carl Rogers. Oleh karena peran mereka yang signifikan
itu maka penulis pada tulisan berikut akan mencoba bercerita mengenai biografi
singkat berserta teori-teori yang diciptakan dari kedua tokoh psikologi humanistik
tersebut.
1.Abraham Maslow
Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan
wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga
Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow
berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan
kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa
dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya. Keluarga
Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan.
Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang
Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi
psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun
1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow
percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa
mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori
tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah
(bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of
needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5
macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and
security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan
akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga
diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Berikut
penjelasannya
Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua
manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk
juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit,
dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi
rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi
kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis
kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan
sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan
akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan
akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul
rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka
akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini
dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman,
kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas
tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak
terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.
Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan
akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher
one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi.
Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri,
kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan
aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk
mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.
2.Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois dan
meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari 1987 sewaktu berumur
85 tahun. Sewaktu remaja, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga
menyebabkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.. Ia
pernah belajar di bidang agrikultur dan sejarah di University of Wisconsin. Di
tempat tersebut Rogers mengikuti berbagai aktivitas, termasuk menjadi delegasi
untuk Persidangan Antarabangsa Persekutuan Pelajar Kristian di China. Pada
tahun 1924 ia menerima ijazah pertama dalam bidang sejarah dan menikah pada
tahun yang sama. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master dalam bidang
psikologi dari Columbia University dan kemudian memperolehi gelar Ph.D di di
bidang klinis dan psikologi pendidikan pada tahun 1931.
Pada tahun 1931 pula Rogers bekerja di Child Study Department of the Society
for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada
perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-
masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan
menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu
tulisan berjudul “The Clinical Treatment of the Problem Child”, yang
membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di
Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari
American Psychological Society.
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap
saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam
membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini
bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya
dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar.
Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapis bukanlah hal
yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. Hasil karya Rogers yang
paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode
konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah bukunya yang juga
sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy(1951) dan On Becoming a Person
(1961).
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya
sebagai teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai
kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi
(keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia
pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa individu mempunyai
seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya serta hubungannya dengan
orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping tetapi suatu “gestalt” dengan suatu
pole koheren dan terpadu. Sebagai tambahan pada konsep diri, individu
mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang diinginkan, cita-cita atau dianggap
seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan
Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri
seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep
dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung
pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan
berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian
psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua
pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan
konsep diri.
Roges terkenal dengan teori non-directive therapy yang berpusat pada klien
(Naisaban, 2004). Teori terapi ini berpusat pada klien atau terapi non-directive,
yang dikembangkan selama bertahun-tahun sesudah masa perang, di Universitas
Chicago. Teknik ini pada prinsipnya memberikan kesempatan pada individu yang
tidak mampu menyesuaikan diri agar mau berbicara kepada seorang konselor,
yang mirip dengan cara klien bercakap-cakap dengan pengacaranya, yaitu duduk
dan bertatap muka. Terapis berperan seminimal mungkin selama percakapan
klinis itu, dan terapis sendiri berusaha mengembangkan satu iklim penerimaan
yang hangat dan memungkinkan, sehingga klien merasa bebas untuk berbicara.
Dengan bebas berbicara dan mengungkapkan diri, klien akan sampai pada suatu
pemahaman diri sendiri Kadang terapis berusaha untuk menjelaskan ungkapan-
ungkapan pasien dengan mengulanginya sambil memberi tekanan atau
mengubahnya untuk mengemukakan hal-hal yang penting dan berarti, tetapi
penafsiran diberikan seminimal mungkin. Dengan berbicara dan mengungkapkan
diri, klien itu menyembuhkan diri sendiri. Asumsi bahwa individu dapat sampai
pada tahap mengenal diri sendiri ini tumbuh dalam keyakinan Rogers. Ia
berkeyakinan juga bahwa penyebab ketidakyakinan klien menyesuaikan diri,
karena peran di atas diputarbalikkan, terapis lebih banyak berperan daripada klien.
Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia. Dia yakin bahwa
dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan,
mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan
memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan
punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan
merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan
introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya
simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan
terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai
akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu
merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses
penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya
yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga
dirinya (Naisaban, 2004).
VII. IMPLEMENTASI HUMANISTIK
Sosok guru yang humanistik
Ketika dunia dihentak gelombang pergeseran nilai-nilai kehidupan, muncullah
gerakan mengembalikan sistim pendidikan ke sebuah setting yang lebih
manusiawi. Pendidikan diharapkan memotivasi manusia untuk menjadi dirinya
sendiri. Lebih lanjut, pendidikan perlu menghantar seseorang untuk memahami
siapa dirinya dan bukannya membentuk manusia sesuai forma yang telah
direncanakan. Peserta didik dibiarkan mengenal dan menjadi dirinya sendiri.
Ketika dia sudah mengenal dirinya, tentu dia bisa menentukan pilihan dan arah
hidupnya. Maka sangat naif jika seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter
mengharapkan anaknya menjadi dokter, padahal anak tersebut tidak terlalu mahir
di bidang eksakta. Atau, seorang ibu yang berprofesi akuntan menginginkan anak-
anaknya juga menjadi akuntan, padahal mereka sangat tidak berminat dalam
mengelola usaha dan uang.
Begitu pula di sekolah. dalam konteks pendidikan yang humanistik, seorang guru
dituntut memiliki hubungan emosional yang positif dengan anak didik.
Kehangatan dan kelemahlembutan adalah sikap utama yang perlu ditonjolkan.
Daripada menjadi seorang pendikte isi buku di dalam kelas, sebaiknya seorang
guru menyajikan materi-materi secara imajinatif serta kreatif dalam memfasilitasi
proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan menjajaki kesan-kesan para
siswa akan proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru bersangkutan.
Di samping itu, guru pun perlu menaruh kepercayaan bahwa para murid pun bisa
mempelajari bahan-bahan yang telah didiskusikan bersama, memberikan pujian
kepada siswa yang berhasil mendapat nilai bagus, serta memotivasi siswa yang
agak lamban dalam menyerap pelajaran.
Sistem pembelajaran yang humanistic
Ibarat sebuah kapal, lembaga pendidikan (apa pun visi dan misinya) tentu
memiliki arah dan tujuan yang jelas. Di mana-mana menjamur berbagai lembaga
pendidikan dengan latar belakang yang beragam jika dilihat dari namanya. Ada
yang terkesan nasionalis karena memakai label negeri, ada pula yang terkesan
religius karena memasang nama agama di belakangnya, seperti SMAK (Sekolah
Menengah Atas Katolik), UII (Universitas Islam Indonesia), dan sebagainya.
Namun demikian, konteks lembaga pendidikan tersebut sebetulnya tidak bisa
ditebak hanya dengan membaca kover luarnya saja. Perlu penelitian lebih lanjut,
apakah sekolah itu benar-benar mengajarkan nilai-nilai Kristiani karena memakai
nama Katolik? Apakah universitas tersebut benar-benar kumpulan orang Muslim
karena memakai nama Islam?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, secara universal, apa pun nama dan
bentuk lembaga pendidikan tersebut, perlu diterapkan beberapa elemen berikut ini
: 1. Partisipasi. Dalam dunia pendidikan, partisipasi mampu menghidupkan
suasana yang interaktif. Dua belah pihak, guru dan siswa, perlu saling peduli,
saling sharing, melakukan negosiasi, dan sama-sama bertanggung jawab atas
proses dan output pendidikan. Hal ini penting agar di akhir tahun, ketika terjadi
kegagalan studi, maka tidak terjadi saling tuding antara para pihak yang memiliki
kepedulian terhadap dunia pendidikan (guru, siswa, orangtua siswa, ahli
kurikulum, NGO, dan masyarakat luas). 2. Integrasi. Di sini, perlu ditekankan
interaksi, interpenetrasi, serta integrasi pemikiran, perasaan dan tindakan.
Membangun manusia yang seutuhnya berarti membangun manusia yang konsisten
dalam ketiga hal tersebut.3. Keterkaitan. Bahwa materi yang diajarkan perlu
memiliki hubungan yang erat dengan kebutuhan hidup dasar peserta didik serta
berpengaruh nyata untuk mereka, baik secara emosional maupun secara
intelektual. 4.Transparansi dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Para
siswa pun berhak mengetahui bahwa pada akhir pelajaran, mereka harus
memahami hal-hal tertentu yang mampu meningkatkan pengetahuan mereka. Dari
sini, semakin nyata bahwa siswa perlu tahu ke mana mereka diarahkan dalam
sebuah pelajaran. Banyak guru kurang menekankan bagian ini, dan langsung
masuk ke “inti” pembahasan, padahal hal ikhwal menjelaskan tujuan adalah
termasuk hal “inti” pula. 5. Terakhir, tentu saja tujuan sosial dari pendidikan.
Karena pendidikan adalah sebuah sarana menyiapkan manusia untuk untuk
berkarya dalam masyarakat, maka pendidikan perlu menekankan penempaan akal
dan mental peserta didik, agar mampu menjadi sosok intelektual yang berbudaya.
Membangun sistem pendidikan yang humanistik memang tidak mudah. Namun,
karena berkaitan dengan persiapan sumber daya manusia, maka pendidikan yang
humanistik sudah merupakan keharusan. Pendidikan yang humanistik
memerlukan guru yang profesional, murid yang partisipatif, orangtua yang selalu
berdialog dengan guru dan anak didik, serta masyarakat luas yang memiliki
kontrol sosial yang ketat terhadap proses pendidikan. *
VIII. APLIKASI
Carl Roger sebenarnya tidak begitu banyak memfokuskan kepribadian. Teknik
terapi lebih banyak mewarnai berbagai karya akademiknya. Mula-mula corak
konseling ini disebut non-directive therapy, kemudian digunakan Client Centered
therapy dengan maksud individualitas konseling yang setaraf dengan
individualitas konselor. Menurut Rogers, dalam teknik ini ingin diciptakan
suasana pembicaraan yang permisif.
Dalam dunia psikologi Rogers selalu dihubungkan dengan metode psikoterapi
yang dikemukakan dan dikembangkannya. Terapi yang dikemukakannya itu
dinamakan: non-directive therapy atau client centered therapy.
Non-directive therapy ini menjadi popular karena:
1. Secara historis lebih terikat kepada psikologi daripada kedokteran
2. Mudah dipelajari
3. Untuk mempergunakannya dibutuhkan sedikit atau tanpa pengetahuan
mengenai diagnosis dan dinamika kepribadian
4. Lamanya perawatan lebih singkat jika dibandingkan misalnya dengan
terapi secara psikoanalistis.
Dasar dari teknik ini adalah manusia mampu memulai sendiri arah
perkembangannya dan menciptakan kesehatan dan menyesuaikannya. Sebab itu,
konselor harus mempergunakan teknisnya untuk memajukan tendensi
perkembangan klien tidak secara langsung tetapi dengan menciptakan kondisi
perkembangan yang positif dengan cara permisif. Konselor sebanyak mungkin
membatasi diri dengan tidak memberikan nasihat, pedoman, kritik, penilaian,
tafsiran, rencana, harapan, dan sebagainya.
Dengan cara ini, konselor dapat membantu klien untuk mengemukakan
pengertiannya dan rencana hidupnya. Untuk memungkinkan pemahaman ini
konselor diharapkan bersifat dan bersikap:
1. Menerima (Acceptance)
Sikap terapis yang ditujukan agar klien dapat melihat dan mengembangkan diri
apa adanya.
2. Kehangatan (Warmth)
Ditujukan agar klien merasa aman dan memiliki penilaian yang lebih positif
tentang dirinya.
3. Tampil apa adanya (Genuine)
Kewajaran yang perlu ditampilkan oleh terapis agar klien memiliki sikap positif.
4. Empati (Emphaty)
Menempatkan diri dalam kerangka acuan batiniah (internal frame of reference),
klien akan memberikan manfaat besar dalam memahami diri dan
problematikanya.
5. Penerimaan tanpa syarat (Unconditional positive regard)
Sikap penghargaan tanpa tuntutan yang ditunjukkan terapis pada klien,
betapapun negatif perilaku atau sifat klien, yang kemudian sangat bermanfaat
dalam pemecahan masalah.
6. Transparansi (Transparancy)
Penampilan terapis yang transparan atau tanpa topeng pada saat
terapi berlangsung maupun dalam kehidupan keseharian merupakan hal yang
penting bagi klien untuk mempercayai dan menimbulkan rasa aman terhadap
segala sesuatu yang diutarakan.
7. Kongruensi (Congruence)
Konselor dan klien berada pada hubungan yang sejajar dalam relasi
terapeutik yang sehat. Terapis bukanlah orang yang memiliki kedudukan lebih
tinggi dari kliennya.
Kondisi-kondisi yang memungkinkan klien mengubah diri secara konstruktif
mengharuskan klien dan terapis berada dalam kontak psikologis. Dengan
demikian, akan dapat dilihat perubahan yang terjadi dalam proses terapi antara
lain :
1. Klien akan mengekspresikan pengalaman dan perasaannya tentang
kehidupan, dan problem yang dihadapi.
2. Klien akan berkembang menjadi orang yang dapat menilai secara tepat
makna perasaannya.
3. Klien mulai merasakan self concept antara dirinya dan pengalaman
mereka.
4. Klien sadar penuh akan perasaan yang mengganggu.
5. Klien mampu mengenal konsep diri dengan terapi yang tidak mengancam.
6. Ketika terapi dilanjutkan, konsep dirinya menjadi congruence.
7. 7. Mereka mengembangkan kemampuan dengan pengalaman yang
dibentuk oleh unconditional positive regard.
8. Mereka akan mengevaluasi pengalaman-pengalamannya sehingga mampu
berelasi sosial dengan baik.
9. Mereka menjadi positif dalam menghargai diri sendiri.
Setelah terapi, klien akan mendapatkan insight secara mendalam terhadap diri dan
permasalahannya.
1. Mereka menjadi terbuka terhadap pengalaman dan perasaannya sendiri.
2. Dalam pengalamannya sehari-hari mereka bisa mentransendensikan, jika
diperlukan.
3. Mereka menjadi kreatif. Mereka merasa dalam hidup menjadi lebih baik,
juga dalam hubungan dengan orang lain.
Kelemahan atau kekurangan pandangan Rogers terletak pada perhatiannya yang
semata – mata melihat kehidupan diri sendiri dan bukan pada bantuan untuk
pertumbuhan serta perkembangan orang lain. Rogers berpandangan bahwa orang
yang berfungsi sepenuhnya tampaknya merupakan pusat dari dunia, bukan
seorang partisipan yang berinteraksi dan bertanggung jawab di dalamnya.
Selain itu gagasan bahwa seseorang harus dapat memberikan respon secara
realistis terhadap dunia sekitarnya masih sangat sulit diterima. Semua orang
tidak bisa melepaskan subjektivitas dalam memandang dunia karena kita
sendiri tidak tahu dunia itu secara objektif.
Rogers juga mengabaikan aspek-aspek tidak sadar dalam tingkah laku manusia
karena ia lebih melihat pada pengalaman masa sekarang dan masa depan,
bukannya pada masa lampau yang biasanya penuh dengan pengalaman traumatik
yang menyebabkan seseorang mengalami suatu penyakit psikologis.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku
manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia.
Sedangkan perspektif humanistik menurut carl rogers adalah individu memiliki
kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan
menangani masalah–masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi
yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia
yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak-kanak seperti
yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun
pengalaman seksual sebelumnya.
Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau
memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa
sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus
pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
2. Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang
sifatnya membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
www.geocities.com/masterptvpsikologi
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology
(Aanstoos, Serlin & Greening, 2000; Clay, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology).
(Aanstoos, Serlin & Greening, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology).
www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm
http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html
http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf
http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas