Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan
kehadirannya telah diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Karya sastra
tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi
telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi
emosional (Semi, 1993:1).
Kesusastraan dikenal berbagai macam jenis sastra (genre). Sejak Plato
dan Aristoteles membagi karya sastra menjadi tiga kategori menurut Wellek dan
Warren (1984:300) yakni: puisi, prosa dan drama, kini ketiga genre sastra tersebut
merupakan genre sastra secara garis besar. Menurut Nurgiyantoro (1995:1),
dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di
samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga
disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative
discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat:
cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan
cerpen.
Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan nama tokoh yang
memiliki karakter, sehingga karya sastra juga menggambarkan tentang kejiwaan
manusia walaupun pengarang hanyalah menampilkan tokoh itu secara fiktif. Melihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam aspek kehidupan yang tidak
terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme
yang menyatakan manusia terdiri atas jiwa dan raga. Oleh sebab itu peneliti yang
menggunakan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan
penafsiran karya sastra dari sisi yang lain. “orang dapat mengamati tingkah laku
tokoh-tokoh dalam sebuah novel atau drama dengan memanfaatkan pertolongan
psikologi” (Harjana, 1994:66). Seseorang dapat memahami dan mengamati karakter
tokoh-tokoh melalui cerita dalam bentuk novel dengan memanfaatkan kajian
psikologi. Seperti halnya dalam novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n
‘Abdul Quddu>s yang dapat di analisis dengan kajian psikologi sosial Erich Fromm.
Karakterisasi atau dalam bahasa Inggris characterization, berarti pemeranan,
pelukisan watak, metode karaterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode
melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara
menentukan karakter (tokoh)-dalam hal ini tokoh imajinatif-dan menentukan watak
tokoh atau karakter sangat berbeda. Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali
digunakan untuk memberikan ide atau menumpukkan gagasan. Memperjelas serta
mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan
kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Nama tersebut
mengacu pada karakteristik dominan si tokoh (Minderop, 2005:5).
Novel Dua Wajah Luciana atau La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> merupakan karya
ketiga puluh lima dari seorang sastrawan besar yang dilahirkan saat revolusi 1919 di
Mesir. Sebelum meninggal pada tahun 1990 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s yang dikenal juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
sebagai wartawan telah menghasilkan 600 karya. Karya yang berjudul asli La>
Tatruku>ni Huna> Wachdi> ini pernah dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung
di sebuah surat kabar terkemuka Al Ahram kemudian dibukukan pada tahun 1981
(Atho‟illah, 2008:59).
La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> mengisahkan kehidupan seorang wanita Yahudi
Munikuris bernama Lucianna Hannedey. Suaminya bernama Zaki Raul dan mereka
telah dikaruniai dua orang anak bernama Yasmin dan Yitzhak. Pernikahan ini
dianggap Lucianna sebagai pernikahan yang merugikan, dimana Lucianna merasa
mampu mendapatkan suami yang kaya raya tidak seperti suaminya yang
pengangguran. Lucianna merasa dirinya cantik dan pintar, namun hal yang paling
bodoh adalah menikah dengan Zaki Raul (Quddu>s, 2004:4).
Lucianna memutuskan untuk bekerja di salon “Strafto” karena
ketidakpuasannya terhadap suami. Lucianna yang cantik membuat pengunjungnya
para pasha (para beek dan bangsawan) dan pangeran meliriknya. Karakter Lucianna
yang begitu pintar merayu para lelaki membuat pelanggannya betah berlama-lama
dengannya (Quddu>s, 2004:13).
Kemelut terjadi dalam hati Lucianna Hanedey. Ia tertarik dengan salah satu
pelanggannya bernama Shaukat Beek. Lucianna pun berani mempertaruhkan agama
dan berpindah ke agama Islam, nama Lucianna berpindah menjadi Zaenab Hanedey
kemudian menikah dengan Shaukat Beek. Mereka dikaruniai seorang anak bernama
Hagar. Namun pada akhirnya kelicikan membuat Lucianna jauh dari anak-anak dan
suaminya (Quddu>s, 2004:53).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Istilah “psikologi sastra” menurut Wellek dan Warren dalam Endraswara
(2008:65) diuraikan dalam bentuk esai kritis yang panjang. Dapat dipahami betapa
pentingnya psikologi sastra untuk menangkap sisi lain dari karya sastra. Pada
prinsipnya, psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama
adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; kedua adalah studi
proses kreatif; ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra; keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi
pembaca). Novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s ini
merujuk kepada kedua konteks tersebut, sebuah percampuran dari berbagai keinginan
yang ingin dicapai dari tokoh Lucianna.
Penelitian ini menarik untuk diteliti dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi>
ialah dikarenakan novel ini memaparkan dan mendeskripsikan karakter tokoh yang
dipengaruhi dengan keadaan sosial dan memunculkan dua karakter yang berbeda
dalam satu diri. Novel ini megambarkan saat menjadi Lucianna Hanedey seorang
wanita Yahudi Munikuris yang bekerja di sebuah salon. Karakter Lucianna kental
sekali dengan keyahudiannya, namun tak jarang ia memberontak dengan adat-adat
kaum Yahudi. Ketika menjadi Zaenab Hanedey ia merubah gaya hidupnya dengan
bergaul bersama para muslimah lainnya dan menjadi istri yang taat. Kisah perjalanan
tersebut mendapat kecaman dan hinaan dari kalangan elit Yahudi. Tetap saja
Lucianna dianggap sebagai Yahudi Munikuris yang hanya bekerja di salon.
Skripsi ini menggunakan teori psikologi sosial Erich Fromm sebagai alat
bantu untuk menemukan representasi pemikiran, hasrat, karakter dan jiwa Lucianna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
atau Zaenab Hanedey dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi>. Psikologi sosial
Erich Fromm ini adalah teori yang mana manusia merasa kesepian dan terisolasi
karena ia dipisahkan dari alam oleh orang-orang lain. Penelitian ini sangat tepat
dengan teori psikologi sosial Erich Fromm.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat mengemukakan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul
Quddu>s?
2. Bagaimana karakter tokoh Lucianna ditinjau dari dualisme tokoh dalam pendekatan
teori psikologi Erich Fromm?
3. Bagaimana eksistensi manusia yang dialami tokoh Luciana dalam pendekatan teori
psikologi Erich Fromm?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1) Mengungkapkan bagaimana struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan biografi
pengarang) dalam novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s.
2) Mendeskripsikan karakter tokoh Lucianna Hanedey dengan meninjau sisi dualisme
tokoh menurut psikologi Erich Fromm.
3) Mendeskripsikan tokoh Lucianna Hanedey dengan meninjau sisi eksistensi diri
manusia dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wa>chdi> menurut Erich Fromm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yakni:
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan teori struktural dan mengungkapkan
bagaimana karakter tokoh Luciana dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> dengan
pendekatan analisis psikologi sastra.
b. Secara Praktis
Hasil dari penelitian ini secara praktis dapat menambah dan memperkaya khasanah
penelitian sastra, khususnya psikologi sastra yang terkait dengan karakter tokoh
Lucianna dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi>.
D. Tinjauan Pustaka
Novel ini pernah diteliti dengan menggunakan salah satu pendekatan “feminis”
yang ditinjau dari tiga permasalahan pokok yang meliputi nilai moral dalam
kepribadian tokoh perempuan, persamaan hak dan kesempatan antara tokoh
perempuan. Novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> pernah diteliti oleh Nasihin (2008)
dengan judul Riwayat La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> Li> Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s Dirasah
Naqdiyah Adabiyah Nisa’iyah. Nasihin menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s memiliki tiga
permasalahan pokok utama tentang feminis yang meliputi nilai moral dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
kepribadian tokoh perempuan, persamaan hak dan kesempatan antara tokoh
perempuan dan laki-laki, dan tujuan hidup tokoh perempuan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu, penelitian dengan
pendekatan psikologi sastra, sejauh pengamatan belum pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan psikologi sastra
khususnya teori psikologi sastra Erich Fromm.
E. Pembatasan Masalah
Penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah, agar masalah yang akan
dikaji oleh peneliti tidak melebar. Pembatasan masalah sangat penting karena penulis
dapat memutuskan pada masalah tertentu supaya mendapatkan pembahasan yang
sistematis, dan data yang diperoleh lebih akurat. Sejalan dengan judul yang diangkat,
penulis membatasi pada lingkup pendekatan struktural (alur, tokoh, latar, tema,
amanat dan biografi pengarang), karakter tokoh Lucianna dengan pendekatan teori
psikologi Erich Fromm dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n
‘Abdul Quddu>s. Peneliti akan membatasi pembahasannya dengan hanya membahas
dua dari tiga teori yang dikemukakan oleh Erich Fromm yaitu dualisme manusia dan
eksistensi manusia. Sebagai teori penyempurna, peneliti akan membahas sedikit teori
Karl Marx berupa Ambivalensi, Alienasi dan Resistensi.
F. Teori
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti
kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas, dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep,
proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori tertentu
dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kalimat lain, tujuan akhir suatu
ilmu adalah melahirkan sebuah teori (Kutha Ratna, 2012:1). Meskipun demikian,
sebuah teori, dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk
memahami pendekatan-pendekatan teori. Pada penelitian kali ini akan menggunakan
teori struktural dan psikologi sastra Erich Fromm.
1. Pendekatan Struktural
Sebuah penelitian sastra tidak terlepas dari pemahaman struktural.
Pemahaman secara struktural merupakan sebuah model pendekatan atau teori yang
menjadi pijakan awal untuk meneliti sebuah teks sastra. Pendekatan struktural
memandang karya sastra sebagai sebuah karya yang memiliki relasi kekhasan dalam
menggali cermat, detai, teliti, serta dalam mengenai keterkaitan dan keterjalinan
semua aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
1988:135).
Pendekatan struktural mengasumsikan karya sastra sebagai sebuah fenomea
yang memiliki struktur dan saling terkait satu sama lain. Relasi antarstruktur dalam
sebuah karya sastra membentuk sebuah system yang baku dan bersifat otonom. Hal
ini memiliki arti bahwa pemahaman karya sastra dapat dilihat dan diteliti dari teks
sastra itu sendiri dengan merealisasikan unsure pembangun karya sastra yang
membentuk sebuah makna secara utuh. Nurgiyantoro (2005:37) menambahkan bahwa
analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan masing-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
masing unsure tersebut sehingga secara bersama membentuk totalitas kemaknaan
yang padu.
Novel sebagai karya sastra memiliki unsur internal dan eksternal
pembangunnya. Keduanya saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk
satu kesatuan makna yang utuh. Unsur-unsur internal pembangun tersebut adalah
alur, tokoh, latar, tema dan amanat. Sedangkan unsur eksternal pembangun karya
tersebut adalah biografi pengarang.
Keterangan detail mengenai struktur novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya
Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s berdasarkan teori struktur Burhan Nurgiyantoro adalah
sebagai berikut:
a. Unsur Intrinsik
1) Alur
Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam dalam
keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Alur mengatur
tindakan-tindakan yang bertalian satu sam lain, cara tokoh-tokoh yang digambarkan
dan berperan dalam peristiwa ini semua terkait dalam satu kesatuan waktu (Semi,
1993:43).
Alur atau plot adalah jalinan peristiwa didalam karya sastra untuk mencapai
efek tertentu. Plot merupakan urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lainnya
(Nurgiyantoro, 2005:119).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Muchtar Lubis dalam Nurgiyantoro (2005:149) membedakan cara-cara
menganalisis dan membaginya menjadi lima tahapan sebagai berikut:
a) Tahapan Situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita,
pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk
melandasi cerita yang dikisahkan pada tahapan berikutnya (Nurgiyantoro,
2005:149).
b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik) merupakan
tahap awal muculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan
akan dikembangkan menjadi konflik-komflik pada tahap berikutnya
(Nurgiyantoro, 2005:149).
c) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) merupakan tahap dimana
konflik yang muncul mulai berkembang, konflik-konflik yang terjadi baik
internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-
benturan antar kepentingan. Masalah tokoh yang mengarah ke klimaks
semakin tidak dapat dihindarkan (Nurgiyantoro, 2005:149).
d) Tahap Climax (Tahap Klimaks) konflik atau pertentangan yang terjadi yang
dilakukan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas
puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu
klimaks (Nurgiyantoro, 2005:150).
e) Tahap Denounment (Tahap Penyelesaian) konflik yang telah mencapai
klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik
tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (Nurgiyantoro,
2005:150).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
2) Tokoh
Suatu karya sastra, masalah tokoh merupakan suatu hal yang kehadirannya
amat sangat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada sesuatu
karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita
(Semi, 1993:36).
Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan yang
paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan
memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu:
1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan),
jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badan yang lain
(Satoto, 1998:44).
2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status
sosial, pekerja, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan,
pandangan hidup, agama, aktifitas sosial, suku bangsa dan keturunan (Satoto,
1998:45).
3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran
moral, tempramen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan
keahlian khusus (Satoto, 1998:45).
Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga
dimensi yang dimaksud adalah dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dimensi
fisiologis. Dimensi fisiologis merupakan ciri fisik seperti usia yang menggambarkan
kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh dan ciri fisik yang khas yang menguatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
karakter tokoh. Dimensi sosiologis meliputi cirri atau pola kehidupan sosial yang
digambarkan seperti status, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat serta
tingkat pendidikan, penghasilan, pandangan hidup, agama dan ciri sosial yang
mampu memberi nilai lebih terhadap dimensi ini. Dimensi psikologis meliputi latar
belakang kejiwaan yang memiliki ukuran mentalitas, moral yang membedakan mana
yang baik dan buruk, tempramen, kecerdasan, tingkah laku, keinginan, IQ, keahlian
khusus dalam satu bidang dalam dan ciri psikologis yang lain (Waluyo, 1994:171).
Dilihat dari segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua jenis yaitu tokoh
sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (complexs/round character).
Tokoh sederhana atau tokoh datar adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan
personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi saja. Bagian yang termasuk
kategori tokoh sederhana atau datar adalah tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah
familiar atau yang stercotip dalam fiksi. Tokoh kompleks atau bulat adalah tokoh
yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh
bulat memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan
sikap dan obsesi yang tunggal (Sayuti, 2000:78).
Semi (1993:40) berpendapat bahwa ada dua macam cara memperkenalkan
tokoh dalam fiksi. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan
tentang watak dan karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut
keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Kedua secara dramatik, yaitu
penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu
disampaikan melalui pilihan nama tokoh,penggambaran fisik atau postur tubuh, cara
berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Selain itu dapat dilihat melalui dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam
interaksinya dengan tokoh lain.
3) Latar / setting
Latar atau setting segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suati karya sastra. Latar
yang dikerjakan dengan teliti dan hati-hati oleh pengarang dimaksudkan untuk
mengesani pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh
diangkat dari larat faktual, disebut latar tipikal. Latar tipikal yang digunakan dalam
novel memberikan kesan mendalam dan imajinasi konkret terhadap unsur latar seperti
tempat, waktu, serta luang lingkup kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005:222).
Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator, Abrams dalam Fanani
(2002:99) berpendapat, latar dibedakan dalam tiga indikator yaitu, general locate
(tempat secara umum), historical time (waktu historis), dan social circumstance
(lingkungan sosial).
Senada dengan Abrams, dalam Nurgiyantoro (2005:227) juga membedakan
latar menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi.
2. Latar waktu, yaitu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3. Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Latar tidak hanya menunjukkan dimana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih dari
itu juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau tingkah laku cerita. Hal
ini diungkapkan oleh Fananie (2002:99) bahwa dalam telaah setting atau latar sebuah
karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat
terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa dan situasi sosialnya, melainkan juga
konteks diagesis-nya, kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak tokohnya
sesuai dengan situasi pada saat karya itu diciptakan. Karena itu, dari telaah yang
dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika peristiwa, perkembangan
karakter sesuai dengan pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.
4) Tema
Seorang pengarang pasti mempunyai ide dasar dalam karya yang ditulisnya.
Ide dasar cerita juga disebut sebagai tema. Definisi tema adalah gagasan, ide, atau
pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak (Sudjiman,
1988:74).
Tema adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita (Nurgiyantoro,
2007:67). Adapun menurut Brooks, Purser, Warren dalam Tarigan (1999:125)
mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau
rangkaian nilai-nilai tertentu yang membangun dasar dan gagasan utama dari suatu
karya sastra.
5) Amanat
Amanat merupakan pesan atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007:322). Suatu cerita dapat diambil suatu pesan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
atau kesan yang disebut amanat. Amanat dapat dilihat dari pandangan pengarang
mengenai kehidupan yang terdapat dalam karya sastra.
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan
pembaca. Melalui sudut sastrawan, nilai itu biasa disebut amanat. Oleh karenanya
amanat dapat dapat juga diartikan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra,
pesan, perintah, keterangan, wejangan dan kepercayaan yang disampaikan pengarang
kepada pembaca (Siswanto, 2008:162). Novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> juga
memiliki amanat tentang karakter kaum Yahudi, nilai keagamaan, kesetiaan, dan
nasionalisme.
b. Unsur Ekstrinsik
1) Biografi Pengarang
Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s adalah seorang novelis, cerpenis, dan juga seorang
jurnalis. Dia lahir pada tanggal 1 januari 1919. Sejak kecil kegemarannya adalah
membaca. Ayahnya sangat mendukung studinya dan meraih gelar licence di bidang
hukum Universitas Kairo pada tahun 1942.
Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s mulai menggoreskan pena sastranya sejak dini atas
pengaruh ibunya yang telah mendirikan majalah Ruz Al-Yusuf. Usai menyelesaikan
studinya dia menyibukkan diri di majalah tersebut dengan posisinya sebagai dewan
pimpinan redaktur hingga tahun1966. Ketika masih aktif sebagai jurnalis dimajalah
tersebut, dirinya mengikuti training dikantor seorang pengacara terkenal, Edward
Qussairi (Atho‟illah, 2008:58).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Pada tahun 1944 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s mulai menulis naskah film, setelah itu
cerpen. Bagi ihsan sastra dan jurnalistik harus ada dalam kehidupannya. Karena
kedua bidang itu, dia dapat mencapai keseimbangan diri serta dapat merealisasikan
apresiasinya. Akhirnya, dia berhenti dari profesi pengacara dan mengabdi penuh
untuk sastra dan jurnalistik. Pada tahun 1971 sampai 1974, dia bekerja sebagai
pimpinan redaks surat kabar Akhbar Al-Yaum. Tahun 1974, dia terpilih menjadi
pimpinan dewan direksi Al-Ahram. Sejak tahun 1975, dia menjadi anggota dewan
tinggi urusan jurnalistik.
Selama hidupnya, Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s telah menghasilkan banyak karya,
yaitu 49 novel yang kemudia dibuat film, 5 novel dibuat drama, 9 novel dijadikan
program serial di radio, 10 novel dijadikan program serial di televisi, dan 56 buku.
Diantara karya-karyanya yang berupa buku adalah sebagai berikut:
(1949)
(1952)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
An-nadza>ratus Sauda> (1949), Ana>sharah (1952), Al-wisa>datul Kha>liyah, At-
thari>qul Masdud, La> Ana>m, Al-baituna> Rajul, Syaiun Fi> Shadri>, Aina ‘aqli>,
La> Tathghaus Syamsi.
Novel Dua Wajah Luciana merupakan karya ketiga puluh lima dari seorang
sastrawan besar yang dilahirkan saat revolusi 1919 di Mesir. Sebelum meninggal
pada tahun 1990 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s yang dikenal juga sebagai wartawan telah
menghasilkan 600 karya. Karya yang berjudul asli La> Tatruku>ni Huna> Wahdi> ini
pernah dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung di sebuah surat kabar
terkemuka Al Ahram kemudian dibukukan pada tahun 1981.
Beberapa karyanya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa
Inggris, Prancis, Cina, dan Jerman. Sebagian naskah film atau novelnya pernah
mendapatkan beberapa penghargaan. Beliau meninggal pada tahun 1990 (Atho‟illah,
2008:59).
2. Pendekatan Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra
(Endraswara, 2008:16). Mempelajari psikologi sastra sama halnya mempelajari
manusia dari sisi dalam. Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat
para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra
amat indah, karena kita dapat memahami sisi ke dalam jiwa manusia, jelas amat luas
dan amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar (Edraswara, 2008:14). Seperti
dikatakan bahwa psikologi sastra adalah disiplin yang menganggap bahwa sastra
memuat unsur-unsur psikologis (Sangidu, 2005:30).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Menurut Semi (1993:76), psikologi sastra adalah suatu disiplin yang
memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa
kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada didalamnya
atau mungkin juga bukan tokoh imajiner. Hal ini memicu untuk mengadakan
penjelajahan kedalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk
beluk manusia yang beraneka ragam. Psikologi sastra juga didefinisikan sebagai
suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis
(Wright, 1998:9). Secara umum psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan (Sangidu, 2005:30).
Psikologi sastra sebagaimana yang dimaksudkan dalam pembicaraan ini
adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai
gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menempatkan teori, bukan sebaliknya.
Mengambil analogi hubungan antara psikologi dengan pasien diatas pada dasarnya
sudah terjadi keseimbangan antara karya sastra dengan teori. Artinya, dalam
hubungan ini sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkapkan berbagai
problematika. Tidak ada dominasi dalam pengertian saling menolak diantaranya,
melainkan akan menghasilkan interaksi yang dinamis yang memungkinkan untuk
mengungkapkan berbagai gejala dibalik gejala yang lain (Kutha Ratna, 2012:344).
Peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian psikologi sastra dengan
menekankan pada kajian teks, yaitu dengan melihat cerminan unsur-unsur psikologis
pada setiap tokoh yang ditampilkan dalam cerita. Hal ini selaras pula dengan
pendapat Endraswara (2003:89) bahwa teks yang ditampilkan melalui suatu teknik
dalam teori sastra ternyata dapat mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
diusung oleh tokoh fiksional. Penelitian pada novel La> Ta>tru>ku>u>ni Hu>na> Wa>chdi ini
mengarah pada pengertian yang ketiga, pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan
hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik analisis yang akan
dilakukan diarahkan karakter tokoh Lucianna Hanedey atau Zaenab Hanedey dan
tokoh-tokoh lain yang mendukung.
a. Teori Psikologi Erich Fromm
Erich Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama
oleh karyanya yang pertama, The Economic Philosophical Manuscrips yang ditulis
pada tahun 1944. Tema dasar tulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan
terisolasi karena ia dipisahkan dari alam oleh orang-orang lain. Keadaan isolasi ini
tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia.
Fromm menyebutkan bahwa manusia tidak dapat lepas dari kondisi eksistensi diri.
Kondisi tersebut sangat berhubungan erat dengan dualisme yang dimiliki manusia
(Hall dan Lindzey, 1993:256). Novel ini menarik untuk diteliti dengan kondisi yang
terisolasi, teori ini menyebutkan bahwasannya manusia tidak dapat lepas dari kondisi
eksistensi diri.
Mengikuti filsafat dualisme yang dialami oleh tokoh Lucianna dalam novel La>
Ta>tru>ku>u>ni Hu>na> Wa>chdi karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s, semua gerak di dunia
dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa.
Pertentangan itu menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai
tesa baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pernah berhenti bergerak. Menurut Formm dalam Suryabrata (2002) menyatakan
bahwa ada 4 macam dualisme:
a) Empat dualisme yang terdapat dalam diri manusia:
1) Manusia sebagai binatang dan manusia sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologis yang harus
dipuaskan, sperti kebutuhan makanan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia
sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berpikir, dan berimajinasi,
kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan
lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, sedih,
transendensi, kebebasan, nilai, dan norma (Suryabrata, 2002:25).
2) Kesadaran manusia tentang adanya kehidupan setelah kematian
Kesadaran diri dan pikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati,
tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah
mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir
dengan kematian (Suryabrata, 2002:26).
3) Konsep tentang ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi diri yang sempurna, tetapi karena
hidup ini pendek kesempurnaan tidak dapat tercapai. Ada orang berusaha
memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi
di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan
perkembangannya sesudah mati (Suryabrata, 2002:27).
4) Dualisme Manusia Tentang Kesendirian dan Kebersamaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa
menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan
pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada
kebersamaan denga orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang
harus berusaha menjembatani dualisme ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-
dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian.
Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan
kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus
berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-
kondisi eksistensi manusia (Suryabrata, 2002:28).
Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa dan antitesa eksistensi manusia,
disebut diema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai
lingkungan dengan hakikat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak
manusia dengan memisahkan hakkat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika
kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang
tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang
fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar
kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan (Suryabrata,
2002:29).
Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam
kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang
berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain.
Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan justru menjadi beban.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu (1) Menerima otoritas dari luar dan
tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia
menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan atau rasa
aman, (2) Bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama,
menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik
(Suryabrata, 2002:32).
b) Kebutuhan Eksistensi Manusia
Fromm dalam Murtianto (1995:35) Pada umumnya “kebutuhan” manusia
diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan
aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas
dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensi
dirinya, menurut Fromm terdiri dari kebutuhan keterhubungan (relatedness),
kebutuhan transendensi (transcendence), kebutuhan keberakaran (rootedness),
kebutuhan identitas (identity), dan kebutuhan kerangka orientasi dan pengabdian
(frame of orientation).
1. Kebutuhan Keterhubungan (Relatedness)
Kebutuan keterhubungan adalah kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian
dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan
makhluk lain yang dicintai menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk
mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu atau saudara,
kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan
paling memuaskan bisa positif yakni hubungan didasarkan pada cinta, perhatian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain, bisa negarif yakni
hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan (Murtianto, 1995:36).
2. Kebutuhan Transendensi (rootedness)
Karena individu irinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian
mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya merasa
tak berdaya. Orang ingin mengatasi peranan takut dan ketidakpastian menghadapi
kemarahan dan ketidakmenentuan semesta. Menurut kebutuhan ini, orang
membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk megatasi sifat pasif yang dikuasai
alam menjadi aktif, bertujuan dari bebas, berubah dari mahluk ciptaan menjadi
pencipta. Seperti pada kebutuhan keterhubungan, transendensi bisa positif
(menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu) (Murtianto, 1995:37).
3. Kebutuhan Keberakaran (Rootredness)
Kebutuhan kebekaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang
membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti dirumahnya). Manusia menjadi
asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu: (1) Dia direnggut dari akar-akar
hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan
kehilangan ikatan alaminya); (2) Pikiran dan kebebasan yang dikembangkannya
sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi atau tidak
berdaya (Murtianto, 1995:48).
Keberakaran juga merupaka kebutuhan untuk mengikat diri dengan
kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap
aktif dan kreatif megembangkan perasaan menjadi bagian yang intregasi dari dunia.
Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas berada di tengah-tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dunia yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksional yang tidak sehat,
yakni mengidentifikasi diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk
membuat ikatan baru dengan dunia baru (Murtianto, 1995:55).
4. Kebutuhan Identitas (sense of identity)
Kebutuhan identitas adalah kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk
sadar dengan diriinya sendiri sebagai suatu yang terpisah. Manusia harus dapat
merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan
merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Orang primitif
mengidentifikasi diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai
bagian yang terpisah dari kelompoknya. Rakyat mengidentifikasikan diri kepada
rajanya, orang modern mengidentifikasikan dirinya pada negara, agama, pekerjaan
atau kelompok polotik atau sosial. Itu semua ilusi identitas. Orang yang sehat, tidak
banyak membutuhkan menyesuaikan diri dengan kelompok, tidak mudah menyerah,
tidak mau mengorbankan kebebasan dan individualitasnya untuk bisa diterima
lingkungan. Orang sehat memiliki perasaan identitas yang otentik (Murianto,
1995:63).
5. Kebutuhan Kerangka Orientasi dan Pengabdian
Kebutuhan akan kerangka orientasi ada pada dua tigkat, yang pertama dan
kebutuhan yang lebih mendasar adalah milik beberapa kerangka orientasi, terlepas
dari apakah itu benar atau salah. Kecuali manusia memiliki semacam kerangka
subjektif merasakan orientasi, ia tidak bisa hidup secara masuk akal. Pada tingkat
kedua, kebutuhan adalah kebutuhan dan ketenangan, serta ketidakwarasannya. Ini
menjadi sangat jelas jika kita mempelajari fungsi rasionalisasi. Namun tidak masuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
akal atau tidak bermoral tindakan mungkin, manusia memiliki dorongan yang tak
dapat diatasi berdalih, yaitu untuk membuktikan kepada dirinya sendiri dan orang lain
bahwa tindakannya ditentukan oleh akal, akal sehat, atau setidaknya moralitan
konvensional. Dia memiliki sedikit kesulitan dalam bertindak irasional, tetapi hampir
tidak mungkin baginya untuk tidak memberikan tindakannya munculnya motivasi
yang wajar (Murtianto, 1995:64).
Jika seorang pria hanya kecerdasan yang tanpa tubuh, tujuannya akan dicapai
oleh sistem pemikiran yang komprehensif. Tapi karena ia adalah sebuah entitas
diberkahi dengan tubuh serta pemikiran, ia harus beraksi terhadap dikotomi
keberadaannya tidak hanya dalam pemikiran tetapi dalam proses total jika hidup,
dalam perasaan dan tindakannya. Oleh karena itu setiap sistem memuaskan orientasi
tidak hanya berisi elemen intelektual perasaan dan pengindraan yang dinyatakan
dalam hubungan ke objek pengabdian (Murianto, 1995:65).
c) Mekanisme Pelarian Diri dalam Teori Erich Fromm
Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari
pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri dengan
ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang
normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai
dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam
kehidupan sosial yang penuh cinta (Kamdani, 1997:143).
Menurut Fromm dalam Kamdani (1997), normalitas adalah keadaan optimal
dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan
diantaranya:
1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa
mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan
optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui
kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang
tulus dan terbuka. Fromm menyebut hal itu dengan pendekatan humanistik,
yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua
menjadi saudara dari yang lain.
2. Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan
bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau
lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat
menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun
menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan
mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di
bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian
sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua
orang, baik individual maupun kolektif. Mekanisme pelarian diri muncul
sebagai akibat dari ketidakamanan individu yang terisolasi (Kamdani,
1997:144). Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni
otoritarianisme (authoritarianism), kedestruktifan (destruktiveness), dan
penyesuaian diri (conformity).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
a. Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya
dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang
dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk menggabungkan dengan individu atau
institusi yang memiliki kekuatan. Penggabungan itu sering mengarah pada bentuk
sadisme. Paham sadisme dipakai untuk merendahkan kecemasan dasar melalui
penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk
neurotik yang parah dan berbahaya karena mengancam orang lain (Kamdani,
1997:147).
Ada tiga jenis kecenderungan sadisme yang kurang lebih saling berkaitan.
Pertama, kecenderungan untuk membuat orang lain tergantung pada dirinya sendiri
dan menanamkan kekuasaan mutlak dan tidak terbatas terhadap orang lain sehingga
mereka menjadi sekedar sebagai alat. Kedua, kecenderungan untuk memeras orang
lain, dan memanfaatkan mereka. Terakhir, kecenderungan atau keinginan untuk
membuat orang lain menderita atau melihat mereka sengsara. Penderitaan ini bisa
secara fisik, namun yang lebih sering adalah penderitaan mental. Tujuannya adalah
untuk melukai, menghina, mempermalukan orang lain (Kamdani, 1997:148).
Hobbes menganggap sadisme sebagai „kecenderungan umum umat manusia‟,
eksistensi dari hasrat abadi dan gelisah untuk berkuasa setelah kekuasaan akhirnya
berhenti pada kematian. Bagi Hobbes, hasrat untuk berkuasa bukan merupakan
kualitas kejam, melainkan merupakan akibat paling rasional dari hasrat manusia
untuk kenikmatan dan keamanan. Dari Hobbes sampai Hitler, orang menjelaskan
hasrat untuk mendominasi merupakan akibat logis dari perjuangan untuk tetap hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
bagi yang paling kuat yang mendominasi merupakan akibat logis dari perjuangan
untuk tetap hidup bagi yang paling yang dikondisikan secara biologis, keinginan
untuk kekuasaan dijelaskan sebagai bagian dari watak manusia yang tidak perlu
dijelaskan lebih jauh (Kamdani, 1997:151).
Semua bentuk sadisme yang berbeda yang diteliti dapat dikembalikan pada
satu dorongan esensial, yaitu meningkatkan penguasaannya terhadap orang lain,
untuk membuat orang lain menjadi objek tidak berdaya terhadap keamanan kita,
untuk menjadi penguasa mutlak terhadap orang lain, untuk menjadi Tuhan bagi orang
lain, untuk bekerja dengan orang lain itu karena orang merasa senang. Untuk
menghina dia, untuk memperbudak dia, merupakan sarana bagi tujuan ini, dan
tujuannya yang paling radikal adalah membuat dia menderita karena tidak ada
kekuasaan yang lebih besar pada orang lain daripada menimpakan derita kepada dia,
memaksa dia mengalami penderitaan tanpa dia dapat mempertahankan diri (Kamdani,
1997:161).
b. Kedestruktifan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif
mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi
melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat
memakai strategi destruktif , merusak orang atau objek, dalam rangka memperoleh
perasaan kuat yang hilang (Kamdani, 1997:184).
Ancaman terhadap sesuatu yang penting (material dan emosional) akan
menciptakan kecemasan, dan kecenderungan destruktif bisa juga menjadi, walaupun
tidak disadari, kecemasan yang terus menerus yang memancar dari perasaan terus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
terancam oleh dunia luar, jenis kecemasan yang terus-menerus ini merupakan akibat
dari keadaan individu yang terasing dan tidak berdaya, dan merupakan salah satu
sumber kedestruktifan yang berkembang dalam dirinya (Kamdani, 1997:185).
Destruktif berakar pada perasaan kesepian, keterasingan, dan
ketidakberdayaan individu. Dengan demikian, destruktif mencari kekuatan tidak
melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas
atau merusak kekuatan orang lain, individu bahkan negara dapat memakai strategi
destruktif, merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang
hilang.
c. Penyesuaian Diri (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan
individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang
menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis
menuruti kemauan orang lain (Kamdani, 1997:186).
d) Objek Penelitian
Sangidu (2007:61) menyatakan bahwa objek penelitian sastra adalah pokok
topik penelitian sastra. Objek dari penelitian ini mengungkapkan karakter dari tokoh
Lucianna dengan pendekatan struktural intrinsik dan ekstrinsik (alur, tokoh, latar,
tema, amanat, dan biografi pengarang), selain itu juga menggunakan teori psikologi
Erich Fromm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
a. Data
1. Data Primer
Data adalah lingual khusus yang terkandung dan berkaitan langsung dengan
masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:5). Data penelitian ini berupa teks,
kata-kata, frasa, kalimat maupun wacana yang terkandung dalam novel La>
Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s.
2. Data Sekunder
Data sekunder berupa referensi, sumber tertulis lain, buku-buku, E-Book,
internet, dan sebagainya.
b. Sumber Data
Kutha Ratna (2012:47) menyatakan bahwa sumber data berupa novel. Sumber
data yang digunakan dala kepustakaan ini adalah data kepustakaan yang berupa buku,
transkip, E-Book, hasil penelitian, dan yang lain sbagainya yang diuraikan dengan
perincian sebagai berikut:
1. Sumber data primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung yaitu
berupa novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s setebal
199 halaman. Data yang diambil oleh peneliti adalah karakter tokoh Lucianna
atau Zenab Hanedey.
2. Sumber data sekunder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada
misal buku-buku, karya tulis, penelitian, resensi, referensi, kajian ilmiah dan
yang berhubungan dengan pembahasan novel atau objek penelitiannya.
e) Teknik Pengumpulan Data
Teknik dalam pengumpulan data adalah teknik pustaka. Teknik pustaka
adalah pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis umtuk
memperoleh data. Sumber tertulis itu berwujud buku, majalah, surat kabar, karya
sastra, buku bacaan ilmiah (Satoto, 1995:42). Teknik pengumpulan data lainnya
dengan cara membaca, memahami, menyimak, mencatat dan mengutip data-data
yang terdapat di dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul
Quddu>s.
f) Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara terus
menerus, sejak pengupulan data di lapangan sampai penulisan laporan penelitian
(Aminudin, 1990:18). Data yang telah diolah kemudian dianalisis melalui beberapa
tahapan. Tahapan tersebut merupakan rangkaian suatu proses yang berurutan dan
berkesinambungan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tahap deskripsi, yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan
persoalan, setelah itu dideskripsikan.
2. Tahap klasifikasi, yaitu data-data yang telah dideskripsikan kemudian
dikelompokkan menurut kelompoknya masing-masing sesuai dengan
permasalahan yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
3. Tahap analisis, yaitu semua data-data yang telah diklasifikasikan menurut
kelompoknya masing-masing dianalisis menggunakan pendekatan
struktural kemudian dilanjutkan dengan menggunakan psikologi sastra.
4. Tahap interpretasi data, yaitu upaya penafsiran dan pemahaman terhadap
analisis data sehingga mendapatkan pemahaman secara menyeluruh dan
utuh.
5. Tahap evaluasi, yaitu suluruh data-data yang sudah dianalisis dan
diinterpretasikan kemudian ditarik kesimpulan, namun sebelum ditarik
kesimpulan data itu diteliti kembali supaya dapat dipertanggungjawabkan.
g) Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau
jalan. Menurut Ruslan (2003:24) metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek
penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya. Metode yang digunakan dalam
penelitian novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> ini berkaitan erat dengan Psikologi
sastra yang mengacu pada karakteristik tokoh utama.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif. Data-data tulisan dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wa>chdi> yang berupa
kata-kata, frasa, klausa, kalimat, atau paragraf akan menjadi data-data yang dianalisis.
Dengan menggunakan metode yang tepat, diharapkan penelitian terhadap suatu karya
dapat menjadi lebih maksimal sehingga hasilnya pun lebih baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
h) Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Teori, menjelaskan tentang definisi
Struktural (alur, tokoh, latar, tema dan amanat), Teori Psikologi dan Pendekatan
Teori Psikologi Sastra Erich Fromm, Objek Penelitian, Sumber Data dan Data,
Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Metode Penelitian, Sistematika
Penyajian.
Bab II Isi, Analisis Struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan Biografi
Pengarang) dan analisis psikologi sastra Erich Fromm, teori pasca-kolonial Karl
Marx.
Bab III Penutup, yang terdiri dari Simpulan dan Saran.