33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadirannya telah diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Karya sastra tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi emosional (Semi, 1993:1). Kesusastraan dikenal berbagai macam jenis sastra (genre). Sejak Plato dan Aristoteles membagi karya sastra menjadi tiga kategori menurut Wellek dan Warren (1984:300) yakni: puisi, prosa dan drama, kini ketiga genre sastra tersebut merupakan genre sastra secara garis besar. Menurut Nurgiyantoro (1995:1), dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan nama tokoh yang memiliki karakter, sehingga karya sastra juga menggambarkan tentang kejiwaan manusia walaupun pengarang hanyalah menampilkan tokoh itu secara fiktif. Melihat

digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan

kehadirannya telah diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Karya sastra

tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi

telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi

emosional (Semi, 1993:1).

Kesusastraan dikenal berbagai macam jenis sastra (genre). Sejak Plato

dan Aristoteles membagi karya sastra menjadi tiga kategori menurut Wellek dan

Warren (1984:300) yakni: puisi, prosa dan drama, kini ketiga genre sastra tersebut

merupakan genre sastra secara garis besar. Menurut Nurgiyantoro (1995:1),

dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di

samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga

disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative

discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat:

cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan

cerpen.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan nama tokoh yang

memiliki karakter, sehingga karya sastra juga menggambarkan tentang kejiwaan

manusia walaupun pengarang hanyalah menampilkan tokoh itu secara fiktif. Melihat

Page 2: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam aspek kehidupan yang tidak

terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme

yang menyatakan manusia terdiri atas jiwa dan raga. Oleh sebab itu peneliti yang

menggunakan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan

penafsiran karya sastra dari sisi yang lain. “orang dapat mengamati tingkah laku

tokoh-tokoh dalam sebuah novel atau drama dengan memanfaatkan pertolongan

psikologi” (Harjana, 1994:66). Seseorang dapat memahami dan mengamati karakter

tokoh-tokoh melalui cerita dalam bentuk novel dengan memanfaatkan kajian

psikologi. Seperti halnya dalam novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n

‘Abdul Quddu>s yang dapat di analisis dengan kajian psikologi sosial Erich Fromm.

Karakterisasi atau dalam bahasa Inggris characterization, berarti pemeranan,

pelukisan watak, metode karaterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode

melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara

menentukan karakter (tokoh)-dalam hal ini tokoh imajinatif-dan menentukan watak

tokoh atau karakter sangat berbeda. Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali

digunakan untuk memberikan ide atau menumpukkan gagasan. Memperjelas serta

mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan

kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Nama tersebut

mengacu pada karakteristik dominan si tokoh (Minderop, 2005:5).

Novel Dua Wajah Luciana atau La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> merupakan karya

ketiga puluh lima dari seorang sastrawan besar yang dilahirkan saat revolusi 1919 di

Mesir. Sebelum meninggal pada tahun 1990 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s yang dikenal juga

Page 3: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

sebagai wartawan telah menghasilkan 600 karya. Karya yang berjudul asli La>

Tatruku>ni Huna> Wachdi> ini pernah dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung

di sebuah surat kabar terkemuka Al Ahram kemudian dibukukan pada tahun 1981

(Atho‟illah, 2008:59).

La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> mengisahkan kehidupan seorang wanita Yahudi

Munikuris bernama Lucianna Hannedey. Suaminya bernama Zaki Raul dan mereka

telah dikaruniai dua orang anak bernama Yasmin dan Yitzhak. Pernikahan ini

dianggap Lucianna sebagai pernikahan yang merugikan, dimana Lucianna merasa

mampu mendapatkan suami yang kaya raya tidak seperti suaminya yang

pengangguran. Lucianna merasa dirinya cantik dan pintar, namun hal yang paling

bodoh adalah menikah dengan Zaki Raul (Quddu>s, 2004:4).

Lucianna memutuskan untuk bekerja di salon “Strafto” karena

ketidakpuasannya terhadap suami. Lucianna yang cantik membuat pengunjungnya

para pasha (para beek dan bangsawan) dan pangeran meliriknya. Karakter Lucianna

yang begitu pintar merayu para lelaki membuat pelanggannya betah berlama-lama

dengannya (Quddu>s, 2004:13).

Kemelut terjadi dalam hati Lucianna Hanedey. Ia tertarik dengan salah satu

pelanggannya bernama Shaukat Beek. Lucianna pun berani mempertaruhkan agama

dan berpindah ke agama Islam, nama Lucianna berpindah menjadi Zaenab Hanedey

kemudian menikah dengan Shaukat Beek. Mereka dikaruniai seorang anak bernama

Hagar. Namun pada akhirnya kelicikan membuat Lucianna jauh dari anak-anak dan

suaminya (Quddu>s, 2004:53).

Page 4: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Istilah “psikologi sastra” menurut Wellek dan Warren dalam Endraswara

(2008:65) diuraikan dalam bentuk esai kritis yang panjang. Dapat dipahami betapa

pentingnya psikologi sastra untuk menangkap sisi lain dari karya sastra. Pada

prinsipnya, psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama

adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; kedua adalah studi

proses kreatif; ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada

karya sastra; keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi

pembaca). Novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s ini

merujuk kepada kedua konteks tersebut, sebuah percampuran dari berbagai keinginan

yang ingin dicapai dari tokoh Lucianna.

Penelitian ini menarik untuk diteliti dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi>

ialah dikarenakan novel ini memaparkan dan mendeskripsikan karakter tokoh yang

dipengaruhi dengan keadaan sosial dan memunculkan dua karakter yang berbeda

dalam satu diri. Novel ini megambarkan saat menjadi Lucianna Hanedey seorang

wanita Yahudi Munikuris yang bekerja di sebuah salon. Karakter Lucianna kental

sekali dengan keyahudiannya, namun tak jarang ia memberontak dengan adat-adat

kaum Yahudi. Ketika menjadi Zaenab Hanedey ia merubah gaya hidupnya dengan

bergaul bersama para muslimah lainnya dan menjadi istri yang taat. Kisah perjalanan

tersebut mendapat kecaman dan hinaan dari kalangan elit Yahudi. Tetap saja

Lucianna dianggap sebagai Yahudi Munikuris yang hanya bekerja di salon.

Skripsi ini menggunakan teori psikologi sosial Erich Fromm sebagai alat

bantu untuk menemukan representasi pemikiran, hasrat, karakter dan jiwa Lucianna

Page 5: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

atau Zaenab Hanedey dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi>. Psikologi sosial

Erich Fromm ini adalah teori yang mana manusia merasa kesepian dan terisolasi

karena ia dipisahkan dari alam oleh orang-orang lain. Penelitian ini sangat tepat

dengan teori psikologi sosial Erich Fromm.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat mengemukakan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul

Quddu>s?

2. Bagaimana karakter tokoh Lucianna ditinjau dari dualisme tokoh dalam pendekatan

teori psikologi Erich Fromm?

3. Bagaimana eksistensi manusia yang dialami tokoh Luciana dalam pendekatan teori

psikologi Erich Fromm?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Mengungkapkan bagaimana struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan biografi

pengarang) dalam novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s.

2) Mendeskripsikan karakter tokoh Lucianna Hanedey dengan meninjau sisi dualisme

tokoh menurut psikologi Erich Fromm.

3) Mendeskripsikan tokoh Lucianna Hanedey dengan meninjau sisi eksistensi diri

manusia dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wa>chdi> menurut Erich Fromm.

Page 6: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, yakni:

a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan teori struktural dan mengungkapkan

bagaimana karakter tokoh Luciana dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> dengan

pendekatan analisis psikologi sastra.

b. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini secara praktis dapat menambah dan memperkaya khasanah

penelitian sastra, khususnya psikologi sastra yang terkait dengan karakter tokoh

Lucianna dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi>.

D. Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diteliti dengan menggunakan salah satu pendekatan “feminis”

yang ditinjau dari tiga permasalahan pokok yang meliputi nilai moral dalam

kepribadian tokoh perempuan, persamaan hak dan kesempatan antara tokoh

perempuan. Novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> pernah diteliti oleh Nasihin (2008)

dengan judul Riwayat La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> Li> Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s Dirasah

Naqdiyah Adabiyah Nisa’iyah. Nasihin menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa

novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s memiliki tiga

permasalahan pokok utama tentang feminis yang meliputi nilai moral dalam

Page 7: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

kepribadian tokoh perempuan, persamaan hak dan kesempatan antara tokoh

perempuan dan laki-laki, dan tujuan hidup tokoh perempuan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu, penelitian dengan

pendekatan psikologi sastra, sejauh pengamatan belum pernah dilakukan

sebelumnya. Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan psikologi sastra

khususnya teori psikologi sastra Erich Fromm.

E. Pembatasan Masalah

Penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah, agar masalah yang akan

dikaji oleh peneliti tidak melebar. Pembatasan masalah sangat penting karena penulis

dapat memutuskan pada masalah tertentu supaya mendapatkan pembahasan yang

sistematis, dan data yang diperoleh lebih akurat. Sejalan dengan judul yang diangkat,

penulis membatasi pada lingkup pendekatan struktural (alur, tokoh, latar, tema,

amanat dan biografi pengarang), karakter tokoh Lucianna dengan pendekatan teori

psikologi Erich Fromm dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n

‘Abdul Quddu>s. Peneliti akan membatasi pembahasannya dengan hanya membahas

dua dari tiga teori yang dikemukakan oleh Erich Fromm yaitu dualisme manusia dan

eksistensi manusia. Sebagai teori penyempurna, peneliti akan membahas sedikit teori

Karl Marx berupa Ambivalensi, Alienasi dan Resistensi.

F. Teori

Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti

kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas, dalam

Page 8: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep,

proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori tertentu

dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kalimat lain, tujuan akhir suatu

ilmu adalah melahirkan sebuah teori (Kutha Ratna, 2012:1). Meskipun demikian,

sebuah teori, dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk

memahami pendekatan-pendekatan teori. Pada penelitian kali ini akan menggunakan

teori struktural dan psikologi sastra Erich Fromm.

1. Pendekatan Struktural

Sebuah penelitian sastra tidak terlepas dari pemahaman struktural.

Pemahaman secara struktural merupakan sebuah model pendekatan atau teori yang

menjadi pijakan awal untuk meneliti sebuah teks sastra. Pendekatan struktural

memandang karya sastra sebagai sebuah karya yang memiliki relasi kekhasan dalam

menggali cermat, detai, teliti, serta dalam mengenai keterkaitan dan keterjalinan

semua aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,

1988:135).

Pendekatan struktural mengasumsikan karya sastra sebagai sebuah fenomea

yang memiliki struktur dan saling terkait satu sama lain. Relasi antarstruktur dalam

sebuah karya sastra membentuk sebuah system yang baku dan bersifat otonom. Hal

ini memiliki arti bahwa pemahaman karya sastra dapat dilihat dan diteliti dari teks

sastra itu sendiri dengan merealisasikan unsure pembangun karya sastra yang

membentuk sebuah makna secara utuh. Nurgiyantoro (2005:37) menambahkan bahwa

analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan masing-

Page 9: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

masing unsure tersebut sehingga secara bersama membentuk totalitas kemaknaan

yang padu.

Novel sebagai karya sastra memiliki unsur internal dan eksternal

pembangunnya. Keduanya saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk

satu kesatuan makna yang utuh. Unsur-unsur internal pembangun tersebut adalah

alur, tokoh, latar, tema dan amanat. Sedangkan unsur eksternal pembangun karya

tersebut adalah biografi pengarang.

Keterangan detail mengenai struktur novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya

Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s berdasarkan teori struktur Burhan Nurgiyantoro adalah

sebagai berikut:

a. Unsur Intrinsik

1) Alur

Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai

interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam dalam

keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang

membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Alur mengatur

tindakan-tindakan yang bertalian satu sam lain, cara tokoh-tokoh yang digambarkan

dan berperan dalam peristiwa ini semua terkait dalam satu kesatuan waktu (Semi,

1993:43).

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa didalam karya sastra untuk mencapai

efek tertentu. Plot merupakan urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh

sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lainnya

(Nurgiyantoro, 2005:119).

Page 10: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

Muchtar Lubis dalam Nurgiyantoro (2005:149) membedakan cara-cara

menganalisis dan membaginya menjadi lima tahapan sebagai berikut:

a) Tahapan Situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita,

pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk

melandasi cerita yang dikisahkan pada tahapan berikutnya (Nurgiyantoro,

2005:149).

b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik) merupakan

tahap awal muculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan

akan dikembangkan menjadi konflik-komflik pada tahap berikutnya

(Nurgiyantoro, 2005:149).

c) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) merupakan tahap dimana

konflik yang muncul mulai berkembang, konflik-konflik yang terjadi baik

internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-

benturan antar kepentingan. Masalah tokoh yang mengarah ke klimaks

semakin tidak dapat dihindarkan (Nurgiyantoro, 2005:149).

d) Tahap Climax (Tahap Klimaks) konflik atau pertentangan yang terjadi yang

dilakukan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas

puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu

klimaks (Nurgiyantoro, 2005:150).

e) Tahap Denounment (Tahap Penyelesaian) konflik yang telah mencapai

klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik

tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (Nurgiyantoro,

2005:150).

Page 11: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

2) Tokoh

Suatu karya sastra, masalah tokoh merupakan suatu hal yang kehadirannya

amat sangat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada sesuatu

karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita

(Semi, 1993:36).

Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan yang

paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan

memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu:

1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan),

jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badan yang lain

(Satoto, 1998:44).

2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status

sosial, pekerja, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan,

pandangan hidup, agama, aktifitas sosial, suku bangsa dan keturunan (Satoto,

1998:45).

3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran

moral, tempramen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan

keahlian khusus (Satoto, 1998:45).

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga

dimensi yang dimaksud adalah dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dimensi

fisiologis. Dimensi fisiologis merupakan ciri fisik seperti usia yang menggambarkan

kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh dan ciri fisik yang khas yang menguatkan

Page 12: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

karakter tokoh. Dimensi sosiologis meliputi cirri atau pola kehidupan sosial yang

digambarkan seperti status, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat serta

tingkat pendidikan, penghasilan, pandangan hidup, agama dan ciri sosial yang

mampu memberi nilai lebih terhadap dimensi ini. Dimensi psikologis meliputi latar

belakang kejiwaan yang memiliki ukuran mentalitas, moral yang membedakan mana

yang baik dan buruk, tempramen, kecerdasan, tingkah laku, keinginan, IQ, keahlian

khusus dalam satu bidang dalam dan ciri psikologis yang lain (Waluyo, 1994:171).

Dilihat dari segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua jenis yaitu tokoh

sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (complexs/round character).

Tokoh sederhana atau tokoh datar adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan

personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi saja. Bagian yang termasuk

kategori tokoh sederhana atau datar adalah tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah

familiar atau yang stercotip dalam fiksi. Tokoh kompleks atau bulat adalah tokoh

yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh

bulat memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan

sikap dan obsesi yang tunggal (Sayuti, 2000:78).

Semi (1993:40) berpendapat bahwa ada dua macam cara memperkenalkan

tokoh dalam fiksi. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan

tentang watak dan karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut

keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Kedua secara dramatik, yaitu

penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu

disampaikan melalui pilihan nama tokoh,penggambaran fisik atau postur tubuh, cara

berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya.

Page 13: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Selain itu dapat dilihat melalui dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam

interaksinya dengan tokoh lain.

3) Latar / setting

Latar atau setting segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan

dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suati karya sastra. Latar

yang dikerjakan dengan teliti dan hati-hati oleh pengarang dimaksudkan untuk

mengesani pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh

diangkat dari larat faktual, disebut latar tipikal. Latar tipikal yang digunakan dalam

novel memberikan kesan mendalam dan imajinasi konkret terhadap unsur latar seperti

tempat, waktu, serta luang lingkup kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005:222).

Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator, Abrams dalam Fanani

(2002:99) berpendapat, latar dibedakan dalam tiga indikator yaitu, general locate

(tempat secara umum), historical time (waktu historis), dan social circumstance

(lingkungan sosial).

Senada dengan Abrams, dalam Nurgiyantoro (2005:227) juga membedakan

latar menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah

karya fiksi.

2. Latar waktu, yaitu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

3. Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya

fiksi.

Page 14: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Latar tidak hanya menunjukkan dimana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih dari

itu juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau tingkah laku cerita. Hal

ini diungkapkan oleh Fananie (2002:99) bahwa dalam telaah setting atau latar sebuah

karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat

terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa dan situasi sosialnya, melainkan juga

konteks diagesis-nya, kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak tokohnya

sesuai dengan situasi pada saat karya itu diciptakan. Karena itu, dari telaah yang

dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika peristiwa, perkembangan

karakter sesuai dengan pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.

4) Tema

Seorang pengarang pasti mempunyai ide dasar dalam karya yang ditulisnya.

Ide dasar cerita juga disebut sebagai tema. Definisi tema adalah gagasan, ide, atau

pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak (Sudjiman,

1988:74).

Tema adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita (Nurgiyantoro,

2007:67). Adapun menurut Brooks, Purser, Warren dalam Tarigan (1999:125)

mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau

rangkaian nilai-nilai tertentu yang membangun dasar dan gagasan utama dari suatu

karya sastra.

5) Amanat

Amanat merupakan pesan atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang

kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007:322). Suatu cerita dapat diambil suatu pesan

Page 15: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

atau kesan yang disebut amanat. Amanat dapat dilihat dari pandangan pengarang

mengenai kehidupan yang terdapat dalam karya sastra.

Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan

pembaca. Melalui sudut sastrawan, nilai itu biasa disebut amanat. Oleh karenanya

amanat dapat dapat juga diartikan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra,

pesan, perintah, keterangan, wejangan dan kepercayaan yang disampaikan pengarang

kepada pembaca (Siswanto, 2008:162). Novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> juga

memiliki amanat tentang karakter kaum Yahudi, nilai keagamaan, kesetiaan, dan

nasionalisme.

b. Unsur Ekstrinsik

1) Biografi Pengarang

Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s adalah seorang novelis, cerpenis, dan juga seorang

jurnalis. Dia lahir pada tanggal 1 januari 1919. Sejak kecil kegemarannya adalah

membaca. Ayahnya sangat mendukung studinya dan meraih gelar licence di bidang

hukum Universitas Kairo pada tahun 1942.

Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s mulai menggoreskan pena sastranya sejak dini atas

pengaruh ibunya yang telah mendirikan majalah Ruz Al-Yusuf. Usai menyelesaikan

studinya dia menyibukkan diri di majalah tersebut dengan posisinya sebagai dewan

pimpinan redaktur hingga tahun1966. Ketika masih aktif sebagai jurnalis dimajalah

tersebut, dirinya mengikuti training dikantor seorang pengacara terkenal, Edward

Qussairi (Atho‟illah, 2008:58).

Page 16: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Pada tahun 1944 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s mulai menulis naskah film, setelah itu

cerpen. Bagi ihsan sastra dan jurnalistik harus ada dalam kehidupannya. Karena

kedua bidang itu, dia dapat mencapai keseimbangan diri serta dapat merealisasikan

apresiasinya. Akhirnya, dia berhenti dari profesi pengacara dan mengabdi penuh

untuk sastra dan jurnalistik. Pada tahun 1971 sampai 1974, dia bekerja sebagai

pimpinan redaks surat kabar Akhbar Al-Yaum. Tahun 1974, dia terpilih menjadi

pimpinan dewan direksi Al-Ahram. Sejak tahun 1975, dia menjadi anggota dewan

tinggi urusan jurnalistik.

Selama hidupnya, Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s telah menghasilkan banyak karya,

yaitu 49 novel yang kemudia dibuat film, 5 novel dibuat drama, 9 novel dijadikan

program serial di radio, 10 novel dijadikan program serial di televisi, dan 56 buku.

Diantara karya-karyanya yang berupa buku adalah sebagai berikut:

(1949)

(1952)

Page 17: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

An-nadza>ratus Sauda> (1949), Ana>sharah (1952), Al-wisa>datul Kha>liyah, At-

thari>qul Masdud, La> Ana>m, Al-baituna> Rajul, Syaiun Fi> Shadri>, Aina ‘aqli>,

La> Tathghaus Syamsi.

Novel Dua Wajah Luciana merupakan karya ketiga puluh lima dari seorang

sastrawan besar yang dilahirkan saat revolusi 1919 di Mesir. Sebelum meninggal

pada tahun 1990 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s yang dikenal juga sebagai wartawan telah

menghasilkan 600 karya. Karya yang berjudul asli La> Tatruku>ni Huna> Wahdi> ini

pernah dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung di sebuah surat kabar

terkemuka Al Ahram kemudian dibukukan pada tahun 1981.

Beberapa karyanya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa

Inggris, Prancis, Cina, dan Jerman. Sebagian naskah film atau novelnya pernah

mendapatkan beberapa penghargaan. Beliau meninggal pada tahun 1990 (Atho‟illah,

2008:59).

2. Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra

(Endraswara, 2008:16). Mempelajari psikologi sastra sama halnya mempelajari

manusia dari sisi dalam. Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat

para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra

amat indah, karena kita dapat memahami sisi ke dalam jiwa manusia, jelas amat luas

dan amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar (Edraswara, 2008:14). Seperti

dikatakan bahwa psikologi sastra adalah disiplin yang menganggap bahwa sastra

memuat unsur-unsur psikologis (Sangidu, 2005:30).

Page 18: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Menurut Semi (1993:76), psikologi sastra adalah suatu disiplin yang

memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa

kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada didalamnya

atau mungkin juga bukan tokoh imajiner. Hal ini memicu untuk mengadakan

penjelajahan kedalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk

beluk manusia yang beraneka ragam. Psikologi sastra juga didefinisikan sebagai

suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis

(Wright, 1998:9). Secara umum psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan (Sangidu, 2005:30).

Psikologi sastra sebagaimana yang dimaksudkan dalam pembicaraan ini

adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai

gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menempatkan teori, bukan sebaliknya.

Mengambil analogi hubungan antara psikologi dengan pasien diatas pada dasarnya

sudah terjadi keseimbangan antara karya sastra dengan teori. Artinya, dalam

hubungan ini sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkapkan berbagai

problematika. Tidak ada dominasi dalam pengertian saling menolak diantaranya,

melainkan akan menghasilkan interaksi yang dinamis yang memungkinkan untuk

mengungkapkan berbagai gejala dibalik gejala yang lain (Kutha Ratna, 2012:344).

Peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian psikologi sastra dengan

menekankan pada kajian teks, yaitu dengan melihat cerminan unsur-unsur psikologis

pada setiap tokoh yang ditampilkan dalam cerita. Hal ini selaras pula dengan

pendapat Endraswara (2003:89) bahwa teks yang ditampilkan melalui suatu teknik

dalam teori sastra ternyata dapat mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang

Page 19: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

diusung oleh tokoh fiksional. Penelitian pada novel La> Ta>tru>ku>u>ni Hu>na> Wa>chdi ini

mengarah pada pengertian yang ketiga, pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan

hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik analisis yang akan

dilakukan diarahkan karakter tokoh Lucianna Hanedey atau Zaenab Hanedey dan

tokoh-tokoh lain yang mendukung.

a. Teori Psikologi Erich Fromm

Erich Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama

oleh karyanya yang pertama, The Economic Philosophical Manuscrips yang ditulis

pada tahun 1944. Tema dasar tulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan

terisolasi karena ia dipisahkan dari alam oleh orang-orang lain. Keadaan isolasi ini

tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia.

Fromm menyebutkan bahwa manusia tidak dapat lepas dari kondisi eksistensi diri.

Kondisi tersebut sangat berhubungan erat dengan dualisme yang dimiliki manusia

(Hall dan Lindzey, 1993:256). Novel ini menarik untuk diteliti dengan kondisi yang

terisolasi, teori ini menyebutkan bahwasannya manusia tidak dapat lepas dari kondisi

eksistensi diri.

Mengikuti filsafat dualisme yang dialami oleh tokoh Lucianna dalam novel La>

Ta>tru>ku>u>ni Hu>na> Wa>chdi karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s, semua gerak di dunia

dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa.

Pertentangan itu menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai

tesa baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak

Page 20: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

pernah berhenti bergerak. Menurut Formm dalam Suryabrata (2002) menyatakan

bahwa ada 4 macam dualisme:

a) Empat dualisme yang terdapat dalam diri manusia:

1) Manusia sebagai binatang dan manusia sebagai manusia

Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologis yang harus

dipuaskan, sperti kebutuhan makanan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia

sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berpikir, dan berimajinasi,

kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan

lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, sedih,

transendensi, kebebasan, nilai, dan norma (Suryabrata, 2002:25).

2) Kesadaran manusia tentang adanya kehidupan setelah kematian

Kesadaran diri dan pikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati,

tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah

mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir

dengan kematian (Suryabrata, 2002:26).

3) Konsep tentang ketidaksempurnaan dan kesempurnaan

Manusia mampu mengkonsepkan realisasi diri yang sempurna, tetapi karena

hidup ini pendek kesempurnaan tidak dapat tercapai. Ada orang berusaha

memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi

di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan

perkembangannya sesudah mati (Suryabrata, 2002:27).

4) Dualisme Manusia Tentang Kesendirian dan Kebersamaan

Page 21: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa

menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan

pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada

kebersamaan denga orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang

harus berusaha menjembatani dualisme ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-

dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian.

Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan

kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus

berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-

kondisi eksistensi manusia (Suryabrata, 2002:28).

Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa dan antitesa eksistensi manusia,

disebut diema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai

lingkungan dengan hakikat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak

manusia dengan memisahkan hakkat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika

kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang

tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang

fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar

kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan (Suryabrata,

2002:29).

Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam

kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang

berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain.

Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan justru menjadi beban.

Page 22: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu (1) Menerima otoritas dari luar dan

tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia

menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan atau rasa

aman, (2) Bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama,

menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik

(Suryabrata, 2002:32).

b) Kebutuhan Eksistensi Manusia

Fromm dalam Murtianto (1995:35) Pada umumnya “kebutuhan” manusia

diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan

aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas

dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensi

dirinya, menurut Fromm terdiri dari kebutuhan keterhubungan (relatedness),

kebutuhan transendensi (transcendence), kebutuhan keberakaran (rootedness),

kebutuhan identitas (identity), dan kebutuhan kerangka orientasi dan pengabdian

(frame of orientation).

1. Kebutuhan Keterhubungan (Relatedness)

Kebutuan keterhubungan adalah kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian

dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan

makhluk lain yang dicintai menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk

mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu atau saudara,

kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan

paling memuaskan bisa positif yakni hubungan didasarkan pada cinta, perhatian,

Page 23: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain, bisa negarif yakni

hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan (Murtianto, 1995:36).

2. Kebutuhan Transendensi (rootedness)

Karena individu irinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian

mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya merasa

tak berdaya. Orang ingin mengatasi peranan takut dan ketidakpastian menghadapi

kemarahan dan ketidakmenentuan semesta. Menurut kebutuhan ini, orang

membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk megatasi sifat pasif yang dikuasai

alam menjadi aktif, bertujuan dari bebas, berubah dari mahluk ciptaan menjadi

pencipta. Seperti pada kebutuhan keterhubungan, transendensi bisa positif

(menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu) (Murtianto, 1995:37).

3. Kebutuhan Keberakaran (Rootredness)

Kebutuhan kebekaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang

membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti dirumahnya). Manusia menjadi

asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu: (1) Dia direnggut dari akar-akar

hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan

kehilangan ikatan alaminya); (2) Pikiran dan kebebasan yang dikembangkannya

sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi atau tidak

berdaya (Murtianto, 1995:48).

Keberakaran juga merupaka kebutuhan untuk mengikat diri dengan

kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap

aktif dan kreatif megembangkan perasaan menjadi bagian yang intregasi dari dunia.

Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas berada di tengah-tengah

Page 24: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

dunia yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksional yang tidak sehat,

yakni mengidentifikasi diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk

membuat ikatan baru dengan dunia baru (Murtianto, 1995:55).

4. Kebutuhan Identitas (sense of identity)

Kebutuhan identitas adalah kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk

sadar dengan diriinya sendiri sebagai suatu yang terpisah. Manusia harus dapat

merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan

merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Orang primitif

mengidentifikasi diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai

bagian yang terpisah dari kelompoknya. Rakyat mengidentifikasikan diri kepada

rajanya, orang modern mengidentifikasikan dirinya pada negara, agama, pekerjaan

atau kelompok polotik atau sosial. Itu semua ilusi identitas. Orang yang sehat, tidak

banyak membutuhkan menyesuaikan diri dengan kelompok, tidak mudah menyerah,

tidak mau mengorbankan kebebasan dan individualitasnya untuk bisa diterima

lingkungan. Orang sehat memiliki perasaan identitas yang otentik (Murianto,

1995:63).

5. Kebutuhan Kerangka Orientasi dan Pengabdian

Kebutuhan akan kerangka orientasi ada pada dua tigkat, yang pertama dan

kebutuhan yang lebih mendasar adalah milik beberapa kerangka orientasi, terlepas

dari apakah itu benar atau salah. Kecuali manusia memiliki semacam kerangka

subjektif merasakan orientasi, ia tidak bisa hidup secara masuk akal. Pada tingkat

kedua, kebutuhan adalah kebutuhan dan ketenangan, serta ketidakwarasannya. Ini

menjadi sangat jelas jika kita mempelajari fungsi rasionalisasi. Namun tidak masuk

Page 25: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

akal atau tidak bermoral tindakan mungkin, manusia memiliki dorongan yang tak

dapat diatasi berdalih, yaitu untuk membuktikan kepada dirinya sendiri dan orang lain

bahwa tindakannya ditentukan oleh akal, akal sehat, atau setidaknya moralitan

konvensional. Dia memiliki sedikit kesulitan dalam bertindak irasional, tetapi hampir

tidak mungkin baginya untuk tidak memberikan tindakannya munculnya motivasi

yang wajar (Murtianto, 1995:64).

Jika seorang pria hanya kecerdasan yang tanpa tubuh, tujuannya akan dicapai

oleh sistem pemikiran yang komprehensif. Tapi karena ia adalah sebuah entitas

diberkahi dengan tubuh serta pemikiran, ia harus beraksi terhadap dikotomi

keberadaannya tidak hanya dalam pemikiran tetapi dalam proses total jika hidup,

dalam perasaan dan tindakannya. Oleh karena itu setiap sistem memuaskan orientasi

tidak hanya berisi elemen intelektual perasaan dan pengindraan yang dinyatakan

dalam hubungan ke objek pengabdian (Murianto, 1995:65).

c) Mekanisme Pelarian Diri dalam Teori Erich Fromm

Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari

pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri dengan

ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang

normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai

dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam

kehidupan sosial yang penuh cinta (Kamdani, 1997:143).

Menurut Fromm dalam Kamdani (1997), normalitas adalah keadaan optimal

dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada

Page 26: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan

diantaranya:

1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa

mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan

optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui

kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang

tulus dan terbuka. Fromm menyebut hal itu dengan pendekatan humanistik,

yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua

menjadi saudara dari yang lain.

2. Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan

bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau

lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat

menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun

menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan

mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di

bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian

sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua

orang, baik individual maupun kolektif. Mekanisme pelarian diri muncul

sebagai akibat dari ketidakamanan individu yang terisolasi (Kamdani,

1997:144). Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni

otoritarianisme (authoritarianism), kedestruktifan (destruktiveness), dan

penyesuaian diri (conformity).

Page 27: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

a. Otoritarianisme (authoritarianism)

Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya

dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang

dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk menggabungkan dengan individu atau

institusi yang memiliki kekuatan. Penggabungan itu sering mengarah pada bentuk

sadisme. Paham sadisme dipakai untuk merendahkan kecemasan dasar melalui

penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk

neurotik yang parah dan berbahaya karena mengancam orang lain (Kamdani,

1997:147).

Ada tiga jenis kecenderungan sadisme yang kurang lebih saling berkaitan.

Pertama, kecenderungan untuk membuat orang lain tergantung pada dirinya sendiri

dan menanamkan kekuasaan mutlak dan tidak terbatas terhadap orang lain sehingga

mereka menjadi sekedar sebagai alat. Kedua, kecenderungan untuk memeras orang

lain, dan memanfaatkan mereka. Terakhir, kecenderungan atau keinginan untuk

membuat orang lain menderita atau melihat mereka sengsara. Penderitaan ini bisa

secara fisik, namun yang lebih sering adalah penderitaan mental. Tujuannya adalah

untuk melukai, menghina, mempermalukan orang lain (Kamdani, 1997:148).

Hobbes menganggap sadisme sebagai „kecenderungan umum umat manusia‟,

eksistensi dari hasrat abadi dan gelisah untuk berkuasa setelah kekuasaan akhirnya

berhenti pada kematian. Bagi Hobbes, hasrat untuk berkuasa bukan merupakan

kualitas kejam, melainkan merupakan akibat paling rasional dari hasrat manusia

untuk kenikmatan dan keamanan. Dari Hobbes sampai Hitler, orang menjelaskan

hasrat untuk mendominasi merupakan akibat logis dari perjuangan untuk tetap hidup

Page 28: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

bagi yang paling kuat yang mendominasi merupakan akibat logis dari perjuangan

untuk tetap hidup bagi yang paling yang dikondisikan secara biologis, keinginan

untuk kekuasaan dijelaskan sebagai bagian dari watak manusia yang tidak perlu

dijelaskan lebih jauh (Kamdani, 1997:151).

Semua bentuk sadisme yang berbeda yang diteliti dapat dikembalikan pada

satu dorongan esensial, yaitu meningkatkan penguasaannya terhadap orang lain,

untuk membuat orang lain menjadi objek tidak berdaya terhadap keamanan kita,

untuk menjadi penguasa mutlak terhadap orang lain, untuk menjadi Tuhan bagi orang

lain, untuk bekerja dengan orang lain itu karena orang merasa senang. Untuk

menghina dia, untuk memperbudak dia, merupakan sarana bagi tujuan ini, dan

tujuannya yang paling radikal adalah membuat dia menderita karena tidak ada

kekuasaan yang lebih besar pada orang lain daripada menimpakan derita kepada dia,

memaksa dia mengalami penderitaan tanpa dia dapat mempertahankan diri (Kamdani,

1997:161).

b. Kedestruktifan (destruktiveness)

Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif

mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi

melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat

memakai strategi destruktif , merusak orang atau objek, dalam rangka memperoleh

perasaan kuat yang hilang (Kamdani, 1997:184).

Ancaman terhadap sesuatu yang penting (material dan emosional) akan

menciptakan kecemasan, dan kecenderungan destruktif bisa juga menjadi, walaupun

tidak disadari, kecemasan yang terus menerus yang memancar dari perasaan terus

Page 29: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

terancam oleh dunia luar, jenis kecemasan yang terus-menerus ini merupakan akibat

dari keadaan individu yang terasing dan tidak berdaya, dan merupakan salah satu

sumber kedestruktifan yang berkembang dalam dirinya (Kamdani, 1997:185).

Destruktif berakar pada perasaan kesepian, keterasingan, dan

ketidakberdayaan individu. Dengan demikian, destruktif mencari kekuatan tidak

melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas

atau merusak kekuatan orang lain, individu bahkan negara dapat memakai strategi

destruktif, merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang

hilang.

c. Penyesuaian Diri (conformity)

Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan

individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang

menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis

menuruti kemauan orang lain (Kamdani, 1997:186).

d) Objek Penelitian

Sangidu (2007:61) menyatakan bahwa objek penelitian sastra adalah pokok

topik penelitian sastra. Objek dari penelitian ini mengungkapkan karakter dari tokoh

Lucianna dengan pendekatan struktural intrinsik dan ekstrinsik (alur, tokoh, latar,

tema, amanat, dan biografi pengarang), selain itu juga menggunakan teori psikologi

Erich Fromm.

Page 30: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

a. Data

1. Data Primer

Data adalah lingual khusus yang terkandung dan berkaitan langsung dengan

masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:5). Data penelitian ini berupa teks,

kata-kata, frasa, kalimat maupun wacana yang terkandung dalam novel La>

Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s.

2. Data Sekunder

Data sekunder berupa referensi, sumber tertulis lain, buku-buku, E-Book,

internet, dan sebagainya.

b. Sumber Data

Kutha Ratna (2012:47) menyatakan bahwa sumber data berupa novel. Sumber

data yang digunakan dala kepustakaan ini adalah data kepustakaan yang berupa buku,

transkip, E-Book, hasil penelitian, dan yang lain sbagainya yang diuraikan dengan

perincian sebagai berikut:

1. Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung yaitu

berupa novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s setebal

199 halaman. Data yang diambil oleh peneliti adalah karakter tokoh Lucianna

atau Zenab Hanedey.

2. Sumber data sekunder

Page 31: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada

misal buku-buku, karya tulis, penelitian, resensi, referensi, kajian ilmiah dan

yang berhubungan dengan pembahasan novel atau objek penelitiannya.

e) Teknik Pengumpulan Data

Teknik dalam pengumpulan data adalah teknik pustaka. Teknik pustaka

adalah pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis umtuk

memperoleh data. Sumber tertulis itu berwujud buku, majalah, surat kabar, karya

sastra, buku bacaan ilmiah (Satoto, 1995:42). Teknik pengumpulan data lainnya

dengan cara membaca, memahami, menyimak, mencatat dan mengutip data-data

yang terdapat di dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul

Quddu>s.

f) Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara terus

menerus, sejak pengupulan data di lapangan sampai penulisan laporan penelitian

(Aminudin, 1990:18). Data yang telah diolah kemudian dianalisis melalui beberapa

tahapan. Tahapan tersebut merupakan rangkaian suatu proses yang berurutan dan

berkesinambungan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tahap deskripsi, yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan

persoalan, setelah itu dideskripsikan.

2. Tahap klasifikasi, yaitu data-data yang telah dideskripsikan kemudian

dikelompokkan menurut kelompoknya masing-masing sesuai dengan

permasalahan yang ada.

Page 32: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

3. Tahap analisis, yaitu semua data-data yang telah diklasifikasikan menurut

kelompoknya masing-masing dianalisis menggunakan pendekatan

struktural kemudian dilanjutkan dengan menggunakan psikologi sastra.

4. Tahap interpretasi data, yaitu upaya penafsiran dan pemahaman terhadap

analisis data sehingga mendapatkan pemahaman secara menyeluruh dan

utuh.

5. Tahap evaluasi, yaitu suluruh data-data yang sudah dianalisis dan

diinterpretasikan kemudian ditarik kesimpulan, namun sebelum ditarik

kesimpulan data itu diteliti kembali supaya dapat dipertanggungjawabkan.

g) Metode Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau

jalan. Menurut Ruslan (2003:24) metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan

dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek

penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya. Metode yang digunakan dalam

penelitian novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> ini berkaitan erat dengan Psikologi

sastra yang mengacu pada karakteristik tokoh utama.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif. Data-data tulisan dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wa>chdi> yang berupa

kata-kata, frasa, klausa, kalimat, atau paragraf akan menjadi data-data yang dianalisis.

Dengan menggunakan metode yang tepat, diharapkan penelitian terhadap suatu karya

dapat menjadi lebih maksimal sehingga hasilnya pun lebih baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 33: digilib.uns.ac.id commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

h) Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Teori, menjelaskan tentang definisi

Struktural (alur, tokoh, latar, tema dan amanat), Teori Psikologi dan Pendekatan

Teori Psikologi Sastra Erich Fromm, Objek Penelitian, Sumber Data dan Data,

Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Metode Penelitian, Sistematika

Penyajian.

Bab II Isi, Analisis Struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan Biografi

Pengarang) dan analisis psikologi sastra Erich Fromm, teori pasca-kolonial Karl

Marx.

Bab III Penutup, yang terdiri dari Simpulan dan Saran.