Upload
vuanh
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia (MSDM) adalah ilmu dan seni dalam
mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja dalam mewujudkan tujuan perusahaan,
karyawan serta masyarakat. (Hasibuan dan Malayu, 2000: 10).
Manajemen Sumber daya manusia merupakan salah satu bidang manajemen
umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengendalian. (Rivai dan Sagala, 2013: 1). Manajemen sumber daya manusia juga
merupakan bidang strategis dari organisasi dan merupakan bagian dari manajemen
keorganisasian yang difokuskan pada sumber daya manusisa. (Sutrisno, 2009: 5-6)
Keputusan dan Informasi dari Manajemen SDM sangat dibutuhkan karena
nantinya akan menjadi dasar keputusan menyangkut proses, sistem, dan skill mana
yang perlu diperbaiki dari karyawan. (Noe et al., 2011: 319)
Manajemen SDM sebelumnya dikenal dengan sebutan manajemen
personalia, dan perubahan nama ini merupakan gambaran perluasan peran
manajemen personalia dan peningkatan kesadaran bahwa SDM merupakan salah satu
kunci bagi suksesnya perusahaan (Rivai dan Sagala, 2013: 5)
Manajemen SDM dalam suatu organisasi atau perusahaan begitu penting
perannya, hal tersebut tidak terlepas dari beberapa alasan. Robbins dan Coulter
(2009: 222-223) membagi tiga hal mengapa Manajemen SDM sangat penting, antara
lain:
1. Manajemen SDM dapat menjadi sumber yang signifikan dari keunggulan
kompetitif
2. Manajemen SDM adalah bagian penting dari strategi organisasi
3. Dengan MSDM yang mewakili organisasi memperlakukan pekerjanya
telah terbukti secara signifikan mempengaruhi kinerja organisasinya.
11
12
Ditambahkan oleh Noe et al., (2011: 343) di mana peran pentingnya para
pemimpin SDM, dan peran penting MSDM yang mengharuskan mereka mencari
keseimbangan antara menghire, memotivasi, dan mempertahankan bakat terbaik
karyawan, juga mempertahankan biaya buruh dan administrasi serendah mungkin
dalam suatu perusahaan.
Dengan demikian, sebaiknya perusahaan tidak menganggap sebelah mata
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi manajemen sumber daya manusia. Hal ini harus
dilakukan agar tujuan yang ingin diraih perusahaan dan para pekerjanya dapat
terwujud secara maksimal dengan proses yang efektif juga efisien.
Adapun Hasibuan dan Malayu (2000: 25) menerangkan fungsi Manajemen
SDM menjadi sebelas bagian antara lain:
1. Perencanaan
2. Pengorganisasian
3. Pengarahan
4. Pengendalian
5. Pengadaan
6. Pengembangan
7. Kompensasi
8. Pengintegrasian
9. Pemeliharaan
10. Kedisiplinan
11. Pemberhentia
Sedangkan bagi Dessler (2013: 4) fungsi Manajemen SDM melibatkan lima
fungsi di antaranya:
1. Perencanaan (seperti menetapkan tujuan dan standar, mengembangkan
aturan dan prosedur, mengembangkan rencana dan peramalan.)
2. Pengorganisasian (Memberikan setiap bawahan tugas tertentu,
mendelegasikan wewenang kepada bawahan, saluran membangun otoritas
dan komunikasi, dan mengkoordinasikan bawahan dalam bekerja.)
3. Staffing (Menentukan orang yang akan di hire, merekrut calon karyawan,
pelatihan dan pengembangan karyawan, menetapkan standar kinerja,
mengevaluasi kinerja, konseling bagi karyawan, dan menentukan
kompensasi karyawan.)
4. Memimpin (Menjaga moral dan memotivasi bawahan.)
13
5. Mengontrol (Mengenai standar pengaturan, standar kualitas, memeriksa
dan menjaga kinerja dengan standar, dan mengambil tindakan korektif
sesuai kebutuhan.)
Dengan demikian dapat disimpulkan betapa pentingnya MSDM bagi sebuah
perusahaan, hal tersebut dikarenakan perusahaan diharuskan memiliki pengetahuan
tentang bagaimana mengelola sumber daya manusia agar tepat guna dan nantinya
membantu perusahaan agar survive di era globalisasi ini, dan membantu perusahaan
mencapai tujuannya tanpa melupakan tujuan para pekerjanya.
2.1.2 Motivasi Karyawan
Motivasi karyawan itu sendiri termaksud dalam ruang lingkup permasalahaan
dalam HRD dan para manajer, Memberikan motivasi karyawan pada tingkat kinerja
yang tinggi merupakan salah satu tugas utama dari manajer. Ini berarti bahwa
manajer harus memastikan bahwa orang-orang yang bekerja, mereka pergi bekerja
secara teratur dan memiliki misi korporasi. (Mohammadzade & Mehruzhan, 1997)
dalam (Karami et al., 2013: 329). Motivasi juga menyumbang arah dan ketekunan
usaha untuk mencapai tujuan. Ini diartikan bahwa motivasi menentukan berapa
banyak upaya seseorang dalam menempatkan kemampuannya dalam bekerja,
kemana arah upaya tersebut dan dengan ukuran seberapa lama seseorang dapat
mempertahankan usaha (Robbins dan Judge, 2008) dalam (Afful dan Broni, 2012:
309). Motivasi dalam bekerja ini sangat penting karena tanpa adanya motivasi dari
karyawan untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan, maka segala macan tujuan
dari perusahaan dapat tidak terpenuhi, dan sebaliknya pula, jika terdapat motivasi
yang tinggi dari para karyawan, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu jaminan
perusahaan dalam keberhasilannya guna mencapai tujuan (Gito Sudarmo, 2001) di
dalam (Sutrisno, 2009: 111). Motivasi dalam penelitian kali ini merupakan salah
satu dari variabel independen yang mempengaruhi kinerja karyawan.
Motivasi itu sendiri mempersoalkan bagaimana cara mendorong gairah kerja
karyawan, dengan harapan pekerja mau bekerja dengan giat dan memberikan
segenap kemampuannya demi mewujudkan tujuan dari perusahaan yang dia tempati
(Hasibuan dan Malayu, 1999), yang dimana oleh Jones (1997) dalam Sutrisno (2009:
110) diperkuat dengan mengatakan bahwa motivasi itu memiliki keterkaitan dengan
14
sebuah proses yang dapat membangun dan juga dapat memelihara sebuah perilaku ke
arah suatu tujuan. Adapun dalam mendefinisikan motivasi juga dapat dikatakan
bahwa motivasi adalah keadaan internal mengenai kebutuhan dan kekurangan yang
menyebabkan permintaan dan menyebabkan timbulnya tindakan ke arah tujuan, hal
tersebut mendorong bahkan mewajibkan orang untuk melakukan serangkaian
kegiatan atau perilaku tertentu (Seyyed, 2008) didalam (Karami et al., 2013: 329).
Dengan singkat David (2013: 132) menerangkan bahwa motivasi dapat
didefinisikan sebagai proses mempengaruhi orang untuk mencapai tujuan tertentu.
Senada dengan hal tersebut, Aries dan Ghozali (2006) dalam Murty dan
Hudiwinarsih (2012: 218) menyatakan bahwa motivasi yakni pemberian dorongan-
dorongan individu untuk bertindak yang menyebabkan orang tersebut melakukan
perilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada tujuan tertentu. Sedangkan
Widodo (2015: 187) mendefinisikan motivasi sebagai kekuatan yang ada dalam diri
seseorang, yang yang mendorong perilaku seseorang untuk melakukan suatu
tindakan tertentu, dan besaran intensitas kekuatan tersebut dalam melakukan tugas
atau mencapai sasaran, dapat menunjukkan sejauhmana tingkatan motivasi yang
dimiliki oleh seseorang. Adapun Siagian (1995) dalam Sutrisno (2009: 110),
mengemukakan motif dari kata motivasi tersebut yakni suatu keadaan dimana jiwa
terdorong atau teraktifkan, dan dari motif itulah yang menyalurkan sikap dan
perilaku serta tindakan seseorang, yang hal tersebut selalu saja dikait-kaitkan dengan
sebuah pencapaian tujuan, tujuan tersebut adalah berupa tujuan individu atau pribadi
pada umumnya. Dikarenakan hal tersebutlah, maka terdapat perbedaan kekuatan
motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi sebuah permasalahan
dengan seorang lainnya dalam situasi yang tidak berbeda.
Unsur atau sumber dari motivasi tersebut terbagi atas dua sumber, di mana
kedua hal tersebut alangkah baiknya bisa di manfaatkan oleh pihak perusahaan
terhadap para karyawannya. Kedua sumber tersebut yaitu sumber dari diri individu
tersebut (interistik), maupun sumber dari luar individu tersebut (ekstrinsik).
Mengenai motivasi intrinsik, berasal dari dalam orang tersebut. Hal ini mengacu
pada hubungan langsung antara pekerja dan tugas. Contoh motivasi intrinsik adalah
prestasi, prestasi, tantangan dan kompetensi yang diperoleh dari melakukan
pekerjaan seseorang dengan baik (Anthony, 2004) dalam (Afful dan Broni, 2012:
309). Sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari lingkungan kerja, dari eksternal
15
kepada individu tersebut dan pada pekerjaannya. Gaji yang baik, tunjangan,
kebijakan yang memungkinkan dan berbagai bentuk pengawasan adalah contoh yang
baik dari jenis motivasi ekstrinsik ini (Mankoe, 2006) di dalam (Afful dan Broni,
2012: 309).
Dari uraian di atas, maka sebenarnya motivasi karyawan termaksud salah satu
faktor yang menentukan di organisasi, dan bukan hanya itu, motivasi yang tinggi
dapat mengarahkan seluruh kemampuan para pekerja dalam bertugas, dan bahkan hal
tersebut dengan sukarela dilakukan oleh para pekerja, namun motivasi adalah
masalah yang kompleks, dan tidak ada petunjuk yang mudah dan dapat menjamin
meningkatkan motivasi seseorang (Widodo, 2015: 188). Hal tersebut harus menjadi
perhatian oleh para manajer dan pihak HRD agar tetap menanamkan dan
mempertahankan motivasi tersebut, dengan catatan motivasi tersebut sesuai dan
konsisten dengan tujuan perusahaan itu sendiri, dan kebutuhan yang menjadikan
motivasi karyawan tersebut harus terpenuhi, karena bukan tidak mungkin akan
terjadinya ketegangan antara sesama karyawan dan juga karyawan dengan atasannya,
adapun tahapan-tahapannya seperti di bawah ini:
Unsatisfied Need
Tension
Drives
Search Behavior
Satisfies Need
Reduction of Tension
Gambar 2.1 Proses Motivasi
Sumber: Rivai, V., Ella, J.V. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Rajawali Pers
16
2.1.2.1 Teori Motivasi
Dalam kaitannya mempelajari motivasi lebih lanjut dan agar dapat membantu
dalam memecahkan permasalahan yang bersangkutan dengan motivasi, maka akan
lebih baik mengetahui tentang teori-teori dari para ahli. Dalam perumusan teori
motivasi dikelompokkan menjadi dua aspek yaitu teori kepuasan atau kebutuhan dan
teori motivasi proses. (Sutrisno, 2009: 121)
Teori kepuasan atau kebutuhan, mendasarkan pendekatan faktor kebutuhan
dan kepuasan individu yang pada dasarnya teori ini mengemukakan bahwa seorang
melakukan tindakan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasannya, yang mana
semakin tinggi standar kebutuhan dan kepuasannya, maka semakin rajin juga dia
bekerja
Gambar 2.2 Model Motivasi dari Content Theory
Sumber: Sutrisno, E. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Adapun beberapa teori yang lazim kita kenal dalam aspek teori kepuasan ini antara
lain sebagai beriku :
Teori hierarki oleh Abraham Maslow dalam Murty dan Hudiwinarsih (2012:
219) menjelaskan bahwa individu memiliki lima jenjang kebutuhan, antara lain:
Kebutuhan Dorongan Tindakan
Kepuasan
17
1. Kebutuhan fisik (physiological needs)
- Kebutuhan terrendah seperti makan, minum, seksual dan lainnya.
2. Kebutuhan keamanan atau keselamatan (safety or security needs)
- Kebutuhan perlindungan dari bahaya, pertentangan dan lingkungan
hidup.
3. Kebutuhan untuk kelompok (effection needs)
- Kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan dalam diterima di kelompok,
kebutuhan untuk berinteraksi, mencintai dan dicintai.
4. Kebutuhan akan harga diri (esteem needs)
- Kebutuhan akan harga diri, dihormati dan dihargai oleh orang lain.
5. Kebutuhan akan pengakuan diri atau pengembangan diri (self
actualization needs or self expression needs)
- Kebutuhan tertinggi dari teori hierarki yaitu untuk menggunakan
kemampuan, potensi, pendapat, penilaian dan kritik terhadap sesuatu
Teori hierarki berpendapat perilaku dapat dipahami sebagai usaha yang
bertujuan untuk memenuhi level kebutuhan tertentu, dan dalam memenuhi kebutuhan
pada level yang lebih tinggi dalam hierarki, seseorang harus terlebih dahulu
memenuhi level yang lebih rendah. (Huges et al, 2012: 318). Walaupun tidak
memiliki dukungan ilmiah, teori ini banyak dikutip (Dessler,2013: 393).
Teori model dan faktor oleh Frederick Hezberg dalam Sutrisno (2009: 131-
132), teori ini juga dikenal sebagai teori pemeliharaan motivasi dan sebenarnya
perkembangan dari teori hierarki kebutuhan Maslow. Dalam teori ini mengemukakan
bahwa terdapat dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yakni
faktor pemeliharaan dan faktor motivasi, adapun penjelasannya seperti berikut:
a. Faktor pemeliharaan (maintenance factor)
Faktor pemeliharaan juga sering disebut dengan hygiene
factor, yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan karyawan.
Faktor pemeliharaan bukan merupakan motivasi karyawan,
nammun sudah menjadi keharusan yang harus diberikan oleh
pimpinan kepada bawahannya. Maka faktor ini harus mendapat
perhatian agar dapat meningkatkan kepuasan dan kegairahan
bawahan dalam bekerja.
18
Adapun fakto pemeliharaan ini meliputi gaji, kondisi kerja,
kepastian dan kebijakan dalam pekerjaan, hubungan interpersonal,
dan supervisi yang menyenangkan.
b. Faktor motivasi (motivation factor)
Faktor motivasi sering juga disebut faktor motivator. Faktor
ini bersumber dari dalam diri seseorang yang dapat mendorong
seseorang untuk berprestasi.
Faktor ini mencakup kepuasan kerja, prestasi yang diraih,
peluang untuk maju, pengakuan orang lain, kemungkinan
pengembangan karier, dan tanggung jawab.
Herzberg mengatakan cara terbaik untuk memotivasi seseorang untuk
mengatur pekerjaan dengan mendorong faktor intrinsiknya, sehingga mereka
memberikan umpan balik dan mencari tantangan yang dapat membantu mereka
memenuhi tingkat kebutuhan lebih tinggi. Seperti prestasi dan pengakuan. Hal
tersebut dikarenakan kebutuhan ini relatif tak pernah terpuaskan puas. (Dessler,
2013: 393), dengan kata lain menyimpulkan bahwa dalam masyarakat modern,
banyak karyawan telah memenuhi kebutuhan tingkat rendahnya, jadi mereka sekrang
termotivasi hanya kepada kebutuhan tingkat tinggi, karena kebutuhan tingkat rendah
suda tidak lagi kuat sebagai faktor pendorong bagi karyawan. (Davis dan Newstrom,
1995: 74)
Teori pemeliharaan dan motivasi sebenarnya perkembangan dari teori
hierarki kebutuhan Maslow. (Sutrisno, 2009: 131). Tidak heran model teori yang
dirumuskan oleh Herzberg dan Maslow nampak serupa, namun meskipun model
Herzberg dan Maslow agak serupa, sebenarnya terdapat perbedaan penting diantara
keduanya. Jika Maslow menekankan kebutuhan psikologis orang-orang, sedangkan
Herzberg berfokus pada kondisi pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. (Davis dan
Newstrom, 1995: 74). Dengan demikian teori Frederick Hezberg yang membagi dua
faktor antara faktor pemeliharaan dan faktor motivasi ini, dapat digunakan sebagai
dimensi dan indikator dibandingkan dengan teori hierarki kebutuhan oleh Maslow.
Hal ini dikarenakan teori yang dikemukakan Maslow menggambarkan motivasi pada
setiap orang secara keseluruhan atau pada umumnya, sedangkan teori yang
dikemukakan oleh Hezberg memfokuskan pada para pekerja.
19
Teori ERG dalam Rivai dan Sagala (2013: 844), mengklasifikasi terdapat tiga
kategori kebutuhan individu yaitu existence, relatedness dan growth, dan itulah
mengapa teori ini di kenal dengan teori ERG, ketiga ini berupa:
- Kebutuhan eksistensi: kebutuhan untuk bertahan hidup atau
kebutuhan fisik.
- Kebutuhan keterhubungan: kebutuhan untuk berhubungan dengan
orang lain yang memiliki manfaat. Seperti sahabat, atasan, keluarga
dan keanggotaan dalam masyarakat
- Kebutuhan pertumbuhan: kebutuhan untuk menjadi produktif
sekaligus kreatif.
Teori ini lebih mendekati kenyataan hidup yang dihadapi sehari- hari,
dikarenakan berbagai kebutuhan manusia yang kompleks tersebut secara simultan
dapat terpuaskan, (Sutrisno, 2009: 137). Hal ini berbeda dengan teori hierarki oleh
Maslow.
Teori X dan Y oleh Mc Gregor dalam Sutrisno (2009: 138), mengungkapkan
dua cara dalam mendalami perilaku manusia, atara lain:
- Teori X didasari pada pola pikir konvensional dan memandang
manusia dengan kacamata negatif, seperti malas, tidak suka bekerja,
tidak menerima perubahan, dan sebagainya
- Sedangkan teori Y berbanding terbalik dengan teori X, dimana teori
ini memandang manusia lebih kearah positif dan optimis. Teori Y ini
juga dapat disebut teori potensia.
Dalam teori ini memercayai bahwa asumsi Y di haruskan memadukan nya
dengan praktek manajemen dan mengusulkan bahwa partisipasi dalam pengambilan
keputusan, pekerjaan yang menantang dan hubungan kelompok yang baik akan
memaksimalkan motivasi karyawan. (Robbins dan Coulter, 2009: 358)
Sedangkan aspek motivasi proses berbeda dengan teori kebutuhan. Teori
proses memusatkan perhatiannya pada bagaimana motivasi bisa terjadi yang
20
diperuntukkan dalam rangka menguatkan, mengarahkan, memelihara dan
menghentikan perilku individu, agar setiap individu bekerja giat sesuai dengan
keinginan manajer, dan hasilnya tercermin dalam bagaimana proses kegiatan yang
dilakukan seseorang.
Adapun beberapa teori yang lazim kita kenal dalam aspek motivasi proses ini antara
lain sebagai beriku :
Teori expectancy dari Victor Vroomyang diungkapkan oleh Greenberg
(1999) dalam Murty dan Hudiwinarsih (2012: 219) yang memandang motivasi
sebagai akibat dari tiga tipe keyakinan yang dimiliki individu, tiga tipe keyakinan
tersebut terdiri dari:
1. Effort – Performance relationship
Yaitu dimana ekspektasi berupa keyakinan bahwa usaha seseorang akan
mempengaruhi performance.
2. Performance – Reward relationship
Yaitu dimana performance akan menuju pada instrumentality, yaitu berupa
keyakinan bahwa kinerja seseorag yang bagus akan diberikan balas jasa yang
setimpal.
3. Reward – Personal goal relationship
individu akan menilai reward secara eksplisit maupun tersirat yang akan
membentuk suatu persepsi atas reward itu sendiri
Pada kesimpulannya, dalam teori expectancy yang memiliki pola dasar pemahaman
antar individudan hubungannya dengan hasil kerja, dan kemampuan kerja antara
hasil kerja, dan penghargaan dan penghargaan dan kepuasan tujuan individu.
Adapun gambaran dari model teori harapan tersebut seperti gambar di bawah ini:
21
Gambar 2.3 Model Teori Harapan
Sumber: Rivai, V., Ella, J.V. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Rajawali Pers
Teori pengukuhan (reinforcment theory) dalam Rivai dan Sagala (2013: 847-
848), yang dimana dalam pandangan teori ini individu bertingkah laku tertentu
dikarenakan belajar dari pengalamannya, adapun beberapa cara memotivasi
karyawan dam teori ini adalah:
- Cara berinteraksi harus benar
- Menjadi pendengar aktif
- Penyusunan tujuan dilakukan dengan matang
2.1.2.2 Tujuan Motivasi
Dari pengertian dan teori motivasi yang telah dijabarkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya motivasi tersebut bertujuan agar karyawan
melakukan beeberapa hal, antara lain:
- Dapat mengerahkan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan dengan
maksimal dan secara sukarela.
- Dapat mengarahkan tenaga yang dimiliki oleh karyawan dengan
maksimal dan secara sukarela
Imbalan
Interinsik
Kinerja Tujuan tercapai dan
Kepuasan
Persepsi terhadap
pengorbanan
Imbalan
Ekstrinsik
22
- Dapat mengerahkan waktu yang dimiliki oleh karyawan dengan
maksimal dan secara sukarela
- Dapat membagi knowladge yang dimiliki kepada sesama, ataasan dan
bawahan
- Dapat membantu perusahaan dalam memenuhi tujuannya
Hal ini juga di dukung oleh pernyataan Siagian (2004) dalam Suwati (2013: 43),
Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi
mau ikut terlibat dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian
atau keterampilan, tenaganya dan juga waktu yang dimiliki olehnya untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan
menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.
2.1.2.3 Jenis Motivasi
Menurut Heidjrachman dan Husnan (2002) dalam Dhermawan et al. (2012:
174), pada garis besarnya motivasi terbagi atas dua jenis, yaitu:
- Motivasi positif, yang dimana motivasi positif adalah proses
mempengaruhi orang dengan memberikan kemungkinan mendapatkan
hadiah.
- Motivasi negatif, yang dimana motivasi negatif adalah proses
mempengaruhi seseorang melalui kekuatan ketakutan seperti
kehilangan pengakuan, uang dan jabatan.
Jauh lebih dalam lagi, Rivai dan Sagala (2013: 850) menanggapi motivasi
positif tidak hanya dengan memengaruhi karyawan dengan imbalan atau hadiah,
melainkan motivasi positif juga dapat terealisasikan dengan membuat persaingan,
mengikutsertakan karyawan atau partisipasi karyawan, dan menanamkan
kebanggaan. Hal tersebut akan menimbulkan feeling of importance.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis motivasi yaitu positif dan
negatif, dan dari kedua hal tersebut membantu kita dalam mengetahui apa-apa saja
yang memungkinkan motivasi itu berjalan ke arah yang kita kehendaki.
23
2.1.2.4 Faktor Motivasi
Menurut Nawawi (2000) dalam Dhermawan et al. (2012: 174), faktor
motivasi itu sendiri dibagi menjadi dua bentuk yaitu:
1. Motivasi Intrinsik, motivasi kerja yang bersumber dari dalam diri pekerja
berupa kesadaran tentang makna pekerjaan yang dilaksanakan.
2. Motivasi ekstrinsik, motivasi kerja yang bersumber dari luar diri pekerja
berupa suatu kondisi yang mengharuskan melaksanakan pekerjaan secara
maksimal.
Sebelum penelitian Herzberg, para manajer memusatkan perhatian pada
faktor pemeliharaan yang bersifat ekstrinsik, dan hasilnya seringkali tidak baik.
Akhirnya ketika mereka mengetahui perbedaan antara kedua hal tersebut, mereka
menekankan faktor intrinsik karena sering menimbulkan hasil yang baik bagi
pegawai, organisasi dan bahkan masyarakat (Davis dan Newstrom, 1995: 73)
Adapun bentuk atau faktor-faktor motivasi yang dapat digunakan agar
karyawan memiliki semangat dan gairah dalam bekerja (Alex, 1980) dalam
(Sigit:2010) dalam Murty dan Hudiwinarsih (2012: 219) antara lain:
- Gaji yang cukup
- Memperhatikan kebutuhan rohani
- Menciptakan suasana santai
- Harga diri perlu mendapatkan perhatian
- pemberian kesempatan mereka untuk maju
- Rasa aman menghadapi masa depan perlu diperhatikan
- Usaha para karyawan untuk mempunyai legalitas
- Sekali-sekali karyawan perlu diajak berunding
- Pembinaan insentif yang terarah
- Fasilitas yang menyenangkan
2.1.3 Disiplin Kerja
Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk
berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu
perilaku dan untuk meningkatkan kesadaran juga kesediaan seseorang agar menaati
24
semua peraturan dan norma sosial yang berlaku di suatu perusahaan (Rivai dan
Sagala, 2013: 825).
Sejalan dengan Rivai dan Sagala, bagi Wiratama dan Sintaasih (2013: 129),
disiplin kerja adalah merupakan tindakan manajemen untuk mendorong kesadaran
dan kesediaan para anggotanya untuk mentaati semua peraturan yang telah
ditentukan oleh organisasi atau perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku
secara sukarela.
Disiplin kerja adalah kebijakan bergeser individu untuk menjadi diri
bertanggung jawab untuk mematuhi peraturan lingkungan (organisasi).
(Setyaningdyah et al., 2013: 145)
Disiplin kerja pada hakekatnya adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran
bagi para pekerjanya untuk melakukan tugas yang telah diberikan, dan pembentukan
disiplin kerja ini tidak timbul dengan sendirinya. (Harlie, 2010: 117)
Dengan paparan tersebut disiplin kerja memang dibutuhkan untuk suatu
perusahaan dalam kaitannya untuk mempermudah dan melancarkan perusahaan
dalam mencapai tujuannya, karena disiplin kerja yang tertanam pada setiap karyawan
akan memberikan kesediaan mereka dalam mematuhi dan menjalankan aturan yang
telah di tetapkan demi memajukan perusahaan. Hal ini dikarenakan didalam
kehidupan sehari-hari dibutuhkan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang
akan mengatur dan membatasi setiap kegiatan dan perilaku kita, terlebih didalam
lingkup kerja. Seperti yang telah diterangkan oleh Hasibuan dan Malayu (2000: 194)
bahwa peraturan sangat diperlukan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan
bagi karyawan dalam menciptakan tata tertib yang baik di perusahaan.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang
terhadap segala tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini dapat mendorong gairah
kerja dan nantinya dapat mewujudkan tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.
(Hasibuan dan Malayu, 2000: 193). Semakin baik disiplin yang dilakukan oleh
karyawan disuatu perusahaan, maka semakin besar prestasi kerja yang dapat
dihasilkan. Sebaliknya, tanpa disiplin yang baik, sulit bagi perusahaan mencapai
hasil yang optimal. (Rivai dan Sagala, 2013: 824).
25
2.1.3.1 Pentingnya Disiplin Kerja
Sutrisno (2009: 87-88) menggambarkan betapa pentingnya disiplin kerja dan
beberapa manfaat yang dapat dirasakan seperti dibawah ini:
Disiplin karyawan bertujuan untuk meningkatkan efisien semaksimal
mungkin dengan cara mencegah pemborosan waktu dan energi. Selain itu juga
mencegah kerusakan atau kehilangan harta benda, peralatan dan perlengkapan
perusahaan yang disebabkan oleh ketidak hati-hatian dan tindak pencurian.
Adapun sebenarnya dengan disiplin kerja ini terdapat manfaat yang bisa
dirasakan oleh pihak perusahaan dan karyawan, antara lain:
1. Bagi Organisasi atau Perusahaan
Disipli kerja akan menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan setiap
tugas, sehingga nantinya dapat diperoleh hasil yang optimal.
2. Bagi Karyawan
Bagi karyawan akan diperoleh suasana yang menyenangkan dan kondusif,
sehingga nantinya dapat menambah semangat kerja dalam melaksanakan
setiap tugas yang diembannya. Hal tersebut nantinya akan membuat
karyawan dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kesadaran serta
dapat mengembangkan tenga dan pikirannya seoptimal mungkin.
Singkatnya, disiplin dibutuhkan untuk tujuan organisasi yang lebih jauh lagi
dan agar dapat menunjang kelancaran segala aktivitas dalam organisasi, agar
tujuannya dapat dicapai secara maksimal.
2.1.3.2 Bentuk-bentuk Disiplin Kerja
Terdapat empat prespektif daftar yang menyangkut disiplin kerja (Rivai dan
Sagala, 2013: 825-826). Keempat prespektif tersebut antara lain:
1. Disiplin Retributif (Retributive Discipline), yaitu berusaha menghukum orang
yang berbuat salah.
2. Disiplin Korektif (Corrective Discipline), yaitu berusaha membantu
karyawan mengoreksi perilakun-perilaku yang tidak tepat.
26
3. Perspektif hak-hak individu (Individual Rights Perspective), yaitu berusaha
melindungi hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
4. Perspektif Utilitarian (Utilitarian Perspective). Yaitu berfokus pada
penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan
disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
2.1.3.3 Pendekatan Disiplin Kerja
Terdapat tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner (Rivai
dan Sagala 2013: 826-831): aturan tungku panas (hot stove rule), tindakan
disiplin progresif (progresive discipline), dan tindakan disiplin positif
(positive discipline).
- Aturan tungku panas
Menurut pendekatan ini, tindakan disipliner harus lah memiliki
konsekuensi yang analog. Pendekatan ini menyegerakan tindakan
disipliner, lalu memberikan peringatan (warning) sebelum terjadinya
tindakan indisipliner, memberikan hukum yang konsisten dan hukuman
tersebut tanpa membeda-bedakan siapa yang melanggar atau melakukan
tindakan indisipliner.
- Disiplin progresif
Tindakan ini banyak sekali diadaptasi oleh perusahaan di era globalisasi
ini. Dalam penerapannya setiap pelaku pelanggaran yang melakukan
pengulangan, akan dijatuhkan hukuman semakin berat. Misalkan seorang
karyawan pemalsuan jam kehadiran, pertama dia diberikan teguran lisan,
jika masih dilakukan, karyawan tersebut diberikan surat peringatan, dan
semakin sering dilakukan karyawan itu akan diberikan sanksi dan
hukuman yang berat. Dengan kata lain tindakan ini dilakukan bertahap
dan masih memberikan kesempatan dalam memperbaiki diri.
- Disiplin positif
Dalam konsep disiplin positif percaya bahwa hukuman sering kali hanya
membuat mereka takut, dan bahkan membenci hukuman itu sendiri dan
bahkan nantinya mencari cara agar dapat memalsukan tindakannya. Maka
27
dari itu tindakan disiplin positif mendorong karyawan memantau perilaku
mereka sendiri dan memangku konsekuensi yang nantinya akan mereka
tanggung yang diakibatkan dari tindakan mereka sendiri.
Dalam disiplin positif sebenarnya memiliki tingkatan-tingkatan seperti
disiplin progresif, namun hukuman dalam disiplin progresif digantikan
menjadi konseling-konseling dalam disiplin positif.
2.1.3.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja
Menurut Singodimedjo (2000) dalam Sutrisno (2009: 89- 93), faktor yang
memengaruhi disiplin tersebut, antara lain:
1. Besar kecilnya pemberian kompensasi
Para karyawan akan memenuhi segala peraturan yang berlaku, bila ia merasa
mendapat jaminan balas jasa yang setimpal dengan jerih payah yang telah
dikontribusikan kepada perusahaan. Bila dia menerima kompensasi yang
memadai, mereka akan dapat bekerja lebih tekun dan tenang, serta berusaha
sebaik-baiknya. Namun pemberian kompensasi yang memadai belum tentu
menjamin tegaknya disiplin kerja kendati memang dalam realita di lapangan
hal tersebut memengaruhi.
2. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan
Peran keteladanan pemimpin untuk dicontoh sangat berpengaruh besar dalam
perusahaan, bahkan sangat dominan dibanding dengan semua faktor yang
memengaruhi disiplin dalam perusahaan, karena pemimpin menjadi panutan
bagi karyawan. Pada kenyataannya para bawahan dapat meniru kelakuan
pemimpin yang dilihatnya setiap hari.
3. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
Disiplin tidak mungkin ditegakkan bila peraturan yang dibuat hanyalah
berdasarkan instruksi lisan, maka dari itu peraturan tertulis yang dapat
dijadikan pegangan bersama sangat penting dalam menjaga kedisiplinan.
28
4. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan
Dalam menegakkan kedisiplinan, pimpinan harus berani menjatuhkan sanksi
terhadap semua pelanggar, dan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dia
lakukan. Hal ini dilakukan agar para karyawan merasa terlindungi dan merasa
diperlakukan adil. Hal ini juga dapat menekan karyawan agar tidak mudah
berlaku sembrono dan seenaknya dalam bertindak.
5. Ada tidaknya pengawasan pimpinan
Dalam kegiatan yang dilakukan perusahaan perlu terdapat pengawasan. Hal
ini juga dilakukan agar para karyawan dapat mengerjakan pekerjaannya
dengan tepat dan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Bagi sebagian
karyawan yang telah mengetahui betapa pentingnya disiplin, mungkin hal ini
dapat untuk tidak dilakukan, namun bagi karyawan lainnya, untuk
menegakkan kedisiplinan butuh sedikit dipaksakan agar mereka tidak berbuat
semaunya.
6. Ada tidaknya perhatian pada para karyawan
Hal ini dikarenakan karyawan juga ingin sekali untuk didengar, di perhatikan
dan diberikan jalan keluar mereka jika memiliki permasalahan
7. Diciptakannya kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin
Dengan mendukung kebiasaaan dalam rangka menegaknya disiplin, nantinya
akan membuat karyawan akan terbiasa dengan segala perarturan disiplin yang
diterapkan oleh perusahaan.
2.1.3.5 Indikator Disiplin Kerja
Pada dasarnya, Hasibuan dan Malayu (2000: 194-198), terdapat banyak
indikator yang memengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan pada suatu organisasi, di
antaranya:
1. Tujuan dan Kemampuan
Tujuan yang ditetapkan haruslah jelas dan ideal, serta cukup menantang
bagi karyawan.
29
2. Teladan Pemimpin
Pemimpin harus menjadi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, dan
adil, serta sesuai kata dengan perbuatan. Hal ini diharapkan kedisiplinan
karyawanpun akan naik.
3. Balas Jasa
Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut menumbuhkan kedisiplinan
karyawan, bahkan dapat memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan
terhadap pekerjaannya dan perusahaannya. Hal ini dikarenakan pada
dasarnya kelakuan karyawan tidak akan lebih baik selama balas jasa yang
diberikanpun tidak sesuai dengan kontribusi para karyawan kepada
perusahaan.
4. Keadilan
Dengan sikap adil kepada setiap pekerja, nantinya mereka akan merasa
mudah menerima, dan keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan dalam
pemberian balas jasa atau hukuman nantinya akan merangsang
terciptanya kedisiplinan yang baik.
5. Waskat
Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif
dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan di perusahaan. Dengan waskat
berarti pimpinan harus aktif dan terus mengawasi juga memberi arahan.
6. Sanksi Hukuman
Dengan sanksi hukuman yang berat, maka karyawan akan lebih takut
untuk melanggar peraturan yang diterapkan, dan nantinya mereka akan
lebih disiplin lagi.
7. Ketegasan
Pemimpin dalam hal ini harus melakukan ketegasan, semua karyawan
yang melakukan tindakan indisipliner harus ditindak sesuai dengan sanksi
hukuman yang berlaku, agar nantinya tindakan indisipliner tidak terulang
30
lgi oleh karyawan yang sama dan bahkan tidak terulang lagi kesalahan
yang sama.
8. Hubungan Kemanusiaan
Kedisiplinan akan terbentuk dengan terciptanya hubungan yang baik,
maka dari itu kewajiban para pimpinan lah untuk menciptakan suasana
yang harmonis baik itu hubungan secara vertikal ataupun horizontal.
2.1.4 Pemberdayaan Karyawan
Dalam menghadapi permasalahan yang kompleks para pimpinan sudah tidak
lagi dapat mengerjakan semuanya dengan sendiri, terlebih jika pimpinan tersebut
membawahi suatu organisasi atau perusahaan yang memiliki struktur yang
bercabang. Maka dari itu, para pemimpin semakin memerlukan bantuan dari orang
lain dalam menjalankan tugasnya.
Adapun salah satu cara dalam mengatasi hal tersebut yakni dengan
memberdayakan anggota atau karyawan mereka, namun hal tersebut tidak serta-
merta dilakukan oleh para pemimpin, karena masih banyak dari mereka yang masih
tidak percaya terhadap karyawannya dikarenakan banyak motif di baliknya.
Pemberdayaan (empowerment) itu sendiri secara etimologis berasal dari kata
daya yang berartikan kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan dalam
melakukan tindakan. Mendapat awalan ber- menjadi ‘berdaya’ yang diartikan
berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, mempunyai akal (cara dan sebagainya)
untuk mengatasi sesuatu (Suwatno dan Priansa, 2011:182) di dalam (Arifin et al.,
2014: 3)
Pemberdayaan adalah memberikan anggota keterampilan dan kewenangan
yang penuh untuk mengambil keputusan yang secara tradisional dilakukan oleh
pimpinan (Widodo, 2015: 201)
Mengenai pemberdayaan, menurut Paul et al. (2000) dalam Tielung, (2013:
1800) menyatakan bahwa pemberdayaan karyawan adalah proses berlakunya
kewenangan dan tanggung jawab individu pada level lebih rendah dalam hirarki di
31
sebuah organisasi. Sedangkan Arifin et al. (2014: 3) menyatakan pemberdayaan
merupakan upaya yang dilakukan perusahaan dalam memberikan wewenang dan
kepercayaan lebih kepada karyawan agar karyawan lebih leluasa dalam
mengeluarkan segala kemampuan yang ada pada dirinya.
Menurut Sedarmayanti (2007) dalam Suryadewi, (2014) pemberdayaan
adalah suatu proses kegiatan usaha untuk lebih memberdayakan “daya manusia”
dengan mengembangankan manusia itu sendiri, pengembangan itu berupa
kemampuan, kepercayaan, wewenang, dan tanggung jawab, yang tentunya hal
tersebut dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi untuk
meningkatkan kinerja sebagaimana diharapkan.
Pemberdayaan sebenarnya memiliki banyak definisi, tetapi jika didefinisikan
secara general, maka pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah proses
pemberian kemampuan kepada karyawan untuk berfikir, bertindak, bersikap,
bereaksi dan mengontrol semua pekerjaan mereka tersendiri dan nantinya dapat
menimbulkan keterkaitan dan saling kepercayaan antara pihak-pihak yang berada di
organisasi tersebut yang tentunya tetap dalam koridor dan pengawasan agar tidak
melenceng dari tujuan organisasi. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Lodjo (2013:
748-749), di mana pemberdayaan merupakan pemberian suatu tanggung jawab dan
wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua
pengembangan produk dan pengambilan keputusan, dan pemberdayaan itu sendiri
merupakan sarana untuk membangun kepercayaan antara sesama karyawan dan
pihak manajemen.
Maka dari itu pemberdayaan tidak boleh dianggap sebagai hal yang
sederhana atau hanya sekedar proses yang membuat karyawan merasa baik dan
membuatnya dihargai dalam pekerjaan mereka, tetapi jauh dari hal tersebut dapat
dijadikan kebutuhan perusahaan yang membutuhkan perencanaan yang luas,
membutuhkan waktu dan memerlukan manajer yang mampu dan terlatih untuk
memberdayakan sumber daya yang ada, karena manajer harus dapat memberdayakan
karyawan tersebut dengan baik tanpa adanya penolakan dan juga otoritas yang
digunakan oleh karyawan digunakan untuk sebaik-baiknya dalam melakukan
pekerjaan mereka, sehingga dapat menguntungkan perusahaan dalam pencapaian-
pencapaian tujuannya. Hal ini sejalan dengan saran Eskandari (2002) dalam
32
Hassanpour et al. (2013: 86) di mana organisasi harus memotivasi staf mereka dan
melatih mereka yang nantinya akan diberdayakan karena pemberdayaan karyawan
memberikan manfaat bagi organisasi.
2.1.4.1 Tujuan dan Manfaat Pemberdayaan Karyawan
Tujuan dari pemberdayaan itu sendiri yakni untuk membentuk individu dan
masyarakan yang lebih mandiri. Kemandirian yang dimaksud seperti kemandirian
berfikir, bertindak, dan kemandirian dalam mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Hal tersebut demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. (Widodo,
2015: 202)
Adapun pemberdayaan karyawan yang dilakukan oleh perusahaan khususnya
oleh para manajer, sebenarnya dapat bermanfaat bukan hanya dari segi karyawannya,
namun juga perusahaan dan manajernya juga ikut terbantu, manfaat tersebut di
antaranya adalah:
- Memperkuat kapabilitas dan komitmen karyawan
- Dapat memunculkan serta memaksimalkan potensi serta modalitas yang
ada pada karyawan
- Karyawan lebih mandiri dalam bekerja
- Karyawan lebih mengontrol akan kinerjanya sendiri dan lebih dapat
menanggulangi stress dikarenakan mereka memiliki otoritas dalam
pekerjaan mereka
- Dapat membantu para manajer dalam mengerjakan tugas yang dinilai
semakin lama semakin sulit karena kompetisi yang semakin ketat
- Dengan pemberdayaan yang baik, dapat memacu karyawan untuk bekerja
dengan caranya dan itu akan membuat karyawan lebih ingin tinggal di
perusahaan tersebut
- Perusahaan akan terbantukan dengan efektifitas kerja karyawan dan
efisiensi tenaga kerja yang dimiliki dalam mencapai tujuan organisasi.
33
2.1.4.2 Model Pemberdayaan
Khan (2007) dalam Widodo (2015: 203-206) menawarkan model
pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam organisasi. Model ini memiliki
enam tahapan, adapun dibawah ini gambar dan penjelasannya:
Gambar 2.4 Model Empowerment (pemberdayaan)
Sumber: Widodo, S.E. (2015). Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
1. Keinginan (Desire)
Tahap pertama dalam model empowerment adalah adanya melibatkan
pekerja yang termasuk antara lain:
- Pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan
- Memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan
pekerja.
2. Kepercayaan (Trust)
Setelah adanya keinginan dari manajemen untuk melakukan pemberdayaan,
langkah selanjutnya adalah membangun kepercayaan antara manajemen dan
karyawan. Hal yang termaksud dalam tahap ini adalah:
- Memberi kesempatan pada karyawan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan
- Menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja
- Menghargai perbedaan pandangan dan menghargai kesuksesan yang
diraih karyawan
Desire ConfidentTrust
Communication CredibilityAccountability
34
3. Kepercayaan Diri (Confident)
Kepercayaan diri menimbulkan rasa saling percaya akan kemampuan antar
karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki karyawan. Tindakan
yang menimbulkan confident antara lain:
- Menggali ide dan saran dari karyawan
- Memperluas tugas dan membangun jaringan antar departemen
4. Kredibilitas (Credibility)
Menjaga kredibilitas dengan penghargaan dan mengembangkan lingkungan
kerja yang mendorong kompetisi yang sehat yang nantinya berimbas pada
kinerja yang tinggi. Kredibilitas tersebut antara lain:
- Memandang karyawan sebagai partner yang strategis
- Peningkatan target di semua bagian pekerjaan
5. Wewenang (Accountability)
Tahap selanjutnya adalah pertanggungjawaban karyawan pada wewenang
yang diberikan. Hal yang termaksud dalam accountability yakni:
- Memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas
- Melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran
- Memberikan bantuan pada karyawan dalam menyelesaikan beban
kerja
- Menyediakan waktu pemberian feed back
6. Komunikasi (Communication)
Keterbukaan dalam berkomunikasiyang dapat menciptakan saling memahami
antara karyawan dan manajemen. Hal yang termaksud dari kategori
komunikasi adalah:
- Menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan
mendiskusikan permasalahan secara terbuka
- Menetapkan kebijakan open door communication
35
2.1.4.3 Dimensi Pemberdayaan
Pada konsep model pemberdayaan oleh Khan (2007) dalam Widodo (2015:
203-206), dapat diambil dimensi dan indikator dari pemberdayaan karyawan itu, di
antaranya:
1. Desire
- pemberian kesempatan mengidentifikasi masalah
- keterlibatan pekerja diperluas
2. Trust
- kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
- mendapat pelatihan untuk kebutuhan kerja
- dihargai dalam pebedaan pandangan dan kesuksesan yang
diraih
3. Confident
- di mintakannya ide dan saran
- jaringan antar departemen terbangun luas
4. Credibility
- merasa sebagai partner dari pemimpin
- terdapat target disetiap bagian pekerjaan
5. Accountability
- mendapat tugas dan ukuran yang jelas
- dilibatkan dalam menentukan penentuan standar dan ukuran
- mendapat bantuan oleh pemimpin dalam menyelesaikan beban
kerja
- mendapatkan feed back dalam pekerjaan
6. Comunication
- pemimpin menyediakan waktu untuk mendiskusikan masalah
- terdapat kebijakan open door communication
2.1.5 Kinerja Karyawan
Hasibuan (2006) menyatakan dalam Tielung (2013: 1801) bahwa kinerja itu
sendiri merupakan perwujudan kerja yang dilakukan oleh karyawan yang biasanya
dipakai sebagai dasar penilaian terhadap karyawan ataupun organisasi yang
36
dikerjakan produk/jasa yang dihasilkan atau diberikan seseorang atau sekelompok
orang selama satu periode pekerjaan tertentu.
Murty dan Hudiwinarsih (2012: 216-217) beranggapan bahwa kinerja
merupakan hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan karyawan,
atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya.
Kinerja merupakan implementasi dari perancanaan yang telah disusun
tersebut. Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan, kompetensi, motivasi dan kepentingan (Wibowo, 2007) didalam
(Suwati, 2013: 43)
Kinerja karyawan dianggap sebagai apa yang karyawan lakukan dan apa yang
dia tidak lakukan. Kinerja karyawan memerlukan kualitas dan kuantitas, kehadiran
di tempat kerja sifat akomodatif dan sifat saling mendukung dan ketepatan waktu
(Rizwan, 2014: 38). Sedangkan Ardansyah dan Wasilawati (2014: 155) menyatakan
kinerja dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang
dilakukan oleh seluruh komponen pada organisasi terhadap sumber - sumber tertentu
yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian
proses kegiatan yang dilakukan untuk melakukan pencapaian tujuan tertentu dalam
organisasi organisasi. Tidak jauh berbeda paparan Ardansyah dan Wasilawati, bahwa
kinerja karyawan adalah pencapaian hasil kerja secara kualitas dan kuantitas, oleh
seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang telah diberikan kepadanya. (Mangkunegara, 2006 : 9)
Adapun dapat disimpulkan dari hal tersebut bahwa kinerja karyawan yaitu
tingkat pencapaian pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh para pegawai yang ada di
suatu organisasi dalam rangka pemenuhan tujuan organisasi. Kinerja karyawan
termaksud faktor penting dalam perusahaan, karena kinerja nantinya bisa saja
memengaruhi produktivitas perusahaan tersebut, dan bagi perusahaan terutama pihak
HRD yang menangani hal tersebut, tidak dapat hanya berpandangan sebelah mata
dalam menilai kinerja karyawan.
37
2.1.5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Karyawan
Mangkuprawira dan Vitalaya (2006) di dalam Murty dan Hudiwinarsih
(2012: 217) mengemukakan bahwa faktor-faktor kinerja terdiri atas faktor instrinsik
dan ekstrinsik. Adapun uraian faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
- Faktor kepemimpinan, meliputi aspek kualitas manajer, dan team leader
dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan kerja
kepada karyawan.
- Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhdap sesama anggota tim,
kekompakan dan keeratan anggota tim.
- Faktor sistem, meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang
diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam
organisasi.
- Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan
lingkungan eksternal dan internal.
2.1.5.2 Penilaian Kinerja Karyawan
Handoko (2001) dalam Murty dan Hudiwinarsih (2012: 217), mendefinisikan
penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses di mana organisasi
mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
Penilaian kinerja dapat digunakan dalam rangka menekan perilaku yang tidak
semestinya dan menekankan kepada karyawan untuk berprilaku yang semestinya.
Penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang
digunakan untuk mengukur, menilai dan memengaruhisifat yang berkaitan dengan
pekerjaan, perilaku, tingkat kehadiran dan hasil. (Rivai dan Sagala, 2013: 549)
Penilaian kinerja karyawan merupakan sarana untuk memperbaiki karyawan
yang tidak melakukan tugasnya dengan baik dan membuat karyawan mengetahui
posisi dan perannya dalam menciptakan tercapainya tujuan perusahaan. Hal tersebut
akan menambah motivasi karyawan untuk berkinerja lebih baik lagi (Murty dan
Hudiwinarsih, 2012: 217). Senada dengan Murty dan Hudiwinarsih, menurut Rivai
dan Sagala (2013: 604) tujuan utama dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi
38
individu karyawan untuk mencapai sasaran organisasi dalam memenuhi standar
perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga menghasilkan tindakan sesuai
yang diinginkan organisasi.
2.1.5.3 Aspek yang Dinilai dalam Kinerja Karyawan
Menurut Ranupandojo & Husnan (2002) dalam Ardansyah dan Wasilawati
(2014: 155), faktor-faktor kinerja yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:
- Kuantitas Kerja, banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu kerja yang ada
yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi seberapa cepat pe-kerjaan
dapat diselesaikan.
- Kualitas kerja, mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang
ditetapkan. Biasanya diukur melalui ketepatan, ketelitian, keterampilan,
kebersihan hasil kerja.
- Keandalan, dapat atau tidaknya karyawan diandalkan adalah kemampuan
memenuhi atau mengikuti instruksi, inisiatif, hati-hati, kerajinan dan
kerjasama.
- Inisiatif, Kemampuan mengenali masalah dan mengambil tindakan korektif,
memberikan saran-saran untuk peningkatan dan menerima tanggung jawab
menyelesaikan.
- Kerajinan, kesediaan melakukan tugas tanpa ada-nya paksaan dan juga yang
bersifat rutin.
- Sikap, perilaku karyawan terhadap perusahaan atau atasan atau teman kerja.
Kehadiran, keberadaan karyawan di tempat kerja untuk bekerja sesuai dengan
waktu/jam kerja yang telah ditentukan.
2.1.5.4 Dimensi dan Indikator Kinerja Karyawan
Menurut Sadarmayati (2007) dalam widodo (2015: 134) instrumen penilaian
kinerja individu meliputi:
1. Prestasi kerja (kualitas dan kuantitas kerja)
2. Keahlian (kerjasama dan komunikasi yang baik)
3. Perilaku (kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin)
39
4. Kepemimpinan (pengambilan keputusan dan penentuan prioritas)
2.2 Kerangka Pemikiran
Peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian di PT. Diamond Cold Storage,
dengan judul penelitian "Analisis Pengaruh Motivasi Karyawan, Disiplin Kerja dan
Pemberdayaan Karyawan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Diamond Cold
Storage"
Dalam kerangka pemikiran ini, peneliti menggunakan motivasi karyawan (X1),
disiplin kerja (X2) dan pemberdayaan karyawan (X3) sebagai variabel yang
mempengaruhi (independent), sedangkan kinerja karyawan (Y) sebagai variabel yang
dipengaruhi (dependent).
Dengan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat digambarkan model
penelitiannya seperti di bawah ini:
Gambar 2.5 Model Penelitian
Sumber: Penulis (2014)
Motivasi Karyawan
DisiplinKerja
Pemberdayaan Karyawan
Kinerja Karyawan
40
2.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, yang biasanya tersusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. (Sugiyono,
2008: 93). Adapun hipotesis dari penelitian ini seperti berikut:
T-1: Bagaimana pengaruh motivasi karyawan terhadap kinerja karyawan
pada PT. Diamond Cold Storage?
Ho: Tidak terdapat pengaruh motivasi karyawan terhadap kinerja karyawan
pada PT. Diamond Cold Storage.
Ha: Terdapat pengaruh motivasi karyawan terhadap kinerja karyawan pada
PT. Diamond Cold Storage.
T-2: Bagaimana pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan pada PT.
Diamond Cold Storage?
Ho: Tidak terdapat pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan pada
PT. Diamond Cold Storage.
Ha: Terdapat pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan pada PT.
Diamond Cold Storage.
T-3: Bagaimana pengaruh pemberdayaan karyawan terhadap kinerja
karyawan pada PT. Diamond Cold Storage?
Ho: Tidak terdapat pengaruh pemberdayaan karyawan terhadap kinerja
karyawan pada PT. Diamond Cold Storage.
Ha: Terdapat pengaruh pemberdayaan karyawan terhadap kinerja karyawan
pada PT. Diamond Cold Storage.
T-4: Bagaimana pengaruh motivasi karyawan, disiplin kerja, dan
pemberdayaan karyawan terhadap kinerja karyawan pada PT. Diamond
41
Cold Storage?
Ho: Tidak terdapat pengaruh motivasi karyawan, disiplin kerja, dan
pemberdayaan karyawan terhadap kinerja karyawan pada PT. Diamond
Cold Storage.
Ha: Terdapat pengaruh motivasi karyawan, disiplin kerja, dan
pemberdayaan karyawan terhadap kinerja karyawan pada PT. Diamond
Cold Storage.
2.4 Kajian Terdahulu
Terdapat 4 jurnal dalam penelitian ini yang dapat dijadikan referensi penulis selain
jurnal lainnya yang tidak dicantumkan pada tabel dibawah ini, adapun penjelasan
singkat mengenai tabel dibawah:
- Jurnal : Nama jurnal dari kajian terdahulu
- Pengarang : Nama para pengarang jurnal dalam kajian terdahulu
- Variabel : Variabel yang digunakan pada jurnal tersebut
- Hasil : Hasil dari jurnal tersebut yang memiliki kaitannya dengan
penelitian yang akan dibahas oleh penulis
- Jarak penerbitan jurnal yang dipakai tidak lebih dari 5 tahun
Tabel 2.1 Kajian Terdahulu
Kajian 1
Jurnal The Effects of Human Resource Competence, Organisational Commitment and Transactional Leadership on Work Discipline, Job Satisfaction and Employee’s Performance. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business. Vol 5, No 4(2013)
Pengarang Endang Setyaningdyah, Umar Nimran dan Armanu ThoyibVariabel HR Competence, Organizational Commitment, Transactional
Leadership, Job Satisfaction, Discipline, Employee Performance.Hasil Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam menilai tinggi
rendahnya kinerja karyawan bagian akuntansi, dapat dilihat dari seberapa besar motivasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan.
42
Kajian 2
Jurnal Evaluation the Relationship between Empowerment and Performance of Employee by Using Veton and Cameron Model (Case Study: Guilan Tax Affairs Administration), Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review. Vol. 3, No.2 (2013)
Pengarang Javad Hassanpour, Shahram Gilaninia, dan Hossein GanjiniaVariabel empowerment dan performance
Hasil menyimpulkan bahwa departemen yang diteliti, memiliki pemberdayaan yang tinggi, dan mereka memiliki kemampuan untuk melakukan tanggung jawab yang diberikan, keberanian untuk menerima hasil kerja dan kepuasan kerja dan pemberdayaan ini menyebabkan kinerja yang tepat dalam staf. Dengan kata lain dalam penelitian ini terdapat hubungan antara empowerment terhadap kinerja karyawan.
Kajian 3
Jurnal A Comparative Analysis of the Factors Effecting the Employee Motivation and Employee Performance in Pakistan. International Journal of Human Resource Studies. ISSN 2162-3058 Vol. 4, No. 3 (2014)
Pengarang Muhammad RizwanVariabel Employee motivation, Employee performance, Intrinsic reward dan
Employee Perceived training effectivenessHasil Hasil penelitian regresi ini mengkonfirmasi adanya hubungan positif
yang signifikan antara motivasi karyawan dan kinerja karyawan dengan (Beta = 0,353) dan (p <0,01).
Kajian 4
Jurnal PENGARUH PEMBERDAYAAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN (Studi pada Karyawan CV. Catur Perkasa Manunggal). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). Vol. 8 No. (2014)
Pengarang Alvin Arifin, Djamhur Hamid, dan M. Soe’oed HakamVariabel Pemberdayaan, Motivasi, dan Kinerja.
Hasil Pemberdayaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 42,42%. Sedangkan Motivasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 2,01%. Koefisien determinasi sebesar 44,36%, artinya pemberdayaan dan motivasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan sebesar 44,36%.
Sumber: Penulis (2014)