Upload
lamnga
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRESENTASI KASUS
GUILLAIN-BARRE SYNDROME TIPE MILLER-FISHER SYNDROME DD CEREBELLAR SYNDROME
Pembimbing :
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp. S
Disusun Oleh :
Elnisa Asritamara1610221201
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF
RSUD AMBARAWA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
GUILLAIN-BARRE SYNDROME TIPE MILLER-FISHER SYNDROME DD CEREBELLAR SYNDROME
Oleh :
Elnisa Asritamara1610221201
Kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Saraf RSUD Ambarawa.
Ambarawa, 10 Mei 2018
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp. S
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat, karunia dan hidayah-Nya, presentasi kasus yang berjudul GUILLAIN-BARRE SYNDROME TIPE MILLER-FISHER SYNDROME DD CEREBELLAR SYNDROME dapat diselesaikan.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis sehingga hambatan dalam penulisan presentasi kasus ini dapat teratasi.
Penulis menyadari bahwa tulisan dalam presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada presentasi kasus ini. Penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua pihak agar menjadi lebih baik. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi para pembaca dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya kedokteran dikemudian hari.
Ambarawa, 10 Mei 2018
Penulis
ii
A. Identitas Pasien
Nama: Tn. SHP
Umur: 70 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Status perkawinan: Sudah Menikah
Pendidikan: SMP
Pekerjaan: Petani
Alamat : Ngablak Pojoksari Ambarawa
No cm: 125xxx-xxxx
Tanggal masuk RS: 21 April 2018, diruang Mawar
A. Data Dasar
Diperoleh dari pasien (Autoanamnesis) yang dilakukan pada tanggal 28 & 29 April 2018 pukul 15.00
B. Keluhan Utama
Kelemahan pada kedua tangan dan kaki
C. Keluhan Tambahan
Gemetar pada kedua tangan dan kaki
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar 2 bulan yang lalu, pasien mengaku mengalami demam, menggigil dan BAB cair selama 2 hari, BAB tidak disertai lendir dan darah, keluhan juga tidak disertai dengan mual dan muntah. Pasien merasa badannya tidak enak jika terlalu banyak kerja di sawah, dan berkurang jika istirahat. Pasien mengalami gejala ini kurang lebih 1 bulan dengan keluhan yang hilang timbul. Tidak ada keluhan lain selain itu. Untuk keluhan itu, pasien hanya berobat ke dokter umum biasa dan tidak dirawat di rumah sakit. Kelemahan dan gemetar tidak terjadi pada saat ini.
Tiga hari SMRS, pasien awalnya merasakan kesemutan pada tangan kanan dan kiri kemudian sampai ke kaki kanan dan kaki kiri. Awalnya kesemutan ini dirasakan dibagian jari menyebar ke telapak dan punggung tangan dan kaki. Kesemutan pada telapak dan punggung tangan dan kaki yang dialami pasien terus menerus dan terjadi pertama kali pada saat pasien sedang membawa benih padi, sebelumnya pasien mengaku belum pernah mengalami kesemutan seperti ini. Keluhan juga disertai dengan badan panas dingin yang hilang timbul. Keesokan harinya, 2 hari SMRS, gejala kesemutan dan badan panas dingin dirasakan berkurang, namun pasien mulai merasakan kelemahan pada kedua tangan dan kakinya. Pasien mulai sulit berjalan, setiap berdiri selalu tidak seimbang seperti orang mau jatuh. Untuk itu, jika pasien berjalan posisi badan pasien membungkuk. Selain itu, setiap pasien ingin melakukan sesuatu, anggota gerak atas dan bawah pasien akan gemetar. Tidak ada faktor yang memperberat maupun memperingan. Hanya saja gemetar selalu muncul dan meningkat seiring tangan dan kaki pasien mengangkat beban atau menggenggam seuatu, tetapi jika pasien diam, gejala gemetar tersebut hilang. Selanjutnya, 1 hari SMRS, gejala kesemutan menghilang, tapi kelemahan pada tangan dan kaki pasien semakin membuat kondisi pasien memburuk. Pasien tidak dapat duduk ataupun berdiri sendiri. Gejala gemetarnya pun semakin meningkat intensitasnya. Pasien mengaku tidak merasakan kekurangan sensasi raba. Pasien tidak merasa bicara pelo atau kesulitan dalam berbicara. Akhirnya karena kondisi pasien masih sama seperti ini, pasien dibawa ke IGD.
Setelah 7 hari perawatan di rumah sakit, pasien merasa kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Pasien sudah dapat duduk sendiri walaupun masih harus pegangan, dan gejala gemetar sudah berkurang.
E. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hal seperti ini sebelumnya : disangkal
2. Riwayat kesemutan : disangkal
3. Riwayat batuk lama : diakui, pada tahun 1996 pasien didiagnosis TB
4. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat diare : diakui, saat 2 bulan SMRS
6. Riwayat keganasan : disangkal
7. Riwayat hipertensi : disangkal
8. Riwayat DM : disangkal
9. Riwayat kejang : disangkal
10. Riwayat muntah proyektil : disangkal
11. Riwayat sulit menelan : disangkal
12. Riwayat trauma : disangkal
13. Riwayat mata kabur/penglihatan ganda : disangkal
F. Riwayat Penyakit Keluarga:
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat demam : disangkal
3. Riwayat Alergi : disangkal
4. Riwayat Batuk lama : diakui, anak laki-lakinya menderita TB pada tahun 1997
5. Riwayat keganasan : diakui, kakak pasien terkena kanker KGB dan sudah meninggal 3 tahun lalu
6. Riwayat hipertensi : disangkal
7. Riwayat DM : disangkal
G. Riwayat Pribadi dan Sosial-Ekonomi:
Pasien hanya petani yang tiap hari bolak balik ke sawah. Biasanya, pasien sendiri yang menyemprot pestisida di sawah sejak tahun 1980. Pasien dari tahun 1980 sampai 1996 merupakan perokok berat. Namun, setelah pasien didiagnosis TB pada tahun 1996, pasien berhenti untuk merokok.Pasien jarang olahraga, pasien mengaku tidak mengalami penurunan BB dalam 1 tahun terakhir ini. Pasien cukup menjaga kebersihan diri. Selain itu, pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi alkohol.
H. Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah mengkonsumsi OAT pada tahun 1996-1997, pasien mengakui ia dinyatakan sembuh. Selain itu, jika pasien merasa kecapekan atau badan tidak enak, pasien meminum jamu godong ijo. Riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal.
I. ANAMNESIS SISTEM :
Sistem cerebrospinal: pusing berputar (-), muntah menyembur tiba-tiba (-), pingsan (-), perubahan tingkah laku (-), wajah merot (-),
Sistem kardiovascular : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-),
Sistem respiratorius: tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal: tidak ada keluhan
Sistem neuromuskuler: kesemutan (+) tremor (+), jejas/trauma (-)
Sistem urogenital: tidak ada keluhan
Sistem integumen: tidak ada keluhan
J. RESUME ANAMNESIS
Pasien laki-laki berumur 70 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada kedua tangan dan kakinya sejak 3 hari SMRS. Awalnya gejala pasien adalah kesemutan pada jari kemudian menyebar ke punggung dan telapak tangan dan kaki hingga pada akhirnya pasien menjadi kesulitan berdiri kemudian tidak kuat berjalan. Selain itu, pasien juga mengeluh gemetar pada kedua tangan dan kaki. Gemetar selalu muncul dan meningkat seiring tangan dan kaki pasien bergerak makin dekat terhadap objek tujuannya, seperti menggenggam barang dan mengangat beban. Setelah pasien tidak bergerak, gemetar berhenti. Kondisi ini menyebabkan pasien tidak dapat melakukan kegiatan seperti biasanya seperti berjalan ataupun duduk. Gejala gemetar ini terjadi terus menerus. Pasien juga merasa badannya panas dingin dalam 3 hari SMRS. Tapi keluhan sudah membaik 2 hari setelah itu. Keluhan tidak disertai dengan mual dan muntah (-). BAK tidak nyeri, tidak berdarah dan BAB lancar, batuk (-) penurunan BB (-) mata kabur atau penglihatan ganda (-). Sesak napas (-), batuk (-) lateralisasi (-), kejang (-) penurunan kesadaran (-) sering tersedak (-) sulit menelan (-).
K. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis: Tetraparese ; ataksia ; tremor
Diagnosis topis: Radiks neuron sampai ujung saraf perifer; Cerebellum
Diagnosis etiologi: Susp Autoimun ; Vaskular; infeksi; SOP; Gangguan metabolik
L. DISKUSI PERTAMA
Didapatkan dari anamnesa pasien, pasien mengeluh kesemutan dan kaki juga sulit untuk berjalan yang menjadi tanda terdapat gangguan yang dominan pada area motorik diikuti dengan ciri gangguan area sensorik yang merupakan karakteristik klinis dari gangguan LMN (lower motor neuron). Hal ini diperkuat dengan diikuti gejala kelainan flasid pada kedua tangan dan kakinya dan tidak ditemukannya penurunan kesadaran, kejang dan penurunan fungsi kognitif. Berdasarkan pemeriksaan klinis dan studi fisiologi, dikenal 2 tipe paresis yaitu kelainan UMN (upper motor neuron) dan LMN (lower motor neuron). Diagnosis sementara untuk gangguan LMN adalah Guillan Barre Syndrome.
Lower motor neuron (LMN), merupakan kumpulam saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, menyalurkan impuls ke motorik pada bagian perjalanan akhir ke sel otot skeletal. Ciri-ciri klinik pada lesi LMN, yaitu :
1. Kelumpuhan / kelemahan bersifat flasid
2. Penurunan tonus otot
3. Paralisis flaksid otot
4. Atropi otot
5. Atoni
6. Hiporefleks / arefleks , reflex patologis negatif
Gejala gangguan keseimbangan tubuh dan tremor yang dialami pasien dapat disebabkan karena gangguan pada UMN, yaitu cerebellum sehingga koordinasi tubuh menjadi terganggu. Penyebabnya masih belum pasti, bisa dikarenakan vascular, infeksi, SOP, trauma atau gangguan elektrolit. Tremor intentional yang terjadi dapat disebabkan karena adanya lesi pada cerebellum bagian superior. Ada beberapa gejala klinik pada lesi UMN, yaitu:
1. Hiper refleks pada pemeriksaan reflek fisiologis
2. Reflek patologis positif
3. Hipertoni
4. Eutrofi
5. Klonus positif
A. SINDROME CEREBELLAR
1) Definisi
Sindrome Cerebellar adalah kumpulan gejala yang disebabkan kelainan pada cerebellum yang membuat tubuh kehilangan keseimbangan dan koordinasi.
2) Epidemiologi
Kasus ini ditemui jarang sekali, 1:10000 orang.
3) Etiologi
a. Infeksi
Post enchefalitis (mumps), cerebellitis (coxasakie), meningitis, abses cerebellar
b. Vaskular
Infark dan perdarahan
c. Neoplasma
Angioma, hemangioblastoma, meningioma, glioma
d. Trauma
e. Epilepsi
f. Nutrisi
Efek berlebihan nikotin, def Vi E, thiamine
g. Toksik
Bahan-bahan toksik seperti alkohol, metilbromide, tollune
h. Fisik
Hipotermia
i. Sistemik
Amiloid
j. Developmental
Cerebellar agenesis, hypoplasia
k. Metabolit
Hipoglikemia, hipotiroid, hipoparatiroid, abnormal siklus urea
4) Gejala Klinis
- Ataksia
- Dysmetria
- Tremor
- Dysarthria
- Nistagmus
- Kesulitan berjalan seperti mau jatuh
- Gerakan tidak terkoordinasi
- Pusing , mual , muntah
5) Diagnosis
- Anamnesis
- Pemeriksaan Fisik
a. Tes Romberg
Pasien yang memiliki gangguan propioseptif masih dapat mempertahankan keseimbangan menggunakan kemampuan sistem vestibular dan penglihatan. Pada tes romberg, pasien diminta untuk menutup matanya. Hasil tes positif bila pasien kehilangan keseimbangan atau terjatuh setelah menutup mata. Tes romberg digunakan untuk menilai propioseptif yang menggambarkan sehat tidaknya fungsi kolumna dorsalis pada medula spinalis. Pada pasien ataxia (kehilangan koordinasi motorik) tes romberg digunakan untuk menentukan penyebabnya, apakah murni karena defisit sensorik/propioseptif, ataukah ada gangguan pada serebelum. Pasien ataxia dengan gangguan serebelum murni akan menghasilkan tes romberg negatif.
Untuk melakukan tes romberg pasien diminta untuk berdiri dengan kedua tungkai rapat atau saling menempel. Kemudian pasien disuruh untuk menutup matanya. Pemeriksa harus berada di dekat pasien untuk mengawasi bila pasien tiba tiba terjatuh. Hasil romberg positif bila pasien terjatuh. Pasien dengan gangguan serebelum akan terjatuh atau hilang keseimbangan pada saat berdiri meskipun dengan mata terbuka.
b. Tes Tandem Walking
Tes lain yang bisa digunakan untuk menentukan gangguan koordinasi motorik adalah tes tandem walking. Pasien diminta untuk berjalan pada satu garis lurus di atas lantai dengan cara menempatkan satu tumit langsung di antara ujung jari kaki yang berlawanan, baik dengan mata terbuka atau mata tertutup.
c. Finger to nose test
Gangguan pada serebelum atau saraf saraf propioseptif dapat juga menyebabkan ataxia tipe dismetria. Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau menghentikan suatu gerak motorik halus. Untuk menguji adanya suatu dismetria bisa dilakukan beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah finger to nose test.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring, duduk atau berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.
d. Nose finger nose test
Serupa dengan finger to nose test tetapi setelah pasien menyentuh hidungnya, pasien diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa dan kemudian kembali menyentuh hidungnya. Jari pemeriksa dapat diubah baik dalam jarak maupun dalam bidang gerakan.
e. Finger to finger test
Pasien diminta mengabduksikan lengan pada bidang horisontal dan diminta untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat di tengah tengah bidang horisontal tersebut. Pertama dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.
f. Diadokokinesis
Pasien diminta untuk menggerakkan kedua tangannya bergantian pronasi dan supinasi dalam posisi siku diam dengan cepat. Pemeriksaan ini dilakukan baik dengan mata terbuka maupun tertutup. Pada pasien dengan gangguan serebelum atau lobus frontalis, gerakan pasien akan melambat atau menjadi kikuk.
g. Heel to knee to toe test
Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan bila pasien dalam keadaan berbaring. Pasien diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke arah lutut kontralateral, kemudian tumit digerakkan atau didorong ke arah jari kaki kontralateral.
h. Rebound test
Pasien diminta mengadduksikan bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah, siku diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik lengan bawah tersebut dan pasien diminta untuk menahannya, kemudian dengan mendadak pemeriksa melepaskan tarikan tersebut. Perlu diingat, pemeriksa juga harus meletakkan tangan lain di depan muka pasien supaya bila pasien memang memiliki lesi di serebelum, muka atau badan pasien tidak terpukul oleh lengan pasien sendiri.
- Pemeriksaan penunjang, berupa CT Scan dan MRI
6) Tata laksana
- Pengobatan simptomatik
- Pengobatan kausatif
B. GUILLAIN BARRE SYNDROME
1) Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) / Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah suatu sekumpulan gejala poliradikulaneuropati autoimun yang terjadi pasca-infeksi, terutama mengenai neuron motorik, namun dapat juga mengenai neuron sensorik dan otonom. Termasuk dalam kelainan LMN pada kerusakan neurologi.2
2) Epidemiologi
Di Amerika Serikat insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 2,0 per 100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang ada di Amerika Serikat. Di internasional angka kejadian sama yakni 1 3 per 100.000 orang per tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki predileksi pada musim panas.
Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa muda yaitu 15-35 tahun dan dapat juga terjadi pada usia tua 50-75 tahun, yang diyakini disebabkan oleh penurunan mekanisme imunosupresor. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1 3
3) Etiologi
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
1. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
2. Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
3. Trauma Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
4. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
Klasifikasi GBS 1,2
1. Acute inflamatorry demyelinating polyneurophaty (AIDP)
AIDP merupakan tipe SGB yang paling sering ditemui. AIDP terutama mengenai neuron motoric, namun dapat mengenai neuron sensorik dan otonom. Serologi C.jejuni di temukan positif pada sekitar 40% kasus subtype ini, sebagian kecil ditemukan antibody GM1.
2. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.
3. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
4. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan
5. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
6. Acute pandysautonomia
7. Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
4) Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson.2
5) Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
6) Gejala Klinis
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, dengan ciri khas parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat asendens 1,3. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral 1,2 . Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali 2. gejala klinis yang dapat timbul pada GBS adalah :
1. Kelemahan Motorik
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. Pasien mengalami paralisis yang khas dapat disebut juga Landrys ascending paralysis. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Pada anak-anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia.
2. Perubahan Sensorik
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar 8. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal 1. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi 5. Pada anak anak rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
3. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan
4. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.
5. Lain-lain
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka dan dapat ditemui penglihatan kabur (blurred visions).
7) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dan metabolik biasanya diperiksa untuk mencari penyebab dari penyakit ini, yang sering meninbulkan GBS ialah adanya infeksi sebelumnnya, elektrolit dan fungsi liver diperiksa bila diperlukan. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk menyingkirkan penyebab lain paralisis.
2. Pemeriksaan LCS /CSS
Kebanyakan pasien dengan GBS mempunyai kenaikan level protein LCS (>0,55g/L). Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel monosit < 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
3. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
Pada beberapa keadaan, gambaran EMG dapat normal karena demielinisasi terjadi pada otot paling proksimal sehingga tidak dapat dinilai oleh EMG.
4. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.
5. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan antibody antigangliosida dilakukan bila diagnose SGB sulit ditegakan. Antibodi GM1 dan GD1 meningkat terutama pada varian AMAN dan AMSAN.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Gejala utama :
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia.
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan :
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke-2 sampai ke-4
Pemeriksaan LCS :
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik :
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis :
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
8) Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB. Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila vital capacity turun dibawah 50%.
2. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
3. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
4. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
5. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
9) Prognosis
Pada 95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul .
3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.
M. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 April 2018
a. Status generalis :
a. Keadaan umum: Tampak sakit sedang
b. Kesadaran: komposmentis/ GCS = E4M6V5= 15
c. TD: 170/90 mmHg
d. Nadi: 92 x/menit,reguler
e. Pernapasan: 24 x/menit
f. Suhu: 36,9oC
g. SpO2: 96 %
h. Kepala: normosefali, tidak ada kelainan
i. Mata: OS : pupil bulat, 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
OD : pupil bulat, 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
j. THT: rhinorea (-), otorhea (-)
k. Mulut: Mukosa tidak tampak hiperemis
l. Leher: Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar, trachea ditengah, jejas atau benjolan di leher (-)
m. Thoraks: Cor :
1) Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi: kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm medial di ICS 5 linea midclavikula sinistra,
3) Perkusi:
Kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri jantung : ICS V, 2cm medial linea midclavicula sinistra
4) Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:
Depan
Dextra
I:Simetris, retraksi dinding dada (-)
Pal :vocal fremitus kanan = kiri
Per: sonor
Aus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing (-), ronki (-)
Sinistra
I:Simetris, retraksi dinding dada (-)
Pal :vocal fremitus kanan = kiri
Per: Sonor
Aus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing(-),ronki(+) minimal
m. Abdomen: datar, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrik (-)
n. Kelamin: tidak dilakukan pemeriksaan
o. Ekstremitas: Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-)
b. Status Neurologis
a. Sikap Tubuh
: Tidak simetris
b. Gerakan Abnormal
c. Cara berjalan
:Tetraparese ekstremitas, tremor intentional (+) miokloni (-) khorea (-)
: Tidak dapat dinilai
d. Kognitif
: Tidak ada gangguan komunikasi
e. Nervus Kranialis
Nervus
Pemeriksaan
Kanan
Kiri
N. I. Olfaktorius
Daya penghidu
Dbn
Dbn
N. II. Optikus
Daya penglihatan
Dbn
Dbn
Pengenalan warna
Dbn
Dbn
Lapang pandang
Dbn
Dbn
N. III. Okulomotor
Ptosis
-
Gerakan mata ke medial
sdn
sdn
Gerakan mata ke atas
sdn
sdn
Gerakan mata ke bawah
sdn
sdn
Ukuran pupil
3mm
3mm
Bentuk pupil
Bulat
Bulat
Refleks cahaya langsung
+
+
Refleks cahaya konsensual
+
+
N. IV. Troklearis
Strabismus divergen
sdn
sdn
Gerakan mata ke lat-bwh
sdn
sdn
Strabismus konvergen
sdn
sdn
N. V. Trigeminus
Menggigit
-
-
Membuka mulut
-
-
Sensibilitas muka
-
-
Refleks kornea
+
+
Trismus
-
-
N. VI. Abdusen
Gerakan mata ke lateral
sdn
sdn
Strabismus konvergen
sdn
sdn
N. VII. Fasialis
Kedipan mata
Dbn
Dbn
Lipatan nasolabial
Simetris
Simetris
Sudut mulut
Simetris
Simetris
Mengerutkan dahi
Simetris
Simetris
Menutup mata
Dbn
Dbn
Meringis
Dbn
Dbn
Menggembungkan pipi
Dbn
Dbn
Daya kecap lidah 2/3 ant
Dbn
Dbn
N. VIII. Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik
+
+
Mendengar bunyi arloji
+
+
Tes Rinne
TDL
TDL
Tes Schwabach
TDL
TDL
Tes Weber
TDL
TDL
N. IX. Glosofaringeus
Arkus faring
Simetris
Simetris
Daya kecap lidah 1/3 post
Dbn
Refleks muntah
Dbn
Sengau
-
Tersedak
-
N. X. Vagus
Denyut nadi
97x/menit
Arkus faring
Simetris
Bersuara
Dbn
Menelan
Dbn
N. XI. Aksesorius
Memalingkan kepala
Dbn
Dbn
Sikap bahu
Dbn
Dbn
Mengangkat bahu
Dbn
Dbn
Trofi otot bahu
Eutrofi
Eutrofi
N. XII. Hipoglossus
Sikap lidah
Dbn
Artikulasi
Dbn
Tremor lidah
-
Menjulurkan lidah
Simetris
Trofi otot lidah
-
Fasikulasi lidah
-
*dbn = dalam batas normal
Pemeriksaan Motorik
G :BTBTK :4/4/44/4/4Tn : Dbn
BTBT4/4/44/4/4
- turun
- turun
Eu Eu
Eu Eu
Tr :RF :RP : (-)(-)
(-)(-)
Pemeriksaan Sensibilitas
Kanan
Kiri
Taktil
+
+
Nyeri
+
+
Thermi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Diskriminasi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Lokalisasi
+
+
Pemeriksaan Sistem Otonom
Miksi : BAK normal, inkontinentia urine (-), retensio urine (-), anuria (-)
Defekasi : BAB lancar, inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk: (-)
Kernig sign: (-)
Brudzinsky I: (-)
Brudzinsky II: (-)
Brudzinsky III: (-)
Brudzinsky IV: (-)
Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Tes nystagmus: sdn
Tes tandem walking : Tidak dilakukan
Finger to nose test: (+)
Nose finger nose test: (+)
Finger to finger test: (+)
Diadokinesis: (+)
Heel to knee to toe test: (+)
Rebound test: (+)
N. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
Darah Rutin
Hemoglobin
13,7
13,2 15.5 gr/dl
Leukosit
8800
3.800 10.600/ul
Eritrosit
4,67
4,4 5,9 juta
Hematokrit
42
40-52 %
Trombosit
269.000
150.000 400.000/ul
Gula Darah Sewaktu
92
74-106 mg/dl
SGOT
34
0-50
SGPT
39
0-50
Ureum
33.3
10 50
Kreatinin
0,82
0,62 1,1
HDL DIRECT
46
28 63
LDL KOLESTEROL
97,2
180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP < 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pemakaian obat antihipertensi perenteral golongan beta blocker (labetolol dan propanolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan ditialzem).
Citikolin merupakan prekursor phospholipid, menghambat deposisi beta amiloid di otak, membentuk acetylcholine, meningkatkan neurotransmiter norepinephrine, dopamine, & serotonin, menghambat aktivitas fosfolipase & sfingomielinase memberikan efek neuroproteksi. Bioavailabilitas hampir 90% (per oral), citicoline eksogen akan dihidrolisis di dalam usus halus, dan siap diserap dalam bentuk choline & cyctidine dan kembali dibentuk menjadi citicoline. Choline akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sel-sel otak (0,5%) & IV (2%).
Mecobalamin merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12 lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin/methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak.Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan mecobalamin mempercepat sintesis lesitin, suatu komponen utama dari selubung mielin. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel saraf. Bersama asam folat dan vitamin B6, mecobalamin bekerja menurunkan kadar homosistein dalam darah. Homosistein adalah suatu senyawa dalam darah yang diperkirakan berperan dalam penyakit jantung.
THP (thrihexyphenidy) adalah obat yang menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat aksi neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor.
CPG bekerja menghambat agregasi platelet diluar heparin. Clopidogrel secara selektif menghambat pengikatan adenosin difosfat (ADP) pada reseptor ADP di platelet, dengan demikian menghambat aktivasi kompleks glikoprotein GPIIb/IIIa yang dimediasi ADP, yang menimbulkan penghambatan terhadap agregasi platelet. Biotransformasi Clopidogrel diperlukan untuk menghasilkan penghambatan agregasi platelet. Clopidogrel juga menghambat agregasi platelet yang diinduksi oleh agonis lain dengan menghalangi amplifikasi aktivasi platelet dengan merilis ADP. Clopidogrel bertindak dengan memodifikasi reseptor ADP platelet secara ireversibel. Akibatnya, platelet yang terkena Clopidogrel terpengaruh untuk sisa jangka hidup mereka dan pemulihan fungsi platelet normal terjadi pada tingkat yang konsisten dengan pergantian platelet (Qurashi, 2010).
S. PROGNOSIS
Death:Ad dubia
Disease:Ad dubia
Dissabilitiy:Ad dubia
Discomfort:Ad dubia
Disatisfaction:Ad dubia
T. FOLLOW UP
Tanggal
S
O
A
P
Program
21/4/2018
Pasien merasa lemah pada tangan dan kakinya sejak 3 hari SMRS, Awalnya kesemutan, kemudian menghilang, tidak dapat berjalan dan duduk sendiri seperti orang mau jatuh, tangan dan kaki gemetar (+), mual (-) muntah (-) pusing (-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 170/90
N : 92x/m
RR : 24x/m
S: 36,90C
SpO2: 96%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, gangguan metabolik, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H1
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg
Cek DR, Kolesterol, Asam urat, Ur, Cr, GDP, GD 2 jam PP, OT, PT
22/4/2018
Pasien masih merasa lemah pada tangan dan kakinya tidak dapat berjalan dan duduk sendiri seperti orang mau jatuh, tangan dan kaki gemetar (+), mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 130/80
N : 82x/m
RR : 20x/m
S: 36,90C
SpO2: 97%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, gangguan metabolik, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H2
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg
Terapi lanjut
23/4/2018
Pasien masih merasa lemah pada tangan dan kakinya tidak dapat berjalan dan duduk sendiri seperti orang mau jatuh, tangan dan kaki gemetar (+), mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 140/80
N : 97x/m
RR : 20x/m
S: 36,70C
SpO2: 97%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, gangguan metabolik, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H3
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg
- Cek Na, K, CL darah
-Ro thoraks PA
Tambahan terapi :
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO propranolol 2x1
24/4/2018
Pasien masih merasa lemah pada tangan dan kakinya tidak dapat berjalan dan duduk sendiri seperti orang mau jatuh, tangan dan kaki gemetar (+), mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 130/80
N : 80x/m
RR : 20x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H4
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan
25/4/2018
Pasien masih merasa lemah pada tangan dan kakinya tidak dapat berjalan dan duduk sendiri seperti orang mau jatuh, tangan dan kaki gemetar (+), mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 130/80
N : 85x/m
RR : 20x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H5
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan
Cek IgTB, cek VCT
26/4/2018
Pasien sudah mulai merasa lebih baik, gemetar yang terjadi pada pasien sudah mulai berkurang dari sebelumnya, pasien sudah dapat duduk dengan bantuan minimal dari anaknya, tapi pasien masih belum bisa berjalan, mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 150/90
N : 89x/m
RR : 18x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H6
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan
27/4/2018
Pasien sudah mulai merasa lebih baik, gemetar yang terjadi pada pasien sudah mulai berkurang dari sebelumnya, pasien sudah dapat duduk dengan bantuan minimal dari anaknya, tapi pasien masih belum bisa berjalan, mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 160/100
N : 92x/m
RR : 18x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H7
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan
28/4/2018
Pasien sudah mulai merasa lebih baik, gemetar yang terjadi pada pasien sudah mulai berkurang dari sebelumnya, pasien sudah dapat duduk dengan bantuan minimal dari anaknya, tapi pasien masih belum bisa berjalan, tidak berkurang sensasi raba mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 160/100
N : 92x/m
RR : 18x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H8
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan
29/4/2018
Pasien sudah mulai merasa lebih baik, gemetar yang terjadi pada pasien sudah mulai berkurang dari sebelumnya, pasien sudah dapat duduk dengan bantuan minimal dari anaknya, tapi pasien masih belum bisa berjalan, tidak berkurang sensasi raba mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 150/70
N : 92x/m
RR : 18x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H9
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan
Bila stabil, besok BLPL
30/4/2018
Pasien sudah mulai merasa lebih baik, gemetar yang terjadi pada pasien sudah mulai berkurang dari sebelumnya, pasien sudah dapat duduk dengan bantuan minimal dari anaknya, tapi pasien masih belum bisa berjalan, tidak berkurang sensasi raba mual (-) muntah (-) pusing(-)
Kesadaran: CM
GCS :
E4M6V5
TD : 130/80
N : 90x/m
RR : 18x/m
S: 36,70C
SpO2: 98%
Motorik : 4/4/4/4
Sindrome Cerebellar e.c. vaskular, SOP, infeksi, dd GBS tipe Miller- Fisher Syndrome H10
Infus:
Asering 20 tpm
Injeksi:
Inj Piracetam 4x3 gr
Inj citikolin 2x500 mg
Inj ranitidine 2x1 amp
Inj Mecobalamin 1x1
Inj MP 4x125 mg
PO:
Diltiazem 30 mg
CPG 1x75 mg
THP 2x2 mg Propranolol 2x1
Terapi lanjut
Rencana CT Scan di RS lain
BLPL
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto,C, dkk, 2014 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-4.Jilid 1 FKUI,
Jakarta: Medica Aesculpalus.
2. Guillain-Barr Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htmhttp://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm.
3. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/ guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.
4. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com.
5. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
6. Andary, MT. 2016, Guillain Barre Syndrome. Medscape reference, http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview
7. Qureshi I, Endres JR. Citicoline: A Novel Therapeutic Agent with Neuroprotective, Neuromodulatory, and Neuroregenerative Properties. Nat Med J. 2010
8. Ginsberg, L 2008, Neurologi Edisi Kedelapan, Erlangga, Jakarta, hlm. 34-40, 81- 4
4