253
Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

09E01884.Unlocked

Embed Size (px)

DESCRIPTION

09E01884

Citation preview

Page 1: 09E01884.Unlocked

Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009

BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

Page 2: 09E01884.Unlocked

TORKIS F. SIREGAR

TESI

Ole

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

Page 3: 09E01884.Unlocked

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah

Pascasarjana

Ole

TORKIS F. SIREGAR

BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

TESIS

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Page 4: 09E01884.Unlocked

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Menyetujui Komisi

Judul Tesis : BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUKMENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

Nama Mahasiswa : Torkis F. SiregarNomor Pokok : 077005030Program Studi : Ilmu Hukum

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 23 Juli 2009

Page 5: 09E01884.Unlocked

Telah diuji pada

Tanggal 23 Juli

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2.Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3.Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

4.Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

Page 6: 09E01884.Unlocked

Kata Kunci : Bentuk Pembinaan, Residivis, Penanggulangan tindak

ABSTRAK

Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahat-penjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman. Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Untuk itu diperlukan proses pembinaan yang tepat untuk dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya hanya menggambarkan analisis terhadap kredit dengan jaminan hak atas tanah. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah dengan melaksanakan wawancara (field research) dan penelusuran kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis kualitatif.

Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara. Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 cara, yaitu bentuk pembinaan individual dan pembinaan kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi dengan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan residivis adalah Kalangan internal (birokrasi), Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong dilakukan dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat proses pengeluaran narapidana,

Dalam penelitian ini dikemukakan saran agar diberlakukan sistem database online yang berlaku di seluruh Indonesia mengenai data pelaku kejahatan. Selain itu perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah.

Page 7: 09E01884.Unlocked

Key words : Type of correction, Residivist, Criminal matter

ABSTRACT

One of factors destroying the correctional system is the presence of repetitive or recurrent criminal, often called redivisit. These criminals usuallly commit the same crimes, although the punishment has been imposed for their crimes. The management of residivist crimes is caned out in a set of systems called criminal justice system as a facility in community to overcome the crimes. There fore, there should be an appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive criminal matters.

This was an analytical and descriptive research, it means it simple describes the analysis on appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive criminal matters. The instrument of collecting the data in this research was by interview (field research) and library research. The data gained was then analyzed qualitatively.

The causes of residivist criminal matter in criminal law system of Indonesia included stigmatization of people and enviromental condition of correcctional system area.. Actually the stigmatization appeared from the fear of community for former inmutes, that they would effect others to commit something breaking the law. Another reason was the impact of prisonization or self-aberration in community of prison caused by destructive force in mate's life. The type of correction practiced for recidivist in correccional system of class IIB Siborongborong was accomplished in two methods: individual and group correction. The individual correction was then carried out throught personal and independence correction. The factors inhibiting the implementation of recidivist correction included internal factor (birocration), over capacity, the weak control and supervision inherently by internal officials and functional control, the minimum quality and human power of proffesionals and budgeting. The measures taken to overcome toses obstacles in implementation of residivist correction in Correcctional System of Clas IIB Siborongborong included shorten the birocration process, to accelerate the releasing process of the inmates.

It is suhhested, that online database system should be applied throught Indonesia regarding the criminal records. In addition, the human power of correctional system frofessionals should be improvedthus they Hill have sufficient professionalism in assuming their task, especially their skills and expertise. The prosperity of correctional be also considered and improved by the government

Page 8: 09E01884.Unlocked

KATA PENGANTAR

Pertama-tama Peneliti bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan amanah,

sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian tesis yang diberi judul: "BENTUK PEMBINAAN

RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

SIBORONGBORONG adalah merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi untuk menyelesaikan program studi Ilmu Hukum pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, perhatian dan

kasih sayang dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang telah diberikan

kepada Peneliti. Pada waktu pembuatan tesis ini, peneliti banyak mendapat

bantuan baik materil dan moril, kemudian motivasi, pengarahan serta doa restu

dari semua pihak yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu, tanpa

mengurangi rasa hormat peneliti terhadap yang lainnya. Di saat yang berbahagia

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua

orang tua peneliti Alm. P. Siregar dan ibunda P. Bore Purba serta istri tercinta

Angelina Hospita Sinaga dan buah hati Peneliti Ricky Prima Steven Siregar,

Richard Harry Christ Siregar. dan putri bungsu Ririn Patricia Br. Siregar yang

selalu menjadi motivasi peneliti untuk menjadi orang.

Page 9: 09E01884.Unlocked

Terima kasih secara khusus Peneliti haturkan kepada:

1.Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2.Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3.Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Pembimbing Penulis.

4.Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Dosen Pembimbing yang selalu

memberikan motivasi kepada peneliti.

5.Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing yang juga memberikan

masukan pada tesis peneliti.

6.Bapak Thurman Hutapea, Bc.IP, SH, mantan Ka Lapas Klas II B

Siborongborong.

7.Bapak Sardiaman Purba, Bc.IP, SH, Ka Lapas Klas II B Siborong-borong yang

banyak memberikan dispensasi waktu selama peneliti menyelesaikan tesis.

8.Bapak S. Lumbantoruan, selaku Kasi Pembinaan dan Pendidikan Lapas Klas II B

Siborongborong yang telah memberikan data dan menjadi informan penulis

selama penelitian.

9.Bapak Sartowali, Bc.IP, SH, Ka. Bapas Sibolga.

10.Kepada rekan-rekan sejawat di jajaran Lembaga Pemasyarakatan

Siborongborong.

Page 10: 09E01884.Unlocked

11.Kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang

selalu menjadi teman penulis selama masa perkuliahan.

12.Kepada abanganda Hotman Efendi Siregar, SE, Ak, Jeffri P. Siregar, SE, dan

adik Penulis, Jonathan M. Siregar, SH, Ida Pola Artha Br. Siregar, Am.G,

David M. Siregar, ST, dan adik bungsu Penulis Joshua Franklin, SE, yang

selalu menjadi tiang penyangga Penulis dalam menjalani kehidupan.

13.Kepada tulang Ir.Saut Purba, M.Sc, terima kasih peneliti ucapkan atas

bantuannya dalam memberikan bahan-bahan untuk kepentingan tesis peneliti.

14.Mertua Penulis, Alm. St. J. Sinaga, dan Veronica br. Tambunan dan abang ipar,

kakak ipar, dan adik ipar penulis.

15.Kepada seluruh jajaran staf biro Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

yang selalu memberi infromasi kepada Peneliti

Akhirnya sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari keterbatasan,

Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dan sebagai insan

akademik Peneliti dengan senang hati membuka diri untuk menerima sumbangan

fikiran, saran yang konstruktif guna pengembangan keilmuan bagi kepentingan

masyarakat.

Page 11: 09E01884.Unlocked

Torkis F.

Peneliti juga menyadari hanya Allah jualah yang memiliki ilmu yang tiada

terhingga. Harapan Peneliti semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi,

pembuat kebijakan dan juga bagi pembaca.

Medan, J u n i 2 0 0 9

Page 12: 09E01884.Unlocked

RIWAYAT HIDUP

Nama : Torkis Freddy Siregar

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 10 Juni 1973

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Jalan Kemiri 2 Gang Kelapa 3 No. 12 Medan

Pendidikan : SD Methodist I Medan Tamat Tahun 1987

SMP Methodist I Medan Tamat Tahun 1990

SMA Negeri 5 Medan Tamat Tahun 1993

Strata Satu (S1) Universitas Panca Budi Tamat Tahun 1999

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009

Page 13: 09E01884.Unlocked

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK............................................................................................................... i

ABSTRACT.............................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR............................................................................................ iii

RIWAYAT HIDUP................................................................................................. vii

DAFTAR ISI........................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL................................................................................................... xi

DAFTAR SKEMA.................................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

A.Latar Belakang .............................................. 1

B.Perumusan Masalah......................................................................... 10

A. C. Tujuan penelitian ........................................................................ 11

D.Manfaat Penelitian ............................................................................ 11

E.Keaslian Penelitian............................................................................ 12

F.Kerangka Teoritis dan Konsepsi........................................................ 12

G.Metode Penelitian ............................................................................. 23

1.Jenis dan Sifat Penelitian............................................................... 23

2.Sumber Data.................................................................................. 23

3.Teknik Pengumpulan Data............................................................ 25

4.Analisa Data.................................................................................. 25

Page 14: 09E01884.Unlocked

BAB II PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAMSISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA.................................. 27

A.Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II BSiborongborong.............................................................................. 27

B.Pengertian Recidive (Residivis)......................................................... 31

C.Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan TindakPidana / Recidivis........................................................................... 32

D.Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana diIndonesia........................................................................................ 41

BAB III BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANGDIBERLAKUKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATANKLAS II B SIBORONGBORONG.................................................... 51

A.Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana......................................... 51

B.Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis................... 70

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN UPAYA UNTUK MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II BSIBORONGBORONG........................................................................ 91

A.Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II BSiborongborong.............................................................................. 91

B.Peranan Hakim Pengawas Dan Pengamat DalamMasalah Pembinaan Dan Pengamatan Narapidana........................ 100

C.Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II BSiborongborong.............................................................................. 110

Page 15: 09E01884.Unlocked

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 115

A.Kesimpulan........................................................................................ 115

B.Saran .................................................................................................. 116

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 118

Page 16: 09E01884.Unlocked

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Penghuni LP Siborongborong .......................................................28

2. Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008 ................................29

3. Daftar Nama Narapidana Residivis Lapas Klas II BSiborongborong .............................................................................39

Page 17: 09E01884.Unlocked

DAFTAR SKEMA

No Judul Halaman

1. Struktur Organisasi LAPAS Klas II B Siborongborong .................30

Page 18: 09E01884.Unlocked

41 Syafruddin Hussein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, makalah, Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, (Medan, 2003), hlm.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia.

Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa

kejahatan. Si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari

alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada

manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh

seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun

misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat

ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Sehingga

keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana

menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin,

maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.41

Masyarakat sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satu-

satunya faktor dalam gejala kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila upaya

penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap

pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai 'obat manjur'

Page 19: 09E01884.Unlocked

untuk 'menyembuhkan' baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang

diidap pelaku kejahatan.

Herbert L. Packer dalam bukunya 'The Umits of The Criminal Sanction'

menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau

terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia

itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat,

cermat, dan manusiawi.

Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara

sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan

penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana.

Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada

bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan

adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani

hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan

munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut

dengan residivis. Menurut John Delaney,42 pengintegrasian kembali narapidana ke

dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu

proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan

42 Adrianus Meliala, et.all, Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Resedivisme, Artikel ini Disajikan Dalam Kerangka Kerjasama Antara Tim Penulis (Dept. Kriminologi FISIP UI) dengan Australian Agency for International Development, Jakarta, 2009, hlm.2

Page 20: 09E01884.Unlocked

dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya,

kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal.

Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP

sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Dapat dibandingkan dengan perumusan van Bemmelen sebagai berikut: Putusan

pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa

telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan

dan terdakwa dapat dipidana.43

Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahat-

penjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini

biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi

hukuman. Sebagai contoh seseorang telah melakukan pembunuhan terhadap orang

lain dikenai pelanggaran Pasal 338 KUHP dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10

tahun dia menjalani hukuman, dia kembali melakukan pembunuhan.”44

Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas,

dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar

pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 486 KUHP ia dapat diancam

43 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 104.

44 Rikson, “Hukum Pidana, Ne Bis in Idem, ” http://www. rizkykios. com/Sistem% 20penjatuhan%20pidana%20, diakses tanggal 02 November 2008.

Page 21: 09E01884.Unlocked

45 Abidin Zainal Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm.

hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan

bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun

setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang

dijatuhkan.

Delik pengulangan (recidive) tidak dijumpai dalam aturan umum, tetapi di

Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive dalam dalam Aturan

Khusus (Buku II atau Buku III). Bab XXXI KUHP sebagaimana yang diatur dalam

pemidanaan kepada seorang terpidana. Pada prinsipnya batas tenggang waktu

menentukan apakah seseorang dapat dikualifikasi sebagai residivis atau tidak

digantungkan pada jangka waktu 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam

suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini memandang jika dalam

kurun waktu di bawah lima tahun seseorang yang melakukan kejahatan yang sama

kembali melakukannya, maka ia merupakan orang yang harus diwaspadai.

Pengulangan tindak pidana bukan hal yang baru dalam dunia hukum, karena

dimana ada kejahatan di situ pula ada pengulangan kejahatan dan pengulangan

kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh

Bartolus seorang ahli hukum, bahwa ”Humanum enimest peccare, angilicum, se

emendare, diabolicum perseverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan

dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik

pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan.45

Page 22: 09E01884.Unlocked

Pandapat ini dikemukakan untuk menjelaskan betapa pentingnya kedudukan

pengulangan tindak pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini terbukti

dengan dimasukkannya pengulangan tindak pidana itu ke dalam bagian yang esensi

dalam ajaran hukum pidana di berbagai negara.

Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah

dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in

kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.46 Sama seperti dalam

concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam

recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Seseorang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan oleh beberapa

faktor seperti kurang bekerjanya salah satu subsistem secara efektif dari salah satu

sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, faktor ekonomi, sosial

dan budaya. Dalam KUHP Indonesia, pengulangan tindak pidana hanya dikenal

dalam bentuk residivisme,47 tanpa batasan jumlah pengulangan.

Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk

memberikan efek jera kepada si pelaku, sehingga si pelaku akan berfikir lagi jika

ingin melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku

bukannya merasa jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal dia sudah

46 Hand Out Hukum Pidana, “Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)” http://syariah. uin suka. ac. id/file_ilmiah/7. %20Recidive. pdf, diakses tanggal 3 November 2008.

47 Diatur di dalam Buku II Bab XXXI Pasal 486 sampai dengan Pasal 488 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 23: 09E01884.Unlocked

pernah dihukum karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan tindak

pidana (residive).

Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang

disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana

dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.48 Adapun komponen dalam sistem

tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Keempat komponen tersebut harus bekerja dan berproses secara terpadu dalam

peradilan pidana dan diharapkan menjadi tumpuan dalam penegakan hukum dalam

negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum. Namun keberadaannya saat ini

jauh dari harapan sebab apa yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana belum dapat

dicapai. Hal ini diungkapkan oleh Rusli Muhammad yang menyatakan bahwa apa

yang menjadi tujuan utama Sistem Peradilan Pidana sulit dicapai. Melindungi,

mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar

masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana, diharapkan

kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil.49

Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem peradilan pidana terakhir

yang menjalankan sistem pemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana. Sistem

pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, maka

prinsip substansial di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

48 Marjono Reksodiputro, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84.

49 Rusli Muhammad, “ Reformasi Sistem Pemasyarakatan,” dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 1 Volume 6, (Yogyakarta, 1999), hlm. 45

Page 24: 09E01884.Unlocked

Pemasyarakatan mengandung nilai bahwa pada dasarnya sistem pemasyarakatan

diarahkan pada tatanan arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Hal ini

secara tersirat dapat dilihat pada teks Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 yang

menyebutkan:

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Peraturan substansial yang ada di dalam Undang-undang Pemasyarakatan ini

dijadikan landasan berpijak bagi waga binaan pemasyarakatan dan pembina secara

terintegrasi pada satu sistem pemasyarakatan di Indonesia, maka Undang-undang

Pemasyarakatan adalah sebagai kerangka berpijak perilaku yang pantas dan standar

(patokan) untuk bertindak.50

Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pengayoman membuka jalan

bagi perlakukan terhadap narapidana dengan cara sistem pemasyarakatan sebagai

tujuan pidana penjara dan juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.51

50 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 2, bahwa patokan-patokan timbul dari pandangan manusia mengenai apa yang dianggap baik, pandangan untuk bertindak secara pantas ini lazimnya disebut dengan nilai sebagai proses abstarkasi dari perilaku yang berulang-ulang secara nyata. Patokan-patokan untuk berprilaku secara pantas mengatur pula kehidupan antar pribadi manusia, norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan, dimana kedamaian berarti antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan dan itulah tujuan hukum .

51 RA. Koesnoen yang berjasa dalam upaya memperbaiki narapidana dengan filsafat bangsa yaitu Pancasila, maka orang yang tidak bisa dilupakan adalah Saharjo, yang saat itu menjabat Menteri kehakiman menerima gelar Doctor Honoris Causa dan dalam orasi ilmiahnya memberi judul “Pohon

Page 25: 09E01884.Unlocked

Dalam perlakuan terhadap narapidana, adalah melakukan pembinaan agar narapidana

menjadi manusia yang berguna di masa mendatang. Program-program pembinaan

yang teratur dan disusun secara matang dan yang dilaksanakan dengan penuh

kesadaran serta kelayakan akan menjamin integritas sistem pemasyarakatan.

Apabila sistem pemasyarakatan difahami dari arti katanya dan diperhatikan

pada saat dicetuskannya gagasan tersebut pada tahun 1964, serta dihubungkan dengan

perkembangan pembaharuan pidana penjara secara universal sesudah tahun

enampuluhan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemasyarakatan merupakan

perubahan yang menyangkut upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang

dilaksanakan dengan semangat azas perikemanusiaan dan perlakuan baru terhadap

narapidana menurut pokok-pokok ketentuan standard minimum rules.52 Adanya

model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas

dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi

Narapidana, terutama narapidana residivis dalam menyongsong kehidupan setelah

selesai menjalani masa hukuman (bebas).

Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program

kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU)

Beringin Pengayoman; yang menurut beliau “Hukum Pengayoman” termasuk juga mengayomi narapidana.

52 Mardjaman, “Beberapa Catatan Rancangan Undang-undang tentang SistemKemasyarakatan,” makalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: 2005), hlm. 1.

Page 26: 09E01884.Unlocked

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi

asimilasi atau reintergrasi sosial.

Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah

satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. Asimilasi

sebagai tujuan pemasyarakatan menampakkan ciri utama adalah aktifnya kedua belah

pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan masyarakat.53

Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara, serta mencegah

penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana.

Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan,

yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

a. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat

kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa

pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan

bulan.

53 Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PK. 04. 10 Tahun 1989 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 1: Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat. Pasal 5 menyatakan maksud Asimilasi adalah memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat dan memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Pasal 6 menyebutkan tujuan Asimilasi adalah membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan.

Asimilasi terbagi dua yaitu Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk tahap III dari proses persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah: bekerja pada pihak ketiga, baik instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri.

Page 27: 09E01884.Unlocked

b. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah

menjalani dua pertiga masa pidana, di mana masa dua pertiga itu sekurang-

kurangnya sembilan bulan.

Seluruh program pembinaan bagi narapidana bertujuan agar bekas narapidana

tidak mengulangi kembali perbuatan jahatnya dan tidak lagi menjadi warga binaan

pemasyarakatan. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi Lembaga

Pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan dalam upaya mengendalikan terjadinya

residivis, karena lembaga pemasyarakatan selalu mendapat hambatan dan tantangan

dalam mencapai tujuan pembinaan narapidana.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka peneliti ingin

mengangkatnya sebagai topik tesis yang berjudul “Bentuk Pembinaan Residivis

Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Siborongborong.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut

1. Bagaimanakah penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan pengaturannya

dalam sistem hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?

Page 28: 09E01884.Unlocked

3. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan

untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan seperti disebutkan di atas, adapun tujuan

penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan

pengaturannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia

2. untuk mengetahui bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.

3. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan Upaya-upaya yang

dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan

residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun

secara praktis:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan hukum pidana khususnya mengenai bagaimana

cara melakukan pembinaan yang efektif bagi narapidana sebagai realisasi

konsepsi sistem pemasyarakatan untuk mencegah meningkatnya residivis.

Page 29: 09E01884.Unlocked

2. Secara praktis penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi aparat penegak

hukum dalam sistem peradilan dan juga pihak Lembaga Pemasyarakatan dan

pemerintah serta pihak terkait lainnya guna penyempurnaan dalam membina

narapidana di masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan Universitas

Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang masalah Pola Pembinaan

Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan

Klas II B Siborongborong belum pernah dilakukan dalam masalah yang sama,

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang benar-benar sama

dengan masalah yang akan diteliti jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan

asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Dengan demikian

keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teoritis Dan Konsepsi

1. Kerangka Teoritis

Untuk mendukung pentingnya suatu penelitian diperlukan adanya kerangka

teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk

Page 30: 09E01884.Unlocked

memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah disertai

dengan pemikiran teoritis.54

Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia, dihukumnya seseorang

adalah berdasarkan perbuatan yang salah yang dilakukannya, dan melanggar Undang-

Undang sehingga yang menjadi fokus adalah pada perbuatan salah atau tindakan

pidana yang telah dilakukan pelaku.55 Artinya bahwa perbuatan berperan besar dan

merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk adanya hukumnya (punishment)

Dijatuhkannya pidana pada seseorang diperlukan dua syarat yaitu perbuatan itu

bersifat melawan hukum dan dapat dicela.56

Berbicara masalah pembinaan narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan

tentang pidana, pemidanaan dan pembenaran pidana. Mengenai pengertian pidana

menurut beberapa pendapat ahli hukum, seperti:

Muladi dan Barda Nawawi Arief yang mengutip pendapat Alf Ross bahwa

pidana merupakan reaksi sosial yang:

a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum

b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan

dengan tertib hukum yang dilanggar.

54 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982) hlm. 37

55 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992) , hlm. 6.

56 D. Schaffmeister, et al, Hukum Pidana, Editor Penerjemah J. E. Sahetapi, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 27.

Page 31: 09E01884.Unlocked

c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi lain yang tidak

menyenangkan.

d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.57

Selanjutnya Muladi dan Barda Nawawi berkesimpulan bahwa:

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa

atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana

menurut undang-undang.58

Mengenai teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar yaitu:

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldigns theorien)

b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)

c. Teori menggabungkan (verenigings teorien).59

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori

pemidanaan maka dibawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tesebut 1)

Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive /Vergeldings Teorrien)

57 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 4.

58 Ibid.

59 E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1958), hlm. 157.

Page 32: 09E01884.Unlocked

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (quia peccatum est) dan pidana

merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang

melakukan kejahatan. Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori

pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa

hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan.

Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu

bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.

Jadi fungsi pidana di sini adalah pembalasan bagi orang yang melakukan

kejahatan dan untuk memuaskan tuntutan keadilan,60 sehingga keberadaan

pemidanaan itu sendiri tergantung pada ada tidaknya kejahatan

2) Teori relatif atau teori tujuan (Utilitarian/ Doel Theorieen)

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai

sarana. untuk melindungi kepentingan masyarakat dan mengurangi frekuensi

kejahatan.

60 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, edisi Kedua Cetakan ke 2: 1998), hlm. 11. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” bahwa “pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hlm. harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hlm. ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap pada anggota masyarakat karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.

Page 33: 09E01884.Unlocked

Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori

tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah

membuat kejahatan (”quia peccatum est”) tetapi supaya orang itu jangan melakukan

kejahatan lagi (”nepeccetur”).61 jadi tujuan pidana menurut relatif adalah untuk

mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu dengan kata lain

pidana yang dijatuhkan kepada sipelaku kejahatan bukanlah untuk membalas

kejahatanya, melainkan untuk memelihara ketertiban umum.

Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni:

a) Prevensi umum (generale preventie); 62

Pada intinya, prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana.

b) Prevensi khusus (speciale preventie);

Pada intinya prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar terpidana jangan melakukan atau mengulangi perbuatannya lagi dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.63

3) Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kekesalan,

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan

ketertiban.64 Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan

61 Ibid , hlm. 16

62 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 76.

63 Ibid

64 Ibid.

Page 34: 09E01884.Unlocked

perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar

hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana

mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana sebagai sesuatu yang akan

membawa kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk

menjadikan orang dapat diterima kembali di masyarakat.65

Menurut H. L. Packer tujuan pemidanaan adalah pemidanaan yang untuk

mencegah, menghentikan dan mengendalikan kejahatan yang menurut rumusan

adalah: 66

a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki,

atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undesired conduct or

offending conduct).

b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar

(the deserved infliction of suffering on evil doers / retribution for perceived

wrong doing).

Jadi menurut rumusan di atas, pemidanaan dijatuhkan kepada seseorang

sebagai penjeraan kepadanya karena ia telah melakukan suatu perbuatan salah, juga

sebagai penderitaan untuk mencegah dilakukannya kembali kejahatan untuk kedua-

65 Oemar Seno Adji, Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 1980) hlm. 14. Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kejahatan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat

66 Ibid, hlm. 6.

Page 35: 09E01884.Unlocked

duanya.67 Kedua pemikiran Packer ini didasari oleh 3 teori dari pemidanaan yang telah

disebut di atas.

Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep

kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala

usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan

yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan

menggunakan sanksi pidana, dipadukan dengan usaha yang bersifat ”non penal”

Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan

nasional. Tujuan utama usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi

sosial atau pembangunan nasional.

Pertimbangan itu mengarah pada pilihan yang tersedia yaitu pemakaian sarana

penal dan juga sarana non penal dengan mengingat bahwa hukum pidana itu adalah

suatu sistem yang terbuka (open system) yang dalam bekerja memberikan peluang

bagi campur tangan lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia

pada umumnya.68 Seperti bidang ekonomi, politik, pendidikan serta subsistem pada

sistem peradilan itu sendiri.

Hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan

kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam

67 Roger Hood, Research on the Effectivenes of Punishment and Treatments. Collection Studies in Crimnological Research, Vol I, 1997 p.74 yang dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit. hlm. 102.

68 La Patra menggambarkan inter face (interaksi) inter koneksi dan inter dependensi) system peradilan pidana dengan lingkungannya ini dalam peringkat-peringkat level sebagai berikut: peringkat 1. Society , Peringkat 2, Economics, Technology, Education, Politiks, Peringkat 3, Subsystems Of Criminal justice system.

Page 36: 09E01884.Unlocked

masyarakat.69 Untuk melakukan penerapan tersebut diperlukan adanya perangkat

undang-undang yang dijadikan sebagai landasan dalam penerapan kaidah-kaidah

tersebut, misalnya Undang-undang pemasyarakatan yang memberikan dasar dan

landasan terhadap pembinaan warga binaan pemasyarakat yang dilakukan oleh

petugas pemasyarakatan.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan

bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga

binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem

pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat

berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai

anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.70

Pentingnya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan terutama

sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman melalui pendidikan, rehabilitasi

dan reintegrasi bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai

warga yang baik. Juga untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan

diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyararakatan dan yang tidak

69 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 9.

70 Lihat, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 37: 09E01884.Unlocked

71 Sahardjo, “Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila”, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963,

terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka dalam kerangka

teori ini dipaparkan tentang sistem peradilan pidana, tujuan pemidanaan dan teori

pemidanaan serta sistem pemasyarakatan.

Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan

sistem pemasyarakatan.

Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi lagi perbuatan oleh narapidana, melainkan juga oleh orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara...tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan .. negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.71

Pengetahuan tentang apakah seorang bersalah telah melakukan tindak pidana

sehingga harus menjalani suatu jenis pidana, merupakan cara untuk menanggulangi

masalah kejahatan. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub

sistem di dalam criminal justice system guna untuk menanggulangi meningkatnya

kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Adapun

tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kejahatan yang tejadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan

telah ditegakkan dan pihak yang bersalah dipidana.

Page 38: 09E01884.Unlocked

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatannya.72

2. Konsepsi

Untuk dapat mengambarkan rasionalitas suatu kajian ilmiah, maka cakupan

kerangka pemikiran harus ditentukan secara tegas dan jelas. Beberapa istilah yang

berhubungan dengan judul penelitian, yaitu:

a. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan kembali

perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana

dan menjalani penghukumannya.73

b. Yang dimaksud narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.74

c. Yang dimaksud dengan lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.75

d. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara

pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang dibina dan masyarakat, untuk

72 Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Krimonologi) Universitas Indonesia, 1997), hlm. 85.

73 Gerson W Bawengan, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramitha,1979), hlm. 70.

74 Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

75 Ibid, Pasal 1 angka 3.

Page 39: 09E01884.Unlocked

meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.76

e. Yang dimaksud dengan pemidanaan adalah reaksi atas delik dan ini berwujud

suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.77

f. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.78

g. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal yang

lebih menitiberatkan pada sifat represive (penindakan/

pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal

lebih menitik beratkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/ pengendalian)

sebelum kejahatan terjadi.79

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

76 Ibid, Pasal 1 angka 2.

77 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Eresco Cet ke 3, 1981), hlm. 1.

78 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

79 Barda Nawawi Arief, “Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,“ Makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991, hlm.2.

Page 40: 09E01884.Unlocked

80 Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafiko Persada, Cet Kelima, 2001), hlm. 14.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang

bersifat deksriptif analisis dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu

penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi

terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi

kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa

secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

2. Sumber Data

Sumber data dalam pengumpulan data ini dipergunakan cara penelitian yuridis

normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan melalui

pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi:80

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Batang tubuh UUD1945 TAP MPR

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana,

Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, KUH Pidana, PP

No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan

Cuti Bersyarat.

Page 41: 09E01884.Unlocked

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti rancangan Undang-undang Pemasyarakatan, Rancangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal ilmiah, majalah,

surat kabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun

menunjang data penelitian.81

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:

a. Penelitian kepustakaan, yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan

topik bahasan dalam penelitian berupa peraturan-peraturan hukum, buku-buku

teks, artikel, dan jurnal serta dokumen lain yang berhubungan dengan

permasalahan yang diteliti.

b. Penelitian lapangan yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber dari

narapidana, mantan narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan Kepala

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborongborong dan masyarakat, pendapat-

pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam

81 Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 195, dan Soerjono Soekanto, “et.al”., Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

Page 42: 09E01884.Unlocked

bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan

teoritis.

4. Analisa Data

Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan

dianalisa secara kualitatif, kemudian diolah dengan solusi dari permasalahan dalam

penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundang-

undangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum

yang terkait dengan tata cara pembinaan narapidana dan mengumpulkan teori-teori

yang ada terkait dengan judul penelitian. Dengan demikian kegiatan analisis ini

diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan

penelitian yang benar dan akurat.

Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang

bersifat induktif. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban

permasalahan. Cara berpikir deduktif akan digunakan untuk menggambarkan bentuk-

bentuk pembinaan terhadap narapidana residivis.

Page 43: 09E01884.Unlocked

BAB II

PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong

Lembaga Pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong

merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan untuk dididik dan

dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lembaga

pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong berdiri sejak Tahun 1992.

Kondisi bangunan cukup baik, bersih, nyaman dan sejuk karena terisolir/ jauh

dari kota atau keramaian. Namun melihat kondisi sekarang, di LP tersebut perlu

dibuat pembatasan area agar pengawasan para napi dan tahanan bisa lebih diperketat

agar terhindar dari peredaran narkoba yang sengaja didatangkan dari luar dengan

alasan menjenguk atau bertamu kepada para Napi.

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong merupakan salah satu

lapas terbaik di wilayah Sumatera Utara dengan pelaksanaan program Bulan Tertib

Pemasyarakatan (Buterpas) yang selama ini dijalankan. Hal ini terbukti dengan

diterimanya Penghargaan Juara III Nasional Lapas Terbaik di Indonesia oleh Menteri

Hukum dan Ham. penghargaan ini diberikan kepada UPT Pemasyarakatan yang telah

sungguh-sungguh melaksanakan program Buterpas yang dicanangkan oleh Menteri

Hukum dan HAM pada tanggal 14 Februari 2008 di Rumah Tahanan Negara (Rutan)

Salemba Jakarta. Program ini tidak hanya berlaku satu bulan saja, tetapi berkelanjutan

Page 44: 09E01884.Unlocked

82 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

dan selalu direvisi secara terus menerus. Pemberian penghargaan seperti ini akan terus

dilakukan pada momen-momen penting.

Dikatakan, sekarang ini keluar masuk pengunjung ke LP Siborongborong

dilakukan secara ketat, bahkan tamu yang datang tidak diperbolehkan memberikan

uang secara langsung. Jika ada pemberian uang kepada napi atau tahanan harus

dilakukan dengan penukaran kupon yang sudah disediakan. Hal ini menjaga jika napi

atau tahanan dapat melarikan diri, tidak dapat membelanjakan kupon tersebut.

Penghuni LP Siborongborong pada Tahun 2008 berjumlah 203 orang, terdiri dari 165

napi dan 38 tahanan. 34% di antaranya terlibat kasus Narkoba yang didominasi

narapidana pindahan dari Rutan Kelas I Medan, Lapas Klas I Medan, Lapas Klas IIA

Binjai, Lapas Klas IIB Tebing Tinggi, Lapas Klas IIA Siantar, Lapas Klas IIA Rantau

Prapat dan Lapas Klas IIA Sibolga.

Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong

No Kapasitas Narapidana Tahanan Jumlah

1 150 165 38 203

Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong 82

Selanjutnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh tahanan maupun narapidana

dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Page 45: 09E01884.Unlocked

83 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

Tabel 2 Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008

No. Jenis Kejahatan Jumlah

1. Narkotika 732. Pencurian 353. Pembunuhan 94. Penganiayaan 195. Pemerasan 226. Penggelapan 77. Penipuan 28. Terhadap Kamtib 19. Perampokan 2310. Dan lain-lain 14

Jumlah 203 Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB

Siborongborong83

Lapas Klas IIB Siborong-borong dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga

Pemasyarakatan (Kalapas) yang saat ini dijabat Sardiaman Purba, Bc.IP, SH. Adapun

Stuktur organisasi Lapas Klas IIB Siborong-borong dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

Page 46: 09E01884.Unlocked

SEKSI ADMIN KAMTIB

SUB BAGIAN

SEKSI BIMBINGAN NARAPIDAN

A /

KALAPAS

URUSAN KEPEGAWAIAN

DAN KEUANGAN

SUB SEKSI PELAPORAN DAN

TATA TERTIB

Skema 1 Struktur Organisasi LAPAS KLS II B

K P L P

PETUGAS PENGAMANAN

URUSAN

SUB SEKSI

KEGIAT

SUB SEKSI REGIST

SUB SEKSI PERAW

SUB SEKSI

30

Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong,

Page 47: 09E01884.Unlocked

B. Pengertian Recidive (Residivis)

Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu

Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat

diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya

biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya.84 Atau

apabila “Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik

yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh

hakim.85

Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus

dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau

residivisme, yaitu:

1. Pelakunya adalah orang yang sama

2. Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi

pidana oleh suatu keputusan hakim.

3. Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara

yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut.

4. Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum

tetap.

5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

84 Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8

85 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiwa, hlm.233.

Page 48: 09E01884.Unlocked

Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah “kecenderungan individu atau

sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah

dihukum karena melakukan perbuatan itu.”86

Selanjutnya Recidivism juga diartikan sebagai orang yang telah menjalankan

kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu

kejahatan yang sama.87

C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana / Recidivis

1. Stigmatisasi Masyarakat

Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma

atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang,

dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat

yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi

perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah

kreatipitas manusia untuk mengatasinya, sedangkan dampak negatif dari

penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan

ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat,

yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa

terganggu atau terancam ketenangannya.

86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416.87 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Lintas Media,

Jakarta, hlm. 215.

Page 49: 09E01884.Unlocked

Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan

lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi

terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi

sebagai mana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan proses

pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam

proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam

lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar

kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat

dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang

bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya. 88

Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat

terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain

untuk melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh

Kepala Desa Pasar Siborongborong-Tapanuli Utara : “ secara pribadi masih ada rasa

khawatir terhadap mantan narapidana, namun walaupun demikian kita sebagai kepala

desa ada melakukan pendekatan secara bathin dan kekeluargaan, walaupun di dalam

hati ada rasa khawatir, kwatirnya bukan apa-apa, takut nantinya mempengaruhi yang

lainnya. ‘’89

88 Didin Sudirman “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006 hal 52.

89 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Pasar Siborongborong –Tapanuli Utara.

Page 50: 09E01884.Unlocked

Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung

berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat

yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan

mantan narapidana, sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan

mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas

murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan (BAPAS) tidak

mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di

dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari

pekerjaan di luar LAPAS.

Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas

pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian (keterampilan kerja)namun

itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai

menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sendiri

belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya

sendiri dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan

narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat.

Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan

keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun

pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat

mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi

narapidana atau mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha

Page 51: 09E01884.Unlocked

sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul

persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam

mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan

pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang

dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi

menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana

terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :

a.Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan (primary

deviation) seperti melempari rumah tetangganya dengan batu.

b.Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut menjadi

marah

c.Anak muda tersebut melakukan reaksi sosial(primary deviation) dengan

melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman.

d.Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak

tersebut.

e.Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih serius,

ia melakukan pencurian toko(masih primary deviation).

f.Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile

Delinquency di pengadilan.

Page 52: 09E01884.Unlocked

90 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 101

g.Anak muda itu kemudian di beri label delinquency (nakal /jahat) oleh pengadilan

dan bad (buruk/jelek) oleh tetangganya, teman- temannya dan oleh orang

lain.

h.Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency dan

bergabung dengan anak-anak muda tidak baik

i.. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius (Secondary

deviation), seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya

j.Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan

kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup

yang sepenuhnya menyimpang. 90

Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer

dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap

dan ditahan, terjadilah pemberian cap/ label terhadap anak muda tersebut (terjadilah

stigmatisasi terhadap yang bersangkutan), yang kemudian anak muda tersebut

dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya

dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan

berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label/ cap yang sama.

Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya

stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat

Page 53: 09E01884.Unlocked

timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi

seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.

2. Dampak dari Prisonisasi

Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi

bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses

terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku

dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh

Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa

Negara tidak berhak memnbuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan

dipenjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa

tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatife,

sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53, Implementation The Standard

Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang

berbunyi ;“ Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung

berbelok kearah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang

merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni. 91

Sehingga dari sini dapat di jelaskan bahwa ajaran-ajaran sosiologis mengenai

masyarakat lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) telah menunjukkan bahwa Lembaga

Pemasyarakatan dengan peraturan-peraturan keamanan maksimum terdapat suatu

91 Didin Sudirman “ Masalah-masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan “ Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006

Page 54: 09E01884.Unlocked

pertumbuhan kehidupan yang menghambat kemungkinan integrasinya narapidana kali

dapat membuat tumbuhnya sifat-sifat kelainan pada narapidana, dengan lebih

memperlihatkan ciri-ciri persamaannya dengan pola-pola penjahat serta ciri-ciri

perbuatan jahatnya.

Terjadinya penyimpangan sendiri didalam masyarakat penjara diakibatkan

oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara,

sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada didalam

penjara tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara.

Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil

atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh

faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mencari

pekerjaan, tidak adanya tempat untuk berteduh atau kesejahteraan di dalam Lapas

yang lebih terjamin daripada apabila mereka berada di luar lapas.

Data-data yang terkumpul narapidana Siborongborong yang pernah melakukan

pengulangan tindak pidana dalam lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di

bawah ini:

Page 55: 09E01884.Unlocked

No No Reg

1 36/00

2 09/01

3 10/01

4 12/01

5 14/02

6 18/02

7 21/02

8 31/02

9 35/02

10 43/02

11 23/01

12 26/01

13 27/01

Nama Perkara Hukuman Tgl Bebas Reg

Sekarang

Hukuman

Ferdinan Siahaan

Usman Bangun

Ratin Tarigan

Binsar Ginting

Iswandi

Maniti

Simanullang

Tomi Pasaribu

Samud

Tumanggor

15-04-2005

(PB) 17-08-

2005 17-08-

2005 05-01-

2005 12-08-

2005 17-08-

2005 19-07-

2005 25-12-

2005 17-08-

2005 13-04-

12/0

79 /0

7

22 /0

6

24 /0

5

25 /0

6

29 /0

06

05 tahun

06 tahun

06

tahun

06

tahun

07 tahun

Saragih

Rikson

Tambunan

Pembunuha

Pembunuha

Pembunuha

12

11

11

27-12-2006

(PB)

18-09-2006

24/07 10 tahun

26/07 07 tahun

76/06 06 tahun

Pembunuha

n Narkotika

Narkotika

Pembunuha

n Narkotika

Penganiaya

an

Pembunuha

n

Penganiaya

10 tahun

07 tahun

07

tahun

06

tahun

05

tahun

05

3

Tabel 3 Daftar Nama Narapidana Residivis LAPAS Klas II B Siborongborong

Page 56: 09E01884.Unlocked

Pembunuh

an

Narkotika

Pembunuh

an

Perampoka

n

Pembunuh

an

Narkotika

Pembunuha

Pencuria

16-05-2006

23-05-2006

(PB) 12-02-

2006 (PB) 29-

03-2006 17-

08-2006 08-

02-2006 13-

02-03-2006 (PB)

17-08-2006

04-06-

17-08-

40

Sumber: Data Primer Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Lanjutan Tabel 3

No No Nama Perkara Hukuman Tgl Bebas Reg Hukuman

Reg Sekarang

14 28/01

15 12/02

16 17/02

17 27/02

18 28/02

19 32/02

20 42/02

21 46/02

22 48/02

23 03/03

24 13/06

25 19/06

Surung Sianipar

Radianson Purba Janes

Situmeang Azmi Rizal

Sadrak Marbun James

L. Gaol Pansius

Sianturi Nasarudin

Tanjung Andi Mulia

Asnawi

Jhon Willi Saragih

Damero nainggolan

12 tahun

09 tahun 09

tahun

06 tahun 09

tahun

07 tahun

08 tahun 06

tahun 08

tahun 05

tahun 01 thn

06 bln 01 thn

02 bln

21/08

27/08

19 /08

29 /07

48 /08

44 /08

26 /06

67 /07

17 /07

03 /09

28 /08

11 /09

06 tahun

05 tahun

05 tahun

05 tahun

05 tahun

06 tahun

08 tahun

05 tahun

05 tahun

06 tahun

2 tahun 2

tahun

Page 57: 09E01884.Unlocked

92 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm.. 81.

41

D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia

KUHP tidak ada mengatur tentang pengertian dari pengulangan (recidive)

secara umum. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang

mengatur tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive). Ada dua

kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (recidive), yaitu:

1.Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP.

2.Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).92

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau

menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUH Pidana) Nasional 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan

pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk

merumuskan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-

kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana,

pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari

penerapan pidana.

Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi

beberapa golongan, yaitu:

Page 58: 09E01884.Unlocked

4 2

1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam

penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang

dilakukan, yaitu:

a.Pelanggar hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu

kali/first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana

dan hanya sekali saja.

b.Residivis yang dibagi lagi menjadi:

1) Penjahat yang akut yaitu meliputi pelanggar hukum yang bukan

residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum

namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh,

atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga

tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata

lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut Pasal

486, 487 dan 488 KUHP Indonesia atau 2 tahun menurut pasal 45

KUHP Indonesia)

2) Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah

mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu

singkat di antara masing-masing putusan pidana

Page 59: 09E01884.Unlocked

4 3

3)Penjahat berat, 93 yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi

pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi

mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan

kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka.

4)Penjahat sejak umur muda. Tipe ini memulai karirnya dalam

kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan

kenakalan anak.

Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan

rancangan KUH Pidana Nasional yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan

telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000. “Konsep KUH Pidana

Nasional tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun

1971/1972, konsep KUH Pidana 1982/1983, konsep KUH Pidana 1993 dan yang

terakhir konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000.”94

Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana

dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara

lain: a. Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang

melakukan suatu rangkaian kejahatan tanpa diselingi suatu penjatuhan pidana/

condemnation.

93 Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny. L. Moeljatno, hlm. 161.

94 Mulyana W. Kusumah, Loc. Cit.

Page 60: 09E01884.Unlocked

200.

4 4

b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan

yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana

tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu

misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau

sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:

a.Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan

merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya

b.Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena si

pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat

sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya

3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga

dibedakan atas:

a.Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana

yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak

pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan

hukuman.95

b.Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana

yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak

95 Utrecht E, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Surabaya Tinta Mas, hlm.

Page 61: 09E01884.Unlocked

96

4 5

pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan

hukuman.96

Sejak Tahun 1972 hal mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pemikiran

para perancang undang-undang. Hal ini terbukti dengan telah diaturnya tujuan

pemidanaan dalam Pasal 2 konsep Tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 konsep

Undang–undang Hukum Pidana Tahun 1971-1972 menentukan:

(1). Maksud tujuan pemidanaan:

a)Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman

negara, masyarakat dan penduduk;

b)Untuk membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

c)Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana

(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan pada konsep

KUH Pidana Tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwa tujuan pemberian pidana

adalah:

1. Pemidanaan bertujuan untuk:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

Page 62: 09E01884.Unlocked

4 6

dari pengayom masyarakat;

b)Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan

orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

c)Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d)Membebaskan rasa bersalah para terpidana.

1. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia.

Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 1991/1992 tujuan

pidana ditentukan sebagai berikut:

(1). Pemidanaan bertujuan untuk:

a)Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum dari pengayom masyarakat;

b)Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup

bernasyarakat;

c)Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat;

d)Membebaskan rasa bersalah para terpidana.

Page 63: 09E01884.Unlocked

4 7

(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000 mengenai tujuan

pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, yaitu:

(1). Pemidanaan bertujuan untuk:

a)Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayom masyarakat;

b)Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadikannya orang yang baik dan berguna;

c)Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat;

d)Membebaskan rasa bersalah para terpidana.

(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Pengulangan (recidive) juga diatur secara umum dalam Buku I (sebagai alasan

pemberatan pidana yang umum). Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang

mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu

(diatur dalam Buku II dan III). Dikatakan ada “pengulangan” menurut Konsep (Pasal

23), apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun

sejak :

Page 64: 09E01884.Unlocked

4 8

1. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;

2. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

3. Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.

Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 132 KUHP, yaitu maksimumnya

diperberat sepertiga. Salah satu unsur yang menentukan terjadinya kejahatan residive

adalah berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana. Batasan yang dipergunakan, asal

surat dakwaan menguraikan suatu tempus delikti yang didasarkan pada perkiraan yang

bersifat fleksibel, yang mengacu pada patokan:

1)sedapat mungkin uraian tempus delikti memuat penegasan waktu yang pasti

yang berisi penjelasan jam, tanggal (hari), bulan dan tahun secara positip dan

mutlak,

2)bila uraian yang seperti itu tidak dapat dipenuhi, terbuka kebolehan untuk

menuturkan uraian tempus delikti yang bersifat perkiraan yang bercorak

dugaan di sekitar bulan dan tahun tertentu tanpa dilengkapi penjelasan jam dan

hari tertentu.

Dimungkinkan membuat uraian tempus delikti yang bersifat luas dalam

bentuk alternatip dengan mempergunakan perkataan atau kira-kira maupun atau di

sekitar tanggal, bulan dan tahun sekian. Asal tetap terpenuhi persyaratan, uraiannya

tetap cermat, jelas dan lengkap.

Page 65: 09E01884.Unlocked

97 Ibid , hlm. 82.

4 9

Dasar pemberat pidana di atas adalah terletak pada keadaan jabatan dari

kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri). Adapun rasio pemberatan pidana

pada kejahatan recidive ini terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu:

“a. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.

b.Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak

pidana yang pertama.

c.Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. ”97

Apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima)

tahun sejak :

“a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;

b.Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

c.Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.”98

Namun ketentuan tentang pemberatan pidana ini tidak berlaku untuk anakanak.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat Pasal 45, 46 dan Pasal 47 yang

mengatur penerapan hukum pidana terhadap anak-anak.

Pasal-pasal tersebut antara lain mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

Pertama, dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan

perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: (1) memerintahkan

supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtua atau walinya, tanpa pidana; (2)

Page 66: 09E01884.Unlocked

5 0

memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana; atau (3)

menjatuhkan pidana.

Kedua, jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada

Pemerintah, atau badan hukum tertentu untuk dididik, hal tersebut dilakukan paling

lama sampai umur 18 tahun. Ketiga, jika dijatuhi hukuman pidana, maksimum pidana

pokok dikurangi sepertiga; sementara terhadap yang bersalah tidak diberlakukan

hukuman mati atau hukuman seumur hidup.

Para penyusun naskah baru KUHP Nasional sudah berfikir lebih maju dengan

mencantumkan pada bagian khusus jenis-jenis pidana dan tindakan bagi anak dengan

tidak kurang dari 17 aturan, mulai dari pasal 94-a sampai dengan 94-q, dengan aturan

terpenting antara lain sebagai berikut:

Pertama, seorang anak yang melakukan tindak pidana dan belum berumur 12 tahun, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, pemberatan pidana bagi pengulangan tindak pidana tidak berlaku bagi anak-anak. Ketiga, pidana penjara yang dijatuhkan kepada seorang anak hanya dapat dilaksanakan dalam penjara yang khususdiperuntukkan bagi anak. 99

Pasal-pasal yang dirumuskan dalam naskah RUU KUHP Nasional yang baru

tersebut disusun dengan mempertimbangkan, selain aspek-aspek psikologi anak

(seperti emosional, intelektual dan mental), juga aspek-aspek lingkungan sosial yang

mempengaruhi terjadinya tindak pidana oleh anak-anak, serta penyesuaian dengan

perkembangan hukum modern yang menyangkut perlindungan hak-hak anak.

99 Mulyana W. Kusumah, Penegakan Hukum dan Hak-hak Anak, Loc. Cit.

Page 67: 09E01884.Unlocked

5

BAB III

BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG DIBERLAKUKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana

Untuk mewujudkan pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan

dibutuhkan berbagai upaya, antara lain program pelatihan bagi petugas dan

narapidana, program asimilasi yang teratur dan. mengandung manfaat tidak saja bagi

narapidana tetapi jugs bagi masyarakat.

1. Program Pelatihan Bagi Petugas dan Narapidana

Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan jadwal-jadwal

kegiatan yang dilakukan dari pagi hingga sore harinya setiap hari. Salah satu kegiatan

yang dinilai penting dan manfaatnya besar sekali adalah program pelatihan, baik

kepada petugas pemasyarakatan maupun narapidana.

Sebagai petugas mengikuti program pelatihan merupakan keharusan karena

mereka langsung berhadapan dengan narapidana. Dengan kata lain terampilnya

narapidana dalam bidang pekerjaan tertentu sangat tergantung kepada keterampilan

petugas, oleh karena itu menurut pengakuan petugas, mereka membutuhkan pelatihan

seperti pertukangan, memainkan alat musik, dan senam untuk kesehatan.

Perlunya pelatihan untuk petugas, semata-mata demi memenuhi kebutuhan

narapidana. Selama ini bentuk pelatihan yang diberikan kepada petugas hanya bersifat

insidentil dan tergantung dana proyek. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi

Page 68: 09E01884.Unlocked

5 2

Pembinaan, bahwa bentuk pelatihan yang diberikan tidak bersifat rutin, artinya kalau

dana dari proyek ada dan itupun tidak setiap tahun mendapat kesempatan, karena

dibagi secara bergilir untuk seluruh Lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya beliau tnengatakan bahwa pelatihan yang diberikan seperti pelatihan

teknis pembinaan, keamanan, kesempatan, HAM, bahkan HIV.100

Di samping itu sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang mengatakan

pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau

hanya untuk kepentingan jawatan atau kepentingan negara saja, akan tetapi pelatihan

diharapkan bermanfaat sebagai bekal hidup di masyarakat.

Sebagaimana yang dikemukakan narapidana bahwa program pelatihan

bermanfaat bagi narapidana jika diikuti dengan sungguh-sungguh dalam waktu 3

bulan, dan. sebaliknya menurut narapidana kurang bermanfaat jika tidak tidak

mempunyai modal untuk membuka usaha setelah keluar dari lembaga

pemasyarakatan.101 Hal ini menunjukkan bahwa narapidana menginginkan pelatihan

yang benar-benar berguna dan bermanfaat bagi dirinya sebagai bekal bekerja di

masyarakat, namun sering terkendala dengan modal untuk membuka usaha seperti

pertukangan atau yang lainnya.

Program pelatihan keterampilan ini ternyata mendapat respon dari narapidana,

karena narapidana berharap pelatihan torsebut dapat dijadikan bekal bekerja di

masyarakat. Di samping pelatihan keterampilan yang diberikan oleh petugas/pembina

100 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

101 Ibid

Page 69: 09E01884.Unlocked

102 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

5 3

di dalam lembaga pemasyarakatan, ada juga pelatihan keterampilan yang diberikan

oleh Dinas Sosial maupun organisasi-organisasi sosial yang datang ke lembaga

pemasyarakatan. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi Pembinaan, bahwa pelatihan

yang diberikan kepada narapidana oleh Dinas Sosial berupa kursus pertukangan

dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang berlangsung di dalam lembaga

pemasyarakatan. Selanjutnya beliau mengemukakan kalau dari organisasi sosial, dan

lain sebagainya, pelatihan yang diberikan berupa kerajinan tangan yang berlangsung 2

(dua) atau 4 (empat) hari dan paling lama 1 (satu) minggu.102

Semua peralatan menjahit, seperti mesin jahit dan alat-alat untuk pelatihan

diberikan oleh Dinas Sosial, dan gurunya juga dibawa oleh Dinas Sosial ke lembaga

pemasyarakatan. Namun hal ini tidak bersifat rutin tetapi isidentil, dalam arti jika dana

proyek dari Dinas Sosial ada, dan itupun secara bergilir untuk seluruh lembaga

pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara.

Biasanya peralatan dan alat-alat kerajinan tangan diberikan oleh Dinas Sosial

ke lembaga pemasyarakatan. Kursus atau pelatihan ini diberikan kepada narapidana

sesuai dengan jumlah narapidana yang diminta oleh Dinas Sosial maupun organisasi-

organisasi sosial, misalnya 20 (dua puluh) orang narapidana atau 40 (empat puluh)

orang narapidana.

Menurut Kepala Seksi pembinaan, kalau 40 (empat puluh) orang narapidana

yang dibutuhkan, maka yang diutamakan adalah narapidana yang akan habis masa

Page 70: 09E01884.Unlocked

5 4

pidananya, sehingga kursus atau pelatihan yang diberikannya akan berguna bagi

narapidana untuk kembali ke masyarakat. Dan biasanya peralatan yang digunakan,

diberikan kepada narapidana yang bersangkutan.103 Dengan demikian akan

bermanfaat bagi narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat. Di samping

itu, pendidikan keterampilan bertujuan antuk membentuk manusia narapidana agar

menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang akan mendapatkan lapangan kerja

yang sesuai dengan keterampilan yang mereka peroleh selama di lembaga

pemasyarakatan.104

Pekerjaan itu dapat memotivasi narapidana untuk memper-slapkan dirinya

kelak bekerja, di masyarakat dan pendidikan keterampilan itu harus sesuai dengan

pekerjaan di luar. Sebagaimana dikatakan oleh Daniel Glase :

a. That prison have difficulty Procuring enough work for all of their in mates.

b. That incentives are frequently not opi, imis fi)r motivating immates to pursue the

prison work than curt ui be most useful to them in their past release life;

c. That record of prison work performance are poor; and

d. That relatively small proportion and released prisioners find employment which

utilities their prison training.105

103 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

104 Thaher Abdullah, Pelaksatiaan Pembinaan Keterampilan Narapidana Sebagai Bekal Reintegrasi Dalam Masyarakat, Makalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Cirebon 1984, hal. 1.

105 Daniel Glaser, Prison Work and Subseguet Employment, The Sociology of Punishment and Corestion, Norman Johnston (edition) John Wiley and Sons, Inc. New York, 1970, hal. 513.

Page 71: 09E01884.Unlocked

5 5

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

a. Bahwa penjara kesulitan memperoleh pekerjaan yang cukup untuk semua

penghuni penjara;

b. Pekerjaan insentif sering tidak optimum dilakukan untuk memotivasi penghuni

penjara atau narapidana dalam melaksanakan tugas-tugasnya dipenjara yang

dapat berguna bagi mereka setelah bebas nanti;

c. Penilaian terhadap pekerjaan para narapidana sangat rendah;

d. Relatif kecilnya kesempatan bagi narapidana yang telah bebas untuk mendapatkan

pekerjaan yang sesuai dengan pelatihan yang diberikan di penjara. Memahami

pendapat Daniel Glaser di atas, jelas bahwa bukan program pelatihan saja yang

diperlukan tetapi pekerjaan yang dapat mendukung narapidana agar memiliki

motivasi. Pendapat demikian sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang tidak

selalu melihat kesalahan pelaku, sebagaimana sistem kepenjaraan. Dalam sistem

pemasyarakatan mengandung sifat pembinaan dengan melatih narapidana agar

kelak keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat menerapkan kepandaiannya

sebagai bekal hidup dan tidak lagi melakukan tindak pidana.106

Sehubungan dengan itu adanya kerja sama dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) diharapkan dapat membantu untuk menerima dan menyalurkan

tenaga kerja mantan narapidana. Saat ini LSM yang datang berkunjung ke Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, menurut Kepala Seksi Pembinaan adalah

106 C.I. Harsono, Op. cit., 1991, hal. 22.

Page 72: 09E01884.Unlocked

107 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

5 6

LSM Galatea, yang berkunjung 4 (empat) kali dalam sebulan, yakni setip hari Senin

dan Jumat minggu kedua dan minggu keempat. Kunjungan LSM ini memberikan

ceramah agama, bimbingan tentang narkoba, dan HIV AIDS. LSM ini jugs

menampung mantan narapidana khusus kasus narkoba dan mempekerjakannya di

LSM tersebut.107

Dengan demikian LSM ini bersedia membantu mantan narapidana khususnya

yang terlibat dalam kasus narkoba, karena mantan narapidana tersebut masih dapat

dibina melalui pendekatan secara individu maupun keagamaan.

Untuk itu, program pelatihan tidak sekedar memberikan kesibukan kepada

petugas dan narapidana, tetapi lebih berorientasi pada individualisasi yang

menempatkan narapidana sebagai manusia yang tersesat dan mendapatkan pembinaan

sesuai dengan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Dalam hal ini program pelatihan

setidak-tidaknya dapat mengembalikan rasa percaya diri sehingga narapidana dapat

berintegrasi dengan masyarakat.

2. Asimilasi

Meskipun narapidana kehilangan kemerdekaan selama menjalani hukuman,

narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat. Prinsip ini menghendaki narapidana tidak terisolasi di dalam tembok

Page 73: 09E01884.Unlocked

5 7

penjara serta narapidana harus melakukan kontak dengan masyarakat luar. Asimilasi

ini dijamin oleh UU No. 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j.

Asimilasi108 sebagai tujuan pemasyarakatan, cirri utamanya adalah aktifnya

kedua belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan

masyarakat. Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca

kemerdekaan, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana.

Untuk menghilangkan citra buruk lembaga pemasyarakatan dan mencegah penolakan

masyarakat terhadap bekas narapidana, maka perlu diadakan asimilasi kedalam

lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan dari keluarga dan arakat ke dalam

lembaga pemasyarakatan serta kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan

108 Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor : M, 01-PK04 10/th 1989 Tentang Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang Lepas. Pasal 1 : Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat.

Pasal 5, maksud Asimilasi adalah :a. Memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat;b. M e m p e r o l e h d a n m e n i n g k a t k a n p e r a n s e r t a m a s y a r a k a t s e c a r a

a k t i f d a l a m p e n y e l e n g g a r a a n p e m a s y a r a k a t a n P a s a l 6 , t u j u a n A s i m i l a s i a d a l a h :

a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan.

b. Memberi kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana

c. mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

Asimilasi terbagi dua yaitu : Asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk tahap III dari. proses persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah : bekeda pada pihak ketiga, balk instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri, misalnya menjadi tukang cukur, bengkel, tukang memperbaiki radio, mengikuti pendidikan dan latihan keterampilan di luar lembaga pemasyarakatan, kerja bersama masyarakat, berolafiraga bersama masyarakat.

Page 74: 09E01884.Unlocked

5 8

dengan memberikan ceramah keagamaan, penyuluhan hukum, maupun berbagai

bentuk keterampilan. Dengan adanya asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan

maka narapidana tidak merasa dirinya terasing dari lingkungan masyarakat.

Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan keluarga yang

berlangsung 2 (dua) kali dalam seminggu pada jam jam tertentu selama lebih kurang

dari 15 menit. Pentingnya arti pertemuan keluarga dengan narapidana tidak bisa

dibantah oleh siapapun karena, pengaruhnya besar sekali dalam memotivasi

narapidana.

Kunjungan keluarga dapat memulihkan rasa percaya diri narapidana sebagai

manusia yang mandiri. Dengan adanya kunjungan tersebut, narapidana tidak merasa

dilupakan oleh keluarganya, dan secara psikologis hal tersebut akan membawa

dampak positif pada diri narapidana. Kurangnya perhatian keluarga dapat

mengakibatkan narapidana frustasi, dan hal itu akan mempersulit pembinaan

narapidana.

Kunjungan keluarga kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan

merupakan kegiatan rutin yang berlangsung dua kali dalam satu minggu.

Sebagaimana yang dikemukakan Kepala Seksi Pembinaan, bahwa kunjungan

keluarga berlangsung pada hari Senin dan Kamis, yakni pagi hari dari jam 9.00 Wib

sampai dengan jam 12.00 Wib, dan sore hari dari jam 14.00 sampai dengan jam

16.00 Wib, dan waktu yang diberikan lima belas menit, tetapi bagi keluarga

narapidana yang datang dari luar kota waktu yang diberikan satu jam. Kunjungan ini

Page 75: 09E01884.Unlocked

109 Wawancara dengan Kepala Seksi Peminaan di .Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009.

5 9

dimanfaatkan oleh kedua belch pihak untuk saling tukar informasi atau menumpahkan

segala keluh kesah serta dapat melepaskan rasa rindu di antara mereka dan juga

narapidana merasa diperhatikan oleh keluarganya. Pada waktu kegiatan ini, petugas

biasanya memberi kebebasan seluas-luasnya kepada narapidana selama waktu yang

ditentukan. 109

Asimilasi khususnya keluar lembaga pemasyarakatan sebagai media

narapidana dengan masyarakat merupakan sisi penting dari pemasyarakatan. Oleh

karenanya asimilasi sangat diperlukan agar narapidana dapat menyesuaikan dari

dengan masyarakat.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa asimilasi keluar

lembaga pemasyarakatan masih terbatas pada pembebasan bersarat dan cuti

menjelang bebas. Sedangkan asimilasi dalam bentuk bekerja di luar lembaga seperti

bekerja pada pihak swasta, belum diberikan karena petugas merasa khawatir melepas

narapidana bekerja ke luar lembaga pemasyarakatan. Kekhawatiran ini wajar

mengingat tanggung jawab petugas terhadap narapidana cukup besar, terlebih lagi

jika terjadi sesuatu terhadap narapidana maka petugas dapat disalahkan.

Berasimilasinya narapidana dengan masyarakat menjadi tolak ukur bagi proses

penerimaan selanjutnya setelah bebas. Asimilasi dengan bentuk cuti, seperti dijamin

undang-undang mempunyai tujuan tertentu, apakah itu untuk mengunjungi keluarga

karena hal-hal tertentu atau untuk memenuh kebutuhan biologis semata.

Page 76: 09E01884.Unlocked

6 0

Sehubungan dengan hal itu, menurut Kepala Seksi Pembinaan proses asimilasi keluar

Lembaga Pemasyarakatan ini tidak berjalan, hal ini disebabkan petugas merasa

khawatir dengan adanya proses asimilasi ke luar lembaga dapat menyebabkan

narapidana berprilaku tidak baik karena dapat bertemu dengan teman-temannya, dan

juga khawatir narapidana akan hamil sehingga dapat menggangu keamanan dan

ketertiban lembaga.110

Sehubungan dengan program asimilasi ini menurut narapidana perlu adanya

asimilasi ke dalam maupun keluar lembaga pemasyarakatan, karena narapidana dapat

berbaur dengan masyarakat sehingga narapidana merasa tidak canggung lagi apabila

nantinya keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya menurut narapidana

asimilasi ini sangat berguna bagi narapidana karena dengan adanya kunjungan dari

organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, maupun dari lembaga sosial

lainnya, dapat memberi kegernibiraan bagi narapidana dengan adanya hiburan,

ceramah, dan menga'jarkan berbagai bentuk keterampilan lainnya.111

Dengan demikian narapidana merasa terhibur dan termotivasi untuk berbuat

baik serta berkarya dan timbul rasa percaya diri dalam diri narapidana. Namun

asimilasi ke luar lembaga pemasyarakatan masih terbatas dan terkendala. Terbatas

hanya dalam bentuk cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan

pembebasan bersyarat sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang berlaku.

110 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

111 Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

Page 77: 09E01884.Unlocked

6 1

Sedangkan bekerja di luar lembaga pemasyarakatan masih terkendala dengan. adanya

kekhawatiran dari pihak lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana maupun

kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memerdekakan narapidana. Dalam hal ini

menurut mantan narapidana yang kembali menjadi narapidana, walaupun mereka telah

bebas keluar dari lembaga pemasyarakatan, namun tetap saja masyarakat tidak mau

mempekerjakan mereka (tidak mau menerima mereka bekerja di tempatnya).112

Assimilasi sebagai salah satu cara memperkenalkan narapidana ke

masyarakat, oleh karena itu kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga

masa pidananya diberikan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Untuk itu menurut Kepala

Seksi Pembinaan pemberian cuti bagi narapidana harus ada ijin dari Tim Pengamat

Pemasyarakatan (TPP), dan adanya jaminan dari pihak keluarga narapidana serta

lurah setempat dan juga ijin dari BAPAS.113

Dengan adanya surat jaminan tersebut, maka Kepala Lembaga

Pemasyarakatan baru dapat memberikan surat cuti menjelang bebas (CMB), dan

apabila masa cutinya berakhir maka narapidana dapat melaporkannya ke lembaga

pemasyarakatan terdekat. Asimilasi lebih tertuju kepada narapidana, karena

merekalah yang memanfaatkannya. Asimilasi itu sendiri menjadi jembatan bagi

narapidana bertukar pikiran dengan keluarga. Namun saat pertemuan narapidana

112 Wawancara dengan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

113 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

Page 78: 09E01884.Unlocked

6 2

dengan keluarga, disitu dapat diketahui apakah ada keharmonisan atau terjadi

keretakan rumah tangga (renggangnya hubungan keluarga dengan narapidana).

Asimilasi sebagai media komunikasi narapidana dengan keluarga, atau

masyarakat dapat menimbulkan masalah barn, seperti adanya ajakan kawan-kawan

kembali kekebiasaan semula, serta tidak adanya pekerjaan. Asimilasi baik ke dalam

maupun ke luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana selalu dilihat untung

ruginya. Adanya sikap dan cara berfikir demikian, karena mereka berada di bawah

tekanan berupa tidak adanya kebebasan. Sehubungan dengan ini, asimilasi ke dalam

pemasyarakatan berupa kunjungan-kunjungan keluarga maupun anggota masyarakat

lainnya, sangat dirasakan manfaatnya oleh narapidana.

Selain kunjungan keluarga, asimilasi ke dalam Lembaga. Pemasyarakatan juga

sering dilakukan oleh lembaga pendidikan dan kelompok keagamaan yang ada di

masyarakat. Kunjungan itu dapat berupa aksi bakti sosial, serta penyuluhan hukum.

Maksud dari kunjungan kelompok masyarakat tersebut pada dasarnya adalah untuk

mendekatkan diri kepada narapidana. Kunjungan itu sendiri dipandang sebagai

kesempatan mendapatkan bimbingan rohani dan melepaskan keterasingan.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kunjungan dari organisasi-

organisasi sosial dan LSM juga merupakan bentuk asimilasi ke dalam lembaga

pemasyarakatan, di samping memberikan ceramah juga pelatihan keterampilan.

Perlunya asimilasi bagi narapidana sebelum kembali ke masyarakat, hal itu

bermanfaat untuk mencegah kecenderungan pemberian cap penjahat dari masyarakat

Page 79: 09E01884.Unlocked

114 Ronny Nitibaskara, Beberapa Faktor Penghambat Reintegrasi Sosial Bekas Narapidana di Indonesia, Makalah (Jakarta : Fakultas Hukum U1, 1988), hal. 3

6 3

dan ditolaknya narapidana di masyarakat. Adanya pemberi cap dari masyarakat

tersebut merupakan beban tersendiri bagi narapidana. Dikatakan demikian karena

menurut prinsip pemasyarakatan, terpidana dihukum dalam penjara tidak

dimaksudkan membuat mereka lebih jahat, namun sebaliknya mendidik agar mereka

menjadi manusia-manusia yang baik. Namun begitu mereka meninggalkan lembaga,

masyarakat menolak kehadiran dan cap sebagai penjahat tetap disandang oleh bekas

narapidana tersebut.

Adanya penolakan sosial, pengasingan dan pengucilan begitu memojokkan

mereka sehingga mengakibatkan timbulnya kembali penjahat kambuhan, hal ini

seperti dikatakan Ronny Nitibaskara :

Orang-orang ini selalu dibayang-bayangi dan dicurigai secara berlebihan oleh Penegak Hukum maupun masyarakat terpaksa memilih "comeback" bergelut dalam dunia kriminalitas yang sesungguhnya belum tentu mereka senangi. Kontrol sosial yang tidak pada tempatnya itu sangat mempengaruhi keberhasilan mereka mengisolirnya dari masyarakat umum. Terjadinya proses stigmatisasi yang menempatkan individu sebagai tidak dapat diterima atau sebagai orang yang berkelakuan salah.114

Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan proses pemasyarakatan

narapidana tidak sebatas dinding tembok penjara saja. Sebagaimana dikatakan Loebby

Loqman, bahwa proses pembinaan narapidana :

Tidak berhenti pada saat narapidana tersebut keluar dari Lembaga pemasyarakatan setelah menjalani pidananya, akan tetapi masih berlanjut di dalam masyarakat di mana bekas narapidana tersebut akan menerimanya, suatu Stigma yang sampai sekarang sulit untuk dihilangkan adalah suatu

Page 80: 09E01884.Unlocked

6 4

pendapat bahwa seseorang yang pernah dipidana, merupakan orang yang harus dijauhkan, masih terdapat di dalam masyarakat kita, dengan bukti dimintainya Surat Kelakuan Baik bagi mereka yang melamar, pekerjaan, kalau jalan ini sudah ditutup keberhasilan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang pernah melakukan kejahatan akan menonjol.115

Dengan demikian, sepatutnya masyarakat tidak menjadi hakim terakhir, karena

lembaga pemasyarakatan fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjalani pidana

tetapi juga tempat pembinaan. Di samping itu, ada kelemahan pada UndangUndang

Hukum Pidana yang tidak menegaskan bahwa bila pelaku kejahatan telah menjalani

seluruh masa pidananya, maka tidak boleh ada lagi stigma atau penolakan serta

prasangka buruk. Stigma penjahat dalam kenyataannya tidak ditujukan kepada

orangnya saja, tapi juga kepada produk barang-barang basil kerja bekas narapidanapun

cenderung menjadi sasaran.

Kecenderungan seperti ini, menunjukkan semakin sempitnya kesempatan

bekas narapidana memperbaiki dirinya. Padahal pendidikan keterampilan yang

dijalani narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, belum tentu sesuai dengan jenis

pekerjaan yang mereka jalani ketika keluar nanti. Di samping itu pula pekerjaan

semacam itu hanya dibutuhkan untuk lembaga, serta salah satu cara mencegah

rutinitas penjara.

Penilaian keberhasilan rehabilitasi tidak lagi ada pada narapidana serta

lembaga pemasyarakatan, tapi juga masyarakat. Di sini stigma atas pidana penjara

merupakan masalah utama, oleh karena itu, selesai menjalani pidana penjara, orang-

115 Loebby Loqman, 0p. cif., hal. 7.

Page 81: 09E01884.Unlocked

6 5

orang yang dijatuhi pidana penjara berupaya untuk menyembunyikan identitas sosial

mereka, sebagaimana dikatakan D. Schafmeister, di mana setiap narapidana

merasakan kebutuhan untuk, menyembunyikan identitas mereka atau untuk tetap

anonim/tidak dikenal. Kebanyakan dari mereka takut, untuk dikenal di dalam

lingkungan sosial atau lingkungan masyarakat, sebagai pelanggan penjara yang oleh

setiap orang akan selalu ditunjuk-tunjuk.116 Dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa

kecenderungan penolakan terhadap bekas narapidana hingga sekarang sangat sulit

dihilangkan. Berbeda halnya dengan perlakuan terhadap pelaku carok di masyarakat

Madura.

Carok itu sendiri diartikan sebagai suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam pada umumnya celurit yang dilakukan oleh orang laki-laki (tidak pernah perempuan) terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (balk secara individu sebagai suami maupun . secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga) terutama berkaitan dengan masalah kehormatan istri hingga membuat malo.117

Ada kecenderungan yang tinggi bahwa bekas narapidana itu ditolak kembali ke

masyarakat. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana apapun itu di mata masyarakat, maka

pelakunya setelah selesai menjalani pidana cenderung tidak diterima. Di sini ada

perbedaan yang mencolok, walaupun nyata-nyata bahwa pelaku telah melakukan suatu

pembelaan harga diri dan dinyatakan bersalah dari segi hukum pidana sebagai

tindakan membela kehormatan.

116 D. Schafrneister, Pidana badan singkat sebagai pidana diwaktu Luang, Penerjemah: Tristan Pascal Moelyono, Editor, Agustinus Pohan, Robertus BP, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal 67-68

117 A. Latief Wiyata, Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta LKIS, 2002), halaman 184.

Page 82: 09E01884.Unlocked

6 6

Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pembinaan umum narapidana.

Pembinaan umum terhadap narapidana dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a.

Tahap pertama (dimulai sejak diterima dan didaftar hingga sekurang-kurangnya 1/2

(setengah) dari sisa pidana yang harus dijalani.

1)Pada tahap ini narapidana berada dalam pembinaan dengan tingkat keamanan

maksimum dan pembinaannya dilaksanakan dalam LAPAS

2)Pembinaan yang dilaksanakan:

a) Pendidikan disiplin dapat berwujud mematuhi semua jadwal kegiatan

yang ditentukan oleh LAPAS secara umum maupun dalam

pelaksanaan program pembinaan, di samping itu diberikan pula

penyuluhan hukum

b) Pendidikan umum-pedidikan formal yang antara lain dapat berwujud:

(1)Pemberantasan 3 (tiga) buta, yaitu buta aksara, buta baca dan serta

buta angka.

(2)Pendidikan utama (SD, SMP, SLTA).

(3)Kursus-kursus atau kuliah tertulis.

c) Pendidikan agama- kerohanian-mental spiritual yang antara lain dapat

berwujud :

(1)Pelajaran atau ceramah agama.

(2)Sholat berjama’ah, kebaktian.

(3)Budi pekerti dan kepribadian.

Page 83: 09E01884.Unlocked

6 7

(4) Penataran.

d) Latihan keterampilan kerja yang antara lain dapat berwujud:

(1) Kursus montir

(2) Kursus pertukangan kayu

(3) Kursus las karbit dan las listrik

(4) Kursus lain-lainnya

e) Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya

f) Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat berwujud:

(1) Kujungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua)

kali dalam 1 (satu) minggu selama 30 menit

(2) Kunjungan badan-badan sosial, perkumpulan olah raga,

perkumpulan kesenian.

(3) Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu

g) Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya

h) Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat bewujud:

(1) Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua)

kali seminggu selama 30 (tiga puluh) menit

(2) Kunjungan badan-badan sosial, perkumpulan olah raga,

perkumpulan kesenian.

(3) Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu

i) Rekreasi yang antara lain dapat berwujud:

Page 84: 09E01884.Unlocked

6 8

(1)Olah raga

(2)Kesenian

(3)Membaca buku dan lain-lain

b. Tahap kedua

Pada tahap ini narapidana berada dalam pembinaan dengan tingkat

keamanan medium yang pembinaannya dapat dilaksanakan baik di dalam maupun

di luar LAPAS.

1. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam LAPAS berwujud sama dengan yang

dilaksanakan di dalam LAPAS pada tahap pertama dan dapat bersifat

pengulangan, penyegaran atau peningkatan dengan ketentuan:

a.Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, hadai taulan 3 (tiga) kali dalam

satu minggu, waktunya 30 (tiga puluh) menit

b.Kunjungan badan-badan sosial, perkmplan olah raga, perkumpulan kesenian

sewaktu-waktu.

c.Mengirim surat ditingkatkan menjadi 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan.

2. Pembinaan yang dilaksanakan di luar LAPAS dapat berwujud:

a.Belajar di tempat-tempat latihan kerja milik LAPAS (pertanian, perladangan

peternakan, perikanan dan lain sebagainya).

b.Bekerja (produktif) di tempat-tempat pekerjaan milik LAPAS (pertanian,

perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya).

Page 85: 09E01884.Unlocked

6 9

c.Program-program pembinaan tersebut dilaksanakan dengan pengawalan dan

kembali ke LAPAS setelah selesai.

d.Cuti 2 x 24 jam tidak dihitung waktu pulang pergi, berpakaian preman,

tanpa pengawalan, dilaksanakan setelah tenggang waktu 2 (dua) bulan.

e.Cuti berikutnya dilaksanakan masing-masing selang tenggang waktu 3 (tiga)

bulan.

c. Tahap ketiga

Tahap petiga dimulai sejak berakhirnya tahap kedua hingga 2/3 (dua pertiga)

dari sisa pidana yang harus dijalani. Pada tahap ini narapidana berada dalam

pembinaan dengan tingkat pra minimum yang pembinaannya dapat dilaksanakan di

dalam maupun di luar LAPAS:

1. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam LAPAS berwujud sama dengan yang di

dalam LAPAS pada tahap pertama dan dapat bersifat pengulangan,

penyegaran atau peningkatan dengan ketentuan:

a.Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, hadai taulan 3 (tiga) kali dalam

satu minggu, hanya waktunya ditingkatkan 45 (empat puluh lima) menit

b.Kunjungan badan-badan sosial, perkmplan olah raga, perkumpulan kesenian

sewaktu-waktu sebagaimana pada tahap pertama.

c.Mengirim surat ditingkatkan menjadi 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) bulan.

2. Pembinaan yang dilaksanakan di luar LAPAS dapat berwujud:

Page 86: 09E01884.Unlocked

7 0

a.Belajar di tempat-tempat latihan kerja milik LAPAS (pertanian, perladangan

peternakan, perikanan dan lain sebagainya).

b.Bekerja (produktif) di tempat-tempat pekerjaan milik LAPAS (pertanian,

perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya) dengan

pengawalan.

c.Berolah raga antar narapidana atau dengan perkumpulan olah raga dari luar,

baik di lapangan milik LAPAS maupun bukan milik LAPAS dengan

pengawalan.

d.Sekolah, kursus-kursus tanpa pengawalan, berpakaian bebas.

e.Beribadah (sholat Jum’at, kebaktian, pemujaan) dengan pengawalan,

berpakaian bebas.

f.Cuti 3 x 24 jam dihitung waktu pulang pergi, berpakaian preman, tanpa

pengawalan, dilaksanakan setelah tahap kedua berakhir

g.Cuti berikutnya dilaksanakan masing-masing selang tenggang waktu 2 (dua)

bulan tanpa pengawalan.

B. Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis

Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dimulai sejak

yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (rutan) sebagai tersangka atau

terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang

Page 87: 09E01884.Unlocked

118 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

7 1

pengadilan. Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses

pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani

maupun jasmani.

Secara umum tidak ada perbedaan mekanisme pembinaan narapidana biasa

dengan naarapidana residivis. Pembinaan terhadap narapidana residivis lebih

difokuskan kepada kegiatan yang bersifat mandiri, sehingga diharapakan kepada

residivis yang sudah pernah melakukan tindak pidana tidak lagi berbuat kejahatan dan

setelah keluar dari masa hukuman dapat diterima baik oleh masyarakat luar. 118

Narapidana yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, yang kemudian disebut narapidana, penempatannya di lembaga

pemasyarakatan (lapas). Lembaga Pemasyarakatan Siborong-borong memberikan

pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan

rohani WBP yang dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu:

Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk

menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan

kemandirian. Waktunya dimulai pada saat narapidana berstatus sebagai narapidana

sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan

dalam lapas dan pengawasannya maksimum (maximum security).

Page 88: 09E01884.Unlocked

7 2

Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian

sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang

pelaksanaannya terdiri atas dua bagian.

Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang

dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan. Menyadari

bahwa pembinaan WBP berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan

interaktif antara komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta

masyarakat merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta

masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya

reintegrasi WBP tidak akan tercapai bagaimanapun baiknya kualitas program-

program pembinaan yang diterapkan.

a. Untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan yang Mahaesa, sikap dan

perilaku, dijalin kemitraan dan kerjasama dengan Dapartemen Agama dan

organisasi-organisasi keagamaan lainnya.

b. Untuk meningkatkan kualitas intelektual, kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa

negara dijalin kemitraan dengan Departemen Pendidikan Nasional.

c. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme/ketrampilan, dijalin kemitraan

dengan Departeman Tenaga Kerja dan instansi pemerintah dan swasta terkait

lainnya.

Page 89: 09E01884.Unlocked

119 Lapas Narkotika Jakarta, Pembinaan Bagi Tahanan & Napi, http://hukumham. info/index. php?option=com_content&task=view&id=75&Itemid=50, diakses tanggal 10 Januari

7 3

d. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan jasmani dan rohani, dijalin kemitraan

dengan Departemen Kesehatan.119

Dalam membina narapidana, dapat digunakan banyak metode pembinaan.

Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan, agar dapat

secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan perubahan

dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau dalam

bertingkahlaku. Penyampaian materi pembinaan bukan hanya dilakukan asal dapat

menyampaikan, atau dengan kata lain berdasar kemauan penyampai materi (pembawa

materi), tetapi harus juga diperhatikan sampai seberapa jauh kesiapan para narapidana

dalam menerima materi pembinaan.

Narapidana adalah suatu masyarakat yang sangat heterogen, yang terdiri dari

berbagai macam manusia, dengan segala karakteristik, latar belakang ekonomi, sosial,

pendidikan dan lain sebagainya yang seringkali tidak sama. Dengan demikian, maka

penyampaian materi harus melihat banyak sudut pandang. Maksud pembinaan yang

sama, dapat disampaikan secara berbeda kepada beberapa narapidana. Sebab itu dalam

membina narapidana, diperlukan banyak sekali metode penyampaian materi

pembinaan, baik metode itu digunakan secara sendiri-sendiri atau digabungkan.

Pembina narapidana harus mengenal banyak metode pembinaan, sebelum

melakukan pembinaan. Pembina narapidana tidak dapat menyamaratakan pembinaan

narapidana secara sama untuk seluruh narapidana yang memiliki latar belakang

Page 90: 09E01884.Unlocked

7 4

kehidupan yang heterogen.

Penelitian awal untuk memulai pembinaan bagi narapidana, harus dilakukan

pada saat narapidana masuk atau memasuki kehidupan Lembaga Pemayarakatan atau

Rutan. Penelitian harus akurat, dengan metode yang benar, sehingga setiap narapidana

dapat menerima metode pembinaan yang dilakukan oleh para pembina.

Situasi pembinaan harus dipertimbangkan sebelum suatu pembinaan

berlangsung, baik situasi lingkungan tempat pembinaan berlangsung, atau situasi

kejiwaan dari narapidana yang dibina. Adalah sesuatu yang membuang waktu dan

biaya saja, jika pembinaan narapidana tidak memperhatikan situasi yang menyertai

pembinaan.

Situasi pembinaan seringkali tidak diperhatikan oleh para pembina, bukan saja

dalam pembinaan narapidana, tetapi juga dalam pendidikan formal di luar Lembaga

Pemasyarakatan/Rutan. Sehingga sering didengar bahwa anak didik hanya mampu

menyerap 60% dari materi pendidikan yang diberikan oleh para pendidik.

Situasi dalam membina narapidana harus diciptakan, agar narapidana dapat

larut dan mencintai materi pembinaan dengan sempurna. Situasi kejiwaan narapidana,

kekacauan pikiran terhadap segala sesuatu, misalnya terhadap keluarga di rumah,

terhadap hubungan dengan sesama narapidana, dihilangkan dan dapat dengan serius

menerima materi pembinaan dan dapat mengikuti pembinaan dengan tuntas. Beberapa

hal dari metode pembinaan, dapat diikuti dalam uraian berikut.

Page 91: 09E01884.Unlocked

7 5

1. Metode Pembinaan Berdasarkan Situasi

Dalam kehidupan sehari-hari, apakah narapidana atau orang biasa, akan

mempunyai kecenderungan untuk terpengaruh oleh situasi. Apakah situasi itu

adalah situasi alam, sosial, kejiwaan, atau yang lain. Ada orang yang menjadi malas

untuk pergi bekerja atau sekolah, karena situasi alam tidak menyenangkan, misalnya

mendung, gerimis, hujan, gempa bum!, banjir dan lain sebagainya. Namun ada

banyak orang yang sama sekali tidak terpengaruh oleh situasi tadi. Orang-orang

yang tidak terpengaruh tadi tetap bekerja, belajar, kuliah, tanpa memperhatikan

situasi alam.

Dengan menguasai situasi dalam pembinaan, dapat kita berikan dun

pendekatan dalam pembinaan, menurut kebutuhan pembinaan bagi narapidana, yaitu:

a. Pendekatan dari atas (top down approach)

Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket

pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut

menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja

menerima pembinaan dari para pembina.

b. Pendekatan dari bawah (Bottom up approach)

Pendekatan pembinaan narapidana dari bawah merupakan suatu cara

pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau

kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan

belajar yang sama, minat belajar yang sama. Semua sangat tergantung dari

Page 92: 09E01884.Unlocked

76

pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Lembaga

Pemasyarakatan/Rutan setempat. Seringkali seorang narapidana tidak tahu apa

kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. Hal ini

disebabkan narapidana tersebut tidak tahu dan tidak mengenal diri sendiri.

Kesuksesan dalam membina narapidana terletak kepada kunci para pembina

untuk mengenalkan narapidana dengan diri sendiri. Tanpa mengenal diri sendiri,

tidak mungkin seorang narapidana tahu kebutuhan belajarnya, kebutuhan

pembinaannya dan tidak tahu arah dari perubahan diri sendiri akan tertuju.

Dengan mengenal diri sendiri, seorang narapidana akan mampu menentukan

tujuan hidupnya, akan mampu menentukan arah perubahan hidupnya. Penentuan

arah perubahan diri, akan menentukan kebutuhan belajar, kebutuhan pembinaan.

Kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajar, akan mampu menentukan skala

prioritas terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan belajar, kebutuhan

pembinaan yang sangat mendesak untuk dilakukan dan mana kebutuhan belajar

atau pembinaan yang belum mendesak untuk dilakukan.

Dalam pendekatan dari bawah, seorang narapidana akan menentukan

kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajarnya sendiri. Kebutuhan pembinaan,

kebutuhan belajar akan pula ditentukan dari mana mulainya, apakah dari awal

atau mulai dari tingkat yang sedikit tinggi. Pembinaan narapidana dengan pen-

dekatan dari bawah, membawa konsekuensi yang tinggi bagi para pembina,

karena pihak pembina harus mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi

Page 93: 09E01884.Unlocked

7 7

tercapainya tujuan pembinaan. Macam pembinaan akan menjadi sangat beragam

sekali, tetapi kalau fasilitas untuk itu tidak ada, kebutuhan belajar, kebutuhan

pembinaan dapat dibatasi sesuai fasilitas yang ada.

Perbedaan yang paling menyolok antara, pendekatan dari atas dengan

pendekatan dari bawah adalah tujuan yang hendak dicapai. Dalam pendekatan

dari atas, tujuan yang hendak dicapai telah ditentukan oleh pembina, sedang

pendekatan dari bawah, tujuan yang hendak dicapai ditentukan oleh

narapidana. sendiri. Pendekatan dari atas, membuat para pembina menentukan

arah pembinaan narapidana, tujuan pembinaan, sesuai dengan keinginan

pembina. Sedang pendekatan dari bawah, narapidana telah menentukan akan

menjadi apa, sesuai dengan tujuan yang dibuatnya.

2. Pembinaan Perorangan (Individual Treatment)

Pembinaan perorangan diberikan kepada narapidana secara perorangan oleh

petugas pembina. Pembinaan perorangan tidak harus terpisah sendiri-sendiri, tetapi

dapat dibina dalam kelompok bersama dan penanganannya secara sendiri-sendiri.

Seperd halnya dalam pendidikan di sekolah taman kanak-kanak, seorang guru taman

kanak-kanak akan menggunakan pembinaan terhadap anak didik, secara kelompok,

tetapi juga secara, perorangan. Hal ini disebabkan tingkat kematangan setiap anak

didik tidak sama. Demikian pula dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan/

Rutan, tingkat kematangan intelektual, emosi, logika, dari tiap-tiap narapidana

Page 94: 09E01884.Unlocked

7 8

tidaklah sama. Ketidaksamaan ini menuntut diterapkannya pembinaan secara

perorangan.

Dalam pembinaan narapidana, pembinaan perorangan sering tidak atau kurang

diperhatikan oleh para pembina. Para pembina lebih suka mengadakan pembinaan

secara kelompok, karena pembinaan secara kelompok dianggap dan dirasa lebih cepat

penyajiannya dan lebih mudah penyampaiannya. Padahal dari segi keefektifan dan

keefisienan pembinaan, pembinaan secara perorangan akan jauh lebih mengena.

Narapidana secara, umum adalah orang yang kurang mendapat perhatian, baik

dari masyarakat maupun dari keluarganya. Sebab itu ia memerlukan perhatian yang

cukup dari petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, untuk dapat memulihkan rasa

percaya diri. Perhatian dalam pembinaan, akan membawa banyak perubahan dalam

diri narapidana, sehingga akan sangat berpengaruh dalam merealisasi perubahan diri

sendiri.

Pembinaan secara perorangan akan banyak bermanfaat jika narapidana juga

mempunyai kemauan untuk merubah dirinya sendiri. Tanpa kemauan untuk merubah

diri sendiri, akan sulit dicapai hasil pembinaan yang maksimal. Sekalipun kemauan

untuk merubah diri sendiri dapat timbul bare setelah dilakukan pembinaan secara

perorangan, tetapi hal itu akan membantu narapidana untuk mampu melakukan

perubahan bagi diri sendiri.

Pemecahan masalah sedapat mungkin tetap dibebankan kepada narapidana,

beberapa alternatif pemecahan masalah kita diskusikan bersama untuk

7 9

Page 95: 09E01884.Unlocked

diambil alternatif yang terbaik. Peran pembina hanya sebagai fasilitator, motivator,

agar setiap narapidana mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Kebiasaan

memecahkan masalah akan menjadikan narapidana mempunyai rasa percaya diri

yang lebih besar, dan akan terbiasa untuk memecahkan masalahnya sendiri di

kemudian hari, setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan.

Pembinaan perorangan terdiri dari:

a. Dari Dalam Diri Sendiri

Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri

sendiri. Munculnya kemauan untuk membina diri sendiri, setelah seseorang

mengenal diri sendiri. Bila seseorang belum radar akan diri sendiri, belum

mengenal did sendiri, tidak akan pernah muncul kemauan membina diri

sendiri. Seperti juga sering diulang dalam buku ini, mengenal diri sendiri

merupakan bagian yang pokok, yang penting dalam pembinaan narapidana,

sehingga narapidana dapat mengenal diri sendiri, dan dapat membina diri

sendiri.

Jika narapidana telah memiliki kemauan untuk membina diri sendiri,

sebenarnya dia telah mampu untuk menentukan tujuan hidupnya. Narapidana

dapat melihat kehidupan dimasa lalu, barangkali suatu kehidupan yang tanpa

tujuan, dan melihat kernasa depan, suatu kehidupan dengan tujuan yang pasti.

Kehidupan yang akan dipilihnya. Narapidana berhak untuk memilih hidup

sebagai manusia biasa, memilih hidup bukan sebagai

Page 96: 09E01884.Unlocked

80

narapidana. Semua manusia pasti tidak berharap untuk hidup sebagai

narapidana. Agar mampu untuk hidup sebagai manusia biasa, narapidana harus

mampu mengubah dirinya, harus mengenal. dirinya.

b. Dari luar diri sendiri

Pembinaan secara individual terhadap narapidana dapat dilakukan oleh

para Pembina, baik para Pembina dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan,

atau para Pembina dari luar, yaitu Pembina keagamaan, kelompok

masyarakat, atau Lembaga Swadaya masyarakat. Pembinaan dari luar diri

sendiri, dapat merupakan pembinaan yang berasal atau yang sesuai dengan

kebutuhan pembinaan narapidana, atau pembinaan dari luar yang dianggap

oleh Pembina perlu dilakukan. Pembinaan dari luar dapat berupa,

pembinaan secara umum, artinya materinya adalah materi umum, seperti

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Kesadaran hukum, Etika, Agama

dan lain sebagainya. Sedang pembinaan secara khusus dapat berupa

konsultasi pribadi, psikologi, pembinaan hukum, etika, pendidikan keahlian

dan lain sebagainya.

Pembinaan dari luar diri sendiri, biasanya didasari atas analisa dari data

pribadi seorang narapidana, yang mengharuskan seorang narapidana mendapat

pembinaan yang telah ditentukan oleh Pembina. Jadi kebutuhan pembinaan

ditentukan oleh Pembina. Dapat terjadi bahwa narapidana tidak merasa

membutuhkan jenis pembinaan itu, tetapi karena berdasar evaluasi ia harus

Page 97: 09E01884.Unlocked

81

mendapatkan pembinaan, maka ia harus menerimanya. Di sini dituntut

keahlian Pembina untuk menyampaikan materi pembinaan secara baik dan

menarik bagi narapidana, sehingga akan menghasilkan pembinaan sesuai

yang diharapkan.

3. Pembinaan Secara Kelompok (Classical Treatment)

Di samping pembinaan secara perorangan, narapidana dapat juga dibina

secara kelompok, baik menurut kebutuhan pembinaan yang ditentukan oleh pihak

pembina, atau pembinaan sesuai dengan kebutuhan pembinaan yang dirasakan

oleh narapidana. Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode

ceramah, tanya-jawab, simulasi, permainan peran, atau pembentukan tim (team

building). Pemilihan metode tergantung kepada materi yang akan disajikan,

tujuan yang hendak dicapai dari proses pembinaan. Metode yang digunakan tidak

harus berdiri sendiri, tetapi dapat digabungkan sesuai dengan kondisi pembinaan

dan tujuannya.

Dalam pembinaan secara kelompok, peran kelompok harus tetap dilibatkan,

baik secara individual maupun secara kelompok. Jadi bukan hanya pembina Baja yang

aktif, yang dibina juga harus aktif. Narapidana yang pasif harus ditumbuhkan,

sehingga ikut aktif dan berpartisipasi dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak harus

datang dari pembina, tetapi dapat juga datang dari narapidana, atau materi pembinaan

yang menjadi kesepakatan bersama.

Page 98: 09E01884.Unlocked

8 2

Dalam pembentukan tim (team building), semua anggota tim ikut aktip,

ambil bagian dalam terbentuknya suatu tim yang tangguh. Pembentukan tim

dimaksudkan sebagai cara mencari persepsi yang sama bagi anggota tim, mengenai

tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah tim. Tim dapat berupa, tim olahraga, tim

kerja, tim penyuluhan, tim kcamanan dan lain sebagainya, sesuai dengan tujuan dari

dibentuknya tim tersebut. Tim building sangat bermanfaat bagi terciptanya

kekompakan tim dan peningkatan sumber daya manusia, bagi tercapainya hasil yang

maksimal. Hanya dengan tim yang kompak dan memiliki tujuan yang sama, kerja

tim dapat efisien dan efektif.

Dalam pembinaan narapidana, untuk mencapai hasil yang maksimal,

narapidana dapat menyusun pembinaan bagi diri sendiri, baik secara sendirisendiri,

maupun secara kelompok. Dalam pembinaan secara kelompok, kita harus mampu

mengajak narapidana untuk memahani nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat

atau di kelompok, untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok.

Karena setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, narapidana akan

berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga), sehingga nilai positif yang

tumbuh dalam keluarga, kelompok, masyarakat akan sangat berguna sekali bagi

pemahaman hidup bermasyarakat, hidup dalam saling ketergantungan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa program

pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan

Page 99: 09E01884.Unlocked

120 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

8 3

kepribadian dan kemandirian. Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan

bimbingan yang perlu dilakukan adalah untuk memperbaiki tingkah laku narapidana

residivis. Ruang lingkup dari pembinaan terbagi dalam 2 bidang yaitu :

1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi :

a.Pembinaan kesadaran beragama, usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan

imannya terutama memberi pengertian agar warga binaan dapat menyadari

akibat-akibat dari perbuatannya baik perbuatan yang benar maupun yang

salah. Dalam ruang lingkup pembinaan kepribadian dalam prakteknya

diwujudkan dalam bentuk kegiatan / program sebagai berikut: 120 Mengikuti

ceramah agama pada pagi hari dan sholat berjamaah pada siang siang di

Musolla setiap harinya. Sholat Tarawih berjamaah pada bulan Ramadhan juga

Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha. Kebaktian setiap hari di Gereja bagi

narapidana yang beragama Kristen juga sembahyang di Vihara bagi

narapidana yang beragama Budha.

b.Kesadaran berbangsa dan bernergara, usaha ini dilaksanakan melalui penataran,

termasuk menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik

dan berbakti pada bangsa dan negaranya. Perlu disadarkan bahwa berbakti

pada bangsa dan Negara adalah sebagian dari keimanan dan ketaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam prakteknya kegiatan

Page 100: 09E01884.Unlocked

8 4

tersebut diwujudkan dalam bentuk mengikuti upacara Bendera setiap hari

Senin pagi.

c.Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), usaha ini diperlukan agar

pengetahuan serta kemampuan berfikir para warga binaan pemasyarakatan

semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang

diperlukan selama menjalani masa pembinaan. Pembinaan intelektual dapat

dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal.

Pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

telah ada yang ditetapkan pemerintah agar dapat diterapkan kepada warga

binaan pemasyarakatan.

Pendidikan formal yang paling mudah dan murah seperti kegiatan-kegiatan

ceramah umum dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memperoleh informasi dari luar misalnya, menonton TV, mendengar radio

yang disediakan ditempat yang khusus. Juga membaca koran, majalah, buku-

buku, novel yang ada dan tersedia diperpustakaan lapas. Untuk mengejar

ketinggalan dibidang pendidikan baik formal maupun non formal diupayakan

cara belajar melalui kejar paket A.

d.Pembinaan kesadaran hukum, dilaksanakan dengan memberi penyuluhan

hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi

sehingga sebagai anggota masyarakat mereka menyadari hak dan

kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan,

Page 101: 09E01884.Unlocked

8 5

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, kepasrian

hukum dan terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada

hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk

keluarga sadar hukum yang dibina selama berada dalam lingkungan

pembinaan maupun diselenggarakan secara langsung yaitu penyuluh

berinteraksi langsung dengan warga binaan permasyarakatan.

e. Pembinaan pengintegrasian diri dengan masyarakat, pembinaan dibidang ini

dapat juga dikatakan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan yang

bertujuan pokok agar warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai

menjalani hukumannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sekitar

dimana dia tinggal.

2. Pembinaan Kemandirian yang diberikan melalui program-program :

a.Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri pembinaan ini dapat

diwujudkan dalam bentuk kerajinan tangan, industri dan rumah tangga.

Seperti membuat hiasan dinding, membuat boneka, merangkai bunga,

membuat keset kaki dari kain perca, menerima jahitan, sulaman atau kaitan,

membuat kue, usaha salon dan memasak.

b.Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengolahan

bahan mentah menajdi bahan jadi seperti, membuat kue baik kue basah

maupun kue kering, makanan ringan ataupun menerima catering kalau ada

pesanan untuk berbagai acara.

Page 102: 09E01884.Unlocked

121 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

8 6

c.Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing dalam

hal ini bagi warga binaan yang memiliki bakat tertentu diusahakan

pengembangan bakat tersebut seperti kemampuan dibidang seni misalnya,

bernyanyi, menari, bermain gitar atau membaca puisi dan semua bakat

tersebut akan ditampilkan apabila ada acara ataupun kalau ada yang

mengundang.

d.Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian

(perkebunan) seperti, menanam ubi, jagung, sayur-sayuran maupun bunga dan

beternak ayam serta beternak itik.

Secara garis besar program pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun

kemandirian yang diberikan di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIB Siborongborong

disesuaikan dengan hobby dan bakat masing-masing dari warga binaan

permasyarakatan. Pembinaan kepribadian dan kemandirian dilakukan secara

berkelompok maupun secara perorangan. Kegiatan pembinaan tersebut berupa: 121

1. Bidang Kerohanian

Pada dasarnya pembinaan kerohanian disesuaikan dengan agama masing-

masing narapidana. Kegiatan kerohanian dilakukan setiap harinya dan bekerja

sama dengan lembaga-lembaga keagamaan.

Page 103: 09E01884.Unlocked

122 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

8 7

2.Bidang Jasmani

Melakukan kegiatan-kegiatan olah raga seperti senam kesegaran jasmani

setiap hari, senam aerobic setiap hari jum’at pagi, kemudian bermain bola

volley, tennis meja, bola kasti dan bulu tangkis.

3.Bidang Rekreasi dan Hiburan

Kepala Lembaga Pemasyarakatn Kelas Kelas IIB Siborongborong dan para

pegawai membuat acara hiburan sebagai upaya penyegaran, dimana antara

narapidana dan para Petugas terlihat seperti saudara dan saling menghibur.

Selain itu bagi yang beragama Islam dibentuk grup nasyid marhaban dan bagi

yang beragama Kristen dibentuk vocal group serta koor.

4.Bidang Pendidikan Umum

Disediakan Program Kejar Paket A dalam hal ini yang menjadi target utama

adalah narapidana yang masih buta huruf agar bisa membaca dan menulis.

Minimal narapidana tersebut sudah bisa menulis dan membaca ketika selesai

menjalani pidananya.

Untuk mendukung program pembinaan tersebut maka disediakan fasilitas-

fasilitas pendukung seperti : 122

1. Bidang Kerohanian

Adanya tenaga–tenaga yang bersifat sosial keagamaan atau dengan kata lain

lembaga pemasyarakatan mengadakan kerjasama dengan pihak luar dalam hal

Page 104: 09E01884.Unlocked

8 8

melakukan pembinaan spritual narapidana tersebut. Selain itu fasilitas

pendukung seperti musholla, gereja kecil sebagai tempat kebaktian dan vihara

kecil juga disediakan, serta diatur jadwal–jadwal kegiatan spritual yang

diadakan setiap harinya.

2.Bidang Jasmani

Disediakan lapangan olah raga, peralatan-peralatan olah raga, tape dan kaset

untuk senam kesegaran jasmani setiap pagi juga mengundang instruktur

senam aerobic dari luar untuk memimpinsenam setiap hari jumat pagi.

3.Bidang Rekreasi

Disediakan ruangan khusus (joglo) untuk menonton TV dan tempat

narapidana bersantai ria juga ruangan khusus untuk alat-alat musik seperti

gitar, keyboard dan alat-alat musik lainnya

4.Bidang Ketrampilan dan Pendidikan Umum

Ruangan khusus untuk melaksanakan Program Kejar Paket A, juga disediakan

wartel untuk mendukung program pembinaan dan pendidikan.

5.Bidang Kesehatan

Tersedianya poliklinik dengan tenaga medis 1 (satu) orang perawat kesehatan

dilengkapi dengan peralatan medis beserta obat-obatan.

Wujud pembinaan tersebut diatas merupakan wujud pembinaan yang

dilakukan di dalam Lapas yang disebut juga dengan intramural. Sedangkan

pembinaan yang dilaksanakan diluar Lapas disebut extramural yang dikenal dengan

Page 105: 09E01884.Unlocked

123 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

8 9

nama asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana yang telah memenuhi persyaratan

tertentu dengan membaurkannya ke dalam kehidupan masyarakat. Bagi narapidana

interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan

di luar lembaga permasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan

didalam lembaga permasyarakatan. 123

Dalam usaha mencapai tujuan permasyarakatn yang sasaran utamanya adalah

pemulihan kesatuan hubungan yang retak dengan masyarakatnya, narapidana harus

dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan

narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatof

sebagai akibat pengasingan selama berada dilembaga pemasyarakatn serta membantu

narapidana dalam menyesuaikan dirinya kedalam kehidupan masyarakat.

Dari gambaran tentang program pembinaan narapidana tersebut menunjukkan

bahwa pembinaan narapidana itu tidak hanya sekedar pembinaan mental spritual

belaka yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak narapidana, akan tetapi

juga dilakukan pembinaan yang sifatnya memberikan ketrampilan (keahlian). Dengan

pembinaan yang demikian itu maka sasaran yang hendak dicapai adalah agar setelah

narapidana selesai menjalani pidanya, dan kembali ke masyarakat keahlian tersebut

dapat dijadikan bekal usaha apalagi bagi narapidana yang berlatar belakang tidak

mempunyai keahlian sebagai modal kerja.

Page 106: 09E01884.Unlocked

9 0

Program pembinaan sebagaimana disebutkan di atas, jika dapat terealisir

dengan baik akan sangat bermanfaat sebagai bekal narapidana untuk kembali ke

masyarakat dengan harapan tidak mengulangi lagi perbuatan melanggar hukum. Tetapi

dalam prakteknya untuk melaksanakan program pembinaan seperti disebutkan diatas

bukanlah hal yang mudah.

Diperlukan dukungan dari berbagai pihak, juga kualitas dan kuantitas petugas

Lapas, partisipasi masyarakat baik dengan mengadaklan kerja sama dalam pembinaan

maupun dengan sikap yang menunjukkan bersedia menerima keluarga narapidana

yang telah selesai menjalani pidananya terutama anggota keluarga narapidana,

petugas permasyarakatan dan masyarakat. Dukungan fasiliyas dan dana juga

merupakan faktor yang sangat menentukan terealisasi atau tidaknya program

pembinaan yang telah diprogramkan.

Page 107: 09E01884.Unlocked

9

BAB IV

FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN UPAYA UNTUK MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN

RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong

Lembaga pemasyarakatan adalah intansi terakhir dari rangkaian sub-sub

sistem dari sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun

1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat

pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang

dilakukan harus didasarkan pada bakat, minat serta kebutuhan narapidana, di mana

kebutuhan pembinaan bagi narapidana Residivis dan narapidana non-residivis

tentunya berbeda karena narapidana residivis dapat dikatakan telah gagal dalam

menerapkan hasil pembinaan pada waktu pertama menjalani pidana di lembaga

pemasyarakatan.124

Namun demikian dalam pelaksanaan pembinaan tersebut lembaga

pemasyarakatan menghadapi beberapa faktor yang bisa menghambat berhasilnya

pembinaan antara lain belum adanya klasifikasi bagi narapidana residivis, non

resedivis, penempatannya, program program pembinaan seperti : pemberian remisi,

pembebasan bersarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, asimilasi,

124 Didik Budi Waluyo, Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Banceuy Bandung, http://www. digilib. ui.ac.id /opac/themes/libri2/metadatapdf.jsp?id=100235

Page 108: 09E01884.Unlocked

9 2

yang diperuntukkan masing-masing klasifikasi, dana pembinaan yang terbatas,

perbandingan jumlah petugas dengan narapidana yang kurang seimbang, sikap

narapidana dalam mengikuti pembinaan, dan kurangnya partisipasi pemerintah dan

masyarakat.

Untuk memberantas kejahatan maka pelaku tindak pidana dimasukan ke

dalam penjara. Harapannya, pelaku akan memperbaiki diri dan tidak mengulangi

tindak kejahatan melalui sistem pembinaan. Tapi di sisi lain, faktanya tingkat

kejahatan tidak kunjung menurun. Kejahatan justru semakin merajalela dan makin

canggih modusnya. Kalau sudah begini, sistem pembinaan harus dipertanyakan.

Terlepas dari itu, nyatanya kini terjadi peningkatan kapasitas penghuni alias over

capacity pada Lembaga pemasyarakatan (Lapas) di hampir semua lembaga

pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini menjadi hak-hak narapidana terabaikan adalah:

a. Kalangan internal (birokrasi) Lapas yang menjadikan ketenangan dan keamanan

sebagai ukuran atau parameter keberhasilan dan kinerja Lembaga

Pemasyarakatan

b. Kelebihan penghuni (over capacity) yang disebabkan adanya kebiasaan

memperlama napi dalam penjara dengan menghambat proses pemberian

pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas dan lain-lain

c. Lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan

pengawasan fungsional oleh Inspektorat Jenderal Dephukham

Page 109: 09E01884.Unlocked

9 3

d. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas).

e. Anggaran yang minim 125

Korban jiwa di pihak napi sebanyak 440 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 312

narapidana dan 128 tahanan. Penyebabnya pun beragam, dari kasus narkoba dalam

Lapas sampai tawuran antar narapidana karena Lapas yang over capacity. 126

Pihak Depkumham sepertinya tak menutup telinga terhadap catatan kedua

LSM ini. Terkait over capacity, Menteri Hukum dan HAM Andi Matalata, beberapa

waktu lalu, menyatakan akhir 2007 merupakan awal pengoperasian 20 lapas dan rutan

yang baru. Dengan total tambahan kapasitas sejumlah 9. 400 orang.

Sistem pemidanaan yang ada sekarang ini seharusnya diubah. Contohnya,

dengan mengefektifkan pidana kerja sosial dan pengguna narkoba yang ditaruh

ditempat rehabilitasi. Ia menyadari bahwa perubahan secara komprehensif ini memang

harus melibatkan pembentuk undang-undang. Seperti pidana kerja sosial dalam RUU

KUHAP. Disamping itu Pemerintah, khususnya Depkumham, harus membuat

peraturan pelaksana sebagai turunan dari UU No 12 Tahun 1995.

Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral-oriented treatment dengan

pendekatan yang berpusat pada potensipotensi yang ada, baik pada individu yang

bersangkutan (WBP) maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu

keseluruhan.127 Dalam arti pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdiri

125 Sekelumit Catatan untuk Lembaga Permasyarakatan di Tahun 2007, hukumonline. Diakses tanggal 10 Juli 2009.

126 Ibid127 Adi Sujatno, Pemasyarakatan, 2004, hlm.7

Page 110: 09E01884.Unlocked

128

9 4

dari narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan dalam

kerangka kemasyarakatan adalah pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek,

sehingga yang dipentingkan dalam upaya pemulihan kesatuan hubungan ini adalah

prosesnya yaitu proses interaktif yang didukung dengan program pembinaan yang

sesuai untuk itu. Tegasnya Sistem Pemasyarakatan menjembatani proses kehidupan

negatif antara narapidana dengan unsur-unsur masyarakat melalui pembinaan,

perubahan menuju kehidupan yang positif.

Secara singkat Sistem Pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana

penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang

kemerdekaan.128 Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan Sistem

Pemasyarakatan sejak lebih dari 35 tahun semakin mantap dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Secara tegas dalam

Pasal 1 ayat (2) UU No.12 Tahun 1995 disebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan

adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu

antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga

Binaan Pemasyarakatan. Agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat

berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang

baik dan bertanggung jawab.

Page 111: 09E01884.Unlocked

9 5

Dalam melaksanakan pembinaan Lapas terdapat faktor-faktor yang mendapat

perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan lebih lagi yang perlu

diperhatikan yakni apabila terdapat sebagai faktor yang menjadi kendala. Munculnya

kendala-kendala tersebut tentunya perlu untuk segera dicari pemecahannya agar dalam

proses pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan

baik dan lancar.

Secara umum, beberapa hambatan yang berhubungan dengan pembinaan

narapidana residivis dapat dibagi menjadi:

1. Dana

Dana merupakan faktor utama yang menunjang untuk pelaksanaan pembinaan

anak didik pemasyarakatan dalam pelaksanaannya maka dibutuhkan peralatan dan

bahan-bahan. Sebab program pembinaan tidak hanya 1 (satu) macam saja melainkan

banyak macamnya sesuai dengan bidang minat maupun pekerjaan atau keterampilan

yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan dan kepentingan bagi napi setelah mereka

keluar dari Lapas.

Kurang atau tidak adanya dana menjadi salah satu faktor penyebab yang menjadi

faktor penghambat bagi pelaksanaan pembinaan, karena dapat mengakibatkan tidak

berjalan dan tidak terealisasinya semua program pembinaan bagi anak didik

pemasyarakatan karena sangat minimnya dana yang tersedia

Page 112: 09E01884.Unlocked

129 Nur Rochaeti, Pembinaan narapidana di LP Kedung Pane Semarang, Majalah Hukum Undip, Semarang, 2004, hlm.90.

9 6

2. Sikap/prilaku petugas

Dalam pembinaan, petugas mempunyai peran yang sangat penting. Hal yang

menjadi dasar yang dapat mempengaruhi pola perilaku dan bertindak para petugas

tentunya berupa tingkat pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan sistem

pemasyarakatan itu sendiri. Sehingga petugas dituntut untuk dapat mengerti tentang

persoalan-persoalan yang timbul demi lancarnya proses pembinaan tersebut.129

Proses pemasyarakatan pidana dapat memberikan output positif, bila

didukung oleh sikap/perilaku petugas yang mempunyai visi tentang

pemasyarakatan, khususnya tugas-tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1995. adapun tugas yang dijalankan adalah di bidang pembinaan,

pengamanan dan pembimbingan.

Hasil wawancara dengan petugas Lapas Klas IIB Siborong-borong

menyatakan bahwa ada beberapa kendala pembinaan sehubungan dengan kinerja

petugas. Dengan alasan gaji yang tidak mencukupi petugas menetapkan pungutan

tertentu kepada keluarga yang mengunjungi narapidana. Bila hal ini terjadi maka

segala macam barang-barang terlarang, seperti alat komunikasi, obat-obat terlarang

dapat masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Kaburnya narapidana dari lembaga

pemasyarakatan menjadi bukti petugas tidak lagi mementingkan tanggung jawabnya.

Page 113: 09E01884.Unlocked

130 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

9 7

3. Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan

Keberhasilan pemasyarakatan narapidana tidak terlepas dari sarana/prasarana

yang tersedia. Dalam hal ini sarana yang dimaksud pun harus mengacu kepada The

Standar Minimum Rules, apakah itu kamar tidur atau kamar berventilasi, air serta

lampu penerang kamar. Makanan yang bersih dan sehat, sarana kesehatan seperti

rumah seperti rumah sakit dan fasilitas olahraga. Semua itu bertujuan untuk

mendukung jalannya pembinaan. Oleh karena itu ketersediaan sarana merupakan salah

satu ukuran berhasilnya sistem pemasayarakatan.

Kurangnya peralatan atau fasilitas baik dalam jumlah dan mutu juga

banyaknya peralatan yang rusak menjadi salah satu faktor penghambat untuk

kelancaran proses pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana, karena dari semuanya

itu tidak tertutup kemungkinan faktor tersebut menjadi penyebab tidak aman dan

tertibnya keadaan di dalam penjara.

Terbatasnya sarana/prasarana di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi penghambat dalam implementasi ide individualisasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Hal seperti ini dikemukakan oleh petugas lembaga kemasyarakatan, bahwa sarana/prasarana yang ada di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi penghambat dalam melakukan pembinaan. 130

Di samping itu narapidana juga merasakan manfaat sarana yang diperlukan,

namun apabila sarana tidak tersedia sangat mungkin menjadi hambatan. Adapun

sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh narapidana di lembaga pemasyarakatan,

Page 114: 09E01884.Unlocked

9 8

seperti rumah sakit, dokter, peralatan keterampilan, sarana olah raga, serta makanan

yang layak.

4. Narapidana

Keberhasilan dari terlaksananya program pembinaan terhadap napi tidak hanya

tergantung dari faktor petugasnya, melainkan juga dapat berasal dari faktor napi itu

sendiri juga memegang peran yang sangat penting. Adapun hambatanhambatan yang

berasal dari narapidana antara lain :

a.Tidak adanya minat

b.Tidak adanya bakat

c.Watak diri131

5. Sumber daya manusia

Setiap pembinaan di lembaga pemasyarakatan, bertujuan untuk mempersiapkan

narapidana kembali ke masyarakat dengan bekal pendidikan dan latihan yang

diterimanya di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu peran narapidana,

petugas dan masyarakat, sangat dibutuhkan agar pembinaan berhasil. Dalam hal ini

baik narapidana maupun petugas saling berinteraksi agar program pembinaan dapat

berjalan. Untuk narapidana dan petugas sebagai sumber daya manusia yang terlibat

dalam hal ini harus menyadari peranannya dalam berlangsungnya proses pembinaan.

131 Rommy Pratama, Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Residivisme, http://rommypratama.blogspot.com/2009/03/sistem-pembinaan-para-narapidana-untuk.html, diakses tanggal 02 April 2009.

Page 115: 09E01884.Unlocked

9 9

Kondisi yang terjadi di lembaga pemasyarakatan, pola pembinaan bagi

narapidana biasa tidak dibedakan dengan pola pembinaan residivis atau narapidana

lainnya. Di samping jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana,

kualitas petugas juga tidak memadai untuk melakukan pembinaan.

Secara umum, pembinaan di lembaga pemasyarakatan tidak dapat berlangsung

maksimal, karena petugas yang merangkap sebagai pembina di lembaga

pemasyarakatan tidak mengerti fungsinya sebagai pembina. Minimnya pengetahuan

petugas dalam membina narapidana, ditambah lagi kurangnya kursus-kursus

keterampilan yang diberikan kepada petugas dalam menunjang program pembinaan,

menyebabkan program pembinaan berlangsung seadanya berdasarkan pengetahuan

dan pengalaman petugas.

Kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan

oleh anggaran maupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Tetapi diperlukan program-

program pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga

dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal

keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas.

6. Kesejahteraan petugas

Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di

Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena

keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas

pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang

Page 116: 09E01884.Unlocked

100

dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan

malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor

kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya

pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.

7. Masyarakat dan pihak korban

Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung

menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan

berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan

lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali

lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.

B. Peranan Hakim Pengawas Dan Pengamat Dalam Masalah Pembinaan Dan Pengamatan Narapidana

Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI) menengarai kelebihan kapasitas lapas

tidak hanya disebabkan oleh buruknya sistem pemenjaraan, tetapi juga dipengaruhi

pandangan untuk memelihara napi selama mungkin dipenjara. Caranya, dengan

mengabaikan hak-hak narapidana, seperti hak asimilasi dan pembebasan bersyarat

(PB). Hak itu sering diabaikan tanpa alasan yang jelas.

Sebagai contoh kasus: Susongko, yang tersandung kasus korupsi di KPU,

mencontohkan pengalamannya saat ditahan. Ia menuturkan selama menjalani

hukuman ia tidak pernah mendapatkan asimilasi. Padahal SK Asimilasinya sudah

Page 117: 09E01884.Unlocked

132

101

turun dari Kanwil. Tidak hanya itu, proses pemberian pembebasan bersyarat pun

terlambat. Menanggapi hal itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Dephukham,

Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pelanggaran hak narapidana disebabkan karena

buruknya sistem koordinasi antara aparat penegak hukum.132 Contohnya saat masa

tahanan narapidana habis, pihak lapas sudah memberitahukan kepada Kejaksaan pada

H-10 atau H-3. Tetapi Jaksa tidak melakukan eksekusi. Masalahnya Lapas tidak

mungkin membebaskan orang tanpa eksekusi dari Jaksa.

Begitu juga dengan konsep Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) yang

tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Harkristuti seharusnya hakim tersebut

melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan dari hukuman seorang narapidana. Itu

sebagai bentuk akuntabilitas hakim. Hakim yang memasukan orang ke penjara. Jadi

dia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukumannya.

Sebagai penengak hukum yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak

pidana, tidak berhenti tugasnya. Tugas Hakim sebagai pengawas dan pengamat,

sebagaimana diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 Undang-undang No. 8

Tahun 1981 tentang KUHAP yang menghendaki adanya tanggung jawab moral

Hakim yang mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam

penjara.

Dalam hal ini, Hakim Pengawas dan Pengamat menitik beratkan

pengawasannya, antara lain apakah narapidana memperoleh remisi, assimilasi, cuti,

Page 118: 09E01884.Unlocked

102

lepas bersyarat, integrasi, perawatan kesehatan, jika Hakim pengamat berpendapat

pembinaan dan perlakuan yang diberikan kepada narapidana kurang baik, ia dapat

menyarankan kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan usul-usul perbaikan. Di

samping itu, tugas lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari terjadinya

pelanggaran atas hak-hak terpidana. Oleh karena itu, Surat Edaran MA No. 7 Tahun

1985 menggariskan perlunya diadakan Chekking on the Spot paling sedikit tiga bulan

sekali.

Bagi masyarakat, Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar tempat

pembinaan, tetapi wujud dari kekejaman manusia. Sisi buram dari Lembaga

Pemasyarakatan mengharuskan dia berjalan bagaikan kapal tua yang sarat

penumpang, yang sewaktu-waktu dapat tenggelam. Untuk menyelamatkannya, mau

tidak mau Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur penjara, seperti mengganti

bangunan lama, menyediakan fasilitas kesehatan, kamar tidur, serta penyediaan

tenaga medis, meningkatkan kualitas petugas, dan yang utama lagi adalah

peningkatan peran Hakim Pengawas dan Pengamat .

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) juga meyoroti kinerja

Lapas. KRHN menilai pemenuhan hak-hak narapidana masih jauh dari harapan.

Padahal, hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan telah diatur dalam UU No. 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, International Covenant on Civil and Political

Rights (ICCPR) dan lain-lain . Bahkan, di Tahun 1955, PBB telah mengeluarkan

Page 119: 09E01884.Unlocked

103

Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners atau Peraturan-Peraturan

Standar Minimum bagi perlakuan terhadap narapidana.

Pengumpulan data-data yang lengkap mengenai diri terdakwa tidak saja akan

bermanfaat bagi keperluan pemidanaan, akan tetapi juga bagi keperluan pembinaan

dan pengamatan narapidana itu selama dalam lembaga pemasyarakatan dan setelah

keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dengah hal-ihwal yang lengkap itu Hakim

Pengawas dan Pengamat beserta pejabat lembaga pemasyarakatan akan dapat

mengarahkan pembinaan dengan lebih tepat lagi. Berdasarkan Undang-undang

Hukum Acara. Pidana No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan pada tanggal 31

Desember 1981 itu hakim. mendapat "tambahan". tugas untuk melakukan peng-

awasan dan pengamatan. Pasal 277 mengatur:

1. Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk

membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap

putusan . pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.

2. Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas

dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun. .

Pengamatan yang ditugaskan kepada hakim itu tidak hanya terhadap narapidana

yang berada dalam lembaga pemasyarakatan, akan tetapi diperluas sehingga meliputi

narapidana setelah selesai menjalani pidananya. Pasal 280 KUHAP mengatur :

1. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guns memperoleh

kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Page 120: 09E01884.Unlocked

104

2. Hakim pengawas clan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian

demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan yang diperoleh dari perilaku

narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-

balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.

3. Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat , (2) tetap dilaksanakan setelah

terpidana selesai menjalani pidananya.

4. Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 berlaku

pula bagi pemidanaan bersyarat.

Suatu hal baru lainnya yang terkandung dalam Pasal 280 ayat 2 ialah

kewajiban yang dibebankan kepada hakim untuk mengadakan penelitian dan

selanjutnya memberikan saran-saran kepada, ketua pengadilan negeri mengenai

pemidanaan. Di sini hakim, pengawas dan pengamat mempunyai peranan penting

karena selain turut berkecimpung dalam cara-cara, pembinaan dan pengamatan

narapidana, juga ia dapat membantu memperbaiki "sentencing policy" hakim pidana.

Agar tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik seharusnya setiap, hakim

pengawas dan pengamat mempunyai program pembinaan dan pengamatan yang baik

dan kontinu, yang dapat disusun bersama-sama dengan pejabat lembaga, pemasya-

rakatan. Pasal 282 mengatur: "Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan,

hakim pengawas dan pengamat dapat memblearakan dengan kepala lembaga

pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. "

Page 121: 09E01884.Unlocked

105

Pasal-Pasal dalam KUHAP beserta penjelasannya, tidak mengatur lebih

terperinci bagaimanakah pembinaan dan pengamatan narapidana itu harus

dilaksanakan. Di dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana sepintas lalu dijelaskan bahwa: Hakim yang bertugas khusus tersebut

melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana selama menjalani

pidana penjara/kurungan dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai

pelaksana dari putusan hakim pengadilan negeri tersebut, tentang kelakuan masing--

masing maupun tentang perlakuan para petugas pengsuh dari lembaga

pemasyarakatan tersebut terhadap diri para narapidana yang dimaksud. Hakim

pengawas dan pengamat tersebut ditunjuk untuk waktu dua tahun.

Dengan ikut campurnya Hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka

selain Hakim akan dapat mengetahui sampai di mana putusan pengadilan itu tampak

hasil baik buruknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan, juga

penting bagi penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada

umumnya. "

Setiap tahun ribuan narapidana dilepas dari Lembaga, Pemasyarakatan karena

telah selesai menjalani masa pidananya, atau dilepas bersyarat sebelum masa

pidananya berakhir. Untuk dapat mengetahui berhasil atau tidaknya pembinaan selama

di dalam, Lembaga Pemasyarakatan, dapat dilihat persentase residivis (rate of

recidivism). Jika persentase residivis kecil maka dapatlah dikatakan bahwa program

pembinaan yang telah dilakukan cukup berhasil. Namun sebaliknya apabila

Page 122: 09E01884.Unlocked

106

persentase residivis besar maka program pembinaan dianggap kurang berhasil.

Masalah yang diatur dalam Pasal 280 ayat (3) menentukan bahwa

pengamatan terhadap narapidana setelah selesai menjalani pidananya merupakan

ketentuan baru yang tidak diatur dalam KUHP maupun HIR dahulu. Ketentuan

mengenai pengawasan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan sebelum masa

pidana berakhir yaitu dalam hal diberikan pelepasan bersyarat sebagaimana diatur

dalam Pasal15 s/d 17 KUHP. Pasal 15 menentukan:

a. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang

dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka

kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani

beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.

b. Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa, percobaan,

serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa

percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,

ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang baru, maka waktu itu

tidak termasuk masa percobaan. Di dalam Pasal 15 KUHP itu, diatur dengan jelas

masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama, masa percobaan,

sedangkan di dalam Pasal 280 (3) hal-hal tersebut tidak diatur. Sehubungan dengan

prosentase residivis yang cukup tinggi di beberapa wilayah hukum, kiranya hal itu

perlu mendapat perhatian yang lebih khusus lagi dari hakim yang menjatuhkan

pidana maupun hakim pengawas dan pengamat. Selain

Page 123: 09E01884.Unlocked

107

daripada itu penggunaan pelepasan bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal

15/KUHP sebaiknya dilaksanakan dengan lebih hati-hati lagi.

Sehubungan dengan gagasan pemasyarakatan bagi narapidana di Indonesia

maka dalam rangka pembinaan, oleh Direktorat Pemasyarakatan pada tanggal 8

Pebruari 1965 telah dikeluarkan Surat edaran No.: 10.13/3/1, dimana diinstruksikan

agar dalam membina para tunawarga perlu diperhatikan pendapat dan penjelasan dari

pihak Instansi yang bersangkutan seperti Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri,

POLRI, Kepala Desa, dan lain-lain. Pertanyaan yang tercantum dalam formulir

keterangan yang dikirimkan kepada pejabat tertentu ialah :

1. Bagaimana kesan Saudara pada waktu narapidana tersebut diperiksa perkaranya

dimuka sidang pengadilan? (Penjelasan atas perbuatannya apakah is seorang

yang lekas marsh, naik darah, suka mendusta, dan sebagainya)

2. Peranan apa yang diambil olehnya dalam perbuatan itu? Apakah ia sudah

berulang-ulang melakukan atau tersangkut sesuatu perbuatan yang dapat

dihukum?

3. Motif apakah yang mendorong sehingga ia melakukan kejahatan itu? (Karena

lalai, sengaja, terpaksa, direncanakan sebelumnya, dsb.)

4. Bagaimanakah menurut pendapat Saudara jika : narapidana tersebut. sudah

menjalani 2/3 dari mass pidananya dan telah memenuhi syarat-syarat lainnya

nanti diusulkan untuk mendapatkan pelepasan bersyarat (V. I.) sehingga yang

dimaksud bunyi pass 15 (1) KUHP karena selama berada. dalam Lembaga

Page 124: 09E01884.Unlocked

108

Pemasyarakatan ia berkelakuan baik dan menyesali serta menginsyafi

perbuatannya.

Sebetulnya keterangan-keterangan yang diperlukan oleh Lembaga

Pemasyarakatan akan dapat dijawab dengan mudah apabila bagi setiap putusan

pidana (terutama yang pidananya lebih dari satu tahun) telah diberikan data-data atau

pertimbangan yang lengkap, yang dengan cepat dapat dilihat dari berkas perkaranya.

Untuk pelepasan bersyarat, tentunya diperlukan data-data atau informasi lebih

lengkap lagi, karena selain ada perubahan dari tingkah laku dari terpidana selama

dalam pembinaan harus dilihat juga faktor-faktor extern lainnya yang positip dan

negatip.

Suatu hal lainnya yang harus diperhatikan ialah bahwa keterangan yang

diberikan oleh pejabat-pejabat tersebut tidak akan efektif lagi apabila diminta setelah

kasus itu lama diselesaikan.

Hal ini mungkin terjadi apabila terpidana atau penuntut umum mengajukan

banding dan kasasi, yang prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Mengingat

waktu yang lama itu dan banyaknya perkara yang serupa yang dihadapi setiap hari,

tentu-nya mereka sudah tidak dapat mengingat dengan pasti lagi hal-hal yang

berkenaan dengan terpidana tersebut, terlebih lagi apabila hakim atau pejabat yang

bersangkutan telah pindah kelain tempat.

Mengenai pelepasan bersyarat ini kantor Besar Jawatan Kepenjaraan

Departemen Kehakiman pada tanggal 25 Pebruari 1964 telah mengeluarkan Surat

Page 125: 09E01884.Unlocked

109

Edaran No. JH. 7. 4/319 yang ditujukan kepada Kepala Inspektorat Kepenjaraan

Daerah I s/d IX, Direktur, Direktorat Kepenjaraan Daerah, dan Pemimpin

Kepenjaman aerate di Indonesia yang berisi : "Berhubung usul-usul kelepasan

bersyarat yang diterima banyak sekali yang kurang memenuhi Surat Edaran No. J. H.

7. 4/2/101 tanggal 7 Agustus 1957, hingga mempersukar pertimbangan dan mem-

perlambat putusan maka dengan ini sambil sekedar menyegarkan kembali soal

kelepasan bersyarat, diminta dengan hormat tetapi sangat, hendaknya usul kelepasan

bersyarat ini dilengkapi dengan Salinan-salinan surat-surat vonis semuanya.

a. Keterangan asli dari hakim, tentang sikapnya diwaktu sidang dan motif apa yang

mendorong pelanggaran itu.

b. Kemampuannya keluarga narapidana yang bersangkutan dan/ atau kemampuan

yang sanggup menerimanya, berupa apa (asli keterangan ini hams dari pamong

praja setempat).

c. Keterangan asli kesanggupan dari yang akan menerimanya.

d. Keterangan ash dari pamong praja dan polisi untuk menerimanya didaerah serta

sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya.

e. Keterangan ash dari pamong praja tentang riwayat hidupnya.

f. Keterangan asli dari Direktur/Kepala Kepenjaraan tentang riwayat hidupnya

dengan mengirimkan/mengisi risalah pemasyar4katan seperti contoh terlampir.

g. Daftar huruf "F".

h. Daftar perobahan.

Page 126: 09E01884.Unlocked

110

i. Keterangan kesehatan.

j. Keterangan asli tidak keberatan dari Jawatan Imigrasi setempat, jika mengenai

narapidana yang bukan warga negara Indonesia.

Berhubung waktu sekarang banyak pelanggaran hukum yang bukan warga

negara Indonesia dan untuk mempermudah mendapatkan syarat No. 12 dari usul

kelepasan bersyarat tersebut, maka sesuai dengan surat edaran No. J. H. 7/226 tanggal

8 Pebruari 1964 diharap jika Saudara menerima narapidana yang bukan warga negara

Indonesia, segera melaporkan kepada diri ke :

1. Nama

2. Tempat tinggal terakhir

3. Pelanggarannya

4. Lama pidananya dan

5. Putusan Pengadilan Negeri apa dan dimana".

C. Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborong-borong

Jika melihat perkembangan penologi saat ini sudah ada pemikiran bahwa

melakukan penghukuman tidak harus di dalam lembaga permasyarakatan. Akan tetapi

penghukumannya di dalam masyarakat itu sendiri sehingga muncul pidana alternatif

dengan cara bekerja sosial atau membayar denda dengan sejumlah uang

Page 127: 09E01884.Unlocked

111

tertentu kepada Negara.133

Dari berbagai kendala dalam pembinaan narapidana, maka upaya- upaya yang

dapat dilakukan terhadap narapidana adalah sebagai berikut:

Secara umum, beberapa hambatan yang berhubungan dengan pembinaan

narapidana residivis dapat dibagi menjadi:

1. Dana

Dalam mengatasi kendala dana yang kurang, maka harus diupayakan kenaikan

anggaran dan mencari pihak lain sebagai pemodal. Biasanya pemodal melatih

narapidana ketrampilan dan hasilnya dapat dijual. Keuntungannya biasanya akan

dibagi.

2. Sikap/prilaku petugas

Petugas hendaknya berlaku adil kepada seluruh narapidana, tanpa

membedakan status sosial, ekonomi dan yang lainnya, sehingga narapidana dapat

menerima bentuk pembinaan yang dilakukan oleh petugas.

Petugas pemasyarakatan harus terus menerus bertingkah laku baik dan

melaksanakan kewajiban mereka sedemikian rupa untuk memberi teladan kepada

narapidana dan membangkitkan penghormatan mereka.

133 Ghali Zakaria, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia Belum Tersentuh Semangat Reformasi Dan Kebangkitan Nasional”, http://klipinglakota.blogspot.com/2008/06/sistem pemasyarakatan- indonesia-belum.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.

Page 128: 09E01884.Unlocked

112

3. Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan

Hendaknya sarana dan prasarana yang mendukung program pembinaan bagi

residivis dan narapidana di Lapas segera dilengkapi. Pemenuhan sarana dan prasarana

4. Narapidana

Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke

lembaga pemasyarakatan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan,

juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam

lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga

tentang hak dan kewajiban narapidana.

Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib

diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional

pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah

narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan

perilaku patuh “hukum” (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki

kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas

yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi

penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas

beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana.

5. Sumber daya manusia

Kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan

oleh anggaran maupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Tetapi diperlukan program-

Page 129: 09E01884.Unlocked

113

program pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga

dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal

keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas.

Selain itu hendaknya mengikuti pelatihan yang diadakan khusus bagi petugas

agar dapat memberikan materi yang baik pada narapidana.

6. Kesejahteraan petugas

Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di

Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena

keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas

pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang

dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan

malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor

kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya

pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.

7. Masyarakat dan pihak korban

Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung

menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan

berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan

Page 130: 09E01884.Unlocked

114

lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali

lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.

Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan

lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas

bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan

bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundang-

undangan yang berlaku. Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas

akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana.

Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga.

Pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat

lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur

dalam instrumen nasional.

Page 131: 09E01884.Unlocked

11

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di

Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan

areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa

pketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan

mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.

Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan

sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang

merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara.

2. Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu

bentuk pembinaan perorangan (pembinaan individual) dan pembinaan

kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi dengan dua cara, yaitu

pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

3. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong adalah Kalangan internal (birokrasi),

Page 132: 09E01884.Unlocked

116

Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan

melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional oleh Inspektorat

Jenderal Dephukham, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas

pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim

Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam

pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Siborongborong dilakukan dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat

proses pengeluaran narapidana,

B. Saran

1. Untuk memudahkan aparat penegak hukum (criminal justice system) seperti

Polisi, Kejaksaan, Pengadilan dan Petugas Pemasyarakatan dalam menentukan

status residivis seseorang, maka hendaknya diberlakukan sistem database online

yang berlaku di seluruh Indonesia. Dengan adanya database online tentang data-

data narapidana, maka dapat dilihat apakah seseorang pernah melakukan

kejahatan yang sama di tempat lain.

2. Agar program pembinaan terhadap narapidana berjalan dengan baik, perlu

ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga

petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang

berkaitan dengan kegiatan keterampilan

Page 133: 09E01884.Unlocked

117

3. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan

ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah, mengingat pengabdian yang

mereka berikan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan untuk kepentingan

mereka sendiri

4. Agar pelatihan ketrampilan yang dilakukan di Lapas dapat berhasil guna,

hendaknya dilakukan kerjasama dengan instansi lain untuk memasarkan hasil

produk napi di Lapas, apabila ada produk yang dihasilkan.

Page 134: 09E01884.Unlocked

11

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Abidin, Zainal Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Cet I, Sinar Grafika: 1995

Ahcmad Soemadipradja, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bandung Bina Cipta, 1979

Arif, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali, 1990

Atmasasmita, Romli, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, Bandung: Alumni 1997

Bawengan, Gerson, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori dan Praktik, Jakarta, Pradnya Paramita: 1979.

Bemmelen, Mr. J. M. Van, Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier, diterjemahkan oleh Hasnan, Bandung, Binacipta, Cet ke 2: 1991.

Cole F. George: The American System of Criminal Justice, 4th Edition, Monterey, California, Brooks / Cole Publishing Company: 1986.

Dirdjosisworo, Soedjono, Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Bandung: Armico, 1984

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Pemasyarakatan Dalam Prospeksi Membangun Manusia Mandiri (Renstra Ditjen Pemasyarakatan Tahun 2001-2005)

Ensiklopedia Of Criminal susunan Fernon C. Barnham

Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, Cet I: 1995

Gunarso Singgih, Perubahan Sosial dalam Masyarakat: Makalah yang disampaikan dalam Seminar Keluarga dan Budaya Remaja di Perkotaan, Pusat Antara Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta: 1989

Harsono, H. S. C. I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995

Page 135: 09E01884.Unlocked

119

Jonkers, Mr. J. E. Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Judul asli: Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Jakarta, P. T. Bina Aksara Cet Pertama: 1987

Kapita Selekta, Hukum Pidana Dan Krimonologi, Bandung:MandarMaju, 1995

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, bagian kedua ; Balai Lektur Mahasiswa

Ketetapan MPR RI. No. II / MPR / 1993 Tentang Garis-Garis Haluan Besar Negara.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Koesnoen, S. H. Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia, Bandung, Sumur Bandung: 1964

Kosnoen, R. A, Politik Penjara Nasional, Bandung: Sumur, !961.

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, cet Pertama: 19984

Lopa, Baharudin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987

Makarao, Taufik Mohammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung:Alumni, 1992

Musychan, Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992

Panjaitan, Petrus, Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., 1995

Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986

Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1998

Page 136: 09E01884.Unlocked

120

PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan

PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Rancangan Undang-Undang KUHP yang dikeluarkan oleh Direktorat Perundang-Undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan Perundangan-undangan, 1999-2000.

PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

__________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan,Buku ke Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1994.

Nawawi, Barda, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung Alumni, Edisi Kedua, cetakan ke-2: 1998

Kapita Selekta, Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Cet. II 2002

Barda Nawawi Srief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Cet ke-1: 1992.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet kelima, Jakarta, PT. Rineka Cipta: 1993.

Praja, R. Achmad Soema DI, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung Penerbit Alumni: 1982.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung PT. Eresco Jakarta, cet ke-3: 1981

Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1992.

Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Medan:Monora, 1977121

Page 137: 09E01884.Unlocked

Soekanto, Soerjono dan Puji, Santoso, Kamus Kriminologi, Jakarta:Ghalia, 1985

Soemadipraja, R. Ahmad S, dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, Bandung: Bina Cipta 1979

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung:Alfabeta, 2005

Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001

Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana ; Kumpulan Karangan Buku Ketiga; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Cetakan ketiga: 1999.

Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan ; Kumpulan Karangan Buku Kesatu; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997.

Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pidana ; Kumpulan Karangan Buku Keempat; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997.

Reksodiputro, Mardjono, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Kumpulan Karangan Buku Kelima; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan

PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan