14_02 Pengadaan Bahan Baku (Glpiso 17025) Herbal Penerapan Who Standardization Herbal Medicine Dan Qaqc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pengadaan bahan baku

Citation preview

TUGAS FARMASI FORENSIK

PENERAPAN SAINS FARMASI PADA TUPOKSI APOTEKER DALAM PENGADAAN BAHAN BAKU (GLP/ISO 17025) HERBAL PENERAPAN WHO STANDARDIZATION HERBAL MEDICINE DAN QA/QCDI INDUSTRI OBAT HERBAL

Herlina Heni Septiani Alberthus (1408525002)Comment by SVP: Analisa tupoksi berdasasrkan perUU telah lengkap, analisa kebutuhan QA/QC mengacu pada WHO herbal standard dan kebutuhan ISO 17025 tentang pengelolaan laboratorium belum cukup sempurna. Kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan kompetensi tersbut masih belum diulas dengan lengkapNilai75

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKERJURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS UDAYANA2015BAB IPEDOMAN YANG MENDASARI APOTEKER DALAM PENGADAAN BAHAN BAKU (GLP/ISO 17025) HERBAL PENERAPAN WHO STANDARDIZATION HERBAL MEDICINE DAN QA/QC DI INDUSTRI OBAT HERBAL

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.4.1380, yang dimaksud dengan obat herbal atau obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku.Menurut Permenkes 246/MenKes/Per/1990, produksi obat tradisional dibagi menjadi 4 jenis, yakni Industri Obat Tradisional, Industri Kecil Obat Tradisional, Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu Gendong. Untuk Industri Obat Tradisional dan Industri Kecil Obat Tradisional wajib memiliki ijin dan menerapkan CPOTB dalam proses produksinya (MenKes RI, 1990). Proses produksi obat herbal dalam industri harus sesuai dan memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang telah ditentukan oleh undang-undang. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk obat herbal yang dihasilkan tergantung dari bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan serta personalia yang menangani.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 51 Tahun 2009 memuat tentang ketentuan-ketentuan terkait dengan pekerjaan kefarmasian, dimana pengadaan sediaan farmasi, termasuk obat tradisional di dalamnya, merupakan salah satu bidang dari pekerjaan kefarmasian yang harus dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian. Tenaga Kefarmasian yang dimaksud adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.Permenkes No. 006 Tahun 2012 Industri dan Usaha Obat Tradisional, dalam Bab 4 Penyelenggaraan Pasal 33 bagian a menyatakan bahwa setiap industri dan usaha obat tradisional berkewajiban menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat tradisional yang dihasilkan dan Pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang kurangnya 1 (satu) orang Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional, obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar seperti yang tercantum pada Pasal 2 ayat 1 PerMenKes No 007 Tahun 2012. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), izin edar tidak diperlukan untuk obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong; simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan pengobatan tradisional; serta obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan (Pasal 4).Beberapa faktor perlu diperhatikan dalam menggunakan suatu bahan alam sebagai obat, diantaranya adalah keamanan, mutu dan kemanfaatan dari bahan alam itu sendiri. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas dalam pengawasan obat dan makanan, termasuk produk obat bahan alam dan jamu telah mempersyaratkan ketentuan tentang keamanan, mutu dan kemanfaatan suatu produk obat bahan alam, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.4.2411 Tahun 2004, salah satu tidak menggunakan Bahan Kimia Obat (BKO). Semua aspek mutu di atas harus diuji dengan menggunakan metode pengujian yang telah divalidasi dan diakui secara internasional. Aspek Kemanfaatan Suatu bahan alam yang digunakan sebagai obat tentu diharapkan dapat memberikan efek pengobatan sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Agar dapat menjamin bahwa bahan alam yang diminum mempunyai efek pengobatan sesuai dengan klaim yang diajukan, tentu dibutuhkan data ilmiah pendukung sesuai dengan pengujian farmakologi yang telah dilakukan. Di samping itu, standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan harus dilakukan agar dapat menjamin konsistensi efek farmakologi yang diharapkan. Hal ini jelas karena efek pengobatan dari suatu obat bahan alam dan jamu ditentukan oleh konsistensi kandungan bahan aktif yang terkandung dalam bahan baku yang digunakan. Jelaslah pengujian farmakologi suatu obat bahan alam dan jamu sangat diperlukan, baik pengujian secara praklinik menggunakan hewan uji ataupun pada tingkat yang lebih tinggi yaitu uji klinik pada manusia untuk memastikan betul manfaat obat bahan alam dan jamu tersebut. Kenyataan yang terjadi dimasyarakat, selama ini produk obat tradisional terutama jamu sering ditambahkan dengan Bahan Kimia Obat (BKO) untuk mempercepat timbulnya efek terapetik yang diharapkan. Beberapa jenis jamu yang sering ditambahkan BKO oleh produsen antara lain jamu pegal linu, jamu obat kuat, jamu pelangsing, dan sebagainya (BPOM RI, 2006). Maraknya peredaran jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat tentu saja dapat membahayakan masyarakat, dimana terdapat kemungkinan masyarakat mengkonsumsi produk obat-obatan tradisional yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan spesifikasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kontrol kualitas terhadap produk-produk obat tradisional yang beredar di pasaran.

BAB IITINJAUAN TUGAS POKOK APOTEKER DALAM PENGADAAN BAHAN BAKU DAN QA/QC DI INDUSTRI OBAT HERBAL

2.1Tupoksi Apoteker dalam Pengadaan Bahan Baku1) Memilih supplier yang akan digunakan, dimana bahan baku hanya diadakan dari pemasok yang telah disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan2) Menentukan Spesifikasi Bahan Awal3) Membuat aturan kontrak dengan Suplier4) Melakukan pemesanan bahan baku obat herbal baik lokal maupun impor5) Melakukan monitoring terhadap status order bahan baku 6) Menerima Bahan Baku7) Mencatat semua penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan yang tersisa. Catatan berisi keterangan mengenai pasokan, nomor bets/lot/QC, tanggal penerimaan atau penyerahan, tanggal pelulusan dan tanggal daluarsa.8) Memberi label untuk setiap bahan baku yang diterima mengenai nama daerah dan nama latin, tanggal penerimaan, dan pemasok.9) Menyeleksi bahan baku obat herbal yang akan diadakan untuk menjamin mutu, keamanan dan khasiat dari produk yang dihasilkan.10) Melakukan penyerahan bahan awal untuk produksi11) Melakukan Pengujian dan Pemastian Bahan Baku12) Melakukan sortasi setiap simplisia sebelum digunakan untuk membebaskan dari bahan asing dan kotoran lain.13) Melakukan pencucian dengan air bersih setiap simplisia sebelum digunakan untuk memperoleh simplisia yang bersih, dan terbebas dari mikroba patogen, kapang, khamir serta pencemar lainnya.14) Mengeringkan simplisia yang telah dicuci dengan cara yang tepat sehingga tidak terjadi perubahan mutu dan mencapai kadar air yang dipersyaratkan.15) Menyimpan dalam wadah tertutup dan diberi label simplisia yang sudah bersih serta kering dan bahan baku yang bukan simplisia yang telah lulus dari pemeriksaan mutu bila tidak langsung digunakan 16) Membuat warna label berbeda untuk bahan baku dan simplisia.17) Mengeluarkan simplisia dengan cara mendahulukan simplisia yang disimpan lebih awal (First In, First Out), atau yang mempunyai batas kadaluwarsa lebih awal (First Expired, First Out).18) Menandai dengan jelas yang tidak memenuhi syarat dan menyimpan secara terpisah untuk menunggu tindak lanjut19) Mendokumentasikan dengan baik bahan obat tradisional yang diadakan oleh industri atau importir di bidang Obat dan Makanan sehingga mudah dilakukan pemeriksaan

2.2 Tupoksi Apoteker dalam QC/QA1) Menunjuk Petugas unutk memasang label yang berbeda pada bahan baku dan simplisisa2) Melakukan kegiatan analitik dilaboratorium termaksud pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi3) Menjamin kualitas produk yang dihasilkan dengan cara a) Melaksanakam training c-GMP atau CPOBb) Membuat sistem mutu yang sesuai dengan c-GMPc) Membuat Annual Product Reviewd) Bertanggung jawab dalam melakukan sampling, pengujian, pelulusan dan penolakan bahan baku, bahan kemas, produk ruahan, dan obat jadi (finised product)e) Memonitoring kualitas air, udara, dan sanitasi peralatan serta ruangan produksif) Melaksanakan IPC (In Process Control)g) Membuat Retention bahan baku produk dan dokumenh) Mengawasi sistem pengendalian perubahan, penanganan penyimpangan mutu, keluhan pelanggan, dan uji stabilitasi) Mengatur dan melaksanakan kualifikasi dan validasij) Menangani produk complain dan produk recallk) Melakukan inspeksi diri bersama-sama departemen lainl) Mengkoordinasi kaliblasi alat ukurm) Melakukan kualifikasi dan audit vendorn) Memeriksa dan member disposisi return goodo) Mengelola semua dokumentasi yang terkait dengan CPOB seperti SOP, catatan pengelolaan batch, spesifikasi, dllp) Melindungi konsumen untuk meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Gambar 1. Alur Produksi Obat Herbal

BAB IIISOP DALAM PENGADAAN BAHAN BAKU DANQA/QC DI INDUSTRI OBAT HERBAL

3.1 Pemilihan Suplier3.2 Menentukan Spesifikasi Bahan Awal3.3 Pembuatan Aturan Kontrak3.4 Penerimaan Bahan Baku3.5 Pengujian Bahan Baku3.6 Pelabelan Bahan Baku3.7 Pemeriksaan bahan baku, produk ruahan, obat jadi, dan air untuk produksi, serta limbah sisa produksi. 3.8 Pemeriksaan Organoleptik, Makro dan mikroskopis 3.9 Pemeriksaan Bahan organik asing 3.10 Kelembaban dan Kadar Air 3.11 Kadar Kandungan Kimia3.12 Serat kasar3.13 Evaluasi kimia kualitatif dan kuantitatif3.14 Identifikasi Kromatografi3.15 Pemeriksaan Kromatografi3.16 Uji Cemaran mikroba3.17 Studi Toksikolog3.18 Uji Kemurnian3.19 Susut Pengeringan 3.20 Zat Identitas 3.21 Penetapan Kadar 3.22 Pemeriksaan Mikrobiologi 3.23 Validasi 3.24 QA Inspection3.25 DCC (Document Control Center) 3.26 GMP Compliance BAB IVIMPLEMENTASI SAINS FARMASI DALAM PENGADAAN BAHAN BAKU (GLP/ISO 17025) HERBAL PENERAPAN WHO STANDARDIZATION HERBAL MEDICINE DAN QA/QC DI INDUSTRI OBAT HERBAL

4.1 Manajemen Farmasi dan PemasaranApoteker yang bekerja dalam bidang produksi obat tradisional harus memiliki pengetahuan mengenai manajemen farmasi, khususnya mengenai manajerial bahan baku dan produk. Apoteker harus memiliki kemampuan dalam memilih bahan baku obat tradisional yang memenuhi persyaratan Quality, Cost, and Delivery; memilih pemasok bahan baku yang tepat, guna menjamin keamanan dan efikasi bahan obat yang diterima; serta memilih prosedur dan administrasi pembelian bahan baku obat tradisional. Kemampuan apoteker di bidang manajemen farmasi juga dituntut dalam pertimbangan penyediaan sampel bahan baku dan produk jadi dalam jumlah yang cukup untuk keperluan pengujian ulang bila diperlukan. Setelah dihasilkan produk jadi, apoteker dituntut untuk memiliki kemampuan dalam hal manajemen risiko mutu untuk melakukan penilaian, pengendalian dan pengkajian risiko terhadap mutu obat tradisional yang dihasilkan, yang pada akhirnya terkait dengan perlindungan konsumen. Untuk memasarkan obat tradisional yang diproduksi, diperlukan pengetahuan di bidang pemasaran, yang meliputi penetapan kebijakan harga, kebijakan distribusi, dan kebijakan promosi, serta daerah pemasaran. Kemampuan atau pengetahuan di bidang manajerial dan pemasaran harus dimiliki oleh apoteker baik yang bekerja pada bagian produksi, pengawasan mutu, maupun manajemen risiko mutu. Kegiatan yang dilakukan pada bagian ini meliputi :a) Pemilihan SuplierPembelian bahan awal dilakukan dengan memilih suplier yang telah memenuhi spesifikasi yang relevan dan bila memungkinkan langsung dari produsen. Dianjurkan agar spesifikasi yang dibuat oleh pabrik pembuat untuk bahan awal dibicarakan dengan pemasok. Sangat menguntungkan bila semua aspek produksi dan pengawasan bahan awal tersebut, termasuk persyaratan penanganan, pemberian label dan pengemasan, juga prosedur penanganan keluhan dan penolakan, dibicarakan dengan pabrik pembuat dan pemasok.b) Menentukan Spesifikasi Bahan AwalDalam melakukan pengadaan bahan, harus memperhatikan spesifikasi bahan awal yang meliputi :a)Deskripsi bahan, termasuk1)nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk) internal2)rujukan monografi farmakope, bila ada3)pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen bahan4)standar mikrobiologis, bila adab)Petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan untuk ekstrak tunggal : uji identifikasi, penetapan kualitatif dari substansi yang relevan (misal fingerprint chromatogram). Bila zat aktif yang relevan sudah teridentifikasi dan metode analisis tersedia, dilakukan penetapan kandungan secara kuantitatif.c)Kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan dand)Batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian kembalic) Pembuatan Aturan KontrakKontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Kontrak juga harus dapat menguraikan secara jelas penanggung jawab pengadaan, pengujian dan pelulusan bahan, produksi dan pengendalian mutu, termasuk pengawasan selama-proses, dan penanggung jawab pengambilan sampel dan fungsi analisisd) Penerimaan Bahan BakuPada penerimaan bahan baku dilakukan mengenai pemasok, nomer bets/lot, tanggal penerimaan atau penyerahan, tanggal pelulusan dan tanggal kadaluwarsa bila ada. Pada tiap penerimaan dilakukaan pemeriksaan visual tentang kondisi umum, keutuhan wadah dan segelnya, ceceran dan kemungkinan adanya kerusakan bahan, dan tentang kesesuaian catatan pengiriman dengan label dari pemasok f)Pengujian Bahan BakuSebelum meluluskan bahan baku perlu adanya pengujian ulang terhadap bahan baku. Sampel diambil oleh personil QC dengan metode yang telah disetujui oleh kepala bagian pengawasan mutu. Sampel bahan awal hendaklah di uji pemenuhannya terhadap sebagian atau keseluruhan spesifikasi dapat ditunjukkan dengan sertifikat analisis yang dapat diperkuat dengan pengujian yang dilakukan sendiri. Pada tahap ini bagian pengadaan diharapkan dapat memberikan daftar data pengujian yang dibutuhkan, untuk dapat segera ditindak lanjuti.g)Pelabelan Bahan BakuLabel harus memuat keterangan paling sedikit sebagai berikut :1)Nama bahan dan bila perlu nomor kode bahan;2)Nomor bets/ kontrol yang diberikan pada saat penerimaan bahan;3)Status bahan (misal: karantina, sedang diuji, diluluskan, ditolak);4)Tanggal daluarsa atau tanggal uji ulang bila perlu.5)Label yang menunjukkan status bahan baku ditempel oleh personil yang ditunjuk oleh kepala bagian pengawasan mutu.6)Untuk mencegah kekeliruan, label tersebut hendaklah berbeda dengan label yang digunakan oleh pemasok (misal dengan mencantumkan nama atau logo perusahaan). Bila status bahan mengalami perubahan, maka label penunjuk status hendaklah juga diubah.4.2 BotaniApoteker harus memiliki kompetensi dalam pemahaman konsep dalam menentukan organoleptik, makroskopik, dan mikroskopik. Pemeriksaan tersebut meliputi : Organoleptik (warna, bau dan rasa), makroskopik (simplisia (rajangan), sifat dan keadaan fisik), mikroskopik (irisan serbuk, kebenaran, penggantian/pemalsuan, adanya pengotoran fragmen).4.3 Farmakognosi dan Fitokimiaa) Evaluasi kimia kualitatif Identifikasi dan karakterisasi simplisia terhadap konstituen fitokimia. Ini menggunakan teknik analisis yang berbeda untuk mendeteksi dan mengisolasi konstituen aktif. Teknik penapisan fitokimia melibatkan identifikasi botani, ekstraksi dengan pelarut yang cocok, pemurnian, dan karakterisasi dari konstituen aktif penting farmasib) Pemeriksaan Bahan organik asing, mengetahui ada tidaknya cemaran bahan organik asing yang biasa atau sering ditambahkan/ganti/pemalsu. Bahan organik asing merupakan bahan organik asing bersumber dari tumbuhan atau hewan yang sama/berlainan jenis/senyawa aktif sintesis (diguna-kan metode AKK yang lazim), pencemaran bahan organik asing dalam tumbuhan hewan dinyatakan dalam persen (%).c) Kelembaban, memeriksa kadar air membantu mengurangi kesalahan dalam estimasi berat aktual bahan obat. Kelembaban rendah menunjukkan stabilitas yang lebih baik terhadap degradasi produk.d) Kadar Kandungan Kimia, bobot indikasi kandungan kimia diekstrak dari obat mentah di lingkungan pelarut yang berbeda.e) Serat kasar, untuk menentukan komponen bahan kayu, untuk menilai kemurnian.f) Identifikasi Kromatografi, uji pendahuluan simplisia untuk pengenalan pendahuluan senyawa aktif/zat identitasg) Zat Identitas, untuk simplisia belum diketahui zat aktif, profil KLT, penapisan fitokimia simplisia terhadap golongan senyawa (flavonoid, steroid, alkaloida dsb), ekstraksi dengan cara sesuai, ekstraksi/fraksinasi dengan pelarut dari nonpolar ke polar, ekstraksi bertahap jaringan tumbuhan segar dengan pelarut keasaman/kebasaan berbeda, ekstrak diperoleh golongan senyawa, hasil deteksi UV / semprot h) Pemeriksaan Kromatografi, identifikasi simplisia berdasarkan penggunaan kandungan kimia utama sebagai penanda. Chromatography fingerprint adalah pola kromatografi komponen kimia yang mempunyai karakteristik dan aktivitas farmakologi dalam suatu ekstrak. Chromatography fingerprint dapat memberikan informasi mengenai integritas, kesamaan, dan perbedaan komponen kimia dalam ekstrak atau produk herbal yang diteliti. Teknik analisis untuk menentukan Chromatography fingerprint adalah : GC/MS, LC/MS, LC/MS/MS, CE/MS, FT-ICR, MALDI dan (NMR), FT-IR. Gas chromatography-massspectrometry (GC/MS) merupakan salah satu metode pilihan sebab memiliki sensitivitas deteksi untuk hampir semua senyawa kimia yang mudah menguap. Selain itu, selektivitas kolom kapiler yang tinggi memungkinkan pemisahan senyawa volatil secara simultan dalam waktu relatif singkat.4.4 Kimia AnalisApoteker harus memiliki kompetensi dalam pemahaman konsep mengenai kadar total golongan kandungan kimia, kadar senyawa kimia tertentu, bobot jenis, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, susut pengeringan, sisa pestisida, cemaran logam berat, Pengolahan Limbah dan Bahan-Bahan Berbahaya. Sanitasi dan higienitas merupakan salah satu aspek penting CPOTB yang harus dijaga karena tidak hanya dapat mempengaruhi mutu produk obat tetapi juga menjaga lingkungan dari pencemaran limbah yang dihasilkan selama proses produksi. Kompetensi ini bermanfaat dalam penanganan limbah produksi dan bahan-bahan berbahaya lain yang akan berkaitan dengan keselamatan kerja.a) Pemeriksaan bahan baku yang merujuk pada pustaka acuan seperti FHI, yang meliputi : Bahan padat (pemeriksaan pH, titik lebur, kadar air dan susut pengeringan), Bahan cair (pemeriksaan viskositas, berat jenis, dan pH), Cangkak kapsul (bobot, panjang kapsul, diameter, pH dan waktu hancur).b) memeriksa air yang digunakan untuk produksi,, meliputi pemeriksaan konduktivitas, pH, kandungan klor dalam air. c) Evaluasi kimia kuantitatif, penetapan kadar, menentukan jumlah kadar zat aktif yang terkandung dalam simplisia yang telah diketahui zat aktifnya.d) Uji Kemurnian1.Kadar abu, menetapkan tingkat pe-ngotoran logam-logam dan silikat, kadar abu total, logam alkali (Na,K,Li), logam alkali tanah (Ca, Ba), Logam berat (Fe, Pb, Hg, As), kadar larut dalam air, kadar tidak larut asam2.Kadar zat terekstraksi, mengetahui jumlah terendah bahan kimia kandungan simplisia yang dapat terekstraksi dengan pelarut tertentu (air dan etanol)e) Susut Pengeringan, menjaga mutu simplisia (reaksi enzimatis, pertumbuhan m.o). Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. dilakukan untuk simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri f) Kadar Air, berkaitan pertumbuhan m.o dan degradasi enzim terhadap zat aktif (kadar air < 10% tidak terjadi hal ini), MMI, merekomendasikan secara destilasi azeotropik dilakukan terhadap simplisia yang mengandung minyak atsiri.4.5 FisikaApoteker harus memiliki kompetensi dalam pemahaman konsep mengenai stabilitas dari suatu produk. Uji stabilitas untuk kontrol stabilitas produk yang beredar di pasaran (accelerated and long long term). Uji stabilitas dilakukan bila terjadi perubahan formula, supplier, ataupun SOP. Untuk produk komersil maka uji stabilitas yang dilakukan adalah accelerated dan long term selama enam bulan pertama sebanyak 3 batch. Sementara produk yang telah rutin diproduksi, hanya uji stabilitas long term saja yang dilakukan sekali dalam setahun. 4.6 MikrobiologiKompetensi ini bermanfaat dalam pengujian mutu sediaan dari segi cemaran mikroba sesuai yang ditetapkan pada peraturan yang berlaku. Dimana mikrobiologi dan virologi merupakan ilmu dasar yang diperlukan untuk pengawasan mutu obat herbal. Apoteker harus memiliki kompetensi dalam pemahaman konsep mengenai antibiosis, pemahaman mengenai uji sensitivitas, uji angka lempeng total, uji kapang dan lainnya.a) Uji Cemaran mikroba, boleh ada kuman apato-gen (terbatas), tetapi tidak boleh mengandung mikroba patogen seperti, Salmonella, Staphyllococcus, Streptococ-cus, Vibrio cholera, Pseudomonas, Proteus, Shigella dan Bacillus.b) Pemeriksaan bahan baku dan produk-produk obat herbal serta air untuk produksi, yang meliputi TPC (Total Plate Counter), bioburden test, dan pyrogen test. Selain itu juga melakukan monitoring lingkungan ruang produksi, sanitasi ruangan produk steril dan fasilitas. 4.7 FarmakologiKompetensi ini bermanfaat dalam uji aktivitas biologi meliputi interaksi antara senyawa kimia dengan sistem biologi atau makhluk hidup, keberkhasiatan dan keamanan obat.4.8 ToksikologiKompetensi ini bermanfaat dalam mempelajari efek toksik obat terhadap tubuh. Dalam ilmu toksikologi yang dilakukan adalah menentukan residu pestisida, elemen berpotensi beracun, studi keamanan pada hewan seperti LD50 dan mikroba uji untuk menetapkan ada atau tidaknya mikroorganisme yang berpotensi membahayakan. 4.9 Farmasi ForensikApoteker penanggung jawab unit QA/QC wajib memiliki kompetensi dasar ini karena keseluruhan kegiatan produksi obat-obatan, khususnya obat herbal telah diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi apoteker dalam aspek hukum harus kuat, berlandaskan atas peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Apoteker dituntut harus dapat mengerti dan memahami hukum yang dijadikan dasar dalam pekerjaan kefarmasian yang dijalankan oleh apoteker, maka apoteker akan dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan maksimal karena apoteker mengetahui hal-hal yang menjadi kewajiban maupun haknya sehingga apoteker dapat melindungi dirinya dari peradilan atau hukum dengan melaksanakan kewajiban sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur.4.10 Validasi PharmacistValidation Pharmacist atau Qualification and Supervisor bertanggung jawab atas validasi seluruh sistem yang di gunakan. Validasi yang biasa dilakukan di Indonesia, meliputi validasi proses, validasi pembersihan (cleansing validation), validasi metode analisis, validasi proses pengemasan dan validasi sistem komputerisasi. Bagian validasi bertanggung jawab terhadap kalibrasi alat ukur (neraca timbang, termometer, gelas ukur, dll), kualifikasi dan validasi. Kalibrasi dilakukan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Masing-masing alat ukur mungkin memiliki periode kalibrasi yang berbeda. Hal ini tergantung dari frekuensi dan kerumitan alat tersebut saat digunakan dalam kegiatan pabrik. Kalibrasi terhadap alat ukur yang dilakukan menggunakan alat ukur/kalibrator yang setiap tahun dilakukan oleh instansi atau kalibrasi nasional.4.11 QA Inspectiona) melakukan pemeriksaan bahan kemas, IPC dan releasing produk. Pemeriksaan bahan kemas dilakukan pada rubber, stopper, cap, aluminium foil, botol, label, primary box dan master box, yang meliputi pemeriksaan ukuran, komposisi warna, jumlah lapisan untuk aluminium foil, kejelasan tulisan, dengan metode sampling military standard. b) mendokumentasikan hasil pemeriksaan dalam laporan pemeriksaan bahan kemas. Bahan kemas yang telah memenuhi persyaratan diberi label released dan siap untuk digunakan pada proses produksi. IPC yang dilakukan oleh unit QA/QC merupakan usaha untuk memastikan bahwa produk tersebut telah memenuhi spesifikasi sekaligus sebagai kontrol ganda terhadap kemungkinan penyimpangan hasil produksi. c) Melakukan complain sepenuhnya kepada supplier yang bermasalah, jika ada permasalahan seperti salah cetak, perbedaan warna, perbedaan nomer batch pada kemasan, dan lain-lain.4.12 DCC (Document Control Center) Dokumentasi adalah salah satu komponen yang sangat penting dalam CPOTB. Sistem dokumentasi yang digunakan harus sistematis untuk memudahkan pencarian dokumen bila diperlukan. DCC bertanggung jawab untuk mengelola SOP, master of batch, master list, spesifikasi dan prosedur analisa, dokumen registrasi, dokumen pengendalian perubahan, produk yang telah dinyatakan released, changed control, penyimpangan mutu, melakukan mock recall, dan compliance. DCC menyimpan MBR (Master Batch Record) yang dilakukan untuk pengusutan data jika produk mendapat complain dari konsumen dan disimpan bersamaan dengan penyimpanan contoh dengan penyimpanan contoh per tinggal. Lama penyimpanan dokumen mengikuti contoh pertinggal yaitu expired date ditambah 1 tahun. DCC juga bertanggung jawab untuk membuat inde SOP yang digunakan di industry tersebut sekaligus berfungsi untuk merevisi SOP setiap 2 tahun sekali.4.13 GMP Compliance khusus menangani penerapan GMP di suatu industri. Tugasnya adalah menjadwalkan dan mengkoordinasikan inspeksi diri/Self Quality Audit baik Internal Quality Audit maupun External Quality Audit, menangani dokumen-dokumen investigasi penyimpangan mutu, penanganan kontrol perubahan, peninjauan produk tahunan, dan pelulusan produk jadi. GMP Complience bertugas membuat laporan rutin ke BPOM, laporan produk jadi dan laporan eksport-import.BAB VKESIMPULAN

1. Landasan Hukum Tupoksi Apoteker UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen PP No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian PerMenKes No 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional Peraturan Kepala BPOM RI Nomor Hk.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional, Bahan Suplemen Kesehatan dan Bahan Pangan Ke Dalam Wilayah Indonesia Kepmenkes RI Nomor : 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional Kepmenkes RI Nomor : 261/Menkes/SK/IV/2004 tentang Farmakope Indonesia Herbal Indonesia Edisi Pertama Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional WHO Standardization Herbal Medicine GLP/ISO 17025 2. Tupoksi Apoteker Memilih supplier Menentukan Spesifikasi Bahan Awal Membuat aturan kontrak dengan Suplier Melakukan pemesanan bahan baku obat herbal baik lokal maupun impor Melakukan monitoring terhadap status order bahan baku Menerima Bahan Baku Mencatat semua penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan yang tersisa Melakukan monitroring terhadap status order bahan baku Memberi label untuk setiap bahan baku yang diterima Menyeleksi bahan baku obat herbal Melakukan penyerahan bahan awal untuk produksi Melakukan Pengujian dan Pemastian Bahan Baku Melakukan sortasi setiap simplisia Melakukan pencucian setiap simplisia Mengeringkan simplisia yang telah dicuci. Menyimpan simplisia dalam wadah tertutup dan diberi label Membuat warna label berbeda untuk bahan baku dan simplisia. Mengeluarkan simplisia dengan cara mendahulukan simplisia yang disimpan lebih awal (First In, First Out), atau yang mempunyai batas kadaluwarsa lebih awal (First Expired, First Out). Menandai dengan jelas yang tidak memenuhi syarat Menyimpan secara terpisah untuk menunggu tindak lanjut Mendokumentasikan dengan baik bahan obat tradisional Menunjuk Petugas unutk memasang label yang berbeda pada bahan baku dan simplisisa Melakukan kegiatan analitik dilaboratorium Menjamin kualitas produk yang dihasilkan dengan cara 3. Sain Farmasi Manajemen Farmasi Botani Kimia Fisika Mikrobiologi Farmakologi Toksikologi Farmasi Forensik Validasi Pharmacist QA Inspection DCC (Document Control Center) GMP Compliance DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2011. Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.03.1.23.06.11.5629 Tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia..BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 28 Tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional, Bahan Suplemen Kesehatan dan Bahan Pangan Ke Dalam Wilayah Indonesia. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.DepKes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.MenKes RI. 1994. Kepmenkes RI Nomor:661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.MenKes RI. 2004. Kepmenkes RI Nomor 261/Menkes/SK/IV/2004 tentang Farmakope Indonesia Herbal Indonesia Edisi Pertama. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.MenKes RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.MenKes RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Menkes,RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik IndonesiaPresiden RI. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Negara Republik Indonesia.Presiden RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Negara Republik Indonesia.Presiden RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Negara Republik Indonesia.WHO. 2007. WHO guidelines on good manufacturing practices (GMP) for herbal medicines.

2