26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Endodontik merupakan bagian dari ilmu kedokteran gigi yang menyangkut diagnosis serta perawatan penyakit atau cedera pada jaringan pulpa dan jaringan periapikal. Tujuan perawatan endodontik adalah mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologik oleh jaringan sekitarnya. Perawatan endodontik terdiri dari perawatan pulpektomi, pulpotomi, perawatan saluran akar konservatif dan perawatan endodontik bedah (Anonim, 2013). Perawatan saluran akar dibutuhkan karena dapat membuang pulpa dan bakteri yang menyebabkan infeksi, sehingga tulang disekitar gigi dapat sehat kembali dan sakit gigi pun hilang. Gejala gigi yang membutuhkan perawatan yaitu sakit sepanjang waktu, selalu sensitif terhadap panas dan dingin, sakit saat mengunyah atau disentuh, gigi goyang, gusi bengkak, diskolorisasi, dan lain-lain. Pasien dengan pulpa gigi nekrotik tidak memiliki respon terhadap tes vitalitas pulpa atau asimptomatik (Torabinejad dan Shabahang, 2009). Secara klinis, dapat ditemukan abses periapikal atau fistula,

Document1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ah sudahlah

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Endodontik merupakan bagian dari ilmu kedokteran gigi yang menyangkut diagnosis serta perawatan penyakit atau cedera pada jaringan pulpa dan jaringan periapikal. Tujuan perawatan endodontik adalah mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologik oleh jaringan sekitarnya. Perawatan endodontik terdiri dari perawatan pulpektomi, pulpotomi, perawatan saluran akar konservatif dan perawatan endodontik bedah (Anonim, 2013).

Perawatan saluran akar dibutuhkan karena dapat membuang pulpa dan bakteri yang menyebabkan infeksi, sehingga tulang disekitar gigi dapat sehat kembali dan sakit gigi pun hilang. Gejala gigi yang membutuhkan perawatan yaitu sakit sepanjang waktu, selalu sensitif terhadap panas dan dingin, sakit saat mengunyah atau disentuh, gigi goyang, gusi bengkak, diskolorisasi, dan lain-lain. Pasien dengan pulpa gigi nekrotik tidak memiliki respon terhadap tes vitalitas pulpa atau asimptomatik (Torabinejad dan Shabahang, 2009). Secara klinis, dapat ditemukan abses periapikal atau fistula, mobilitas gigi yang abnormal, sensitif pada perkusi atau tekanan (McDonald dkk., 2004).

Perawatan saluran akar (PSA) merupakan perawatan endodontik yang paling banyak dilakukan. Perawatan saluran akar dikatakan berhasil apabila dalam waktu observasi minimal satu tahun tidak ada keluhan dan lesi periapikal yang ada berkurang atau tetap (Mulyawati, 2011).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa macam-macam lesi periapikal?

2. Bagaimana patogenesis terjadinya lesi pada periapikal?

3. Bagaimana tahapan dalam perawatan saluran akar?

4. Bagaimana penanganan diskolorisasi pada gigi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui macam-macam lesi periapikal.

2. Untuk mengetahui patogenesis terjadinya lesi pada periapikal.3. Untuk mengetahui tahapan dalam perawatan saluran akar.

4. Untuk mengetahui penanganan diskolorisasi pada gigi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberi pengetahuan tentang macam-macam lesi periapikal.

2. Memberi pengetahuan tentang terjadinya lesi pada periapikal?3. Memberi pengetahuan tentang tahapan dalam perawatan saluran akar.

4. Memberi pengetahuan tentang penanganan diskolorisasi pada gigi.

1.5 Hipotesa

Pemeriksaan, diagnosa dan perawatan yang tepat dapat menentukan keberhasilan dalam perawatan saluran akar.

BAB 2

SKENARIO

2.1 Skenario

Seorang pasien wanita umur 30 tahun datang ke RSGM (P) Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata dengan keluhan gigi depan kanan atas berubah warna. Gigi tersebut pernah terbentur 2 tahun yang lalu dan belum pernah dirawat karena pada saat itu tidak menimbulkan rasa sakit. Akan tetapi seiring dengan berlalunya waktu, sekarang gigi tersebut mulai berubah warna dan terkadang terasa nyeri. Pasien ingin warna giginya yang berubah dapat kembali ke warna semula, sama dengan warna gigi sebelahnya. Pada pemeriksaan Ekstra Oral tidak ada pembengkakan. Pemeriksaan obyektif pada gigi 11 tidak ditemukan adanya karies, perkusi dan tes tekan positif dan tidak bereaksi terhadap tes thermal. Setelah dilakukan foto rontgen pada gigi tersebut ditemukan adanya lesi berbatas tidak jelas pada periapikal gigi tersebut.

2.2 Keyword

Gigi depan kanan atas berubah warna dan terkadang terasa nyeri

Perkusi dan tes tekan positif

Lesi berbatas tidak jelas pada periapikal

Tak bereaksi terhadap tes termal

Wanita umur 30 th

Gigi terbentur 2th yang lalu dan belum pernah dirawat

Gigi 11 tidak karies

Pemeriksaan ektraoral tidak ada pembengkakan

Pasien ingin giginya yang berubah dapat kembali ke warna semula

2.3 Learning issue

1. Menjelaskan tentang pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa.

2. Menjelaskan tentang klasifikasi fraktur gigi serta pencegahan fraktur dentoalveolar.

3. Menjelaskan tentang macam-macam lesi periapikal.4. Menjelaskan tentang patofisiologi terjadinya lesi pada periapikal.5. Menjelaskan tentang perawatan yang dilakukan dalam menangani lesi periapikal.6. Menjelaskan tentang rencana perawatan pada gigi non vital.

7. Menjelaskan tentang perawatan pada gigi yang berubah warna agar dapat estetik kembali.

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penegakkan Diagnosis dan Rencana PerawatanPenegakan diagnosis dan rencana perawatan merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh dokter gigi karena hal tersebut akan mempengaruhi ketepatan dan keberhasilan perawatan yang dilakukan terhadap pasien. Dalam menegakkan diagnosis dan membuat rencana perawatan maka terdapat 4 tahap yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi yaitu S (pemeriksaan subyektif), O ( pemeriksaan obyektif), dan P (treatment) (Underwood, 1999).

3.1.1 Pemeriksaan Subyektif

Pemeriksaan subyektif setidak-tidaknya berkaitan dengan 7 hal, yaitu identitas pasien, keluhan utama, present illness, riwayat medic, riwayat dental, riwayat keluarga, dan riwayat social.

a) Identitas Pasien/ Data demografis

Data identitas pasien ini diperlukan bila sewaktu-waktu dokter gigi perlu menghubungi pasien pasca-tindakan, dapat pula sebagai data ante-mortem (dental forensic). Data identitas pasien ini meliputi :

1) Nama (nama lengkap dan nama panggilan),

2) Tempat Tanggal Lahir,

3) Alamat Tinggal,

4) Golongan Darah,

5) Status Pernikahan,

6) Pekerjaan,

7) Pendidikan,

8) Kewarganegaraan, serta

9) Nomor telepon/ handphone yang bisa dihubungi.

b) Keluhan Utama (Chief Complaint/ CC)

Berkaitan dengan apa yang dikeluhkan oleh pasien dan alasan pasien datang ke dokter gigi. Keluhan utama dari pasien akan berpengaruh terhadap pertimbangan dokter gigi dalam menentukan prioritas perawatan.

c) Present illness (PI)

Mengetahui keluhan utama saja tidak cukup, maka diperlukan pula pengembangan akar masalah yang ada dalam keluhan utama, yaitu dengan mengidentifikasi keluhan utama. Misalnya dengan mencari tahu kapan rasa sakit/ rasa tidak nyaman itu pertama kali muncul, apakah keluhan itu bersifat intermittent (berselang) atau terus menerus, jika intermittent seberapa sering, adakah faktor pemicunya, dan sebagainya.

d) Riwayat Medik (Medical History/MH)

Riwayat medic perlu ditanyakan karena hal itu akan berkaitan dengan diagnosis, treatment, dan prognosis. Beberapa hal yang penting ditanyakan adalah :

1) Gejala umum seperti demam, penurunan berat badan, serta gejala umum lainnya.

2) Gejala yang dikaitkan dengan system didalam tubuh, seperti batuk dengan system respirasi, lesi oral dengan kelainan gastrointestinal dan lesi kulit, kecemasan, depresi dengan kelainan kejiwaan.

3) Perawatan bedah dan radioterapi yang pernah dilakukan.

4) Alergi makanan dan obat

5) Penyakit yang pernah diderita sebelumnya

6) Riwayat rawat inap

7) Anestesi

8) Problem medic spesifik seperti terapi kortikosteroid, diabetes, kecenderungan perdarahan, penyakit jantung, dan resiko endocarditis yang dapat mempengaruhi prosedur oprasi.

e) Riwayat Dental (Dental History/ DH)

Selain riwayat medic, riwayat dental juga perlu ditanyakan karena akan mempengaruhi seorang dokter gigi dalam menentukan rencana dan manajemen perawatan yang akan dilakukan. Beberapa riwayat dental yang dapat ditanyakan yaitu :

1) Pasien rutin ke dokter gigi atau tidak

2) Sikap pasien kepada dokter gigi saat dilakukan perawatan

3) Problem gigi trakir yang relevan

4) Perawatan restorasi/ pencabutan gigi terakir

f) Riwayat Keluarga (Family History/ FH)

Ini berkaitan dengan problem herediter yang berkaitan dengan kondisi keluarga seperti kasus amelogenesis imperfekta, hemofili, angiodeme herediter, recurrent aphtous stomatitis (RAS) dan diabetes.

g) Riwayat social (Social History/ SH)

Riwayat social yang dapat diungkap antara lain :

1) Apakah pasien masih memiliki keluarga

2) Keadaan sosio-ekonomi pasien

3) Pasien bepergian ke luar negri (berkaiatan dengan beberapa penyakit infeksi, misalnya penyakit di daerah tropis atau wabah di Negara tertentu).

4) Riwayat sexual pasien

5) Kebiasaan merokok, minum alcohol, pengguna obat-obatan, dll

6) Informasi tentang diet makanan pasien (Underwood, 1999).

3.1.2 Pemeriksaan Obyektif

Pemeriksaan obyektif yang dilakukan secara umum ada dua macam, yaitu pemeriksaan ektra oral dan pemeriksaan intra oral (Underwood, 1999).

a. Pemeriksaan Ekstra oral

Pemeriksaan ektraoral ini bertujuan untuk melihat penampakan secara umum dari pasien, misalnya pembengkakan di muka dan leher, pola skeletal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara palpasi limfonodi, otot-otot mastikasi dan pemeriksaan TMJ.

b. Pemeriksaan Intra oral

Pemeriksaan intra oral merupakan pemeriksaan yang dilakukan dalam rongga mulut. Pemeriksaan intraoral berkaitan dengan gigi dan jaringan sekitar (jaringan lunak maupun keras). Beberapa gambaran yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan intra oral sebagai berikut :

Bagian yang diperiksaGambaran yang dapat ditemukan

BibirSianosis (pada pasien dengan penyakit respirasi atau jantung), angular cheilitis, Fordyce spots, mucocele.

Mukosa LabialNormalnya tampak lembab dan prominent

Mukosa BukalKaca mulut dapat digunakan untuk melihat mukosa bukal, dalam keadaan normal kaca mulut licin bila ditempelkan dan diangkat. Bila menempel di mukosa, maka bisa disimpulkan adanya xerostomia.

Dasat mulut dan bagian ventral lidahBila terdapat adanya benjolan, maka kemungkinan ada permulaan penyakit tumor.

Bagian dorsal lidahTes indra pengecap dapat dilakukan dengan mengaplikasikan gula,garam, dilusi asam asetat dan 5% asam sitrat pada lidah dengan menggunakan cotton bud atau sotton swab. Dengan menggunakan kaca mulut juga dapat dilihat keadaan posterior lidah, orofaring, tonsil.

Palatum (palatum keras dan palatum lunak)Rugae terletak pada papilla incisivus. Bisa dilihat pula adanya benjolan atau tidak. Pada palatum dapat dilihat adanya tidaknya torus palatine.

Gigi geligiDilihat adanya ekstra teeth (supernumery teeth), kurang gigi (hypodontia, oliodontia), atau tidak adanya gigi sama sekali (anodonsia), karies, penyakit periodontal, polip, impaksi, malformasi, hipoplasi, staining, kalkulus, dan kelainan gigi lainnya.

3.1.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Radiografi

Dental radiografi memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis, merencanakan perawatan, dan mengevaluasi hasil perawatan untuk melihat keadaan gigi secara utuh. Dalam mempelajari radiologi oral ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yakni :

1) Tehnik atau cara untuk mendapatkan hasil yang optimal

2) Interpretasi atau menafsirkan radiogram yang telah dibuat

Ada 2 macam radiografi yang digunakan dalam kedokteran gigi, yaitu:

1) Radiografi Intral oral : tahnik periapikal, tehnik bite wing atau sayap gigit, tehnik oklusal.

2) Radiografi ekstra oral : Panoramic, oblique lateral, posteroanterior (PA) jaw, reverse towns projection

b. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk evaluasi pasien dengan sakit atau tanda dan gejala pada orofacial yang menjurus kearah penyakit ottorinologik, kelenjar saliva atau penyakit jaringan adneka lainnya.

Prosedur laboratorium biasanya dikelompokkan menurut devisi dari pelayanan laboratorium yang melakukan satu kelompok tes tertentu, yaitu hematologi, kimia darah, urinalisis, histopatologi dan sitology, mikrobiologi dan imunologi (Underwood, 1999).

3.2 Fraktur Gigi

3.2.1 Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi fraktur gigi menurut Ellis dan Davey (1970): 1. Fraktur simpel : fraktur hanya email atau hanya melibatkan sedikit dentin.

2. Fraktur klas II : fraktur mengenai jaringan dentin tetapi pulpa belum terkena.

3. Fraktur kias III : fraktur gigi yang mengenai dentin dan pulpa sudah terkena.

4. Fraktur kias IV : fraktur karena trauma sehingga gigi menjadi non vital, dapat atau tanpa disertai hilangnya struktur mahkota gigi.

5. Fraktur kias V : fraktur karena trauma yang menyebabkan terlepasnya gigi tersebut.

6. Fraktur kias VI : fraktur akar gigi tanpa atua diserta hilangnya struktur mahkota gigi.

7. Fraktur klas VII : pindahnya tempat gigi tanpa disertai fraktur akar maupun mahkota.

8. Fraktur KIas VIII : fraktur mahkota disertai dengan perubahan tempat gigi yang bersangkutan.

9. Fraktur klas IX : khusus untuk gigi decidui, di mana trauma akan menyebabkan kerusakan gigi tersebut.3.3 Lesi Periapikal

3.3.1 Patofisiologi

Patogenesis penyakit jaringan pulpa dan periapikal gigi yang merupakan kelanjutan dari proses karies gigi dapat dijelaskan secara lebih rinci seperti berikut ini. Jika gigi dengan karies superfisialis tidak dirawat, maka kerusakan akan terus berlanjut dari enamel ke dentin. Biasanya seseorang baru menyadari adanya kerusakan pada giginya apabila sudah timbul rasa nyeri. Nyeri akan timbul apabila rangsangan/jejas mengenai ujung sel odontoblast di batas dentin dengan enamel yang merupakan garis depan pertahanan jaringan pulpa. Apabila rangsangan sudah mencapai pulpa, nyeri dentin dapat berlanjut menjadi nyeri pulpa. Kemudian terjadi reaksi pada sistem aliran darah mikro dan sistem seluler jaringan pulpa. Proses ini menyebabkan udema pada pulpa karena terganggunya keseimbangan antara aliran darah yang masuk dengan yang keluar. Udema pada pulpa yang terletak di dalam rongga pulpa yang sempit mengakibatkan sistem persyarafan pulpa terjepit, sehingga menimbulkan rasa nyeri hebat yang sering hampir tak tertahankan. Persyarafan pulpa gigi adalah serat syaraf cabang sensorik ganglion Trigeminal dan cabang otonomik ganglion servikal superior. Fungsi syaraf sensorik (syaraf afferent/sensory neuron, diantaranya A-delta dan C-fibers) adalah untuk mendeteksi rangsangan dan melanjutkannya ke sistem syaraf pusat, sedangkan fungsi system otonomik ialah untuk menjaga keseimbangan jaringan pulpa dan menjaga system homeostatis. Sistem pada organ pulpa gigi inilah yang mengatur proses pemulihan/reaksi jaringan pulpa terhadap cedera (Rukmo, 2011).

Bila jaringan pulpa dapat menahan jejas yang masuk, menimbulkan kerusakan jaringan yang sedikit dan mampu untuk pulih kembali maka keradangan pulpa ini diklasifikasikan sebagai pulpitis reversibel. Pada proses berikutnya jika kerusakan jaringan pulpa tambah meluas sehingga pemulihannya tidak dapat tercapai, keradangan ini disebut pulpitis ireversibel. Jaringan pulpa yang telah meradang tersebut mudah mengalami kerusakan secara menyeluruh dan mengakibatkan pulpa menjadi nekrosis atau mati. Pulpa yang nekrosis untuk sementara mungkin tidak menimbulkan nyeri, namun menjadi tempat kuman berkembang biak yang akhirnya menjadi sumber infeksi. Produk infeksinya mudah menyebar ke jaringan sekitarnya. Bila menyebar ke jaringan periapikal dapat terjadi periodontitis periapikal. Penyebaran kuman dapat pula menjangkau jauh ke organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal, otak dan lain sebagainya. Dalam keadaan demikian gigi tersebut kemudian menjadi focal infection. Adanya kemungkinan hubungan antara sepsis dalam mulut dengan endocarditis telah banyak dilaporkan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar alasan untuk bekerja secara asepsis dalam setiap tindakan perawatan endodontic (Rukmo, 2011).

Jika keradangan jaringan periapikal dibiarkan tanpa perawatan, lama-kelamaan produk iritasi pulpa yang mati dapat menjadi rangsangan yang terus menerus di jaringan periapikal. Dalam keadaan normal jaringan periapikal gigi tersebut akan berusaha membendung laju jejas dengan cara mengadakan proliferasi jaringan granulasi sehingga terbentuk suatu granuloma periapikal. Jika proses iritasi berlangsung terus maka epitel Malassez yang terperangkap di dalam granuloma mengadakan proliferasi. Proliferasi epitel ini diduga disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan O2 dan adanya kemampuan epitel untuk mengadakan anaerobic glycolysis. Pertumbuhan kista yang terus berlangsung disebabkan oleh karena meningkatnya tekanan osmotik dalam lumen, sehingga sel di pusat dan pada dinding mengalami degenerasi akibat dari ischemia. Epitel memperbanyak diri dengan cara pembelahan sel di daerah yang berdekatan dengan lapisan basal, sel-sel pada bagian sentral menjadi terpisah makin lama makin jauh dari sumber nutrisi, kapiler dan cairan jaringan dari jaringan ikat. Oleh karena kegagalan memperoleh nutrisi bagian tersebut akan mengalami degenerasi sehingga menjadi nekrotik atau liquefy. Sel pada bagian sentral proliferasi epitel Malassez ini akan mengalami kematian, membentuk suatu epithelial loop, sehingga terbentuk suatu kista radikuler yang kecil. Eksudat mengalir dari pembuluh darah kapiler melalui ruang intra epitel pada dinding epitel kista radikuler menuju ke rongga kista. Eksudat mengalir ke rongga kista secara pasif akibat adanya kenaikan tekanan osmotik yang timbul oleh karena adanya pelepasan sel-sel epitel, lekosit dan makrofag ke rongga kista. Dengan adanya akumulasi cairan di dalam rongga kista serta resorpsi tulang rahang di sekitarnya, kista radikuler menjadi bertambah besar (Rukmo, 2011).3.3.4 Faktor-Faktor Yang Berperan Terjadinya Infeksi1. Virulensi dan Quantity

Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal maupun bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat patogen. Patogenitas bakteri biasanya berkaitan dengan dua faktor yaitu virulensi dan quantity. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya. Sedangkan Quantity adalah jumlah dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan dengan jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.

2. Pertahanan Tubuh Lokal

Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya bakteri ke jaringan di bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan membuka jalan masuk bakteri ke jaringan di bawahnya. Gigi-gigi dan mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi. Adanya karies dan saku periodontal memberikan jalan masuk untuk invasi bakteri serta memberikan lingkungan yang mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri.

Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri normal di dalam mulut, bakteri ini biasanya hidup normal di dalam tubuh host dan tidak menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut berkurang akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya dapat menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih berat.3. Pertahanan Humoral

Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit. Imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma yang merupakan perkembangan dari limfosit B.Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75 % terdiri dari Ig G merupakan pertahanan tubuh terhadap bakteri gram positif. Ig A sejumlah 12 % merupakan imunoglobulin pada kelenjaringan ludah karena dapat ditemukan pada membran mukosa. Ig M merupakan 7 % dari imunoglobulin yang merupakan pertahanan terhadap bakteri gram negatif. Ig E terutama berperan pada reaksi hipersensitivitas. Fungsi dari Ig D sampai saat ini belum diketahui.

Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya, merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan harus di aktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang penting adalah yang pertama dalam proses pengenalan bakteri, peran kedua adalah proses kemotaksis oleh polimorfonuklear leukosit yang dari aliran darah ke daerah infeksi. Ketiga adalah proses opsonisasi, untuk membantu mematikan bakteri. Keempat dilakukan fagositosis. Terakhir membantu munculnya kemampuan dari sel darah putih untuk merusak dinding sel bakteri.

4. Pertahanan Seluler

Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit. Sel fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini keluar dari aliran darah dan bermigrasi e daerah invasi bakteri dengan proses kemotaksis. Sel-sel ini melakukan respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus hidupnya pendek, dan hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil bakteri. Fase ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke jaringan dan disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai fagositosis, pembunuh dan menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup lama dibandingkan leukosit polimorfonuklear. Monosit biasanya terlihat pada infeksi lanjut atau infeksi kronis.

Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi dari limfosit, seperti telah di sebutkan sebelumnya limfosit B akan berdifernsiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang spesifik seperti Ig G. Limfosit T berperan pada respon yang spesifik seperti pada rejeksi graft (penolakan cangkok) dan tumor suveillance (pertahanan terhadap tumor).1.4 Pulpektomi Nonvital

A. Definisi

Gigi sulung yang dirawat pulpektomi non vital adalah gigi sulung dengan diagnosis gangren pulpa atau nekrosis pulpa (Anonim, 2010).

B. Indikasi

1. Mahkota gigi masih dapat direstorasi dan berguna untuk keperluan estetik.

2. Gigi tidak goyang dan periodontal normal.

3. Belum terlihat adanya fistel.

4. Ro-foto : resorpsi akar tidak lebih dari 1/3 apikal, tidak ada granuloma pada gigi-geligi sulung.

5. Kondisi pasien baik.

6. Keadaan sosial ekonomi pasien baik.

C. Kontra indikasi

1. Gigi tidak dapat direstorasi lagi.

2. Kondisi kesehatan pasien jelek, mengidap penyakit kronis seperti diabetes, TBC dan lain-lain.

3. Terdapat pembengkokan ujung akar dengan granuloma (kista) yang sukar dibersihkan.

D. Teknik Perawatan

Kunjungan pertama :

a. Ro-foto dan isolasi daerah kerja.

b. Buka atap pulpa dan setelah ruang pulpa terbuka, jeringan pulpa diangkat dengan file Hedstrom.

c. Instrumen saluran akar pada kunjungan pertama tidak dianjurkan jika ada pembengkakkan, gigi goyang atau ada fistel.

d. Irigasi saluran akar dengan H2O2 3% keringkan dengan gulungan kapas kecil.

e. Obat anti bakteri diletakkan pada kamar pulpa formokresol atau CHKM dan diberi tambalan sementara.

Kunjungan kedua (setelah 2 10 hari ) :

a. Buka tambaln sementara.

b. Jika saluran akar sudah kering dapat diisi dengan ZnO dan eugenol formokresol (1:1) atau ZnO dan formokresol.

c. Kemudian tambal sementara atau tambal tetap. Jumlah kunjungan, waktu pelaksanaannya dan sejauh mana instrumen dilakukan ditentukan oleh tanda dan gejala pada tiap kunjungan. Artinya saluran sakar diisi setelah kering dan semua tanda dan gejala telah hilang (Anonim, 2010).

1.5 Tahapan Perawatan Saluran Akar

1.5.1 Preparasi Kamar PulpaAtap pulpa dibuang dengan bur bulat, dengan gerakan dari kamar pulpa kea rah luar, lalu dinding kavitas diratakan dengan bur fisur, sampai berbentuk divergen kea rah insisal. Kemudian mencari jalan masuk ke saluran akar melalui orifis dengan menggunakan eksplorer atau barbed broach (eksplorasi) (Bakar, 2013).

1.5.2 Ekstirpasi

Pengambilan jaringan pulpa pada saluran akar dengan jarum ekstirpasi. Broach diputar perlahan sampai jaringan pulpa menyangkut di duri-durinya, kemudian ditarik (gerakan pull stroke) (Bakar, 2013).

1.5.3 Pengukuran Panjang KerjaHarus diketahui dengan tepat panjang kerja gigi yang dirawat, dan tidak boleh ada instrument yang terlalu panjang atau pendek. Pada setiap saluran akar dimasukkan instrument yang pas masuk ke apical dengan baik. Titik akhir pengisian saluran akar berada pada foramen fisiologikum dan foramen ini terletak +1-1,5 mm dari rontgen apeks. Pengukuran panjang kerja dapat dilakukan dengan (Tarigan, 2006):

a. Foto RontgenMenentukan panjang kerja berdasarkan kepekaan jari tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Foto rontgen merupakan metode standar yang harus dilakukan. Instrument dimasukkan ke saluran akar kemudian dibuat foto rontgen dari sudut foto yang tepat.b. ElektrisPrinsip pengukuran saluran akar secara elektris didasarkan atas adanya arus antara anode dan katode listrik. Di sini elektroda yang terletak pada dasar mulut dengan instrument yang masuk ke dalam kanal pulpa mengadakan kontak serta terbentuk arus pada foramen apical. Alat pengukur listrik terbaru memberikan hasil pengukuran yang cukup baik seperti Root ZX (Fa Morita, Dietzenbach) yang memberikan ketepatan sampai 90% disbanding dengan pengukuran rontgen.