Upload
dangdien
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerusakan jaringan karena penyakit keturunan, luka berat dan kecelakaan
menempati posisi kedua penyebab kematian di dunia. Pengobatan konvensional
yang umum dilakukan adalah transplantasi jaringan dan organ (autograft,
allograft/xenograft) atau menggunakan alat bantu mekanik. Pendekatan ini dapat
meningkatkan tingkat harapan hidup pasien secara signifikan, namun memiliki
beberapa keterbatasan. Autograft (jaringan yang diisolasi dari pasien yang sama)
memiliki resiko infeksi dan keterbatasan jaringan yang dapat diisolasi. Allograft
(jaringan atau organ yang diisolasi dari individu lain dengan spesies yang sama)
dan xenograft (jaringan atau organ yang diisolasi dari spesies lain) memiliki resiko
infeksi, dapat tersebarnya penyakit yang disebabkan oleh virus dan pertumbuhan
tumor. Selain itu implantasi jaringan atau organ sangat mahal dan melibatkan
operasi yang sangat kompleks, dibatasi oleh lamanya organ implan berada di luar
tubuh dan keterbatasan jumlah donor (Nair dan Laurencin, 2006).
Permasalahan transplantasi jaringan ataupun organ dapat diatasi jika
implan dapat dibuat dan jaringan in-vitro yang dapat memenuhi kebutuhan
individual pasien secara spesifik dapat dikembangkan. Oleh karena itu jaringan
buatan dapat menjadi strategi pengobatan baru untuk dapat membangun ulang
ataupun memperbaiki jaringan dan organ yang rusak. Jaringan buatan ini
merupakan aplikasi dari prinsip biologi dan kimia untuk memperbaiki,
memulihkan ataupun regenerasi jaringan hidup menggunakan biomaterial, sel,
faktor penumbuh ataupun kombinasi ketiganya (Nair dan Laurencin, 2006).
Jaringan tulang buatan telah digunakan selama beberapa dekade. Salah satu
tahap penting dalam perkembangan jaringan tulang buatan adalah desain dan
pembuatan scaffold. Scaffold merupakan material biodegradable berpori yang
1
2
memiliki struktur 3 dimensi. Scaffold berfungsi sebagai pendukung struktural sel
dan menjadi matriks ekstraseluler selama proses regenerasi dan perkembangan
tulang alami (Wongwitwichot dkk., 2010). Sementara itu ia juga mengalami
degradasi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan jaringan baru
(Lee dan Shin, 2007). Hal ini menyebabkan jaringan tulang baru akan
menggantikan material scaffold yang terdegradasi (Askarzadeh dkk., 2004).
Gambar 1.1 menunjukkan bentuk dan ilustrasi proses yang terjadi saat scaffold
diimplankan pada tulang.
a. b.Gambar 1.1 Aplikasi scaffold tulang. Scaffold tulang berpori hidroksiapatit
(a) dan Ilustrasi penggunaan scaffold tulang (b).
Polimer, keramik dan komposit merupakan 3 grup utama material
biodegradable yang digunakan dalam jaringan tulang buatan. Polimer sintetik
seperti PLA (Polylactic Acid), PGA (Polyglicolic Acid) dan PLGA (Polylactic
Glicolic Acid) telah banyak digunakan dalam bidang ini. Turunan polimer alami
dari jaringan organik seperti kolagen, gelatin dan kitin juga telah banyak dikaji.
Keramik, terutama kalsium fosfat seperti hidroksiapatit (HAP), baik dalam bentuk
murninya atau dikombinasikan dengan polimer telah menunjukkan peran yang
penting dalam regenerasi tulang.
Atala dan Mooney (1997) menyatakan bahwa salah satu parameter fisik
yang penting untuk dianalisis pada scaffold adalah porositas. Hal ini karena
adanya pori dapat memberikan ruang yang cukup untuk migrasi dan pertumbuhan
sel serta memudahkan transport nutrien dan produk buangan. Secara umum
3
ukuran minimal diameter penghubung pori bagian dalam (interconnected pore)
adalah 100 μm (Liao dkk., 2002). Selain itu peningkatan aktivitas biologi dan
performance scaffold juga merupakan hal yang menjadi perhatian dalam
regenerasi tulang.
HAP digunakan sebagai keramik bioaktif dalam regenerasi jaringan keras
(hard tissue) karena memiliki struktur dan kesamaan sifat kimia dengan
komponen anorganik di dalam tulang. Material ini bersifat osteoinduktif karena
memiliki kemampuan untuk berikatan dengan tulang dan jaringan lunak, serta
dapat menstimulasi pertumbuhan tulang. Serbuk HAP dapat disintesis melalui
beberapa metode, yaitu metode pengendapan, sol-gel, hidrotermal, deposisi
termal, mechanochemical dan biomemetic deposition (Pramanik dkk., 2005).
Metode fasa padat memiliki kelemahan yaitu membutuhkan temperatur yang
tinggi dan waktu yang lama. HAP yang disintesis dengan metode hidrotermal juga
melibatkan temperatur dan tekanan yang tinggi. Orlovski dkk. (2002) menyatakan
bahwa metode pengendapan merupakan metode yang paling mudah.
Metode pengendapan melibatkan pengendapan HAP melalui pencampuran
larutan yang mengandung Ca2+ dan PO43- pada pH lebih dari 7 dan dilanjutkan
dengan penyimpanan endapan pada kondisi yang sesuai. Faktor yang
mempengaruhi metode ini adalah pH larutan, temperatur, laju penambahan
reaktan, garam prekursor, urutan dan waktu pendiaman (Melde dan Stein, 2002
dan Orlovski dkk., 2002).
Pori dari suatu keramik dapat dibuat dengan berbagai metode. Salah
satunya dengan mencampurkan senyawa organik yang mudah terbakar. Senyawa
organik tersebut akan terbakar habis selama proses sintering dan meninggalkan
ruang kosong (pori) pada keramik (Engin dan Tas, 1999).
Wongwitwichot dkk. (2010) telah membandingkan osteokonduktivitas
scaffold TCP ( β-tricalcium phosphate) dan TCP/HAP. Setelah dilakukan analisis
histologi selama 4 minggu, scaffold TCP/HAP terisi oleh lapisan tulang dengan
matriks osteous ekstraseluler yang melimpah sedangkan hanya sedikit tulang baru
4
yang terdeteksi pada scaffold TCP. Fabrikasi scaffold pada penelitian tersebut
dilakukan dengan pendekatan sintering di mana pemanasan pada temperatur
tinggi digunakan selama proses sintering yang bertujuan untuk konsolidasi
partikel keramik. Porogen dan binder yang digunakan adalah sukrosa dan PVA.
Berdasarkan penelitian tersebut metode sintering cukup efektif dalam membentuk
struktur dengan porositas tinggi.
Pembuatan scaffold tulang HAP dengan menggunakan porogen dan binder
HEC (Hydroxy Ethyl Cellulose) dan PVA (Poly Vinyl Alcohol) belum banyak
dilakukan. HEC merupakan suatu polimer turunan selulosa. Selulosa adalah
polimer glukosa alam yang paling melimpah dan ditemukan sebagai unsur utama
tanaman dan serat alam, seperti katun dan linen. Selulosa dan turunannya
memiliki sifat biokompatibilitas dan mekanik yang tinggi sehingga dapat
digunakan sebagai biomaterial untuk scaffold jaringan buatan (Sannino dkk.,
2009). Scaffold yang difabrikasi dari HAP dengan porogen dan binder HEC dan
PVA diharapkan memiliki sifat fisik dan mekanik yang mendekati sifat fisik dan
mekanik tulang manusia.
Penelitian ini fokus pada fabrikasi scaffold HAP/HEC/PVA. Selain itu
dipelajari pengaruh komposisi keramik dan polimer terhadap sifat mekanik dan
morfologi dari scaffold tersebut.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh scaffold HAP/HEC/PVA yang memiliki kekuatan tekan
dan porositas mendekati tulang manusia, yaitu 4-12 MPa dan >90%
(Tabel 2.3).
2. Mempelajari pengaruh rasio berat HAP dan HEC terhadap morfologi
scaffold HAP.
3. Mempelajari pengaruh PVA terhadap kekuatan tekan scaffold HAP.
5
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan program ini adalah:
1. Berkontribusi dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu kimia material terutama yang berkaitan dengan teknologi jaringan
tulang buatan dengan menggunakan hidroksiapatit.
2. Mengetahui sifat mekanik dan porositas dari scaffold hidroksiapatit
yang dibuat dengan menggunakan polimer HEC dan PVA.
3. Memberikan terobosan baru dalam dunia kedokteran khususnya pada
upaya-upaya pengobatan penyakit tulang yang memerlukan
penggantian tulang.
4. Memicu penelitian tentang penggunaan scaffold HAP secara in vivo di
Indonesia.