Upload
lekhanh
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani dan Taksonomi Tanaman Sambiloto
Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Wallich Ex Ness)
disebut juga “King of bitters” adalah salah satu tanaman obat yang menjadi
unggulan nasional (Ditjen POM 2001) dan diprioritaskan serta prospektif untuk
dikembangkan di Indonesia (Kintoko 2006). Subramanian et al. (2012) bahkan
menuliskan bahwa sambiloto adalah a bitter plant with a sweet future untuk
menggambarkan prospektifnya tanaman obat ini. Tanaman sambiloto berasal dari
semenanjung India dan Sri Lanka (Lattoo et al. 2006; Mishra et al. 2007;
Jarukamjorn & Nemoto 2008). Tanaman ini tumbuh secara alami di Asia
Tenggara yaitu India (dan Sri Lanka), Pakistan dan Indonesia tetapi
dibudidayakan secara ekstensif di China dan Thailand, timur dan barat India, serta
Mauritius (Mishra et al. 2007). Tanaman ini kemudian menyebar ke daerah tropis
Asia hingga sampai di Indonesia.
Gambar 1. Tanaman Sambiloto
Di India, sambiloto dahulu adalah tumbuhan liar yang digunakan untuk
mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria. Saat ini tanaman sambiloto
sangat bernilai untuk sistem pengobatan tradisional di India seperti pengobatan
Ayurvedic, Unani dan Siddha. Hal ini ditemukan dalam Indian Pharmacopeia dan
8
telah disusun paling sedikit dalam 26 formula Ayurvedic (Lattoo et al. 2006). Di
China dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), sambiloto diketahui penting
sebagai tanaman cold property dan digunakan sebagai penurun panas serta
membersihkan racun-racun di dalam tubuh (Mishra et al. 2007). Di Thailand,
semenjak tahun 1999 sambiloto telah dijadikan sebagai salah satu tanaman yang
termasuk dalam The National List of Essential Drug (Jarumkajorn & Nemoto
2008). Di Indonesia Departemen Kesehatan melalui Ditjen POM (2001) telah
memasukkan tanaman sambiloto dalam 9 tanaman obat unggulan yang prospektif
untuk dikembangkan.
Adapun klasifikasi secara taksonomi dari tanaman sambiloto adalah:
Kingdom : Plantae, Plants;
Subkingdom : Tracheobionta, Vascular plants
Super division : Spermatophyta, Seed plants
Division : Angiosperma
Class : Dicotyledonae
Sub class : Gamopetalae
Series : Bicarpellatae
Order : Personales
Tribe : Justicieae
Family : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Species : paniculata (Mishra et al. 2007)
Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tanaman ini
terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat aslinya adalah tempat-tempat terbuka
yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, pekarangan, semak, atau
rumpun bambu. Sambiloto dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan
ketinggian 700 m dpl (Mishra et al. 2007).
Deskripsi secara botani tanaman sambiloto merupakan tanaman tahunan,
herba semusim, bentuk tanaman lurus bercabang dengan tinggi berkisar antara 30-
110 cm. Batang berkayu berbentuk bulat, berwarna hijau tua, dengan cabang
utama memiliki batang berbentuk acutely quadrangular, tekstur mudah patah
9
dengan banyak cabang (monopodial) berbentuk segiempat (kwadrangularis)
dengan nodus yang membesar (Mishra et al. 2007; Jarumkajorn & Nemoto.
2008).
Daun tunggal sederhana, letak berhadapan bersilang, bertangkai pendek,
berbentuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer), pangkal runcing, ujung
meruncing dan permukaannya halus, berwarna hijau, permukaan atas berwarna
hijau tua, bagian bawah berwarna hijau muda, panjangnya 2-12 cm, dan lebar 1-3
cm (Mishra et al. 2007; Subramanian et al. 2012).
Perbungaan rasemosa yang bercabang membentuk malai, keluar dari ujung
batang atau ketiak daun. Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong
(bulan panjang) dengan pangkal dan ujungnya yang lancip, dengan 5 kalix, bentuk
tabung dengan panjangnya berkisar antara 6 mm (Mishra et al. 2007). Tanaman
berbunga dalam waktu 90-120 hari setelah germinasi.
Gambar 2. Bunga, biji dan kapsul buah tanaman sambiloto
Kapsul dari tanaman memanjang, linear-oblong, panjangnya 1–2 cm dan
lebarnya 2–5 mm. Biji sangat kecil, dengan bentuk subquadrate dengan jumlah 1-
5 buah (Mishra et al. 2007). Di Australia bunga dan buah ditemukan antara bulan
Nopember sampai bulan Juni, sedang di Indonesia bunga dan buah dapat
ditemukan sepanjang tahun. Di India, bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan
Oktober atau antara Maret sampai Juli.
Sambiloto merupakan tanaman menyerbuk sendiri atau self pollination
(Latto et al. 2006; Wijarat et al. 2012). Sifat ini berdampak pada keragaman
10
genetik sambiloto yang sangat rendah (Sabu et al. 2001; Maison et al. 2005;
Sakuanrungsirikul et al. 2008; Latoo et al. 2008; Pandey & Mandal. 2010; Wijarat
et al. 2012).
2.2. Efek Farmakologi Sambiloto
Sambiloto mengandung senyawa bioaktif yaitu diterpen lakton, flavanoid
(Akbar 2011) dan polifenol (Chao & Lin. 2010). Ekstraksi dengan menggunakan
etanol atau methanol dari tanaman utuh, daun dan stem menghasilkan 20 lebih
senyawa diterpen dan lebih dari 10 senyawa flavanoid. Pada analisa senyawa
diterpen didapatkan 4 komponen utama senyawa yang paling dominan dan berasa
pahit (Yang et al. 2012) yaitu andrographolide, dehydroandrographolide,
deoxyandrographolide dan neoandrographolide (Gambar 3), yang juga merupakan
komponen senyawa aktif utama pada sambiloto.
Gambar 3. Struktur kimia dari 4 komponen utama diterpenoid yang terdapat pada tanaman sambiloto: andrographolide, dehydroandrographolide, deoxyandrographolide dan neoandrographolide (Yang et al. 2012).
Secara farmakologis tanaman sambiloto memiliki kisaran fungsi yang
sangat luas yaitu sebagai hepatoproteksi, gastroproteksi, anti alergi, anti-virus,
antipiretic, vermicidal, anti-jerawat, analgesik, anti-inflammatory, anti-bakteri,
anti-malaria, antityphoid, anti-kanker, anti-atherosclerotic, anti-hyperglycemic
dan hypoglycemic, anti-diare, trombolityc, disamping dapat juga digunakan untuk
peningkatan imunitas/ immunomodulator (Mishra et al. 2007; Jarukamjorn &
Nemoto 2008; Chao & Lin 2010; Akbar. 2011; Chowdhury et al. 2012).
11
Sambiloto juga menjadi obat menakjubkan pada tahun 1919 karena dapat menjadi
obat utama pada saat terjadi epidemik influenza yang terjadi secara global
(Sharma et al. 2009). Penelitian yang telah dilakukan di Bastyr University USA,
bahkan telah menemukan aktivitas anti HIV pada andrographolide yang di isolasi
dari tanaman sambiloto yang berasal dari Indonesia (Otake et al. 1995).
Andrographolide (C20H30O5) mudah larut dalam methanol, etanol, piridin,
asam asetat dan aseton dan sukar larut dalam eter dan air. Titik leleh dari senyawa
andrographolide adalah 228o-230oC, spektrum UV pada etanol dengan λ
maksimal adalah 223 nm (Wongkittipong et al. 2000). Pada tanaman sambiloto
kandungan andrographolide terakumulasi paling banyak di daun yaitu sebesar
2,39% sedangkan paling rendah ditemukan di biji (Sharma et al. 1992).
Konsentrasi andrographolide paling tinggi ditemukan pada saat sebelum tanaman
berbunga, semakin awal maka semakin bagus untuk dipanen.
Kandungan andrographolide pada tanaman sambiloto yang diisolasi dari
beberapa lokasi yang berbeda rata-rata berkisar antara 0.95%-2% berat kering
(Sabu et al. 2001; Raina et al. 2007; Patarapanich et al. 2007; Sharma, et al. 2009;
Pandey & Mandal 2010; Mamatha 2011). Kandungan tersebut bergantung pada
lokasi penanaman (letak geografi), musim tanam, genotipe tanaman dan variasi
somaklonal (Koobkokkruad et al. 2008; Pandey & Mandal 2010). Penelitian yang
dilakukan oleh Bhan et al (2006) mendapatkan kadar andrographolide yang
bervariasi pada saat dipanen pada bulan yang berbeda. Dari penelitian ini
diketahui kadar andrographolide berkisar antara 5%-7% yang dipanen pada bulan
September sampai November. Kadar andrographolide juga didapatkan bervariasi
ketika dianalisa pada tahap pertumbuhan yang berbeda (Parasher et al. 2011) yaitu
berkisar antara 0.25%-3.02% yang diukur pada umur 30-120 hari. Semakin lama
tahap pertumbuhan sambiloto maka kadar andrographolide yang didapatkan juga
semakin tinggi (120 hari).
Andrographolide merupakan golongan dari diterpenlakton. Sebagai bagian
dari golongan diterpen andrographolide mengikuti jalur biosintesis dari terpenoid.
Semua golongan terpenoid disintesis melalui kondensasi isopentenil diphosphate
(IDP/IPP) dan Allylic isomer dimethyl allyl diphosphate (DMADP/DMAPP).
Biosintesis dari terpenoid terjadi di sitosol dan plastida (Aharoni et al. 2006).
12
Dijelaskan oleh Jha et al. (2011) jalur MVA terjadi di dalam sitosol sedangkan
jalur MED/DXP terjadi di dalam plastida. IDP/IPP dan DMADP/DMAPP
disintesis melalui jalur 2-methylerythritol 4-phosphate (MEP) melalui deoxy-D-
xylullose 5-phosphatase dalam plastida. IDP/IPP juga disintesis di sitosol melalui
jalur mevalonat.
Urutan penambahan kepala ke ekor pada unit IDP/IPP ke
DMADP/DMAPP menghasilkan prenyl diphosphates geranyl diphosphate (GDP),
farnesyl diphosphate (FDP) dan geranylgeranyl diphosphate (GGDP/GGPP). Tiga
komponen ini yang menjadi prekursor untuk sintesis monoterpen, sesquiterpen
dan diterpen. Secara umum GDP dan GGDP/GGPP dalam pastida digunakan
sebagai substrat untuk biosintesis monoterpen dan diterpen seangkan FDP di
sitosol digunakan untuk biosintesis sesquiterpen.
Penelitian yang dilakukan oleh Srivastava dan Akhila (2010)
menghasilkan jalur biosintesis andrographoide mengikuti 2 jalur yaitu jalur MVA
(jalur asam mevalonat) dan jalur MEP/DXP (jalur methylerythritol phosphate).
Pada jalur MEP/DXP didapatkan akumulasi andrographolide yang lebih banyak
jika dibandingkan dengan jalur MVA. Aharoni et al. 2006 menambahkan bahwa
pada jalur MEP/DXP, IDP/IPP dan DMADP/DMAPP membentuk 2 rantai, rantai
pertama menghasilkan GDP yang selanjutnya akan menghasilkan senyawa
monoterpen (C10), sedangkan rantai kedua berupa GGDP/GGPP bercabang
menghasilkan senyawa diterpen (C20) dan tetraterpen (C40) (Gambar 4).
Srivastava dan Akhila (2010) menambahkan bahwa jalur diterpen yang dihasilkan
dari oxido GGDP/GGPP menghasilkan senyawa andrographolide (Gambar 5).
Penelitian dari Jha et al (2011) mendapatkan hasil bahwa 3-hydroxy-3-
methylglutaryl-coenzyme A reductase (hmgr) adalah salah satu enzim kunci yang
berperan pada akumulasi kandungan andrographolide dan klorofil pada tanaman
sambiloto.
13
Gambar 4. Jalur biosintesis andrographolide. Pembentukan adrographolide
melalui jalur MVA dan jalur MEP/DXP di sitosol dan plastida (Aharoni et al. 2006).
Gambar 5. Jalur diterpen yang dihasilkan dari oxido GGDP/GGPP menghasilkan
senyawa andrographolide (Srinivastava & Akhila. 2010; Jha et al. 2011)
andrographolide
14
2.3. Perbaikan Mutu Tanaman Obat
Pemuliaan atau perbaikan mutu tanaman adalah salah satu strategi yang
dapat digunakan untuk mempertinggi keragaman genetik dan meningkatkan
kandungan senyawa aktif pada tanaman obat. Teknik pemuliaan tanaman secara
konvensional dan bioteknologi dapat diterapkan pada tingkat genetik untuk
perbaikan mutu dan konsistensi obat-obatan herbal agar dapat dibudidayakan dan
juga untuk memodifikasi potensi farmasi dan toksisitasnya (Canter et al. 2005).
Pemuliaan tanaman menghendaki adanya variasi genetik dari sifat tanaman yang
bermutu yang dapat berguna untuk perbaikan sifat tanaman tersebut (Novak &
Brunner 1992).
Pemuliaan mutasi adalah teknik pemuliaan yang dapat menghasilkan
variabilitas pada populasi yang mengalami mutasi, melalui perubahan secara
genetik sifat genotipe dan fenotipe yang dapat digunakan untuk seleksi yang
efektif pada sifat-sifat yang diinginkan (Tah 2008). Mutasi menurut Van Harten
(1998) didefinisikan sebagai perubahan pada tingkat hereditas terhadap materi
genetik, yang tidak disebabkan oleh peristiwa rekombinasi atau segregasi.
Perubahan materi genetik yang terjadi pada umumnya dapat diekspresikan pada
fenotipe tanaman dan diturunkan ke generasi selanjutnya secara genetik.
Strategi utama dari pemuliaan mutasi adalah untuk meningkatkan varietas
yang adaptif dengan merubah 1 atau 2 karakter yang utama (Ahloowalia &
Maluszynski 2001). Karakter tersebut meliputi perubahan tinggi tanaman,
proliferasi sel, peningkatan germinasi, pertumbuhan sel, aktivitas enzim,
ketahanan terhadap cekaman lingkungan, peningkatan hasil dan kualitas, ukuran
tanaman, waktu pembungaan, pemasakan buah, warna buah, serta kompatibelnya
sel pada kondisi lingkungan ekstrim sampai dengan peningkatan senyawa aktif
(Ahloowalia & Maluszynski 2001; Kiong et al. 2008).
Induksi mutasi merupakan metode yang paling mudah dalam menciptakan
variabilitas genetik dibandingkan dengan metode pemuliaan yang lainnya (Minn
et al. 2008). Induksi mutasi dapat diasumsikan sebagai dimensi baru, tidak hanya
pada perbaikan tanaman tetapi juga eksplorasi biologi (Ahloowalia &
Maluszynski 2001). Peningkatan nilai mutasi dengan menggunakan induksi
mutasi memberikan peluang peningkatan sumber variasi genotipe dan sangat
15
penting pada pemuliaan tanaman (Hoang et al. 2009). Mutasi somatik terjadi jika
sel mutan terus melakukan pembelahan, secara individual dan akan mengandung
bagian dari jaringan dengan genotipe yang berbeda dengan sel normal. Hal ini
termasuk terjadinya perubahan kariotipe, mutasi titik, pidah silang somatik dan
pertukaran kromatik, perubahan organela DNA, amplifikasi DNA, insersi atau
eksisi dari elemen loncat dan segregasi dari pre-existing kimera (Thohirah et al
2009).
Mutasi dengan menggunakan irradiasi pengion merupakan salah satu
pilihan yang paling banyak digunakan untuk membentuk mutan. Hal ini
disebabkan karena kemudahan aplikasinya dan kekuatan daya tembusnya dalam
menembus jaringan tanaman (Anwar et al. 2004). Saat ini mutasi dapat
dihubungkan dengan perubahan urutan DNA untuk beberapa sifat tanaman dan
untuk pembuatan peta molekuler yang tetap pada struktural dan fungsional
genomik pada tanaman (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Pemuliaan mutasi
merupakan salah satu alternatif terbaik untuk mempertinggi keragaman genetik
tanaman sambiloto sekaligus mencari sifat-sifat unggul yang dapat di seleksi
untuk menghasilkan varietas sambiloto dengan kadar andrographoide yang tinggi
dan sifat unggul yang lainnya. Generasi M1 merupakan generasi heterogen
dimana setiap tanaman akan membawa mutasi yang berbeda (Thohirah et al
2009). Pengaruh secara genetik atau mutasi dapat merubah material genetik dan
akan diteruskan dari generasi M1 ke generasi selanjutnya.
2.4. Iradiasi Sinar Gamma pada Tanaman Obat
Radiasi sinar gamma sangat penting pada pemuliaan mutasi dan
mutagenesis yang dapat digunakan untuk membentuk karakter tanaman dan
meningkatkan variasi genetik (Kiong et al. 2008). Mutagenesis berperan penting
dalam menghasilkan mutan baru dengan perbaikan kualitas yang dapat
meningkatkan metabolit yang dinilai penting secara komersial (Sanada 1986).
Sinar gamma adalah mutagen yang mempunyai energi radiasi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada ikatan kovalen atau ikatan hidrogen pada
molekul/biomolekul di sel yang dapat menghasilkan kerusakan pada tingkat
kromosom, gen dan berakhir dengan kematian sel (Xiang et al. 2002). Pengaruh
16
irradiasi sinar gamma secara biologi didasarkan pada interaksi dengan atom atau
molekul dalam sel, terutama air untuk membentuk radikal bebas (Borzouei et al.
2010). Radikal bebas ini dapat merusak atau memodifikasi komponen yang
penting pada sel tanaman dan telah dilaporkan berakibat pada perubahaan
tanaman baik secara morfologi, anatomi, biokimia dan fisiologi tanaman,
bergantung pada dosis irradiasi yang diberikan. Pengaruh dari sinar gamma
termasuk pada perubahan struktur sel dan metabolisme sel seperti dilasi membran
tilakoid, perubahan fotosintesis, modulasi sistem antioksidatif dan akumulasi
komponen fenolik (Wi et al. 2007). Irradiasi sinar gamma juga dapat
menyebabkan modulasi pada pola protein dengan cara menginduksi keberadaan
atau kehilangan beberapa pita protein (Hegazi & Hamideldin 2010).
Gambar 6. Pengaruh seluler secara langsung dan tidak langsung irradiasi pada
makromolekul (Azzam et al. 2012).
Radiasi dapat menyebabkan peningkatan produksi Reactive Oxygen
Spesies (ROS) melalui hidrolisis air atau pemutusan ikatan makromolekul yang
lain (Vandenhove et al 2010). ROS, seperti radikal superoksida (O2.-), radikal
hidroksil (-OH) dan hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen tunggal yang
terbentuk dari radiolisis air, yang dapat menyebabkan kerusakan pada tingkat
seluler (Alikamanoglu et al. 2011; El-Beltagi et al 2011). Secara ekstrim radikal
hidroksil yang reaktif dapat menyebabkan modifikasi basa, delesi basa dan
17
pemutusan untai DNA, yang dapat menyebabkan degradasi fotolitik karena
terjadinya oksidasi dan kerusakan struktur membram karena terjadinya
peroksidasi (Alikamanoglu et al. 2011). Adanya radiolisis air karena radiasi sinar
gamma juga menyebabkan perubahan kimia dari protein yang disebabkan karena
terjadinya fragmentasi, cross linking, agregasi dan oksidatif yang disebabkan oleh
radikal oksigen yang terbentuk tersebut (Lee et al 2005). ROS sangat reaktif pada
lipid membram, protein dan DNA. ROS diketahui dapat mengaktifkan sinyal
nitrogenmonoksida (NO) dan NADPH oksidase seperti enzim yang diketahui
dapat menyebabkan oksidatif (Zhang & Bjorn. 2009; Vandenhove et al 2010).
ROS dipercaya juga sebagai penyebab utama stress injuries dan kerusakan seluler
secara cepat (El-Beltagi et al 2011).
Kunci utama radiasi bahan tanaman adalah pada dosis radiasi, yang
merupakan jumlah energi radiasi yang diserap bahan tanaman. Unit penghitungan
dosis radiasi dahulu mempergunakan satuan rad, saat ini adalah Gray (Gy) sesuai
dengan unit dalam sistem internasional (SI). Satu Gy sama dengan serapan dari 1
Joule energi per kilogram produk yang diirradiasi, dimana 1 rad = 10-2 Gy atau 1
Gy= 100 rad. Pada penerapannya dosis irradiasi dibagi dalam tiga kategori yaitu
dosis tinggi (> 10 kGy), medium (1-10 kGy) dan rendah (<1 kGy). Dosis tinggi
biasanya digunakan untuk sterilisasi produk makanan dan dosis rendah digunakan
untuk menginduksi mutasi pada bahan berupa biji. Dosis berkisar 60-70 Gy telah
banyak diaplikasikan pada biji tanaman seperti, padi, gandum, jagung, kacang
(Van Harlen 1998; Ahloowalia & Maluszynski 2001). Stimulasi pengaruh
irradiasi sinar gamma dosis rendah kemungkinan menyebabkan terjadinya
stimulasi pembelahan sel atau elongasi sel dan perubahanan proses metabolisme
yang mengakibatkan sintesis fitohormon atau asam nukleat (Nassar et al. 2004).
Hegasi & Hamideldin (2010) mengatakan bahwa pada dosis yang rendah
untaian DNA yang panjang akan terpisah menjadi untaian kecil, sedangkan pada
dosis tinggi untaian DNA akan terpisah menjadi untaian panjang dan kecil.
Ditambahkan oleh Zeid et al (2001), bahwa jalur dari radiasi gamma dosis rendah
kemungkinan menyebabkan peningkatan aktivasi enzim dan embrio muda yang
menghasilkan peningkatan pembelahan sel yang berakibat tidak hanya pada
germinasi tetapi juga pada pertumbuhan vegetatif dan pembungaan. Penggunaan
18
irradiasi dosis rendah (1-10 Gy) juga telah dilaporkan dapat meningkatkan kadar
artemisin pada Artemisia annua (Koobkoooruad et al. 2008).
Irradiasi menggunakan sinar gamma telah terbukti secara ekonomis dan
lebih efektif bila dibandingkan dengan irradiasi yang lain. Hal ini disebabkan
karena aplikasinya mudah dan penetrasinya yang kuat sehingga dapat digunakan
untuk perbaikan tanaman (Anwar et al. 2004). Aplikasi radiasi pada tanaman telah
banyak dilakukan dengan berbagai tujuan diantaranya adalah untuk peningkatan
produktifitas tanaman (Khan & Khan. 2010), peningkatan produksi minyak
(Nassar et al. 2004) serta perakitan tanaman tahan penyakit dan toleran terhadap
kadar garam (Khodary 2004; Beltagi et al. 2006; El Sayed et al. 2007; Hoang et
al. 2009).
Sampai saat ini penelitian tentang irradiasi pada tanaman obat mulai
banyak dilaporkan. Pada awalnya irradiasi pada tanaman obat lebih banyak
digunakan untuk mengetahui kualitas higienis hasil ekstraksi dari herba
(Chmielewski & Migdal 2005), dekontaminasi dan disinfeksi mikroba pada
simplisia (Timpraser et al. 2003; Phianphak et al. 2007), seperti pada tanaman
obat Camellia sinensis (Fanaro et al. 2009) dan Turnera diffusa Wild (Camaro et
al. 2008). Dosis irradiasi yang biasa digunakan untuk dekontaminasi dan
disinfeksi mikroorganisme biasanya tinggi (kGy). Pada tanaman sambiloto
irradiasi dengan tujuan untuk mengetahui kualitas higienis hasil ekstraksi dari
herba dan dekontaminasi serta disinfeksi mikroba pada simplisia juga telah
dilaporkan (Timpraser et al. 2003, Chobkarjing 2004; Mamatha et al. 2010)
dengan dosis pemakaian berkisar antara 5-25 kGy.
Perkembangan penggunaan teknik irradiasi pada tanaman obat juga mulai
digunakan untuk perbaikan mutu tanaman. Penelitian yang telah dilaporkan
diantaranya adalah untuk peningkatan produksi shikonin pada Lithospermum
erythrorhizon S (Chung et al. 2006), menginduksi perubahan biokimia pada
tanaman obat Orthosiphon stamineus (Kiong et al. 2008), peningkatan senyawa
alkaloid pada tanaman obat Atropa belladonna L (Abdel-Hady et al. 2008),
peningkatan kandungan artemisinin pada Artemisia annua (Koobkoooruad et al.
2008), peningkatan kandungan minyak pada tanaman obat Thevetia (Adeogun and
Adeogun. 2009) dan peningkatan akumulasi flavanoid pada Centella asiatica
19
(Moghaddam et al. 2011). Pada tanaman sambiloto, irradiasi untuk tujuan
perbaikan mutu tanaman telah dilaporkan oleh Lattoo et al (2006), dengan
melakukan pembuatan jantan mandul menggunakan irradiasi sinar gamma dengan
dosis 2 kRad. Sampai saat ini penelitian tentang peningkatan senyawa aktif
tanaman sambiloto dengan irradiasi belum pernah dilaporkan.
2.5. Deteksi Mutan Hasil Irradiasi
Mutan yang terbentuk perlu diseleksi melalui beberapa generasi
pertumbuhan biji atau propagasi secara vegetatif. Pada tanaman yang diperbanyak
melalui biji mutan resesif biasanya diseleksi pada generasi kedua (M2) atau ke
tiga (M3) setelah perlakuan irradiasi. Pada tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif beberapa siklus dari propagasi diperlukan untuk mendapatkan homo-
histont atau ‘dissolve’ kimera dan mendapatkan mutan yang solid (Ahloowalia &
Maluszynski 2001). Pada perbanyakan mutan secara vegetatif, generasi M1V0
merupakan populasi generasi tanaman mutan (M, kependekan dari ’Mutan’) yang
belum diperbanyak secara vegetatif (V0). Tanaman generasi M1V1 merupakan
populasi tanaman hasil perbanyakan vegetatif pertama (V1) dari mutan generasi
pertama (M1). Sedangkan tanaman generasi M1V2 adalah populasi tanaman hasil
perbanyakan vegetatif dari M1V1, demikian seterusnya sehingga didapatkan
generasi M1V3 (Aisyah et al. 2009).
Mutasi gen yang terjadi tanpa ekspresi fenotipe yang terlihat biasanya tidak
dapat dikenali. Untuk dapat mengenali mutasi gen yang terjadi berbagai metode
telah diaplikasikan untuk mendeteksi pengaruh mutagen pada tanaman. Pada
tanaman obat perubahan sifat dan karakter mutan dapat dideteksi secara
morfologi, molekuler dan fitokimia.
Secara morfologi deteksi dilakukan dengan mengamati perubahan fenotipe,
seperti tinggi tanaman, bentuk daun, bentuk batang serta perubahan morfologi
yang terjadi pada mutan dibandingkan dengan kontrol. Deteksi secara molekuler
dilakukan untuk mengetahui perubahanan profil DNA hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan penanda molekuler. Sedangkan deteksi secara fitokimia
dapat dilakukan terhadap perubahan komponen senyawa aktif yang terkandung
dalam tanaman obat tersebut dibandingkan dengan kontrol. Pada mutan tanaman
20
obat selain terjadi perubahan genotipe diharapkan terjadi juga perubahan karakter
senyawa aktif yang terkandung didalamnya.
2.5.1. Deteksi Perubahan Morfologi Mutan
Perubahan fenotipe atau morfologi mutan dari hasil irradiasi biasanya
beraneka ragam bentuk tergantung dosis yang digunakan. Pada mutan yang
terbentuk, perubahan morfologi menjadi tanda awal untuk mengetahui pengaruh
mutasi pada tanaman tersebut. Perubahan ini dapat terjadi pada seluruh bagian
tanaman, baik berupa daun, bunga, batang, dan akar. Perubahan warna dan bentuk
bunga, tanaman kerdil atau tanaman menjadi besar (giant) dan fenotipe baru yang
terbentuk menjadi nilai komersial yang dapat diseleksi menjadi varietas baru
(Ahloowalia & Maluszynski 2001).
Banyak mutan menjadi tanaman kerdil, yang justru menjadi tanda spesifik
bagi hasil tertentu, seperti pada mutan padi Calrose 76 yang dikeluarkan di
California, yang berkontribusi besar pada produksi padi di USA, mempunyai ciri
tanaman yang semi kerdil (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Pada tanaman hias,
pengaruh mutasi sangat terlihat secara morfologi, perubahan warna bunga, bentuk
dan ukuran bunga yang mudah di seleksi dan menjadi nilai lebih secara komersial.
Pada mutan tanaman krisan selain terjadi variasi ukuran dan bentuk bunga,
perubahan warna juga ditemukan (Lamseejan et al. 2000). Pembentukan mutan
kerdil juga telah ditemukan pada tanaman Cynodon dactylon (Lu et al. 2009) dan
pisang (Suprasana et al. 2008).
2.5.2. Deteksi Perubahan Profil DNA Mutan
Deteksi perubahan profil DNA mutan dapat dilakukan dengan
mengunakan penanda molekuler. Penanda molekuler didefinisikan sebagai bagian
dari segmen DNA yang mewakili perbedaan pada tingkat genom (Agarwal et al.
2008). Penanda molekuler secara langsung dapat membandingkan perubahan
genotipe pada tingkat DNA. Penanda molekuler sangat akurat karena dapat
memberikan informasi polimorfik, sebagai komposisi genetik yang unik pada
masing-masing spesies, yang tidak tergantung pada umur dan kondisi fisiologi
seperti faktor lingkungan (Joshi et al. 2004). Penanda molekuler dapat
21
memperlihatkan perbedaan antar aksesi pada tingkat DNA dan memberikan
informasi secara langsung, dapat dipercaya dan efisien untuk konservasi dan
pemeliharaan plasma nutfah dibandingkan analisa secara morfologi (Babaei et al.
2010).
Teknik Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) adalah teknik berbasis PCR
yang telah dilaporkan oleh Zietkiewicz et al. (1994), yang melibatkan amplifikasi
segmen DNA diantara daerah perulangan 2 mikrosatelit yang identik dengan
orientasi pada arah berlawanan menggunakan primer yang didisain dari daerah
inti mikrosatelit. Teknik ini menggunakan primer mikrosatelit, panjangnya sekitar
16-25 bp dari pengulangan di-nukleotida, tri-nukleotida, tetra-nukleotida atau
penta-nukleotida pada target genom multi lokus (Vijayan et al. 2005). Teknik
penanda DNA ISSR ini adalah penanda ideal untuk pemetaan genetik dan
populasi disebabkan karena berlimpah ruah dan tingginya nilai polimorfik
diantara individu dan populasi yang genotipenya berdekatan (Hadia et al. 2008).
Kelebihan dari teknik ISSR dibandingkan dengan teknik yang lain adalah
lebih efisien, sederhana pengoperasiannya, akurat, biaya murah, prosesnya cepat,
tinggi polimorfik yang didapat, stabil, dapat dipercaya dan mudah diulang
(Vijayan et al. 2005; Zhou et al. 2007; Hussein et al. 2008; Su et al. 2008).
Teknik ISSR mendeteksi polimorfik pada lokus mikrosatelite dan inter-
mikrosatelite tanpa terlebih dahulu mengetahui urutan DNA (Hussein et al. 2005)
dengan syarat susunan basa yang berulang tersebut mewakili secara luas dan
menyebar diseluruh genom (Wahyuni et al. 2004).
2.5.3. Deteksi Perubahan Profil Fitokimia Mutan
Untuk mengetahui perubahan senyawa aktif pada mutan hasil irradiasi
dapat diketahui dengan melakukan analisa profil perubahan senyawa aktif
tanaman tersebut. Banyak metode yang telah digunakan untuk mendeteksi profil
fitokimia yang berubah pada mutan tanaman obat. Kromatografi Lapis Tipis
(TLC) dan Kromatografi (HPLC) telah menjadi prosedur standar untuk
mengidentifikasi senyawa aktif tanaman obat.
Pada tanaman sambiloto ekstraksi kandungan senyawa aktif secara
konvensional dilakukan dengan menggunakan maserasi, ekstraksi Soxhlet dan
22
ekstraksi ultrasonic (Subramanian et al. 2012). Di beberapa Negara Asia dimana
sambiloto dijual secara komersial, berbagai metode digunakan untuk memastikan
tingkat standarisasi dari andrographolide, metode yang digunakan diantaranya
adalah thin layer chromatography, ultraviolet spectrophotometry, liquid
chromatography, teknik volumetric dan colorimetric serta HPLC. Metode-metode
tersebut merupakan metode yang paling baik dan dapat diandalkan untuk
mengetahui profil andrograpolide secara kuantitatif dan kualitatif (Aromdee et al.
2005; Mishra et al. 2007).
Umumnya, ekstraksi andrographolide dilakukan dengan menggunakan
metanol atau air, kemudian ekstrak difraksinasi lebih lanjut dengan metanol-
kloroform, dichlorometan dan/atau petroleum eter atau heksana sesuai dengan
fraksi andrographolide atau gugus yang diinginkan (Mishra et al. 2007). Metode
HPLC dan HPTLC lebih sering digunakan untuk analisa quantitatif
andrographolide karena merupakan metode kromatografi cair sederhana yang
telah dapat digunakan untuk penentuan 3 komponen andrographolide utama yaitu
didehydroandrographolide, andrografolide dan neoandrographolide dengan
deteksi UV pada panjang gelombang 230 nm (Mishra et al. 2007).
Teknik HPLC merupakan pengembangan dari teknik kromatografi dengan
fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. Kelebihan dari teknik HPLC
adalah mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, mudah
melaksanakannya, kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi, dapat dihindari
terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis, resolusi yang baik, dapat
digunakan bermacam-macam detektor, kolom dapat digunakan kembali, dan
mudah melakukan "sample recovery".
Untuk meningkatkan resolusi, kolom HPLC dikemas dengan partikel yang
berukuran kecil (3, 5, 10 μm) dengan distribusi ukuran sempit. Laju aliran dan
ukuran kolom dapat disesuaikan untuk meminimalkan pelebaran pita (Ngan.
2005). Pemilihan pelarut dan kondisi eluen (gradien atau isokratik) bergantung
pada campuran masing-masing komponen dan kandungan yang diinginkan.
Kebanyakan elusi yang digunakan adalah elusi gradien. Elusi gradien
merupakan solven organik yang dibentuk dari campuran dua macam eluen, eluen
yang satu mengandung konsentrasi rendah dari solven organik atau tidak
23
mengandung solven organik (bufer A) dan yang satunya terdiri dari konsentrasi
tinggi dari solven didalam air (bufer B). Tetapi kandungan solven organik kedua
eluen tersebut identik (Chobkarjing. 2004). Detektor yang biasa digunakan dalam
sistem HPLC adalah ultraviolet/visible (UV/Vis), indeks bias (RI), evaporative
light-scattering (ELS), MS dan detektor fluoresensi (Ngan. 2005). Elusi isokratik
adalah elusi dimana fase gerak masuk dalam kolom dalam kondisi tetap. Pada
elusi isokratik kondisi kromatografi dijaga tetap konstan melalui sejumlah
penelitian. Hal ini yang mendasari konstruksi dasar dari sistem kromatografi pada
metode elusi isokratik lebih sederhana (Chobkarjing. 2004).