Upload
yoal-krif
View
2.798
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
MARIANA ZAINUN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2009
Mariana Zainun NIM E051060261
ABSTRACT
MARIANA ZAINUN. The Ecotourism Development Strategy of Mount Lumut Protection Forest at Paser District East Kalimantan. Under direction of: RINEKSO SOEKMADI and M. BUCE SALEH.
Mount Lumut Protection Forest has high biodiversity, natural beauty
scenery, and unique social culture that ecotourism is potentially to be developed there. The ecotourism development is an alternative of this site utilization that will benefit local community, as well as the government. This research is aimed at identifying internal and external factors of ecotourism development and to generate ecotourism development strategies at Mount Lumut Protection Forest, Paser District East Kalimantan. The research was performed in non-experimental method such as explorative descriptive, observation, and literature study. Mapping of the strategies is based on SWOT analysis throughout purposive sampling at four selected villages around the site, which comprise of 30 respondents at each village. The result revealed the Mount Lumut is appropriate for ecotourism recommendation and development. The SWOT analysis resulted weakness dominancy (-2,00) in internal strategy that was facilities and tourism services unavailability, meanwhile external strategy was dominated by opportunities (2,15) that was society participation eagerness. Both factors put ecotourism development at quadrant 3 (-0,39 ; 1,03) of Matrix Grand Strategy which mean though there was weakness but it also has opportunities to forward ecotourism organization and development at some point. Thus, services and facilities organization should be spotlighted and developed due to the strategy. Community and stakeholders involvement should be devoted in ecotourism development efforts. Keywords: Mount Lumut Protection Forest, development strategy, ecotourism,
nature tourism objects
RINGKASAN
MARIANA ZAINUN. Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan M. BUCE SALEH.
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas 35.350 ha. HLGL mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki cukup tinggi terutama dengan keberadaan flora dan fauna, vegetasi lumut, keindahan alam, (gunung, panorama alam); gejala alam (goa, sungai dan air terjun); serta budaya masyarakat yang unik. Pengembangan ekowisata ini merupakan alternatif pemanfaatan kawasan agar keberadaannya dapat dirasakan, baik oleh masyarakat sekitarnya dan pemerintah setempat. Diharapkan segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang sifatnya negatif yang dilakukan masyarakat sekitarnya dapat ditekan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan ekowisata dan merumuskan strategi pengembangan ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode non experimental yaitu deskriptif eksploratif, observasi dan studi pustaka. Pengambilan sampel masyarakat sekitar dan para stakeholder menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah responden 120 orang, dari 30 orang setiap desa yang dipilih sebagai sampel adalah Desa Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung dan Kasungai. Analisis dilakukan dengan analisis deskriptif dan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan HLGL memiliki potensi sumberdaya alam dan budaya yang potensial untuk dikembangkan sehingga dapat direkomendasikan bagi pengembangan ekowisata. Berdasarkan potensi permintaan dalam menunjang pengembangan ekowisata di HLGL perlu dilakukan penataan kelembagaan dan organisasi, sarana dan prasarana, aksesibilitas dan fasilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling dominan terhadap faktor strategi internal adalah kelemahan (-2,00); utamanya ketersediaan berbagai fasilitas dan pelayanan wisata, sedangkan untuk faktor strategi eksternal di dominasi oleh peluang (2,15); utamanya keinginan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dimasa mendatang. Dari kedua faktor tersebut, maka nilai penjumlahan yang diperoleh untuk posisi ordinat dalam Matrik Grand Strategi adalah berada pada sel 3 (-0,39 ; 1,03), artinya meskipun memiliki kelemahan pada faktor internal namun masih mempunyai peluang untuk lebih maju dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata dimasa mendatang. Dengandemikian langka-langka kongkrit untuk strategi kedepan yang dapat dilakukan adalah membangun kapasitas pengelolaan HLGL dan menjalin kerjasama dengan pihak terkait. Hal ini sangat terkait dengan manajemen pengelolaan kawasan dimasa mendatang. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan juga perlu diperhatikan karena merupakan peluang yang sangat baik. Oleh karena itu,
kerjasama yang baik dengan masyarakat sekitarnya sangat diperlukan guna menunjang pengembangan ekowisata. Hasil penelitian ini diharapkan mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait utamanya instansi dan pemerintah setempat guna pengembangan di masa mendatang dan menjadi bahan informasi bagi pengambil keputusan untuk pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dimasa mendatang. Kata kunci: Hutan Lindung Gunung Lumut, strategi pengembangan, ekowisata,
obyek dan daya tarik wisata alam.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
MARIANA ZAINUN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
Nama : Mariana Zainun N I M : E051060261
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 27 Januari 2009 Tanggal Lulus: 03 Februari 2009
PRAKATA
Dengan penuh rasa syukur penulis mengucapkan Alhamdulillah atas limpahan rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian dan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih dan rasa penghargaan dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS., sebagai
komisi pembimbing atas ketulusannya dalam memberikan bimbingan dan arahannya sejak awal penelitian hingga akhir penulisan tesis ini.
2. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji dan memberi masukan bagi penulisan tesis ini.
3. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
4. Petrus Gunarso Ph.D., selaku Ketua TBI-Indonesia The Mof Tropenbos Kalimantan Programme, selaku donatur dan fasilitator penelitian ini beserta seluruh stafnya.
5. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser beserta seluruh pegawai Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Bapedalda, Kesbanglimas Kabupaten Paser serta Kesbanglimas Samarindah, yang turut membantu kelancaran penelitian.
6. Bapak Dedi Armansyah (Pak Debang) selaku ketua Persatuan Masyarakat Adat (PeMA) Paser, Pak Jidan selaku ketua adat Dusun Muluy, Pak Semok selaku ketua adat Desa Rantau Layung, Bapak Kepala Desa Swanslutung, Kepala Desa Tiwei, Kepala Desa Rantau Layung serta Kepala Desa Kasungai serta masyarakatnya atas kerjasama yang baik selama kegiatan penelitian.
7. Doa dan terimakasih yang tiada terhingga penulis sampaikan teruntuk kedua orang tua, semoga ALLAH SWT memberikan balasan kebaikan yang berlimpah segala pengorbanan yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan. Bapak H. Sainun La Saangu dan Ibu Hj. Sitti Wa Datu tersayang, dan Kakak Safia, Adik Nur Nila, Nur Oktamin, dan Ahmad Sainun, serta seluruh keluarga besar tercinta atas doa, dukungan semangat dan kasih sayangnya.
8. Bapak H. Kamilun dan Ibu Hj. Maryati Erni terkhusus Kakak Lukman Firdaus, ST., yang memberi doa dan dukungan yang selalu menyertai dan menjadi motivasi bagi penulis.
9. Rekan-rekan IPK angkatan 2006 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir.
10. Teman-teman Mega Kost yang tidak dapat dituliskan namanya satu persatu, serta Ilham dan Sufina yang telah memberi dorongan dan semangat, motivasi kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dimana telah ikut membantu dalam penulisan tesis, penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, Januari 2009
Mariana Zainun
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Katukobari, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 21 Juni 1982 sebagai putri ke dua dari lima bersaudara dari Ayah H. Sainun La Saangu dan Ibu Hj. Sitti Wa Datu. Menamatkan pendidikan sekolah TK Darma Wanita 1 Mawasangka tahun 1988, dan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Mawasangka tahun 1994. Kemudian menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Mawasangka tahun 1997, dan lulus dari SMA Negeri 1 Mawasangka tahun 2000, hingga pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Haluoleo (UNHALU) melalui jalur UMPTN dan akhirnya lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2005. Penulis menempuh studi S2 masuk tahun 2006 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan melalui sponsor sendiri. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis melakukan penelitian tentang “Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur” dibawah bimbingan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xvi
I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 2 1.3 Tujuan ...................................................................................... 3 1.4 Manfaat .................................................................................... 3 1.5 Kerangka Pemikiran................................................................. 3
II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6 2.1 Hutan Lindung ......................................................................... 6 2.2 Ekowisata ................................................................................. 8 2.3 Pengembangan Ekowisata........................................................ 10 2.4 Ekowisata Sebagai Konsep ...................................................... 14 2.5 Masyarakat Sekitar Hutan ........................................................ 16 2.6 Strategi ..................................................................................... 17
III METODE PENELITIAN.................................................................. 18
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 18 3.2 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 18 3.3 Tehnik Pengumpulan Data....................................................... 19 3.4 Tahap Pengumpulan Data ........................................................ 20
3.4.1 Studi Pustaka atau Literatur ........................................... 21 3.4.2 Pengamatan Lapangan ................................................... 21 3.4.3 Wawancara..................................................................... 21
3.5 Pengolahan Data ...................................................................... 21 3.6 Analisis Data ............................................................................ 22 3.6.1 Analisis Potensi ODTWA sebagai Pengembangan - Ekowisata ........................................................................ 22 3.6.2 Analisis Terhadap Masyarakat dan Permintaan Wisata - di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)..... 22 3.6.3 Analisis Strategi Pengembangan..................................... 22
IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .................................... 26 4.1 Letak dan Luas ......................................................................... 26 4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut................................... 27 4.3 Bentuk Lahan dan Topografi ................................................... 28 4.4 Geologi dan Tanah ................................................................... 29 4.5 Iklim ......................................................................................... 30 4.6 Vegetasi.................................................................................... 30 4.7 Hidrologi .................................................................................. 30
xii
4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna ........................................... 31 4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat................. 33
4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan ................................ 33 4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat Setempat 34 4.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat .................................. 35 4.9.4 Suku, Agama dan Potensi Seni Budaya Masyarakat ... 37
V HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 39 5.1 Potensi Penawaran Wisata ....................................................... 39 5.1.1 Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA)......... 39 5.1.1.1 Pintu Masuk Swanslutung.............................. 40 5.1.1.2 Pintu Masuk Tiwei ......................................... 44 5.1.1.3 Pintu Masuk Rantau Layung.......................... 45 5.1.1.4 Pintu Masuk Kasungai ................................... 49 5.1.2 Daya Tarik Biologi....................................................... 51 5.1.2.1 Flora ............................................................... 51 5.1.2.2 Fauna .............................................................. 54 5.1.3 Wisata Sosial Budaya.................................................... 55 5.1.3.1 Kearifan Lokal ............................................... 55 5.1.3.2 Musik dan Tarian ........................................... 56 5.1.3.3 Kerajinan Tangan ........................................... 58 5.1.3.4 Sarana dan Prasarana Hutan Lindung Gunung- Lumut (HLGL).............................................. 59 5.1.4 Masyarakat Sekitar Kawasan ....................................... 62 5.1.4.1 Karateristik Responden Masyarakat Desa ...... 62 5.1.4.2 Persepsi Responden......................................... 64 5.1.4.3 Partisipasi Responden ..................................... 66 5.1.4.4 Saran dan Harapan Responden........................ 67 5.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sekitar - Kawasan ....................................................................... 68
5.1.6 Kondisi dan Permasalahan Masyarakat Sekitar - Kawasan ....................................................................... 69 5.2 Potensi Permintaan Wisata......................................................... 71 5.2.1 Permintaan Wisata di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)................................................... 71
5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata ........................................... 72 5.3.1 Analisis SWOT ............................................................ 72 5.3.2 Matriks Internal-Eksternal ........................................... 77 5.3.3 Posisi Strategi Pada Matriks Grand Strategi ............... 79 5.3.4 Rekomendasi Grand Strategi Pengembangan - Ekowisata Pada Kawasan Hutan Lindung Gunung - Lumut (HLGL)............................................................. 82 5.3.5 Rekomendasi Strategi Pengembangan Ekowisata pada- Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)...... 83
VI KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 87
6.1 Kesimpulan .............................................................................. 87 6.2 Saran......................................................................................... 87
xiii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 89 LAMPIRAN............................................................................................... 92
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian.................................... 19
2 Matriks SWOT.................................................................................... 23
3 Rangkuman Matriks Internal Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan- Ekowisata ............................................................................................ 24
4 Rangkuman Matriks Eksternal Peluang dan Ancaman Pengembangan - Ekowisata ............................................................................................ 24
5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan - Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)............................................. 34
6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)...................................................................... 34
7 Jumlah Anak Usia Sekolah di Kecamatan-Kecamatan yang ada - di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Tahun 2006..................................................................................................... 36
8 Jumlah Sekolah Pada Tiga Kecamatan di Sekitar Kawasan Hutan - Lindung Gunung Lumut (HLGL) ....................................................... 36
9 Karateristik Responden Masyarakat Desa di Sekitar Kawasan Hutan - Lindung Gunung Lumut (HLGL) ....................................................... 63
10 Persepsi Responden Terhadap Pengembangan Ekowisata di Kawasan- Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)............................................. 64
11 Partisipasi Responden Terhadap Prospek Pengembangan Ekowisata- di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)......................... 67
12 Kawasan Wisata Sejenis Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) .... 72
13 Faktor Internal ..................................................................................... 77
14 Faktor Eksternal .................................................................................. 78
15 Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Hutan - Lindung Gunung Lumut (HLGL) ....................................................... 80
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran........................................................................... 5
2 Alur Pikir Pengembangan Ekowisata................................................. 11
3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Ekowisata- Menuju Sustainable Ecotourism ........................................................ 12
4 Monitoring dan Evaluasi Dalam Ekowisata....................................... 12
5 Diagram Hipotetikal........................................................................... 15
6 Peta Lokasi Penelitian ........................................................................ 18
7 Model Matriks Grand Strategi........................................................... 25
8 Papan Pintu Masuk Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) 27
9 Air Terjun Une Berada di Kaki Gunung Lumut ................................ 41
10 Pemandangan Lepas........................................................................... 42
11 Puncak Gunung Lumut ...................................................................... 44
12 Air Terjun Tiwei ................................................................................ 45
13 Air Terjun, Muara, dan Liang Nango ................................................ 48
14 Goa Tengkorak................................................................................... 50
15 Goa Loyang........................................................................................ 51
16 Anggrek di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ........................ 52
17 Flora di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).............................. 53
18 Kupu-Kupu di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ................... 55
19 Lanjung .............................................................................................. 59
20 Posisi Strategi Untuk Pengembangan Ekowisata di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)..................................................................... 81
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Panduan Wawancara Dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser - Provinsi Kalimantan Timur.................................................................. 93
2 Panduan Wawancara Dengan Pihak Terkait, Kabupaten Paser Provinsi- Kalimantan Timur ................................................................................ 94
3 Panduan Wawancara Dengan Pemerintah Desa dan Tokoh Masyarakat- Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).................. 95
4 Kuesioner Penelitian (untuk masyarakat) ............................................ 96
5 Kuesioner Penelitian (untuk pemerintah)............................................. 99
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan di Indonesia merupakan sumberdaya yang sangat penting karena
mencakup sebagian besar wilayah Indonesia dan menjadi paru-paru dunia. Hutan
dengan segala potensi yang terdapat di dalamnya merupakan kekayaan yang harus
dilestarikan sehingga dapat berguna secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat
tanpa merusak ekosistem. Akan tetapi hal ini tidak selalu berjalan sebagaimana
mestinya sebab keberadaan hutan tidak lepas dari kegiatan masyarakat terutama
masyarakat yang berada di sekitar hutan. Interaksi tersebut sangat kompleks dan
tergantung pada beberapa faktor antara lain: adat istiadat dan budaya masyarakat,
jenis mata pencaharian, tingkat kesejahteraan penduduk, tingkat pendidikan dan
tingkat pertumbuhan penduduk. Faktor lain yang turut mempengaruhi interaksi
masyarakat adalah pemaknaan masyarakat terhadap keberadaan hutan.
Dalam konsideran Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa hutan di Indonesia berdasarkan fungsi
pokoknya maka hutan di Indonesia dibagi menjadi hutan konservasi, hutan
lindung dan hutan produksi. Fungsi pokok hutan lindung adalah sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah. Selanjutnya, Pasal 26
ayat 1 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa
lingkungan pada kawasan hutan lindung adalah pemanfaatan untuk wisata alam
terutama minat khusus (ekowisata) yang harus dilakukan secara
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian
lingkungan.
Salah satu hutan lindung di Indonesia yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai obyek wisata alam adalah Hutan Lindung Gunung Lumut
(HLGL). HLGL ini merupakan salah satu dari empat hutan lindung yang terdapat
di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Sesuai Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 24 Kpts/UM/I/1983 luas kawasan HLGL mencapai 35.350 ha
2
yang kewenangannya dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Paser.
Pertimbangan utama HLGL berpotensi dijadikan sebagai obyek wisata adalah
berbagai obyek daya tarik biofisik yang khas dan unik. Obyek-obyek itu berupa
kelimpahan vegetasi lumut, keanekaragaman flora dan fauna, pemandangan alam,
aliran sungai dan air terjun. Selain daya tarik tersebut, daya tarik sosial budaya
masyarakat sekitarnya juga menjadi obyek ekowisata yang bernilai dan menarik.
Kawasan HLGL yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang
tinggi di Indonesia, selain sebagai kawasan HLGL juga berperan memberikan
manfaat secara ekologis bagi daerah-daerah sekitarnya. Salah satu manfaat
tersebut adalah sebagai daerah tangkapan air bagi dua daerah aliran sungai (DAS)
yaitu DAS Telake dan DAS Kendilo. Kedua DAS ini berperan penting bagi
sebagian masyarakat Kabupaten Paser, yakni sebagai sumber air bagi kebutuhan
masyarakat Tanah Grogot, Muara Komam, Long Iris dan Batu Sopang
(Tropenbos International Indonesia 2006).
Selain memberikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian daerah,
HLGL juga memungkinkan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
setempat jika pengelolaannya tidak direncanakan secara baik dan melibatkan
peran serta dan dukungan aktif masyarakat setempat. Terkait dengan rencana
pemanfaatan kawasan HLGL sebagai suatu obyek ekowisata maka diperlukan
suatu penelitian untuk mengetahui berbagai potensi dan prospek
pengembangannya, sehingga dapat disusun strategi pengembangan ekowisata di
kawasan tersebut. Dengan demikian, pengembangan ekowisata di HLGL
diharapkan tidak bertentangan dengan fungsi utamanya sebagai hutan lindung.
1.2 Perumusan Masalah
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai potensi alam yang
khas dan unik, terutama kelimpahan vegetasi lumut yang selalu aktif, disamping
keanekaragaman flora, fauna dan budayanya. Di sisi lain masyarakat sekitar
kawasan memiliki hubungan yang kuat dengan HLGL, baik hubungan spiritual,
supranatural maupun ekonomi. Bagi masyarakat sekitar, kawasan HLGL
bukanlah suatu ancaman namun merupakan sumber kehidupan. Masyarakat
3
sekitar kawasan memanfaatkan kawasan HLGL sebagai lahan untuk tempat
mereka menggantungkan hidupnya.
Dalam upaya pengembangan ekowisata di HLGL diperlukan suatu
penelitian terhadap komponen-komponen Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam
(ODTWA) dan budaya masyarakat sekitarnya agar dapat disusun suatu rencana
pengembangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan dengan tetap menjaga
status kawasan HLGL sebagai hutan lindung. Dengan demikian diharapkan
manfaat ekowisata di kawasan dapat diperoleh secara optimal, yaitu secara
ekonomis memberikan keuntungan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar
dan secara ekologis, sumber daya alam yang ada tetap dilindungi dan tetap
terjamin kelestariannya. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, “Bagaimana Strategi Pengembangan
Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi
Kalimantan Timur?”.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor intenal dan eksternal pengembangan ekowisata
di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi
Kalimantan Timur.
2. Merumuskan strategi pengembangan ekowisata Hutan Lindung Gunung
Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Propvinsi Kalimantan Timur.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelola
kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dalam pengembangan ekowisata HLGL
Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
1.5 Kerangka Pemikiran
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai obyek dan daya tarik
wisata alam (ODTWA) yang sangat potensial untuk dikembangkan. Kerangka
pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah upaya pengembangan ekowisata
4
di HLGL Kabupaten Paser melalui pengelolaan wisata. Kondisi yang sudah ada
yakni bahwa pengembangan ekowisata di kawasan HLGL Kabupaten Paser
sampai saat ini masih belum optimal. Meskipun potensi wisata alam kawasan
tersebut sangat tinggi dengan kekayaan flora, fauna yang khas dan unik yang
didukung oleh kekhasan budaya masyarakat sekitarnya, namun jumlah wisatawan
yang berkunjung sangat rendah dan terbatas. Dengan demikian, diperlukannya
rumusan strategi pengembangan kawasan tersebut menjadi kawasan bernilai jual
wisata yang tinggi tetapi tetap menjaga keaslian lingkungannya.
Faktor-faktor dalam manajemen pengembangan ekowisata sebagai berikut:
1. Faktor-faktor supply (ODTWA) berupa potensi biofisik dan budaya
2. Faktor-faktor demand (potensial) berupa permintaan wisata di kawasan HLGL
3. Faktor-faktor penunjang berupa akomodasi, fasilitas, aksesibilitas, dan sarana
prasarana serta dukungan para pihak terkait (stakeholder). Faktor-faktor
tersebut dianalisis dengan menggunakan metode SWOT untuk mendapatkan
rumusan strategi pengembangan ekowisata.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka ruang lingkup penelitian
ini antara lain sebagai berikut:
1. Inventarisasi potensi ODTWA di kawasan HLGL
2. Analisis terhadap budaya masyarakat lokal yang meliputi karateristik,
persepsi, partisipasi, harapan serta motivasi terhadap kegiatan wisata di masa
mendatang, dan permintaan wisata di kawasan HLGL terhadap
pengembangannya menjadi kawasan ekowisata.
3. Identifikasi terhadap faktor penunjang yang meliputi informasi, promosi,
akomodasi, fasilitas, aksesibilitas, sarana dan prasarana serta dukungan
stakeholder.
5
Untuk mengetahui strategi pengembangan ekowisata HLGL dilakukan
analisis SWOT. Secara skematis konsep pemikiran dimaksud disajikan dalam
kerangka pikir pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Faktor supply ODTWA HLGL,
potensi biofisik dan budaya
Faktor penunjang aksesibilitas, sarpras dan
dukungan stakeholder
Pengelolaan Ekowisata HLGL
Faktor demand
ANALISIS SWOT
Strategi Pengembangan Ekowisata HLGL
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Lindung
Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena
memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu
memberikan perlindungan kepada mahluk hidup, pengaturan tata air, pencegahan
banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan
hutan lindung didasarkan pada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan
curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu
(Ngadiono 2004).
Adapun kriteria dari kawasan hutan lindung menurut PP No. 44 tahun
2004 pasal 24, dengan memenuhi syarat dibawah ini:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih (Surat
Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980);
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapang 40% (empat puluh per seratus)
atau lebih;
3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih
di atas permukaan laut;
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dan lereng
lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus);
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
Kawasan yang dilindungi dapat memberikan kontribusi besar dalam
pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan kewilayah pedesaan.
Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar dapat mendatangkan
keuntungan yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat
bermanfaat bagi masyarakat setempat. Pengembangan pariwisata didalam dan
disekitar kawasan yang dilindungi merupakan penunjang kebutuhan pertumbuhan
pariwisata dan merupakan cara terbaik mendatangkan keuntungan ekonomi bagi
kawasan terpenting dengan cara menyediakan kesempatan kerja dan merangsang
7
pasar setempat serta memperbaiki sarana angkutan dan komunikasi
(Mackinon et al. 1993).
Lebih lanjut Avenzora (2004) menyatakan bahwa keberadaan kawasan
lindung dapat menjaga kualitas kawasan lindung tersebut dan meningkatkan
pendapatan asli daerah. Karenanya, pengembangan wisata alam di hutan lindung
merupakan solusi terbaik untuk mencapai pendapatan daerah optimum bagi
Kabupaten.
Tujuan pengelolaan hutan lindung adalah perlindungan kawasan untuk
mencegah terjadinya erosi, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk
menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan. Prinsip
pengelolaan hutan lindung adalah pendayagunaan fungsi hutan lindung untuk
kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, pengkayaan dan penangkaran, penyediaan
plasma nutfah untuk kegiatan budidaya dan masyarakat setempat, wisata alam,
pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan, penelitian dan wisata alam
diupayakan sedemikian rupah agar tidak mengurangi luas dan tidak merubah
fungsi kawasan (Ngadiono 2004).
Pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan Lindung menurut SK Menteri
Kehutanan 464/Kpts-II jo No. 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No. 129/
Kpts/DJ-VI/1996 meliputi: (1) Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung
meliputi flora, fauna, potensi wisata, dan potensi sumber daya air,
(2) Pemancangan dan pemeliharaan batas, (3) Perlindungan dan pengamanan
fungsi ekosistem dan kawasan, (4) Rehabilitasi hutan yang rusak, (5) Pemanfaatan
hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan dan (6) Peningkatan peran serta
masyarakat (Ngadiono 2004).
Peraturan Pemerintah (PP) No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan, Pasal 19 ayat (2) menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang
dapat dilakukan dalam hutan lindung meliputi usaha budidaya tanaman obat
(herba), tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan usaha
budidaya sarang burung wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung
sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3) meliputi usaha alam, olahraga
tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha
8
penyelamatan hutan dan lingkungan.
Untuk pengelolaan hutan lindung dapat dibangun sarana-prasarana yang
meliputi sarana pokok dan sarana pengembangan pariwisata terbatas. Sarana
prasarana pokok pengelolaan hutan lindung meliputi kantor pengelola, pusat
informasi, pondok kerja/jaga/penelitian, jalan patroli, menara pengawas
kebakaran, plot-plot pengamat erosi, peralatan klimatologi, peralatan pengukur
erosi/abrasi dan pengamat air, kandang satwa, peralatan navigasi, peralatan
komunikasi, peralatan transportasi, serta peta dasar dan peta kerja. Sarana
prasarana untuk pengembangan wisata meliputi pembangunan jalan setapak dan
perlengkapan wisata terbatas. Untuk kegiatan pengembangan ekowisata di hutan
lindung terdiri dari pelayanan pengunjung, pemanduan dan interpretasi, pusat
informasi, toko souvenir (souvenir shop), toilet dan MCK (mandi cuci kakus),
pemeliharaan sarana, pemeliharaan kebersihan, hubungan dengan instansi lain dan
masyarakat, promosi dan informasi, pengembangan ekowisata, keamanan
pengunjung, parkir kendaraan, pelayanan penelitian, operasi radio dan pendidikan
staf pengelola (Ngadiono 2004).
2.2 Ekowisata
Ekowisata diperkenalkan pertama kali oleh Ceballos-Lascurain (1983)
yang mendefinisikan bahwa ekowisata sebagai kunjungan ke daerah-daerah yang
masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan
tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam
dengan tumbuhan satwa liar serta budaya (baik masa lalu maupun sekarang) yang
ada di tempat tersebut.
Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Ceballos-
Lascurain setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masing-
masing meninjau dari sudut pandang berbeda (Fennell 1999).
Hafild (1995) dalam Kesuma (2000), menyatakan bahwa ekowisata
mempunyai 3 dimensi, yaitu:
1. Konservasi: kegiatan wisata tersebut membantu usaha pelestarian alam
setempat dengan dampak negatif seminimal mungkin.
9
2. Pendidikan: wisatawan yang mengikuti wisata tersebut akan mendapatkan
ilmu pengetahuan mengenai keunikan biologis, ekosistem dan kehidupan
sosial di kawasan yang dikunjungi.
3. Sosial: masyarakat mendapat kesempatan untuk menjalankan kegiatan
tersebut.
Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan
wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata.
Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata
alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Weber dan
Damanik 2006).
Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif,
yakni ekowisata sebagai produk, sebagai pasar dan sebagai pendekatan
pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang
berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan
yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan
pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.
Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood, 1999 dalam Fandelli 2000),
menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: (1) Mencegah
dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan
budaya, (2) Pendidikan konservasi lingkungan, (3) Pendapatan langsung untuk
kawasan, (4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (5) Meningkatkan
penghasilan masyarakat, (6) Menjaga keharmonisan dengan alam, (7) Menjaga
daya dukung lingkungan dan (8) Meningkatkan devisa buat pemerintah.
Kusler (1991) menyatakan bahwa untuk pengembangan ekowisata perlu
didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana seperti jalan, penginapan,
transportasi kerjasama pemerintah dengan pihak swasta serta promosi dan
publikasi oleh berbagai instansi terkait.
Dalam konteks perumusan rencana strategis pengembangan ekowisata
nasional dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang berlaku universal,
rekomendasi-rekomendasi yang terangkat dalam berbagai forum diskusi dan hasil-
10
hasil kajian dan tuntutan obyektif di lapangan, batasan ekowisata nasional
dirumuskan sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan
penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk
perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian
produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal,
memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan
diberlakukan bagi kawasan lindung kawasan terbuka, kawasan alam binaan serta
kawasan budaya.
2.3 Pengembangan Ekowisata
Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh
kesiapan para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2002).
Keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata merupakan
hasil kerja sama antara Stakeholders yaitu:
1. Dibangun berdasarkan budaya masyarakat lokal;
2. Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal;
3. Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang
dilindungi kepada penduduk asli;
4. Mengkaji masyarakat lokal;
5. Ada keterkaitan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang
dilindungi;
6. Memberikan prioritas kepada masyarakat dengan skala kecil;
7. Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan; dan
8. Mempunyai keberanian untuk melakukan pelarangan (Fennell 1999).
11
Gambar 2 Alur Pikir Pengembangan Ekowisata (modifikasi dari Hidayati et al. 2003).
Sedangkan keberhasilan ekowisata bergantung pada beberapa hal.
Keberhasilan tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu faktor internal, faktor
eksternal dan faktor struktural antara lain:
1. Faktor internal dapat diklasifikasikan seperti potensi daerah untuk
pengembangan ekowisata, pengetahuan operator ekowisata tentang pelestarian
lingkungan dan partisipasi penduduk lokal.
2. Faktor eksternal merupakan faktor kunci yang berasal dari luar ekowisata
tersebut, seperti kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan, kegiatan
penelitian atau pendidikan di wilayah ekowisata untuk kepentingan kelestarian
lingkungan dan masyarakat lokal.
3. Faktor struktural adalah faktor yang berhubungan dengan kelembagaan,
kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan ekowisata.
Potensi objek wisata, sarana dan prasarana, aksesibilitas lokasi wisata serta kualitas pelaku wisata
Prinsip-prinsip ekowisata: 1. Berbasiskan
alam 2. Pariwisata
berkelanjutan 3. Konservasi 4. Pendidikan 5. Budaya lokal 6. Ekonomi lokal
Kebijakan: 1. Nasional
Kebijakan/Program 2. Daerah - Renstra - Potensi alam - Aksesibilitas 3. Grass roots Pariwisata Berbasiskan
masyarakat
Faktor-faktor berpengaruh: 1. Internal
- Potensi daerah - Pengetahuan operator
wisata - Partisipasi masyarakat
2. Eksternal - Kesadaran wisatawan - Penelitian dan
pendidikan 3. Struktural - Kelembagaan - Pengeloaan
Pengembangan Ekowisata
12
Ketiga faktor di atas tersebut adalah faktor penentu keberhasilan, tetapi di
sisi lain ketiga faktor tersebut juga dapat menjadi kendala bagi pengembangan
ekowisata.
Gambar 3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Ekowisata
Menuju Sustainable Ecotourism (modifikasi dari Hidayati et al. 2002).
Untuk mencapai ekowisata yang berkelanjutan diperlukan memonitoring
dan evaluasi dari pelaksanaan ekowisata. Monitoring dan evaluasi dapat
dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, monitoring kedalam
dilakukan oleh pengelola sendiri sedangkan eksternal dilakukan oleh pihak luar,
seperti: masyarakat, LSM dan lembaga independen lainnya (Hidayati et al. 2003).
Gambar 4 Monitoring dan Evaluasi Dalam Ekowisata (modifikasi dari Hidayati et al. 2002).
Faktor Internal: 1. Potensi daerah wisata 2. Pengetahuan operator
ekowisata 3. Partisipasi penduduk
lokal
Faktor Eksternal: 1. Kesadaran
Wisatawan 2. Kegiatan Penelitian
atau pendidikan
Faktor Struktural: 1. Kelembagaan 2. Kebijakan 3. Regulasi
pengelolaan
Pengelolaan Kawasan Ekowisata
SUSTAINABLE ECOTOURISM
Monitoring dan Evaluasi
Internal: Pengelola
Eksternal: 1. Masyarakat 2. LSM 3. Lembaga
Sustainable ecotourism
13
Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia masih dalam taraf wacana.
Hal ini diindikasikan dengan belum terbitnya secara tersendiri peraturan
perundangan untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata masih
mengacu pada peraturan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan
konservasi, seperti dalam hal dan pembangunan sarana-prasarana yang mengikuti
ketentuan untuk wisata alam, yaitu: (Hidayati et al. 2003).
1. Sarana-prasarana dibangun di zona pemanfaatan dan tidak boleh melebihi
10% dari luas keseluruhan zona yang ada,
2. Tidak merubah bentang alam,
3. Menggunakan arsitektur setempat,
4. Tinggi bangunan tidak melebihi tinggi tajuk.
Pengembangan ekowisata berpengaruh positif pada perluasan peluang
usaha dan kerja. Peluang usaha dan kerja lahir karena adanya permintaan
wisatawan. Dengan demikian kedatangan wisatawan kesuatu daerah akan
membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk menjadi pengusaha hotel, wisma
homestay, restoran, warung, angkutan, dagang asongan, sarana olah raga, jasa dan
lain-lain. Peluang usaha tersebut akan memberikan kesempatan kepada
masyarakat hutan untuk bekerja sehingga dapat menambahkan pendapatan untuk
menunjang kehidupan rumah tangganya.
Sedangkan dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga
mencerminkan dua prinsip lainnya yakni prinsip edukasi dan prinsip wisata.
Prinsip edukasi bahwa pengembangan ekowisata harus mengandung unsur
pendidikan untuk mengubah sikap dan prilaku seseorang menjadi milik
kepedulian, tanggung jawab dan komitmen pelestarian terhadap pelestarian
lingkungan dan budaya. Sedangkan prinsip wisata bahwa pengembangan
ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman orisinil kepada
pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.
Lanjut, Fandeli dan Muklison (2000) menyatakan bahwa pengembangan
ekowisata didalam suatu kawasan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian
ekosistem kawasan, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.
Ekowisatawan menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem,
14
karenanya prinsi-prinsip ekowisata harus dipenuhi dalam pengembangan
ekowisata.
2.4 Ekowisata Sebagai Konsep
Batasan ekowisata secara nasional dirumuskan oleh kantor Menteri Negara
Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata Nasional
adalah suatu "konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis
pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif
masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan
pembelajaran, berdampak negatif minimal memberikan kontribusi positif terhadap
pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan
terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya" (Sekartjakrarini dan Legoh
2004).
Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan didasarkan
pada beberapa unsur utama, yaitu: Pertama, ketergantungan pada kualitas
sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kedua, melibatkan
masyarakat. Ketiga, meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-
nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keempat, tumbuhnya pasar ekowisata di
tingkat internasional dan nasional. Kelima, sebagai sarana mewujudkan ekonomi
berkelanjutan (Wall 1995). Dengan kata lain, ekowisata menawarkan konsep low
invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya
sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat karena seluruh aset produksi
menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal.
Proses penggambaran pengembangan kawasan wisata dari waktu kewaktu,
dimana perkembangannya tidak lepas dari dukungan masyarakat setempat. Pada
tahap awal pengembangan wisata, terhadap potensi ODTWA akan mendorong
tumbuhnya aksesibilitas ke kawasan. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya
sistem transportasi yang menghubungkan antar modal kawasan wisata dan modal
penyalur wisata. Dalam waktu yang sama pertumbuhan jumlah wisatawan terus
meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur wisata yang berada dalam
kawasan. Stakeholder yang berpengaruh pada tahapan ekplorasi adalah pelaku
15
bisnis wisata dan wisatawan yang terus menerus berusaha untuk menemukan
daerah tujuan wisatawan yang baru (Inskeep 1991).
Peranan pemerintah kemudian mulai terbentuk setelah proses
pembangunan pada kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukkan
kelembagaan wisata menjadi bagian yang tidak terelakan dalam upaya untuk
mempertahankan kelangsungan pemanfaatan ruang kawasan wisata.
Untuk dapat melihat gambaran yang lebih utuh mengenai perkembangan
sebuah kawasan wisata dapat dilihat pada Gambar 5.
visitasi kawasan baru kontrol lokal pengembangan intitusi
rejuvenation stagnasi konsolidasi penurunan
pembangunan
eksplorasi keikutsertaan waktu
Sumber: (Cooper et al. 1993). Gambar 5 Diagram Hipotetikal (tourism area life cycle-TALC). Untuk dapat melihat dampak dari pengembangan ekowisata terlebih
dahulu perlu diperlihatkan hal-hal yang telah teridentifikasi dari perencana
pengembangan ekowisata karena hal ini akan menyangkut kelangsungan
pertumbuhan kawasan wisata dan juga tentunya akan menyangkut kelangsungan
para pelaku wisata yang berada dalam kawasan tersebut, diantaranya:
1. Volume atau jumlah wisatawan
2. Karateristik wisatawan dengan kebutuhannya
3. Tipe dari aktifitas wisata yang dapat ditawarkan pada sebuah kawasan wisata
beserta dengan variasi wisata yang mungkin dilakukan
4. Struktur masyarakat yang berada pada kawasan wisata tersebut
5. Daya dukung lingkungan
6. Kemampuan masyarakat untuk dapat mengadaptasi dari berkembangnya
kepariwisataan
7. Kebijakan yang mendukung pengembangan
16
8. Pengelolaan kawasan yang terpadu (Wall 1995).
2.5 Masyarakat Sekitar Hutan
Telah kita ketahui bersama bahwa hutan ialah bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat lokal sejak ratusan tahun
bahkan ribuan tahun yang lalu. Hutan memiliki manfaat langsung maupun tidak
langsung bagi kehidupan. Pada awal keberadaan manusia, hutan merupakan
tempat bermukim, sekaligus sebagai sumber bahan makanan. Tetapi dengan
adanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, fungsi tradisional dari hutan
mengalami perubahan yang sangat berarti dengan penekanan pada fungsi
ekonomi.
Keberadaan hutan memang membawa makna tersendiri bagi masyarakat
terutama masyarakat disekitar kawasan hutan. Hubungan ekologis antara hutan
dan manusia erat sekali dan tidak dapat dipisahkan lagi meski dengan kekuatan
apapun, karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat bagi sekitar
kawasan hutan maupun yang jauh dari jangkauan pengaruh langsungnya (Komar,
1982 dalam Suryadin 1993).
Masyarakat di sekitar hutan dan didalam hutan pada umumnya tergolong
dalam masyarakat yang tertinggal dengan kondisi sosial ekonomi yang umumnya
rendah. Sehingga seiring dengan pertambahan penduduk di daerah atau tempat
mereka berada, maka akan dapat mengakibatkan bertambah pula kebutuhannya
terhadap lahan, kayu maupun hasil hutan lainnya. Hal tersebut akan menjadi
penyebab berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya pengunaan lahan.
Disamping itu, perluasan lahan dapat pula menyebabkan kerusakan hutan dan
mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya.
Oleh karena itu pembangunannya kehutanan perlu membangun peranan
kehutanan yang lebih baik dengan penduduk di sekitar hutan atau dalam hutan
melalui kemitraan yang mantap sehingga kesejahteraan penduduk dapat di
tingkatkan. Dengan kata lain masyarakat setempat harus dilibatkan secara aktif
dalam pengelolaan hutan yang diistilahkan dengan perhutanan sosial atau
kehutanan masyarakat (Sardjono 2004).
17
2.6 Strategi
Strategi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dalam
perkembangannya, konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau
konsep selama 30 tahun terakhir. Seperti yang diungkapkan oleh Chandler (1962)
dalam Rangkuti (2004) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang
dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang
penting untuk mencapai tujuan tersebut.
Learned et al. (1965) dalam Rangkuti (2006) mendefinisikan strategi
merupakan alat untuk menciptakan keunggulan bersaing. Dengan demikian salah
satu fokus strategi adalah memutuskan apakah bisnis tersebut harus ada atau tidak
ada. Argyris (1985), Mintzberg (1979), Steiner dan Miner (1997) diacu dalam
Rangkuti (2006) menyatakan bahwa strategi adalah respon secara terus menerus
maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan
kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi.
III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
(HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian berlangsung
selama 3 bulan yaitu bulan Maret-Mei 2008.
Penelitian yang dilakukan dibatasi hanya pada desa yang dipilih sebagai
sampel adalah Desa Swanslutung (Kecamatan Muara Komam), Desa Tiwei
(Kecamatan Long Ikis) dan Desa Rantau Layung serta Desa Kasungai
(Kecamatan Batu Sopang). Pemilihan dari empat desa dari tiga kecamatan
tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa keempat desa merupakan desa
yang memiliki akses terdekat menuju kawasan HLGL.
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan mengunakan metode non experimental yaitu
deskriptif eksploratif, pengamatan lapangan (observasi) dan studi literatur pustaka
19
guna mengumpulkan data yang diperlukan. Jenis data yang digunakan meliputi
data primer dan data sekunder, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian
3.3 Tehnik Pengumpulan Data
Pengambilan sampel responden masyarakat dilakukan dengan purposive
sampling (sengaja), yaitu anggota masyarakat yang tinggal disekitar kawasan dan
memiliki akses terdekat menuju kawasan, merupakan kepala keluarga dan
memiliki usaha atau keinginan berusaha dibidang wisata khususnya ekowisata.
Pengambilan secara purposive ini diartikan sebagai pengambilan responden sesuai
dengan keadaan yang dikehendaki (Nazir 1983). Jumlah pengambilan responden
masyarakat secara keseluruhan 120 (seratus dua puluh) orang yang terdiri dari 30
No. Kegiatan Jenis Data Sumber Data Metode
Pengambilan data
1 Observasi Lapang (Pengumpulan data Pokok)
1. Jenis atraksi ODTWA, budaya masyarakat yang mendukung kegiatan ekowisata yang ada di kawasan tersebut
2. Identifikasi faktor pendukung seperti akomodasi, fasilitas, aksesibilitas dan sarpras
3. Kondisi biologis untuk flora dan fauna
4. Demand wisata 5. Persepsi stakholder dan
masyarakat tentang kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
6. Identifikasi Rencana pengembangan ekowisata yang akan dilakukan
1. Dinas Kehutanan
2. Dinas Pariwisata dan budaya
3. Masyarakat 4. TBI
Wawancara, pengamatan langsung dan studi literatur
2 Pengumpulan data pendukung
1. Keadaan umum kawasan HLGL, yang terdiri dari letak, luas wilayah, status kawasan, kondisi iklim, curah hujan, suhu, topografi, tanah, kondisi geologi, kelerengan, dan hidrologi
2. Profil desa yang ada di sekitar kawasan HLGL
3. Profil HLGL yang ada didalam HLGL (Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisarta dan Budaya)
4. Peraturan Perundang-undangan dan kegiatan yang mendukung ekowisata di HLGL
Instansi Terkait
Studi literatur dan
wawancara mendalam
3 Analisis Data 1. Analisis Deskriptif 2. Analisis SWOT
Hasil observasi Studi Literatur
-
20
(tiga puluh) orang pada setiap desa, dari empat desa dengan tiga kecamatan yang
menjadi sampel. Untuk wawancara mendalam dilakukan kepada pihak-pihak
yang berkompoten dan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menyusun
strategi pengembangan ekowisata. Adapun yang dipilih sebagai narasumber
dalam penelitian ini adalah pengelola kawasan HLGL, TBI-Indonesia, dan
sejumlah dinas serta institusi terkait di Kabupaten Paser yakni Dinas Kehutanan,
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bappeda, Bapedalda, dan Masyarakat sekitar
kawasan. Purposive sampling dapat dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan
tertentu yang disarankan pada tujuan penelitian. Sedangkan untuk mengetahui
gambaran umum mengenai kondisi masyarakat sekitar HLGL Kabupaten Paser
dilakukan wawancara terhadap beberapa perangkat desa, tokoh adat, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum.
1.4 Tahap Pengumpulan Data
Sebelum melakukan pengumpulan data di masyarakat, terlebih dahulu
dilakukan klasifikasi terhadap masyarakat berdasarkan ketokohan mereka dalam
masyarakat (perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan
masyarakat umum). Informan kunci dalam penelitian ini adalah perangkat desa,
tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum. Pengumpulan
data primer dilakukan dengan melalui pengamatan langsung di lapangan dan
wawancara secara mendalam bersama masyarakat dan instansi terkait. Sedangkan
data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, publikasi ilmiah, perundang-
undangan, dan bentuk publikasi lainnya yang terkait dengan penelitian. Pada
tahap ini dapat diharapkan diperoleh data yang terkait dengan strategi
pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL. Sedangkan untuk tahap
pengumpulan data yang dilakukan di lapangan meliputi studi pustaka/literatur,
pengamatan langsung di lapangan (observasi lapangan), wawancara langsung dan
wawancara mendalam. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan
untuk tujuan peneliti dengan mengajukan pertanyaan sambil bertatap muka antara
responden dan peneliti dengan menggunakan alat, antara lain:
21
1.4.1 Studi Pustaka atau Literatur
Studi pustaka adalah kegiatan mengumpulkan berbagai data penunjang
meliputi laporan studi dan penelitian, publikasi ilmiah, peraturan perundangan,
peta dan bentuk publikasi lainnya yang terkait dengan penelitian. Data yang
dikumpulkan terutama mengenai kondisi umum kawasan HLGL saat ini.
3.4.2 Pengamatan Lapangan
Pengamatan langsung di lapangan atau observasi merupakan metode
pengumpulan data pokok yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi
potensi wisata dilokasi penelitian. Unsur-unsur yang diamati antara lain
pengamatan terhadap flora dan fauna, gejala alam serta keunikannya dan
akomodasi, aksesibilitas, infrastruktur serta fasilitas, kearifan lokal, kegiatan
spiritual dan budaya serta adat istiadat dari masyarakat sekitar.
3.4.3 Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan kuesioner, dengan
sasaran masyarakat yang terdapat di kawasan HLGL. Wawancara merupakan
salah satu cara untuk mengumpulkan data pokok di lapangan, yang bertujuan
untuk memperoleh informasi yang lebih lanjut mengenai kawasan penelitian dan
kesiapan pengelola dan berbagai pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan
ekowisata di kawasan HLGL. Data sosial-ekonomi dan budaya masyarakat
setempat dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner. Kuesioner
berisi pertanyaan mengenai (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, asal
desa, karateristik, persepsi dan partisipasi. Selain itu, wawancara dan penyebaran
kuesioner juga diberikan kepada stakeholders yang terkait dengan kegiatan
penelitian ini.
1.5 Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa dengan cara
menganalisis faktor internal (kekuatan, kelemahan), dan faktor eksternal (peluang,
ancaman) yang ada dengan menggunakan analisis SWOT. Selain itu analisis
tersebut juga digunakan untuk mengetahui peluang pengembangan ekowisata
22
yang dapat digali di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser
Propinsi Kalimantan Timur.
3.6 Analisis Data
Metode analisis data adalah metode analisis deskriptif. Data yang
diperoleh dikumpulkan, diolah dengan cara tabulasi data dan kemudian dianalisis
sesuai dengan jenis data dan tujuan penelitian. Analisis data yang digunakan
adalah sebagai berikut:
3.6.1 Analisis potensi ODTWA sebagai pengembangan ekowisata
Analisis potensi pada kawasan HLGL Kabupaten Paser yang berhubungan
dengan sumberdaya alam hayati (flora dan fauna), keindahan alam, adat istiadat,
budaya, sarana dan prasarana penunjang. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
potensi sumberdaya di HLGL Kabupaten Paser.
3.6.2 Analisis terhadap masyarakat dan permintaan wisata di kawasan HLGL
Analisis terhadap masyarakat ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan
masyarakat atas rencana pengelolaan dan permintaan wisata di kawasan HLGL
terhadap kegiatan pengembangan ekowisata dengan keadaan umum HLGL
Kabupaten Paser. Analisis ini meliputi: karakteristik persepsi, partisipasi,
motivasi dan saran serta harapan masyarakat setempat.
1.6.3 Analisis Strategi Pengembangan
Untuk merumuskan arahan strategi pengembangan ekowisata digunakan
pendekatan analisis SWOT. Menurut Rangkuti (2000), analisis SWOT adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
pengembangan ekowisata. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strenghts) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman
dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut
dapat diambil suatu keputusan strategi.
23
Matriks SWOT yang akan digunakan untuk analisis ini, disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Matriks SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal
Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)
Peluang (Opportunities) SO WO
Ancaman (Threats) ST WT
Dalam matriks analisis SWOT pada Tabel 2, akan dihasilkan 4 (empat) set
kemungkinan alternatif strategi untuk membuat rencana pengembangan ekowisata
kawasan HLGL. Keempat set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, adalah:
1. Strategi SO : strategi ini dibuat berdasarkan jalan pemikiran untuk
memanfaatkan seluruh kekuatan guna merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
2. Strategi ST : strategi di dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
mengatasi ancaman yang mungkin timbul.
3. Strategi WO : strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang
ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
4. Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan
berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta
menghindari ancaman.
Analisis ini merupakan suatu strategi pengembangan ekowisata yang
sesuai dengan harapan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat lokal secara
berkelanjutan.
Formulasi strategi ini disusun berdasarkan analisis yang diperoleh dari
penerapan model SWOT dengan tahap-tahap yang dilakukan untuk menyusun
strategi sebagai berikut:
a. Penentuan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) di dalam
menyusun strategi pengembangan ekowisata
b. Penentuan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) di dalam menyusun
strategi pengembangan ekowisata
c. Perumusan alternatif strategi pengembangan ekowisata
24
Tabel 3 Rangkuman Matriks Internal Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan Ekowisata
Faktor Internal Bobot Rating Skor Keterangan
1 2 3 4 5
1. Kekuatan
2. Kelemahan
Jumlah
Tabel 4 Rangkuman Matriks Eksternal Peluang dan Ancaman Pengembangan Ekowisata
Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Keterangan
1 2 3 4 5
1. Peluang
2. Ancaman
Jumlah
Untuk pengisian Tabel, baik tabel internal maupun tabel eksternal (Tabel 3
dan Tabel 4) dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan pengisian di dalam kolom 1 (berbagai peluang dan ancaman dan
kekuatan dan kelemahan).
2. Melakukan pembobotan pada kolom 2, dengan skala mulai dari angka 1,0
(paling penting) sampai 0,0 (tidak penting). Semua bobot jumlahnya tidak
boleh melebihi skor total 1,00.
3. Melakukan rating pada kolom 3, dengan skala mulai dari 4 (outstanding)
sampai dengan 1 (poor).
4. Pada kolom 4 akan diperoleh nilai tertimbang yang merupakan hasil perkalian
bobot dengan rating. Faktor tersebut merupakan penetapan skor (scooring)
untuk menjawab hasil bobot dikalikan dengan rating.
5. Memberikan komentar atau catatan pada kolom 5 mengenai alasan dipilihnya
faktor tersebut.
6. Melakukan penjumlahan nilai tertimbang yang ada di kolom 4, sehingga akan
diperoleh total nilai tertimbang. Nilai tertimbang ini akan menunjukkan
seberapa besarnya nilai eksternal dan internal dan nantinya nilai tersebut akan
digunakan dalam Matriks Grand Strategi (gambar 7). Matriks Grand
25
Strategi di gunakan untuk menentukan apakah pihak yang berkepentingan
(pengelola) akan memanfaatkan posisi yang kuat atau mengatasi kendala yang
ada.
Sel 3 Sel 1
Sel 4 Sel 2
Gambar 7 Model Matriks Grand Strategi.
Keterangan :
Sel 1 = Mendukung strategi yang agresif, konsep strategi pada sel ini adalah
pengembangan ekowisata pada segmen tertentu secara intensif dan lebih
luas.
Sel 2 = Mendukung strategi diversifikasi seperti pengembangan berbagai paket
wisata dengan pola partisipasi.
Sel 3 = Mendukung strategi turn around dengan orientasi putar haluan. Salah
satu strategi yang diajukan adalah dengan membuka kerjasama dengan
seluruh stakeholder dan memberikan berbagai intensif.
Sel 4 = Mendukung strategi defensif, dengan meningkatkan pelayanan
pengunjung.
Berbagai Peluang
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
Berbagai Ancaman
IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Luas
Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) berada dalam Wilayah
Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur. Seacara geografis, kawasan ini
terletak diantara 1160 02’ 57’’-1160 50’ 41’’ Bujur Timur dan 010 13’ 08’’ dan 010
45’ 33’’ Lintang Selatan, dengan memiliki luas kawasan sebesar 35.350 ha.
Secara administratif pemerintahan, kawasan ini berada di Wilayah HLGL
mencakup kedalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Muara Komam,
Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Batu Sopang, dan Kecamatan Long Kali,
dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan
Timur (Simorangkir 2006).
Batas-batas wilayah kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)
menurut BPPS Kabupaten Paser 2007; Dinas Kehutanan Kalimantan Timur 2002.
Sebelah Utara : Desa Kepala Telake Kecamatan Long Kali
Sebelah Timur : Desa Muara Lambakan Kecamatan Long Kali, Desa
Belimbing dan Desa Tiwei, masuk Kecamatan Long
Ikis, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa
Pinang Jatus, masuk Kecamatan Batu Sopang
Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung yang
mencakup masuk pada Kecamatan Batu Sapong
Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa
Prayon, Desa Longsayo, dan Desa Swanslutung yang
meliputi wilayah Kecamatan Muara Komam.
Terdapat beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL,
seperti Desa Swanslutung, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, dan Desa Kasungai.
Desa Swanslutung terdapat satu dusun pemukiman penduduk di dalamnya, yaitu
Dusun Muluy memiliki wilayah yang berada di dalam kawasan HLGL.
27
Gambar 8 Papan Pintu Masuk Kawasan HLGL.
4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan
lindung yang berada di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan
ini terletak diarah timur laut Tanah Grogot ibukota Kabupaten Paser yang berjarak
kurang lebih ± 84 km dari Penajam Paser Utara. Suatu kawasan hutan yang telah
didiami oleh masyarakat Paser dan masyarakat Dayak Paser secara turun temurun
dan mencapai 13 generasi. Dinamakan Gunung Lumut karena tumbuhan lumut
tersebar secara melimpah pada batang pepohonan maupun permukaan batu-batuan
yang ada di kawasan gunung tersebut. Secara tradisional wilayah Hutan Lindung
Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (hak
ulayat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dengan 1 dusun berada dalam
kawasan di tiga kecamatan. Batas antar hak ulayat di kawasan tersebut
menggunakan sarana-sarana alam yakni daerah aliran sungai atau perbukitan,
seperti sungai pias, sungai tiwei, sungai Muluy, dan kasunge (Saragih 2004, diacu
dalam Irma Nur Hayati 2006).
Dalam tahun 1970 hutan gunung lumut merupakan suatu areal konsesi
HPH oleh PT Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983 kawasan Hutan ini
ditetapkan sebagai hutan lindung, berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI
No. 24/Kpts/Um/1983. Tiga tahun setelah dikeluarkannya SK Menteri tersebut
28
26 Januari-16 Maret 1986 dilakukannya penataan batas-batas wilayah kawasan
Hutan Lindung Gunung Lumut, dan dikukuhkan oleh menteri Kehutanan RI
tanggal 5 Januari 1987 dengan luas kawasan 35.350 Ha, berdasarkan UPTD
Planologi Kehutanan Balikpapan (Departemen Kehutanan Kalimantan Timur
1986 dan 2002. Hingga saat ini kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut berada
dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan
Timur (Surbakti 2006).
Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan
Kabupaten Paser yaitu pada tahun 1986, 1990 dan 2003, dengan panjang batas
yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575
meter.
Kawasan HLGL dewasa ini dipandang sebagai salah satu kawasan yang
mempunyai potensi wisata. Kondisi hutannya dipandang masih asli, dengan
ditemukannya pula berbagai macam flora dan fauna serta berbagai obyek wisata
lainnya seperti air terjun, sungai, dan pemandangan alam puncak Gunung Lumut
di kawasan ini ditemukan pula pemukiman tradisional suku muluy. Dengan
potensi wisata ini maka pihak dinas pariwisata Kabupaten Paser merencanakan
untuk mengelolahnya sebagai daerah tujuan wisata minat khusus ekowisata,
terutama untuk wisata penelitian (Dinas Pariwisata Kabupaten Paser 2008).
4.3 Bentuk Lahan dan Topografi
Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan daratan
berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam enam subsistem lahan, yaitu:
1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian
barat, mempunyai pola drainase trellis;
2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai
pola drainase dendritik;
3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu
sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis;
4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur,
terdapat di bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik;
29
5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah
timur laut kebarat daya, mempunyai pola drainase karstik; dan
6. Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat dibagian utara,
mempunyai pola drainase rectangular.
Keadaan topografi kawasan tersebut bergelombang sedang sampai berat.
Sungai-sungai yang terdapat didaerah ini adalah sungai anjur, sungai kendilo,
sungai kasunge, sungai muluy, dan sungai prayan. Secara umum kawasan HLGL
memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8%) dan bergelombang
(8-15%), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 ha (45.18%) dan (19.69%) yaitu
dengan luas 1.160 ha. Ciri fisiknya berupa wilayah berbukit-bukit sampai
berlereng terjal dengan udara yang sangat sejuk. Wilayah HLGL memiliki
ketinggian tempat lebih dari 400 meter dari permukaan laut dengan memiliki
ketinggian puncak Gunung Lumut 1.233 m dpl dengan kemiringan 450 puncak
gunung lumut selalu diselimuti kabut dan suhu udara sangat dingin yang
menyebabkan kondisi kawasan HLGL selalu basah. Di puncak gunung lumut
terdapat hamparan batu-batuan yang membentuk relief yang menarik.
4.4 Geologi dan Tanah
Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur (1981), keadaan geologi
kawasan HLGL minimal tersusun dari tiga formasi buatan yakni Pemaluan Bed,
Palaogene dan Pulau Balang Bed (batuan paleogen, pra tersier, tak dibedakan dan
batuan basah). Berdasarkan Peta Repprot atau jenis tanah (1983) terdapat 2 jenis
tanah utama, yaitu Ultisol dan Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi
batuan sedimen yang mengandung mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur
tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase
menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari dua kelompok besar tanah
yaitu Tropudults dan Kandiudults (Pribadi et al. 2005).
Kondisi geologi tanah kawasan HLGL tersusun dari bahan batuan sedimen
miosen atas, miosen bawah dan aluvium undak terunbukural. Jenis tanah terdiri
dari tanah Komplek podsolik merah kuning, latosol dan litosol yang berasal dari
bahan induk batuan beku, endapan dan metamorf dengan fisiografi pengunungan
patahan.
30
4.5 Iklim
Berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, kawasan HLGL memiliki tipe
iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika (nilai Q : 0,00)
(klasifikasi Schmidh dan Ferguson, 1951). Kawasan ini memiliki rata-rata curah
hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan
pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan
10,36 hari hujan dengan nilai: 0,33 (agak basah) dan 1,00 (agak kering).
Temperatur udara berkisar antara 240C-270C dan kelembaban 80%-90%. Musim
hujan terjadi pada bulan Oktober-April bersamaan dengan bertiupnya angin barat
laut, sedang musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September saat angin bertiup
dari arah timur.
4.6 Vegetasi
Keanekaragaman ekosistem di kawasan HLGL sangat tinggi dan keadaan
vegetasi hutannya masih baik dan relatif utuh. Kondisi umum vegetasi dikawasan
HLGL tergolong hutan hujan tropis yang didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan
dari suku Dipterocarpaceae, antara lain meranti merah (Shorea spp) keruing
(Dipteracarpus spp), bangkirai (Shorea laevis), meranti putih (Shorea spp), kapur
(Dryobalanops spp), ulin (Eusideroxylon zwagerii), sungkai (Peronema
canescens).
4.7 Hidrologi
Kondisi ekologi dan hidrologi kawasan HLGL pada umumnya masih
bagus dan fungsinya masih sangat signifikan sebagai hulu dari Sungai Kendilo di
Tanah Grogot dan Sungai Telake di Kecamatan Long Kali, yang terdapat di
Kabupaten Paser. Kedua DAS tersebut berperan sebagai sumber persediaan air
bagi 70 pemukiman di sekitarnya termasuk Tanah Grogot (Ibukota Kabupaten
Paser), Muara Komam, Long Ikis, Batu Sopang, dan Long Kali (Simorangkir
2006). Kawasan HLGL merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang mengalir
ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir, sehingga berperan sangat
penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan
tersebut. Beberapa sungai dan anak sungai yang terkait dengan kawasan HLGL
31
adalah Sungai Kendilo dengan anak Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai
Telewong (panjang 3,5 km) Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya di
jumpai pula anak-anak sungai yang relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan
panjang bervariatif mulai dari 0,5 km-2,0 km diantaranya Sungai Semau, Sungai
Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut,
Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai
Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan dan sebagainya.
4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna
Pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan
berbagai keanekaragaman jenis flora mulai dari tingkat pertumbuhan semai
sampai dengan pohon. Jenis Sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea
indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan
pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang
tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis
Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang
(Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada
antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya
juga termasuk sarang burung walet (Aipassa 2004).
Berdasarkan hasil kegiatan biodiversity Assessmen oleh TBI-Indonesia
(Simorangkir 2006) terdapat 23 jenis tumbuhan endemik, diantaranya Mangifera
panjang, Monocarpia kalimantanensis, Layung (Durio dulcis), Paken/Lei (Durio
kutejensis), Ngoi (Dryobalanops lanceolata), (Hopea rudiformis), Nansang puyan
(Macaranga pearsonii), dan Kputu (Artocarpus lanceifolius). Tumbuhan yang
dilindungi oleh masyarakat sekitar HLGL diantaranya Durian (Durio zibethinus),
Ulin (Euzideroxylon zwageri), Kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) dan
Mayas (Duabanga moluccana). Keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi.
Diantaranya terdapat berbagai jenis satwa liar yang hidup khususnya pada
komunitas hutan primer yang menjadi berbagai habitat satwa liar yang tergolong
pada kelompok mamalia adalah babi jenggot (Sus barbatus), kijang kuning
(Muntiacus atherodes), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk napu
(Tragulus napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra
32
tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys cinerea),
tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus melanotis),
dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis) dan atau juga (babi,
kijang, musang, kukang, macan dahan, dan masih banyak lagi), Untuk jenis
mamalia primata diantaranya berbagai jenis satwa liar kelompok mamalia yang
ada, selain monyet hitam, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk
(Macaca nemestrina), lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah
(Presbytis rubicunda), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus),
dan dijumpai pula jenis primata yakni Owa/kelawot (Hylobates meulleri).
Owa/kelawot ditemukan pada beberapa habitat tertentu, khususnya
komunitas hutan primer. Jenis ini merupakan jenis yang peka terhadap ganggoan
berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan
indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut. Dari semua jenis
mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori
lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawot
(Hylobates muelleri).
Untuk kelompok burung aves, yaitu (Enggang, murai batu, kucica, ayam
hutan, dan lain-lain), dan reptilia (biawak, ular sawa, dan lain-lain), dalam
kawasan HLGL keanekaragamannya jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis
yang endemik di Pulau Kalimantan adalah bondol Kalimantan (Lonchura
fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), sikatan kalimantan
(Cyornis superbus), dan pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis-
jenis enggang seperti julang emas (Aceros comatus), Enggang Jambul (Aceros
Comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros
corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena
puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus),
tukik tikus (Sasia abnormis), sempur hujan sungai (Cymbirhynchus
macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus),
elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi), dan
lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang
terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cicin emas (Boiga dendrophilia) dan
katak tanduk (Megophrys nasuta) dan lain sebagainya.
33
4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Ditinjau dari struktur masyarakat wilayah kawasan HLGL sebelum
ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh
masyarakat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi.
Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut
dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah
adat desa-desa sekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan di tiga
kecamatan. Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam
yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti sungai
Pias, Sungai Tiwei, Sungai Muluy, Sungai Kasunge (Saragih 2004). Pada
umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah,
terkecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang
bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan. (Wahyuni, at al. 2004).
4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan
Penduduk yang bermukim di sekitar (daerah penyangga) kawasan dan di
dalam kawasan HLGL pada umumnya adalah suku Paser. Berdasarkan data
statistik Kabupaten Paser tahun 2006 jumlah penduduk yang mendiami daerah-
daerah kecamatan di sekitar kawasan HLGL, seperti tertera dalam Tabel 5.
34
Tabel 5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
Kecamatan/desa luas
wilayah Penduduk Jumlah L P Kecamatan Long Kali 1. Muara Lambakan 343.36 209 199 408 2. Kepala Talake 362.53 128 113 241 3. Pinang Jatus 69.03 155 129 284 Kecamatan Long Ikis 1. Belimbing 85.62 329 294 623 2. Tiwei 227.47 214 192 406 Kecamatan Batu Sopang 1. Rantau Layung 189.13 123 102 225 2. Rantau Buta 165.46 56 51 107 3. Kasungai 72.06 263 239 502 4. Busui 333.67 546 482 1,028 Kecamatan Muara Komam 1. Batu Butok 81.30 794 700 1,494 2. Uko 44.91 94 76 170 3. Muara Kuaro 20.36 232 205 437 4. Prayon 83.66 34 25 59 5. Long Sayo 233.76 78 81 159 6. Swanslutung 495.78 412 316 728
Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.
Desa-desa yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan
HLGL adalah Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung, Kasungai. Kepadatan
populasi penduduk desa-desa tersebut relatif rendah. Hal ini terlihat dari luas
wilayah desa serta jumlah penduduknya, seperti tertera pada Tabel 6.
Tabel 6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
No. Nama Desa Luas Wilayah
(km2) Jumlah Penduduk Ruang gerak person
(person/km2) 1. 2. 3. 4.
Swanslutung Tiwei Rantau Layung Kasungai
495.78 227.47 189.13 72.06
728 406 225 502
68.1016 56.0270 84.0577 14.3545
Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.
4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat setempat
Masyarakat yang bermukim dan menetap di sekitar kawasan HLGL
umumnya memiliki sumber hidup dari bertani secara tradisional. Pola bertani
yang dianut adalah pertanian lahan kering yang bersifat musiman dan bergantung
pada musim hujan. Lahan pertanian diperoleh dengan cara merambah hutan dan
35
digunakan secara turun temurun (bersifat tetap). Setiap rumah tangga memiliki
lahan pertanian dengan luas antara 1-2 hektar.
Selain mempunyai sumber hidup dari bertani lahan kering, mereka juga
memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai hasil hutan disekitarnya.
Misalnya, dengan menjual buah-buahan durian hutan, madu, rotan, menjual
daging hasil berburuh hewan hutan (daging kijang) dan mendulang emas pada
sungai-sungai yang ada di sekitarnya.
Sebagian kecil masyarakat menggeluti pekerjaan lain seperti pegawai
negri sipil, karyawan perusahaan, pedagang, buruh, tukang ojek sepeda motor,
pengelolah rumah makan dan pengrajin souvenir. Secara umum, rata-rata
pendapatan per kapita masyarakat setempat 750 ribu rupiah/bulan.
Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai
sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian,
perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan
protein hewani bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga
sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air
bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake.
Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi
hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan, baik itu dari wilayah hutan
lindung (HL) maupun dari hutan di sekitar HA (Hutan adat). Obat-obatan dan
upacara adat, masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan HLGL memiliki
ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal
dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan protein hewani
dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut
merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah
tangga yang berdiam di kawasan tersebut.
1.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat
Secara garis besar penduduk di sekitar kawasan HLGL berpendidikan
rendah dan bahkan masih banyak yang buta huruf. Data profil pendidikan
masyarakat yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah terhadap masyarakat
dari kecamatan-kecamatan yang mendiami wilayah-wilayah di sekitar kawasan
HLGL. Data-data tersebut diolah dan terangkum dalam Tabel 7.
36
Tabel 7 Jumlah anak usia sekolah di kecamatan-kecamatan yang ada di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut tahun 2006
Kecamatan jumlah anak
SD Jumlah anak usia SLTP
(13 - 15 thn) Jumlah anak usia SLTA
(15 - 19 thn)
(7 - 12 thn) sekolah tidak
sekolah total sekolah tidak
sekolah Total Kecamatan Muara Komam 1470 176 100 555 0 1045 1045 Kecamatan Long Ikis 4918 1345 324 1.802 784 2441 3225 Kecamatan Batu Sopang 2267 470 125 695 229 867 1096 Kecamatan Long Kali 3269 700 181 1.001 268 2134 2402 Total 11924 2691 730 4053 1281 6487 7768 % 81,98 18,01 16,49 83,51
Sumber : Kabupaten Paser Dalam Angka, 2007, (data diolah)
Berdasarkan Tabel 7, tampak bahwa untuk anak usia SLTP dari total 4053
anak terdapat 18,01% anak tidak sekolah. Sedangkan untuk anak usia SLTA, dari
total 7768 anak terdapat 83,51% anak tidak sekolah. Dari data ini, tampak bahwa
partisipasi sekolah untuk anak usia SLTA sangat rendah. Khusus untuk
Kecamatan Muara Komam, dari 1045 anak usia SLTA tidak ada satu orang pun
yang sedang mengikuti pendidikan di tingkat SLTA.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, anak-anak usia SLTP
lebih dominan menyelesaikan pendidikannya sampai di tingkat SLTP, bahkan
tidak menamatkan jenjang pendidikan tersebut. Mereka lebih memilih
meninggalkan bangku pendidikan dan menggeluti dunia kerja sebagai buruh dan
petani. Hal ini terjadi karena, pertama sarana pendidikan (sekolah) yang masih
kurang (Tabel 8). Kedua, jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi sekolah
relatif jauh, bahkan ada yang harus menyeberangi sungai. Sedangkan untuk jarak
tempuh dengan menggunakan sarana angkutan darat, hal ini terbentur dengan
tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai. Ketiga, anak-anak cenderung
dilibatkan secara aktif untuk mencari nafkah keluarga (bertani).
Tabel 8 Jumlah sekolah pada tiga kecamatan di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
No Kecamatan Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SLTA 1 2 3 4
Kecamatan Muara Komam Kecamatan Long Ikis Kecamatan Batu Sopang Kecamatan Long Kali
17 40 13 31
1 4 1 2
0 1 1 1
Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.
37
Fokus perhatian kajian untuk kondisi pendidikan masyarakat sekitar
kawasan HLGL lebih diarahkan terhadap anak-anak usia SLTP dan SLTA. Hal
ini didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak pada rentang usia tersebut
merupakan kelompok masyarakat potensial untuk berpartisipasi dalam dinamika
dan kebijakan pembangunan daerah.
4.9.4 Suku, Agama dan Potensi Seni Budaya Masyarakat
Masyarakat Kabupaten Paser pada umumnya yang mendiami daerah-
daerah di sekitar kawasan HLGL khususnya, dikenal memiliki berbagai aneka
potensi seni budaya etnik. Potensi seni budaya itu berupa tari-tarian daerah,
nyanyian, alat musik khas daerah, serta berbagai upacara ritual adat khas. Tarian
daerah terdiri dari Tari Ronggeng Paser, Tari Rembara, Tari Jepen Muslim, Tari
Jepen Daya Taka atau Gintur (Gantar), Tari Singkir, Tari Nuyo, dan Tari Belian.
Alat musik khas berupa alat musik Tari Belian, petikan gambus Muara Adang.
Sedangkan lagu-lagu daerah berupa lagu-lagu yang dilanturkan untuk mengiringi
tari-tarian.
Selain memiliki potensi seni tarian dan musik etnik, masyarakat setempat
juga memiliki berbagai upacara adat. Jenis upacara itu adalah Kedari yang
dilaksanakan ketika ada orang yang dituakan di kampung tersebut meninggal
dunia, serta upacara Belian (untuk menyambut tahun pertanian serta syukuran
seusai panen).
Suku-suku etnik yang ada adalah Suku Paser dan Suku Dayak Paser.
Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGL berasal dari suku
Paser. Suku ini merupakan bagian dari suku Dayak, hal ini terlihat pada kemiripan
bahasa maupun adat istiadat, namun suku Paser sendiri enggan disebut sebagai
suku Dayak karena pada umumnya mereka memeluk Agama Islam. Kehidupan
sehari-hari Suku Paser berbeda dengan kebiasaan Suku Dayak dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Misalnya, Suku Paser tidak memakan daging babi karena
tidak diperbolehkan dalam ajaran agama yang mereka percayai. Masyarakat Paser
juga memiliki kepercayaan terhadap nenek moyang dan roh penjaga alam.
Misalnya, dalam kegiatan berladang, pembuatan turbin, pengobatan dan hajat
selalu diadakan upacara adat untuk menghormati penjaga alam. Dalam upacara
adat ini terlihat pengaruh agama Islam yaitu dengan adanya pembacaan doa dan
38
shalawat. Sebagai salah satu upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat
Paser adalah upacara Belian. Upacara tradisional ini dilakukan secara turun-
menurun oleh masyarakat dan biasa digunakan oleh masyarakat Paser untuk
pengobatan atau untuk membayar hajat.
Mayoritas masyarakat Paser berasal dari Suku Paser dan menganut agama
Islam. Kehidupan masyarakat setempat sangat dipedomani oleh hukum adat,
yang mengatur mengenai prilaku hidup keseharian (misalnya perkawinan,
kematian) dan berbagai upacara ritual lainnya. Khusus di Desa Rantau Layung,
berlaku hukum adat yang mencantumkan larangan bagi masyarakat untuk
menebang dan mengambil pohon buah seperti durian, lahung, rambutan, serta
mengambil madu dari pohon Bangris (Compassia sp.) yang dikenal sebagai
habitat Lebah madu (Sabara 2006).
Potensi seni lainnya yang memiliki daya tarik wisata adalah ukir-ukiran
dan berbagai kerajinan tangan lainnya. Jenis-jenis ukiran dan kerajinan tangan
masyarakat setempat seperti mandau, lanjung, dulang mas, cicin, gelang-gelang,
keranjang dan berbagai wadah menyimpan barang berbahan baku rotan.
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Potensi Penawaran Wisata
5.1.1 Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA)
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai potensi sumber daya
alam yang tinggi dan budayanya untuk pengembangan ekowisata. Potensi
penawaran ekowisata HLGL yaitu obyek wisata yang memiliki daya tarik dan
keunikannya, seperti potensi biofisik dan potensi budaya. Keindahan panorama
alam, keanekaragaman flora, fauna dan ekosistem yang beragam serta tantangan
medan yang kerap manjadi daya tarik tersendiri, juga keragaman budaya
masyarakat sekitar kawasan adalah aset potensial bagi kawasan HLGL untuk
pengembangan ekowisata. Penawaran ekowisata merupakan suatu bentuk ekologi
dan estetika alami dengan berbagai bentuk ekosistem yang dimiliki oleh suatu
kawasan HLGL. Potensi ini menjadi obyek wisata yang ditawarkan kepada
masyarakat umum (Tropenbos International Indonesia 2006).
Pengamatan lapangan menunjukan bahwa bentuk estetika lanskap tersebut
terdapat di kawasan HLGL. Ekosistem hutan hujan tropis dengan
keanekaragaman dan keunikan hayatinya menjadi faktor lanskap utama. Pohon-
pohon yang berdiri tegak dengan dedaunan yang rindang disertai dengan
tumbuhan lumut di seluruh tubuh pepohonan maupun di permukaan batu-batuan,
pesona angrek hitam hutan, keanekaragaman flora dan fauna, sungai dan air terjun
yang ada di sekitarnya, komunitas suku etnik Paser dengan berbagai legenda
budaya yang menyertainya merupakan daya tarik tersendiri untuk dikemas dan
ditawarkan pada masyarakat umum.
Secara letak geografis kawasan HLGL di apit oleh wilayah pemukiman
penduduk dari berbagai kecamatan dan desa, baik dari sebelah utara, sebelah
timur, sebelah selatan, dan sebelah barat. Letak yang demikian memungkinkan
kawasan HLGL menjadi tempat jalur lalulintas hubungan antar masyarakat dari
berbagai daerah tersebut. Kawasan HLGL dapat ditempuh dengan melalui empat
pintu masuk yaitu Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung dan Kasungai. Untuk
masuk pintu Desa Swanslutung memiliki akses menuju puncak Gunung Lumut,
40
sedangkan pintu masuk tiga desa lainnya yaitu merupakan lokasi wisata alam,
berupa air terjun, sungai, goa dan budaya masyarakat sekitar kawasan HLGL.
5.1.1.1 Pintu Masuk Swanslutung
Pintu masuk Swanslutung melalui Dusun Muluy yang masuk dalam Desa
Swanslutung, Kecamatan Muara Komam yang dapat ditempuh melalui jalan darat
dan laut dari Balikpapan, Tanah Grogot, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan);
dengan jenis kendaraan yang dapat digunakan yaitu kendaraan pribadi roda dua
(motor) dan roda empat (mobil). Aksesibilitas menuju pintu masuk Swanslutung
cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah berbatu. Pintu masuk
Swanslutung yang memiliki akses terdekat dengan Bandara Udara Sepinggan di
Balikpapan.
Swanslutung dapat ditempuh dengan kendaraan umum dari Balikpapan
menuju pelabuhan Kariangau, pintu masuk ini melalui jalur Balikpapan-
Kariangau-Penajam Paser Utara-Simpang Lombok dengan jarak tempuh ± 122 km
atau ± 6 jam perjalanan. Setelah Simpang Lombok, untuk menuju ke Desa
Swanslutung Dusun Muluy berjarak ± 58 km dari Simpang Lombok dengan
waktu tempuh ± 1 jam perjalanan yang memiliki akses untuk menuju puncak
Gunung Lumut dengan menggunakan kendaraan pribadi, ojek dan atau ikut
numpang mobil RKR (PT. Rizky Kacida Reana) yang terkadang lewat, apabila
menggunakan kendaraan pribadi melalui jalur yang sama Desa Swanslutung
Dusun Muluy dengan jarak tempuh ± 180 km, maka memerlukan waktu ± 6 jam
perjalanan. Swanslutung juga dapat dilalui untuk menuju Tanah Grogot maupun
Banjarmasin (Kalimantan Selatan).
Tanah Grogot-Kuaro-Simpang Lombok-Swanslutung dusun Muluy jalur
yang ditempuh adalah (± 123 km, ± 5 jam) sedangkan Banjarmasin-Muara
Komam-Batu Sopang-Kuaro-Simpang Lombok-Swanslutung dusun Muluy jalur
yang ditempuh adalah (± 325 km, ± 8 jam). Fasilitas yang tersedia di lokasi ini
belum ada, terkecuali jalan perusahaan PT. RKR yang menghubungkan Simpang
Lombok dengan Desa Swanslutung Dusun Muluy dan satu buah rumah penduduk
yang biasa disewakan apabila ada tamu yang berkunjung serta papan interpretasi
masih sangat minimal untuk menuju kawasan yaitu hanya papan petunjuk masuk
ke kawasan Desa Swanslutung Dusun Muluy dan batas antara HLGL dengan
41
kawasan yang ada di sekitarnya. Perjalanan dari Simpang Lombok menuju Desa
Swanslutung Dusun Muluy akan disuguhi pemandangan hamparan perkebunan
kelapa sawit seluas ± 2.500 ha milik PTPN XIII yang telah ada sejak 1980-an,
pertambangan batu bara PT. Kideco, serta gugusan pegunungan di sepanjang jalan
menuju kawasan HLGL.
Kawasan HLGL memiliki kondisi jalan pengerasan, tanah berbatu menuju
lokasi mempunyai tantangan tersendiri bagi pengunjung yang menyenangi
tantangan. Untuk menuju puncak gunung lumut dari Dusun Muluy sepanjang
jalur tersebut, pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata alam di
antaranya sebagai berikut:
a. Air Terjun Une
Sumber daya alam pendukung di dalam kawasan HLGL adalah air terjun
Une. Masyarakat Desa Swanslutung khususnya Dusun Muluy sudah
menggunakan air terjun Une sebagai alat untuk pembangkit listrik mereka dari
Turbin. Air terjun ini letaknya di kaki gunung lumut, memiliki suasana yang
alami dengan bentang alam yang unik, ketinggiannya yang mencapai ± 5 meter
dan airnya tidak langsung terjun melainkan menempel di permukaan batu, karena
jatuh sambil menempel ini akan membentuk ukiran-ukiran pada permukaan batu
yang dilalui dan cukup menarik untuk dilihat (Gambar 9).
Gambar 9 Air Terjun Une berada di kaki Gunung Lumut.
42
a. Sungai Anjur
Sungai Anjur terdapat di depan Gunung Lumut, yang mengalir melintasi
jalan menuju ke kawasan Gunung Lumut dan dikelilingi lingkungan hutan yang
masih alami, maka pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan
primer pegunungan disekitar sungai tersebut. Sungai ini memiliki luas ± 5 m
dengan debit air sedang berarus tenang.
c. Pemandangan Lepas
Pemandangan alam lepas puncak Gunung Lumut, memperlihatkan suatu
keindahan bentang alam, yang memiliki daya tarik wisata alam pegunungan
dengan kondisi hutan yang masih alami dan lebat tidak saja menyebabkan kondisi
udara yang sejuk, akan tetapi berpotensi juga sebagai arena petualangan yang
terlihat seperti pada (Gambar 10).
Gambar 10 (a dan b) Pemandangan Puncak Gunung Lumut.
a. Puncak Gunung Lumut
Gunung Lumut berada dalam kawasan HLGL. Untuk mencapai Gunung
Lumut, pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan primer.
Dalam perjalanan dari Sungai Anjur menuju puncak Gunung Lumut, pengunjung
akan menjumpai banyak hal seperti atraksi satwa liar berupa perjumpaan secara
langsung maupun tidak langsung (jejak, suara, bekas cakaran, sisa makanan dan
feses). Satwa liar yang dapat dijumpai diantaranya Owa kelawot, Babi hutan,
Kijang (Payau), sarang Landak, Bajing ekor tegak, Beruang madu dan burung
Enggang serta kupu-kupu. Sedangkan keanekaragaman tumbuhan yang terdapat
di Gunung Lumut, Puak Empulu/Engkuning (Baccaurea tetandra Merr.), Mnspon
A B
43
(Lithocarpus gracilis (Korth.) Soepadmo), dan Bnsiang (Ziziphus angustifolius
(Miq.) Hatusima ex Steenis), juga tumbuhan hias jamur dan anggrek yang dapat
dinikmati (Nurbandiah 2008). View yang ditawarkan sejauh mata memandang
berupa gugusan pegunungan disertai atraksi satwa liar dan hembusan angin yang
sejuk, serta suasana tenang.
Kekhasan kawasan HLGL paling utama yang dimiliki adalah tumbuhan
lumut yang tumbuh dengan subur dan lebat memenuhi pepohonan dan permukaan
bebatuan yang sangat indah terdapat di puncak Gunung Lumut pengunjung dapat
merasakan sejuknya hawa pegunungan dan hamparan pohon berdiameter kecil
± 15 m yang didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae
berdiameter ± 50-150 cm dapat dinikmati mulai dari ketinggian ± 400-1100 mdpl,
dimana pengunjung akan menemui pohon-pohon yang beragam ukuran dan
jenisnya diseluruh tubuh pohon yang diselimuti lumut yang tebal. Suasana
lembab dan minimnya intensitas cahaya matahari yang menembus lantai hutan
serta hembusan angin kencang, semakin menambah kesan angker dan mistisnya
Gunung Lumut. Tebal lumut yang mencapai ± 10-35 cm menyebabkan pohon
berlumut mampu menyimpan air hujan, menghasilkan oksigen dalam jumlah yang
banyak dan menambah kelembaban hutan puncak Gunung Lumut. Konon,
dijumpai udang dan kepiting di dalam lumut.
Perjalanan menuju Pundan Tengaran yang terletak pada ketinggian
± 1.100 mdpl. Semakin menuju Pundan Tengaran, semakin terasa hembusan
angin yang semakin kencang dan dingin, disertai langit mendung seakan hendak
hujan. Cuaca selama pendakian Gunung Lumut, konon menurut masyarakat
susah ditebak. Setiap pendaki disuguhkan pada cuaca Gunung Lumut yang
berbeda-beda selama pendakian, tergantung pada Sang Pengoasa Gunung Lumut
yang disebut “Kepala Adat”. Jika “Kepala Adat” mengijinkan maka cuaca berarti
baik.
Pemandangan yang dapat dinikmati di puncak Gunung Lumut berupa
hamparan hutan dengan pepohonan yang tertutup lumut tebal, dan dipenuhi oleh
vegetasi yang lebat dan beranekaragam jenis tumbuh-tumbuhan dengan gugusan
pegunungan yang tersusun rapi dan bernilai estetik. Serta adanya tanda titik
puncak yang disemen. Konon, tanda titik puncak disemen karena di dalamnya
44
terdapat harta karun Dayak Paser yang telah ada sejak jaman nenek moyang.
Belum ada fasilitas apapun yang ada di lokasi ini, selain jalan setapak. Puncak
Gunung Lumut berada pada ketinggian ± 1.233 mdpl, perjalanan dari Sungai
Anjur-puncak Gunung Lumut yang dapat ditempuh selama ± 11 jam perjalanan
pergi-pulang, dapat dilihat pada (Gambar 11).
Gambar 11 Pohon Puncak Gunung Lumut, (a,b) Batang yang telah diselimuti oleh lumut; (c) Dahan dan ranting pohon yang telah diselimuti oleh lumut (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).
5.1.1.2 Pintu Masuk Tiwei
Pintu masuk Tiwei terletak di Desa Tiwei, Kecamatan Long Ikis yang
dapat ditempuh melalui jalan darat dan laut dari Balikpapan dan Tanah Grogot
menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Aksesibilitas menuju
pintu masuk Tiwei cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah
A
C
B
45
berbatu. Apabila ditempuh dari Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan
menggunakan jalur Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Long Ikis-Desa
Tiwei (± 108 km, ± 4 jam). Dari Tanah Grogot melalui jalur Tanah Grogot-Long
Ikis-Desa Tiwei (± 40 km, ± 2 jam). Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan
yang mudah keluar-masuk dari pintu masuk Tiwei, pasar, warung
makanan/minuman, penjaja kerajinan tangan khas atau suvenir, jasa penyewaan
rumah warga bagi tamu yang berkunjung, sepanjang jalur Tiwei pengunjung akan
menikmati objek wisata alam yaitu:
a. Air Terjun Tiwei
Letaknya di Desa Tiwei, ± 3 km dan ± 1 jam perjalanan dari pusat desa
merupakan obyek wisata yang favorit untuk berlibur, sambil menikmati pesona
alam yang indah dan hawa yang sejuk. Di tempat ini tersedia warung makan
untuk pengunjung, gazebo, serta tempat parkir. Masyarakat di sekitarnya
memanfaatkan kawasan sebagai tempat mencari kayu bakar, tumbuhan obat dan
tumbuhan hias.
Gambar 12 Air Terjun Tiwei
5.1.1.3 Pintu Masuk Rantau Layung
Pintu masuk Rantau Layung melalui Rantau Buta yang dapat ditempuh
melalui jalan sungai berjarak ± 6 km selama ± 3 jam perjalanan yang terletak di
Kecamatan Batu Sopang merupakan pintu masuk yang dapat dijadikan pilihan
yang tepat untuk memasuki Rantau Layung. Jalur Rantau Layung memiliki
46
nuansa petualangan di alam yang menantang, khas dan unik. Suasana alam
sepanjang perjalanan sangat eksotik, berbagai atraksi satwaliar yang semakin
menambah suasana pedalaman dengan nuansa petualangan yang menantang dan
didominansi pohon Bangris (pohon penghasil madu alam) yang unik dan vegetasi
Dipterocararpaceae yang menarik.
Rantau Layung dapat ditempuh dengan melalui 3 jalur alternatif, yaitu dari
Balikpapan, Tanah Grogot dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan
menggunakan kendaraan pribadi roda dua dan roda empat. Rantau Layung bila
ditempuh dari Bandara Sepinggan di Balikpapan melalui jalur Balikpapan-
Kariangau-Penajam Paser Utara-Kuaro-Rantau Buta-Rantau Layung (± 264 km,
± 8 jam). Tanah Grogot-Rantau Buta-Rantau Layung (± 67 km, ± 4 jam).
Banjarmasin (Kalimantan Selatan) melalui jalur Banjarmasin-Muara Komam-
Batu Sopang-Rantau Buta-Rantau Layung (± 242 km, ± 7 jam).
Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang mudah keluar-masuk
dari pintu masuk Rantau Layung yang ada berupa 6 unit perahu mesin (Long
Boad) milik warga untuk disewakan dari Rantau Buta-Rantau Layung atau
sebaliknya, serta satu buah rumah penduduk yang biasa disewakan apabila ada
tamu yang berkunjung. Sepanjang jalur Rantau Layung, pengunjung akan
menjumpai beberapa objek wisata alam di antaranya sebagai berikut:
a. Air Terjun Nango
Air Terjun Nango merupakan Objek wisata alam yang unik dan menarik
juga memiliki kombinasi. obyek daya tarik ini merupakan wisata yang sangat
indah dengan arus yang cukup deras dan terdapat kolam di bawahnya yang
memiliki keeksotisan dapat dipadukan dengan muara di atasnya yang juga
memiliki hulu di dalam goa, dengan ke dalaman ± 1,5 m serta dihiasi bebatuan
yang berundak-undak dan ditutupi oleh lumut besar dan unik. Perjalanan menuju
lokasi akan dijumpai ladang masyarakat, vegetasi hutan sekunder dan primer yang
didominasi oleh tanaman Biwan, pohon Bangris tua (penghasil madu alam) yang
merupakan pengalaman wisata alam yang sayang apabila terlewatkan. Air Terjun
ini merupakan hilir dari Muara Nango, untuk mencapai muara sungai Nango
pengunjung harus menaiki air terjun Nango dengan memanjat akar di samping air
terjun untuk mencapai di atas Muara dan Goa Nango.
47
b. Muara Nango
Muara Nango bercabang 2 (sepanjang ± 325 m) dengan mendekati hulu,
aliran sungai semakin menyatu (sejauh ± 165 m ) dan berakhir di dalam liang atau
goa. Muara Nango nampak bahwa air sungai keluar melalui sungai bawah tanah
yang hulunya berada di dalam goa dengan jalan menanjak dan berbatu.
Pemandangan yang dapat dinikmati berupa kelokan Muara Nango yang sangat
indah seperti tempat pemandian bidadari, dengan air yang jernih serta banyaknya
kubangan air mengalir. Sesampainya di hulu Sungai Nango, dapat dijumpai goa
yang dinamakan Liang Sungai Nango dengan ketinggian ± 120 mdpl dengan
kelerengan sangat curam (800). Goa ini berjarak ± 500 m dari air terjun Nango
dan dapat ditempuh ± 1 jam perjalanan. Kekhasan Muara Sungai Nango terletak
pada bebatuan yang berwarna abu-abu dan bertingkat-tingkat sehingga
memberikan keunikan dan terlihat artistik, perjalanan menuju lokasi relatif lebih
aman dan mudah melalui jalur Sungai Prayamliu yang dapat ditempuh dengan
berjalan kaki sejauh ± 5 km dengan waktu ± 3 jam perjalanan.
Perjalanan melalui jalur darat relatif sulit karena harus melewati hutan
dengan medan berat dan topografi bebatuan. Pada saat berjalan melewati Muara
Sungai Nango, pengunjung akan melihat jernihnya air yang mengalir dan pohon-
pohon seperti Biwan (Endertia spectabilis Steenis & de Wit), Bkokal bawo
(Saraca declinata (Jack) Miq), Jelutung (Alstonia angustiloba Miq.),
Mangkolabo, Entab, dan Engkeliang berdiri tegak dan tumbuh diantara bebatuan
dengan diameter sekitar 60-70 cm. Pengunjung juga dapat mendengar suara
kicauan burung yang menambah keindahan alam di Muara Sungai Nango.
c. Liang Nango
Pemberian nama Liang Muara Sungai Nango karena liang tersebut berada
di dalam kawasan Muara Sungai Nango. Untuk dapat masuk ke liang, harus
memanjat mulut liang setinggi ± 1,5 meter. Terdapat dua lorong di dalam liang
yaitu lorong pertama berbentuk vertikal dan lorong kedua berbentuk horizontal.
Lorong pertama tidak dapat dilalui karena lorong vertikal dengan kemiringan 900
dan kondisi tanah liat yang remah. Lorong kedua memiliki panjang ± 20 m dari
mulut liang, berupa lorong sempit berdiameter ± 1 m, dengan tanah liat yang telah
mengalami patahan selebar ± 10 cm dan dalam ± 40 cm. Lorong hanya bisa
48
dilewati oleh satu per satu orang, dengan posisi jalan miring. Fauna yang
ditemukan di dalam liang goa yaitu Laba-laba dan Lenawai kecil, serta
pemandangan sungai Nango yang menarik, serta kicauan burung Enggang dan
burung-burung kecil lainnya semakin menambah mantapnya berpetualang di alam
bebas.
Gambar 13 Air Terjun, Muara dan Liang Sungai Nango: (a) Hulu Muara sungai nango, (b) Tengah Muara Sungai Nango, (c) Hilir Muara Sungai Nango/Puncak Air Terjun Sungai Nango, (d) Ornamen Liang berupa stalagtit/Mulut Lorong Liang yang sempit, (e dan f) Air Terjun Sungai Nango (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).
A B
C D
E F
49
5.1.1.4 Pintu Masuk Kasungai
Pintu masuk Kasungai terletak di Desa Kasungai, Kecamatan Batu Sopang
yang dapat ditempuh melalui jalan darat dan sungai dari Balikpapan, Tanah
Grogot dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan menggunakan kendaraan
pribadi roda dua atau roda empat. Aksesibilitas menuju pintu masuk Kasungai
cukup mudah dengan kombinasi jalan aspal dan tanah berbatu. Kasungai bila
ditempuh dari Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan menggunakan jalur
Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Batu Sopang-Desa Kasungai (± 257
km, ± 6 jam). Tanah Grogot melalui jalur Tanah Grogot-Batu Kajang-Desa
Kasungai (± 47 km, ± 2 jam). Banjarmasin (Kalimantan Selatan) melalui jalur
Banjarmasin-Muara Komam-Batu Sopang-Desa Kasungai (± 224 km, ± 6 jam).
Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang mudah keluar-masuk
dari pintu masuk Kasungai, warung makanan atau minuman, jasa penyewaan
rumah warga bagi tamu yang berkunjung, serta adanya fasilitas listrik PLN juga
lokasi yang dekat dengan pemancar signal hp, sehingga memudahkan komunikasi.
Sepanjang jalur Kasungai pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata
alam di antaranya:
a. Goa Tengkorak
Desa Kasungai memiliki Goa Tengkorak yang merupakan tempat
mengubur orang-orang penganut kepercayaan animisme sebelum masuknya
pengaruh Agama Hindu dan Agama Islam di Kerajaan Paser, dengan jumlah
tengkorak dalam goa ini berjumlah ± 35 buah, kondisi tengkorak yang beberapa
sudah rusak dan tidak utuh lagi. Goa Tengkorak berbentuk cekungan, yang
terletak di punggung bukit tebing batu dengan ketinggian ± 20 meter, dengan
harus menaiki tangga kayu terlebih dahulu untuk mencapai goanya. Tengkorak
manusia ini di dalamnya yang berasal dari zaman Kahariangan dan juga
merupakan situs peninggalan sejarah nenek moyang, yang memiliki serambi goa
yang dihiasi stalagtit dan stalagmit yang indah.
Pemandangan yang dapat dinikmati dari Goa tengkorak adalah keindahan
Gunung Loyang, Sungai Kesungai dan Sungai Semao. Selain itu juga dapat
mendengar kicauan burung Gagak, Enggang, Elang dan burung-burung lainnya
dan nuansa hutan sekunder pegunungan. Goa ini berjarak ± 700 meter dengan
50
waktu tempuh ± 30 menit. Untuk menuju lokasi dengan melewati dua jembatan
dan dua sungai yaitu Sungai Semao dan Sungai Kesungai, pengunjung akan
melihat kuburan masyarakat Kasungai yang sudah menganut ajaran Agama Islam.
Goa Tengkorak ini berada di sekitar kawasan HLGL dan sudah dikelola oleh
Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Paser. Kondisi sekitar wilayah
kawasan Goa Tengkorak cukup baik walaupun masih memerlukan perawatan dan
pengawasan secara lebih kontinyu untuk memberikan kenyamanan kepada
pengunjung.
Gambar 14 Goa Tengkorak: (a) View yang dapat dinikmati dari tangga Goa Tengkorak, (b) Tangga menuju Goa Tengkorak (c) Tengkorak kepala dan tulang belulang di dalam goa.
b. Goa Loyang
Goa Loyang mempunyai keindahan yang telah terlihat dari kejauhan
dengan batu yang besar dengan pepohonan yang rindang, Goa Loyang tersebut
merupakan hasil temuan masyarakat Desa Kasungai yang bernama Lojang.
Keunikannya adalah ruangan pertama dari mulut goa berukuran besar dan
menyerupai loyang terbalik. Untuk menuju goa harus menaiki tangga menuju
mulut goa yang besar. Saat berada di dalam goa pengunjung dapat melihat
ruangan yang besar seperti loyang yang terbalik. Ada dua jalur untuk berjalan-
jalan dengan beberapa pintu keluar, dengan menjelajahi goa yaitu jalur pertama
menuju puncak gunung setinggi ± 110 mdpl dan jalur kedua yang merupakan
kombinasi jalan hutan dan jalan dalam goa.
Sejauh mata memandang, jalur pertama menyuguhkan pemandangan alam
yang sangat luar biasa, seluruh wilayah Kecamatan Batu Sopang, komplek
A B C
51
pertambangan batu bara PT. Kideco dan sekitarnya dapat terlihat, beserta seluruh
gugusan pegunungan yang eksotis. Sedangkan jalur kedua menyajikan
penelusuran goa yang menantang dan unik. Liang tanduk dan liang serawu
merupakan dua ruangan utama dalam goa. Fauna yang terdapat di dalam goa
yaitu kelelawar, walet dan laba-laba. Sedangkan fauna yang dijumpai di sekitar
goa antara lain burung Punai tanah, Terantang, Pipit, Teruak Gonggong,
Engkutong, Enggang, Gagak dan Bubut. Goa ini berjarak ± 400 m dengan waktu
tempuh ± 20 menit dari Desa Kasungai. Fasilitas yang tersedia antara lain akses
menuju goa yang sudah diaspal dan dalam keadaan baik, loket karcis, tempat
pertunjukan, kantin, gazebo dan tempat parkir. Goa Loyang ini juga sudah di
kelolah oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Paser.
Gambar 15 Goa Loyang: (a) Mulut Goa, (b) Lorong Goa yang sempit dan
ornamen goa berupa stalaktit dan stalakmit serta kelelawar yang sedang terbang di dalam goa (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).
5.1.2 Daya Tarik Biologi
5.1.2.1 Flora
HLGL memiliki flora yang langka dan endemik dapat menjadi obyek yang
menarik bagi para pengunjung yang terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder,
khususnya untuk tujuan pendidikan dan penelitian. Hutan Lindung Gunung
Lumut juga memiliki kenekaragaman tanaman hias berupa berbagai jenis tanaman
anggrek yang terlihat seperti pada Gambar 16.
A B
52
Gambar 16 (a,b dan c) Anggrek di Hutan Lindung Gunung Lumut (sumber foto:Mariana Zainun dan Nurbandiah).
Flora yang menonjol dan sering ditemui pada hutan riparian (tepi sungai
dan anak sungai) adalah Bekokal/Bkokal bawo (Saraca declinata (Jack) Miq) dan
Biwan (Endertia spectabilis Steenis & de Wit). Selain tanaman tersebut juga
dapat ditemui Meranti (Shorea sp.), Bangris, Ulin (Eusideroxylon zwageri),
Beringin/Nunuk (Ficus sp.), Mayas (Duabanga moluccana Blume), Benuang
(Octomeles sumatrana), Bungur (Lagerstroemia sp.), Gaharu (Aquilaria
malaccensis), Sungkai (Peronema canescens Jack), Walur (Nauclea subdita
Merr.), Nsom bulau (Mangifera torquenda Kosterm.), Nansang (Macaranga
pruinosa (Miq.) Mull.Arg.), Nansang puyan (Macaranga pearsonii Merr.),
Bangkorang (Leea indica (Burm.f.)), Lutung (Alstonia angustiloba Miq.), Ara
(Poikilospermum sp.), Ara gendang (Ficus variegata Blume) Lutung Buis,
Pelawan (Tristaniopsis whiteana), Bnsiang (Ziziphus angustifolius (Miq.)
Hatusima ex Steenis).
A B
C
53
Gambar 17 Flora di Hutan Lindung Gunung Lumut: (a) Bekokal/Bkokal bawo (Saraca declinata (Jack) Miq), (b) Meranti (Shorea sp.), (c) Gaharu (Aquilaria malaccensis), (d) Beringin/Nunuk (Ficus sp.), (e) Buah Walur (Nauclea subdita Merr.), (f) Bungur (Lagerstroemia sp.) dan (g) Bangris (Koompassia excelsa). (Sumber foto: Nurbandiah 2008).
A B
C D
E
G
F
54
Jenis pohon-pohon yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar
HLGL antara lain dari kelompok Mangga (Mangifera sp.), Durian (Durio sp.),
Rambutan (Nephelium sp.), Langsat (Lansium domesticum), Asam putar
(Mangivera similis), Keranji (Dialium indum), Cempedak, Tarap dan Bukes.
Tanaman herba yang sering digunakan sebagai bahan pangan oleh masyarakat
adalah Ptien (Etlingera sp.) dapat dilihat pada Gambar 18 (Nurbandiah 2008).
5.1.2.2 Fauna
HLGL memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi, berdasarkan
wawancara dengan masyarakat setempat maupun pengamatan secara langsung
terhadap keberadaan satwa yang pernah dan sering terlihat di kawasan HLGL,
yaitu yang ditandai dengan penemuan jejak berupa jejak kaki, jejak cakaran pada
pohon dan kayu, jejak feses dan bekas makanan yang telah dimakan oleh satwa
pada jalur menuju kawasan HLGL (Simorangkir 2006).
Perjalanan menuju Puncak HLGL, misalnya, pengunjung dapat melihat
langsung Owa Kelawot. Selain itu, pengunjung dapat melihat Beruang Madu
yang sedang bergelantungan, Enggang dan burung-burung kecil yang sedang
berterbangan. Selain binatang-binatang tersebut, pengunjung juga dapat dengan
mudah melihat langsung atau mendengar suara berbagai jenis burung, seperti
contohnya burung Gagak Hutan (Corvus enca) yang sering di jumpai pada daerah
aliran sungai, terutama disekitar Desa Rantau Layung.
Burung lainnya yang sering terdengar suaranya saat pagi-siang hari dan
dapat dilihat di sekitar kawasan HLGL baik dalam perjalanan menuju puncak
Gunung Lumut dan di daerah-daerah menuju lokasi air terjun dan liang adalah
Kuau raja (Argusianus argus), Srigunting batu (Dicrurus paradiseus), Rangkong
badak (Buceros rhinoceros), Rangkong gading (Rhinoplax vigil), Kucica hutan
(Copsychus stricklandi), Takur tutut (Megalaima rafflesii), Elang hitam
(Ictinaetus malayensis), Merbah cerukcuk (Picnonotus goiavier), Caladi batu
(Meiglyptes tristis), Bubut alang-alang (Centropus bengalensis), dan Cinenen
belukar (Orthotomus atrogularis). Selain burung-burung tersebut juga terdapat
berbagai jenis kupu-kupu yang terlihat seperti pada Gambar 18 (Nurbandiah
2008).
55
Gambar 18 Kupu-kupu di Hutan Lindung Gunung Lumut: (a) C. hypsea munjava, (b) G. doson evemonides, (c) Y. sabina javanica, (d) C. amelea bajadeta, (e) G. delesserti-delesserti (f) C. Elna. (Sumber foto: Nurbandiah).
5.1.3 Wisata Sosial-Budaya
Selain potensi alam kawasan HLGL juga kaya akan wisata budaya dengan
tetap menjaga pelestarian hutannya. Untuk menuju ke arah wisata, sangat
dibutuhkan daya dukung komponen-komponen dan kondisi lingkungan di luar
kawasan HLGL. Beberapa aspek daya dukung lokal di antaranya yang diyakini
masyarakat lokal mempunyai nilai spiritual. Objek-objek yang dapat dijadikan
wisata budaya adalah sebagai berikut:
5.1.3.1 Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat antara lain tidak
menebang pohon, tidak mengambil sarang lebah. Kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat ini merupakan hal yang penting untuk pengembangan ekowisata dan
kearifan lokal ini juga diwariskan secara turun termurun antara lain:
A B C
D E F
56
a. Masyarakat Adat Dusun Muluy
Masyarakat yang berada disekitar kawasan HLGL memiliki kelompok
kebudayaan yang khas dan menarik. Keunikan yang menjadi daya tarik wisata
Dusun Muluy, masyarakat adat, diantaranya:
1. Dusun Muluy memiliki daerah adat bagi pengunjung yang tertarik untuk
mengenal tentang wisata budaya.
2. Dusun Muluy memegang teguh adat istiadat peninggalan leluhur dan
komitmen kuat terhadap falsafah hidup yang diwariskan oleh leluhur mereka.
3. Budaya dan Adat yang ada masih bersifat murni dan belum terkontaminasi
oleh pengaruh dari luar.
b. Kebudayaan Suku Dayak Paser
Masyarakat Suku Dayak Paser tidak ingin disebut sebagai Suku Dayak,
mereka menyebut dirinya sebagai Suku Paser. Dikarenakan masyarakat Paser
telah dipengaruhi budaya Islam dan mayoritas beragama Islam. Selain itu, budaya
ladang berpindah telah melekat sejak jaman nenek moyang. Urutan pengolahan
lahan pertama kali degan membuka ladang, penebangan pohon-pohon penggangu
dengan (nebas), pembakaran lahan, pembersihan lahan (manduk), dan penanaman
padi (menugal), Masyarakat yakin, bahwa setelah 2-3 kali masa panen, tanah akan
mengalami penurunan kualitas kesuburan dan membutuhkan waktu untuk
memulihkannya. Kearifan tradisional yang dimiliki Suku Paser adalah
memanfaatkan lahan pertanian sesuai kemampuan lahan yaitu lama masa pakai
dan rotasi ladang selama ± 2-3 tahun. Maka selanjutnya akan dilakukan
pembukaan ladang yang baru. Kegiatan pembukaan ladang dilakukan secara
bergotong-royong dan membutuhkan waktu antara ± 8-10 bulan. Kearifan
tradisional ini telah diwariskan secara turun-temurun.
5.1.3.2 Musik dan Tarian
Suku Paser dan Dayak Paser memiliki keanekaragaman musik dan tari-
tarian tradisional. Musik dan tarian ini sering dibawahkan pada upacara-upacara
adat seperti, perkawinan, kematian, penanaman padi menyambut tamu yang
diiringi alat musik tradisional seperti gong, dan gitar dengan empat buah senar
yang sering disebut sape.
57
a. Tari Dayak Paser
Beberapa kegiatan seni dan budaya yang hidup di kalangan masyarakat,
antara lain Tari Ronggeng Paser dan Teater Tradisional Paser atau Nalau.
Selanjutnya adalah Tari Rembara, Tari Gintur, Gendang Agong, Upacara Adat
Nulak Jakit, Petikan Gambus Irama Pesisir, Tari Jepen Muslim, Tari Jepen Daya
Taka, Tari Singkir, Tari Belian Pengobatan, Petikan Muara Adang dan Irama
Tengah Malam, Pesta Adat Kembo, Prosesi Kegiatan Upacara Belian atau
Mamulio Ngadap Klusan, Upacara Adat Paser atau Nyambut Taun Nengkuat
Longan Nansang dan Pesta Laut Mappanre Tasi yang digelar setiap tahun oleh
warga yang tinggal di kawasan Pesisir, (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya
2008).
b. Tari Ronggeng
Tari Ronggeng adalah salah satu kesenian tradisional pesisir Kabupaten
Paser yang termasuk dalam kelompok tari gembira (tari pergaulan). Tarian ini
biasanya ditampilkan pada saat acara-acara resmi kerajaan yang bertujuan untuk
memberikan hiburan kepada tamu-tamu yang hadir. Dalam tarian yang diiringi
dengan lagu Ronggeng dan didominasi alat musik petik (Gambus), langkah
alunan kaki dan lemah gemulainya sang penari menggerakkan selendang dan sapu
tangannya seakan mengajak hadirin untuk menari dan bergembira bersama.
c. Tari Rembara
Tarian tradisional pedalaman Paser ini merupakan Tari Rembara yang
disebut tari tradisional pedalaman Dayak Paser yang merupakan tari ritual atau
tari yang ditampilkan saat upacara adat Paser, seperti Upacara Belian dan Upacara
Nulak Jakit dan upacara adat lainnya maupun pada acara-acara resmi. Tarian ini
biasanya dilakukan oleh beberapa gadis cantik yang membawa beberapa
perlengkapan yang seakan-akan untuk diserahkan kepada Sang Pengoasa Jagat
Raya.
d. Tari Belian Pengobatan
Tari Belian merupakan tarian adat Paser merupakan rangkaian dari
Upacara tradisional Adat Belian pedalaman Dayak Paser yang merupakan tarian
persembahan kepada Sang Pengoasa Jagat Raya. Tari Belian ada dua macam
berdasarkan kepentingannya, yaitu Tari Belian untuk tujuan penyembuhan
58
penyakit dan pertunjukan untuk membayar hajat. Tarian ini dilakukan oleh
seorang penari yang dipercaya mempunyai kemampuan mengobati penyakit
seseorang, yang diikuti dengan alunan musik khas Paser. Sedangkan untuk tujuan
pertunjukan, tari ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang mengoasainya. Setiap
upacara ini disertai dengan makan dan minum bersama.
5.1.3.3 Kerajinan Tangan
Bagi masyarakat dayak paser kerajinan tangan Khas Dayak Paser yang
dikenal paling bagus dan indah diantaranya: Anjat, Gawang, lanjung, nyiru
(tampah), dan tempat pendulangan emas, yang memiliki pola dan corak yang unik
dan juga jenis anyaman biasa tanpa corak yang juga bahannya terdiri dari rotan,
bambu, antara lain:
a. Kerajinan Tangan Khas Dayak Paser
Masyarakat Suku Paser memiliki keterampilan membuat kerajinan tangan
dari rotan. Keterampilan ini awalnya muncul karena adanya tuntutan kebutuhan
akan peralatan berladang, untuk tempat membawa perbekalan dari rumah
(makanan, minuman) dan tempat untuk menyimpan hasil ladang mereka. Bentuk
dan ukuran jenis kerajinan tangan masih sangat sederhana. Seiring dengan
perkembangan jaman dan semakin banyaknya masyarakat luar yang berkunjung
ke pemukiman masyarakat Suku Paser, maka terbukalah wawasan berpikir dan
sikap kreatifnya. Kerajinan tangan khas masyarakat Suku Paser lebih
beranekaragam dalam hal jenis, bentuk dan ukuran. Tetapi tidak semua
masyarakat Dayak Paser mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan.
Tentunya sangat berpotensi sekali apabila dikembangkan sebagai industri
kerajinan masyarakat untuk mendukung pengembangan ekowisata sebagai
kegiatan wisata di wilayah tersebut.
59
Gambar 19 Lanjung: (a) Proses pembuatan kerajinan lanjung masyarakat sekitar kawasan HLGL (b) Kerajinan Lanjung.
5.1.3.4 Sarana dan Prasarana Hutan Lindung Gunung Lumut
a. Akomodasi
Sarana akomodasi belum ada disebabkan karena belum dianggap menjadi
hal yang penting untuk disediakan untuk saat ini, dalam rangka mendukung
eksploitasi potensi HLGL sebagai obyek wisata minat khusus ekowisata alam
pegunungan. Dari empat desa dengan tiga wilayah kecamatan yang berbatasan
langsung dengan kawasan HLGL, hanya terdapat 4 hotel wilayah kecamatan yang
tersedia sarana akomodasi berupa hotel atau penginapan adalah Kecamatan Kuaro
sebanyak 2 unit, Long Kali 1 unit dan Muara Komam 1 unit sedangkan yang
berada di sekitar kawasan HLGL terdapat 1 buah rumah penduduk yang biasa
disewakan ketika ada tamu yang berkunjung dan 7 rumah makan .
b. Fasilitas
Kondisi wisata akan berkembang apabila dilengkapi dengan fasilitas
wisata untuk lebih menambah rasa dalam menikmati aktivitas wisata. Fasilitas
wisata juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengunjung selama
berwisata. Semakin banyak fasilitas wisata yang disuguhkan tidak menjadi
patokan akan semakin banyaknya wisatawan. Fasilitas yang khas unik dan
menarik serta bernuansa alamiah mampu menjadikan objek wisata tertentu
menjadi prioritas pilihan dalam berwisata. Pada dewasa ini, masyarakat lebih
menyukai wisata kembali ke alam (back to nature) yaitu wisata yang bernuansa
alami atau dengan mendekatkan diri pada alam. Hal ini disebabkan rutinitas
A B
60
keseharian yang sangat sibuk dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Fasilitas
wisata yang umum terdapat di objek wisata adalah fasilitas restaurant, souvenir,
gazebo, transportasi lokal, air bersih, mandi cuci dan kakus (MCK), puskesmas,
listrik dan fasilitas pelayanan lainnya.
c. Aksesibilitas
Aksesibilitas menuju HLGL dapat dicapai melalui jalan darat dan laut,
yaitu kendaraan roda dua atau roda empat. Dari Balikpapan-Bandara Sepinggan
menuju HLGL, maka perjalanan melalui Pelabuhan Kariangau-Penajam Paser
Utara. Aksesibilitas menuju kawasan HLGL dapat melalui Simpang Lombok
menuju Dusun Muluy yang masuk dalam Desa Swanslutung untuk ke Gunung
Lumut dan dapat juga melalui Desa Rantau Layung, Desa Kesungai dan Desa
Tiwei, untuk mencapai kawasan HLGL harus melalui jalan perusahaan dan jalan
setapak.
Kawasan HLGL di dalam maupun sekitarnya dapat ditempuh melalui
pemukiman masyarakat. Kawasan HLGL terdapat 1 dusun di dalamnya yaitu
Dusun Muluy yang termasuk wilayah Desa Swanslutung dan 13 desa lainnya
yang berada di sekitar kawasan HLGL. Desa Tiwei, Rantau Layung, Kasungai
untuk menuju kekawasan HLGL memiliki kondisi jalan yang masih alami, berupa
jalan tanah berbatu dan setapak. Lebar jalan bervariasi antara 30 cm-2 meter, dan
seringkali dibuat jalan baru dengan cara membuka dan menebas semak-semak.
Untuk memasuki kawasan HLGL dapat ditempuh hanya dengan 2 pintu
masuk. Jalur bagian selatan ditempuh dengan berjalan kaki, sedangkan jalur utara
dapat ditempuh melalui bekas jalan logging dan hanya dapat dicapai
menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat.
Kawasan HLGL, umumnya dapat menjumpai pemukiman atau ladang
masyarakat, bahkan ada yang harus melewati jalan air (sungai) terlebih dahulu.
Ada 2 jalan alternatif menuju kawasan HLGL, yaitu melalui jalan darat yang
dipadukan dengan jalan sungai (Pelabuhan Kariangau di Penajam Paser Utara).
HLGL dengan Ibu kota propinsi samarindah berjarak ± 392 km (jalan darat) atau
± 257 km (jalan darat-laut). Waktu yang ditempuh masing-masing jalur alternatif
antara 6-8 jam. Kawasan HLGL dengan Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan
berjarak ± 257 km (jalan darat) atau ± 157 km (jalan darat-laut).
61
d. Sarana dan Prasarana Pendukung
Berbagai sarana dan prasarana pendukung yang telah ada di sekitar
kawasan HLGL dalam rangka mendukung pengembangan kawasan tersebut
sebagai satu tujuan obyek wisata, adalah sebagai berikut:
1. Transportasi
Sarana transportasi merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk
memperlancar mobilisasi penduduk dan ekonomi pada satu daerah, baik intra
maupun extra. Untuk lingkungan kawasan HLGL maupun kota atau daerah
sekitarnya, kondisi sarana transportasi yang telah ada adalah sebagai berikut:
- Jalan Raya
Kondisi sarana jalan raya pada desa-desa yang bersinggungan langsung
dengan kawasan HLGL adalah berupa jalan raya pengerasan. Kondisi jalan raya
antara desa maupun antar kecamatan yang berbatasan wilayah dengan kawasan
HLGL, adalah berupa jalan raya aspal dan pengerasan.
- Jenis Kendaraan darat (angkutan umum)
Jenis kendaraan darat sebagai sarana angkutan umum yang digunakan oleh
masyarakat di sekitar wilayah HLGL adalah mobil yang digunakan oleh
perusahaan PT. Rezki Kacida Reana dan ojeg. Sarana pendukung untuk
mobilisasi kendaraan angkutan darat berupa stasiun pengisian bahan bakar
minyak, tersedia hanya 2 instalasi.
- Pesawat Udara
Akses memasuki kabupaten Paser melalui lalulintas udara belum tersedia.
Mobilisasi manusia dari luar pulau Kalimantan menuju wilayah kabupaten Paser
dengan menggunakan sarana transportasi udara, hanya dapat diakses melalui
bandara Balikpapan (Ibukota Propinsi).
- Angkutan penyeberangan laut dan sungai
Sarana transportasi lain yang menghubungi desa-desa atau kecamatan-
kecamatan di sekitar kawasan HLGL, juga menggunakan sarana Kapal feri, long
boat atau speed boat untuk menyeberangi laut dan sungai. Frekuensi
penyeberangan terjadi pada setiap hari, dengan diperkuat oleh armada speed boat,
long boad dan armada Kapal feri.
62
2. Sarana Komunikasi
Bahasa yang dominan digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat
setempat adalah bahasa Paser, disamping bahasa Indonesia, dan ada juga yang
menggunakan bahasa Dayak dan Jawa. Ketersediaan sarana telekomunikasi pada
daerah-daerah pemukiman penduduk (kecamatan dan desa-desa) di sekitar
kawasan HLGL belum memadai. Tidak tersedianya jeringan telepon kabel,
telepon seluler, dan jeringan Internet. Juga tidak terjangkau oleh surat kabar.
3. Sarana Pasar dan Perdagangan
Pasar yang dimiliki oleh masyarakat setempat bersifat pasar tradisional.
Kegiatan pasar berlangsung setiap hari dan juga ada Sekali dalam seminggu, dan
dengan menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Meskipun
demikian, sistim jual beli dengan cara barter masih berlaku. Aktivitas pasar tidak
hanya dijalankan oleh penduduk setempat, namun juga didatangi oleh pedagang-
pedagang dari daerah tetangga.
5.1.4 Masyarakat Sekitar Kawasan
Masyarakat desa pada penelitian ini adalah penduduk desa yang bertempat
tinggal disekitar kawasan HLGL dan penduduk yang memiliki akses terdekat
menuju kawasan yaitu penduduk Desa Swanslutung (Dusun Muluy), Desa Tiwei,
Desa Rantau Layung, Desa Kasungai. Pengamatan dilakukan terhadap
karateristik responden, persepsi responden, partisipasi responden serta saran dan
harapan responden terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL.
Berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil wawancara terhadap 120 orang
masyarakat yang tinggal di desa tersebut dengan masing-masing desa 30 orang
pada empat desa yang dipilih sebagai sampel dan dijadikan sebagai responden.
Maka diperoleh hasil sebagai berikut:
5.1.4.1 Karateristik Responden Masyarakat Desa
Masyarakat desa sekitar lokasi yang menjadi sampel responden dalam
penelitian ini terdiri dari 120 orang; 93 orang laki-laki (77,5%) dan 27 orang
perempuan (22,5%). Distribusi umur lebih dominan pada usia 17-35 tahun
(56,67%), usia 36-55 thn (36,67%) dan sisanya 6,67% merupakan kelompok
lansia; Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah. Hal ini tercermin
63
dari tingkat pendidikan responden yakni tidak tamat SD (20,83%), tamat SD
(62,5%), SLTP (11,67%) dan SLTA (5%). Sedangkan yang memiliki pendidikan
sampai perguruan tinggi tidak ada. Pekerjaan pokok responden umumnya adalah
berladang atau berburu (48,33%), usaha makanan (10%), tukang perahu (5%),
tukang ojek (17,5%) dan pekerjaaan lainnya (19,17%).
Jenis pekerjaan ini terkait erat dengan tingkat pendidikan responden yang
relatif rendah. Hal ini disebabkan sarana pendidikan yang tersedia untuk disetiap
desa masih minim sehingga menyulitkan bagi masyarakat yang menyekolahkan
anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang lebih baik. Disamping itu, beberapa
responden diantaranya merupakan masyarakat transmigrasi yang juga memiliki
tingkat pendidikan rendah. Sehingga sampai saat ini belum ada pekerjaan lain
yang bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar. Uraian tentang karakteristik
masyarakat yang menjadi sampel responden di sajikan dalam tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik responden masyarakat desa disekitar kawasan HLGL Masyarakat Desa No. Parameter Kriteria
1 2 3 4 Total (%)
1 Responden a. Laki-laki b. Perempuan
25 5
22 8
21 9
25 5
93 27
77,5 22,5
2 Umur a. 17-35 tahun b. 36-55 tahun c. 55 tahun keatas
15 11 4
21 8 1
15 14 1
17 11 2
68 44 8
56,67 36,67 6,67
3 Pendidikan a. TTSD b. SD c. SLTP d. SLTA
10 18 2 0
5 23 5 2
7 9 0 0
3 25 7 4
25 75 14 6
20,83 62,5 11,67
5 4 Pekerjaan a. Berladang/berburu
b. Usaha warung/jualan makanan
c. Tukang perahu/punya perahu
d. Tukang ojek e. Lainnya
20 4 0 2 4
11
2
0 7 6
18
1
6 0 1
9 5 0
12 12
58
12 6
21 23
48,33
10
5 17,5 19,17
5 Bahasa yang dikuasai (bisa lebih dari satu jawaban
a. Paser b. Dayak c. Jawa d. lainnya
30 18 2 0
19 12 15 2
26 17 3 0
23 13 5 3
98 60 25 5
81,67 50
20,83 4,17
Keterangan: 1 = Desa Swanslutung (n=30) 2 = Desa Tiwei (n=30) 3 = Desa Rantau Layung (n=30) 4 = Desa Kasungai (n=30)
Semua masyarakat di keempat desa ini sangat mendukung rencana
pengembangan ekowisata HLGL, dengan harapan bahwa dengan adanya
pengembangan di kawasan HLGL maka aksesibilitas menuju kawasan kiranya
64
akan mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait sehingga dapat menjadikan
aksesibilitas menjadi lebih baik dan lebih lancar. Masyarakat juga mengharapkan
dengan adanya pengembangan dan HLGL ini dikelola dengan baik, ini bisa
memberikan lapangan pekerjaan pada mereka sehingga masyarakat sekitar tidak
lagi tergantung akan hasil alam yang ada di HLGL.
Sebagian besar masyarakat disekitar HLGL ini dapat bersosialisasi dengan
baik, ini dibuktikan dengan awal kunjungan penelitian yang langsung mendapat
sambutan sangat baik dan ramah serta penggunaan bahasa mereka hanya
sebahagian saja yang bisa memahami bahasa Indonesia dan bahasa setempat yaitu
bahasa Paser sebesar 81,67% selain bahasa setempat yaitu bahasa Dayak (50%),
dan Jawa (20,83%) dan bahasa lainnya (4,17%) hal ini menunjukkan telah terjadi
asimilasi penduduk.
5.1.4.2 Persepsi Responden
Persepsi responden adalah pengetahuan dan pandangan mereka terhadap
pengembangan ekowisata di kawasan HLGL. Persepsi responden dapat diketahui
dari pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kawasan HLGL sebagai hutan
lindung, pengetahuan terhadap tujuan wisata yang akan berkunjung ke kawasan
HLGL, Pemahaman terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL,
keinginan terlibat langsung dalam pengembangan dan keinginan berpartisipasi
lebih aktif dimasa mendatang di sajikan pada tabel 10.
Tabel 10 Persepsi responden terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL
No. Parameter Kriteria Jumlah (%)
1. Pemahaman kawasan HLGL perlu dilestarikan
a. Ya b. Tidak
93 27
77,5 22,5
2. Pengetahuan tentang status kawasan HLGL
a. Ya b. Tidak c. tidak tahu
90 27 3
75 22,5 25
3. Kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan HLGL
a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
85 23 12
70,83 19,17
10 4. Pengetahuan tentang konflik yang terjadi
di kawasan HLGL a. Ya b. Tidak
87 33
72,5 27,5
Sebagian besar masyarakat yang menjadi responden (75%) memiliki
pengetahuan yang cukup baik tentang status kawasan HLGL. Hal ini berkat
adanya berbagai kegiatan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh pihak
65
pengelola bekerjasama dengan pihak-pihak terkait lainnya terhadap masyarakat
sekitar kawasan. Sedangkan bagi masyarakat yang belum mengetahui dengan
baik tentang manfaat dan status kawasan hendaknya dapat diberikan penyuluhan
yang intensif.
Rata-rata masyarakat yang ada di sekitar kawasan HLGL setuju (77,5%)
apabila HLGL dilestarikan dan dikembangkan sebagai obyek wisata alam minat
khusus ekowisata. Melihat kondisi ini tentunya merupaka modal dasar yang baik
bagi pengembangan ekowisata di masa mendatang karena adanya persetujuan dan
dukungan tersebut. Responden yang tidak tahu (22,5) adalah masyarakat yang
sama sekali tidak mengerti tentang ekowisata dan kepentingannya bagi mereka
dimasa mendatang. Pengetahuan tentang status kawasan HLGL 75% mengetahui,
sedangkan 22,5% mengatakan tidak dan tidak tahu sama skali 25%; kegiatan
pengembangan ekowisata di kawasan HLGL 70,83% mengatakan setuju 19,17%
mengatakan tidak dan tidak tahu sama skali 10%; pengetahuan tentang konflik
yang terjadi di kawasan HLGL 72,5% mengetahui 27,5% mengatakan tidak
mengetahui.
Namun masyarakat yang setuju dan mendukung juga belum semuanya
dapat memahami tentang ekowisata yang sesungguhnya. Sebagian besar
beranggapan bahwa pengembangan ekowisata yang dimaksud seperti halnya
wisata pada umumnya yang akan mendatangkan banyak wisatawan untuk sekali
berkunjung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan
kepedulian masyarakat akan pentingnya kawasan HLGL dapat dikatakan cukup
baik, meskipun untuk pemahaman ekowisata itu sendiri belum dimengerti dengan
baik. Oleh karena itu, diperlukan adanya penyuluhan kepada masyarakat
setempat mengenai ekowisata dan pengembangannya, agar masyarakat tidak salah
persepsi. Disamping itu, menurut mereka dengan adanya wisata alam minat
khusus ekowisata nantinya di dalam kawasan, masyarakat berharap pemerintah
dapat membuka akses yang lebih baik menuju kawasan, utamanya jalan
transportasi karena selama ini mereka merasa sangat kesulitan dalam melakukan
dalam berbagai kegiatan guna menunjang kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan persepsi dari kelompok responden di atas, maka dapat
diketahui bahwa sebagian masyarakat di sekitar kawasan HLGL telah memiliki
66
keterbukaan pikiran dan wawasan untuk mengelolah suatu potensi di daerahnya
yang bernilai ekonomi. Lebih dari itu, mereka telah memahami dampak dari
beban lingkungan HLGL yang akan terjadi, jika kawasan ini telah mengalami
pengelolaan dan bernilai jual. Hal mana akan menarik semakin banyak
pengunjung, yang daripadanya dapat memberikan tekanan kepada pergeseran
kelestarian lingkungan setempat. Dengan demikian, mereka memberikan
pernyataan sebagai suatu bentuk alasan, dalam rangka mencegah degradasi fungsi
kawasan HLGL.
5.1.4.3 Partisipasi Responden
Tingkat partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata
di kawasan HLGL dapat terlihat dari tingkat pengetahuan masyarakat sekitar
mengenai lokasi-lokasi obyek wisata yang potensial di dalam kawasan dan
peluang pekerjaan sampingan masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan
wisata di masa mendatang. Selain itu juga dapat dilihat partisipasi dan keinginan
responden untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan dan
pengembangan ekowisata di kawasan HLGL pada tabel 10.
Partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata di
kawasan HLGL meliputi kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan kawasan 81,67% mengatakan bersedia, sedangkan 12 mengatakan
tidak bersedia dan hanya 8,33% mengatakan tidak tahu; memiliki pekerjaan lain
berhubungan dengan kawasan HLGL (selain pekerjaan utama) 16,67%
berhubungan 83,33% mengatakan tidak; letak lokasi usaha dagang 12,5% areal
pintu masuk kawasan, 25% sekitar pemukiman penduduk.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa masyarakat yang
mengetahui secara mendetail tempat-tempat yang menarik untuk di kunjungi di
dalam kawasan HLGL, sebagian besar mengetahui namun ada yang beberapa
tempat saja (20,83%), ada juga yang mengetahui dengan baik (70,83%); dan
selebihnya (8,33%) tidak tahu.
67
Tabel 11 Partisipasi responden terhadap prospek pengembangan ekowisata di kawasan HLGL
No. Parameter Kriteria Jumlah (%)
1. Berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan HLGL
a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
98 12 10
81,67 10
8,33
2. Memiliki pekerjaan lain yang berhubungan dengan kawasan HLGL selain pekerjaan utama
a. Ya b. Tidak
20 100
16,67 83,33
3. Letak lokasi usaha dagang a. Areal pintu masuk kawasan
b. Sekitar pemukiman penduduk
15
30
12,5
25 4. Pengetahuan mendetail tentang
tempat-tempat menarik untuk dikunjungi sekitar kawasan HLGL
a. Ya b. Beberapa saja c. Tidak
85 25 10
70,83 20,83 8,33
Masyarakat yang mengetahui dengan baik tempat-tempat yang bagus
untuk di kunjungi, biasanya penduduk yang dulunya mempunyai pekerjaan
sebagai perambah hutan, pemburuh atau penebang kayu. Oleh karena itu, mereka
dapat dengan mudah menunjukkan daerah mana saja di sekitar kawasan yang
memiliki keindahan atau keunikan, dan dijalur mana saja kita dapat bertemu atau
menemukan jejak-jejak satwa liar yang banyak terdapat di dalam kawasan.
Sedangkan responden yang tidak mengetahui tempat-tempat bagus untuk
dikunjungi, biasanya terdiri dari masyarakat yang mempunyai pekerjaan sehari-
hari disekitar pemukiman penduduk, seperti supir, tukang ojek, dan usaha dagang.
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu
peluang dalam pengembangan ekowisata di masa yang akan datang. Jenis usaha
yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitarnya antara lain menjadi pemandu
wisatawan yang akan berkunjung. Sedangkan partisipasi atau peran serta
masyarakat sekitar kawasan terhadap kegiatan ekowisata di kawasan HLGL,
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (70,83%) mengetahui secara jelas
lokasi yang menarik untuk dikunjungi.
5.1.4.4 Saran dan Harapan Responden
Sedangkan saran masyarakat desa yang berada di sekitar kawasan HLGL
mereka berharap dapat bersama-sama menjaga kelestarian HLGL dan dengan
68
adanya pengembangan ekowisata, masyarakat akan mendapatkan lapangan
pekerjaan sehingga tidak lagi tergantung dengan hasil hutan alam.
5.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan
Wilayah kawasan HLGL sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan
lindung, kawasan Hutan Gunung Lumut telah didiami oleh masyarakat adat
Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Secara
tradisional wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam
hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan satu
dusun berada dalam kawasan HLGL. Keseluruhan masyarakat tersebut sangat
tergantung pada keberadaan wilayah Hutan Gunung Lumut untuk
keberlangsungan hidupnya. Batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas
alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung seperti
sungai Pias, sungai Tiwei, sungai Muluy, Kesungai (Saragih 2004).
Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah
rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang
bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan (Wahyuni el al. 2004).
Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai
sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian,
perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan
protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian
juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga dan sebagai daerah tangkapan
air bagi sungai-sungai kecil dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan
Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal disekitar kawasan HLGL
memenuhi hampir semua kebutuhannya baik dari wilayah hutan lindung maupun
dari hutan disekitarnya (hutan adat) seperti kayu bakar, perumahan, pangan
(sayuran dan daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat.
Masyarakat yang berdiam didalam dan sekitar kawasan HLGL memiliki
ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal
dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani
dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan
69
kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang
berdiam di kawasan tersebut. Pada umumnya masyarakat desa yang berada di
dalam dan di sekitar kawasan HLGL bekerja dalam bidang pertanian dengan
pengrelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni et al. 2004).
Jenis mata pencaharian lain yang digeluti oleh masyarakat adalah
berdagang, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan serta bidang lainnya.
Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang
dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah penyangga kawasan HLGL.
Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah
dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada
saat gagal panen), menjadi tukang ojek dan buruh. Oleh karena itu dapat
diharapkan bahwa dalam pengembangan ekowisata ini dapat memberikan
keuntungan pada ekonomi setempat di segala tingkatan dan meningkatkan
kesempatan kerja bagi masyarakat setempat serta mambantu dalam
mempertahankan budaya dan tradisi masyarakat dalam kawasan HLGL dan
sekitarnya.
5.1.6 Kondisi dan Permasalahan Masyarakat Sekitar Kawasan
Umumnya desa yang berada di dalam kawasan HLGL dimana tatanan
kehidupan masyarakatnya masih relatif belum banyak terpengaruh oleh budaya
luar dimana beberapa tradisi yang telah mengakar secara turun temurun masih
dapat ditemukan di Desa Swanslutung Dusun Muluy. Dalam tradisi masyarakat
terdapat kearifan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan seperti kelembagaan dalam pengaturan pemanfaatan hutan
dan sungai, pengelolaan sawah, kebun dan ladang serta pengaturan ruang. Desa-
desa dikelilingi pegunungan dan dilewati aliran sungai dengan airnya yang jernih
menjadikan desa ini memiliki suasana yang nyaman dan pemandangan yang
indah. Hutan di sekeliling desa masih menyimpan berbagai tumbuhan dan satwa
yang memiliki peran sebagai sistem penyangga kehidupan dan menjadi sumber
plasma nutfah yang penting untuk berbagai pemanfaatan dan sumber ilmu
pengetahuan.
70
Upaya pengembangan HLGL sebagai salah satu obyek wisata tentu tidak
terlepas dari kondisi aktual yang ada serta permasalahan internal maupun esternal.
Berbagai penelitian dan kajian terhadap potensi kawasan HLGL telah dilakukan
oleh berbagai pihak termasuk survei yang dilakukan dalam penelitian ini.
Interpretasi yang diberikan terhadap kawasan HLGL adalah bahwa kawasan ini
memiliki keunikan dan berpotensi sebagai obyek wisata yang menjanjikan.
Meskipun demikian teridentifikasi pula permasalahan-permasalahan yang dapat
menjadi hambatan upaya pengelolaan kawasan HLGL menjadi suatu obyek wisata
yang tetap menjaga keasliannya. Sebab disadari bahwa untuk menjadikan
kawasan HLGL sebagai suatu obyek wisata yang tetap menghindari kerusakan
lingkungannya, maka berbagai hambatan harus ditekan serendah mungkin.
Hambatan yang merupakan kekurangan itu adalah, relatif rendahnya
kualitas sumberdaya manusia yang mendiami daerah di sekitar kawasan HLGL.
Dari data partisipasi sekolah masyarakat yang bermukim disekitar kawasan HLGL
diperoleh bahwa tahun 2007 sebanyak 83,51% anak usia SLTA yang tidak
sekolah, sedangkan anak usia SLTP sebanyak 18,01%. Kondisi pendidikan ini
menjadi penting untuk dikaji dan dikomentari oleh karena demi keberlanjutan
strategi pengembangan ekowisata HLGL dapat dijadikan sebagai kawasan obyek
wisata, perlu disosialisasikan kepada semua elemen masyarakat, terutama
masyarakat sekitar kawasan HLGL berkaitan dengan promosi, pelaksanaan dan
partisipasi pengawasan penggunaan kawasan HLGL sebagai obyek wisata.
Dalam mana mekanisme ini lebih dominan menggunakan sarana komunikasi
tertulis. Lebih dari itu, masyarakat setempat siap berhubungan dengan
masyarakat pengunjung dari berbagai latar belakang dan budaya yang
mendatangi daerah tersebut.
Kemudian tradisi berladang mayoritas masyarakat yang mendiami daerah
sekitar kawasan HLGL, merupakan masyarakat petani ladang. Profesi sebagai
petani ladang yang dijalani secara turun temurun, serta tingginya jumlah anak usia
SLTA yang tidak sekolah, menjadi ancaman lain untuk perambahan hutan sebagai
lahan berladang. Hal ini dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang
mengancam keberlangsungan kelestarian hutan kawasan HLGL. Ketika potensi
kawasan HLGL telah dikemas sebagai salah satu tujuan wisata dan memiliki daya
71
tarik serta mendatangkan banyak pengunjung, maka berbagai tuntutan kebutuhan
alam setempat patut disediakan. Misalnya makanan alamiah dari hasil ladang
yang dianggap relatif bebas dari cemaran kimia. Tuntutan ini tentu memancing
perluasan ladang untuk menyediakan sumber bahan makanan yang lebih banyak
guna memenuhi kebutuhan pengunjung. Perluasan Ladang, juga menjadi faktor
yang rawan terjadinya kebakaran hutan.
Minimnya sarana transportasi dalam pengembangan suatu kawasan hutan
lindung sebagai areal wisata, membutuhkan sarana transportasi yang patut
memadai. Sarana transportasi diperlukan untuk tiga tujuan utama, yakni
mobilisasi pengunjung, mobilisasi aktivitas perekonomian masyarakat setempat
dan kepentingan pengawasan yang menjangkau seluruh kawasan. Kondisi sarana
transportasi pada daerah-daerah di sekitar kawasan HLGL masih sangat minim.
Jalan raya yang menghubungi desa-desa berupa jalan pengerasan, tanah berbatu
dan jalan setapak. Kendaraan angkutan umum, masih menggunakan jasa
pengendara sepeda motor (ojek) dengan tarif yang mahal dan tidak menentu.
Sebagian besar penduduk juga melakukan perjalanan dengan memilih berjalan
kaki. Untuk penyeberangan sungai tersedia sarana berupa kapal (long
boat/johnson) berpenumpang kapasitas rendah.
5.2 Potensi Permintaan Wisata
5.2.1 Permintaan Wisata di Kawasan HLGL
Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) belum dikenalkan dan
dipasarkan secara khusus sebagai objek wisata di Kabupaten Paser. Oleh
karenanya, jumlah pengunjung masih terbatas, yaitu masyarakat lokal dan para
peneliti dengan tujuan wisata alam sederhana, pendidikan dan penelitian.
Pengambilan data pengunjung untuk mengetahui pasar potensial bagi berbagai
potensi wisata dalam HLGL. Dilakukan di 5 kawasan wisata dengan 100 jumlah
responden (Tabel 12).
72
Tabel 12 Kawasan wisata sejenis HLGL Obyek Wisata Lokasi Σ Pengunjung
Hutan Lindung Sungai Wain Wisata Alam Bukit Bangkirai Tahura Lati Petangis Air Terjun Doyam Turu Desa Budaya Pampang
Balikpapan Kabupaten Kutai Kertanegara Kabupaten Paser Kabupaten Paser Samarinda
35 50 15 0 0
Total = 100
Pengunjung potensial kawasan HLGL juga dapat dilihat dari kepadatan
penduduk pada kabupaten-kabupaten di sekitar Kabupaten Paser dengan membagi
luas wilayahnya dengan jumlah penduduk. Semakin besar kepadatan penduduk,
maka semakin banyak jumlah pengunjung potensial yang mengunjungi HLGL.
Asumsinya bahwa jarak tempuh masing-masing kabupaten dengan kawasan
wisata relatif dekat. Pengunjung potensial memiliki karakteristik tertentu dan
merupakan gambaran permintaan wisata. Karakteristik pengunjung ini
menggambarkan karakteristik pasar wisata beserta produk wisata yang diinginkan.
Karakteristik pasar wisata ini dapat digunakan untuk menentukan produk wisata
yang akan ditawarkan serta bagaimana penawaran produk wisata dan manajemen
pemasarannya yang tepat. Potensi permintaan wisata ini berdasarkan penelitian
sebelumnya (Puspitasari 2008).
5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata
Strategi pengembangan ekowisata HLGL, sebagai status kawasan hutan
lindung, dilakukan dengan didahului kegiatan pengumpulan sejumlah data atau
informasi dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghts,
Weaknesses, Opportunities, dan Threats).
5.3.1 Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan suatu analisis kualitatif yang digunakan untuk
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan
strategi suatu kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan dan peluang suatu kegiatan, yang secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2006).
73
Dampak kegiatan ekowisata terhadap masyarakat lokal dan kawasan
HLGL dapat dianalisa dengan analisis SWOT, dapat digolongkan kedalam faktor
eksternal (peluang dan ancaman) atau dapat dikatakan dampak secara langsung.
Sedangkan dampak secara tidak langsung digolongkan kedalam faktor internal
(kekuatan dan kelemahan). Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif
yang berasal dari peluang dan kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari
ancaman dan kelemahan. Dengan menggunakan matrik internal dan esternal,
maka dapat diberikan bobot dan rating pada parameter yang telah ditentukan,
sehingga akan diperoleh nilai (skor). Nilai ini yang akan memberikan arahan
tentang prospek kedepan untuk pengembangan ekowisata guna memperoleh
konsep strategi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL.
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) manajemen unit analisisnya
adalah Hutan Lindung oleh Dinas Kehutanan. Gunung Lumut sebagai salah satu
kawasan hutan lindung di Indonesia mempunyai fungsi pokok seperti yang
tercantum pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 6
ayat 2 menyebutkan bahwa hutan di Indonesia berdasarkan fungsi pokoknya
dimana hutan lindung adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan,
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan memelihara
kesuburan tanah.
Selanjutnya, Pasal 26 Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut menyatakan
bahwa, yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan lindung dapat berupa
pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Salah satu
bentuk pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung adalah
pemanfaatan untuk wisata alam terutama minat khusus (ekowisata) yang harus
dilakukan secara bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan
pelestarian lingkungan.
Saat ini HLGL sementara diusulkan oleh Dinas Kehutanan untuk
perubahan status menjadi taman nasional. Namun sampai saat dilakukan
penelitian masih tetap dengan status hutan lindung yang tetap berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 24 Kpts/UM/I/1983. Kebijakan pemerintah
Kabupaten Paser untuk merubah HLGL menjadi Taman Nasional diharapkan akan
74
memberi dukungan yang signifikan dalam memanfaatkan potensi wisata di
kawasan HLGL.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan lembaga
pemerintah daerah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang
direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kabupaten
Paser. Bappeda merencanakan pembangunan wilayah Kabupaten Paser dalam
skala makro di semua bidang kerja Kabupaten Paser termasuk bidang kehutanan.
Hasil yang didapat oleh Bappeda dituangkan dalam bentuk program perencanaan
daerah (Propeda) dan juga dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten. Melalui Propeda dan RTRW, Bappeda menuangkan apa yang
menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah kabupaten dengan
tujuan untuk menciptakan kesinergian dan agar tidak terjadi tumpang tindih
kepentingan masing-masing instansi.
Wewenang Bappeda berdasarkan Tupoksi (tugas pokok dan fungsi)
Bappeda No. 14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda Kabupaten Paser adalah
sebagai lembaga koordinatif dengan perencanaan daerah pada seluruh sektor
(Nooryashini et. Al., 2004).
Sebagai unit pelaksana teknis Departemen Kehutanan Kabupaten Paser
Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai tugas pokok untuk mengelola
kawasan hutan lindung. Struktur organisasi pengelolaan HLGL sampai saat ini
masih berada di bawah Dinas Kehutanan yang berkedudukan di Kabupaten Paser
dan secara langsung ditangani oleh Sub Dinas Perlindungan Hutan dan
Pengendalian Kebakaran Hutan yang memiliki tugas membantu Kepala Dinas
dalam melaksanakan sebagian tugas bidang perlindungan dan pengendalian
kebakaran hutan sesuai dengan kebijaksanaan teknis yang telah ditetapkan.
Dengan demikian pelaksanaan yang menjaga dalam mengelola HLGL untuk jaga
wananya hanya dua orang.
Sementara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mempunyai tugas membuat
program mempromosikan dan mengelola potensi ekowisata di kawasan HLGL
serta budaya masyarakat lokal di sekitar HLGL. Dinas ini secara teknis juga
mengkordinasikan pengelolaannya dengan berbagai stakeholder untuk
mendukung program pengembangan ekowisata.
75
Selanjutnya stakeholder seperti litbang, perguruan tinggi dan LSM seperti
TBI-Indonesia dan Cifor mendukung pengembangan program dalam aspek
penelitian dan pengembangan serta pendanaan dan manajemen pengelolaan.
Dengan demikian, program pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dapat
lebih tepat sasaran terutama bagi wisatawan manca negara.
Personil yang ikut dilibatkan dalam jalinan kemitraan tersebut yang terkait
dengan HLGL dalam menggali potensi sumberdaya hutan (SDH) di dalam HLGL
untuk pengembangan sumberdaya masyarakat (SDM). Dinas kebudayaan dan
pariwisata memberikan informasi kepada khalayak. Bappeda dalam hal
perencanaan program untuk mendukung ekowisata. Lembaga penelitian dan
pengembangan (Litbang), Unmul, CIFOR dan TBI (Tropenbos International
Indonesia), merupakan stakeholder yang dijadikan mitra kelembagaan untuk
mendukung pengembangan ekowisata baik dalam hal penelitian, pengembangan,
sosialisasi maupun dukungan pendaanaan dan manajemen.
Berdasarkan uraian sebelumnya, faktor supply, demand, dan faktor
penunjang maka faktor-faktor tersebut dapat di identifikasi dari faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) dalam
pengelolaan dan pengembangan ekowisata HLGL maka:
a. Kekuatan (Strengths)
1. Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika karena Hutan Lindung
Gunung Lumut mempunyai keanekaragaman hayati berupa lumut yang
tidak dimiliki di tempat lain dan mempunyai keindahan yang sangat luar
biasa.
2. Terjalinnya kerjasama dengan mitra seperti lembaga penelitian dan
pengembangan (Litbang), Unmul, CIFOR dan TBI (Tropenbos
International Indonesia), merupakan stakeholder yang dijadikan mitra
kelembagaan untuk mendukung pengembangan ekowisata baik dalam hal
penelitian, pengembangan, sosialisasi maupun dukungan pendanaan dan
manajemen.
3. Kebijakan Pemda terhadap konservasi didukung oleh peraturan perundang-
undangan di tingkat nasional seperti undang-undang nomor 5 tahun 1990
tentang konservasi alam hayati dan ekosistemnya; Undang-undang nomor
76
41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kemudian dijabarkan di dalam kebijakan
pemerintah daerah yang dijabarkan oleh instansi terkait.
b. Kelemahan (Weaknesses)
1. Jumlah dan kualitas SDM Belum memadai karena keterampilan masyarakat
sekitarnya masih kurang sehingga pengendalian potensi belum
dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
2. Terbatasnya sumber dana karena alokasi baik dari pusat maupun di daerah
belum ada karena masih dalam tahap perencanaan.
3. Sarana dan prasarana kurang memadai berupa ketersediaan fasilitas dan
pelayanan yang belum ada/masih sangat minim (toilet, tempat sampah,
papan penunjuk arah, tempat informasih, tempat parkir, hotel dan restoran).
4. Data dan informasi potensi belum bisa diakses, dimana masih sulit untuk
memperoleh informasi secara detail mengenai potensi yang dimiliki HLGL
untuk promosi wisata.
c. Peluang (Opportunities)
1. Adanya dukungan masyarakat berupa pemahaman, persepsi dan keinginan
untuk berpartisipasi terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan
HLGL serta dukungan stakeholders lainnya seperti Litbang, LSM,
Perguruan Tinggi, dan lembaga donor.
2. Peluang peningkatan PAD yang berasal dari pajak dan retribusi yang
bersumber dari kegiatan ekowisata bagi pemerintah setempat.
3. Minat masyarakat sudah mulai ada.
4. Program Disbudpar Kabupaten Paser memperkenalkan budaya masyarakat
lokal.
5. Kesediaan mitra untuk membantu dalam pemasaran melalui pameran,
forum seminar dan melalui biro perjalanan wisata baik tingkat lokal,
nasional dan internasional.
d. Ancaman (Threats)
1. Degradasi hutan yang menyebabkan kualitas dan daya tarik obyek wisata
berkurang yang diakibatkan berbagai kegiatan manusia yang sifatnya
negatif terhadap alam sekitarnya.
77
2. Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat, sehingga
sumberdaya hutan menjadi tempat eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka.
3. Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih sangat rendah tetapi
dengan tidak mengurangi dukungan mereka terhadap pengembangan
ekowisata tersebut.
4. Aksesibilitas jalan menuju ke dalam lokasi kawasan HLGL masih sulit,
karena ketersediaan sarana transportasi kurang serta kondisi jalan yang
sebagian kurang baik.
5.3.2 Matriks Internal-Eksternal
Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi pengembangan
ekowisata dengan melihat kombinasi faktor internal dan faktor eksternal. Kedua
faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari kekuatan dan
peluang, sedangkan dampak negatif berasal dari ancaman dan kelemahan.
Masing-masing faktor dinilai berdasarkan tingkat kepentingan (bobot) dan
nilainya seperti dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Faktor Internal
Faktor Internal Bobot Rating Skor 1. Kekuatan
Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika 0.20 4 0.80 Terjalinnya kerjasama yang intensif dengan
mitra 0.15 3 0.45 Kebijakan Pemda terhadap Konservasi 0.12 3 0.36
Jumlah 0.47 1.61 2. Kelemahan
Jumlah dan Kualitas SDM belum memadai 0.15 -4 -0.60 Terbatasnya sumber dana 0.12 -4 -0.48 Sarana dan prasarana kurang memadai 0.12 -3 -0.36 Data dan informasi potensi belum bisa di
akses 0.14 -4 -0.56 Jumlah 0.53 -2.00
Total Rata-rata 1.00 -0.39
Pada Tabel 13, terlihat bahwa faktor startegis internal yang merupakan
kekuatan memiliki skor 1,61. Jika diamati dari berbagai faktor yang terdapat di
dalamnya berupa tingginya nilai potensi ekologis dan estetika berupa lumut yang
khas dan unik yang dimiliki oleh Hutan Lindung Gunung Lumut dengan memiliki
skor tertinggi (0,80); terjalinnya kerjasama dengan mitra yaitu Litbang dalam
78
bentuk pengembangan gaharu dan ulin, Cifor dalam bentuk penelitian tentang
pengayaan jenis rotan metodenya dengan menggunakan manajemen kolaboratif,
Unmul dalam bentuk penelitian dan TBI dalam bentuk penelitian biodiversity
Assesment memiliki skor (0,45); Kebijakan Pemda terhadap konservasi didukung
oleh peraturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah Kabupaten Paser memiliki
skor (0,36). Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika akan dapat
mengembangan ekowisata pada kawasan HLGL saat ini dan dimasa mendatang,
maka wisata yang dijadikan modal untuk dapat dikembangkan di kawasan
tersebut adalah minat khusus ekowisata.
Sedangkan faktor strategi internal yang merupakan kelemahan memiliki
skor (-2,00) yang di dalamnya berupa Jumlah dan kualitas SDM belum memadai
karena kurangnya ketrampilan masyarakat setempat dengan memiliki skor (-0,60);
terbatasnya sumber dana dari daerah untuk pengembangan ekowisata untuk
Gunung Lumut belum ada memiliki skor (-0,48) sarana dan prasarana kurang
memadai karena kurangnya ketersediaan fasilitas dan pelayanan di kawasan
HLGL tersebut memiliki skor (-0,36), dengan nilai tertinggi yaitu data dan
informasi potensi belum bisa di akses dikarenakan sulit untuk memperoleh hasil
yang telah ditemukan di dalam kawasan HLGL memiliki skor (-0,56).
Tabel 14 Faktor Eksternal
Faktor Eksternal Bobot Rating Skor 1. Peluang
Dukungan stakeholder 0.20 4 0.80 Peluang peningkatan PAD 0.15 4 0.60 Minat masyarakat sudah mulai ada 0.10 3 0.30 Program Disbudpar Kabupaten Paser
"memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009" 0.08 3 0.24
Kesediaan mitra untuk membantu pemasaran ekowisata HLGL dalam forum seminar baik tingkat lokal, nasional, internasional 0.07 3 0.21
Jumlah 0.60 2.15 2. Ancaman
Degradasi kualitas obyek daya tarik wisata serta sumber daya pendukungnya 0.15 -3 -0.45
Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat 0.08 -2 -0.16
Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih rendah 0.10 -3 -0.30
Aksesibilitas kurang 0.07 -3 -0.21 Jumlah 0.40 -1.12
Total Rata-rata 1.00 1.03
79
Pada Tabel 14, faktor strategis eksternal yang merupakan peluang HLGL
dalam pengembangan ekowisata memiliki skor (2,15). Peluang yang bisa
diandalkan yaitu dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata berupa
pemahaman, persepsi, dan keinginan untuk berpartisipasi dan keterkaitan
stakeholder seperti Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Donor,
dengan skor tertinggi (0,80); yang membuka peluang peningkatan PAD memiliki
skor (0,60); Minat masyarakat sudah mulai ada, memiliki skor (0,30); Program
Disbudpar "memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009" yang masih kurang
tergali memiliki skor (0,24); sedangkan kesediaan mitra untuk membantu dalam
pemasaran ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut melalui forum seminar baik
tingkat lokal, nasional, internasional memiliki skor (0,21).
Sedangkan faktor strategi eksternal yang berupa ancaman memiliki skor
(-1,12); skor tertinggi degradasi hutan yang menyebabkan kualitas dan daya tarik
wisata serta sumber daya pendukungnya yaitu memiliki skor (-0,45); krisis
ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat memiliki skor (-0,16);
Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih sangat rendah tetapi dengan
tidak mengurangi dukungan mereka terhadap pengembangan ekowisata memiliki
skor (-0,30); Aksesibilitas jalan menuju kedalam lokasi kawasan HLGL masih
sulit, karena ketersediaan sarana transportasi kurang serta kondisi jalan yang
sebagian kurang baik memiliki skor (0,21). Hal ini sangat mengancam upaya
pengembangan karena obyek-obyek wisata yang dimiliki HLGL merupakan
modal untuk pengembangan ekowisata.
5.3.3 Posisi Strategi pada Matriks Grand Strategi
Strategi dapat diperoleh dengan menggunakan Matriks Grand Strategy.
Nilai (skor) yang diperoleh dari matriks internal-eksternal digunakan untuk
menentukan strategi HLGL dalam pengembangan ekowisata.
Dalam analisis SWOT, teknik menentukan strategi adalah melalui strategi
silang dari data keempat faktor tersebut yaitu seperti tercantum pada Tabel 15.
80
Tabel 15 Formulasi strategi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL
Internal Eksternal
Kekuatan (Strengths = S) 1. Tingginya nilai
potensi ekologis dan estetika
2. Terjalinnya kerjasama yang intensif dengan mitra
3. Kebijakan Pemda terhadap konservasi
Kelemahan (Weaknesses = W) 1. Jumlah dan Kualitas SDM
belum memadai 2. Terbatasnya sumber dana 3. Sarana dan prasarana kurang
memadai 4. Data dan informasi potensi
belum bisa diakses
Peluang (Opportunities = O) 1. Dukungan Stakeholder 2. Peluang peningkatan PAD 3. Minat masyarakat sudah mulai
ada 4. Program Disbudpar Kabupaten
Paser ”memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009”
5. Kesediaan mitra untuk membantu pemasaran ekowisata HLGL dalam forum seminar baik tingkat lokal, nasional, dan internasional
Strategi S-O
Strategi W-O 1. Membangun kapasitas
pengelolaan HLGL 2. Menjalin kerjasama dengan
mitra
Ancaman (Threats = T) 1. Degradasi kualitas obyek daya
tarik wisata serta sumber daya pendukungnya
2. Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat
3. Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih rendah
4. Aksesibilitas kurang
Strategi S-T
Strategi W-T
Strategi pengembangan ekowisata yang dimaksud dalam analisis SWOT
adalah memanfaatkan peluang (opportunities) dari kegiatan pengembangan
ekowisata terhadap masyarakat lokal, namun secara bersamaan juga dapat
meminimalkan kelemahan (weaknesses) yang terdapat di dalamnya.
Nilai penjumlahan faktor internal menunjukkan antara kekuatan (1,61) dan
kelemahan (-2,00) yaitu dengan memiliki total rata-rata -0,39 (negatif), berarti
faktor kelemahan lebih dominan dibandingkan faktor kekuatan yang dimiliki.
Sedangkan nilai penjumlahan faktor eksternal antara peluang (2,15) dan ancaman
(-1,12) dengan memiliki total rata-rata 1,03 (positif). Nilai ini berarti antara
peluang dan ancaman, faktor yang paling dominan adalah peluang.
81
Jadi posisi ordinat berada pada (-0,39 ; 1,03), sehingga posisi strategi
berada pada sel 3. Artinya meskipun memiliki kelemahan pada faktor internal
namun masih mempunyai peluang untuk lebih maju dalam pengembangan dimasa
yang akan datang (Gambar 20).
Sel 3 1,03 Sel 1
- 0,39
Sel 4 Sel 2
Gambar 20 Posisi strategi untuk pengembangan ekowisata di HLGL berada pada
sel 3 dalam Matriks Grand Strategy.
Dalam matriks grand strategy Gambar 20 menunjukkan bahwa posisi
strategi Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) dalam pengembangan ekowisata
berada pada sel 3 (turn around). Strategi turn around adalah mendukung strategi
dengan orientasi putar haluan. Bentuk strategi yang diajukan untuk mengurangi
kelemahan dan memperbanyak peluang adalah membangun kapasitas institusi
agar kelembagaan pengelolaan HLGL menjadi terbentuk. Selanjutnya menjalin
kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam aspek penelitian dan pengembangan
serta memberikan dukungan pendanaan dan manajemen sehingga dapat
meningkatkan pelayanan pengunjung untuk menjadikan wisata minat khusus
ekowisata di kawasan HLGL dengan tetap menjaga keasliannya. Bentuk strategi
yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang untuk
menjadikan kawasan HLGL sebagai kawasan ekowisata adalah kesempatan dan
Berbagai Peluang
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
Berbagai Ancaman
82
peluang otonomi daerah dan berbagai sarana pendukung (media promosi) serta
dukungan masyarakat untuk mempublikasikan dan menyusun tata kelola
organisasi pengelolaan didalam kawasan HLGL sebagai suatu obyek ekowisata.
5.3.4 Rekomendasi Grand Strategy Pengembangan Ekowisata pada Kawasan HLGL
Dari hasil analisis berdasarkan Matriks Grand Strategy yang diperoleh,
maka dapat dibuat suatu rekomendasi Grand Strategy untuk pengembangan
potensi HLGL sebagai obyek ekowisata. Rekomendasi tersebut berisi tujuan,
misi, serta sasaran.
a. Tujuan
Terkelolanya potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat sekitar di
kawasan HLGL guna mewujudkan pengembangan ekowisata saat ini dan di masa
mendatang sehingga dapat memberikan manfaat baik yang menguntungkan dari
segi ekonomi dan berkelanjutan dari segi ekologis, dengan jalinan kerjasama
berbagai pihak (Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan Tinggi,
Lembaga Donor, Swasta dan masyarakat sekitarnya serta pihak terkait lainnya).
b. Misi
1. Memberikan pemahaman kepada stakeholder tentang konsep pengembangan
ekowisata sehingga dapat diterapkan untuk mengelola obyek ekowisata yang
ada di Kabupaten Paser khususnya dan Propinsi Kalimantan Timur pada
umumnya, dengan mempertimbangkan upaya perlindungan sumberdaya
alam, pengembangan dan peningkatan ekonomi serta pemberdayaan
masyarakat sekitarnya secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
2. Sebagai bahan acuan untuk memberikan gambaran dan pedoman kepada
stakeholder (Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan
Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan Masyarakat serta pihak terkait lainnya)
dalam rencana pengembangan ekowisata di kawasan HLGL.
c. Sasaran
1. Melakukan usaha pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL yang
berbasis pada kemitraan antara Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang,
LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan Masyarakat serta
83
pihak terkait lainnya sehingga tercipta pengelolaan obyek wisata yang
optimal serta memberikan pelayanan yang profesional kepada wisatawan.
2. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang profesional mengenai
konsep ekowisata terutama kepada masyarakat sekitarnya melalui
pelatihan dan bimbingan.
3. Mendorong pengembangan infrastruktur dan penyediaan fasilitas serta
peningkatan pelayanan sebagai kebutuhan dasar bagi wisatawan.
4. Melakukan promosi mengenai kegiatan ekowisata di kawasan HLGL pada
tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, guna mendorong tingkat
kunjungan wisatawan dan investor kekawasan HLGL.
5. Meningkatkan peran serta kelompok yang terlibat didalam kegiatan
ekowisata dan ikut bertanggungjawab apabila terjadi perubahan-perubahan
ekologi, serta mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
menanganinya.
5.3.5 Rekomendasi Strategi Pengembangan Ekowisata pada Kawasan HLGL
Berdasarkan hasil Analisis SWOT yang dibuat pada Tabel 13 Maka
diajukan suatu rekomendasi program pengembangan ekowisata di kawasan HLGL
adalah sebagai berikut:
A. Kapasitas pengelolaan HLGL berupa:
1. Penataan kelembagaan dan organisasi.
2. Pengembangan sarana dan prasarana, meliputi ketersediaan fasilitas dan
pelayanan, perbaikan aksesibilitas menuju lokasi dan lainnya yang terkait
dengan pengembangan ekowisata dimasa mendatang.
3. Pengembangan penelitian, diutamakan dengan menjalin kerjasama dengan
Pendidikan Tinggi dan institusi/organisasi yang bergerak di bidang ilmu
pengetahuan, sehingga data-data mengenai potensi yang dimiliki HLGL
lebih banyak dan akurat.
4. Peningkatan sumberdaya manusia (SDM) dengan memberikan
pembinaan/pelatihan kepada pihak pengelola dan masyarakat sekitarnya.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan tambahan ilmu pengetahuan
mengenai potensi obyek wisata, pelayanan wisatawan, perawatan terhadap
84
fasilitas dan infrastruktur yang ada agar kegiatan wisata di kawasan HLGL
di masa mendatang dapat berjalan secara optimal dan berkelanjutan.
5. Perencanaan paket ekowisata berupa:
1. Wisata pengamatan satwa liar, merupakan jenis wisata utama yang
dapat dikembangkan karena dikawasan HLGL terdapat beberapa jenis
satwa langka dan endemik seperti Beruang madu, Owa Kelawot.
2. Wisata Panorama Alam, merupakan kegiatan mengamati dan
menikmati indahnya panorama alam yang terdapat disepanjang
perjalanan menuju dan di dalam kawasan HLGL. Beberapa jenis
berupa pemandangan hamparan sawah dan perkampungan penduduk,
hamparan pegunungan dan lainnya.
3. Wisata sungai merupakan wisata perjalanan melalui sungai yang
merupakan salah satu alat untuk menuju kekawasan. Kegiatan yang
dapat dilakukan adalah mengamati dan menikmati banyak hal yang
dijumpai sepanjang perjalanan, baik keindahan alam beserta kehadiran
berbagai jenis burung dan satwa lainnya yang berada disekitar sungai
dengan segala kebiasaannya.
4. Wisata air terjun memiliki suasana yang alami dengan bentang alam
yang unik untuk dilihat dan dinikmati.
5. Goa memiliki kekhasan di dalam masih banyak lagi peninggalan
sejarah seperti tenggorak dan tulang belulang, dengan dihiasi oleh
stalagtit dan stalagmit goa yang begitu indah.
6. Wisata pedesaan merupakan wisata perkampungan di sekitar kawasan
dengan, mengamati, mempelajari, menikmati keidupan tradisional
masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya yang sulit dijumpai
di perkotaan.
B. Kerjasama dengan mitra seperti:
1. Mempromosikan keanekaragama flora dan fauna beserta keunikannya
2. Perlu program pengembangan wilayah antar dinas terkait (Dinas
Pariwisata dan Budaya, Dinas PU, Dinas Perhubungan)
3. Perlunya kegiatan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat lokal
untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan dan cendramata yang
85
diperlukan dalam mendukung kegitan ekowisata. Pendidikan dan
pelatihan diperlukan pula untuk mengarahkan masyarakat lokal
mengurangi ketergantungan hidup melalui hasil-hasil hutan, tetapi
memiliki alternatif hidup yang lain. (Dinas Pendidikan, Dinas
Perindustrian dan Dinas Sosial)
4. Pelestarian potensi seni budaya lokal (Dinas Pariwisata, Dinas Sosial,
Dinas Pendidikan)
5. Membuka pintu bagi masuknya investor yang berinvestasi di bidang
ekowisata.
Untuk mendukung rekomendasi pengembangan ekowisata di kawasan
HLGL, maka dalam pengembangan ekowisata di kawasan HLGL, strategi penting
yang memungkinkan dapat dilaksanakannya pembangunan ekowisata disini
adalah melalui kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk
melaksanakan program ini serta dikembangkannya fasilitas dan program-pragram
pendampingan masyarakat. Adapun dalam hal tatanan operasional untuk
mencapai arah pengembangan ekowisata di kawasan HLGL diperlukan strategi
pengembangan terhadap faktor-faktor yang diperlukan dalam pengembangan
ekowisata, yaitu:
a. Peningkatan pertanian dalam arti luas sebagai salah satu daya tarik ekowisata.
Hal ini baik dilakukan revitalisasi pertanian dan perkebunan yang telah ada
maupun dengan pengembangan model usaha pertanian baru yang dapat
meningkatkan ekonomi rakyat. Adapun tujuan yang ingin di capai dari
strategi ini adalah terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
b. Pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu melalui pengembangan
dan melestarikan pemanfaatan berbagai pengetahuan dan tradisi masyarakat
dalam mengelola sumberdaya alam. Pemetaan dan pengaturan ruang kelolah
masyarakat ke dalam kawasan hutan menjadi bagian penting dalam strategi
ini. Tujuan yang ingin dicapai dari strategi ini adalah terjaminnya kelestarian
obyek dan daya tarik wisata dan terpeliharanya fungsi hutan sebagai fungsi
penyangga kehidupan.
c. Pelestarian sistem sosial dan budaya sebagai suatu lembaga pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang telah diakui dan dihormati oleh
86
masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah terbagunnya kelembagaan
pengelolaan ekowisata yang diakui oleh masyarakat dan dapat menyerap
aspirasi masyarakat serta sebagai alat kontrol terhadap budaya global yang
masuk.
d. Penyiapkan masyarakat untuk menerima kunjungan, pembentukan lingkungan
tempat tinggal yang sehat dan nyaman, sikap masyarakat terhadap pendatang,
dan komunikasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah terbentuknya lingkungan
wisata yang dapat memberikan kepuasan bagi pengunjung.
e. Strategi pengembangan aksesibilitas meliputi:
1. Mengusahakan terwujudnya akses jalur wisata di kawasan HLGL dengan
daerah lainnya, terutama dengan wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
2. Meningkatkan akses antara daerah-daerah yang berada di sekitar kawasan
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).
3. Menata sistem petunjuk jalan/rambu lalu lintas yang mempermudah para
pengunjung untuk mencapai obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di
kawasan HLGL.
f. Strategi pengembangan sarana-prasarana untuk menunjang kegiatan minat
khusus ekowisata meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan prasarana wisata: jalan, jembatan, telepon
disesuaikan dengan arah pengembangan obyek dan daya tarik wisata.
2. Pemenuhan kebutuhan prasarana ekowisata secara bertahap diusahakan
pada obyek-obyek dan daya tarik wisata unggulan.
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Dalam pengembangan ekowisata di kawasan HLGL mempunyai :
Kekuatan, yaitu tingginya nilai potensi ekologis dan estetika; terjalinnya
kerjasama dengan mitra; dan kebijakan Pemda baik pusat maupun daerah.
Kelemahan, yaitu jumlah dan kualitas SDM belum memadai; terbatasnya
sumber dana; sarana dan prasarana kurang memadai; serta data dan
informasi potensi belum bisa diakses.
Peluang, yaitu adanya dukungan masyarakat; persepsi dan keinginan untuk
berpartisipasi terhadap pengembangan ekowisata; dukungan stakeholders;
peluang peningkatan PAD; tingginya minat masyarakat berwisata;
program Disbudpar; dan kesediaan mitra untuk membantu dalam
pemasaran.
Ancaman, yaitu degradasi hutan; krisis ekonomi yang mempengaruhi
pendapatan masyarakat; pemahaman masyarakat terhadap ekowisata
masih sangat rendah; dan aksesibilitas lokasi kawasan HLGL masih sulit.
2. Strategi pengembangan ekowisata di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
(HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur adalah membuat
organisasi yang lebih baik, pengembangan sarana dan prasarana termasuk
peningkatan fasilitas dan pelayanan serta pengembangan infrastruktur yang
lebih baik, sehingga dapat menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna
menghasilkan berbagai kebijakan yang dapat menunjang pengembangan
ekowisata di kawasan HLGL dan menciptakan kesempatan kerja dan berusaha
bagi masyarakat sekaligus memperkenalkan budaya masyarakat sekitarnya.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas disarankan agar pemerintah Kabupaten
Paser:
1. Membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata
yang terintegrasi dalam tataruang wilayah kabupaten, provinsi dan nasional.
88
2. Dinas Pariwisata sebagai instansi teknis agar dalam pengembangan ekowisata
berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Bappeda Kabupaten Paser dalam
merencanakan dan memfasilitasi pendampingan bagi masyarakat lokal, agar
masyarakat dapat mengetahui potensi lain dari kawasan HLGL, sehingga
proaktif dalam proses pengembangan kawasan ekowisata yang bernilai guna.
DAFTAR PUSTAKA
Aipassa, M. 2004. Nilai ekologi dan hidrologi kawasan hutan lindung gunung lumut dan permasalahan serta ancaman. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.
Avenzora R. 2004. Ekoturisme: Pengembangan Wilayah Daerah Penyangga
Kawasan Dilindungi. Media Konservasi Vol.3, No.6: 31-35. BPPS Pemda Kabupaten Paser, 2007, Kabupaten Paser dalam Angka 2007, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Paser 2007. Cooper C., J. Fletcher., D. Gilbert and Wanhill. 1993. Tourism, Principles and
Practice. Essex: Longman Group Limited. Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur, 1986 Laporan Pembuatan
Tata Batas Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Daerah Tingkat II Pasir, Propinsi Daerah Tingkat 1 Kalimantan Timur, Balikpapan.
[Depbudpar-RI] Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
2002. Blue Print Pariwisata. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, 2002, Laporan Infentarisasi Fauna
disebagian kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur, Balikpapan.
Dinas Pariwisata Kabupaten Paser, 2008, Pesona Eksotika Pariwisata Kabupaten
Paser, (Brosur 2008). [Disbudparnas] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nasional. 2007. Pariwisata
Indonesia. http://www.disbudparnas.go.id [10 Juni 2007]. Fandeli C, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Fennel,D.A. 1999. Ecotourism An Introduction London : Routledge. 315p. Hafild E. 1995. Dimensi Konservasi, Penduduk dan Kerakyatan dalam
Ekowisata. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. Hidayati. D. Mujiyani. L. Rachmawati. A Zaelani. 2002. Ekowisata:
Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hidayati. D. Mujiyani. L. Rachmawati. A Zaelani. 2003. Ekowisata:
Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
90
Inskeep, E. 1991. Tourism planning : an integrated and sustainable development approach. New York: van Nostrand Reinhold.
Irma Nurhayati, 2006. Studi pengetahuan tradisional masyarakat di sekitar
kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur; Kajian Pemanfaatan Tumbuhan, Departemen Konservasi Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Kesuma, F. 2000. Potensi pengembangan ekowisata di wilayah pesisir pulau
Talise Sulawesi Utara. Tesis Magister. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusler JA. 1991. Ecoturism and Resources Conservation : A Collection of
Papers. Volume ke-1. Ecoturism and Resources Conservation Project. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan
yang Dilindungi di Daerah Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nazir M. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Yakarta. Ngadiono. 2004. 35 (Tiga Puluh Lima) Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia
”Refleksi dan Prospek”. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. Nooryashini, S.J.; E. Wetik dan I. Suryadi. 2004. Identifikasi dan Kajian Awal
Mengenai stakeholder di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan Sekitarnya Kabupaten Paser Kalimantan Timur. TBI Indonesia. Balikpapan.
Nurbandiah. 2008. Inventarisasi potensi wisata di Hutan Lindung Gunung Lumut
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, (Skripsi). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pribadi SI, Elisabeth W., Tunggal B., editor. 2005. Potret Hutan Lindung
Gunung Lumut. Di dalam Bersama Melestarikan Hutan Lindung Gunung Lumut. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut; Tanah Grogot, 1-2 Desember 2004. Balikpapan: Tropenbos International Indonesia. hlm 8-10.
Puspitasari, A. 2008. Analisis pasar wisata potensial Hutan Lindung Gunung
Lumut, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, (Skripsi). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Tehnik Membeda Kasus Bisnis. PT.
Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.
91
Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Tehnik Membeda Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.
Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Tehnik Membeda Kasus Bisnis. PT.
Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. Sabara, EJ. 2006. Pemetaan konflik pengelolaan sumber daya hutan di Hutan
Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur, (Skripsi). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Saragih, B. 2004. Nilai ekonomi Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut bagi
Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Paser. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.
Sarjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan Masyarakat Lokal, Politik
dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Yogyakarta. Sekartjakrarini S. Dan Legoh, N.K. 2004. Rencana Strategis Ekowisata
Nasional. Penerbit Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta. Simorangkir D., editor. 2006. Biodiversity Assesment in Mount Lumut Forest
Protection, Paser District, East Kalimantan. Tropenbos International Indonesia, in press.
Surbakti. SS., 2006. Kajian kebijakan pengelolaan Hutan Lindung Gunung
Lumut Kabupaten Paser Kalimantan Timur, (Skripsi), Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut pertanian Bogor.
Suryadin. D., 1993. Studi tentang respon masyarakat terhadap pengamanan
Taman Nasional Kutai. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarindah.
TBI. 2006. Keanekaragaman Hayati, Sosial Ekonomi dan Pengelolaan Hutan
Lindung Gunung Lumut. Tropenbos International Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur.
Wahyuni, T; Suryanto; Amblani dan S. Utari. 2004. Kajian Sosial Ekonomi
Pengelolaan Hutan Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda.
Wall G. 1995. Introduction to Ecoturism. Dalhausie University. Enviromental
Studies Center Defelopment in Indonesia Project. Jakarta. 121p. Weber F, Damanik J. 2006. Perencanaan Ekowisata. Yogyakarta: C.V. Andi
Offset.
LAMPIRAN
93
Lampiran 1: Panduan Wawancara dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
1. Obyek-obyek wisata yang ada di wilayah Pemerintah Kabupaten Paser
khususnya Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)
2. Rencana dalam pembangunan dan pengembangan daerah yang terkait dengan
usaha wisata minat khusus ekowisata
3. Kegiatan wisata yang akan dan yang telah dilaksanakan
4. Kerjasama dengan instansi lain dalam pengembangan ekowisata baik dengan
instansi pemerintah maupun swasta
5. Pendapat secara umum tentang kegiatan wisata di Kabupaten Paser khususnya
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)
6. Pendapat dan saran bila dilaksanakan pengembangan ekowisata di Hutan
Lindung Gunung Lumut (HLGL)
7. Kendala yang dihadapi apabila dilakukan pengembangan ekowisata
8. Upaya yang telah dan yang akan dilaksanakan dalam usaha penyelesaian
permasalahan mengenai hambatan/kendala dalam pengembangan ekowisata
94
Lampiran 2: Panduan Wawancara dengan Pihak Terkait, Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
1. Nilai kekhasan utama yang terdapat di HLGL yang dapat dijadikan obyek
wisata
2. Jenis flora dan fauna yang khas, langka/dilindungi dan unik yang
mendominasi di HLGL
3. Daya tarik wisata lain yang terdapat di HLGL seperti sejarah, budaya,
pemandangan alam
4. Pendapatan mengenai potensi yang menarik untuk dikembangkan menjadi
obyek wisata minat khusus ekowisata
5. Apakah pernah ada pengunjung yang datang ke kawasan HLGL untuk tujuan
lain seperti berziarah, rekreasi dan lain-lain
6. Pendapatan apabila ada pengembangan ekowisata di HLGL
7. Rencana pengembangan ekowisata yang belum dan yang sudah dilaksanakan
8. Sarana dan prasarana penunjang yang telah tersedia dan yang akan di
kembangkan
9. Apakah sudah ada kerjasama dengan pengelola di HLGL
10. Kebijakan yang berlaku di Kabupaten Paser mengenai ekowisata
95
Lampiran 3: Panduan Wawancara dengan Pemerintah Desa dan Tokoh Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)
1. Pendapat tentang kondisi HLGL secara umum 2. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat 3. Kondisi sarana prasarana ekonomi, kesehatan, transportasi, komunikasi dan
keamanan yang tersedia 4. Potensi yang dimiliki masyarakat mengenai sistem sosial budaya yang khas
ataupun ketrampilan yang khas dan unik 5. Potensi budaya masyarakat yang khas 6. Rencana pengembangan pemerintah Desa yang sedang dan yang akan
dilakukan 7. Kemungkinan jika dikembangkan wisata minat khusus ekowisata di HLGL 8. Pendapat mengenai potensi HLGL yang dapat dikembangkan menjadi wisata
minat khusus ekowisata 9. Tumbuhan flora yang berguna dan menarik bagi masyarakat 10. Satwa fauna yang sering ditemukan di kawasan HLGL 11. Lokasi-lokasi di HLGL yang menarik menurut masyarakat dan belum
dikembangkan 12. Pendapat tentang pengembangan ekowisata di HLGL 13. Permasalahan/kendala yang dihadapi masyarakat apabila adanya
pengembangan wisata minat khusus ekowisata di HLGL 14. Harapan dan keinginan masyarakat apabila adanya pengembangan wisata
alam di HLGL
96
Lampiran 4:
KUISIONER PENELITIAN (untuk masyarakat) STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG
GUNUNG LUMUT (HLGL) KABUPATEN PASER PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
No. Responden :
Tanggal : Pedoman Umum Pengisian : Berilah tanda silang (X) pada setiap jawaban yang anda pilih paling sesuai ! A. Data pribadi masyarakat
1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Umur/tgl lhr : a. 17-35 tahun b. 36-55 tahun c. 55 tahun lebih 3. Pekerjaan : a. petani b. pedagang c. guru d. lain-lain ......... 4. Pendidikan Terakhir : a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi 5. Asal Daerah : ........................ 6. Jumlah tanggungan keluarga : ........ orang
B. Persepsi Masyarakat
1. Apakah Anda mengetahui lokasi HLGL ? a. Ya b. Tidak
2. Bagaimana menurut anda pengelelolaan HLGL selama ini? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
3. Apakah anda mengetahui objek-objek yang menarik di HLGL, sebutkan ? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
4. Apakah anda mengetahui jenis kesenian daerah yang terdapat di sekitar
HLGL? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
97
5. Apakah Anda senang dan menerima kawasan HLGL dijadikan sebagai tempat wisata ? a. Ya b. Tidak
6. Apakah menurut Anda kegiatan wisata, khususnya ekowisata di kawasan HLGL akan dapat memberikan keuntungan ? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
7. Setujukah Anda jika kawasan ini dikelola dengan lebih baik dan
masyarakat lokal lebih banyak berperan ? a. Setuju b. Tidak setuju ....................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
8. Jika setuju, apakah Anda akan berpartisipasi lebih aktif a. Ya b. Tidak
C. Partisipasi
1. Apakah Anda mengetahui secara detail tempat-tempat yang dapat dijadikan objek wisata di kawasan HLGL? a. Ya b. Tidak
2. Apakah anda mempunyai pekerjaan yang ada hubungannya dengan kawasan HLGL ? a. Ya b. Tidak
2. Jika ya, jenis kegiatan apa yang Anda lakukan? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Guide d. Berjualan makanan/minuman b. Porter e. Lainnya : ............................ c. membuat souvenir
3. dimana lokasi usaha anda ?
a. di gerbang pintu masuk kawsan b. di sekitar pemukiman penduduk c. di areal batas desa d. lainnya : ...............................
4. Apakah Anda akan ikut berpartisipasi dan mendukung kegiatan wisata di
kawasan HLGL pada masa yang akan datang ? a. Ya, bentuk partisipasi ..................... b. Tidak
98
5. Apa harapan dan saran Anda terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan hutan lindung Gunung Lumut pada masa yang akan datang ? a. Harapan : ..............................................................................................
..................................................................................................................
.............................................................................. b. Saran : ......................................................................................................
99
Lampiran 5:
KUISIONER PENELITIAN (untuk pemerintah) STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG
GUNUNG LUMUT (HLGL) KABUPATEN PASER PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
No. Responden :
Tanggal : Pedoman Umum Pengisian : Berilah tanda silang (X) pada setiap jawaban yang anda pilih paling sesuai ! 1. Data pribadi
1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Pendidikan : a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi 3. Asal Instansi : ........................ 4. Jabatan : ........................
2. Pertanyaan
1. Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu/Saudara (i) tentang pengelolaan ekowisata pada kawasan HLGL yang telah dilakukan selama ini? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
2. Apakah Bapak/Ibu/Saudara (i) mengetahui rencana pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL dan bagaimana pendapat bapak dengan rencana tersebut ? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
3. Apakah Bapak/Ibu/Saudara (i) bersedia untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
4. Jika jawaban no.3 ”Ya”, sampai kapan dukungan tersebut Bapak/Ibu/Saudara (i) berikan ? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
100
5. Apakah ada kendala/permasalahan/keluhan yang Bapak/Ibu/Saudara (i) hadapi selama ini dalam pengelolaan HLGL? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................
6. Harapan dan saran apa yang Bapak/Ibu/Saudara (i) inginkan untuk pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL kedepan nantinya? Harapan : ...................................................................................................... ....................................................................................................... ....................................................................................................... Saran : ....................................................................................................... ...................................................................................................... .......................................................................................................