117
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR MARIANA ZAINUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2009mza_ekowisata

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2009mza_ekowisata

STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MARIANA ZAINUN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 2: 2009mza_ekowisata

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2009

Mariana Zainun NIM E051060261

Page 3: 2009mza_ekowisata

ABSTRACT

MARIANA ZAINUN. The Ecotourism Development Strategy of Mount Lumut Protection Forest at Paser District East Kalimantan. Under direction of: RINEKSO SOEKMADI and M. BUCE SALEH.

Mount Lumut Protection Forest has high biodiversity, natural beauty

scenery, and unique social culture that ecotourism is potentially to be developed there. The ecotourism development is an alternative of this site utilization that will benefit local community, as well as the government. This research is aimed at identifying internal and external factors of ecotourism development and to generate ecotourism development strategies at Mount Lumut Protection Forest, Paser District East Kalimantan. The research was performed in non-experimental method such as explorative descriptive, observation, and literature study. Mapping of the strategies is based on SWOT analysis throughout purposive sampling at four selected villages around the site, which comprise of 30 respondents at each village. The result revealed the Mount Lumut is appropriate for ecotourism recommendation and development. The SWOT analysis resulted weakness dominancy (-2,00) in internal strategy that was facilities and tourism services unavailability, meanwhile external strategy was dominated by opportunities (2,15) that was society participation eagerness. Both factors put ecotourism development at quadrant 3 (-0,39 ; 1,03) of Matrix Grand Strategy which mean though there was weakness but it also has opportunities to forward ecotourism organization and development at some point. Thus, services and facilities organization should be spotlighted and developed due to the strategy. Community and stakeholders involvement should be devoted in ecotourism development efforts. Keywords: Mount Lumut Protection Forest, development strategy, ecotourism,

nature tourism objects

Page 4: 2009mza_ekowisata

RINGKASAN

MARIANA ZAINUN. Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan M. BUCE SALEH.

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas 35.350 ha. HLGL mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki cukup tinggi terutama dengan keberadaan flora dan fauna, vegetasi lumut, keindahan alam, (gunung, panorama alam); gejala alam (goa, sungai dan air terjun); serta budaya masyarakat yang unik. Pengembangan ekowisata ini merupakan alternatif pemanfaatan kawasan agar keberadaannya dapat dirasakan, baik oleh masyarakat sekitarnya dan pemerintah setempat. Diharapkan segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang sifatnya negatif yang dilakukan masyarakat sekitarnya dapat ditekan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan ekowisata dan merumuskan strategi pengembangan ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode non experimental yaitu deskriptif eksploratif, observasi dan studi pustaka. Pengambilan sampel masyarakat sekitar dan para stakeholder menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah responden 120 orang, dari 30 orang setiap desa yang dipilih sebagai sampel adalah Desa Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung dan Kasungai. Analisis dilakukan dengan analisis deskriptif dan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan HLGL memiliki potensi sumberdaya alam dan budaya yang potensial untuk dikembangkan sehingga dapat direkomendasikan bagi pengembangan ekowisata. Berdasarkan potensi permintaan dalam menunjang pengembangan ekowisata di HLGL perlu dilakukan penataan kelembagaan dan organisasi, sarana dan prasarana, aksesibilitas dan fasilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling dominan terhadap faktor strategi internal adalah kelemahan (-2,00); utamanya ketersediaan berbagai fasilitas dan pelayanan wisata, sedangkan untuk faktor strategi eksternal di dominasi oleh peluang (2,15); utamanya keinginan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dimasa mendatang. Dari kedua faktor tersebut, maka nilai penjumlahan yang diperoleh untuk posisi ordinat dalam Matrik Grand Strategi adalah berada pada sel 3 (-0,39 ; 1,03), artinya meskipun memiliki kelemahan pada faktor internal namun masih mempunyai peluang untuk lebih maju dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata dimasa mendatang. Dengandemikian langka-langka kongkrit untuk strategi kedepan yang dapat dilakukan adalah membangun kapasitas pengelolaan HLGL dan menjalin kerjasama dengan pihak terkait. Hal ini sangat terkait dengan manajemen pengelolaan kawasan dimasa mendatang. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan juga perlu diperhatikan karena merupakan peluang yang sangat baik. Oleh karena itu,

Page 5: 2009mza_ekowisata

kerjasama yang baik dengan masyarakat sekitarnya sangat diperlukan guna menunjang pengembangan ekowisata. Hasil penelitian ini diharapkan mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait utamanya instansi dan pemerintah setempat guna pengembangan di masa mendatang dan menjadi bahan informasi bagi pengambil keputusan untuk pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dimasa mendatang. Kata kunci: Hutan Lindung Gunung Lumut, strategi pengembangan, ekowisata,

obyek dan daya tarik wisata alam.

Page 6: 2009mza_ekowisata

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 7: 2009mza_ekowisata

STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MARIANA ZAINUN

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2009

Page 8: 2009mza_ekowisata

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS

Page 9: 2009mza_ekowisata

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

Nama : Mariana Zainun N I M : E051060261

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 27 Januari 2009 Tanggal Lulus: 03 Februari 2009

Page 10: 2009mza_ekowisata

PRAKATA

Dengan penuh rasa syukur penulis mengucapkan Alhamdulillah atas limpahan rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian dan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih dan rasa penghargaan dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS., sebagai

komisi pembimbing atas ketulusannya dalam memberikan bimbingan dan arahannya sejak awal penelitian hingga akhir penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji dan memberi masukan bagi penulisan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

4. Petrus Gunarso Ph.D., selaku Ketua TBI-Indonesia The Mof Tropenbos Kalimantan Programme, selaku donatur dan fasilitator penelitian ini beserta seluruh stafnya.

5. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser beserta seluruh pegawai Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Bapedalda, Kesbanglimas Kabupaten Paser serta Kesbanglimas Samarindah, yang turut membantu kelancaran penelitian.

6. Bapak Dedi Armansyah (Pak Debang) selaku ketua Persatuan Masyarakat Adat (PeMA) Paser, Pak Jidan selaku ketua adat Dusun Muluy, Pak Semok selaku ketua adat Desa Rantau Layung, Bapak Kepala Desa Swanslutung, Kepala Desa Tiwei, Kepala Desa Rantau Layung serta Kepala Desa Kasungai serta masyarakatnya atas kerjasama yang baik selama kegiatan penelitian.

7. Doa dan terimakasih yang tiada terhingga penulis sampaikan teruntuk kedua orang tua, semoga ALLAH SWT memberikan balasan kebaikan yang berlimpah segala pengorbanan yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan. Bapak H. Sainun La Saangu dan Ibu Hj. Sitti Wa Datu tersayang, dan Kakak Safia, Adik Nur Nila, Nur Oktamin, dan Ahmad Sainun, serta seluruh keluarga besar tercinta atas doa, dukungan semangat dan kasih sayangnya.

8. Bapak H. Kamilun dan Ibu Hj. Maryati Erni terkhusus Kakak Lukman Firdaus, ST., yang memberi doa dan dukungan yang selalu menyertai dan menjadi motivasi bagi penulis.

9. Rekan-rekan IPK angkatan 2006 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir.

10. Teman-teman Mega Kost yang tidak dapat dituliskan namanya satu persatu, serta Ilham dan Sufina yang telah memberi dorongan dan semangat, motivasi kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dimana telah ikut membantu dalam penulisan tesis, penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Januari 2009

Mariana Zainun

Page 11: 2009mza_ekowisata

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Katukobari, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 21 Juni 1982 sebagai putri ke dua dari lima bersaudara dari Ayah H. Sainun La Saangu dan Ibu Hj. Sitti Wa Datu. Menamatkan pendidikan sekolah TK Darma Wanita 1 Mawasangka tahun 1988, dan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Mawasangka tahun 1994. Kemudian menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Mawasangka tahun 1997, dan lulus dari SMA Negeri 1 Mawasangka tahun 2000, hingga pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Haluoleo (UNHALU) melalui jalur UMPTN dan akhirnya lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2005. Penulis menempuh studi S2 masuk tahun 2006 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan melalui sponsor sendiri. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis melakukan penelitian tentang “Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur” dibawah bimbingan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Page 12: 2009mza_ekowisata

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL...................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xvi

I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 2 1.3 Tujuan ...................................................................................... 3 1.4 Manfaat .................................................................................... 3 1.5 Kerangka Pemikiran................................................................. 3

II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6 2.1 Hutan Lindung ......................................................................... 6 2.2 Ekowisata ................................................................................. 8 2.3 Pengembangan Ekowisata........................................................ 10 2.4 Ekowisata Sebagai Konsep ...................................................... 14 2.5 Masyarakat Sekitar Hutan ........................................................ 16 2.6 Strategi ..................................................................................... 17

III METODE PENELITIAN.................................................................. 18

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 18 3.2 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 18 3.3 Tehnik Pengumpulan Data....................................................... 19 3.4 Tahap Pengumpulan Data ........................................................ 20

3.4.1 Studi Pustaka atau Literatur ........................................... 21 3.4.2 Pengamatan Lapangan ................................................... 21 3.4.3 Wawancara..................................................................... 21

3.5 Pengolahan Data ...................................................................... 21 3.6 Analisis Data ............................................................................ 22 3.6.1 Analisis Potensi ODTWA sebagai Pengembangan - Ekowisata ........................................................................ 22 3.6.2 Analisis Terhadap Masyarakat dan Permintaan Wisata - di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)..... 22 3.6.3 Analisis Strategi Pengembangan..................................... 22

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .................................... 26 4.1 Letak dan Luas ......................................................................... 26 4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut................................... 27 4.3 Bentuk Lahan dan Topografi ................................................... 28 4.4 Geologi dan Tanah ................................................................... 29 4.5 Iklim ......................................................................................... 30 4.6 Vegetasi.................................................................................... 30 4.7 Hidrologi .................................................................................. 30

Page 13: 2009mza_ekowisata

xii

4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna ........................................... 31 4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat................. 33

4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan ................................ 33 4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat Setempat 34 4.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat .................................. 35 4.9.4 Suku, Agama dan Potensi Seni Budaya Masyarakat ... 37

V HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 39 5.1 Potensi Penawaran Wisata ....................................................... 39 5.1.1 Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA)......... 39 5.1.1.1 Pintu Masuk Swanslutung.............................. 40 5.1.1.2 Pintu Masuk Tiwei ......................................... 44 5.1.1.3 Pintu Masuk Rantau Layung.......................... 45 5.1.1.4 Pintu Masuk Kasungai ................................... 49 5.1.2 Daya Tarik Biologi....................................................... 51 5.1.2.1 Flora ............................................................... 51 5.1.2.2 Fauna .............................................................. 54 5.1.3 Wisata Sosial Budaya.................................................... 55 5.1.3.1 Kearifan Lokal ............................................... 55 5.1.3.2 Musik dan Tarian ........................................... 56 5.1.3.3 Kerajinan Tangan ........................................... 58 5.1.3.4 Sarana dan Prasarana Hutan Lindung Gunung- Lumut (HLGL).............................................. 59 5.1.4 Masyarakat Sekitar Kawasan ....................................... 62 5.1.4.1 Karateristik Responden Masyarakat Desa ...... 62 5.1.4.2 Persepsi Responden......................................... 64 5.1.4.3 Partisipasi Responden ..................................... 66 5.1.4.4 Saran dan Harapan Responden........................ 67 5.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sekitar - Kawasan ....................................................................... 68

5.1.6 Kondisi dan Permasalahan Masyarakat Sekitar - Kawasan ....................................................................... 69 5.2 Potensi Permintaan Wisata......................................................... 71 5.2.1 Permintaan Wisata di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)................................................... 71

5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata ........................................... 72 5.3.1 Analisis SWOT ............................................................ 72 5.3.2 Matriks Internal-Eksternal ........................................... 77 5.3.3 Posisi Strategi Pada Matriks Grand Strategi ............... 79 5.3.4 Rekomendasi Grand Strategi Pengembangan - Ekowisata Pada Kawasan Hutan Lindung Gunung - Lumut (HLGL)............................................................. 82 5.3.5 Rekomendasi Strategi Pengembangan Ekowisata pada- Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)...... 83

VI KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 87

6.1 Kesimpulan .............................................................................. 87 6.2 Saran......................................................................................... 87

Page 14: 2009mza_ekowisata

xiii

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 89 LAMPIRAN............................................................................................... 92

Page 15: 2009mza_ekowisata

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian.................................... 19

2 Matriks SWOT.................................................................................... 23

3 Rangkuman Matriks Internal Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan- Ekowisata ............................................................................................ 24

4 Rangkuman Matriks Eksternal Peluang dan Ancaman Pengembangan - Ekowisata ............................................................................................ 24

5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan - Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)............................................. 34

6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)...................................................................... 34

7 Jumlah Anak Usia Sekolah di Kecamatan-Kecamatan yang ada - di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Tahun 2006..................................................................................................... 36

8 Jumlah Sekolah Pada Tiga Kecamatan di Sekitar Kawasan Hutan - Lindung Gunung Lumut (HLGL) ....................................................... 36

9 Karateristik Responden Masyarakat Desa di Sekitar Kawasan Hutan - Lindung Gunung Lumut (HLGL) ....................................................... 63

10 Persepsi Responden Terhadap Pengembangan Ekowisata di Kawasan- Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)............................................. 64

11 Partisipasi Responden Terhadap Prospek Pengembangan Ekowisata- di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)......................... 67

12 Kawasan Wisata Sejenis Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) .... 72

13 Faktor Internal ..................................................................................... 77

14 Faktor Eksternal .................................................................................. 78

15 Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Hutan - Lindung Gunung Lumut (HLGL) ....................................................... 80

Page 16: 2009mza_ekowisata

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran........................................................................... 5

2 Alur Pikir Pengembangan Ekowisata................................................. 11

3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Ekowisata- Menuju Sustainable Ecotourism ........................................................ 12

4 Monitoring dan Evaluasi Dalam Ekowisata....................................... 12

5 Diagram Hipotetikal........................................................................... 15

6 Peta Lokasi Penelitian ........................................................................ 18

7 Model Matriks Grand Strategi........................................................... 25

8 Papan Pintu Masuk Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) 27

9 Air Terjun Une Berada di Kaki Gunung Lumut ................................ 41

10 Pemandangan Lepas........................................................................... 42

11 Puncak Gunung Lumut ...................................................................... 44

12 Air Terjun Tiwei ................................................................................ 45

13 Air Terjun, Muara, dan Liang Nango ................................................ 48

14 Goa Tengkorak................................................................................... 50

15 Goa Loyang........................................................................................ 51

16 Anggrek di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ........................ 52

17 Flora di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).............................. 53

18 Kupu-Kupu di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ................... 55

19 Lanjung .............................................................................................. 59

20 Posisi Strategi Untuk Pengembangan Ekowisata di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)..................................................................... 81

Page 17: 2009mza_ekowisata

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Panduan Wawancara Dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser - Provinsi Kalimantan Timur.................................................................. 93

2 Panduan Wawancara Dengan Pihak Terkait, Kabupaten Paser Provinsi- Kalimantan Timur ................................................................................ 94

3 Panduan Wawancara Dengan Pemerintah Desa dan Tokoh Masyarakat- Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).................. 95

4 Kuesioner Penelitian (untuk masyarakat) ............................................ 96

5 Kuesioner Penelitian (untuk pemerintah)............................................. 99

Page 18: 2009mza_ekowisata

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan di Indonesia merupakan sumberdaya yang sangat penting karena

mencakup sebagian besar wilayah Indonesia dan menjadi paru-paru dunia. Hutan

dengan segala potensi yang terdapat di dalamnya merupakan kekayaan yang harus

dilestarikan sehingga dapat berguna secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat

tanpa merusak ekosistem. Akan tetapi hal ini tidak selalu berjalan sebagaimana

mestinya sebab keberadaan hutan tidak lepas dari kegiatan masyarakat terutama

masyarakat yang berada di sekitar hutan. Interaksi tersebut sangat kompleks dan

tergantung pada beberapa faktor antara lain: adat istiadat dan budaya masyarakat,

jenis mata pencaharian, tingkat kesejahteraan penduduk, tingkat pendidikan dan

tingkat pertumbuhan penduduk. Faktor lain yang turut mempengaruhi interaksi

masyarakat adalah pemaknaan masyarakat terhadap keberadaan hutan.

Dalam konsideran Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa hutan di Indonesia berdasarkan fungsi

pokoknya maka hutan di Indonesia dibagi menjadi hutan konservasi, hutan

lindung dan hutan produksi. Fungsi pokok hutan lindung adalah sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah. Selanjutnya, Pasal 26

ayat 1 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan jasa lingkungan dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa

lingkungan pada kawasan hutan lindung adalah pemanfaatan untuk wisata alam

terutama minat khusus (ekowisata) yang harus dilakukan secara

bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian

lingkungan.

Salah satu hutan lindung di Indonesia yang berpotensi untuk

dikembangkan sebagai obyek wisata alam adalah Hutan Lindung Gunung Lumut

(HLGL). HLGL ini merupakan salah satu dari empat hutan lindung yang terdapat

di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Sesuai Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No. 24 Kpts/UM/I/1983 luas kawasan HLGL mencapai 35.350 ha

Page 19: 2009mza_ekowisata

2

yang kewenangannya dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Paser.

Pertimbangan utama HLGL berpotensi dijadikan sebagai obyek wisata adalah

berbagai obyek daya tarik biofisik yang khas dan unik. Obyek-obyek itu berupa

kelimpahan vegetasi lumut, keanekaragaman flora dan fauna, pemandangan alam,

aliran sungai dan air terjun. Selain daya tarik tersebut, daya tarik sosial budaya

masyarakat sekitarnya juga menjadi obyek ekowisata yang bernilai dan menarik.

Kawasan HLGL yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang

tinggi di Indonesia, selain sebagai kawasan HLGL juga berperan memberikan

manfaat secara ekologis bagi daerah-daerah sekitarnya. Salah satu manfaat

tersebut adalah sebagai daerah tangkapan air bagi dua daerah aliran sungai (DAS)

yaitu DAS Telake dan DAS Kendilo. Kedua DAS ini berperan penting bagi

sebagian masyarakat Kabupaten Paser, yakni sebagai sumber air bagi kebutuhan

masyarakat Tanah Grogot, Muara Komam, Long Iris dan Batu Sopang

(Tropenbos International Indonesia 2006).

Selain memberikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian daerah,

HLGL juga memungkinkan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan

setempat jika pengelolaannya tidak direncanakan secara baik dan melibatkan

peran serta dan dukungan aktif masyarakat setempat. Terkait dengan rencana

pemanfaatan kawasan HLGL sebagai suatu obyek ekowisata maka diperlukan

suatu penelitian untuk mengetahui berbagai potensi dan prospek

pengembangannya, sehingga dapat disusun strategi pengembangan ekowisata di

kawasan tersebut. Dengan demikian, pengembangan ekowisata di HLGL

diharapkan tidak bertentangan dengan fungsi utamanya sebagai hutan lindung.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai potensi alam yang

khas dan unik, terutama kelimpahan vegetasi lumut yang selalu aktif, disamping

keanekaragaman flora, fauna dan budayanya. Di sisi lain masyarakat sekitar

kawasan memiliki hubungan yang kuat dengan HLGL, baik hubungan spiritual,

supranatural maupun ekonomi. Bagi masyarakat sekitar, kawasan HLGL

bukanlah suatu ancaman namun merupakan sumber kehidupan. Masyarakat

Page 20: 2009mza_ekowisata

3

sekitar kawasan memanfaatkan kawasan HLGL sebagai lahan untuk tempat

mereka menggantungkan hidupnya.

Dalam upaya pengembangan ekowisata di HLGL diperlukan suatu

penelitian terhadap komponen-komponen Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam

(ODTWA) dan budaya masyarakat sekitarnya agar dapat disusun suatu rencana

pengembangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan dengan tetap menjaga

status kawasan HLGL sebagai hutan lindung. Dengan demikian diharapkan

manfaat ekowisata di kawasan dapat diperoleh secara optimal, yaitu secara

ekonomis memberikan keuntungan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar

dan secara ekologis, sumber daya alam yang ada tetap dilindungi dan tetap

terjamin kelestariannya. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka masalah

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, “Bagaimana Strategi Pengembangan

Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi

Kalimantan Timur?”.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor intenal dan eksternal pengembangan ekowisata

di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi

Kalimantan Timur.

2. Merumuskan strategi pengembangan ekowisata Hutan Lindung Gunung

Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Propvinsi Kalimantan Timur.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelola

kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dalam pengembangan ekowisata HLGL

Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

1.5 Kerangka Pemikiran

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai obyek dan daya tarik

wisata alam (ODTWA) yang sangat potensial untuk dikembangkan. Kerangka

pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah upaya pengembangan ekowisata

Page 21: 2009mza_ekowisata

4

di HLGL Kabupaten Paser melalui pengelolaan wisata. Kondisi yang sudah ada

yakni bahwa pengembangan ekowisata di kawasan HLGL Kabupaten Paser

sampai saat ini masih belum optimal. Meskipun potensi wisata alam kawasan

tersebut sangat tinggi dengan kekayaan flora, fauna yang khas dan unik yang

didukung oleh kekhasan budaya masyarakat sekitarnya, namun jumlah wisatawan

yang berkunjung sangat rendah dan terbatas. Dengan demikian, diperlukannya

rumusan strategi pengembangan kawasan tersebut menjadi kawasan bernilai jual

wisata yang tinggi tetapi tetap menjaga keaslian lingkungannya.

Faktor-faktor dalam manajemen pengembangan ekowisata sebagai berikut:

1. Faktor-faktor supply (ODTWA) berupa potensi biofisik dan budaya

2. Faktor-faktor demand (potensial) berupa permintaan wisata di kawasan HLGL

3. Faktor-faktor penunjang berupa akomodasi, fasilitas, aksesibilitas, dan sarana

prasarana serta dukungan para pihak terkait (stakeholder). Faktor-faktor

tersebut dianalisis dengan menggunakan metode SWOT untuk mendapatkan

rumusan strategi pengembangan ekowisata.

Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka ruang lingkup penelitian

ini antara lain sebagai berikut:

1. Inventarisasi potensi ODTWA di kawasan HLGL

2. Analisis terhadap budaya masyarakat lokal yang meliputi karateristik,

persepsi, partisipasi, harapan serta motivasi terhadap kegiatan wisata di masa

mendatang, dan permintaan wisata di kawasan HLGL terhadap

pengembangannya menjadi kawasan ekowisata.

3. Identifikasi terhadap faktor penunjang yang meliputi informasi, promosi,

akomodasi, fasilitas, aksesibilitas, sarana dan prasarana serta dukungan

stakeholder.

Page 22: 2009mza_ekowisata

5

Untuk mengetahui strategi pengembangan ekowisata HLGL dilakukan

analisis SWOT. Secara skematis konsep pemikiran dimaksud disajikan dalam

kerangka pikir pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran.

Faktor supply ODTWA HLGL,

potensi biofisik dan budaya

Faktor penunjang aksesibilitas, sarpras dan

dukungan stakeholder

Pengelolaan Ekowisata HLGL

Faktor demand

ANALISIS SWOT

Strategi Pengembangan Ekowisata HLGL

Page 23: 2009mza_ekowisata

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Lindung

Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena

memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu

memberikan perlindungan kepada mahluk hidup, pengaturan tata air, pencegahan

banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan

hutan lindung didasarkan pada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan

curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu

(Ngadiono 2004).

Adapun kriteria dari kawasan hutan lindung menurut PP No. 44 tahun

2004 pasal 24, dengan memenuhi syarat dibawah ini:

1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas

hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai

jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih (Surat

Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980);

2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapang 40% (empat puluh per seratus)

atau lebih;

3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih

di atas permukaan laut;

4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dan lereng

lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus);

5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan

6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

Kawasan yang dilindungi dapat memberikan kontribusi besar dalam

pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan kewilayah pedesaan.

Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar dapat mendatangkan

keuntungan yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat

bermanfaat bagi masyarakat setempat. Pengembangan pariwisata didalam dan

disekitar kawasan yang dilindungi merupakan penunjang kebutuhan pertumbuhan

pariwisata dan merupakan cara terbaik mendatangkan keuntungan ekonomi bagi

kawasan terpenting dengan cara menyediakan kesempatan kerja dan merangsang

Page 24: 2009mza_ekowisata

7

pasar setempat serta memperbaiki sarana angkutan dan komunikasi

(Mackinon et al. 1993).

Lebih lanjut Avenzora (2004) menyatakan bahwa keberadaan kawasan

lindung dapat menjaga kualitas kawasan lindung tersebut dan meningkatkan

pendapatan asli daerah. Karenanya, pengembangan wisata alam di hutan lindung

merupakan solusi terbaik untuk mencapai pendapatan daerah optimum bagi

Kabupaten.

Tujuan pengelolaan hutan lindung adalah perlindungan kawasan untuk

mencegah terjadinya erosi, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk

menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan. Prinsip

pengelolaan hutan lindung adalah pendayagunaan fungsi hutan lindung untuk

kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, pengkayaan dan penangkaran, penyediaan

plasma nutfah untuk kegiatan budidaya dan masyarakat setempat, wisata alam,

pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan, penelitian dan wisata alam

diupayakan sedemikian rupah agar tidak mengurangi luas dan tidak merubah

fungsi kawasan (Ngadiono 2004).

Pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan Lindung menurut SK Menteri

Kehutanan 464/Kpts-II jo No. 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No. 129/

Kpts/DJ-VI/1996 meliputi: (1) Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung

meliputi flora, fauna, potensi wisata, dan potensi sumber daya air,

(2) Pemancangan dan pemeliharaan batas, (3) Perlindungan dan pengamanan

fungsi ekosistem dan kawasan, (4) Rehabilitasi hutan yang rusak, (5) Pemanfaatan

hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan dan (6) Peningkatan peran serta

masyarakat (Ngadiono 2004).

Peraturan Pemerintah (PP) No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan

Kawasan Hutan, Pasal 19 ayat (2) menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang

dapat dilakukan dalam hutan lindung meliputi usaha budidaya tanaman obat

(herba), tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan usaha

budidaya sarang burung wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung

sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3) meliputi usaha alam, olahraga

tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha

Page 25: 2009mza_ekowisata

8

penyelamatan hutan dan lingkungan.

Untuk pengelolaan hutan lindung dapat dibangun sarana-prasarana yang

meliputi sarana pokok dan sarana pengembangan pariwisata terbatas. Sarana

prasarana pokok pengelolaan hutan lindung meliputi kantor pengelola, pusat

informasi, pondok kerja/jaga/penelitian, jalan patroli, menara pengawas

kebakaran, plot-plot pengamat erosi, peralatan klimatologi, peralatan pengukur

erosi/abrasi dan pengamat air, kandang satwa, peralatan navigasi, peralatan

komunikasi, peralatan transportasi, serta peta dasar dan peta kerja. Sarana

prasarana untuk pengembangan wisata meliputi pembangunan jalan setapak dan

perlengkapan wisata terbatas. Untuk kegiatan pengembangan ekowisata di hutan

lindung terdiri dari pelayanan pengunjung, pemanduan dan interpretasi, pusat

informasi, toko souvenir (souvenir shop), toilet dan MCK (mandi cuci kakus),

pemeliharaan sarana, pemeliharaan kebersihan, hubungan dengan instansi lain dan

masyarakat, promosi dan informasi, pengembangan ekowisata, keamanan

pengunjung, parkir kendaraan, pelayanan penelitian, operasi radio dan pendidikan

staf pengelola (Ngadiono 2004).

2.2 Ekowisata

Ekowisata diperkenalkan pertama kali oleh Ceballos-Lascurain (1983)

yang mendefinisikan bahwa ekowisata sebagai kunjungan ke daerah-daerah yang

masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan

tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam

dengan tumbuhan satwa liar serta budaya (baik masa lalu maupun sekarang) yang

ada di tempat tersebut.

Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Ceballos-

Lascurain setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masing-

masing meninjau dari sudut pandang berbeda (Fennell 1999).

Hafild (1995) dalam Kesuma (2000), menyatakan bahwa ekowisata

mempunyai 3 dimensi, yaitu:

1. Konservasi: kegiatan wisata tersebut membantu usaha pelestarian alam

setempat dengan dampak negatif seminimal mungkin.

Page 26: 2009mza_ekowisata

9

2. Pendidikan: wisatawan yang mengikuti wisata tersebut akan mendapatkan

ilmu pengetahuan mengenai keunikan biologis, ekosistem dan kehidupan

sosial di kawasan yang dikunjungi.

3. Sosial: masyarakat mendapat kesempatan untuk menjalankan kegiatan

tersebut.

Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan

wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata.

Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata

alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Weber dan

Damanik 2006).

Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif,

yakni ekowisata sebagai produk, sebagai pasar dan sebagai pendekatan

pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang

berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan

yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan

pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.

Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood, 1999 dalam Fandelli 2000),

menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: (1) Mencegah

dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan

budaya, (2) Pendidikan konservasi lingkungan, (3) Pendapatan langsung untuk

kawasan, (4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (5) Meningkatkan

penghasilan masyarakat, (6) Menjaga keharmonisan dengan alam, (7) Menjaga

daya dukung lingkungan dan (8) Meningkatkan devisa buat pemerintah.

Kusler (1991) menyatakan bahwa untuk pengembangan ekowisata perlu

didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana seperti jalan, penginapan,

transportasi kerjasama pemerintah dengan pihak swasta serta promosi dan

publikasi oleh berbagai instansi terkait.

Dalam konteks perumusan rencana strategis pengembangan ekowisata

nasional dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang berlaku universal,

rekomendasi-rekomendasi yang terangkat dalam berbagai forum diskusi dan hasil-

Page 27: 2009mza_ekowisata

10

hasil kajian dan tuntutan obyektif di lapangan, batasan ekowisata nasional

dirumuskan sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan

penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk

perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian

produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal,

memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan

diberlakukan bagi kawasan lindung kawasan terbuka, kawasan alam binaan serta

kawasan budaya.

2.3 Pengembangan Ekowisata

Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh

kesiapan para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat

(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2002).

Keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata merupakan

hasil kerja sama antara Stakeholders yaitu:

1. Dibangun berdasarkan budaya masyarakat lokal;

2. Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal;

3. Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang

dilindungi kepada penduduk asli;

4. Mengkaji masyarakat lokal;

5. Ada keterkaitan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang

dilindungi;

6. Memberikan prioritas kepada masyarakat dengan skala kecil;

7. Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan; dan

8. Mempunyai keberanian untuk melakukan pelarangan (Fennell 1999).

Page 28: 2009mza_ekowisata

11

Gambar 2 Alur Pikir Pengembangan Ekowisata (modifikasi dari Hidayati et al. 2003).

Sedangkan keberhasilan ekowisata bergantung pada beberapa hal.

Keberhasilan tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu faktor internal, faktor

eksternal dan faktor struktural antara lain:

1. Faktor internal dapat diklasifikasikan seperti potensi daerah untuk

pengembangan ekowisata, pengetahuan operator ekowisata tentang pelestarian

lingkungan dan partisipasi penduduk lokal.

2. Faktor eksternal merupakan faktor kunci yang berasal dari luar ekowisata

tersebut, seperti kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan, kegiatan

penelitian atau pendidikan di wilayah ekowisata untuk kepentingan kelestarian

lingkungan dan masyarakat lokal.

3. Faktor struktural adalah faktor yang berhubungan dengan kelembagaan,

kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan ekowisata.

Potensi objek wisata, sarana dan prasarana, aksesibilitas lokasi wisata serta kualitas pelaku wisata

Prinsip-prinsip ekowisata: 1. Berbasiskan

alam 2. Pariwisata

berkelanjutan 3. Konservasi 4. Pendidikan 5. Budaya lokal 6. Ekonomi lokal

Kebijakan: 1. Nasional

Kebijakan/Program 2. Daerah - Renstra - Potensi alam - Aksesibilitas 3. Grass roots Pariwisata Berbasiskan

masyarakat

Faktor-faktor berpengaruh: 1. Internal

- Potensi daerah - Pengetahuan operator

wisata - Partisipasi masyarakat

2. Eksternal - Kesadaran wisatawan - Penelitian dan

pendidikan 3. Struktural - Kelembagaan - Pengeloaan

Pengembangan Ekowisata

Page 29: 2009mza_ekowisata

12

Ketiga faktor di atas tersebut adalah faktor penentu keberhasilan, tetapi di

sisi lain ketiga faktor tersebut juga dapat menjadi kendala bagi pengembangan

ekowisata.

Gambar 3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Ekowisata

Menuju Sustainable Ecotourism (modifikasi dari Hidayati et al. 2002).

Untuk mencapai ekowisata yang berkelanjutan diperlukan memonitoring

dan evaluasi dari pelaksanaan ekowisata. Monitoring dan evaluasi dapat

dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, monitoring kedalam

dilakukan oleh pengelola sendiri sedangkan eksternal dilakukan oleh pihak luar,

seperti: masyarakat, LSM dan lembaga independen lainnya (Hidayati et al. 2003).

Gambar 4 Monitoring dan Evaluasi Dalam Ekowisata (modifikasi dari Hidayati et al. 2002).

Faktor Internal: 1. Potensi daerah wisata 2. Pengetahuan operator

ekowisata 3. Partisipasi penduduk

lokal

Faktor Eksternal: 1. Kesadaran

Wisatawan 2. Kegiatan Penelitian

atau pendidikan

Faktor Struktural: 1. Kelembagaan 2. Kebijakan 3. Regulasi

pengelolaan

Pengelolaan Kawasan Ekowisata

SUSTAINABLE ECOTOURISM

Monitoring dan Evaluasi

Internal: Pengelola

Eksternal: 1. Masyarakat 2. LSM 3. Lembaga

Sustainable ecotourism

Page 30: 2009mza_ekowisata

13

Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia masih dalam taraf wacana.

Hal ini diindikasikan dengan belum terbitnya secara tersendiri peraturan

perundangan untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata masih

mengacu pada peraturan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan

konservasi, seperti dalam hal dan pembangunan sarana-prasarana yang mengikuti

ketentuan untuk wisata alam, yaitu: (Hidayati et al. 2003).

1. Sarana-prasarana dibangun di zona pemanfaatan dan tidak boleh melebihi

10% dari luas keseluruhan zona yang ada,

2. Tidak merubah bentang alam,

3. Menggunakan arsitektur setempat,

4. Tinggi bangunan tidak melebihi tinggi tajuk.

Pengembangan ekowisata berpengaruh positif pada perluasan peluang

usaha dan kerja. Peluang usaha dan kerja lahir karena adanya permintaan

wisatawan. Dengan demikian kedatangan wisatawan kesuatu daerah akan

membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk menjadi pengusaha hotel, wisma

homestay, restoran, warung, angkutan, dagang asongan, sarana olah raga, jasa dan

lain-lain. Peluang usaha tersebut akan memberikan kesempatan kepada

masyarakat hutan untuk bekerja sehingga dapat menambahkan pendapatan untuk

menunjang kehidupan rumah tangganya.

Sedangkan dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga

mencerminkan dua prinsip lainnya yakni prinsip edukasi dan prinsip wisata.

Prinsip edukasi bahwa pengembangan ekowisata harus mengandung unsur

pendidikan untuk mengubah sikap dan prilaku seseorang menjadi milik

kepedulian, tanggung jawab dan komitmen pelestarian terhadap pelestarian

lingkungan dan budaya. Sedangkan prinsip wisata bahwa pengembangan

ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman orisinil kepada

pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

Lanjut, Fandeli dan Muklison (2000) menyatakan bahwa pengembangan

ekowisata didalam suatu kawasan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian

ekosistem kawasan, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.

Ekowisatawan menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem,

Page 31: 2009mza_ekowisata

14

karenanya prinsi-prinsip ekowisata harus dipenuhi dalam pengembangan

ekowisata.

2.4 Ekowisata Sebagai Konsep

Batasan ekowisata secara nasional dirumuskan oleh kantor Menteri Negara

Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata Nasional

adalah suatu "konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis

pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif

masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan

pembelajaran, berdampak negatif minimal memberikan kontribusi positif terhadap

pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan

terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya" (Sekartjakrarini dan Legoh

2004).

Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan didasarkan

pada beberapa unsur utama, yaitu: Pertama, ketergantungan pada kualitas

sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kedua, melibatkan

masyarakat. Ketiga, meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-

nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keempat, tumbuhnya pasar ekowisata di

tingkat internasional dan nasional. Kelima, sebagai sarana mewujudkan ekonomi

berkelanjutan (Wall 1995). Dengan kata lain, ekowisata menawarkan konsep low

invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya

sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat karena seluruh aset produksi

menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal.

Proses penggambaran pengembangan kawasan wisata dari waktu kewaktu,

dimana perkembangannya tidak lepas dari dukungan masyarakat setempat. Pada

tahap awal pengembangan wisata, terhadap potensi ODTWA akan mendorong

tumbuhnya aksesibilitas ke kawasan. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya

sistem transportasi yang menghubungkan antar modal kawasan wisata dan modal

penyalur wisata. Dalam waktu yang sama pertumbuhan jumlah wisatawan terus

meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur wisata yang berada dalam

kawasan. Stakeholder yang berpengaruh pada tahapan ekplorasi adalah pelaku

Page 32: 2009mza_ekowisata

15

bisnis wisata dan wisatawan yang terus menerus berusaha untuk menemukan

daerah tujuan wisatawan yang baru (Inskeep 1991).

Peranan pemerintah kemudian mulai terbentuk setelah proses

pembangunan pada kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukkan

kelembagaan wisata menjadi bagian yang tidak terelakan dalam upaya untuk

mempertahankan kelangsungan pemanfaatan ruang kawasan wisata.

Untuk dapat melihat gambaran yang lebih utuh mengenai perkembangan

sebuah kawasan wisata dapat dilihat pada Gambar 5.

visitasi kawasan baru kontrol lokal pengembangan intitusi

rejuvenation stagnasi konsolidasi penurunan

pembangunan

eksplorasi keikutsertaan waktu

Sumber: (Cooper et al. 1993). Gambar 5 Diagram Hipotetikal (tourism area life cycle-TALC). Untuk dapat melihat dampak dari pengembangan ekowisata terlebih

dahulu perlu diperlihatkan hal-hal yang telah teridentifikasi dari perencana

pengembangan ekowisata karena hal ini akan menyangkut kelangsungan

pertumbuhan kawasan wisata dan juga tentunya akan menyangkut kelangsungan

para pelaku wisata yang berada dalam kawasan tersebut, diantaranya:

1. Volume atau jumlah wisatawan

2. Karateristik wisatawan dengan kebutuhannya

3. Tipe dari aktifitas wisata yang dapat ditawarkan pada sebuah kawasan wisata

beserta dengan variasi wisata yang mungkin dilakukan

4. Struktur masyarakat yang berada pada kawasan wisata tersebut

5. Daya dukung lingkungan

6. Kemampuan masyarakat untuk dapat mengadaptasi dari berkembangnya

kepariwisataan

7. Kebijakan yang mendukung pengembangan

Page 33: 2009mza_ekowisata

16

8. Pengelolaan kawasan yang terpadu (Wall 1995).

2.5 Masyarakat Sekitar Hutan

Telah kita ketahui bersama bahwa hutan ialah bagian yang tidak dapat

terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat lokal sejak ratusan tahun

bahkan ribuan tahun yang lalu. Hutan memiliki manfaat langsung maupun tidak

langsung bagi kehidupan. Pada awal keberadaan manusia, hutan merupakan

tempat bermukim, sekaligus sebagai sumber bahan makanan. Tetapi dengan

adanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, fungsi tradisional dari hutan

mengalami perubahan yang sangat berarti dengan penekanan pada fungsi

ekonomi.

Keberadaan hutan memang membawa makna tersendiri bagi masyarakat

terutama masyarakat disekitar kawasan hutan. Hubungan ekologis antara hutan

dan manusia erat sekali dan tidak dapat dipisahkan lagi meski dengan kekuatan

apapun, karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat bagi sekitar

kawasan hutan maupun yang jauh dari jangkauan pengaruh langsungnya (Komar,

1982 dalam Suryadin 1993).

Masyarakat di sekitar hutan dan didalam hutan pada umumnya tergolong

dalam masyarakat yang tertinggal dengan kondisi sosial ekonomi yang umumnya

rendah. Sehingga seiring dengan pertambahan penduduk di daerah atau tempat

mereka berada, maka akan dapat mengakibatkan bertambah pula kebutuhannya

terhadap lahan, kayu maupun hasil hutan lainnya. Hal tersebut akan menjadi

penyebab berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya pengunaan lahan.

Disamping itu, perluasan lahan dapat pula menyebabkan kerusakan hutan dan

mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya.

Oleh karena itu pembangunannya kehutanan perlu membangun peranan

kehutanan yang lebih baik dengan penduduk di sekitar hutan atau dalam hutan

melalui kemitraan yang mantap sehingga kesejahteraan penduduk dapat di

tingkatkan. Dengan kata lain masyarakat setempat harus dilibatkan secara aktif

dalam pengelolaan hutan yang diistilahkan dengan perhutanan sosial atau

kehutanan masyarakat (Sardjono 2004).

Page 34: 2009mza_ekowisata

17

2.6 Strategi

Strategi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dalam

perkembangannya, konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau

konsep selama 30 tahun terakhir. Seperti yang diungkapkan oleh Chandler (1962)

dalam Rangkuti (2004) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang

dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang

penting untuk mencapai tujuan tersebut.

Learned et al. (1965) dalam Rangkuti (2006) mendefinisikan strategi

merupakan alat untuk menciptakan keunggulan bersaing. Dengan demikian salah

satu fokus strategi adalah memutuskan apakah bisnis tersebut harus ada atau tidak

ada. Argyris (1985), Mintzberg (1979), Steiner dan Miner (1997) diacu dalam

Rangkuti (2006) menyatakan bahwa strategi adalah respon secara terus menerus

maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan

kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi.

Page 35: 2009mza_ekowisata

III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

(HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian berlangsung

selama 3 bulan yaitu bulan Maret-Mei 2008.

Penelitian yang dilakukan dibatasi hanya pada desa yang dipilih sebagai

sampel adalah Desa Swanslutung (Kecamatan Muara Komam), Desa Tiwei

(Kecamatan Long Ikis) dan Desa Rantau Layung serta Desa Kasungai

(Kecamatan Batu Sopang). Pemilihan dari empat desa dari tiga kecamatan

tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa keempat desa merupakan desa

yang memiliki akses terdekat menuju kawasan HLGL.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan mengunakan metode non experimental yaitu

deskriptif eksploratif, pengamatan lapangan (observasi) dan studi literatur pustaka

Page 36: 2009mza_ekowisata

19

guna mengumpulkan data yang diperlukan. Jenis data yang digunakan meliputi

data primer dan data sekunder, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian

3.3 Tehnik Pengumpulan Data

Pengambilan sampel responden masyarakat dilakukan dengan purposive

sampling (sengaja), yaitu anggota masyarakat yang tinggal disekitar kawasan dan

memiliki akses terdekat menuju kawasan, merupakan kepala keluarga dan

memiliki usaha atau keinginan berusaha dibidang wisata khususnya ekowisata.

Pengambilan secara purposive ini diartikan sebagai pengambilan responden sesuai

dengan keadaan yang dikehendaki (Nazir 1983). Jumlah pengambilan responden

masyarakat secara keseluruhan 120 (seratus dua puluh) orang yang terdiri dari 30

No. Kegiatan Jenis Data Sumber Data Metode

Pengambilan data

1 Observasi Lapang (Pengumpulan data Pokok)

1. Jenis atraksi ODTWA, budaya masyarakat yang mendukung kegiatan ekowisata yang ada di kawasan tersebut

2. Identifikasi faktor pendukung seperti akomodasi, fasilitas, aksesibilitas dan sarpras

3. Kondisi biologis untuk flora dan fauna

4. Demand wisata 5. Persepsi stakholder dan

masyarakat tentang kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

6. Identifikasi Rencana pengembangan ekowisata yang akan dilakukan

1. Dinas Kehutanan

2. Dinas Pariwisata dan budaya

3. Masyarakat 4. TBI

Wawancara, pengamatan langsung dan studi literatur

2 Pengumpulan data pendukung

1. Keadaan umum kawasan HLGL, yang terdiri dari letak, luas wilayah, status kawasan, kondisi iklim, curah hujan, suhu, topografi, tanah, kondisi geologi, kelerengan, dan hidrologi

2. Profil desa yang ada di sekitar kawasan HLGL

3. Profil HLGL yang ada didalam HLGL (Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisarta dan Budaya)

4. Peraturan Perundang-undangan dan kegiatan yang mendukung ekowisata di HLGL

Instansi Terkait

Studi literatur dan

wawancara mendalam

3 Analisis Data 1. Analisis Deskriptif 2. Analisis SWOT

Hasil observasi Studi Literatur

-

Page 37: 2009mza_ekowisata

20

(tiga puluh) orang pada setiap desa, dari empat desa dengan tiga kecamatan yang

menjadi sampel. Untuk wawancara mendalam dilakukan kepada pihak-pihak

yang berkompoten dan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menyusun

strategi pengembangan ekowisata. Adapun yang dipilih sebagai narasumber

dalam penelitian ini adalah pengelola kawasan HLGL, TBI-Indonesia, dan

sejumlah dinas serta institusi terkait di Kabupaten Paser yakni Dinas Kehutanan,

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bappeda, Bapedalda, dan Masyarakat sekitar

kawasan. Purposive sampling dapat dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan

tertentu yang disarankan pada tujuan penelitian. Sedangkan untuk mengetahui

gambaran umum mengenai kondisi masyarakat sekitar HLGL Kabupaten Paser

dilakukan wawancara terhadap beberapa perangkat desa, tokoh adat, tokoh

masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum.

1.4 Tahap Pengumpulan Data

Sebelum melakukan pengumpulan data di masyarakat, terlebih dahulu

dilakukan klasifikasi terhadap masyarakat berdasarkan ketokohan mereka dalam

masyarakat (perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan

masyarakat umum). Informan kunci dalam penelitian ini adalah perangkat desa,

tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum. Pengumpulan

data primer dilakukan dengan melalui pengamatan langsung di lapangan dan

wawancara secara mendalam bersama masyarakat dan instansi terkait. Sedangkan

data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, publikasi ilmiah, perundang-

undangan, dan bentuk publikasi lainnya yang terkait dengan penelitian. Pada

tahap ini dapat diharapkan diperoleh data yang terkait dengan strategi

pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL. Sedangkan untuk tahap

pengumpulan data yang dilakukan di lapangan meliputi studi pustaka/literatur,

pengamatan langsung di lapangan (observasi lapangan), wawancara langsung dan

wawancara mendalam. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan

untuk tujuan peneliti dengan mengajukan pertanyaan sambil bertatap muka antara

responden dan peneliti dengan menggunakan alat, antara lain:

Page 38: 2009mza_ekowisata

21

1.4.1 Studi Pustaka atau Literatur

Studi pustaka adalah kegiatan mengumpulkan berbagai data penunjang

meliputi laporan studi dan penelitian, publikasi ilmiah, peraturan perundangan,

peta dan bentuk publikasi lainnya yang terkait dengan penelitian. Data yang

dikumpulkan terutama mengenai kondisi umum kawasan HLGL saat ini.

3.4.2 Pengamatan Lapangan

Pengamatan langsung di lapangan atau observasi merupakan metode

pengumpulan data pokok yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi

potensi wisata dilokasi penelitian. Unsur-unsur yang diamati antara lain

pengamatan terhadap flora dan fauna, gejala alam serta keunikannya dan

akomodasi, aksesibilitas, infrastruktur serta fasilitas, kearifan lokal, kegiatan

spiritual dan budaya serta adat istiadat dari masyarakat sekitar.

3.4.3 Wawancara

Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan kuesioner, dengan

sasaran masyarakat yang terdapat di kawasan HLGL. Wawancara merupakan

salah satu cara untuk mengumpulkan data pokok di lapangan, yang bertujuan

untuk memperoleh informasi yang lebih lanjut mengenai kawasan penelitian dan

kesiapan pengelola dan berbagai pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan

ekowisata di kawasan HLGL. Data sosial-ekonomi dan budaya masyarakat

setempat dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner. Kuesioner

berisi pertanyaan mengenai (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, asal

desa, karateristik, persepsi dan partisipasi. Selain itu, wawancara dan penyebaran

kuesioner juga diberikan kepada stakeholders yang terkait dengan kegiatan

penelitian ini.

1.5 Pengolahan Data

Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa dengan cara

menganalisis faktor internal (kekuatan, kelemahan), dan faktor eksternal (peluang,

ancaman) yang ada dengan menggunakan analisis SWOT. Selain itu analisis

tersebut juga digunakan untuk mengetahui peluang pengembangan ekowisata

Page 39: 2009mza_ekowisata

22

yang dapat digali di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser

Propinsi Kalimantan Timur.

3.6 Analisis Data

Metode analisis data adalah metode analisis deskriptif. Data yang

diperoleh dikumpulkan, diolah dengan cara tabulasi data dan kemudian dianalisis

sesuai dengan jenis data dan tujuan penelitian. Analisis data yang digunakan

adalah sebagai berikut:

3.6.1 Analisis potensi ODTWA sebagai pengembangan ekowisata

Analisis potensi pada kawasan HLGL Kabupaten Paser yang berhubungan

dengan sumberdaya alam hayati (flora dan fauna), keindahan alam, adat istiadat,

budaya, sarana dan prasarana penunjang. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui

potensi sumberdaya di HLGL Kabupaten Paser.

3.6.2 Analisis terhadap masyarakat dan permintaan wisata di kawasan HLGL

Analisis terhadap masyarakat ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan

masyarakat atas rencana pengelolaan dan permintaan wisata di kawasan HLGL

terhadap kegiatan pengembangan ekowisata dengan keadaan umum HLGL

Kabupaten Paser. Analisis ini meliputi: karakteristik persepsi, partisipasi,

motivasi dan saran serta harapan masyarakat setempat.

1.6.3 Analisis Strategi Pengembangan

Untuk merumuskan arahan strategi pengembangan ekowisata digunakan

pendekatan analisis SWOT. Menurut Rangkuti (2000), analisis SWOT adalah

identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

pengembangan ekowisata. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (strenghts) dan peluang (opportunities), namun secara

bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman

dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut

dapat diambil suatu keputusan strategi.

Page 40: 2009mza_ekowisata

23

Matriks SWOT yang akan digunakan untuk analisis ini, disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 Matriks SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)

Peluang (Opportunities) SO WO

Ancaman (Threats) ST WT

Dalam matriks analisis SWOT pada Tabel 2, akan dihasilkan 4 (empat) set

kemungkinan alternatif strategi untuk membuat rencana pengembangan ekowisata

kawasan HLGL. Keempat set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, adalah:

1. Strategi SO : strategi ini dibuat berdasarkan jalan pemikiran untuk

memanfaatkan seluruh kekuatan guna merebut dan

memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

2. Strategi ST : strategi di dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk

mengatasi ancaman yang mungkin timbul.

3. Strategi WO : strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang

ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

4. Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan

berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta

menghindari ancaman.

Analisis ini merupakan suatu strategi pengembangan ekowisata yang

sesuai dengan harapan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat lokal secara

berkelanjutan.

Formulasi strategi ini disusun berdasarkan analisis yang diperoleh dari

penerapan model SWOT dengan tahap-tahap yang dilakukan untuk menyusun

strategi sebagai berikut:

a. Penentuan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) di dalam

menyusun strategi pengembangan ekowisata

b. Penentuan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) di dalam menyusun

strategi pengembangan ekowisata

c. Perumusan alternatif strategi pengembangan ekowisata

Page 41: 2009mza_ekowisata

24

Tabel 3 Rangkuman Matriks Internal Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan Ekowisata

Faktor Internal Bobot Rating Skor Keterangan

1 2 3 4 5

1. Kekuatan

2. Kelemahan

Jumlah

Tabel 4 Rangkuman Matriks Eksternal Peluang dan Ancaman Pengembangan Ekowisata

Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Keterangan

1 2 3 4 5

1. Peluang

2. Ancaman

Jumlah

Untuk pengisian Tabel, baik tabel internal maupun tabel eksternal (Tabel 3

dan Tabel 4) dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Melakukan pengisian di dalam kolom 1 (berbagai peluang dan ancaman dan

kekuatan dan kelemahan).

2. Melakukan pembobotan pada kolom 2, dengan skala mulai dari angka 1,0

(paling penting) sampai 0,0 (tidak penting). Semua bobot jumlahnya tidak

boleh melebihi skor total 1,00.

3. Melakukan rating pada kolom 3, dengan skala mulai dari 4 (outstanding)

sampai dengan 1 (poor).

4. Pada kolom 4 akan diperoleh nilai tertimbang yang merupakan hasil perkalian

bobot dengan rating. Faktor tersebut merupakan penetapan skor (scooring)

untuk menjawab hasil bobot dikalikan dengan rating.

5. Memberikan komentar atau catatan pada kolom 5 mengenai alasan dipilihnya

faktor tersebut.

6. Melakukan penjumlahan nilai tertimbang yang ada di kolom 4, sehingga akan

diperoleh total nilai tertimbang. Nilai tertimbang ini akan menunjukkan

seberapa besarnya nilai eksternal dan internal dan nantinya nilai tersebut akan

digunakan dalam Matriks Grand Strategi (gambar 7). Matriks Grand

Page 42: 2009mza_ekowisata

25

Strategi di gunakan untuk menentukan apakah pihak yang berkepentingan

(pengelola) akan memanfaatkan posisi yang kuat atau mengatasi kendala yang

ada.

Sel 3 Sel 1

Sel 4 Sel 2

Gambar 7 Model Matriks Grand Strategi.

Keterangan :

Sel 1 = Mendukung strategi yang agresif, konsep strategi pada sel ini adalah

pengembangan ekowisata pada segmen tertentu secara intensif dan lebih

luas.

Sel 2 = Mendukung strategi diversifikasi seperti pengembangan berbagai paket

wisata dengan pola partisipasi.

Sel 3 = Mendukung strategi turn around dengan orientasi putar haluan. Salah

satu strategi yang diajukan adalah dengan membuka kerjasama dengan

seluruh stakeholder dan memberikan berbagai intensif.

Sel 4 = Mendukung strategi defensif, dengan meningkatkan pelayanan

pengunjung.

Berbagai Peluang

Kelemahan Internal

Kekuatan Internal

Berbagai Ancaman

Page 43: 2009mza_ekowisata

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) berada dalam Wilayah

Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur. Seacara geografis, kawasan ini

terletak diantara 1160 02’ 57’’-1160 50’ 41’’ Bujur Timur dan 010 13’ 08’’ dan 010

45’ 33’’ Lintang Selatan, dengan memiliki luas kawasan sebesar 35.350 ha.

Secara administratif pemerintahan, kawasan ini berada di Wilayah HLGL

mencakup kedalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Muara Komam,

Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Batu Sopang, dan Kecamatan Long Kali,

dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan

Timur (Simorangkir 2006).

Batas-batas wilayah kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)

menurut BPPS Kabupaten Paser 2007; Dinas Kehutanan Kalimantan Timur 2002.

Sebelah Utara : Desa Kepala Telake Kecamatan Long Kali

Sebelah Timur : Desa Muara Lambakan Kecamatan Long Kali, Desa

Belimbing dan Desa Tiwei, masuk Kecamatan Long

Ikis, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa

Pinang Jatus, masuk Kecamatan Batu Sopang

Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung yang

mencakup masuk pada Kecamatan Batu Sapong

Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa

Prayon, Desa Longsayo, dan Desa Swanslutung yang

meliputi wilayah Kecamatan Muara Komam.

Terdapat beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL,

seperti Desa Swanslutung, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, dan Desa Kasungai.

Desa Swanslutung terdapat satu dusun pemukiman penduduk di dalamnya, yaitu

Dusun Muluy memiliki wilayah yang berada di dalam kawasan HLGL.

Page 44: 2009mza_ekowisata

27

Gambar 8 Papan Pintu Masuk Kawasan HLGL.

4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan

lindung yang berada di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan

ini terletak diarah timur laut Tanah Grogot ibukota Kabupaten Paser yang berjarak

kurang lebih ± 84 km dari Penajam Paser Utara. Suatu kawasan hutan yang telah

didiami oleh masyarakat Paser dan masyarakat Dayak Paser secara turun temurun

dan mencapai 13 generasi. Dinamakan Gunung Lumut karena tumbuhan lumut

tersebar secara melimpah pada batang pepohonan maupun permukaan batu-batuan

yang ada di kawasan gunung tersebut. Secara tradisional wilayah Hutan Lindung

Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (hak

ulayat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dengan 1 dusun berada dalam

kawasan di tiga kecamatan. Batas antar hak ulayat di kawasan tersebut

menggunakan sarana-sarana alam yakni daerah aliran sungai atau perbukitan,

seperti sungai pias, sungai tiwei, sungai Muluy, dan kasunge (Saragih 2004, diacu

dalam Irma Nur Hayati 2006).

Dalam tahun 1970 hutan gunung lumut merupakan suatu areal konsesi

HPH oleh PT Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983 kawasan Hutan ini

ditetapkan sebagai hutan lindung, berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI

No. 24/Kpts/Um/1983. Tiga tahun setelah dikeluarkannya SK Menteri tersebut

Page 45: 2009mza_ekowisata

28

26 Januari-16 Maret 1986 dilakukannya penataan batas-batas wilayah kawasan

Hutan Lindung Gunung Lumut, dan dikukuhkan oleh menteri Kehutanan RI

tanggal 5 Januari 1987 dengan luas kawasan 35.350 Ha, berdasarkan UPTD

Planologi Kehutanan Balikpapan (Departemen Kehutanan Kalimantan Timur

1986 dan 2002. Hingga saat ini kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut berada

dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan

Timur (Surbakti 2006).

Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali

oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan

Kabupaten Paser yaitu pada tahun 1986, 1990 dan 2003, dengan panjang batas

yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575

meter.

Kawasan HLGL dewasa ini dipandang sebagai salah satu kawasan yang

mempunyai potensi wisata. Kondisi hutannya dipandang masih asli, dengan

ditemukannya pula berbagai macam flora dan fauna serta berbagai obyek wisata

lainnya seperti air terjun, sungai, dan pemandangan alam puncak Gunung Lumut

di kawasan ini ditemukan pula pemukiman tradisional suku muluy. Dengan

potensi wisata ini maka pihak dinas pariwisata Kabupaten Paser merencanakan

untuk mengelolahnya sebagai daerah tujuan wisata minat khusus ekowisata,

terutama untuk wisata penelitian (Dinas Pariwisata Kabupaten Paser 2008).

4.3 Bentuk Lahan dan Topografi

Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan daratan

berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam enam subsistem lahan, yaitu:

1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian

barat, mempunyai pola drainase trellis;

2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai

pola drainase dendritik;

3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu

sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis;

4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur,

terdapat di bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik;

Page 46: 2009mza_ekowisata

29

5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah

timur laut kebarat daya, mempunyai pola drainase karstik; dan

6. Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat dibagian utara,

mempunyai pola drainase rectangular.

Keadaan topografi kawasan tersebut bergelombang sedang sampai berat.

Sungai-sungai yang terdapat didaerah ini adalah sungai anjur, sungai kendilo,

sungai kasunge, sungai muluy, dan sungai prayan. Secara umum kawasan HLGL

memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8%) dan bergelombang

(8-15%), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 ha (45.18%) dan (19.69%) yaitu

dengan luas 1.160 ha. Ciri fisiknya berupa wilayah berbukit-bukit sampai

berlereng terjal dengan udara yang sangat sejuk. Wilayah HLGL memiliki

ketinggian tempat lebih dari 400 meter dari permukaan laut dengan memiliki

ketinggian puncak Gunung Lumut 1.233 m dpl dengan kemiringan 450 puncak

gunung lumut selalu diselimuti kabut dan suhu udara sangat dingin yang

menyebabkan kondisi kawasan HLGL selalu basah. Di puncak gunung lumut

terdapat hamparan batu-batuan yang membentuk relief yang menarik.

4.4 Geologi dan Tanah

Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur (1981), keadaan geologi

kawasan HLGL minimal tersusun dari tiga formasi buatan yakni Pemaluan Bed,

Palaogene dan Pulau Balang Bed (batuan paleogen, pra tersier, tak dibedakan dan

batuan basah). Berdasarkan Peta Repprot atau jenis tanah (1983) terdapat 2 jenis

tanah utama, yaitu Ultisol dan Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi

batuan sedimen yang mengandung mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur

tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase

menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari dua kelompok besar tanah

yaitu Tropudults dan Kandiudults (Pribadi et al. 2005).

Kondisi geologi tanah kawasan HLGL tersusun dari bahan batuan sedimen

miosen atas, miosen bawah dan aluvium undak terunbukural. Jenis tanah terdiri

dari tanah Komplek podsolik merah kuning, latosol dan litosol yang berasal dari

bahan induk batuan beku, endapan dan metamorf dengan fisiografi pengunungan

patahan.

Page 47: 2009mza_ekowisata

30

4.5 Iklim

Berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, kawasan HLGL memiliki tipe

iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika (nilai Q : 0,00)

(klasifikasi Schmidh dan Ferguson, 1951). Kawasan ini memiliki rata-rata curah

hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan

pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan

10,36 hari hujan dengan nilai: 0,33 (agak basah) dan 1,00 (agak kering).

Temperatur udara berkisar antara 240C-270C dan kelembaban 80%-90%. Musim

hujan terjadi pada bulan Oktober-April bersamaan dengan bertiupnya angin barat

laut, sedang musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September saat angin bertiup

dari arah timur.

4.6 Vegetasi

Keanekaragaman ekosistem di kawasan HLGL sangat tinggi dan keadaan

vegetasi hutannya masih baik dan relatif utuh. Kondisi umum vegetasi dikawasan

HLGL tergolong hutan hujan tropis yang didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan

dari suku Dipterocarpaceae, antara lain meranti merah (Shorea spp) keruing

(Dipteracarpus spp), bangkirai (Shorea laevis), meranti putih (Shorea spp), kapur

(Dryobalanops spp), ulin (Eusideroxylon zwagerii), sungkai (Peronema

canescens).

4.7 Hidrologi

Kondisi ekologi dan hidrologi kawasan HLGL pada umumnya masih

bagus dan fungsinya masih sangat signifikan sebagai hulu dari Sungai Kendilo di

Tanah Grogot dan Sungai Telake di Kecamatan Long Kali, yang terdapat di

Kabupaten Paser. Kedua DAS tersebut berperan sebagai sumber persediaan air

bagi 70 pemukiman di sekitarnya termasuk Tanah Grogot (Ibukota Kabupaten

Paser), Muara Komam, Long Ikis, Batu Sopang, dan Long Kali (Simorangkir

2006). Kawasan HLGL merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang mengalir

ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir, sehingga berperan sangat

penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan

tersebut. Beberapa sungai dan anak sungai yang terkait dengan kawasan HLGL

Page 48: 2009mza_ekowisata

31

adalah Sungai Kendilo dengan anak Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai

Telewong (panjang 3,5 km) Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya di

jumpai pula anak-anak sungai yang relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan

panjang bervariatif mulai dari 0,5 km-2,0 km diantaranya Sungai Semau, Sungai

Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut,

Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai

Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan dan sebagainya.

4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan

berbagai keanekaragaman jenis flora mulai dari tingkat pertumbuhan semai

sampai dengan pohon. Jenis Sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea

indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan

pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang

tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis

Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang

(Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada

antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya

juga termasuk sarang burung walet (Aipassa 2004).

Berdasarkan hasil kegiatan biodiversity Assessmen oleh TBI-Indonesia

(Simorangkir 2006) terdapat 23 jenis tumbuhan endemik, diantaranya Mangifera

panjang, Monocarpia kalimantanensis, Layung (Durio dulcis), Paken/Lei (Durio

kutejensis), Ngoi (Dryobalanops lanceolata), (Hopea rudiformis), Nansang puyan

(Macaranga pearsonii), dan Kputu (Artocarpus lanceifolius). Tumbuhan yang

dilindungi oleh masyarakat sekitar HLGL diantaranya Durian (Durio zibethinus),

Ulin (Euzideroxylon zwageri), Kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) dan

Mayas (Duabanga moluccana). Keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi.

Diantaranya terdapat berbagai jenis satwa liar yang hidup khususnya pada

komunitas hutan primer yang menjadi berbagai habitat satwa liar yang tergolong

pada kelompok mamalia adalah babi jenggot (Sus barbatus), kijang kuning

(Muntiacus atherodes), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk napu

(Tragulus napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra

Page 49: 2009mza_ekowisata

32

tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys cinerea),

tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus melanotis),

dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis) dan atau juga (babi,

kijang, musang, kukang, macan dahan, dan masih banyak lagi), Untuk jenis

mamalia primata diantaranya berbagai jenis satwa liar kelompok mamalia yang

ada, selain monyet hitam, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk

(Macaca nemestrina), lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah

(Presbytis rubicunda), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus),

dan dijumpai pula jenis primata yakni Owa/kelawot (Hylobates meulleri).

Owa/kelawot ditemukan pada beberapa habitat tertentu, khususnya

komunitas hutan primer. Jenis ini merupakan jenis yang peka terhadap ganggoan

berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan

indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut. Dari semua jenis

mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori

lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawot

(Hylobates muelleri).

Untuk kelompok burung aves, yaitu (Enggang, murai batu, kucica, ayam

hutan, dan lain-lain), dan reptilia (biawak, ular sawa, dan lain-lain), dalam

kawasan HLGL keanekaragamannya jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis

yang endemik di Pulau Kalimantan adalah bondol Kalimantan (Lonchura

fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), sikatan kalimantan

(Cyornis superbus), dan pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis-

jenis enggang seperti julang emas (Aceros comatus), Enggang Jambul (Aceros

Comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros

corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena

puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus),

tukik tikus (Sasia abnormis), sempur hujan sungai (Cymbirhynchus

macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus),

elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi), dan

lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang

terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cicin emas (Boiga dendrophilia) dan

katak tanduk (Megophrys nasuta) dan lain sebagainya.

Page 50: 2009mza_ekowisata

33

4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Ditinjau dari struktur masyarakat wilayah kawasan HLGL sebelum

ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh

masyarakat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi.

Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut

dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah

adat desa-desa sekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan di tiga

kecamatan. Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam

yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti sungai

Pias, Sungai Tiwei, Sungai Muluy, Sungai Kasunge (Saragih 2004). Pada

umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah,

terkecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang

bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan

Selatan. (Wahyuni, at al. 2004).

4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan

Penduduk yang bermukim di sekitar (daerah penyangga) kawasan dan di

dalam kawasan HLGL pada umumnya adalah suku Paser. Berdasarkan data

statistik Kabupaten Paser tahun 2006 jumlah penduduk yang mendiami daerah-

daerah kecamatan di sekitar kawasan HLGL, seperti tertera dalam Tabel 5.

Page 51: 2009mza_ekowisata

34

Tabel 5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

Kecamatan/desa luas

wilayah Penduduk Jumlah L P Kecamatan Long Kali 1. Muara Lambakan 343.36 209 199 408 2. Kepala Talake 362.53 128 113 241 3. Pinang Jatus 69.03 155 129 284 Kecamatan Long Ikis 1. Belimbing 85.62 329 294 623 2. Tiwei 227.47 214 192 406 Kecamatan Batu Sopang 1. Rantau Layung 189.13 123 102 225 2. Rantau Buta 165.46 56 51 107 3. Kasungai 72.06 263 239 502 4. Busui 333.67 546 482 1,028 Kecamatan Muara Komam 1. Batu Butok 81.30 794 700 1,494 2. Uko 44.91 94 76 170 3. Muara Kuaro 20.36 232 205 437 4. Prayon 83.66 34 25 59 5. Long Sayo 233.76 78 81 159 6. Swanslutung 495.78 412 316 728

Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

Desa-desa yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan

HLGL adalah Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung, Kasungai. Kepadatan

populasi penduduk desa-desa tersebut relatif rendah. Hal ini terlihat dari luas

wilayah desa serta jumlah penduduknya, seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

No. Nama Desa Luas Wilayah

(km2) Jumlah Penduduk Ruang gerak person

(person/km2) 1. 2. 3. 4.

Swanslutung Tiwei Rantau Layung Kasungai

495.78 227.47 189.13 72.06

728 406 225 502

68.1016 56.0270 84.0577 14.3545

Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat setempat

Masyarakat yang bermukim dan menetap di sekitar kawasan HLGL

umumnya memiliki sumber hidup dari bertani secara tradisional. Pola bertani

yang dianut adalah pertanian lahan kering yang bersifat musiman dan bergantung

pada musim hujan. Lahan pertanian diperoleh dengan cara merambah hutan dan

Page 52: 2009mza_ekowisata

35

digunakan secara turun temurun (bersifat tetap). Setiap rumah tangga memiliki

lahan pertanian dengan luas antara 1-2 hektar.

Selain mempunyai sumber hidup dari bertani lahan kering, mereka juga

memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai hasil hutan disekitarnya.

Misalnya, dengan menjual buah-buahan durian hutan, madu, rotan, menjual

daging hasil berburuh hewan hutan (daging kijang) dan mendulang emas pada

sungai-sungai yang ada di sekitarnya.

Sebagian kecil masyarakat menggeluti pekerjaan lain seperti pegawai

negri sipil, karyawan perusahaan, pedagang, buruh, tukang ojek sepeda motor,

pengelolah rumah makan dan pengrajin souvenir. Secara umum, rata-rata

pendapatan per kapita masyarakat setempat 750 ribu rupiah/bulan.

Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai

sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian,

perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan

protein hewani bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga

sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air

bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake.

Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi

hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan, baik itu dari wilayah hutan

lindung (HL) maupun dari hutan di sekitar HA (Hutan adat). Obat-obatan dan

upacara adat, masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan HLGL memiliki

ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal

dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan protein hewani

dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut

merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah

tangga yang berdiam di kawasan tersebut.

1.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat

Secara garis besar penduduk di sekitar kawasan HLGL berpendidikan

rendah dan bahkan masih banyak yang buta huruf. Data profil pendidikan

masyarakat yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah terhadap masyarakat

dari kecamatan-kecamatan yang mendiami wilayah-wilayah di sekitar kawasan

HLGL. Data-data tersebut diolah dan terangkum dalam Tabel 7.

Page 53: 2009mza_ekowisata

36

Tabel 7 Jumlah anak usia sekolah di kecamatan-kecamatan yang ada di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut tahun 2006

Kecamatan jumlah anak

SD Jumlah anak usia SLTP

(13 - 15 thn) Jumlah anak usia SLTA

(15 - 19 thn)

(7 - 12 thn) sekolah tidak

sekolah total sekolah tidak

sekolah Total Kecamatan Muara Komam 1470 176 100 555 0 1045 1045 Kecamatan Long Ikis 4918 1345 324 1.802 784 2441 3225 Kecamatan Batu Sopang 2267 470 125 695 229 867 1096 Kecamatan Long Kali 3269 700 181 1.001 268 2134 2402 Total 11924 2691 730 4053 1281 6487 7768 % 81,98 18,01 16,49 83,51

Sumber : Kabupaten Paser Dalam Angka, 2007, (data diolah)

Berdasarkan Tabel 7, tampak bahwa untuk anak usia SLTP dari total 4053

anak terdapat 18,01% anak tidak sekolah. Sedangkan untuk anak usia SLTA, dari

total 7768 anak terdapat 83,51% anak tidak sekolah. Dari data ini, tampak bahwa

partisipasi sekolah untuk anak usia SLTA sangat rendah. Khusus untuk

Kecamatan Muara Komam, dari 1045 anak usia SLTA tidak ada satu orang pun

yang sedang mengikuti pendidikan di tingkat SLTA.

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, anak-anak usia SLTP

lebih dominan menyelesaikan pendidikannya sampai di tingkat SLTP, bahkan

tidak menamatkan jenjang pendidikan tersebut. Mereka lebih memilih

meninggalkan bangku pendidikan dan menggeluti dunia kerja sebagai buruh dan

petani. Hal ini terjadi karena, pertama sarana pendidikan (sekolah) yang masih

kurang (Tabel 8). Kedua, jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi sekolah

relatif jauh, bahkan ada yang harus menyeberangi sungai. Sedangkan untuk jarak

tempuh dengan menggunakan sarana angkutan darat, hal ini terbentur dengan

tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai. Ketiga, anak-anak cenderung

dilibatkan secara aktif untuk mencari nafkah keluarga (bertani).

Tabel 8 Jumlah sekolah pada tiga kecamatan di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

No Kecamatan Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SLTA 1 2 3 4

Kecamatan Muara Komam Kecamatan Long Ikis Kecamatan Batu Sopang Kecamatan Long Kali

17 40 13 31

1 4 1 2

0 1 1 1

Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

Page 54: 2009mza_ekowisata

37

Fokus perhatian kajian untuk kondisi pendidikan masyarakat sekitar

kawasan HLGL lebih diarahkan terhadap anak-anak usia SLTP dan SLTA. Hal

ini didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak pada rentang usia tersebut

merupakan kelompok masyarakat potensial untuk berpartisipasi dalam dinamika

dan kebijakan pembangunan daerah.

4.9.4 Suku, Agama dan Potensi Seni Budaya Masyarakat

Masyarakat Kabupaten Paser pada umumnya yang mendiami daerah-

daerah di sekitar kawasan HLGL khususnya, dikenal memiliki berbagai aneka

potensi seni budaya etnik. Potensi seni budaya itu berupa tari-tarian daerah,

nyanyian, alat musik khas daerah, serta berbagai upacara ritual adat khas. Tarian

daerah terdiri dari Tari Ronggeng Paser, Tari Rembara, Tari Jepen Muslim, Tari

Jepen Daya Taka atau Gintur (Gantar), Tari Singkir, Tari Nuyo, dan Tari Belian.

Alat musik khas berupa alat musik Tari Belian, petikan gambus Muara Adang.

Sedangkan lagu-lagu daerah berupa lagu-lagu yang dilanturkan untuk mengiringi

tari-tarian.

Selain memiliki potensi seni tarian dan musik etnik, masyarakat setempat

juga memiliki berbagai upacara adat. Jenis upacara itu adalah Kedari yang

dilaksanakan ketika ada orang yang dituakan di kampung tersebut meninggal

dunia, serta upacara Belian (untuk menyambut tahun pertanian serta syukuran

seusai panen).

Suku-suku etnik yang ada adalah Suku Paser dan Suku Dayak Paser.

Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGL berasal dari suku

Paser. Suku ini merupakan bagian dari suku Dayak, hal ini terlihat pada kemiripan

bahasa maupun adat istiadat, namun suku Paser sendiri enggan disebut sebagai

suku Dayak karena pada umumnya mereka memeluk Agama Islam. Kehidupan

sehari-hari Suku Paser berbeda dengan kebiasaan Suku Dayak dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Misalnya, Suku Paser tidak memakan daging babi karena

tidak diperbolehkan dalam ajaran agama yang mereka percayai. Masyarakat Paser

juga memiliki kepercayaan terhadap nenek moyang dan roh penjaga alam.

Misalnya, dalam kegiatan berladang, pembuatan turbin, pengobatan dan hajat

selalu diadakan upacara adat untuk menghormati penjaga alam. Dalam upacara

adat ini terlihat pengaruh agama Islam yaitu dengan adanya pembacaan doa dan

Page 55: 2009mza_ekowisata

38

shalawat. Sebagai salah satu upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat

Paser adalah upacara Belian. Upacara tradisional ini dilakukan secara turun-

menurun oleh masyarakat dan biasa digunakan oleh masyarakat Paser untuk

pengobatan atau untuk membayar hajat.

Mayoritas masyarakat Paser berasal dari Suku Paser dan menganut agama

Islam. Kehidupan masyarakat setempat sangat dipedomani oleh hukum adat,

yang mengatur mengenai prilaku hidup keseharian (misalnya perkawinan,

kematian) dan berbagai upacara ritual lainnya. Khusus di Desa Rantau Layung,

berlaku hukum adat yang mencantumkan larangan bagi masyarakat untuk

menebang dan mengambil pohon buah seperti durian, lahung, rambutan, serta

mengambil madu dari pohon Bangris (Compassia sp.) yang dikenal sebagai

habitat Lebah madu (Sabara 2006).

Potensi seni lainnya yang memiliki daya tarik wisata adalah ukir-ukiran

dan berbagai kerajinan tangan lainnya. Jenis-jenis ukiran dan kerajinan tangan

masyarakat setempat seperti mandau, lanjung, dulang mas, cicin, gelang-gelang,

keranjang dan berbagai wadah menyimpan barang berbahan baku rotan.

Page 56: 2009mza_ekowisata

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Potensi Penawaran Wisata

5.1.1 Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA)

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai potensi sumber daya

alam yang tinggi dan budayanya untuk pengembangan ekowisata. Potensi

penawaran ekowisata HLGL yaitu obyek wisata yang memiliki daya tarik dan

keunikannya, seperti potensi biofisik dan potensi budaya. Keindahan panorama

alam, keanekaragaman flora, fauna dan ekosistem yang beragam serta tantangan

medan yang kerap manjadi daya tarik tersendiri, juga keragaman budaya

masyarakat sekitar kawasan adalah aset potensial bagi kawasan HLGL untuk

pengembangan ekowisata. Penawaran ekowisata merupakan suatu bentuk ekologi

dan estetika alami dengan berbagai bentuk ekosistem yang dimiliki oleh suatu

kawasan HLGL. Potensi ini menjadi obyek wisata yang ditawarkan kepada

masyarakat umum (Tropenbos International Indonesia 2006).

Pengamatan lapangan menunjukan bahwa bentuk estetika lanskap tersebut

terdapat di kawasan HLGL. Ekosistem hutan hujan tropis dengan

keanekaragaman dan keunikan hayatinya menjadi faktor lanskap utama. Pohon-

pohon yang berdiri tegak dengan dedaunan yang rindang disertai dengan

tumbuhan lumut di seluruh tubuh pepohonan maupun di permukaan batu-batuan,

pesona angrek hitam hutan, keanekaragaman flora dan fauna, sungai dan air terjun

yang ada di sekitarnya, komunitas suku etnik Paser dengan berbagai legenda

budaya yang menyertainya merupakan daya tarik tersendiri untuk dikemas dan

ditawarkan pada masyarakat umum.

Secara letak geografis kawasan HLGL di apit oleh wilayah pemukiman

penduduk dari berbagai kecamatan dan desa, baik dari sebelah utara, sebelah

timur, sebelah selatan, dan sebelah barat. Letak yang demikian memungkinkan

kawasan HLGL menjadi tempat jalur lalulintas hubungan antar masyarakat dari

berbagai daerah tersebut. Kawasan HLGL dapat ditempuh dengan melalui empat

pintu masuk yaitu Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung dan Kasungai. Untuk

masuk pintu Desa Swanslutung memiliki akses menuju puncak Gunung Lumut,

Page 57: 2009mza_ekowisata

40

sedangkan pintu masuk tiga desa lainnya yaitu merupakan lokasi wisata alam,

berupa air terjun, sungai, goa dan budaya masyarakat sekitar kawasan HLGL.

5.1.1.1 Pintu Masuk Swanslutung

Pintu masuk Swanslutung melalui Dusun Muluy yang masuk dalam Desa

Swanslutung, Kecamatan Muara Komam yang dapat ditempuh melalui jalan darat

dan laut dari Balikpapan, Tanah Grogot, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan);

dengan jenis kendaraan yang dapat digunakan yaitu kendaraan pribadi roda dua

(motor) dan roda empat (mobil). Aksesibilitas menuju pintu masuk Swanslutung

cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah berbatu. Pintu masuk

Swanslutung yang memiliki akses terdekat dengan Bandara Udara Sepinggan di

Balikpapan.

Swanslutung dapat ditempuh dengan kendaraan umum dari Balikpapan

menuju pelabuhan Kariangau, pintu masuk ini melalui jalur Balikpapan-

Kariangau-Penajam Paser Utara-Simpang Lombok dengan jarak tempuh ± 122 km

atau ± 6 jam perjalanan. Setelah Simpang Lombok, untuk menuju ke Desa

Swanslutung Dusun Muluy berjarak ± 58 km dari Simpang Lombok dengan

waktu tempuh ± 1 jam perjalanan yang memiliki akses untuk menuju puncak

Gunung Lumut dengan menggunakan kendaraan pribadi, ojek dan atau ikut

numpang mobil RKR (PT. Rizky Kacida Reana) yang terkadang lewat, apabila

menggunakan kendaraan pribadi melalui jalur yang sama Desa Swanslutung

Dusun Muluy dengan jarak tempuh ± 180 km, maka memerlukan waktu ± 6 jam

perjalanan. Swanslutung juga dapat dilalui untuk menuju Tanah Grogot maupun

Banjarmasin (Kalimantan Selatan).

Tanah Grogot-Kuaro-Simpang Lombok-Swanslutung dusun Muluy jalur

yang ditempuh adalah (± 123 km, ± 5 jam) sedangkan Banjarmasin-Muara

Komam-Batu Sopang-Kuaro-Simpang Lombok-Swanslutung dusun Muluy jalur

yang ditempuh adalah (± 325 km, ± 8 jam). Fasilitas yang tersedia di lokasi ini

belum ada, terkecuali jalan perusahaan PT. RKR yang menghubungkan Simpang

Lombok dengan Desa Swanslutung Dusun Muluy dan satu buah rumah penduduk

yang biasa disewakan apabila ada tamu yang berkunjung serta papan interpretasi

masih sangat minimal untuk menuju kawasan yaitu hanya papan petunjuk masuk

ke kawasan Desa Swanslutung Dusun Muluy dan batas antara HLGL dengan

Page 58: 2009mza_ekowisata

41

kawasan yang ada di sekitarnya. Perjalanan dari Simpang Lombok menuju Desa

Swanslutung Dusun Muluy akan disuguhi pemandangan hamparan perkebunan

kelapa sawit seluas ± 2.500 ha milik PTPN XIII yang telah ada sejak 1980-an,

pertambangan batu bara PT. Kideco, serta gugusan pegunungan di sepanjang jalan

menuju kawasan HLGL.

Kawasan HLGL memiliki kondisi jalan pengerasan, tanah berbatu menuju

lokasi mempunyai tantangan tersendiri bagi pengunjung yang menyenangi

tantangan. Untuk menuju puncak gunung lumut dari Dusun Muluy sepanjang

jalur tersebut, pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata alam di

antaranya sebagai berikut:

a. Air Terjun Une

Sumber daya alam pendukung di dalam kawasan HLGL adalah air terjun

Une. Masyarakat Desa Swanslutung khususnya Dusun Muluy sudah

menggunakan air terjun Une sebagai alat untuk pembangkit listrik mereka dari

Turbin. Air terjun ini letaknya di kaki gunung lumut, memiliki suasana yang

alami dengan bentang alam yang unik, ketinggiannya yang mencapai ± 5 meter

dan airnya tidak langsung terjun melainkan menempel di permukaan batu, karena

jatuh sambil menempel ini akan membentuk ukiran-ukiran pada permukaan batu

yang dilalui dan cukup menarik untuk dilihat (Gambar 9).

Gambar 9 Air Terjun Une berada di kaki Gunung Lumut.

Page 59: 2009mza_ekowisata

42

a. Sungai Anjur

Sungai Anjur terdapat di depan Gunung Lumut, yang mengalir melintasi

jalan menuju ke kawasan Gunung Lumut dan dikelilingi lingkungan hutan yang

masih alami, maka pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan

primer pegunungan disekitar sungai tersebut. Sungai ini memiliki luas ± 5 m

dengan debit air sedang berarus tenang.

c. Pemandangan Lepas

Pemandangan alam lepas puncak Gunung Lumut, memperlihatkan suatu

keindahan bentang alam, yang memiliki daya tarik wisata alam pegunungan

dengan kondisi hutan yang masih alami dan lebat tidak saja menyebabkan kondisi

udara yang sejuk, akan tetapi berpotensi juga sebagai arena petualangan yang

terlihat seperti pada (Gambar 10).

Gambar 10 (a dan b) Pemandangan Puncak Gunung Lumut.

a. Puncak Gunung Lumut

Gunung Lumut berada dalam kawasan HLGL. Untuk mencapai Gunung

Lumut, pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan primer.

Dalam perjalanan dari Sungai Anjur menuju puncak Gunung Lumut, pengunjung

akan menjumpai banyak hal seperti atraksi satwa liar berupa perjumpaan secara

langsung maupun tidak langsung (jejak, suara, bekas cakaran, sisa makanan dan

feses). Satwa liar yang dapat dijumpai diantaranya Owa kelawot, Babi hutan,

Kijang (Payau), sarang Landak, Bajing ekor tegak, Beruang madu dan burung

Enggang serta kupu-kupu. Sedangkan keanekaragaman tumbuhan yang terdapat

di Gunung Lumut, Puak Empulu/Engkuning (Baccaurea tetandra Merr.), Mnspon

A B

Page 60: 2009mza_ekowisata

43

(Lithocarpus gracilis (Korth.) Soepadmo), dan Bnsiang (Ziziphus angustifolius

(Miq.) Hatusima ex Steenis), juga tumbuhan hias jamur dan anggrek yang dapat

dinikmati (Nurbandiah 2008). View yang ditawarkan sejauh mata memandang

berupa gugusan pegunungan disertai atraksi satwa liar dan hembusan angin yang

sejuk, serta suasana tenang.

Kekhasan kawasan HLGL paling utama yang dimiliki adalah tumbuhan

lumut yang tumbuh dengan subur dan lebat memenuhi pepohonan dan permukaan

bebatuan yang sangat indah terdapat di puncak Gunung Lumut pengunjung dapat

merasakan sejuknya hawa pegunungan dan hamparan pohon berdiameter kecil

± 15 m yang didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae

berdiameter ± 50-150 cm dapat dinikmati mulai dari ketinggian ± 400-1100 mdpl,

dimana pengunjung akan menemui pohon-pohon yang beragam ukuran dan

jenisnya diseluruh tubuh pohon yang diselimuti lumut yang tebal. Suasana

lembab dan minimnya intensitas cahaya matahari yang menembus lantai hutan

serta hembusan angin kencang, semakin menambah kesan angker dan mistisnya

Gunung Lumut. Tebal lumut yang mencapai ± 10-35 cm menyebabkan pohon

berlumut mampu menyimpan air hujan, menghasilkan oksigen dalam jumlah yang

banyak dan menambah kelembaban hutan puncak Gunung Lumut. Konon,

dijumpai udang dan kepiting di dalam lumut.

Perjalanan menuju Pundan Tengaran yang terletak pada ketinggian

± 1.100 mdpl. Semakin menuju Pundan Tengaran, semakin terasa hembusan

angin yang semakin kencang dan dingin, disertai langit mendung seakan hendak

hujan. Cuaca selama pendakian Gunung Lumut, konon menurut masyarakat

susah ditebak. Setiap pendaki disuguhkan pada cuaca Gunung Lumut yang

berbeda-beda selama pendakian, tergantung pada Sang Pengoasa Gunung Lumut

yang disebut “Kepala Adat”. Jika “Kepala Adat” mengijinkan maka cuaca berarti

baik.

Pemandangan yang dapat dinikmati di puncak Gunung Lumut berupa

hamparan hutan dengan pepohonan yang tertutup lumut tebal, dan dipenuhi oleh

vegetasi yang lebat dan beranekaragam jenis tumbuh-tumbuhan dengan gugusan

pegunungan yang tersusun rapi dan bernilai estetik. Serta adanya tanda titik

puncak yang disemen. Konon, tanda titik puncak disemen karena di dalamnya

Page 61: 2009mza_ekowisata

44

terdapat harta karun Dayak Paser yang telah ada sejak jaman nenek moyang.

Belum ada fasilitas apapun yang ada di lokasi ini, selain jalan setapak. Puncak

Gunung Lumut berada pada ketinggian ± 1.233 mdpl, perjalanan dari Sungai

Anjur-puncak Gunung Lumut yang dapat ditempuh selama ± 11 jam perjalanan

pergi-pulang, dapat dilihat pada (Gambar 11).

Gambar 11 Pohon Puncak Gunung Lumut, (a,b) Batang yang telah diselimuti oleh lumut; (c) Dahan dan ranting pohon yang telah diselimuti oleh lumut (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).

5.1.1.2 Pintu Masuk Tiwei

Pintu masuk Tiwei terletak di Desa Tiwei, Kecamatan Long Ikis yang

dapat ditempuh melalui jalan darat dan laut dari Balikpapan dan Tanah Grogot

menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau roda empat. Aksesibilitas menuju

pintu masuk Tiwei cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah

A

C

B

Page 62: 2009mza_ekowisata

45

berbatu. Apabila ditempuh dari Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan

menggunakan jalur Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Long Ikis-Desa

Tiwei (± 108 km, ± 4 jam). Dari Tanah Grogot melalui jalur Tanah Grogot-Long

Ikis-Desa Tiwei (± 40 km, ± 2 jam). Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan

yang mudah keluar-masuk dari pintu masuk Tiwei, pasar, warung

makanan/minuman, penjaja kerajinan tangan khas atau suvenir, jasa penyewaan

rumah warga bagi tamu yang berkunjung, sepanjang jalur Tiwei pengunjung akan

menikmati objek wisata alam yaitu:

a. Air Terjun Tiwei

Letaknya di Desa Tiwei, ± 3 km dan ± 1 jam perjalanan dari pusat desa

merupakan obyek wisata yang favorit untuk berlibur, sambil menikmati pesona

alam yang indah dan hawa yang sejuk. Di tempat ini tersedia warung makan

untuk pengunjung, gazebo, serta tempat parkir. Masyarakat di sekitarnya

memanfaatkan kawasan sebagai tempat mencari kayu bakar, tumbuhan obat dan

tumbuhan hias.

Gambar 12 Air Terjun Tiwei

5.1.1.3 Pintu Masuk Rantau Layung

Pintu masuk Rantau Layung melalui Rantau Buta yang dapat ditempuh

melalui jalan sungai berjarak ± 6 km selama ± 3 jam perjalanan yang terletak di

Kecamatan Batu Sopang merupakan pintu masuk yang dapat dijadikan pilihan

yang tepat untuk memasuki Rantau Layung. Jalur Rantau Layung memiliki

Page 63: 2009mza_ekowisata

46

nuansa petualangan di alam yang menantang, khas dan unik. Suasana alam

sepanjang perjalanan sangat eksotik, berbagai atraksi satwaliar yang semakin

menambah suasana pedalaman dengan nuansa petualangan yang menantang dan

didominansi pohon Bangris (pohon penghasil madu alam) yang unik dan vegetasi

Dipterocararpaceae yang menarik.

Rantau Layung dapat ditempuh dengan melalui 3 jalur alternatif, yaitu dari

Balikpapan, Tanah Grogot dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan

menggunakan kendaraan pribadi roda dua dan roda empat. Rantau Layung bila

ditempuh dari Bandara Sepinggan di Balikpapan melalui jalur Balikpapan-

Kariangau-Penajam Paser Utara-Kuaro-Rantau Buta-Rantau Layung (± 264 km,

± 8 jam). Tanah Grogot-Rantau Buta-Rantau Layung (± 67 km, ± 4 jam).

Banjarmasin (Kalimantan Selatan) melalui jalur Banjarmasin-Muara Komam-

Batu Sopang-Rantau Buta-Rantau Layung (± 242 km, ± 7 jam).

Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang mudah keluar-masuk

dari pintu masuk Rantau Layung yang ada berupa 6 unit perahu mesin (Long

Boad) milik warga untuk disewakan dari Rantau Buta-Rantau Layung atau

sebaliknya, serta satu buah rumah penduduk yang biasa disewakan apabila ada

tamu yang berkunjung. Sepanjang jalur Rantau Layung, pengunjung akan

menjumpai beberapa objek wisata alam di antaranya sebagai berikut:

a. Air Terjun Nango

Air Terjun Nango merupakan Objek wisata alam yang unik dan menarik

juga memiliki kombinasi. obyek daya tarik ini merupakan wisata yang sangat

indah dengan arus yang cukup deras dan terdapat kolam di bawahnya yang

memiliki keeksotisan dapat dipadukan dengan muara di atasnya yang juga

memiliki hulu di dalam goa, dengan ke dalaman ± 1,5 m serta dihiasi bebatuan

yang berundak-undak dan ditutupi oleh lumut besar dan unik. Perjalanan menuju

lokasi akan dijumpai ladang masyarakat, vegetasi hutan sekunder dan primer yang

didominasi oleh tanaman Biwan, pohon Bangris tua (penghasil madu alam) yang

merupakan pengalaman wisata alam yang sayang apabila terlewatkan. Air Terjun

ini merupakan hilir dari Muara Nango, untuk mencapai muara sungai Nango

pengunjung harus menaiki air terjun Nango dengan memanjat akar di samping air

terjun untuk mencapai di atas Muara dan Goa Nango.

Page 64: 2009mza_ekowisata

47

b. Muara Nango

Muara Nango bercabang 2 (sepanjang ± 325 m) dengan mendekati hulu,

aliran sungai semakin menyatu (sejauh ± 165 m ) dan berakhir di dalam liang atau

goa. Muara Nango nampak bahwa air sungai keluar melalui sungai bawah tanah

yang hulunya berada di dalam goa dengan jalan menanjak dan berbatu.

Pemandangan yang dapat dinikmati berupa kelokan Muara Nango yang sangat

indah seperti tempat pemandian bidadari, dengan air yang jernih serta banyaknya

kubangan air mengalir. Sesampainya di hulu Sungai Nango, dapat dijumpai goa

yang dinamakan Liang Sungai Nango dengan ketinggian ± 120 mdpl dengan

kelerengan sangat curam (800). Goa ini berjarak ± 500 m dari air terjun Nango

dan dapat ditempuh ± 1 jam perjalanan. Kekhasan Muara Sungai Nango terletak

pada bebatuan yang berwarna abu-abu dan bertingkat-tingkat sehingga

memberikan keunikan dan terlihat artistik, perjalanan menuju lokasi relatif lebih

aman dan mudah melalui jalur Sungai Prayamliu yang dapat ditempuh dengan

berjalan kaki sejauh ± 5 km dengan waktu ± 3 jam perjalanan.

Perjalanan melalui jalur darat relatif sulit karena harus melewati hutan

dengan medan berat dan topografi bebatuan. Pada saat berjalan melewati Muara

Sungai Nango, pengunjung akan melihat jernihnya air yang mengalir dan pohon-

pohon seperti Biwan (Endertia spectabilis Steenis & de Wit), Bkokal bawo

(Saraca declinata (Jack) Miq), Jelutung (Alstonia angustiloba Miq.),

Mangkolabo, Entab, dan Engkeliang berdiri tegak dan tumbuh diantara bebatuan

dengan diameter sekitar 60-70 cm. Pengunjung juga dapat mendengar suara

kicauan burung yang menambah keindahan alam di Muara Sungai Nango.

c. Liang Nango

Pemberian nama Liang Muara Sungai Nango karena liang tersebut berada

di dalam kawasan Muara Sungai Nango. Untuk dapat masuk ke liang, harus

memanjat mulut liang setinggi ± 1,5 meter. Terdapat dua lorong di dalam liang

yaitu lorong pertama berbentuk vertikal dan lorong kedua berbentuk horizontal.

Lorong pertama tidak dapat dilalui karena lorong vertikal dengan kemiringan 900

dan kondisi tanah liat yang remah. Lorong kedua memiliki panjang ± 20 m dari

mulut liang, berupa lorong sempit berdiameter ± 1 m, dengan tanah liat yang telah

mengalami patahan selebar ± 10 cm dan dalam ± 40 cm. Lorong hanya bisa

Page 65: 2009mza_ekowisata

48

dilewati oleh satu per satu orang, dengan posisi jalan miring. Fauna yang

ditemukan di dalam liang goa yaitu Laba-laba dan Lenawai kecil, serta

pemandangan sungai Nango yang menarik, serta kicauan burung Enggang dan

burung-burung kecil lainnya semakin menambah mantapnya berpetualang di alam

bebas.

Gambar 13 Air Terjun, Muara dan Liang Sungai Nango: (a) Hulu Muara sungai nango, (b) Tengah Muara Sungai Nango, (c) Hilir Muara Sungai Nango/Puncak Air Terjun Sungai Nango, (d) Ornamen Liang berupa stalagtit/Mulut Lorong Liang yang sempit, (e dan f) Air Terjun Sungai Nango (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).

A B

C D

E F

Page 66: 2009mza_ekowisata

49

5.1.1.4 Pintu Masuk Kasungai

Pintu masuk Kasungai terletak di Desa Kasungai, Kecamatan Batu Sopang

yang dapat ditempuh melalui jalan darat dan sungai dari Balikpapan, Tanah

Grogot dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan menggunakan kendaraan

pribadi roda dua atau roda empat. Aksesibilitas menuju pintu masuk Kasungai

cukup mudah dengan kombinasi jalan aspal dan tanah berbatu. Kasungai bila

ditempuh dari Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan menggunakan jalur

Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Batu Sopang-Desa Kasungai (± 257

km, ± 6 jam). Tanah Grogot melalui jalur Tanah Grogot-Batu Kajang-Desa

Kasungai (± 47 km, ± 2 jam). Banjarmasin (Kalimantan Selatan) melalui jalur

Banjarmasin-Muara Komam-Batu Sopang-Desa Kasungai (± 224 km, ± 6 jam).

Fasilitas yang disediakan berupa akses jalan yang mudah keluar-masuk

dari pintu masuk Kasungai, warung makanan atau minuman, jasa penyewaan

rumah warga bagi tamu yang berkunjung, serta adanya fasilitas listrik PLN juga

lokasi yang dekat dengan pemancar signal hp, sehingga memudahkan komunikasi.

Sepanjang jalur Kasungai pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata

alam di antaranya:

a. Goa Tengkorak

Desa Kasungai memiliki Goa Tengkorak yang merupakan tempat

mengubur orang-orang penganut kepercayaan animisme sebelum masuknya

pengaruh Agama Hindu dan Agama Islam di Kerajaan Paser, dengan jumlah

tengkorak dalam goa ini berjumlah ± 35 buah, kondisi tengkorak yang beberapa

sudah rusak dan tidak utuh lagi. Goa Tengkorak berbentuk cekungan, yang

terletak di punggung bukit tebing batu dengan ketinggian ± 20 meter, dengan

harus menaiki tangga kayu terlebih dahulu untuk mencapai goanya. Tengkorak

manusia ini di dalamnya yang berasal dari zaman Kahariangan dan juga

merupakan situs peninggalan sejarah nenek moyang, yang memiliki serambi goa

yang dihiasi stalagtit dan stalagmit yang indah.

Pemandangan yang dapat dinikmati dari Goa tengkorak adalah keindahan

Gunung Loyang, Sungai Kesungai dan Sungai Semao. Selain itu juga dapat

mendengar kicauan burung Gagak, Enggang, Elang dan burung-burung lainnya

dan nuansa hutan sekunder pegunungan. Goa ini berjarak ± 700 meter dengan

Page 67: 2009mza_ekowisata

50

waktu tempuh ± 30 menit. Untuk menuju lokasi dengan melewati dua jembatan

dan dua sungai yaitu Sungai Semao dan Sungai Kesungai, pengunjung akan

melihat kuburan masyarakat Kasungai yang sudah menganut ajaran Agama Islam.

Goa Tengkorak ini berada di sekitar kawasan HLGL dan sudah dikelola oleh

Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Paser. Kondisi sekitar wilayah

kawasan Goa Tengkorak cukup baik walaupun masih memerlukan perawatan dan

pengawasan secara lebih kontinyu untuk memberikan kenyamanan kepada

pengunjung.

Gambar 14 Goa Tengkorak: (a) View yang dapat dinikmati dari tangga Goa Tengkorak, (b) Tangga menuju Goa Tengkorak (c) Tengkorak kepala dan tulang belulang di dalam goa.

b. Goa Loyang

Goa Loyang mempunyai keindahan yang telah terlihat dari kejauhan

dengan batu yang besar dengan pepohonan yang rindang, Goa Loyang tersebut

merupakan hasil temuan masyarakat Desa Kasungai yang bernama Lojang.

Keunikannya adalah ruangan pertama dari mulut goa berukuran besar dan

menyerupai loyang terbalik. Untuk menuju goa harus menaiki tangga menuju

mulut goa yang besar. Saat berada di dalam goa pengunjung dapat melihat

ruangan yang besar seperti loyang yang terbalik. Ada dua jalur untuk berjalan-

jalan dengan beberapa pintu keluar, dengan menjelajahi goa yaitu jalur pertama

menuju puncak gunung setinggi ± 110 mdpl dan jalur kedua yang merupakan

kombinasi jalan hutan dan jalan dalam goa.

Sejauh mata memandang, jalur pertama menyuguhkan pemandangan alam

yang sangat luar biasa, seluruh wilayah Kecamatan Batu Sopang, komplek

A B C

Page 68: 2009mza_ekowisata

51

pertambangan batu bara PT. Kideco dan sekitarnya dapat terlihat, beserta seluruh

gugusan pegunungan yang eksotis. Sedangkan jalur kedua menyajikan

penelusuran goa yang menantang dan unik. Liang tanduk dan liang serawu

merupakan dua ruangan utama dalam goa. Fauna yang terdapat di dalam goa

yaitu kelelawar, walet dan laba-laba. Sedangkan fauna yang dijumpai di sekitar

goa antara lain burung Punai tanah, Terantang, Pipit, Teruak Gonggong,

Engkutong, Enggang, Gagak dan Bubut. Goa ini berjarak ± 400 m dengan waktu

tempuh ± 20 menit dari Desa Kasungai. Fasilitas yang tersedia antara lain akses

menuju goa yang sudah diaspal dan dalam keadaan baik, loket karcis, tempat

pertunjukan, kantin, gazebo dan tempat parkir. Goa Loyang ini juga sudah di

kelolah oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Paser.

Gambar 15 Goa Loyang: (a) Mulut Goa, (b) Lorong Goa yang sempit dan

ornamen goa berupa stalaktit dan stalakmit serta kelelawar yang sedang terbang di dalam goa (sumber foto: Mariana Zainun dan Nurbandiah).

5.1.2 Daya Tarik Biologi

5.1.2.1 Flora

HLGL memiliki flora yang langka dan endemik dapat menjadi obyek yang

menarik bagi para pengunjung yang terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder,

khususnya untuk tujuan pendidikan dan penelitian. Hutan Lindung Gunung

Lumut juga memiliki kenekaragaman tanaman hias berupa berbagai jenis tanaman

anggrek yang terlihat seperti pada Gambar 16.

A B

Page 69: 2009mza_ekowisata

52

Gambar 16 (a,b dan c) Anggrek di Hutan Lindung Gunung Lumut (sumber foto:Mariana Zainun dan Nurbandiah).

Flora yang menonjol dan sering ditemui pada hutan riparian (tepi sungai

dan anak sungai) adalah Bekokal/Bkokal bawo (Saraca declinata (Jack) Miq) dan

Biwan (Endertia spectabilis Steenis & de Wit). Selain tanaman tersebut juga

dapat ditemui Meranti (Shorea sp.), Bangris, Ulin (Eusideroxylon zwageri),

Beringin/Nunuk (Ficus sp.), Mayas (Duabanga moluccana Blume), Benuang

(Octomeles sumatrana), Bungur (Lagerstroemia sp.), Gaharu (Aquilaria

malaccensis), Sungkai (Peronema canescens Jack), Walur (Nauclea subdita

Merr.), Nsom bulau (Mangifera torquenda Kosterm.), Nansang (Macaranga

pruinosa (Miq.) Mull.Arg.), Nansang puyan (Macaranga pearsonii Merr.),

Bangkorang (Leea indica (Burm.f.)), Lutung (Alstonia angustiloba Miq.), Ara

(Poikilospermum sp.), Ara gendang (Ficus variegata Blume) Lutung Buis,

Pelawan (Tristaniopsis whiteana), Bnsiang (Ziziphus angustifolius (Miq.)

Hatusima ex Steenis).

A B

C

Page 70: 2009mza_ekowisata

53

Gambar 17 Flora di Hutan Lindung Gunung Lumut: (a) Bekokal/Bkokal bawo (Saraca declinata (Jack) Miq), (b) Meranti (Shorea sp.), (c) Gaharu (Aquilaria malaccensis), (d) Beringin/Nunuk (Ficus sp.), (e) Buah Walur (Nauclea subdita Merr.), (f) Bungur (Lagerstroemia sp.) dan (g) Bangris (Koompassia excelsa). (Sumber foto: Nurbandiah 2008).

A B

C D

E

G

F

Page 71: 2009mza_ekowisata

54

Jenis pohon-pohon yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar

HLGL antara lain dari kelompok Mangga (Mangifera sp.), Durian (Durio sp.),

Rambutan (Nephelium sp.), Langsat (Lansium domesticum), Asam putar

(Mangivera similis), Keranji (Dialium indum), Cempedak, Tarap dan Bukes.

Tanaman herba yang sering digunakan sebagai bahan pangan oleh masyarakat

adalah Ptien (Etlingera sp.) dapat dilihat pada Gambar 18 (Nurbandiah 2008).

5.1.2.2 Fauna

HLGL memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi, berdasarkan

wawancara dengan masyarakat setempat maupun pengamatan secara langsung

terhadap keberadaan satwa yang pernah dan sering terlihat di kawasan HLGL,

yaitu yang ditandai dengan penemuan jejak berupa jejak kaki, jejak cakaran pada

pohon dan kayu, jejak feses dan bekas makanan yang telah dimakan oleh satwa

pada jalur menuju kawasan HLGL (Simorangkir 2006).

Perjalanan menuju Puncak HLGL, misalnya, pengunjung dapat melihat

langsung Owa Kelawot. Selain itu, pengunjung dapat melihat Beruang Madu

yang sedang bergelantungan, Enggang dan burung-burung kecil yang sedang

berterbangan. Selain binatang-binatang tersebut, pengunjung juga dapat dengan

mudah melihat langsung atau mendengar suara berbagai jenis burung, seperti

contohnya burung Gagak Hutan (Corvus enca) yang sering di jumpai pada daerah

aliran sungai, terutama disekitar Desa Rantau Layung.

Burung lainnya yang sering terdengar suaranya saat pagi-siang hari dan

dapat dilihat di sekitar kawasan HLGL baik dalam perjalanan menuju puncak

Gunung Lumut dan di daerah-daerah menuju lokasi air terjun dan liang adalah

Kuau raja (Argusianus argus), Srigunting batu (Dicrurus paradiseus), Rangkong

badak (Buceros rhinoceros), Rangkong gading (Rhinoplax vigil), Kucica hutan

(Copsychus stricklandi), Takur tutut (Megalaima rafflesii), Elang hitam

(Ictinaetus malayensis), Merbah cerukcuk (Picnonotus goiavier), Caladi batu

(Meiglyptes tristis), Bubut alang-alang (Centropus bengalensis), dan Cinenen

belukar (Orthotomus atrogularis). Selain burung-burung tersebut juga terdapat

berbagai jenis kupu-kupu yang terlihat seperti pada Gambar 18 (Nurbandiah

2008).

Page 72: 2009mza_ekowisata

55

Gambar 18 Kupu-kupu di Hutan Lindung Gunung Lumut: (a) C. hypsea munjava, (b) G. doson evemonides, (c) Y. sabina javanica, (d) C. amelea bajadeta, (e) G. delesserti-delesserti (f) C. Elna. (Sumber foto: Nurbandiah).

5.1.3 Wisata Sosial-Budaya

Selain potensi alam kawasan HLGL juga kaya akan wisata budaya dengan

tetap menjaga pelestarian hutannya. Untuk menuju ke arah wisata, sangat

dibutuhkan daya dukung komponen-komponen dan kondisi lingkungan di luar

kawasan HLGL. Beberapa aspek daya dukung lokal di antaranya yang diyakini

masyarakat lokal mempunyai nilai spiritual. Objek-objek yang dapat dijadikan

wisata budaya adalah sebagai berikut:

5.1.3.1 Kearifan Lokal

Bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat antara lain tidak

menebang pohon, tidak mengambil sarang lebah. Kearifan lokal yang dimiliki

masyarakat ini merupakan hal yang penting untuk pengembangan ekowisata dan

kearifan lokal ini juga diwariskan secara turun termurun antara lain:

A B C

D E F

Page 73: 2009mza_ekowisata

56

a. Masyarakat Adat Dusun Muluy

Masyarakat yang berada disekitar kawasan HLGL memiliki kelompok

kebudayaan yang khas dan menarik. Keunikan yang menjadi daya tarik wisata

Dusun Muluy, masyarakat adat, diantaranya:

1. Dusun Muluy memiliki daerah adat bagi pengunjung yang tertarik untuk

mengenal tentang wisata budaya.

2. Dusun Muluy memegang teguh adat istiadat peninggalan leluhur dan

komitmen kuat terhadap falsafah hidup yang diwariskan oleh leluhur mereka.

3. Budaya dan Adat yang ada masih bersifat murni dan belum terkontaminasi

oleh pengaruh dari luar.

b. Kebudayaan Suku Dayak Paser

Masyarakat Suku Dayak Paser tidak ingin disebut sebagai Suku Dayak,

mereka menyebut dirinya sebagai Suku Paser. Dikarenakan masyarakat Paser

telah dipengaruhi budaya Islam dan mayoritas beragama Islam. Selain itu, budaya

ladang berpindah telah melekat sejak jaman nenek moyang. Urutan pengolahan

lahan pertama kali degan membuka ladang, penebangan pohon-pohon penggangu

dengan (nebas), pembakaran lahan, pembersihan lahan (manduk), dan penanaman

padi (menugal), Masyarakat yakin, bahwa setelah 2-3 kali masa panen, tanah akan

mengalami penurunan kualitas kesuburan dan membutuhkan waktu untuk

memulihkannya. Kearifan tradisional yang dimiliki Suku Paser adalah

memanfaatkan lahan pertanian sesuai kemampuan lahan yaitu lama masa pakai

dan rotasi ladang selama ± 2-3 tahun. Maka selanjutnya akan dilakukan

pembukaan ladang yang baru. Kegiatan pembukaan ladang dilakukan secara

bergotong-royong dan membutuhkan waktu antara ± 8-10 bulan. Kearifan

tradisional ini telah diwariskan secara turun-temurun.

5.1.3.2 Musik dan Tarian

Suku Paser dan Dayak Paser memiliki keanekaragaman musik dan tari-

tarian tradisional. Musik dan tarian ini sering dibawahkan pada upacara-upacara

adat seperti, perkawinan, kematian, penanaman padi menyambut tamu yang

diiringi alat musik tradisional seperti gong, dan gitar dengan empat buah senar

yang sering disebut sape.

Page 74: 2009mza_ekowisata

57

a. Tari Dayak Paser

Beberapa kegiatan seni dan budaya yang hidup di kalangan masyarakat,

antara lain Tari Ronggeng Paser dan Teater Tradisional Paser atau Nalau.

Selanjutnya adalah Tari Rembara, Tari Gintur, Gendang Agong, Upacara Adat

Nulak Jakit, Petikan Gambus Irama Pesisir, Tari Jepen Muslim, Tari Jepen Daya

Taka, Tari Singkir, Tari Belian Pengobatan, Petikan Muara Adang dan Irama

Tengah Malam, Pesta Adat Kembo, Prosesi Kegiatan Upacara Belian atau

Mamulio Ngadap Klusan, Upacara Adat Paser atau Nyambut Taun Nengkuat

Longan Nansang dan Pesta Laut Mappanre Tasi yang digelar setiap tahun oleh

warga yang tinggal di kawasan Pesisir, (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya

2008).

b. Tari Ronggeng

Tari Ronggeng adalah salah satu kesenian tradisional pesisir Kabupaten

Paser yang termasuk dalam kelompok tari gembira (tari pergaulan). Tarian ini

biasanya ditampilkan pada saat acara-acara resmi kerajaan yang bertujuan untuk

memberikan hiburan kepada tamu-tamu yang hadir. Dalam tarian yang diiringi

dengan lagu Ronggeng dan didominasi alat musik petik (Gambus), langkah

alunan kaki dan lemah gemulainya sang penari menggerakkan selendang dan sapu

tangannya seakan mengajak hadirin untuk menari dan bergembira bersama.

c. Tari Rembara

Tarian tradisional pedalaman Paser ini merupakan Tari Rembara yang

disebut tari tradisional pedalaman Dayak Paser yang merupakan tari ritual atau

tari yang ditampilkan saat upacara adat Paser, seperti Upacara Belian dan Upacara

Nulak Jakit dan upacara adat lainnya maupun pada acara-acara resmi. Tarian ini

biasanya dilakukan oleh beberapa gadis cantik yang membawa beberapa

perlengkapan yang seakan-akan untuk diserahkan kepada Sang Pengoasa Jagat

Raya.

d. Tari Belian Pengobatan

Tari Belian merupakan tarian adat Paser merupakan rangkaian dari

Upacara tradisional Adat Belian pedalaman Dayak Paser yang merupakan tarian

persembahan kepada Sang Pengoasa Jagat Raya. Tari Belian ada dua macam

berdasarkan kepentingannya, yaitu Tari Belian untuk tujuan penyembuhan

Page 75: 2009mza_ekowisata

58

penyakit dan pertunjukan untuk membayar hajat. Tarian ini dilakukan oleh

seorang penari yang dipercaya mempunyai kemampuan mengobati penyakit

seseorang, yang diikuti dengan alunan musik khas Paser. Sedangkan untuk tujuan

pertunjukan, tari ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang mengoasainya. Setiap

upacara ini disertai dengan makan dan minum bersama.

5.1.3.3 Kerajinan Tangan

Bagi masyarakat dayak paser kerajinan tangan Khas Dayak Paser yang

dikenal paling bagus dan indah diantaranya: Anjat, Gawang, lanjung, nyiru

(tampah), dan tempat pendulangan emas, yang memiliki pola dan corak yang unik

dan juga jenis anyaman biasa tanpa corak yang juga bahannya terdiri dari rotan,

bambu, antara lain:

a. Kerajinan Tangan Khas Dayak Paser

Masyarakat Suku Paser memiliki keterampilan membuat kerajinan tangan

dari rotan. Keterampilan ini awalnya muncul karena adanya tuntutan kebutuhan

akan peralatan berladang, untuk tempat membawa perbekalan dari rumah

(makanan, minuman) dan tempat untuk menyimpan hasil ladang mereka. Bentuk

dan ukuran jenis kerajinan tangan masih sangat sederhana. Seiring dengan

perkembangan jaman dan semakin banyaknya masyarakat luar yang berkunjung

ke pemukiman masyarakat Suku Paser, maka terbukalah wawasan berpikir dan

sikap kreatifnya. Kerajinan tangan khas masyarakat Suku Paser lebih

beranekaragam dalam hal jenis, bentuk dan ukuran. Tetapi tidak semua

masyarakat Dayak Paser mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan.

Tentunya sangat berpotensi sekali apabila dikembangkan sebagai industri

kerajinan masyarakat untuk mendukung pengembangan ekowisata sebagai

kegiatan wisata di wilayah tersebut.

Page 76: 2009mza_ekowisata

59

Gambar 19 Lanjung: (a) Proses pembuatan kerajinan lanjung masyarakat sekitar kawasan HLGL (b) Kerajinan Lanjung.

5.1.3.4 Sarana dan Prasarana Hutan Lindung Gunung Lumut

a. Akomodasi

Sarana akomodasi belum ada disebabkan karena belum dianggap menjadi

hal yang penting untuk disediakan untuk saat ini, dalam rangka mendukung

eksploitasi potensi HLGL sebagai obyek wisata minat khusus ekowisata alam

pegunungan. Dari empat desa dengan tiga wilayah kecamatan yang berbatasan

langsung dengan kawasan HLGL, hanya terdapat 4 hotel wilayah kecamatan yang

tersedia sarana akomodasi berupa hotel atau penginapan adalah Kecamatan Kuaro

sebanyak 2 unit, Long Kali 1 unit dan Muara Komam 1 unit sedangkan yang

berada di sekitar kawasan HLGL terdapat 1 buah rumah penduduk yang biasa

disewakan ketika ada tamu yang berkunjung dan 7 rumah makan .

b. Fasilitas

Kondisi wisata akan berkembang apabila dilengkapi dengan fasilitas

wisata untuk lebih menambah rasa dalam menikmati aktivitas wisata. Fasilitas

wisata juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengunjung selama

berwisata. Semakin banyak fasilitas wisata yang disuguhkan tidak menjadi

patokan akan semakin banyaknya wisatawan. Fasilitas yang khas unik dan

menarik serta bernuansa alamiah mampu menjadikan objek wisata tertentu

menjadi prioritas pilihan dalam berwisata. Pada dewasa ini, masyarakat lebih

menyukai wisata kembali ke alam (back to nature) yaitu wisata yang bernuansa

alami atau dengan mendekatkan diri pada alam. Hal ini disebabkan rutinitas

A B

Page 77: 2009mza_ekowisata

60

keseharian yang sangat sibuk dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Fasilitas

wisata yang umum terdapat di objek wisata adalah fasilitas restaurant, souvenir,

gazebo, transportasi lokal, air bersih, mandi cuci dan kakus (MCK), puskesmas,

listrik dan fasilitas pelayanan lainnya.

c. Aksesibilitas

Aksesibilitas menuju HLGL dapat dicapai melalui jalan darat dan laut,

yaitu kendaraan roda dua atau roda empat. Dari Balikpapan-Bandara Sepinggan

menuju HLGL, maka perjalanan melalui Pelabuhan Kariangau-Penajam Paser

Utara. Aksesibilitas menuju kawasan HLGL dapat melalui Simpang Lombok

menuju Dusun Muluy yang masuk dalam Desa Swanslutung untuk ke Gunung

Lumut dan dapat juga melalui Desa Rantau Layung, Desa Kesungai dan Desa

Tiwei, untuk mencapai kawasan HLGL harus melalui jalan perusahaan dan jalan

setapak.

Kawasan HLGL di dalam maupun sekitarnya dapat ditempuh melalui

pemukiman masyarakat. Kawasan HLGL terdapat 1 dusun di dalamnya yaitu

Dusun Muluy yang termasuk wilayah Desa Swanslutung dan 13 desa lainnya

yang berada di sekitar kawasan HLGL. Desa Tiwei, Rantau Layung, Kasungai

untuk menuju kekawasan HLGL memiliki kondisi jalan yang masih alami, berupa

jalan tanah berbatu dan setapak. Lebar jalan bervariasi antara 30 cm-2 meter, dan

seringkali dibuat jalan baru dengan cara membuka dan menebas semak-semak.

Untuk memasuki kawasan HLGL dapat ditempuh hanya dengan 2 pintu

masuk. Jalur bagian selatan ditempuh dengan berjalan kaki, sedangkan jalur utara

dapat ditempuh melalui bekas jalan logging dan hanya dapat dicapai

menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat.

Kawasan HLGL, umumnya dapat menjumpai pemukiman atau ladang

masyarakat, bahkan ada yang harus melewati jalan air (sungai) terlebih dahulu.

Ada 2 jalan alternatif menuju kawasan HLGL, yaitu melalui jalan darat yang

dipadukan dengan jalan sungai (Pelabuhan Kariangau di Penajam Paser Utara).

HLGL dengan Ibu kota propinsi samarindah berjarak ± 392 km (jalan darat) atau

± 257 km (jalan darat-laut). Waktu yang ditempuh masing-masing jalur alternatif

antara 6-8 jam. Kawasan HLGL dengan Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan

berjarak ± 257 km (jalan darat) atau ± 157 km (jalan darat-laut).

Page 78: 2009mza_ekowisata

61

d. Sarana dan Prasarana Pendukung

Berbagai sarana dan prasarana pendukung yang telah ada di sekitar

kawasan HLGL dalam rangka mendukung pengembangan kawasan tersebut

sebagai satu tujuan obyek wisata, adalah sebagai berikut:

1. Transportasi

Sarana transportasi merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk

memperlancar mobilisasi penduduk dan ekonomi pada satu daerah, baik intra

maupun extra. Untuk lingkungan kawasan HLGL maupun kota atau daerah

sekitarnya, kondisi sarana transportasi yang telah ada adalah sebagai berikut:

- Jalan Raya

Kondisi sarana jalan raya pada desa-desa yang bersinggungan langsung

dengan kawasan HLGL adalah berupa jalan raya pengerasan. Kondisi jalan raya

antara desa maupun antar kecamatan yang berbatasan wilayah dengan kawasan

HLGL, adalah berupa jalan raya aspal dan pengerasan.

- Jenis Kendaraan darat (angkutan umum)

Jenis kendaraan darat sebagai sarana angkutan umum yang digunakan oleh

masyarakat di sekitar wilayah HLGL adalah mobil yang digunakan oleh

perusahaan PT. Rezki Kacida Reana dan ojeg. Sarana pendukung untuk

mobilisasi kendaraan angkutan darat berupa stasiun pengisian bahan bakar

minyak, tersedia hanya 2 instalasi.

- Pesawat Udara

Akses memasuki kabupaten Paser melalui lalulintas udara belum tersedia.

Mobilisasi manusia dari luar pulau Kalimantan menuju wilayah kabupaten Paser

dengan menggunakan sarana transportasi udara, hanya dapat diakses melalui

bandara Balikpapan (Ibukota Propinsi).

- Angkutan penyeberangan laut dan sungai

Sarana transportasi lain yang menghubungi desa-desa atau kecamatan-

kecamatan di sekitar kawasan HLGL, juga menggunakan sarana Kapal feri, long

boat atau speed boat untuk menyeberangi laut dan sungai. Frekuensi

penyeberangan terjadi pada setiap hari, dengan diperkuat oleh armada speed boat,

long boad dan armada Kapal feri.

Page 79: 2009mza_ekowisata

62

2. Sarana Komunikasi

Bahasa yang dominan digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat

setempat adalah bahasa Paser, disamping bahasa Indonesia, dan ada juga yang

menggunakan bahasa Dayak dan Jawa. Ketersediaan sarana telekomunikasi pada

daerah-daerah pemukiman penduduk (kecamatan dan desa-desa) di sekitar

kawasan HLGL belum memadai. Tidak tersedianya jeringan telepon kabel,

telepon seluler, dan jeringan Internet. Juga tidak terjangkau oleh surat kabar.

3. Sarana Pasar dan Perdagangan

Pasar yang dimiliki oleh masyarakat setempat bersifat pasar tradisional.

Kegiatan pasar berlangsung setiap hari dan juga ada Sekali dalam seminggu, dan

dengan menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Meskipun

demikian, sistim jual beli dengan cara barter masih berlaku. Aktivitas pasar tidak

hanya dijalankan oleh penduduk setempat, namun juga didatangi oleh pedagang-

pedagang dari daerah tetangga.

5.1.4 Masyarakat Sekitar Kawasan

Masyarakat desa pada penelitian ini adalah penduduk desa yang bertempat

tinggal disekitar kawasan HLGL dan penduduk yang memiliki akses terdekat

menuju kawasan yaitu penduduk Desa Swanslutung (Dusun Muluy), Desa Tiwei,

Desa Rantau Layung, Desa Kasungai. Pengamatan dilakukan terhadap

karateristik responden, persepsi responden, partisipasi responden serta saran dan

harapan responden terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL.

Berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil wawancara terhadap 120 orang

masyarakat yang tinggal di desa tersebut dengan masing-masing desa 30 orang

pada empat desa yang dipilih sebagai sampel dan dijadikan sebagai responden.

Maka diperoleh hasil sebagai berikut:

5.1.4.1 Karateristik Responden Masyarakat Desa

Masyarakat desa sekitar lokasi yang menjadi sampel responden dalam

penelitian ini terdiri dari 120 orang; 93 orang laki-laki (77,5%) dan 27 orang

perempuan (22,5%). Distribusi umur lebih dominan pada usia 17-35 tahun

(56,67%), usia 36-55 thn (36,67%) dan sisanya 6,67% merupakan kelompok

lansia; Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah. Hal ini tercermin

Page 80: 2009mza_ekowisata

63

dari tingkat pendidikan responden yakni tidak tamat SD (20,83%), tamat SD

(62,5%), SLTP (11,67%) dan SLTA (5%). Sedangkan yang memiliki pendidikan

sampai perguruan tinggi tidak ada. Pekerjaan pokok responden umumnya adalah

berladang atau berburu (48,33%), usaha makanan (10%), tukang perahu (5%),

tukang ojek (17,5%) dan pekerjaaan lainnya (19,17%).

Jenis pekerjaan ini terkait erat dengan tingkat pendidikan responden yang

relatif rendah. Hal ini disebabkan sarana pendidikan yang tersedia untuk disetiap

desa masih minim sehingga menyulitkan bagi masyarakat yang menyekolahkan

anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang lebih baik. Disamping itu, beberapa

responden diantaranya merupakan masyarakat transmigrasi yang juga memiliki

tingkat pendidikan rendah. Sehingga sampai saat ini belum ada pekerjaan lain

yang bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar. Uraian tentang karakteristik

masyarakat yang menjadi sampel responden di sajikan dalam tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik responden masyarakat desa disekitar kawasan HLGL Masyarakat Desa No. Parameter Kriteria

1 2 3 4 Total (%)

1 Responden a. Laki-laki b. Perempuan

25 5

22 8

21 9

25 5

93 27

77,5 22,5

2 Umur a. 17-35 tahun b. 36-55 tahun c. 55 tahun keatas

15 11 4

21 8 1

15 14 1

17 11 2

68 44 8

56,67 36,67 6,67

3 Pendidikan a. TTSD b. SD c. SLTP d. SLTA

10 18 2 0

5 23 5 2

7 9 0 0

3 25 7 4

25 75 14 6

20,83 62,5 11,67

5 4 Pekerjaan a. Berladang/berburu

b. Usaha warung/jualan makanan

c. Tukang perahu/punya perahu

d. Tukang ojek e. Lainnya

20 4 0 2 4

11

2

0 7 6

18

1

6 0 1

9 5 0

12 12

58

12 6

21 23

48,33

10

5 17,5 19,17

5 Bahasa yang dikuasai (bisa lebih dari satu jawaban

a. Paser b. Dayak c. Jawa d. lainnya

30 18 2 0

19 12 15 2

26 17 3 0

23 13 5 3

98 60 25 5

81,67 50

20,83 4,17

Keterangan: 1 = Desa Swanslutung (n=30) 2 = Desa Tiwei (n=30) 3 = Desa Rantau Layung (n=30) 4 = Desa Kasungai (n=30)

Semua masyarakat di keempat desa ini sangat mendukung rencana

pengembangan ekowisata HLGL, dengan harapan bahwa dengan adanya

pengembangan di kawasan HLGL maka aksesibilitas menuju kawasan kiranya

Page 81: 2009mza_ekowisata

64

akan mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait sehingga dapat menjadikan

aksesibilitas menjadi lebih baik dan lebih lancar. Masyarakat juga mengharapkan

dengan adanya pengembangan dan HLGL ini dikelola dengan baik, ini bisa

memberikan lapangan pekerjaan pada mereka sehingga masyarakat sekitar tidak

lagi tergantung akan hasil alam yang ada di HLGL.

Sebagian besar masyarakat disekitar HLGL ini dapat bersosialisasi dengan

baik, ini dibuktikan dengan awal kunjungan penelitian yang langsung mendapat

sambutan sangat baik dan ramah serta penggunaan bahasa mereka hanya

sebahagian saja yang bisa memahami bahasa Indonesia dan bahasa setempat yaitu

bahasa Paser sebesar 81,67% selain bahasa setempat yaitu bahasa Dayak (50%),

dan Jawa (20,83%) dan bahasa lainnya (4,17%) hal ini menunjukkan telah terjadi

asimilasi penduduk.

5.1.4.2 Persepsi Responden

Persepsi responden adalah pengetahuan dan pandangan mereka terhadap

pengembangan ekowisata di kawasan HLGL. Persepsi responden dapat diketahui

dari pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kawasan HLGL sebagai hutan

lindung, pengetahuan terhadap tujuan wisata yang akan berkunjung ke kawasan

HLGL, Pemahaman terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL,

keinginan terlibat langsung dalam pengembangan dan keinginan berpartisipasi

lebih aktif dimasa mendatang di sajikan pada tabel 10.

Tabel 10 Persepsi responden terhadap pengembangan ekowisata di kawasan HLGL

No. Parameter Kriteria Jumlah (%)

1. Pemahaman kawasan HLGL perlu dilestarikan

a. Ya b. Tidak

93 27

77,5 22,5

2. Pengetahuan tentang status kawasan HLGL

a. Ya b. Tidak c. tidak tahu

90 27 3

75 22,5 25

3. Kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan HLGL

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

85 23 12

70,83 19,17

10 4. Pengetahuan tentang konflik yang terjadi

di kawasan HLGL a. Ya b. Tidak

87 33

72,5 27,5

Sebagian besar masyarakat yang menjadi responden (75%) memiliki

pengetahuan yang cukup baik tentang status kawasan HLGL. Hal ini berkat

adanya berbagai kegiatan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh pihak

Page 82: 2009mza_ekowisata

65

pengelola bekerjasama dengan pihak-pihak terkait lainnya terhadap masyarakat

sekitar kawasan. Sedangkan bagi masyarakat yang belum mengetahui dengan

baik tentang manfaat dan status kawasan hendaknya dapat diberikan penyuluhan

yang intensif.

Rata-rata masyarakat yang ada di sekitar kawasan HLGL setuju (77,5%)

apabila HLGL dilestarikan dan dikembangkan sebagai obyek wisata alam minat

khusus ekowisata. Melihat kondisi ini tentunya merupaka modal dasar yang baik

bagi pengembangan ekowisata di masa mendatang karena adanya persetujuan dan

dukungan tersebut. Responden yang tidak tahu (22,5) adalah masyarakat yang

sama sekali tidak mengerti tentang ekowisata dan kepentingannya bagi mereka

dimasa mendatang. Pengetahuan tentang status kawasan HLGL 75% mengetahui,

sedangkan 22,5% mengatakan tidak dan tidak tahu sama skali 25%; kegiatan

pengembangan ekowisata di kawasan HLGL 70,83% mengatakan setuju 19,17%

mengatakan tidak dan tidak tahu sama skali 10%; pengetahuan tentang konflik

yang terjadi di kawasan HLGL 72,5% mengetahui 27,5% mengatakan tidak

mengetahui.

Namun masyarakat yang setuju dan mendukung juga belum semuanya

dapat memahami tentang ekowisata yang sesungguhnya. Sebagian besar

beranggapan bahwa pengembangan ekowisata yang dimaksud seperti halnya

wisata pada umumnya yang akan mendatangkan banyak wisatawan untuk sekali

berkunjung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan

kepedulian masyarakat akan pentingnya kawasan HLGL dapat dikatakan cukup

baik, meskipun untuk pemahaman ekowisata itu sendiri belum dimengerti dengan

baik. Oleh karena itu, diperlukan adanya penyuluhan kepada masyarakat

setempat mengenai ekowisata dan pengembangannya, agar masyarakat tidak salah

persepsi. Disamping itu, menurut mereka dengan adanya wisata alam minat

khusus ekowisata nantinya di dalam kawasan, masyarakat berharap pemerintah

dapat membuka akses yang lebih baik menuju kawasan, utamanya jalan

transportasi karena selama ini mereka merasa sangat kesulitan dalam melakukan

dalam berbagai kegiatan guna menunjang kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan persepsi dari kelompok responden di atas, maka dapat

diketahui bahwa sebagian masyarakat di sekitar kawasan HLGL telah memiliki

Page 83: 2009mza_ekowisata

66

keterbukaan pikiran dan wawasan untuk mengelolah suatu potensi di daerahnya

yang bernilai ekonomi. Lebih dari itu, mereka telah memahami dampak dari

beban lingkungan HLGL yang akan terjadi, jika kawasan ini telah mengalami

pengelolaan dan bernilai jual. Hal mana akan menarik semakin banyak

pengunjung, yang daripadanya dapat memberikan tekanan kepada pergeseran

kelestarian lingkungan setempat. Dengan demikian, mereka memberikan

pernyataan sebagai suatu bentuk alasan, dalam rangka mencegah degradasi fungsi

kawasan HLGL.

5.1.4.3 Partisipasi Responden

Tingkat partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata

di kawasan HLGL dapat terlihat dari tingkat pengetahuan masyarakat sekitar

mengenai lokasi-lokasi obyek wisata yang potensial di dalam kawasan dan

peluang pekerjaan sampingan masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan

wisata di masa mendatang. Selain itu juga dapat dilihat partisipasi dan keinginan

responden untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan dan

pengembangan ekowisata di kawasan HLGL pada tabel 10.

Partisipasi masyarakat terhadap prospek pengembangan ekowisata di

kawasan HLGL meliputi kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam

pengelolaan kawasan 81,67% mengatakan bersedia, sedangkan 12 mengatakan

tidak bersedia dan hanya 8,33% mengatakan tidak tahu; memiliki pekerjaan lain

berhubungan dengan kawasan HLGL (selain pekerjaan utama) 16,67%

berhubungan 83,33% mengatakan tidak; letak lokasi usaha dagang 12,5% areal

pintu masuk kawasan, 25% sekitar pemukiman penduduk.

Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa masyarakat yang

mengetahui secara mendetail tempat-tempat yang menarik untuk di kunjungi di

dalam kawasan HLGL, sebagian besar mengetahui namun ada yang beberapa

tempat saja (20,83%), ada juga yang mengetahui dengan baik (70,83%); dan

selebihnya (8,33%) tidak tahu.

Page 84: 2009mza_ekowisata

67

Tabel 11 Partisipasi responden terhadap prospek pengembangan ekowisata di kawasan HLGL

No. Parameter Kriteria Jumlah (%)

1. Berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan HLGL

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

98 12 10

81,67 10

8,33

2. Memiliki pekerjaan lain yang berhubungan dengan kawasan HLGL selain pekerjaan utama

a. Ya b. Tidak

20 100

16,67 83,33

3. Letak lokasi usaha dagang a. Areal pintu masuk kawasan

b. Sekitar pemukiman penduduk

15

30

12,5

25 4. Pengetahuan mendetail tentang

tempat-tempat menarik untuk dikunjungi sekitar kawasan HLGL

a. Ya b. Beberapa saja c. Tidak

85 25 10

70,83 20,83 8,33

Masyarakat yang mengetahui dengan baik tempat-tempat yang bagus

untuk di kunjungi, biasanya penduduk yang dulunya mempunyai pekerjaan

sebagai perambah hutan, pemburuh atau penebang kayu. Oleh karena itu, mereka

dapat dengan mudah menunjukkan daerah mana saja di sekitar kawasan yang

memiliki keindahan atau keunikan, dan dijalur mana saja kita dapat bertemu atau

menemukan jejak-jejak satwa liar yang banyak terdapat di dalam kawasan.

Sedangkan responden yang tidak mengetahui tempat-tempat bagus untuk

dikunjungi, biasanya terdiri dari masyarakat yang mempunyai pekerjaan sehari-

hari disekitar pemukiman penduduk, seperti supir, tukang ojek, dan usaha dagang.

Pengetahuan yang dimiliki masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu

peluang dalam pengembangan ekowisata di masa yang akan datang. Jenis usaha

yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitarnya antara lain menjadi pemandu

wisatawan yang akan berkunjung. Sedangkan partisipasi atau peran serta

masyarakat sekitar kawasan terhadap kegiatan ekowisata di kawasan HLGL,

menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (70,83%) mengetahui secara jelas

lokasi yang menarik untuk dikunjungi.

5.1.4.4 Saran dan Harapan Responden

Sedangkan saran masyarakat desa yang berada di sekitar kawasan HLGL

mereka berharap dapat bersama-sama menjaga kelestarian HLGL dan dengan

Page 85: 2009mza_ekowisata

68

adanya pengembangan ekowisata, masyarakat akan mendapatkan lapangan

pekerjaan sehingga tidak lagi tergantung dengan hasil hutan alam.

5.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan

Wilayah kawasan HLGL sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan

lindung, kawasan Hutan Gunung Lumut telah didiami oleh masyarakat adat

Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Secara

tradisional wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam

hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan satu

dusun berada dalam kawasan HLGL. Keseluruhan masyarakat tersebut sangat

tergantung pada keberadaan wilayah Hutan Gunung Lumut untuk

keberlangsungan hidupnya. Batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas

alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung seperti

sungai Pias, sungai Tiwei, sungai Muluy, Kesungai (Saragih 2004).

Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah

rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang

bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan

Selatan (Wahyuni el al. 2004).

Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai

sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian,

perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan

protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian

juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga dan sebagai daerah tangkapan

air bagi sungai-sungai kecil dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan

Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal disekitar kawasan HLGL

memenuhi hampir semua kebutuhannya baik dari wilayah hutan lindung maupun

dari hutan disekitarnya (hutan adat) seperti kayu bakar, perumahan, pangan

(sayuran dan daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat.

Masyarakat yang berdiam didalam dan sekitar kawasan HLGL memiliki

ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal

dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani

dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan

Page 86: 2009mza_ekowisata

69

kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang

berdiam di kawasan tersebut. Pada umumnya masyarakat desa yang berada di

dalam dan di sekitar kawasan HLGL bekerja dalam bidang pertanian dengan

pengrelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni et al. 2004).

Jenis mata pencaharian lain yang digeluti oleh masyarakat adalah

berdagang, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan serta bidang lainnya.

Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang

dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah penyangga kawasan HLGL.

Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah

dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada

saat gagal panen), menjadi tukang ojek dan buruh. Oleh karena itu dapat

diharapkan bahwa dalam pengembangan ekowisata ini dapat memberikan

keuntungan pada ekonomi setempat di segala tingkatan dan meningkatkan

kesempatan kerja bagi masyarakat setempat serta mambantu dalam

mempertahankan budaya dan tradisi masyarakat dalam kawasan HLGL dan

sekitarnya.

5.1.6 Kondisi dan Permasalahan Masyarakat Sekitar Kawasan

Umumnya desa yang berada di dalam kawasan HLGL dimana tatanan

kehidupan masyarakatnya masih relatif belum banyak terpengaruh oleh budaya

luar dimana beberapa tradisi yang telah mengakar secara turun temurun masih

dapat ditemukan di Desa Swanslutung Dusun Muluy. Dalam tradisi masyarakat

terdapat kearifan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya

alam dan lingkungan seperti kelembagaan dalam pengaturan pemanfaatan hutan

dan sungai, pengelolaan sawah, kebun dan ladang serta pengaturan ruang. Desa-

desa dikelilingi pegunungan dan dilewati aliran sungai dengan airnya yang jernih

menjadikan desa ini memiliki suasana yang nyaman dan pemandangan yang

indah. Hutan di sekeliling desa masih menyimpan berbagai tumbuhan dan satwa

yang memiliki peran sebagai sistem penyangga kehidupan dan menjadi sumber

plasma nutfah yang penting untuk berbagai pemanfaatan dan sumber ilmu

pengetahuan.

Page 87: 2009mza_ekowisata

70

Upaya pengembangan HLGL sebagai salah satu obyek wisata tentu tidak

terlepas dari kondisi aktual yang ada serta permasalahan internal maupun esternal.

Berbagai penelitian dan kajian terhadap potensi kawasan HLGL telah dilakukan

oleh berbagai pihak termasuk survei yang dilakukan dalam penelitian ini.

Interpretasi yang diberikan terhadap kawasan HLGL adalah bahwa kawasan ini

memiliki keunikan dan berpotensi sebagai obyek wisata yang menjanjikan.

Meskipun demikian teridentifikasi pula permasalahan-permasalahan yang dapat

menjadi hambatan upaya pengelolaan kawasan HLGL menjadi suatu obyek wisata

yang tetap menjaga keasliannya. Sebab disadari bahwa untuk menjadikan

kawasan HLGL sebagai suatu obyek wisata yang tetap menghindari kerusakan

lingkungannya, maka berbagai hambatan harus ditekan serendah mungkin.

Hambatan yang merupakan kekurangan itu adalah, relatif rendahnya

kualitas sumberdaya manusia yang mendiami daerah di sekitar kawasan HLGL.

Dari data partisipasi sekolah masyarakat yang bermukim disekitar kawasan HLGL

diperoleh bahwa tahun 2007 sebanyak 83,51% anak usia SLTA yang tidak

sekolah, sedangkan anak usia SLTP sebanyak 18,01%. Kondisi pendidikan ini

menjadi penting untuk dikaji dan dikomentari oleh karena demi keberlanjutan

strategi pengembangan ekowisata HLGL dapat dijadikan sebagai kawasan obyek

wisata, perlu disosialisasikan kepada semua elemen masyarakat, terutama

masyarakat sekitar kawasan HLGL berkaitan dengan promosi, pelaksanaan dan

partisipasi pengawasan penggunaan kawasan HLGL sebagai obyek wisata.

Dalam mana mekanisme ini lebih dominan menggunakan sarana komunikasi

tertulis. Lebih dari itu, masyarakat setempat siap berhubungan dengan

masyarakat pengunjung dari berbagai latar belakang dan budaya yang

mendatangi daerah tersebut.

Kemudian tradisi berladang mayoritas masyarakat yang mendiami daerah

sekitar kawasan HLGL, merupakan masyarakat petani ladang. Profesi sebagai

petani ladang yang dijalani secara turun temurun, serta tingginya jumlah anak usia

SLTA yang tidak sekolah, menjadi ancaman lain untuk perambahan hutan sebagai

lahan berladang. Hal ini dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang

mengancam keberlangsungan kelestarian hutan kawasan HLGL. Ketika potensi

kawasan HLGL telah dikemas sebagai salah satu tujuan wisata dan memiliki daya

Page 88: 2009mza_ekowisata

71

tarik serta mendatangkan banyak pengunjung, maka berbagai tuntutan kebutuhan

alam setempat patut disediakan. Misalnya makanan alamiah dari hasil ladang

yang dianggap relatif bebas dari cemaran kimia. Tuntutan ini tentu memancing

perluasan ladang untuk menyediakan sumber bahan makanan yang lebih banyak

guna memenuhi kebutuhan pengunjung. Perluasan Ladang, juga menjadi faktor

yang rawan terjadinya kebakaran hutan.

Minimnya sarana transportasi dalam pengembangan suatu kawasan hutan

lindung sebagai areal wisata, membutuhkan sarana transportasi yang patut

memadai. Sarana transportasi diperlukan untuk tiga tujuan utama, yakni

mobilisasi pengunjung, mobilisasi aktivitas perekonomian masyarakat setempat

dan kepentingan pengawasan yang menjangkau seluruh kawasan. Kondisi sarana

transportasi pada daerah-daerah di sekitar kawasan HLGL masih sangat minim.

Jalan raya yang menghubungi desa-desa berupa jalan pengerasan, tanah berbatu

dan jalan setapak. Kendaraan angkutan umum, masih menggunakan jasa

pengendara sepeda motor (ojek) dengan tarif yang mahal dan tidak menentu.

Sebagian besar penduduk juga melakukan perjalanan dengan memilih berjalan

kaki. Untuk penyeberangan sungai tersedia sarana berupa kapal (long

boat/johnson) berpenumpang kapasitas rendah.

5.2 Potensi Permintaan Wisata

5.2.1 Permintaan Wisata di Kawasan HLGL

Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) belum dikenalkan dan

dipasarkan secara khusus sebagai objek wisata di Kabupaten Paser. Oleh

karenanya, jumlah pengunjung masih terbatas, yaitu masyarakat lokal dan para

peneliti dengan tujuan wisata alam sederhana, pendidikan dan penelitian.

Pengambilan data pengunjung untuk mengetahui pasar potensial bagi berbagai

potensi wisata dalam HLGL. Dilakukan di 5 kawasan wisata dengan 100 jumlah

responden (Tabel 12).

Page 89: 2009mza_ekowisata

72

Tabel 12 Kawasan wisata sejenis HLGL Obyek Wisata Lokasi Σ Pengunjung

Hutan Lindung Sungai Wain Wisata Alam Bukit Bangkirai Tahura Lati Petangis Air Terjun Doyam Turu Desa Budaya Pampang

Balikpapan Kabupaten Kutai Kertanegara Kabupaten Paser Kabupaten Paser Samarinda

35 50 15 0 0

Total = 100

Pengunjung potensial kawasan HLGL juga dapat dilihat dari kepadatan

penduduk pada kabupaten-kabupaten di sekitar Kabupaten Paser dengan membagi

luas wilayahnya dengan jumlah penduduk. Semakin besar kepadatan penduduk,

maka semakin banyak jumlah pengunjung potensial yang mengunjungi HLGL.

Asumsinya bahwa jarak tempuh masing-masing kabupaten dengan kawasan

wisata relatif dekat. Pengunjung potensial memiliki karakteristik tertentu dan

merupakan gambaran permintaan wisata. Karakteristik pengunjung ini

menggambarkan karakteristik pasar wisata beserta produk wisata yang diinginkan.

Karakteristik pasar wisata ini dapat digunakan untuk menentukan produk wisata

yang akan ditawarkan serta bagaimana penawaran produk wisata dan manajemen

pemasarannya yang tepat. Potensi permintaan wisata ini berdasarkan penelitian

sebelumnya (Puspitasari 2008).

5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata

Strategi pengembangan ekowisata HLGL, sebagai status kawasan hutan

lindung, dilakukan dengan didahului kegiatan pengumpulan sejumlah data atau

informasi dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghts,

Weaknesses, Opportunities, dan Threats).

5.3.1 Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan suatu analisis kualitatif yang digunakan untuk

mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan

strategi suatu kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan dan peluang suatu kegiatan, yang secara bersamaan

dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2006).

Page 90: 2009mza_ekowisata

73

Dampak kegiatan ekowisata terhadap masyarakat lokal dan kawasan

HLGL dapat dianalisa dengan analisis SWOT, dapat digolongkan kedalam faktor

eksternal (peluang dan ancaman) atau dapat dikatakan dampak secara langsung.

Sedangkan dampak secara tidak langsung digolongkan kedalam faktor internal

(kekuatan dan kelemahan). Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif

yang berasal dari peluang dan kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari

ancaman dan kelemahan. Dengan menggunakan matrik internal dan esternal,

maka dapat diberikan bobot dan rating pada parameter yang telah ditentukan,

sehingga akan diperoleh nilai (skor). Nilai ini yang akan memberikan arahan

tentang prospek kedepan untuk pengembangan ekowisata guna memperoleh

konsep strategi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL.

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) manajemen unit analisisnya

adalah Hutan Lindung oleh Dinas Kehutanan. Gunung Lumut sebagai salah satu

kawasan hutan lindung di Indonesia mempunyai fungsi pokok seperti yang

tercantum pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 6

ayat 2 menyebutkan bahwa hutan di Indonesia berdasarkan fungsi pokoknya

dimana hutan lindung adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan,

mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan memelihara

kesuburan tanah.

Selanjutnya, Pasal 26 Ayat 1 dari Undang-Undang tersebut menyatakan

bahwa, yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan lindung dapat berupa

pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Salah satu

bentuk pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung adalah

pemanfaatan untuk wisata alam terutama minat khusus (ekowisata) yang harus

dilakukan secara bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan

pelestarian lingkungan.

Saat ini HLGL sementara diusulkan oleh Dinas Kehutanan untuk

perubahan status menjadi taman nasional. Namun sampai saat dilakukan

penelitian masih tetap dengan status hutan lindung yang tetap berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan No. 24 Kpts/UM/I/1983. Kebijakan pemerintah

Kabupaten Paser untuk merubah HLGL menjadi Taman Nasional diharapkan akan

Page 91: 2009mza_ekowisata

74

memberi dukungan yang signifikan dalam memanfaatkan potensi wisata di

kawasan HLGL.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan lembaga

pemerintah daerah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang

direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kabupaten

Paser. Bappeda merencanakan pembangunan wilayah Kabupaten Paser dalam

skala makro di semua bidang kerja Kabupaten Paser termasuk bidang kehutanan.

Hasil yang didapat oleh Bappeda dituangkan dalam bentuk program perencanaan

daerah (Propeda) dan juga dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten. Melalui Propeda dan RTRW, Bappeda menuangkan apa yang

menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah kabupaten dengan

tujuan untuk menciptakan kesinergian dan agar tidak terjadi tumpang tindih

kepentingan masing-masing instansi.

Wewenang Bappeda berdasarkan Tupoksi (tugas pokok dan fungsi)

Bappeda No. 14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda Kabupaten Paser adalah

sebagai lembaga koordinatif dengan perencanaan daerah pada seluruh sektor

(Nooryashini et. Al., 2004).

Sebagai unit pelaksana teknis Departemen Kehutanan Kabupaten Paser

Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai tugas pokok untuk mengelola

kawasan hutan lindung. Struktur organisasi pengelolaan HLGL sampai saat ini

masih berada di bawah Dinas Kehutanan yang berkedudukan di Kabupaten Paser

dan secara langsung ditangani oleh Sub Dinas Perlindungan Hutan dan

Pengendalian Kebakaran Hutan yang memiliki tugas membantu Kepala Dinas

dalam melaksanakan sebagian tugas bidang perlindungan dan pengendalian

kebakaran hutan sesuai dengan kebijaksanaan teknis yang telah ditetapkan.

Dengan demikian pelaksanaan yang menjaga dalam mengelola HLGL untuk jaga

wananya hanya dua orang.

Sementara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mempunyai tugas membuat

program mempromosikan dan mengelola potensi ekowisata di kawasan HLGL

serta budaya masyarakat lokal di sekitar HLGL. Dinas ini secara teknis juga

mengkordinasikan pengelolaannya dengan berbagai stakeholder untuk

mendukung program pengembangan ekowisata.

Page 92: 2009mza_ekowisata

75

Selanjutnya stakeholder seperti litbang, perguruan tinggi dan LSM seperti

TBI-Indonesia dan Cifor mendukung pengembangan program dalam aspek

penelitian dan pengembangan serta pendanaan dan manajemen pengelolaan.

Dengan demikian, program pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dapat

lebih tepat sasaran terutama bagi wisatawan manca negara.

Personil yang ikut dilibatkan dalam jalinan kemitraan tersebut yang terkait

dengan HLGL dalam menggali potensi sumberdaya hutan (SDH) di dalam HLGL

untuk pengembangan sumberdaya masyarakat (SDM). Dinas kebudayaan dan

pariwisata memberikan informasi kepada khalayak. Bappeda dalam hal

perencanaan program untuk mendukung ekowisata. Lembaga penelitian dan

pengembangan (Litbang), Unmul, CIFOR dan TBI (Tropenbos International

Indonesia), merupakan stakeholder yang dijadikan mitra kelembagaan untuk

mendukung pengembangan ekowisata baik dalam hal penelitian, pengembangan,

sosialisasi maupun dukungan pendaanaan dan manajemen.

Berdasarkan uraian sebelumnya, faktor supply, demand, dan faktor

penunjang maka faktor-faktor tersebut dapat di identifikasi dari faktor internal

(kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) dalam

pengelolaan dan pengembangan ekowisata HLGL maka:

a. Kekuatan (Strengths)

1. Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika karena Hutan Lindung

Gunung Lumut mempunyai keanekaragaman hayati berupa lumut yang

tidak dimiliki di tempat lain dan mempunyai keindahan yang sangat luar

biasa.

2. Terjalinnya kerjasama dengan mitra seperti lembaga penelitian dan

pengembangan (Litbang), Unmul, CIFOR dan TBI (Tropenbos

International Indonesia), merupakan stakeholder yang dijadikan mitra

kelembagaan untuk mendukung pengembangan ekowisata baik dalam hal

penelitian, pengembangan, sosialisasi maupun dukungan pendanaan dan

manajemen.

3. Kebijakan Pemda terhadap konservasi didukung oleh peraturan perundang-

undangan di tingkat nasional seperti undang-undang nomor 5 tahun 1990

tentang konservasi alam hayati dan ekosistemnya; Undang-undang nomor

Page 93: 2009mza_ekowisata

76

41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kemudian dijabarkan di dalam kebijakan

pemerintah daerah yang dijabarkan oleh instansi terkait.

b. Kelemahan (Weaknesses)

1. Jumlah dan kualitas SDM Belum memadai karena keterampilan masyarakat

sekitarnya masih kurang sehingga pengendalian potensi belum

dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.

2. Terbatasnya sumber dana karena alokasi baik dari pusat maupun di daerah

belum ada karena masih dalam tahap perencanaan.

3. Sarana dan prasarana kurang memadai berupa ketersediaan fasilitas dan

pelayanan yang belum ada/masih sangat minim (toilet, tempat sampah,

papan penunjuk arah, tempat informasih, tempat parkir, hotel dan restoran).

4. Data dan informasi potensi belum bisa diakses, dimana masih sulit untuk

memperoleh informasi secara detail mengenai potensi yang dimiliki HLGL

untuk promosi wisata.

c. Peluang (Opportunities)

1. Adanya dukungan masyarakat berupa pemahaman, persepsi dan keinginan

untuk berpartisipasi terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan

HLGL serta dukungan stakeholders lainnya seperti Litbang, LSM,

Perguruan Tinggi, dan lembaga donor.

2. Peluang peningkatan PAD yang berasal dari pajak dan retribusi yang

bersumber dari kegiatan ekowisata bagi pemerintah setempat.

3. Minat masyarakat sudah mulai ada.

4. Program Disbudpar Kabupaten Paser memperkenalkan budaya masyarakat

lokal.

5. Kesediaan mitra untuk membantu dalam pemasaran melalui pameran,

forum seminar dan melalui biro perjalanan wisata baik tingkat lokal,

nasional dan internasional.

d. Ancaman (Threats)

1. Degradasi hutan yang menyebabkan kualitas dan daya tarik obyek wisata

berkurang yang diakibatkan berbagai kegiatan manusia yang sifatnya

negatif terhadap alam sekitarnya.

Page 94: 2009mza_ekowisata

77

2. Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat, sehingga

sumberdaya hutan menjadi tempat eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan

hidup mereka.

3. Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih sangat rendah tetapi

dengan tidak mengurangi dukungan mereka terhadap pengembangan

ekowisata tersebut.

4. Aksesibilitas jalan menuju ke dalam lokasi kawasan HLGL masih sulit,

karena ketersediaan sarana transportasi kurang serta kondisi jalan yang

sebagian kurang baik.

5.3.2 Matriks Internal-Eksternal

Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi pengembangan

ekowisata dengan melihat kombinasi faktor internal dan faktor eksternal. Kedua

faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari kekuatan dan

peluang, sedangkan dampak negatif berasal dari ancaman dan kelemahan.

Masing-masing faktor dinilai berdasarkan tingkat kepentingan (bobot) dan

nilainya seperti dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Faktor Internal

Faktor Internal Bobot Rating Skor 1. Kekuatan

Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika 0.20 4 0.80 Terjalinnya kerjasama yang intensif dengan

mitra 0.15 3 0.45 Kebijakan Pemda terhadap Konservasi 0.12 3 0.36

Jumlah 0.47 1.61 2. Kelemahan

Jumlah dan Kualitas SDM belum memadai 0.15 -4 -0.60 Terbatasnya sumber dana 0.12 -4 -0.48 Sarana dan prasarana kurang memadai 0.12 -3 -0.36 Data dan informasi potensi belum bisa di

akses 0.14 -4 -0.56 Jumlah 0.53 -2.00

Total Rata-rata 1.00 -0.39

Pada Tabel 13, terlihat bahwa faktor startegis internal yang merupakan

kekuatan memiliki skor 1,61. Jika diamati dari berbagai faktor yang terdapat di

dalamnya berupa tingginya nilai potensi ekologis dan estetika berupa lumut yang

khas dan unik yang dimiliki oleh Hutan Lindung Gunung Lumut dengan memiliki

skor tertinggi (0,80); terjalinnya kerjasama dengan mitra yaitu Litbang dalam

Page 95: 2009mza_ekowisata

78

bentuk pengembangan gaharu dan ulin, Cifor dalam bentuk penelitian tentang

pengayaan jenis rotan metodenya dengan menggunakan manajemen kolaboratif,

Unmul dalam bentuk penelitian dan TBI dalam bentuk penelitian biodiversity

Assesment memiliki skor (0,45); Kebijakan Pemda terhadap konservasi didukung

oleh peraturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah Kabupaten Paser memiliki

skor (0,36). Tingginya nilai potensi ekologis dan estetika akan dapat

mengembangan ekowisata pada kawasan HLGL saat ini dan dimasa mendatang,

maka wisata yang dijadikan modal untuk dapat dikembangkan di kawasan

tersebut adalah minat khusus ekowisata.

Sedangkan faktor strategi internal yang merupakan kelemahan memiliki

skor (-2,00) yang di dalamnya berupa Jumlah dan kualitas SDM belum memadai

karena kurangnya ketrampilan masyarakat setempat dengan memiliki skor (-0,60);

terbatasnya sumber dana dari daerah untuk pengembangan ekowisata untuk

Gunung Lumut belum ada memiliki skor (-0,48) sarana dan prasarana kurang

memadai karena kurangnya ketersediaan fasilitas dan pelayanan di kawasan

HLGL tersebut memiliki skor (-0,36), dengan nilai tertinggi yaitu data dan

informasi potensi belum bisa di akses dikarenakan sulit untuk memperoleh hasil

yang telah ditemukan di dalam kawasan HLGL memiliki skor (-0,56).

Tabel 14 Faktor Eksternal

Faktor Eksternal Bobot Rating Skor 1. Peluang

Dukungan stakeholder 0.20 4 0.80 Peluang peningkatan PAD 0.15 4 0.60 Minat masyarakat sudah mulai ada 0.10 3 0.30 Program Disbudpar Kabupaten Paser

"memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009" 0.08 3 0.24

Kesediaan mitra untuk membantu pemasaran ekowisata HLGL dalam forum seminar baik tingkat lokal, nasional, internasional 0.07 3 0.21

Jumlah 0.60 2.15 2. Ancaman

Degradasi kualitas obyek daya tarik wisata serta sumber daya pendukungnya 0.15 -3 -0.45

Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat 0.08 -2 -0.16

Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih rendah 0.10 -3 -0.30

Aksesibilitas kurang 0.07 -3 -0.21 Jumlah 0.40 -1.12

Total Rata-rata 1.00 1.03

Page 96: 2009mza_ekowisata

79

Pada Tabel 14, faktor strategis eksternal yang merupakan peluang HLGL

dalam pengembangan ekowisata memiliki skor (2,15). Peluang yang bisa

diandalkan yaitu dukungan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata berupa

pemahaman, persepsi, dan keinginan untuk berpartisipasi dan keterkaitan

stakeholder seperti Litbang, LSM, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Donor,

dengan skor tertinggi (0,80); yang membuka peluang peningkatan PAD memiliki

skor (0,60); Minat masyarakat sudah mulai ada, memiliki skor (0,30); Program

Disbudpar "memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009" yang masih kurang

tergali memiliki skor (0,24); sedangkan kesediaan mitra untuk membantu dalam

pemasaran ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut melalui forum seminar baik

tingkat lokal, nasional, internasional memiliki skor (0,21).

Sedangkan faktor strategi eksternal yang berupa ancaman memiliki skor

(-1,12); skor tertinggi degradasi hutan yang menyebabkan kualitas dan daya tarik

wisata serta sumber daya pendukungnya yaitu memiliki skor (-0,45); krisis

ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat memiliki skor (-0,16);

Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih sangat rendah tetapi dengan

tidak mengurangi dukungan mereka terhadap pengembangan ekowisata memiliki

skor (-0,30); Aksesibilitas jalan menuju kedalam lokasi kawasan HLGL masih

sulit, karena ketersediaan sarana transportasi kurang serta kondisi jalan yang

sebagian kurang baik memiliki skor (0,21). Hal ini sangat mengancam upaya

pengembangan karena obyek-obyek wisata yang dimiliki HLGL merupakan

modal untuk pengembangan ekowisata.

5.3.3 Posisi Strategi pada Matriks Grand Strategi

Strategi dapat diperoleh dengan menggunakan Matriks Grand Strategy.

Nilai (skor) yang diperoleh dari matriks internal-eksternal digunakan untuk

menentukan strategi HLGL dalam pengembangan ekowisata.

Dalam analisis SWOT, teknik menentukan strategi adalah melalui strategi

silang dari data keempat faktor tersebut yaitu seperti tercantum pada Tabel 15.

Page 97: 2009mza_ekowisata

80

Tabel 15 Formulasi strategi pengembangan ekowisata di kawasan HLGL

Internal Eksternal

Kekuatan (Strengths = S) 1. Tingginya nilai

potensi ekologis dan estetika

2. Terjalinnya kerjasama yang intensif dengan mitra

3. Kebijakan Pemda terhadap konservasi

Kelemahan (Weaknesses = W) 1. Jumlah dan Kualitas SDM

belum memadai 2. Terbatasnya sumber dana 3. Sarana dan prasarana kurang

memadai 4. Data dan informasi potensi

belum bisa diakses

Peluang (Opportunities = O) 1. Dukungan Stakeholder 2. Peluang peningkatan PAD 3. Minat masyarakat sudah mulai

ada 4. Program Disbudpar Kabupaten

Paser ”memperkenalkan budaya masyarakat lokal 2009”

5. Kesediaan mitra untuk membantu pemasaran ekowisata HLGL dalam forum seminar baik tingkat lokal, nasional, dan internasional

Strategi S-O

Strategi W-O 1. Membangun kapasitas

pengelolaan HLGL 2. Menjalin kerjasama dengan

mitra

Ancaman (Threats = T) 1. Degradasi kualitas obyek daya

tarik wisata serta sumber daya pendukungnya

2. Krisis ekonomi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat

3. Pemahaman masyarakat terhadap ekowisata masih rendah

4. Aksesibilitas kurang

Strategi S-T

Strategi W-T

Strategi pengembangan ekowisata yang dimaksud dalam analisis SWOT

adalah memanfaatkan peluang (opportunities) dari kegiatan pengembangan

ekowisata terhadap masyarakat lokal, namun secara bersamaan juga dapat

meminimalkan kelemahan (weaknesses) yang terdapat di dalamnya.

Nilai penjumlahan faktor internal menunjukkan antara kekuatan (1,61) dan

kelemahan (-2,00) yaitu dengan memiliki total rata-rata -0,39 (negatif), berarti

faktor kelemahan lebih dominan dibandingkan faktor kekuatan yang dimiliki.

Sedangkan nilai penjumlahan faktor eksternal antara peluang (2,15) dan ancaman

(-1,12) dengan memiliki total rata-rata 1,03 (positif). Nilai ini berarti antara

peluang dan ancaman, faktor yang paling dominan adalah peluang.

Page 98: 2009mza_ekowisata

81

Jadi posisi ordinat berada pada (-0,39 ; 1,03), sehingga posisi strategi

berada pada sel 3. Artinya meskipun memiliki kelemahan pada faktor internal

namun masih mempunyai peluang untuk lebih maju dalam pengembangan dimasa

yang akan datang (Gambar 20).

Sel 3 1,03 Sel 1

- 0,39

Sel 4 Sel 2

Gambar 20 Posisi strategi untuk pengembangan ekowisata di HLGL berada pada

sel 3 dalam Matriks Grand Strategy.

Dalam matriks grand strategy Gambar 20 menunjukkan bahwa posisi

strategi Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) dalam pengembangan ekowisata

berada pada sel 3 (turn around). Strategi turn around adalah mendukung strategi

dengan orientasi putar haluan. Bentuk strategi yang diajukan untuk mengurangi

kelemahan dan memperbanyak peluang adalah membangun kapasitas institusi

agar kelembagaan pengelolaan HLGL menjadi terbentuk. Selanjutnya menjalin

kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam aspek penelitian dan pengembangan

serta memberikan dukungan pendanaan dan manajemen sehingga dapat

meningkatkan pelayanan pengunjung untuk menjadikan wisata minat khusus

ekowisata di kawasan HLGL dengan tetap menjaga keasliannya. Bentuk strategi

yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang untuk

menjadikan kawasan HLGL sebagai kawasan ekowisata adalah kesempatan dan

Berbagai Peluang

Kelemahan Internal

Kekuatan Internal

Berbagai Ancaman

Page 99: 2009mza_ekowisata

82

peluang otonomi daerah dan berbagai sarana pendukung (media promosi) serta

dukungan masyarakat untuk mempublikasikan dan menyusun tata kelola

organisasi pengelolaan didalam kawasan HLGL sebagai suatu obyek ekowisata.

5.3.4 Rekomendasi Grand Strategy Pengembangan Ekowisata pada Kawasan HLGL

Dari hasil analisis berdasarkan Matriks Grand Strategy yang diperoleh,

maka dapat dibuat suatu rekomendasi Grand Strategy untuk pengembangan

potensi HLGL sebagai obyek ekowisata. Rekomendasi tersebut berisi tujuan,

misi, serta sasaran.

a. Tujuan

Terkelolanya potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat sekitar di

kawasan HLGL guna mewujudkan pengembangan ekowisata saat ini dan di masa

mendatang sehingga dapat memberikan manfaat baik yang menguntungkan dari

segi ekonomi dan berkelanjutan dari segi ekologis, dengan jalinan kerjasama

berbagai pihak (Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan Tinggi,

Lembaga Donor, Swasta dan masyarakat sekitarnya serta pihak terkait lainnya).

b. Misi

1. Memberikan pemahaman kepada stakeholder tentang konsep pengembangan

ekowisata sehingga dapat diterapkan untuk mengelola obyek ekowisata yang

ada di Kabupaten Paser khususnya dan Propinsi Kalimantan Timur pada

umumnya, dengan mempertimbangkan upaya perlindungan sumberdaya

alam, pengembangan dan peningkatan ekonomi serta pemberdayaan

masyarakat sekitarnya secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.

2. Sebagai bahan acuan untuk memberikan gambaran dan pedoman kepada

stakeholder (Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang, LSM, Perguruan

Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan Masyarakat serta pihak terkait lainnya)

dalam rencana pengembangan ekowisata di kawasan HLGL.

c. Sasaran

1. Melakukan usaha pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL yang

berbasis pada kemitraan antara Pengelola, Pemerintah Daerah, Litbang,

LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Donor, Swasta dan Masyarakat serta

Page 100: 2009mza_ekowisata

83

pihak terkait lainnya sehingga tercipta pengelolaan obyek wisata yang

optimal serta memberikan pelayanan yang profesional kepada wisatawan.

2. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang profesional mengenai

konsep ekowisata terutama kepada masyarakat sekitarnya melalui

pelatihan dan bimbingan.

3. Mendorong pengembangan infrastruktur dan penyediaan fasilitas serta

peningkatan pelayanan sebagai kebutuhan dasar bagi wisatawan.

4. Melakukan promosi mengenai kegiatan ekowisata di kawasan HLGL pada

tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, guna mendorong tingkat

kunjungan wisatawan dan investor kekawasan HLGL.

5. Meningkatkan peran serta kelompok yang terlibat didalam kegiatan

ekowisata dan ikut bertanggungjawab apabila terjadi perubahan-perubahan

ekologi, serta mengambil langkah-langkah yang tepat untuk

menanganinya.

5.3.5 Rekomendasi Strategi Pengembangan Ekowisata pada Kawasan HLGL

Berdasarkan hasil Analisis SWOT yang dibuat pada Tabel 13 Maka

diajukan suatu rekomendasi program pengembangan ekowisata di kawasan HLGL

adalah sebagai berikut:

A. Kapasitas pengelolaan HLGL berupa:

1. Penataan kelembagaan dan organisasi.

2. Pengembangan sarana dan prasarana, meliputi ketersediaan fasilitas dan

pelayanan, perbaikan aksesibilitas menuju lokasi dan lainnya yang terkait

dengan pengembangan ekowisata dimasa mendatang.

3. Pengembangan penelitian, diutamakan dengan menjalin kerjasama dengan

Pendidikan Tinggi dan institusi/organisasi yang bergerak di bidang ilmu

pengetahuan, sehingga data-data mengenai potensi yang dimiliki HLGL

lebih banyak dan akurat.

4. Peningkatan sumberdaya manusia (SDM) dengan memberikan

pembinaan/pelatihan kepada pihak pengelola dan masyarakat sekitarnya.

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan tambahan ilmu pengetahuan

mengenai potensi obyek wisata, pelayanan wisatawan, perawatan terhadap

Page 101: 2009mza_ekowisata

84

fasilitas dan infrastruktur yang ada agar kegiatan wisata di kawasan HLGL

di masa mendatang dapat berjalan secara optimal dan berkelanjutan.

5. Perencanaan paket ekowisata berupa:

1. Wisata pengamatan satwa liar, merupakan jenis wisata utama yang

dapat dikembangkan karena dikawasan HLGL terdapat beberapa jenis

satwa langka dan endemik seperti Beruang madu, Owa Kelawot.

2. Wisata Panorama Alam, merupakan kegiatan mengamati dan

menikmati indahnya panorama alam yang terdapat disepanjang

perjalanan menuju dan di dalam kawasan HLGL. Beberapa jenis

berupa pemandangan hamparan sawah dan perkampungan penduduk,

hamparan pegunungan dan lainnya.

3. Wisata sungai merupakan wisata perjalanan melalui sungai yang

merupakan salah satu alat untuk menuju kekawasan. Kegiatan yang

dapat dilakukan adalah mengamati dan menikmati banyak hal yang

dijumpai sepanjang perjalanan, baik keindahan alam beserta kehadiran

berbagai jenis burung dan satwa lainnya yang berada disekitar sungai

dengan segala kebiasaannya.

4. Wisata air terjun memiliki suasana yang alami dengan bentang alam

yang unik untuk dilihat dan dinikmati.

5. Goa memiliki kekhasan di dalam masih banyak lagi peninggalan

sejarah seperti tenggorak dan tulang belulang, dengan dihiasi oleh

stalagtit dan stalagmit goa yang begitu indah.

6. Wisata pedesaan merupakan wisata perkampungan di sekitar kawasan

dengan, mengamati, mempelajari, menikmati keidupan tradisional

masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya yang sulit dijumpai

di perkotaan.

B. Kerjasama dengan mitra seperti:

1. Mempromosikan keanekaragama flora dan fauna beserta keunikannya

2. Perlu program pengembangan wilayah antar dinas terkait (Dinas

Pariwisata dan Budaya, Dinas PU, Dinas Perhubungan)

3. Perlunya kegiatan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat lokal

untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan dan cendramata yang

Page 102: 2009mza_ekowisata

85

diperlukan dalam mendukung kegitan ekowisata. Pendidikan dan

pelatihan diperlukan pula untuk mengarahkan masyarakat lokal

mengurangi ketergantungan hidup melalui hasil-hasil hutan, tetapi

memiliki alternatif hidup yang lain. (Dinas Pendidikan, Dinas

Perindustrian dan Dinas Sosial)

4. Pelestarian potensi seni budaya lokal (Dinas Pariwisata, Dinas Sosial,

Dinas Pendidikan)

5. Membuka pintu bagi masuknya investor yang berinvestasi di bidang

ekowisata.

Untuk mendukung rekomendasi pengembangan ekowisata di kawasan

HLGL, maka dalam pengembangan ekowisata di kawasan HLGL, strategi penting

yang memungkinkan dapat dilaksanakannya pembangunan ekowisata disini

adalah melalui kebijakan dan dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk

melaksanakan program ini serta dikembangkannya fasilitas dan program-pragram

pendampingan masyarakat. Adapun dalam hal tatanan operasional untuk

mencapai arah pengembangan ekowisata di kawasan HLGL diperlukan strategi

pengembangan terhadap faktor-faktor yang diperlukan dalam pengembangan

ekowisata, yaitu:

a. Peningkatan pertanian dalam arti luas sebagai salah satu daya tarik ekowisata.

Hal ini baik dilakukan revitalisasi pertanian dan perkebunan yang telah ada

maupun dengan pengembangan model usaha pertanian baru yang dapat

meningkatkan ekonomi rakyat. Adapun tujuan yang ingin di capai dari

strategi ini adalah terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat setempat.

b. Pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu melalui pengembangan

dan melestarikan pemanfaatan berbagai pengetahuan dan tradisi masyarakat

dalam mengelola sumberdaya alam. Pemetaan dan pengaturan ruang kelolah

masyarakat ke dalam kawasan hutan menjadi bagian penting dalam strategi

ini. Tujuan yang ingin dicapai dari strategi ini adalah terjaminnya kelestarian

obyek dan daya tarik wisata dan terpeliharanya fungsi hutan sebagai fungsi

penyangga kehidupan.

c. Pelestarian sistem sosial dan budaya sebagai suatu lembaga pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan yang telah diakui dan dihormati oleh

Page 103: 2009mza_ekowisata

86

masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah terbagunnya kelembagaan

pengelolaan ekowisata yang diakui oleh masyarakat dan dapat menyerap

aspirasi masyarakat serta sebagai alat kontrol terhadap budaya global yang

masuk.

d. Penyiapkan masyarakat untuk menerima kunjungan, pembentukan lingkungan

tempat tinggal yang sehat dan nyaman, sikap masyarakat terhadap pendatang,

dan komunikasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah terbentuknya lingkungan

wisata yang dapat memberikan kepuasan bagi pengunjung.

e. Strategi pengembangan aksesibilitas meliputi:

1. Mengusahakan terwujudnya akses jalur wisata di kawasan HLGL dengan

daerah lainnya, terutama dengan wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

2. Meningkatkan akses antara daerah-daerah yang berada di sekitar kawasan

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).

3. Menata sistem petunjuk jalan/rambu lalu lintas yang mempermudah para

pengunjung untuk mencapai obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di

kawasan HLGL.

f. Strategi pengembangan sarana-prasarana untuk menunjang kegiatan minat

khusus ekowisata meliputi:

1. Perencanaan kebutuhan prasarana wisata: jalan, jembatan, telepon

disesuaikan dengan arah pengembangan obyek dan daya tarik wisata.

2. Pemenuhan kebutuhan prasarana ekowisata secara bertahap diusahakan

pada obyek-obyek dan daya tarik wisata unggulan.

Page 104: 2009mza_ekowisata

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang telah dipaparkan di atas,

maka dapat ditarik kesimpulan :

1. Dalam pengembangan ekowisata di kawasan HLGL mempunyai :

Kekuatan, yaitu tingginya nilai potensi ekologis dan estetika; terjalinnya

kerjasama dengan mitra; dan kebijakan Pemda baik pusat maupun daerah.

Kelemahan, yaitu jumlah dan kualitas SDM belum memadai; terbatasnya

sumber dana; sarana dan prasarana kurang memadai; serta data dan

informasi potensi belum bisa diakses.

Peluang, yaitu adanya dukungan masyarakat; persepsi dan keinginan untuk

berpartisipasi terhadap pengembangan ekowisata; dukungan stakeholders;

peluang peningkatan PAD; tingginya minat masyarakat berwisata;

program Disbudpar; dan kesediaan mitra untuk membantu dalam

pemasaran.

Ancaman, yaitu degradasi hutan; krisis ekonomi yang mempengaruhi

pendapatan masyarakat; pemahaman masyarakat terhadap ekowisata

masih sangat rendah; dan aksesibilitas lokasi kawasan HLGL masih sulit.

2. Strategi pengembangan ekowisata di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

(HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur adalah membuat

organisasi yang lebih baik, pengembangan sarana dan prasarana termasuk

peningkatan fasilitas dan pelayanan serta pengembangan infrastruktur yang

lebih baik, sehingga dapat menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna

menghasilkan berbagai kebijakan yang dapat menunjang pengembangan

ekowisata di kawasan HLGL dan menciptakan kesempatan kerja dan berusaha

bagi masyarakat sekaligus memperkenalkan budaya masyarakat sekitarnya.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas disarankan agar pemerintah Kabupaten

Paser:

1. Membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata

yang terintegrasi dalam tataruang wilayah kabupaten, provinsi dan nasional.

Page 105: 2009mza_ekowisata

88

2. Dinas Pariwisata sebagai instansi teknis agar dalam pengembangan ekowisata

berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Bappeda Kabupaten Paser dalam

merencanakan dan memfasilitasi pendampingan bagi masyarakat lokal, agar

masyarakat dapat mengetahui potensi lain dari kawasan HLGL, sehingga

proaktif dalam proses pengembangan kawasan ekowisata yang bernilai guna.

Page 106: 2009mza_ekowisata

DAFTAR PUSTAKA

Aipassa, M. 2004. Nilai ekologi dan hidrologi kawasan hutan lindung gunung lumut dan permasalahan serta ancaman. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.

Avenzora R. 2004. Ekoturisme: Pengembangan Wilayah Daerah Penyangga

Kawasan Dilindungi. Media Konservasi Vol.3, No.6: 31-35. BPPS Pemda Kabupaten Paser, 2007, Kabupaten Paser dalam Angka 2007, Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Paser 2007. Cooper C., J. Fletcher., D. Gilbert and Wanhill. 1993. Tourism, Principles and

Practice. Essex: Longman Group Limited. Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur, 1986 Laporan Pembuatan

Tata Batas Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Daerah Tingkat II Pasir, Propinsi Daerah Tingkat 1 Kalimantan Timur, Balikpapan.

[Depbudpar-RI] Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

2002. Blue Print Pariwisata. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, 2002, Laporan Infentarisasi Fauna

disebagian kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur, Balikpapan.

Dinas Pariwisata Kabupaten Paser, 2008, Pesona Eksotika Pariwisata Kabupaten

Paser, (Brosur 2008). [Disbudparnas] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nasional. 2007. Pariwisata

Indonesia. http://www.disbudparnas.go.id [10 Juni 2007]. Fandeli C, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas

Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Fennel,D.A. 1999. Ecotourism An Introduction London : Routledge. 315p. Hafild E. 1995. Dimensi Konservasi, Penduduk dan Kerakyatan dalam

Ekowisata. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. Hidayati. D. Mujiyani. L. Rachmawati. A Zaelani. 2002. Ekowisata:

Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hidayati. D. Mujiyani. L. Rachmawati. A Zaelani. 2003. Ekowisata:

Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Page 107: 2009mza_ekowisata

90

Inskeep, E. 1991. Tourism planning : an integrated and sustainable development approach. New York: van Nostrand Reinhold.

Irma Nurhayati, 2006. Studi pengetahuan tradisional masyarakat di sekitar

kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur; Kajian Pemanfaatan Tumbuhan, Departemen Konservasi Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Kesuma, F. 2000. Potensi pengembangan ekowisata di wilayah pesisir pulau

Talise Sulawesi Utara. Tesis Magister. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusler JA. 1991. Ecoturism and Resources Conservation : A Collection of

Papers. Volume ke-1. Ecoturism and Resources Conservation Project. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan

yang Dilindungi di Daerah Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nazir M. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Yakarta. Ngadiono. 2004. 35 (Tiga Puluh Lima) Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia

”Refleksi dan Prospek”. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. Nooryashini, S.J.; E. Wetik dan I. Suryadi. 2004. Identifikasi dan Kajian Awal

Mengenai stakeholder di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan Sekitarnya Kabupaten Paser Kalimantan Timur. TBI Indonesia. Balikpapan.

Nurbandiah. 2008. Inventarisasi potensi wisata di Hutan Lindung Gunung Lumut

Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, (Skripsi). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pribadi SI, Elisabeth W., Tunggal B., editor. 2005. Potret Hutan Lindung

Gunung Lumut. Di dalam Bersama Melestarikan Hutan Lindung Gunung Lumut. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut; Tanah Grogot, 1-2 Desember 2004. Balikpapan: Tropenbos International Indonesia. hlm 8-10.

Puspitasari, A. 2008. Analisis pasar wisata potensial Hutan Lindung Gunung

Lumut, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, (Skripsi). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Tehnik Membeda Kasus Bisnis. PT.

Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.

Page 108: 2009mza_ekowisata

91

Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Tehnik Membeda Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.

Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Tehnik Membeda Kasus Bisnis. PT.

Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. Sabara, EJ. 2006. Pemetaan konflik pengelolaan sumber daya hutan di Hutan

Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur, (Skripsi). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Saragih, B. 2004. Nilai ekonomi Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut bagi

Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Paser. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.

Sarjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan Masyarakat Lokal, Politik

dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Yogyakarta. Sekartjakrarini S. Dan Legoh, N.K. 2004. Rencana Strategis Ekowisata

Nasional. Penerbit Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta. Simorangkir D., editor. 2006. Biodiversity Assesment in Mount Lumut Forest

Protection, Paser District, East Kalimantan. Tropenbos International Indonesia, in press.

Surbakti. SS., 2006. Kajian kebijakan pengelolaan Hutan Lindung Gunung

Lumut Kabupaten Paser Kalimantan Timur, (Skripsi), Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut pertanian Bogor.

Suryadin. D., 1993. Studi tentang respon masyarakat terhadap pengamanan

Taman Nasional Kutai. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarindah.

TBI. 2006. Keanekaragaman Hayati, Sosial Ekonomi dan Pengelolaan Hutan

Lindung Gunung Lumut. Tropenbos International Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur.

Wahyuni, T; Suryanto; Amblani dan S. Utari. 2004. Kajian Sosial Ekonomi

Pengelolaan Hutan Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda.

Wall G. 1995. Introduction to Ecoturism. Dalhausie University. Enviromental

Studies Center Defelopment in Indonesia Project. Jakarta. 121p. Weber F, Damanik J. 2006. Perencanaan Ekowisata. Yogyakarta: C.V. Andi

Offset.

Page 109: 2009mza_ekowisata

LAMPIRAN

Page 110: 2009mza_ekowisata

93

Lampiran 1: Panduan Wawancara dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

1. Obyek-obyek wisata yang ada di wilayah Pemerintah Kabupaten Paser

khususnya Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)

2. Rencana dalam pembangunan dan pengembangan daerah yang terkait dengan

usaha wisata minat khusus ekowisata

3. Kegiatan wisata yang akan dan yang telah dilaksanakan

4. Kerjasama dengan instansi lain dalam pengembangan ekowisata baik dengan

instansi pemerintah maupun swasta

5. Pendapat secara umum tentang kegiatan wisata di Kabupaten Paser khususnya

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)

6. Pendapat dan saran bila dilaksanakan pengembangan ekowisata di Hutan

Lindung Gunung Lumut (HLGL)

7. Kendala yang dihadapi apabila dilakukan pengembangan ekowisata

8. Upaya yang telah dan yang akan dilaksanakan dalam usaha penyelesaian

permasalahan mengenai hambatan/kendala dalam pengembangan ekowisata

Page 111: 2009mza_ekowisata

94

Lampiran 2: Panduan Wawancara dengan Pihak Terkait, Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

1. Nilai kekhasan utama yang terdapat di HLGL yang dapat dijadikan obyek

wisata

2. Jenis flora dan fauna yang khas, langka/dilindungi dan unik yang

mendominasi di HLGL

3. Daya tarik wisata lain yang terdapat di HLGL seperti sejarah, budaya,

pemandangan alam

4. Pendapatan mengenai potensi yang menarik untuk dikembangkan menjadi

obyek wisata minat khusus ekowisata

5. Apakah pernah ada pengunjung yang datang ke kawasan HLGL untuk tujuan

lain seperti berziarah, rekreasi dan lain-lain

6. Pendapatan apabila ada pengembangan ekowisata di HLGL

7. Rencana pengembangan ekowisata yang belum dan yang sudah dilaksanakan

8. Sarana dan prasarana penunjang yang telah tersedia dan yang akan di

kembangkan

9. Apakah sudah ada kerjasama dengan pengelola di HLGL

10. Kebijakan yang berlaku di Kabupaten Paser mengenai ekowisata

Page 112: 2009mza_ekowisata

95

Lampiran 3: Panduan Wawancara dengan Pemerintah Desa dan Tokoh Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)

1. Pendapat tentang kondisi HLGL secara umum 2. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat 3. Kondisi sarana prasarana ekonomi, kesehatan, transportasi, komunikasi dan

keamanan yang tersedia 4. Potensi yang dimiliki masyarakat mengenai sistem sosial budaya yang khas

ataupun ketrampilan yang khas dan unik 5. Potensi budaya masyarakat yang khas 6. Rencana pengembangan pemerintah Desa yang sedang dan yang akan

dilakukan 7. Kemungkinan jika dikembangkan wisata minat khusus ekowisata di HLGL 8. Pendapat mengenai potensi HLGL yang dapat dikembangkan menjadi wisata

minat khusus ekowisata 9. Tumbuhan flora yang berguna dan menarik bagi masyarakat 10. Satwa fauna yang sering ditemukan di kawasan HLGL 11. Lokasi-lokasi di HLGL yang menarik menurut masyarakat dan belum

dikembangkan 12. Pendapat tentang pengembangan ekowisata di HLGL 13. Permasalahan/kendala yang dihadapi masyarakat apabila adanya

pengembangan wisata minat khusus ekowisata di HLGL 14. Harapan dan keinginan masyarakat apabila adanya pengembangan wisata

alam di HLGL

Page 113: 2009mza_ekowisata

96

Lampiran 4:

KUISIONER PENELITIAN (untuk masyarakat) STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG

GUNUNG LUMUT (HLGL) KABUPATEN PASER PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

No. Responden :

Tanggal : Pedoman Umum Pengisian : Berilah tanda silang (X) pada setiap jawaban yang anda pilih paling sesuai ! A. Data pribadi masyarakat

1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Umur/tgl lhr : a. 17-35 tahun b. 36-55 tahun c. 55 tahun lebih 3. Pekerjaan : a. petani b. pedagang c. guru d. lain-lain ......... 4. Pendidikan Terakhir : a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi 5. Asal Daerah : ........................ 6. Jumlah tanggungan keluarga : ........ orang

B. Persepsi Masyarakat

1. Apakah Anda mengetahui lokasi HLGL ? a. Ya b. Tidak

2. Bagaimana menurut anda pengelelolaan HLGL selama ini? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

3. Apakah anda mengetahui objek-objek yang menarik di HLGL, sebutkan ? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

4. Apakah anda mengetahui jenis kesenian daerah yang terdapat di sekitar

HLGL? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

Page 114: 2009mza_ekowisata

97

5. Apakah Anda senang dan menerima kawasan HLGL dijadikan sebagai tempat wisata ? a. Ya b. Tidak

6. Apakah menurut Anda kegiatan wisata, khususnya ekowisata di kawasan HLGL akan dapat memberikan keuntungan ? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

7. Setujukah Anda jika kawasan ini dikelola dengan lebih baik dan

masyarakat lokal lebih banyak berperan ? a. Setuju b. Tidak setuju ....................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

8. Jika setuju, apakah Anda akan berpartisipasi lebih aktif a. Ya b. Tidak

C. Partisipasi

1. Apakah Anda mengetahui secara detail tempat-tempat yang dapat dijadikan objek wisata di kawasan HLGL? a. Ya b. Tidak

2. Apakah anda mempunyai pekerjaan yang ada hubungannya dengan kawasan HLGL ? a. Ya b. Tidak

2. Jika ya, jenis kegiatan apa yang Anda lakukan? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Guide d. Berjualan makanan/minuman b. Porter e. Lainnya : ............................ c. membuat souvenir

3. dimana lokasi usaha anda ?

a. di gerbang pintu masuk kawsan b. di sekitar pemukiman penduduk c. di areal batas desa d. lainnya : ...............................

4. Apakah Anda akan ikut berpartisipasi dan mendukung kegiatan wisata di

kawasan HLGL pada masa yang akan datang ? a. Ya, bentuk partisipasi ..................... b. Tidak

Page 115: 2009mza_ekowisata

98

5. Apa harapan dan saran Anda terhadap pengembangan ekowisata pada kawasan hutan lindung Gunung Lumut pada masa yang akan datang ? a. Harapan : ..............................................................................................

..................................................................................................................

.............................................................................. b. Saran : ......................................................................................................

Page 116: 2009mza_ekowisata

99

Lampiran 5:

KUISIONER PENELITIAN (untuk pemerintah) STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA HUTAN LINDUNG

GUNUNG LUMUT (HLGL) KABUPATEN PASER PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

No. Responden :

Tanggal : Pedoman Umum Pengisian : Berilah tanda silang (X) pada setiap jawaban yang anda pilih paling sesuai ! 1. Data pribadi

1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 2. Pendidikan : a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi 3. Asal Instansi : ........................ 4. Jabatan : ........................

2. Pertanyaan

1. Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu/Saudara (i) tentang pengelolaan ekowisata pada kawasan HLGL yang telah dilakukan selama ini? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

2. Apakah Bapak/Ibu/Saudara (i) mengetahui rencana pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL dan bagaimana pendapat bapak dengan rencana tersebut ? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

3. Apakah Bapak/Ibu/Saudara (i) bersedia untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL? a. Ya b. Tidak ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

4. Jika jawaban no.3 ”Ya”, sampai kapan dukungan tersebut Bapak/Ibu/Saudara (i) berikan ? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

Page 117: 2009mza_ekowisata

100

5. Apakah ada kendala/permasalahan/keluhan yang Bapak/Ibu/Saudara (i) hadapi selama ini dalam pengelolaan HLGL? ...................................................................................................... ....................................................................................................... .......................................................................................................

6. Harapan dan saran apa yang Bapak/Ibu/Saudara (i) inginkan untuk pengembangan ekowisata pada kawasan HLGL kedepan nantinya? Harapan : ...................................................................................................... ....................................................................................................... ....................................................................................................... Saran : ....................................................................................................... ...................................................................................................... .......................................................................................................