26
BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 DEFINISI Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4 Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan I n t e r n a t i o n a l Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5 Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang. 5 2.2 EPIDEMIOLOGI Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. 7

3. BAB III

Embed Size (px)

DESCRIPTION

3

Citation preview

Page 1: 3. BAB III

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak

terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4 Menurut

International League Against Epilepsy (ILAE) dan I n t e r n a t i o n a l Bureau

for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan

otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan

kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya

konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya

satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.5 Status epileptikus merupakan kejang

yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran

kesadaran diantara dua serangan kejang.5

2.2 EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,

sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka

epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju

ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai

100/100,000.7

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan

pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di

bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000

kasus).9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi,

yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.1 0

2.3. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

Page 2: 3. BAB III

• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita

epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya

pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan

ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil.

• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.

Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan

metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan

neurodegeneratif.

• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,

termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi

mioklonik

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League

Against Epilepsy (ILAE) 1981:

I . Kejang Parsial (fokal)

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala sensorik

3. Dengan gejala otonomik

4. Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-

klonik, tonik atau klonik)

1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

Page 3: 3. BAB III

3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,

dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A. lena/ absens

B. mioklonik

C. tonik

D. atonik

E. klonik

F. tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :

I. Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum

A. I d i o p a t i k

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal

convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

West’s syndrome (infantile spasms)

Page 4: 3. BAB III

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

C. S i m t o m a t i k

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

2.5 PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter

eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan

neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf

dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil

dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter

eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan

neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)

dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi

transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron

mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi

potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan

melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik,

dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran

mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks

Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik

berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh

sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi.

Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti

akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-

neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan

pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas

muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu

Page 5: 3. BAB III

serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat

yang penting untuk fungsi otak.

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

1. Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara

lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum,

onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan

pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa

detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat

beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari

Page 6: 3. BAB III

thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa

penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada

sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit

abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium

sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara

normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3

Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.

Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal

ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign

familial neonatal convulsions. Pada kanal ion yang normal terjadi

keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya

ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan

repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada

kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures

plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks

tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang

berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron

(gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion

dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang

berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar 1C)

2. Patofisiologi Epilepsi Parsial

Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah

epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada

sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel

Page 7: 3. BAB III

piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari

korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori

dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular) (gambar 2).

Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat

menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal. Pada

sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan

molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang

aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara

membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping

itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara

normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di

hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di

daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula

dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan

inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan

ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5

subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi

neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal,

terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah

sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya

menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat

diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu

mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan

menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang

berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion

calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi

kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

3. Patofisiologi Anatomi Seluler

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,

stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan

saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik

Page 8: 3. BAB III

yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik

pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan

dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada

gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah

yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga

terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus ) di otak. Disisi lain epilepsi

juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa

menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang biologi

molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi

maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini

bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke

sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-

sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat

(NMDAR) disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8

Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari

obat antiepilepsi.7 Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya

beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain

kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya

dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi

lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari

resepot nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion maka peran

natrium, kalium dan kalsium merupakan ion- ion yang berperan dalam sistem

komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini

menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame

neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka

bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi.

Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal

epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid

(GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin

(yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi,

asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab

terhadap memori dan proses belajar. (Fitri Octaviana, 2008)

Page 9: 3. BAB III

2.6 GEJALA

• Kejang parsial simplek

Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala

berupa:

- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya

Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak

dapat dijelaskan

- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian

tubih tertentu.

- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu

- Halusinasi

• Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan

lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak

akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:

- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah

- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya

- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam

keadaan seperti sedang bingung

- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang

- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

• Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap

tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini

pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini

biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum

serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga

berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan

keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan

yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:

Page 10: 3. BAB III

terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau

buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien

mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam

ini.

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan

hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis

menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,

meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan

penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),

meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

Page 11: 3. BAB III

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,

gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-

sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit

sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota

tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan

merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk

rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard

untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang

timbul secara paroksimal.

b. Rekaman video EEG

Page 12: 3. BAB III

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang

sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan

lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan

antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk

mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini

sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui

secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan

lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada

persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk

melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan

CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih

rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri

serta untuk membantu terapi pembedahan.

Page 13: 3. BAB III

2.8 TERAPI

Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan

pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen

maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30

menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10

menit

Page 14: 3. BAB III

Algoritme manajemen status epileptikus

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.

Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

• OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal

dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan

pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.

• Terapi dimulai dengan monoterapi

• Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis

efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan

bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol

bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar

terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

• Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat

diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila

kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas

pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala

disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

• Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

• Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi pronduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl

atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE

Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah

2 tahun bebas serangan .

Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:

• Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah

minimal 2 tahun bebas bangkitan

Page 15: 3. BAB III

• Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap

bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

• Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE

yang bukan utama

Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai

pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan

tetapi mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak

terdapat pada obat kejang lainnya seperti retensi urin. Hal inilah yang

menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's) masih

mempertimbangkan obat in

Page 16: 3. BAB III

Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom

Obat epilepsi untuk anak

Page 17: 3. BAB III
Page 18: 3. BAB III

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh

terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)

dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang

bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak,

bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi

didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi.

Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.

Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna

narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi

selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari

narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam

process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang epilepsi

mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi

penyebab pastinya tetap belum diketahui.

3.2 Saran

Disarankan kepada pembaca agar menghindari faktor resiko penyebab epilepsi

karena epilepsi dapat ditimbulkan karena kebiasaan yang salah.