Upload
faza-naufal
View
22
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tinjauan pustaka depresi
Citation preview
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Depresi
3.1.1. Pengertian Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan,2010).
Depresi merupakan bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif,
mood) yang biasa ditandai dengan kemurungan, kesedihan, kelesua, kehilangan
gairah hidup, tidak ada semangat, merasa tidak berdaya, perasaan bersalah, tidak
berguna, dan putus asa (Yosep, 2007). Mekanisme terjadinya yaitu, depresi
berkaitan dengan kadar neurotransmitter terutama norepinefrin dan serotonin di
dalam otak. Kadar norepinefrin da serotonin yang rendah dapat menyebabkan
depresi (Prayitno, 2008). Reseptor serotonin atau 5-Hydroxytriptamine (5-HT)
merupakan senyawa neurotransmitter monoamin yang terlibat pada penyakit
depresi. Serotonin di otak disekresikan oleh raphe nuclei di batang otak. Serotonin
disintesis oleh perkusornya yaitu triptofan dengan dibantu enzim triptofan
hidroksilase dan asam amino aromatic dekarboksilase, serotonin yang terbentuk
kemudian disimpan di dalam monoamine vesikuler, selanjutnya jika ada picuan
serotonin akan terlepas menuju celah sinaptik. Serotonin yang terlepas akan
mengalami berdifusi menjauh dari sinaptik, dimetabolisir oleh MAO,
mengaktivasi reseptor presinaptik, mengaktivasi reseptor post-sinaptik dan
mengalami re-uptake dengan bantuan transporter serotonin presinaptik (Ikawati,
2008).
3.1.2. Epidemiologi
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta
penduduk dunia mengalami depresi. Survey yang dilakukan di 17 negara eropa,
rata-rata 1 dari 20 orang pernah mengalami depresi (Marcus, 2012).
15
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk di atas 15 tahun di
Indonesia berdasarkan data Riskesda tahun 2007 mencapai 11,6% atau diderita
sekitar 19 juta orang (RISKESDAS, 2007).
Depresi lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan risiko 2
kali lebih besar. Rata-rata usia onset untuk depresi adalah sekitar 40 tahun. 50%
dari semua pasien mempunyai onset antara 20-50 tahun. Prevalensi depresi tidak
berbeda dari satu ras ke ras lain. Pada umumnya, depresi paling sering terjadi
pada orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang
bercerai atau berpisah (Kaplan dkk, 2010).
3.1.3. Etiologi dan Patofisiologi Depresi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan
dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a.Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic
acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan
cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait
dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin
pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana
konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi.
Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan
aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter
amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-
16
Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik
sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis
HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi
diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau
adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang
mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi
seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur
oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia terjadi
penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak
monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama
rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada
sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius
(Lesler, 2001). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur
tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di
dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadisetengah pada
umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
b.Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di
antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi
berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi
umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada
kembar monozigot (Davies, 1999).Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap
depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat
17
penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses
menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap
penyakit adalah genetik.
c.Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial
yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada
umumnya berhubungan dengan kehilangan.
Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya
otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan
isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010)
Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri,
kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringa n sosial,
kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakitfisik (Kane, 1999).Faktor
psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan
stressor lingkungan,kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidup an hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010).
Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang
dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung
lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi (hardywinoto, 1999). Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian
tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik,
histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan
kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai
mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010). Faktor
18
psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa
kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010).
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan
(2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia
menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara
internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa
introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu
objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa
pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan
dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang
berkabung tidak demikian. Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang
yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang,
binatang akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari.
Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang
menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif
tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).
3.1.4. Manifestasi Klinis
Perubahan Fisik
Penurunan nafsu makan.
Gangguan tidur.
Kelelahan dan kurang energy
Agitasi.
Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik.
Perubahan Pikiran
Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit
mengingat informasi.
Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.
19
Kurang percaya diri.
Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.
Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.
Adanya pikiran untuk bunuh diri.Perubahan Perasaan
Penurunan ketertarikan dde ngan lawan jenis dan melakuka n hubungan
suami istri.
Merasa bersalah, tak berdaya.
Tidak adanya perasaan.
Merasa sedih.
Sering menangis tanpa alas an yang jelas.
Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.
Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari
Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.
Menghindari membuat keputusan.
Menunda pekerjaan rumah.
Penurunan aktivitas fisik dan latihan.
Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.
Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia, edisi ke-3. Gejala depresi dibagi menjadi:
Gejala utama
Afek depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan
Berkurangnya energi sehingga meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit) dan menurunnya aktivitas.
Gejala lainnya
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
pandangan masa depan yang suram dan pesimis
20
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
tidur terganggu
nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.
3.1.5. Derajat depresi dan penegakan diagnosis
Gangguan depresi ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang merujuk pada ICD 10
(International Classification Diagnostic 10). Gangguan depresi dibedakan dalam
depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta
dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang (Maslim,2000).
Gejala Utama
Perasaan depresif
Hilangnya minat dan semangat
Mudah lelah dan tenaga hilang
Gejala Lain
Konsentrasi dan perhatian menurun
Harga diri dan kepercayaan diri menurun
Perasaan bersalah dan tidak berguna
Pesimis terhadap masa depan
Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
Gangguan tidur
Gangguan nafsu makan
Menurunnya libido
Kriteria untuk penentuan keparahan untuk episode depresi berat berdasarkan
DSM IV diterangkan sebagai berikut:
Ringan: jika ada gejala yang melebihi dari yang diperlukan untuk membuat
diagnosis dan gejala menyebabkan hanya gangguan ringan dalam fungsi
21
pekerjaan atau dalam aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan dengan
orang lain.
Sedang: geala atau gangguan fungsional berada diantara ringan dan parah
Parah tanpa ciri psikotik: beberapa gejala adalah melebihi dari yang
diperlukan untuk membuat diagnosis, dan gejala dengan jelas mengganggu
fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan dengan
orang lain.
Dengan ciri psikotik: waham atau halusinasi. Jika mungkin sebutkan apakah
ciri psikotik adalah sejalan dengan mood atau tidak sejalan dengan mood.
Ciri psikotik sejalan dengan mood: waham atau halusinasi yang isi
keseluruhannya adalah konsisten dengan tema depresif tipikal tentang
ketidakberdayaan probadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilism atau
hukuman yang layak diterima.
Ciri psikotik yang tidak sejalan dengan mood: waham atau halusinasi yang
isinya tidak memiliki tema depresif tipikal tentang ketidakberdayaan
probadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilism atau hukuman yang
layak diterima. Termasuk di sini adalah gejala tertentu seperti waham
kejar (tidak secara langsung berhubungan dengan tema depresif), sisip
pikiran, siar pikiran dan waham dikendalikan.
3.1.6. Deferensial Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada
penderita depresi, dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga
menyebabkan terapi yang inadekuat untuk pasien. Berdasarkan
kepustakaan, ada beberapa kondisi yang harus benar-benar diperhatikan
sebagai diagnosa banding dari depresi (Kaplan, 2010), diantaranya adalah:
1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,
2. Pasien yang terdapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat
badan harus diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,
3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk
sindrom imunodefisiensi sindrom (AIDS),
22
4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis
lainnya,
Penyakit Parkinson adalah masalah neurologis yang paling umum
bermanifestasi sebagai gejala depresif
3.1.7. Tatalaksana Episode Depresi
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu
pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih
lanjut (Elvira, 2013)
Tatalaksana pada pasien episode depresi sedang terdiri dari farmakoterapi
dan psikoterapi. Sebagian besar klinisi dan peneliti percaya bahwa kombinasi
psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif.
3.1.7.1. Psikoterapi
Psikoterapi terdiri dari terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi
psikodinamik (Kaplan dkk, 2010).
a. Terapi kognitif
Tujuan :
Bertujuan memberikan peringanan gejala melalui perubahan pikiran
sasaran, mengidentifikasi kognisi yang menghancurkan diri sendiri,
memodifikasi anggapan salah yang spesifik dan mempermudah
pengendalian diri terhadap pola pikiran.
Teknik :
Teknik yang digunakan adalah mencatat dan memonitor kognisi,
mengoreksi tema yang menyimpang dengan tes logika dan
eksperimental, memberikan isi pikiran alternatif, dan pekerjaan rumah.
b. Terapi interpersonal
Tujuan :
Bertujuan memberikan keringanan somatik melalui pemecahan
masalah interpersonal sekarang, menurunkan stres yang melibatkan
keluarga atau pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan interpersonal.
Teknik :
23
Teknik yang digunakan adalah menjelaskan dan menangani hubungan
maladaptif dan mempelajari hubungan yang baru melalui latihan
komunikasi dan keterampilan sosial, dan memberikan informasi
tentang penyakit.
c. Terapi psikodinamik
Tujuan :
Bertujuan menimbulkan perubahan kepribadian melalui pengertian
konflik masa lalu, mencapai tilikan ke dalam pertahanan, distorsi ego
dan defek superego, memberikan model peran; dan memungkinkan
pelepasan katartik dari agresi.
Teknik :
Teknik yang digunakan adalah menganalisis transferensi dan resistensi
secara penuh atau parsial, konfrontasi dengan pertahanan, dan
menjelaskan distorsi ego dan superego.
3.1.7.2. Farmakoterapi
Saat akan memberikan terapi obat-obatan, pasien dan keluarga pasien
perlu diberikan informasi tentang pengobatannya. Saat memperkenalkan masalah
pengobatan pada pasien, dokter harus menekankan bahwa gangguan depresi
adalah suatu kombinasi faktor biologis dan psikologis, dan semua manfaat dari
terapi obat. Dokter juga harus menekankan bahwa pasien tidak akan mengalami
ketagihan terhadap antidepresan, karena obat tersebut tidak memberika pemuasan
yang segera. Dokter harus mengatakan pada pasien mungkin diperlukan waktu 3
sampai 4 minggu untuk dapat dirasakan efek antidepresan dan kendatipun pasien
tidak menunjukkan perbaikan pada waktu tersebut, medikasi lain tersedia. Dokter
harus menjelaskan efek samping yang diperkirakan secara terinci (NICE, 2009).
Dalam pengobatan semua gangguan mental, alasan terbaik untuk memilih
obat adalah riwayat respon yang baik dengan obat tersebut pada pasien atau
anggota keluarga. Jika informasi tersebut tidak ada, pemilihan obat didasarkan
pada terutama efek yang merugikan dari obat. Klinisi harus mempertimbangkan
keparahan dan frekuensi efek yang merugikan yang potensial jika menggunakan
24
efek samping sebagai dasar untuk memilih dari antara berbagai antidepresan yang
tersedia (Kaplan dkk, 2010).
Untuk melakukan pengobatan farmakoterapi pada pasien dengan gangguan
depresi sedang dan berat, ada 3 tahapan yang harus dipertimbangkan antara lain :
a. Fase akut, fase ini berlangsung 6 sampai 10 minggu. pada fase ini bertujuan untuk
mencapai masa remisi ( tidak ada gejala ).
b. Fase lanjutan, fase ini berlangsung selama 4 sampai 9 bulan setelah mencapai
remisi. pada fase ini bertujuan untuk menghilangkan gejala sisa atau mencegah
kekambuhan kembali.
c. Fase pemeliharaan, fase ini berlangsung 12 sampai 36 bulan. Pada fase ini
tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali.
Obat antidepresan terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan ikatan
trisiklik dan tetrasiklik, golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)
Reversible, golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor, golongan
antidepresan atipikal.
Golongan Ikatan Trisiklik dan Tetrasiklik
Semua trisiklik memiliki inti tiga cincin dalam struktur molekulernya
sedangkan tetrasiklik memiliki inti empat cicin dalam struktur molekulernya. Obat
trisiklik memiliki banyak sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang mirip
dan memiliki sfat reaksi merugikan yang mirip. Obat tetrasiklik awalnya
diperkenalkan berbeda secara bermakan dengan trisiklik , tetapi penelitian lebih
lanjut dan pemaikain klinis telah menunjukkan bahwa kedua-duanya paling baik
dipandang sebagai anggota keluarga besar obat (Kaplan dkk, 2010).
Efek jangka pendek obat trisiklik dan tetrasiklin adalah untuk menurunkan
ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, dan menghambat reseptor asetilkolin
muskarinik dan histamin (Ciraulo dkk, 2011).
Pemberian jangka panjang obat trisiklik dan tetrasiklik menyebabkan
penurunan jumlah reseptor beta adrenergik dan kemungkinan yang serupa dalam
jumlah reseptor serotonin tipe 2 (Kaplan dkk, 2010).
Efek samping obat trisiklik dan tetrasiklik, yaitu mampu merangsang
aktivitas antikolinergik (antimuskarinik) yang dapat menyebabkan sembelit, mulut
25
kering, retensi urin dan dispepsia. Pada pasien usia lanjut, efek samping yang
lebih berat seperti takikardia, kebingungan, agitasi bahkan delirium dapat terjadi.
Sementara reaksi antagonis alfa1-adrenergik dan reaksi antihistamin masing-
masing dapat menyebabkan hipotensi ortostatik dan peningkatan berat badan
(Ciraulo dkk, 2011).
Dosis obat untuk trisiklik dan tetrasiklik bervariasi dan dijelaskan pada
tabel 1.
Tabel 1. Dosis Obat Trisiklik dan Tetrasiklik pada Orang Dewasa
26
Dikutip dari Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston University School of
Medicine. England. Hal: 33-100.
Golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)
Penghambat monoamine oksidase merupakan terpilih untuk gangguan
depresi sebagai indikasi utamanya dan biasanya memiliki kemanjuran yang sama
jika dibandingkan dengan obat antidepresan lainnya. MAOI sekarang jarang
digunakan dikarenakan pembatasan diet yang harus diikuti untuk menghindari
krisis hipertensi akibat konsumsi tyramine. Empat jenis MAOI yang sering
digunakan di Amerika Serikat, yaitu Isocarboxazid, Phenelzine,
Tranylccypromine dan Selegiline (Kaplan dkk, 2010).
Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor memiliki aktivitas
spesifik dalam hal inhibisi ambilan kembali serotonin tampa efek pada ambilan
kembali norepinefrin dan dopamine. SSRI juga tidak memiliki sama sekali
aktivitas agonis dan antagonis pada tiap reseptor neurotransmitter (Kaplan, 2010).
Meskipun umumnya SSRI dapat ditoleransi dengan baik, SSRI dapat
menyebabkam rasa cemas, gangguan tidur dan gangguan pencernaan. SSRI bisa
dikelola dengan menurunkan dosis atau memperlambat peningkatan dosis
sementara mengobati gejala sasaran (misalnya ondansetron untuk mual,
lorazepam untuk insomnia) (Ciraulo dkk, 2011).
Dosis obat untuk Selective Serotonin Reuptake Inhibitor dijelaskan pada
tabel 2.
27
Tabel 2. Dosis Obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor pada Orang Dewasa
Dikutip dari Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston University School of
Medicine. England. Hal: 33-100.
Golongan Antidepresan Atipikal
Golongan antidepresan atipikal adalah obat antidepresan yang tidak cocok jika
dimasukkan dalam klasifikasi obat antidepresan lainnya (trisiklik, MAOI, dan
SSRI). Jenis obat antidepresan atipikal, yaitu bupropion, venlafaxine, mirtazapine,
dan Trazodone.
Venlafaxine
Venlafaxine termasuk golongan Serotonin and Norepinephrine Reuptake
Inhibitors (SNRI). SNRI pada dasarnya perkembangan dari obat SSRI dan
memiliki efikasi lebih tinggi dari pada SSRI karena SNRI mempunyai
mekanisme ganda, yaitu menghambat transporter serotonin dan
norepinefrin. Obat golongan SNRI yang digunakan adalah venlafaxine
(DeFeo, 2008).
Venlafaxine adalah inhibitor nonselektif ambilan kembali 3 amin
biogenic, yaitu serotonin, norepiefrin, dan dopamin. Obat ini paling kuat
sebagai inhibitor ambilan kembali serotonin, tetapi potensinya sebagai
inhibitor ambilan kembali norepinefrin juga tinggi, dan potensinya sebagai
inhibitor ambilan kembali dopamine cukup bermakna (DeFeo, 2008).
Bila venlafaxin tersedia dalam bentuk tablet 37,5 mg dan 75 mg.
dosis awal lazimnya pada pasien depresi rawat jalan adalah 75 mg sehari,
diberikan dalam 2 sampai 3 dosis terbagi. Pada populasi pasien tersebut
28
dosis dapat ditingkatkan sampai 150 mg sehari, diberikan dalam 2 atau 3
dosis terbagi setelah periode pemeriksaan klinis yang cukup dengan dosis
lebih rendah. Dosis maksimum venlafaxine adalah 375 mg sehari (Kaplan
dkk, 2010).
Bupropion
Bupropion termasuk golongan Norepinephrine and Dopamine
Reuptaking Inhibitors (NDRI), NDRI bekerja pada transporter
norepineprin dan dopamine sehingga meningkatkan jumlah kedua
neurotransmitter tersebut pada postsynaptic cell. Bupropion juga tidak
menyebabkan disfungsi seksual dan penambahan berat badan sehingga
diindikasikan pada orang yang mengalami disfungsi seksual akibat SSRI
(DeFeo, 2008).
Bupropion tersedia dalam bentuk tablet 75 mg dan 100 mg. awal
terapi pada pasien dewasa rata-rata harus 100 mg per oral 2kali sehari.
Pada hari ke empat terapi dosis dapat ditingkatkan 100 mg per oral 3 kali
sehari. Dosis tunggal bupropion tidak boleh melebih 150 mg dan dosis
harian total tidak boleh melebih 450 mg (Kaplan dkk, 2010).
Mirtazapine
Mirtazapine termasuk golongan Noradrenergic and specific
antidepressants (NaSSA). Cara kerja NaSSA adalah dengan menghambat
reseptor alfa-2 adrenergik pada presinaptik dan postsinaptik tetapi juga
memiliki afinitas yang rendah pada reseptor alfa-1 adrenergik. NaSSA
juga menghambat reseptor serotonin 5HT2 dan 5HT3. Dosis awal yang
harus diberikan adalah 15 mg dan maksimal 45 mg dikonsumsi setiap
malam sebelum tidur (Halverson, 2015).
Algoritma pengobatan farmakoterapi episode depresi sedang atau berat
tanpa ada kontrindikasi terhadap antidepresan.
29
Gambar 1. Algoritma Pengobatan Farmakoterapi Episode Depresi Sedang atau
Berat
Dikutip dari Yuniastuti. 2013. Evaluasi Terapi Obat Antidepresan pada Pasien Depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Tahun 2011-2012. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Indonesia. Hal: 1-10.
Jika obat yang diberikan kepada pasien tidak berespon setelah pemakaian
2 minggu atau 3 minggu maka periksa apakah obat memang benar dikonsumsi
secara teratur atau ada disposisi farmakokinetik (NICE, 2009)
Jika obat antidepresan pertama telah digunakan secara adekuat dan
konsentrasi plasma yang adekuat telah dicapai tetapi tidak memberikan respon
yang maksimal maka dapat dilakukan dua pilihan, yaitu memperkuat obat dengan
lithium, liothyronine atau L-tryptophan atau mengganti agen primer alternatif
(Kaplan, 2010).
Jika pengobatan 2 atau 3 minggu pertama memiliki respon maka dokter
wajib meyakinkan pasien depresi untuk melanjutkan pengobatan minimal 6 bulan.
30
Pasien depresi yang secra fisik sehat tanpa ada kontraindikasi terhadap antidepresan
SSRI (dipilih tergantung beberapa faktor)
Remisi penuhRespon parsialTerapi gagal, tidak ada responatau timbul efek samping
Menjaga 4 – 9bulan untuk terapilanjutan, jika perlu
12 – 36 bulanuntuk terapi
pemeliharaan
Tingkatkan dosis, ganti dengan antidepresan lainnya atau terapi kombinasi (dengan
Lithium)
Dipastikan kepatuhanpengobatan
Diganti dengan alternatif lain( SSRI yang lain,
antidepresan non- SSRI)
Remisi penuh
Menjaga 4 – 9bulan untuk terapilanjutan, jika perlu
12 – 36 bulanuntuk terapi
pemeliharaan
Sarankan pasien depresi untuk melanjutkan pengobatan paling sedikit 2 tahun
untuk pasien yang berisiko relapse. Pasien yang berisiko relapse, yaitu pasien
yang memiliki riwayat depresi lebih atau sama dengan 2 episode, pasien yang
memiliki gangguan fungsional yang berat, pasien yang memiliki riwayat
pengobatan yang lama.
Terapi alternatif terhadap terapi obat, yaitu elektrokonvulsif dan fototerapi.
Terapi elektrokonvulsif biasanya digunakan jika pasien tidak respon terhadap
farmakoterapi, pasien tidak menoleransi farmakoterapi, situasi klinis sangat parah
sehingga diperlukan perbaikan cepat yang terlihat pada elektrokonvulsif.
Fototerapi adalah suatu pengobatan baru yang telah digunakan pada pasien yang
menderita gangguan mood dengan pola musiman (Kaplan dkk, 2010)
3.1.8 Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang
dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak
diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang
diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3
bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama.
Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik
yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan,
tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yangstabil, tidak adanya gangguan
kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang
singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator
prognostik yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta
gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan
kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya. (Kaplan, 2010).
31
32