Upload
whidy-surya-primasari
View
1.457
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang
sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai
kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran dan perumahan.
Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemaran
udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran juga dapat
disebabkan oleh berbagai kegiatan alam seperti kebakaran hutan, gunung
meletus, gas alam beracun dan sebagainya. Dampak dari pencemaran udara
tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak
negatif terhadap kesehatan manusia (Depkes, 2009).
Di banyak kota, terutama di negara-negara berkembang yang
urbanisasinya tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem
pernafasan, khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda, para perokok
dan mereka yang menderita penyakit kronis saluran pernafasan (Baum, 2005).
Salah satu dampak dari pencemaran udara adalah rhinitis akibat kerja.
Rhinitis adalah peradangan pada mukosa hidung. Hal ini menyebabkan gejala
seperti bersin, rinorea, dan hidung tersumbat (Dong-Uk Park, 2008). Rhinitis
akibat kerja adalah penyakit yang penting tetapi kurang terdiagnosis dengan
baik secara medis. Definisi rhinitis akibat kerja/RAK menurut EAACI Task
Force on occupational rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat
persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin,
2
rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang
disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato G et al., 2009).
Sebanyak 15% pekerja di dunia diperkirakan menderita rhinitis akibat
kerja. Pekerja industri merupakan pekerja terbanyak yang bisa menderita
rhinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan
pekerja pengolah bahan jadi (13%). Peningkatan konsentrasi substansi dan
lamanya waktu pajanan, dikatakan semakin meningkatkan risiko menderita
rhinitis akibat kerja (Arandelovic M, 2004). Agen-agen di tempat kerja yang
diduga menjadi penyebab terjadinya rhinitis akibat kerja adalah polusi udara,
asap rokok, lateks, psylium, asam anhidrida, platina, toluena diisosianat,
amonia, deterjen dan hewan peliharaan (Rebecca et al., 2009 ; Arandelovic M,
2004).
Pencemaran udara di daerah pedesaan terjadi karena eksploitasi
sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Industri batu
kapur merupakan salah satu kegiatan di pedesaan yang kontribusinya terhadap
pencemaran udara cukup besar. Mineral murni batu kapur mengandung
CaCO3 sebagai kalsit (calcite). Kebanyakan batu kapur komersial
mengandung oksida besi, alumina, magnesia, silika dan belerang, dengan CaO
(22 – 56 %) dan MgO (sekitar 21 %) sebagai komponen utamanya. Di masa
dahulu batu kapur dipakai sebagai pengeras tembok, namun dalam industri
modern dipakai sebagai bahan pembuat semen. Kapur dipakai dalam sektor
pertanian dan perkebunan untuk mengurangi keasaman tanah (menaikkan pH).
Agar dapat digunakan sebagai campuran pupuk, batu kapur harus dibakar
3
sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Secara teoritis, pada proses ini
diemisikan gas-gas hasil pembakaran seperti NO2, SO2 dan CO yang
menambah pencemaran udara. Partikel-partikel kapur bersifat iritan namun
tidak tergolong karsinogen. Industri batu kapur telah mencemari udara dengan
debu dan gas-gas hasil pembakaran batu kapur menjadi kapur tohor. Debu dan
gas-gas yang disebabkan oleh proses pengolahan batu kapur akan berada di
lingkungan kerja, hal ini akan berakibat tenaga kerja terpapar debu kapur dan
gas-gas pada konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda (Yulaekah,
2007).
Salah satu sentra industri batu kapur di Kabupaten Banyumas, adalah
kawasan industri penambangan kapur yang terletak di desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Industri batu kapur ini
merupakan usaha kegiatan turun temurun dari orang tua. Jumlah industri yang
aktif 27 buah dengan kapasitas produksi sekitar 5.640 ton/tahun. Industri
kapur menyerap tenaga kerja sekitar 650 orang. Pekerja tambang tersebut
berasal dari daerah setempat dan sebagian kecil dari tetangga desa dan dari
luar daerah. Sebagian besar (90 %) pekerja adalah laki-laki berusia antara 20-
50 tahun. Dari pengamatan pendahuluan, sebagian besar mereka bekerja tanpa
menggunakan alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, sepatu boot
dan kaca mata (Budi, 2005).
Hasil dari studi prevalensi pengukuran kapasitas vital paru pada
tanggal 23 Agustus – 7 September 2004 terhadap 283 pekerja tambang kapur
di Desa Darmakradenan, didapatkan data kapasitas paru pekerja normal 68
4
orang (24,03%) dan kapasitas paru tidak normal sebanyak 215 orang
(75,97%), yang terdiri dari restriksi 81 orang (28,62%); obstruksi 46 orang
(15,25%) dan kombinasi (obstruksi dan restriksi) 88 orang (31,10%).
Hasil pengukuran kualitas debu total menggunakan alat dustfall
collector (alat pengukur debu jatuhan) oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas rata-rata sebesar 430,50 mg/m3 udara. Kadar debu terendap ini
sudah melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan sebesar 350 mg/m3 udara.
Data kesehatan haji banyumas tahun 2003 juga memperlihatkan hasil foto
rontgen paru pada peserta jemaah haji yang berasal dari daerah penambangan
kapur, 70% juga menunjukkan adanya kelainan paru (DKKS kab. Banyumas,
2003). Di Desa Darmakradenan yang merupakan wilayah kerja Puskesmas
Ajibarang I, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menduduki
urutan pertama dalam urutan 10 besar penyakit yang terjadi di Desa
Darmakradenan. Urutan kedua dan ketiganya masing-masing adalah
dermatitis dan konjungtivitis.
Di Indonesia, belum ada data resmi mengenai angka kejadian rhinitis
akibat kerja akibat pajanan batu kapur atau gamping. Di Jakarta, pernah
dilakukan penelitian mengenai faktor risiko rhinitis akibat kerja antara lain
pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum. Hasil penelitian
menunjukkan adanya gejala yang berhubungan dengan tempat kerja pada 6-
30% pekerja yang memiliki pajanan tinggi terhadap debu tepung gandum
mengalami rhinitis akibat kerja (Pujiwati R, 2006). Selain itu, pernah
dilakukan penelitian terhadap prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja
5
yang terpajan bahan kimia surfaktan. Hasil dari penelitian menunjukkan
sebanyak 20% dari pekerja tersebut mengalami rhinitis akibat kerja
(Anggraini D, 2008).
Di Makassar, pernah dilakukan penelitian mengenai analisis faktor
risiko rhinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu dan
didapatkan angka kejadian rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik terigu
adalah sebesar 50,7% (Quadarusman E, 2010). Belum adanya data mengenai
prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di Desa
Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, Jawa Tengah, mendorong penulis
untuk melakukan penelitian berjudul: Prevalensi rhinitis akibat kerja pada
pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
” Bagaimana prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di
Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ”.
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi rhinitis akibat kerja
pada pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas.
6
Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui angka kejadian rhinitis akibat kerja pada pekerja
pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas
b. Untuk mengetahui karakteristik (usia dan jenis kelamin laki-laki)
penderita rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di Desa
Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas
c. Untuk mengetahui lama kerja berkaitan dengan rhinitis akibat kerja
pada pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas
2. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan informasi mengenai prevalensi
rhintis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas
2. Manfaat praktis
a. Sebagai sumber informasi yang dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya.
b. Menambah pengetahuan masyarakat
khususnya masyarakat setempat tentang rhintis akibat kerja pada
pekerja pabrik gamping di desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas
7
3. Manfaat bagi institusi
a. Sebagai bahan pustaka di jurusan kedokteran Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan UNSOED khususnya bidang
kesehatan kerja.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
Hidung merupakan orang penting yang menjadi salah satu organ
pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung
terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar
menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang
tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit
dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan (Levine, 2005).
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
ke bawah yakni pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung
(apeks), alas nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung
luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang hidung terdiri dari sepasang os nasalis (tulang
hidung), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontalis.
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis
9
lateralis superior dan sepasang kartilago nasalis lateral inferior
(kartilago alar mayor).
Hidung juga memiliki otot—otot yang berguna untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung yang terdiri dari dua kelompok yaitu:
1. Kelompok dilator yang terdiri dari m. dilator nares (anterior dan
posterior), m. prosesus dan kaput angular m. kuadratus labil superior.
2. Kelompok konstriktor terdiri dari m. nasalis dan m. depressor septi.
2. Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum
nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Gambar 2.1. Pembagian anatomi hidung (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
10
1. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
yang disebut vibrissae (Damayanti S, 1997).
2. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan dimana bagian
tulang terdiri dari :
a. lamina perpendikularis os etmoid
b. vomer
c. krista nasalis os maksila
d. krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan terdiri dari :
a. kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
b. kolumela
3. Kavum nasi
a. Dasar hidung, dibentuk oleh prosesus palatine os maksilaris dan
prosesus horizontal os palatum
b. Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,
os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan
korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
11
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior (Damayanti S, 1997 ; Ballenger JJ, 1994).
c. Dinding lateral, dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam
prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior,
konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum
dan lamina pterigoideus medial (Ballenger JJ, 1994).
d. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid (Damayanti S, 1997)
e. Meatus nasi, diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka
media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
12
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.
f. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi
(Damayanti S, 1997).
3. Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber
utama:
a. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior
anterior dan dinding lateral hidung.
b. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi
septum bagian superior posterior.
c. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang
menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang
menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a.
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area )
13
yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis. (Damayanti S, 1997)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan
dengan sinus kavernosus (Damayanti S, 1997 ; Ballenger JJ, 1994).
B. Persarafan Hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot
hidung bagian luar
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris,
yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik). Saraf simpatis
meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas
dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior.
Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan
kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan
serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor
14
membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis
pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam
ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang
palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf
simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap
sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik). Berasal
dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus
salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus
superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan
mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-
serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung.
Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan
kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan
vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan
menghilangkan impuls sekretomotorik atau parasimpatis pada
mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan
sensasi hidung tidak akan terganggu (Snell, 2006).
4. Olfaktorius (penghidu)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
15
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas
hidung (Damayanti S, 1997)
C. Rhinitis Akibat Kerja (Occupational Rhinitis)
1. Definisi
Rhinitis akibat kerja didefinisikan sebagai rhinitis yang muncul
sebagai respon dari agen udara yang terdapat pada tempat kerja dan
mungkin terjadi karena reaksi alergi atau bagian dari respon iritasi
(Bousquet J, 2008). Menurut panduan BSACI, rhinitis akibat kerja
adalah rhinitis yang diinduksi oleh paparan tempat kerja ke saluran
pernapasan karena sensitisasi oleh agen (Scadding GK et al., 2008).
Definisi rhinitis akibat kerja menurut EAACI Task Force on
Occupational Rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat
persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-
bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau
hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato
G et al., 2009).
Rhinitis akibat kerja dimungkinkan terjadi dari dua faktor utama
yakni rhinitis yang di sebabkan langsung oleh agen-agen lingkungan
kerja atau rhinitis yang diperburuk akibat dari agen-agen di lingkungan
kerja. Rhinitis akibat kerja juga merupakan penyakit nomor dua setelah
asma akibat dari lingkungan kerja (Moscato G et al., 2009).
16
.
Gambar 2.2. Bagan Kategori Rhinitis Akibat Kerja (Moscato G
et al., 2009)
Rhinitis alergi akibat kerja dapat dikategorikan menjadi 2
mekanisme yakni :
a. Termediasi IgE (IgE mediated) : diakibatkan paparan alergen
bermolekul berat / high molecular weigth (HMW) misalkan
glikoprotein dari tanaman atau binatang. selain itu juga dapat
disebabkan oleh alergen bermolekul ringan / low molecular weight
agents (LMW) misalkan garam platinum, pewarna reaktif dan asam
andhidrida.
Rhinitis Akibat Kerja
Rhinitis alergi akibat kerja (occupational rhinitis allergic)
Termediasi IgETanpa mediasi IgE
Rhinitis non-alergi akibat kerja (occopational rhinitis non-alergic)
Paparan tunggal : Reactive upper Airways Dysfunction Syndrome (RUDS)Paparan ganda : Irritant Induced ORCorrosive rhinitis
Rhinitis diperburuk oleh kerja
Rhinitis akibat kerja (RAK)
17
b. Tanpa mediasi IgE (non-IgE-mediated) : diakibatkan oleh LMW
agents misalkan isosianat, garam persulfat dan debu kayu yang
menjadi agen pencetus rhinitis yang belum diketahui pasti
mekanismenya (Moscato G et al., 2009; Hoffman CD et al., 2004).
Rhinitis non-alergi akibat kerja merupakan rhinitis yang
disebabkan murni dari lingkungan kerja dengan mekanisme iritasi pada
rongga hidung, tanpa melibatkan sistem imunologi dan dapat
disebabkan oleh agen dengan paparan yang terus menerus (Moscato G
et al., 2009; Bernstein IL, 2006; Castano R, 2007)
2. Epidemiologi
Rhinitis merupakan penyebab yang signifikan morbiditas di
seluruh dunia dimana terkadang gangguan ini dipandang sepele oleh
seorang praktisi. Gejala rhinitis yang signifikan mempengaruhi kualitas
hidup seorang penderita akibat dari gejala sistemik meliputi kelelahan,
sakit kepala dan gangguan kognitif.
Data di Amerika Serikat menunjukan 20-40 juta orang
mengalami rhinitis setiap tahunnya dimana 30% penderita dewasa dan
40% adalah anak-anak. The European Respiratory health Survey
(ECRHS) melaporkan bahwa 25% dari rhinis non-alergi yang diambil
dari 1.412 subyek (Heinrich J et al., 2002).
Di Indonesia angka kejadian rhinitis akibat kerja belum diketahui
secara pasti karena saat ini belum pernah dilakukan penelitian
multisenter. Prevalensi rhinitis di Jakarta besarnya sekitar 20%,
18
sedangkan menurut Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah
padat penduduk kota Bandung menunjukan 6,98%, dimana prevalensi
pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC (International
Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur
13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002 rhinitis sebesar 18%
(ISAAC Steering Committee, 2002).
Penelitian sebelumnya oleh Russel tahun 2001 di Amerika
menyebutkan bahwa 3 faktor penting yang berkaitan dengan rhinitis
akibat kerja adalah usia, jenis kelamin dan musim. hasil dari penelitian
tersebut 70% pasien dengan rhinitis non-alergi adalah dewasa (usia >
20 tahun) sedangkan 70% rhinitis alergi adalah anak-anak (usia < 20
tahun). Jenis kelamin juga memberikan hasil yang berbeda pada
penelitian ini. Pada penelitian ini 74% pasien adalah perempuan. Faktor
berikutnya adalah musim dimana faktor tersebut kemungkinan besar
berbeda dengan kondisi di Indonesia yang memiliki 2 musim saja
(Russel, 2001).
3. Patofisiologi Rhinitis Akibat Kerja
Rhinitis sendiri merupakan suatu penyakit inflamasi yang
diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
19
puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan
Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,
dan IL-13.
20
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF),
berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-
bersin. histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
21
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan
ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat
22
serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan
tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke
dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag
tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap
ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari
daya eliminasi Ag oleh tubuh.
23
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1,
yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Untuk rhinitis akibat kerja mekanisme terjadinya adalah
mekanisme imunologi IgE mediated yang mendasari terjadinya rhinitis
akibat kerja dapat dijelaskan dengan baik, sedangkan tentang
mekanisme non IgE mediated dan iritasi non imunologi kurang dapat
dijelaskan. Rhinitis akibat kerja ditandai dengan adanya aktivasi sel T
yang disebabkan oleh Specific Inhalation Challenge (SIC) didalam
darah dan sputum dari pasien dengan rhinitis akibat kerja yang
dibandingkan sukarelawan yang sehat. SIC ini diinduksi oleh sebuah
peningkatan dari proporsi IL-13 yang memproduksi sel T, baik didalam
darah dan sputum dari pasien rhinitis akibat kerja. Pada temuan terbaru
juga menunjukkan bahwa hidung yang tiba-tiba bereaksi disebabkan zat
perisulfat pada penata rambut karena akibat aktivasi dari sel Th1. Pada
penelitian yang lain ditemukan bahwa paparan debu di lingkungan kerja
berhubungan dengan peradangan eosinofilik di hidung yang eksudatif
dan menginduksi peningkatan yang signifikan dari a2 macroglobulin
setelah peningkatan histamin pada hidung (Moscato G et al., 2009).
24
4. Gejala Klinik Rhinitis Akibat Kerja
Gejala rhinitis akibat kerja yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu atau zat lain
yang terdapat di tempat kerja. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan,
sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin
patologis (Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda yang lain juga
terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah
punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan
pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung
yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan
sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis
media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita
25
suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group.
WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah,
post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah
marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. Hampir semua tanda
yang didapatkan diinduksi oleh pajanan debu/ zat yang dapat
mengiritasi di tempat kerja (Harmadji, 1993).
26
5. Penegakan diagnosis rhinitis akibat kerja
Gambar 2.3. Bagan Alur Penegakan Diagnosis Rhinitis Akibat Kerja
(Moscato G et al., 2009)
27
Penyelidikan dan penilaian tentang riwayat dari rhinitis akibat
kerja merupakan hal yang sangat berkaitan. Penggunaan metode yang
obyektif seperti tes patensi hidung dan penggunaan parameter inflamasi
pada sekret hidung akan meminimalkan kesalahan dalam mendiagnosa
pasien yang mengalami rhinitis akibat kerja. Diagnosis perlu adanya
konfirmasi dengan metode yang obyektif lainnya yaitu riwayat klinis
dari pasien, pemeriksaan hidung, tes imunologi (untuk pasien dengan
rhinitis akibat kerja karena alergi), dan Nasal Provocation Test (NPT)/
tes provokasi hidung. Selain itu, kemungkinan keterlibatan dari organ
saluran udara yang letaknya lebih bawah harus dievaluasi secara cermat
dengan menggunakan kuesioner, spirometri dam pengukuran dari
respon non spesifik saluran nafas (Scadding GK et al., 2008).
Riwayat medis dan pekerjaan dari pasien merupakan kunci
dalam penyelidikan dan diagnosis rhinitis akibat kerja. Menggali
riwayat kerja dari pasien bertujuan untuk mengumpulkan gambaran
secara menyeluruh tentang pekerjaan pasien saat ini, proses saat
ditempat kerja, perubahan dalam proses kerja atau bahan-bahan yang
digunakan, kondisi dan kebersihan dari tempat kerja (Moscato G et al.,
2009).
Salah satu tujuan dari evaluasi riwayat medis pasien adalah
untuk menetapkan waktu dari dimulainya gejala rhinitis akibat kerja
sehubungan dengan paparan pajanan. Pengambilan riwayat medis dari
pasien harus meliputi durasi kerja di pekerjaan yang ada sebelum
28
terjadinya gejala (periode laten), agen, tugas atau proses yang terkait
dengan onset, dan hari kerja dari pasien (Moscato G et al., 2009).
Pada pemeriksaan hidung/ nasal, dapat dilakukan pemeriksaan
makroskopis dari mukosa hidung yaitu dengan metode rhinoskopi
anterior dan endoskopi hidung. Dengan menggunakan tehnik ini, dapat
dikesampingkan adanya patologi lain dari hidung yang mempunyai
gejala mirip rhinitis atau adanya penyakit yang berkontribusi dalam
perburukan obsturksi hidung (misalnya deviasi septum, polip hidung).
Pada pemeriksaan nasal patensi digunakan untuk menilai patensi
dari hidung selama masa penyidikan (hal ini termasuk rinomanometri,
akustik rhinometry, dan Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF)).
Rhinomanometri anterior mengukur secara terpisah dari jalan nafas dari
lubang hidungnya masing-masing, tehnik ini membutuhkan sedikit
instruksi kepada pasien, tetapi pengukurannya dapat menjadi sulit
ketika lobang hidung pasien tersumbat. Rhinomanometri posterior
digunakan untuk menilai total resistensi dari saluran hidung melalui
kateter oral di faring, tetapi tehnik ini memerlukan kerjasama dari
pasien. Pengukuran aliran puncak inspirasi hidung/ PNIF dilakukan
untuk menilai apakah adanya obstuksi aliran udara akibat pajanan di
tempat kerja. PNIF merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah dan
mudah, tetapi PNIF kurang sensitif dalam mendeteksi bila terdapat
perubahan patensi dari hidung (Scadding GK et al., 2008).
29
Rhinometri akustik adalah tehnik yang baru untuk menilai
patensi hidung dengan menentukan penampang dan volume rongga
hidung dengan menggunakan pantulan gelombang suara. Tehnik ini non
invasif dan membutuhkan sedikit kerjasama dari pasien. Rhinometri
akustik berguna untuk menunjukkan perubahan patensi hidung dalam
industri/ tempat kerja.
Pada tes imunologi dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit
dan/ atau penilaian serum alergen spesifik antibodi IgE. Hasil positif
dari tes imunologi dapat terjadi pada individu tanpa gejala rhinitis
akibat kerja, sehingga spesitivitas tes imunologi lebih rendah dari
sensitivitasnya (Moscato G et al., 2009).
Tes provokasi nasal masih dianggap gold standard untuk
mengkonfirmasi diagnosis dari rhinitis akibat kerja. Alasan utama test
provokasi nasal masih menjadi standar baku emas karena pemeriksaan
ini langsung mengesplorasi melalui pendekatan observasional, dan
dilakukan hubungan sebab-akibat antara paparan spesifik dari agen di
tempat kerja dan ciri karekteristik dari rhinitis akibat kerja (Scadding
GK et al., 2008).
Alur diagnosis dari rhinitis akibat kerja meliputi penggalian
riwayat klinis dan kesehatan secara menyeluruh dan pemeriksaan
hidung. Jika penderita mengalami rhinitis akibat kerja karena pajanan di
tempat kerjanya, harus dikonfirmasi dengan metode yang obyektif.
Langkah kedua meliputi evaluasi tehadap agen-agen yang dicurigai di
30
tempat kerja melalui tes tusuk kulit. Riwayat klinis yang positif
ditambah tes imunologi mungkin dapat menegakkan diagnosis rhinitis
akibat kerja. Selanjutnya dapat menggunakan evaluasi obyektif dari
hubungan sebab-akibat antara rhinitis dan lingkungan kerja melalui tes
provokasi nasal di laboratorium. Jika tes provokasi nasal positif, maka
diagnosis rhinitis akibat kerja dapat dipastikan atau ditegakkan. Jika tes
provokasi nasal negatif maka dianjurkan melakukan evaluasi riwayat
kerja terkait dengan perubahan gejala hidung, patensi hidung dan
peradangan hidung di tempat kerja atau setelah pulang kerja. Penilaian
di tempat kerja merupakan hal pertama yang dipertimbangkan ketika tes
provokasi nasal di laboratorium tidak dapat dilakukan (Moscato G et
al., 2009).
D. Pencemaran Udara
1. Pengertian dan terjadinya pencemaran udara
Peraturan Pemerintah no. 14 tahun 1999, menyebutkan
pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukannya zat atau
meningkatnya kandungan zat energi atau komponen lain ke dalam
udara ambient oleh kegiatan manusia atau alam, sehingga mutu udara
ambient tidak sesuai dengan fungsinya. Penurunan kualitas udara dapat
dikategorikan sebagai pencemaran udara apabila memenuhi dua
ketentuan. Rerata penurunan kualitas udara terjadi sebagai akibat
kegiatan manusia, bukan oleh peristiwa alam. Kedua penurunan
31
kualitas udara sampai ke tingkat yang membahayakan atau yang
menimbulkan gangguan bagi kehidupan.
2. Sumber pencemaran udara
Sumber pencemaran udara menurut jenisnya dikelompokan
menjadi dua jenis yaitu :
a. Sumber bergerak, termasuk dalam kelompok ini semua jenis
kendaraan bermotor.
b. Sumber tidak bergerak, adalah sumber emisi yang tetap pada suatu
tempat seperti kegiatan industri (PP no 41, tahun 1999)
Sumber pencemaran menurut sifatnya, dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Sumber titik (point sources), yaitu sumber pencemaran yang
berasal dari sumber stasioner tunggal dan dapat diidentifikasikan
keberadaanya, misalkan emisi gas dari cerobong asap pabrik.
b. sumber kawasan (area sources), yaitu sumber pencemaran yang
berasal dari beberapa sumber titik yang berdekatan atau berasal
dari sumber yang bergerak (mobile sources) pada daerah tertentu,
misalnya pencemaran udara pada kawasan tambang gamping di
Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, atau pencemaran oleh
kepadatan lalu lintas.
c. Sumber segaris, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari emisi
yang berbentuk garis. misalnya pencemaran udara dan kebisingan
pesawat terbang pada bandar udara pada saat landing dan take off
(Harsanto, 2001).
32
3. Baku mutu ambient
Baku mutu ambient adalah ukuran batas atau kadar zat energi
dan atau komponen yang ada atau seharusnya ada, dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam udara ambient.
Penentuan baku mutu udara ambient, dilakukan dengan
mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh terhadap dampak
yang diakibatkan oleh adanya zat dalam udara. Beberapa faktor
tersebut adalah faktor lingkungan dan manusia. Oleh karena
keberadaan lingkungan dimasing-masing negara tidak sama. namun
demikian belum semua negara mempunyai baku mutu udara ambient
yang digunakan saat ini adalah baku mutu yang ditetapkan PP No. 41
tahun 1999 setelah lima tahun (Harsanto, 2001; World Bank, 1994).
4. Debu
Debu adalah partikel-partikel yang disebabkan oleh kekuatan
alami atau faktor mekanis, seperti pengolahan, penghancuran,
pelembutan, pengepakan yang cepat peledakan dan sebagainya, yang
berasal dari bahan-bahan organik dan anorganik.
a. Macam-macam debu
1) Debu organik, adalah debu dari bahan organik seperti debu
kapas dan debu daun-daunan.
2) Debu mineral, merupakan debu yang berasal dari senyawa
komplek seperti debu arang, debu silica, debu batubara dan
debu kapur.
33
3) Debu metal, merupakan debu dengan berat jenis besar seperti
debu timah hitam, debu arsen dan debu cadmium.
b. Sifat-sifat debu
Sifat-sifat debu dapat dikelompokan menjadi beberapa
golongan:
1) Setting rate, yaitu sifat debu yang cenderung selalu mengendap
karena gaya gravitasi bumi, namun karena relatif kecilnya debu
ini maka cenderung selalu berada di lingkungan.
2) Wetting, yaitu debu yang mempunyai sifat permukaan yang
cenderung selalu basah yang selalu dilapisi lapisan air yang
sangat tipis.
3) Floculation, yaitu debu yang cenderung sering basah sehingga
dapat saling menempel dan menggumpal.
4) Electrical, yaitu yang mempunyai sifat listrik yang tetap, yang
dapat saling tarik-menarik antar partikel yang bermuatan listrik
yang berlawanan. Sifat ini dapat mempercepat proses
penggumpalan debu.
5) Optical properties, yaitu sifat debu yang dapat memancarkan
sinar dapat kamar gelap (Damayanti A, 2006).
34
5. Batu kapur
a. Komposisi batu kapur
Komponen utama pembentuk batu kapur atau batu gamping
adalah mineral kalsit (CaCO3), mineral dolomite (CaMg(CO3)2)
dan aragonite (CaCO3). Gabungan dari tiga unsur ini membentuk
warna putih dan bertekstur lembut. Bila ditemukan batu kapur
berwarna kelabu menunjukan batu kapur sudah tidak murni.
Ketidakmurnian ini karena tercampur dengan unsur pasir, tanah
liat, besi oksida, hidroksida dan material organik lainnya (Bonyton,
Robert S, 1980).
Proses terbentuknya batu gamping terjadi selama berjuta-juta
tahun yang lalu. Batu gamping terbentuk dari unsur karbonat zat
kapur yang berasal dari organisme laut seperti kerang-kerangan
dan tiram. karbonat ini merupakan penyusun utama kulit kerang
dan tiram. Pada saat organisme ini mati, kulit kerang dan tulang
yang tertinggal akan didegradasikan menjadi unsur yang lebih kecil
lagi oleh mikroorganisme mikroskopik seperti foraminifera. Hasil
degradasi ini akan membentuk pasir karbonat atau lumpur
karbonat. Karena pengendapan ini terjadi terus-menerus dalam
waktu yang lama dan adanya proses alam, maka endapan pasir dan
lumpur karbonat akan mengeras, sehingga jadilah pegunungan batu
kapur. Sehingga hampir sebagian besar pegunungan batu kapur
berada dekat dengan laut (Damayanti A, 2006).
35
b. Proses penambangan batu kapur
Proses penambangan batu kapur dimulai dengan proses
stripping, yaitu pengupasan lahan tambang, yang meliputi proses
pembukaan lahan serta pemindahan tanah penutup. Kegiatan ini
dikerjakan dengan cara manual dengan menggunakan cangkul,
linggis dan sekop. Setelah terlihat batuan kapur proses selanjutnya
adalah pengambilan batu kapur, pengumpulan batu kapur disekitar
lokasi penambangan, kegiatan pengangkutan batu kapur dengan
cara dipikul atau dengan alat pengangkut truk ke tempat tungku
atau tobong pembakaran. Proses pembakaran pada tambang
gamping menggunakan bahan bakar kayu selama 48 jam. Proses
produksi tradisional penambangan batu kapur, memaksa pekerja
berada dalam jarak radius yang sangat dekat dengan sumber
pencemaran berupa debu kapur
36
E. Kerangka Teori
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Teori Penelitian
Keterangan : : variabel yang tidak diteliti
: variabel yang diteliti
F. Kerangka Konsep
Gambar 2.4. Bagan Kerangka Teori Penelitian
Usia
Lama Kerja
Faktor resiko lain:Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)Merokok
Rhinitis Akibat Kerja
Variabel Bebas
1. Usia
2. Lama kerja
Variabel Tergantung
Rhinitis akibat kerja
37
III. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan studi cross-
sectional untuk mengetahui prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik
gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten
Banyumas. Penelitian deskriptif adalah peneliti hanya akan menggambarkan
atau mendiskripsikan variabel tertentu dalam suatu penelitian tanpa mencari
hubungan antara variabel (Saryono, 2010).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek yang mempunyai
karakteristik tertentu yang sesuai dengan penelitian. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh pekerja pabrik gamping di Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas.
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan metode
consecutive sampling dimana subyek yang dijadikan sample penelitian
adalah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebagai
berikut:
a. Kriteria inklusi :
1) Pekerja yang bekerja di pabrik gamping di desa Darmakradenan
2) Bersedia menjadi responden penelitian
38
b. Kriteria eksklusi :
1) Pekerja yang menderita rhinitis alergika sebelumnya.
C. Definisi Operasional
1. Usia
Usia adalah lamanya hidup dalam hitungan waktu yang dihitung dari
sejak lahir hingga saat penelitian ini dilakukan dalam satuan tahun,
terbagi atas :
a. < 20 tahun
b. 20 – 40 tahun
c. > 40 tahun
2. Lama kerja
Lama kerja adalah rentang waktu sejak responden pertama kali bekerja
hingga saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam satuan tahun,
terbagi atas :
a. < 5 tahun
b. 5 – 10 tahun
c. > 10 tahun
3. Rhinitis akibat kerja
Rhinitis akibat kerja adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau
sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore,
gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang
disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Penegakan diagnosis rhinitis
39
akibat kerja dapat dilihat dari anamnesis dari riwayat klinis pasien,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti tes patensi hidung
dan penggunaan parameter inflamasi pada sekret hidung, pemeriksaan
hidung, tes imunologi (untuk pasien dengan rhinitis akibat kerja karena
alergi), dan Nasal Provocation Test (NPT)/ tes provokasi hidung.
D. Tata Urutan Kerja
1. Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi :
a. Penyusunan proposal
Penyusunan proposal dilakukan setelah usulan judul penelitian disetujui
oleh komisi KTI. Penyusunan proposal Bab I, Bab III, dan Bab III
ditulis berdasarkan referensi yang ada dan dengan bimbingan dari
pembimbing 1 dan pembimbing 2.
b. Seminar proposal
Seminar proposal dilaksanakan setelah isi proposal mendapatkan
perbaikan dan sudah mendapat persetujuan dari pembimbing 1 dan
pembimbing 2 untuk melaksanakan seminar proposal.
2. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan, meliputi pengumpulan data penelitian dengan
mengambil data dari keseluruhan sampel
Dalam pengambilan data dari responden untuk penelitian ini, langkah-
langkah yang dilakukan adalah:
40
a. Pendataan responden penelitian
Pendataan disini meliputi nama responden dan jumlah dari
keseluruhan reponden yang akan berpartisipasi dalam penelitian ini.
b. Penjelasan penelitian
Responden akan dijelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
penelitian ini dengan memberikan lembar penjelasan penelitian yang
meliputi judul penelitian dan langkah-langkah dalam penelitian yang
akan dilakukan peneliti.
c. Informed concent
Informed concent atau surat persetujuan tindakan medik diajukan
kepada responden sebagai bukti bahwa responden telah menyetujui
segala tindakan yang akan dilakukan oleh peneliti dalam melakukan
penelitian ini.
d. Kuesioner
Kuesioner berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan rhinitis akibat
kerja, kemudian akan diisi oleh responden
e. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik akan dilakukan oleh dokter spesialis THT untuk
menegakkan diagnosis rhinitis akibat kerja.
f. Obeservasi
Untuk menguji validitas jawaban dari responden setelah pengisian
kuesioner.
41
E. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini diambil dengan kuesioner
serta pemeriksaan fisik. Kuesioner yang digunakan, bertujuan untuk
membantu penegakan diagnosis dari rhinitis akibat kerja. Pertanyaan yang
diajukan sebanyak 22 pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban. Untuk nomor 2-9
bertujuan untuk membantu penegakan diagnosis rhinitis akibat kerja selain
dari pemeriksaan fisiknya. Penilaian untuk nomor 10-16 yang dinilai adalah
pola gejala (hilang timbul, menetap) dan faktor predisposisi termasuk riwayat
keluarga. Nomor 17 dan 18 untuk melihat ada atau tidaknya faktor pencetus
rhinitis akibat kerja yang didapatkan dari responden. Dan untuk nomor 19-22
digunakan untuk menilai apakah ada sarana perlindungan kesehatan di tempat
kerja responden.
Selain itu, penegakan diagnosis rhinitis akibat kerja juga dilakukan
dengan pemeriksaan fisik meliputi tanda dan gejala rhinitis akibat kerja serta
penegakan diagnosis dengan rhinoskopi anterior dan lain sebagainya.
F. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam proses pengolahan data
diantaranya:
a. Editing
Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data
yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007).
42
b. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat
penting bila pengolahan dan analisis menggunakan komputer.
Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya
dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali lokasi dan
arti suatu kode dari suatu variabel (Hidayat 2007).
c. Tabulating
Setelah editing dan coding selesai dilakukan langkah selanjutnya yang
ditempuh ialah mengelompokkan data tersebut ke dalam suatu tabel
tertentu menurut sifat-sifat yang dimilikinya, sesuai dengan tujuan
penelitian (Hidayat, 2007).
2. Analisis Data
Sejalan dengan jenis penelitian maka jenis analisis yang digunakan
adalah analisis univariat. Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari
hasil pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi. Analis univariat yang digunakan adalah prevalensi rate, mean,
dan standar deviasi.
Proporsi adalah suatu perbandingan antara suatu jumlah kejadian
sebagai pembilang dengan seluruh kejadian dimana pembilang menjadi
sebagian dari penyebut, biasa disebut juga persentase. Analisis proporsi
menunjukkan gambaran umum karakteristik suatu fenomena.
43
G. Etika Penelitian
Menurut Hidayat (2007), masalah etika penelitian merupakan masalah
yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian kesehatan
berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus
diperhatikan. Masalah etika penelitian yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan
informed consent adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, mengetahui dampaknya.
2. Anonimity (tanpa nama)
Masalah etika kebidanan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
akan disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalaah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
44
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
riset.
H. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai April 2012. Penelitian
ini dilakukan di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten
Banyumas.
I. Jadwal Penelitian
Tabel 3.1 Tabel Jadwal Penelitian
No. Rencana Kegiatan
Waktu (Bulan Ke-)
1 2 3 4
1.Persiapan Proposal Penelitian √ √
2.Seminar Proposal Penelitian √
3. Pelaksanaan Penelitian √ √
4.Pengolahan dan Analisis Hasil Penelitian √ √
5.Penyusunan Laporan Akhir Penelitian √ √
6. Seminar Hasil Penelitian √