Upload
bambangrubiyanto
View
275
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Bab IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah adalah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya
alam yang sangat di perlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang
langsung untuk kehidupanya seperti untuk bercocok tanam, atau bertempat tinggal,
maupun untuk melaksanakan usaha.
Tanah bagi kehidupan manusia mengandung makna yang multidimensional.
Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat yang
mendatangkan kesejahteraan, Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi
/seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat, Ketiga, sebagai kapital budaya
dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya, Keempat, tanah
bermakna sakral karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah.
(Heru Nugroho 2001:237 )
Karena makna yang multidimensional tersebut ada kecenderungan bahwa
orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila
hak-haknya dilanggar sangat berartinya tanah bagi kehidupan manusia dan bagi suatu
Negara dibuktikan dengan diaturnya secara konstitusional dalam Undang–Undang
Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar–besarnya
kemakuran rakyat”.Ketentuan Pasal tersebut kemudian menjadi landasan filosofis
terhadap pengaturan tanah di Indonesia yang secara yuridis diatur dalam Undang-
1
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang kemudian
dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dimana Undang
Undang Pokok Agraria ini memberikan perbedaan pengertian antara ”bumi” dan
”tanah”. Pengertian ”bumi” dalam Undang-Undang Pokok Agraria mendapat
pengaturan dalam Pasal 1 ayat (4) yang menyatakan bahwa: “Dalam pengertian bumi,
selain permukaan bumi, termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah
air.” Pasal di atas memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
“bumi”, yaitu meliputi permukaan bumi (yang kemudian disebut dengan tanah)
berikut apa yang ada di bawahnya (tubuh bumi) serta yang berada di bawah air.
Selanjutnya pengertian ”tanah” mendapat penjelasan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1)
bahwa : “atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam–macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh
orang–orang baik sendiri–sendiri maupun bersama–sama dengan orang lain atau
badan hukum”.
Dalam ketentuan di atas, yang disebut tanah adalah permukaan bumi. Hak atas
tanah adalah hak atas permukaan bumi, sedangkan bumi meliputi tanah, tubuh bumi
dan berikut apa yang ada di bawahnya serta di bawah air. Hubungan manusia dengan
tanah dalam hukum adat mempunyai hubungan yang kosmis-magis-religius, artinya
hubungan ini bukan antara individu dengan tanah saja tetapi jugaantar sekelompok
anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat rechtsgemeentschap di dalam
hubungan dengan hak ulayat.
2
Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah
hubungan menguasai dimana kepala Adat mempunyai peran dalam penyelesaian
sengketa tanah ulayat bukan hubungan milik, sebagai halnya dalam hubungan konsep
hubungan antar negara dan tanah menurut pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara di kenal dengan hak menguasai dari
negara, disini negara sebagai organisasi kekuasan tertinggi mengatur, menentukan
dan menyelenggarakan penggunaan tanah diwilayah itu. Sementara itu Boedi
Harsono, mengemukakan bahwa hak dan kewajiban hak ulayat masyarakat hukum
adat mengandung 2 unsur yaitu:
a. Mengandung hak kepunyaan bersama para anggota warganya, yang termasuk
bidang hukum perdata.
b. Mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,
pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan yang termasuk bidang hukum politik.
(2012:272)
Berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, Maria
Sumardjono, memberikan kriteria penentu eksistensi hak ulayat yang di dasarkan
pada adanya 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi secara stimulan yakni:
1. Subyek hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat dengan karakteristik tertentu.
2. Obyek hak ulayat, yakni tanah yang terletak dalam suatu wilayah dan merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat sepanjang masa.
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu. (2001:55)
3
Kedudukan hak Ulayat diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak Ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataanya.masi ada,harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
Nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi”.
Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa unsur hukum adat di bidang
pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak
bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat di pergunakan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut.
Unsur-Unsur yang penting dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria yang perlu diperhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian
ini lebih lanjutnya adalah
1. Bahwa “tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapatkan manfaat dari hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarga”.
[Pasal 9:(2)].
2. Bahwa Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok
Agraria mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik
4
Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (Pasal
19)
3. Bahwa Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (Pasal 17).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak Ulayat dengan Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dapat
melihat pasal 3 yang berbunyi sebagi berikut: ”dengan mengingat ketentuan–
ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat–masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang–Undan dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan Pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat di akui
keberadaannya, akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat–syarat yang harus di penuhi
diantaranya : 1. Eksistensinya masih ada, 2. Tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, 3. Tidak bertentangan dengan aturan–aturan dalam Undang–Undang
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum
agraria yang baru (Uundang–Undang Pokok Agraria).Sebagaimana diketahui biarpun
menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam
keputusan–keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam
Undang–Undang,
5
Ketentuan pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat atas tanah dan
sumberdaya alam di Indonesia, sangat terkait dengan ketentuan Pasal 18 B
ayat (2) Undang‐Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
yang menentukankan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang‐Undang”.
Konsepsi hak Ulayat menurut hukum Adat Konsepsi hak Ulayat menurut
hukum Adat Manggarai dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik
religius yaitu yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-
hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat
komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum
adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum adat atas tanah, disebut hak ulayat.
Masyarakat Manggarai sebagai masyarakat agraris tentu tidak dapat
dipisahkan dari tanah Garapan Lingko dalam bahasa Manggarai.Karena itu orang
manggarai mengenal ungkapan, ‘Gendang One Lingkon Peang’, yang kurang lebih
artinya dimana terdapat pemukiman / kampung yang terpusat dalam mbaru gendang
(Rumah Gendang) tentu memiliki tanah–tanah garapan bagi warga kampung yang
disebut dengan Lingko.Lingko–Lingko (tanah milik bersama) yang merupakan tanah
ulayat itulah yang dibagi–bagikan kepada warga masyarakat sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan hidup.
6
Adanya masyarakat (Beo) merupakan pemukiman tetap erat kaitannya
dengan Lingko–Lingko, di lain pihak sekaligus menunjukan identitas asal
masyarakatnya. karena itu konflik perebutan tanah yang sering terjadi diwilayah
manggarai sesungguhnya bukan hanya berdampak pada persoalan akan berkurangnya
lahan garapan, tetapi juga pada identitas dan harga diri masyarakatnya, baik secara
individu maupun sebagai komunitas. Itulah sebabnya tanah miliknya, walau sejengkal
sekalipun.ada ungkapan yang mengatakan, ‘Neka Oke Kuni Agu Kalo’, jangan
melupakan kampung halaman sebagai asal–usul. (jangan pernah melupakan diri kita
sebagai orang yang berasal dari kampung / wilayah tertentu)
Sengketa tanah di Kabupaten Manggarai telah terjadi dalam kurun waktu yang
sangat lama dan sudah terjadi sejak jaman penjajahan sekitar tahun 1930-an. Hingga
saat ini sengketa tanah masih terjadi mulai dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Sudah banyak kerugian yang ditimbulkan akibat sengketa tanah yang
terjadi, hal ini dirasakan oleh semua pihak baik yang bersengketa maupun pihak yang
tidak terlibat dalam sengketa. Terdapat banyak hal yang menjadi akar permasalahan
sengketa tanah, hal ini pada dasarnya dikarenakan semakin meningkatnya kebutuhan
akan tanah untuk berbagai keperluan. Tanah menjadi objek yang jumlahnya terbatas
tetapi sangat dibutuhkan oleh setiap orang.Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menyelesaikan dan mencegah sengketa tanah di Manggarai, dalam upaya tersebut
masih banyak kendala yang dihadapi. Terlepas dari kendala-kendala tersebut
Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, elit-elit sosial, dan masyarakat Manggarai
terus berupaya mencegah dan meinimalisir sengketa tanah di Kabupaten Manggarai,
7
baik melalui Pemerintah dengan Hukum Formal maupun dengan cara Adat
masyarakat Manggarai melalui lembaga-lembaga Adat yang ada
Tidak sedikit masalah yang terjadi di Manggarai dalam hal yang sama yaitu
perebutan tanah lingko bahkan hampir seluruh desa di Manggarai banyak yang dalam
penyelesainya melalui perang tanding dalam hal ini terjadi pada tahun 2006 yang lalu
terjadi lagi di Desa Colol di bagian selatan kabupaten Manggarai perebutan tanah
lingko dan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melibatkan bahkan utusan
khusus dari pusat tim penegak hukum dari TNI dan Porli.
Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun1960 sudah mengatur sedemikian
rupa mengenai bagaimana memperoleh hak milik tanah, dan bahkan sampai
bagaimana cara pembagianya, tetapi realitasnya di masyarakat Manggraia sampai
sekarang ini masih sering terjadi masalah-masalah yang serupa bahkan masalah yang
sudah selesai akan muncul di masalahkan lagi. Oleh karana kasus ini sering terjadi
dan sulit bahkan di atasi ada beberapa tokoh masyarakat menyatakan bahwa kasus
mengenai Tanaha Lingko adalah turun temurun-temurun kepada anak-anaknya dan
ada juga yang menyatakan kasus sepanjang masa terdapat banyak hal yang menjadi
akar permasalahan dari konflik tanah di kabupaten Manggarai yaitu: 1. Tertib
administrasi, 2. Melanggar kesepakatan, 3. Alih fungsi lahan, 4. penggunaan tidak
sesuai peruntukan, dan 5. Perebutan hak waris. Dari kelima unsure di atas, terjadi
pada tahun 2014 di Desa Nanga Mbaur kasus perebutan tanan Lingko di bagian timur
Desa oleh karena adanya perebutan hak waris dan melanggar kesepakatan yang
8
terjadi, untuk menyeslesaikan masalah ini para pihak yaitu kepala adat dan kepala
desa sampeai sekarang belum dapat menyelesaikan kasus tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana prosedur pembagian Tanah Lingko secara adat Manggarai di Desa
Nanga Mbaur Kabupaten Manggarai Timur .?
1.2.2 Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya sengketa perebutan Tanah
Lingko Di Desa Nanga Mbaur Kabupaten Manggarai Timur.?
1.3 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas dan merupakan
pedoman dalam mengadakan penelitian dan juga menunjukan kualitas dari penelitian
tersebut berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1.3.1 Untuk mengetahui Bagaimana prosedur pembagian Tanah Lingko secara adat
Manggarai di Desa Nanga Mbaur Kabupaten Manggarai Timur.
1.3.2 Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan sengketa perebutan Tanah
Lingko Di Desa Nanga Mbaur Kabupaten Manggarai Timur.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat Teoritis adalah diharapkan dapat menyumbangkan suatu pemikiran
yang bersifat teoritis dan memberikan konstribusi terhadap ilmu pengetahuan
9
khususnya terhadap Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan sehingga bagi
penelitian yang sejenis dapat dijadikan sebagai acuan atau kerangka pemikiran untuk
penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Manfaat untuk pemerintah
Untuk dapat memberikan pemahaman kepada kepala desa bagaimana cara
menyelesaikan pembagian Tanah Lingko
2. Manfaat untuk masyarakat
Dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas khususnya
masyarakat adat yang masi mempunyai tanah Lingko tentang bagaimana cara system
pembagian Lingko yang baik dan benar.
3. Manfaat untuk peneliti
Sebagai bahan acuan untuk dikembangkan oleh peneliti dalam rangka
memperluas pemahaman yang lebih luas dan mendalam lagi tentang bagaimana
system pembagian Lingko
10
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Tanah Ulayat dan Hak Ulayat
2.1.1. Pengertian Tanah Ulayat
Tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat disebut dengan berbagai istilah.
Hal ini disesuaikan dengan letak geografis dan kebiasaan adat setempat, tanah ulayat
mempunyai batas-batas sesuai dengan situasi alam sekitarnya, seperti puncak bukit
atau sungai. Istilah Tanah Ulayat diberbagai daerah antara lain : patuanan (ambon),
panyampeto dan pawatasan (kalimantan), wewengkon (jawa), prabumian dan payar
(bali), totabuan (bolaang mongondow), torluk (angkola), limpo ( sulawesi selatan),
nuru (buru), paer (lombok), ulayat (minangkabau), lingko (Manggarai), (B Ter
Haar,1999:63), Sementara itu Imam Sudiyat, berpendapat Tanah ulayat juga dapat di
artikan tanah wilayah masyarakat hukum adat tertentu. (1982:1)
2.1.2. Hak Ulayat
Hak Ulayat menurut Pasal 1 ayat (1) PMA/Ka.BPN No.5 tahun 1999 adalah:
”Kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan”.
Selanjutnya Hak Ulayat sebagai istilah teknis yuridis yaitu hak yang melekat
sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang /
kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun
11
keluar. (Sumardjono.2001:55 )Kemudian menurut Boedi Harsono mengatakan hak
ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masahas pada masyarakat hukum adat.hak dan kewajiban
hak Ulayat masyarakat hukum adat mengandung dua unsur yaitu :
a. Mengandung hak kepunyaan bersama para anggota warganya, yang termasuk
bidang hukum perdata.
b. Mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,
pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum
publik. (2012:185-186)
Uraian tersebut di atas, dapat di simpulkan yang di maksud dengan Tanah
Ulayat adalah suatu wilaya atau sebidang tanah yang di dalam wilayah tersebut masi
punya hak atau masi di miliki oleh sekelompok orang yang satu garis keturunanya
dan mempunyai suku atau adat tertentu dan hak Ulayat adalah dimana seseorang atau
sekelompok orang yang masi ada garis keturunan yang sama dan mempunyai hak atas
tanah adat atau tanah Ulayat.
2.2. Subyek, dan Obyek Hak Ulayat
2.2.1. Subyek hak Ulayat
Menurut Boedi Harsono.(2012:184) subyek Hak Ulayat adalah masyarakat
hukum adat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Masyarakat hukum adat terbagi
menjadi dua yaitu :
12
a. Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di
tempat yang sama.
b. Masyarakat hukum adat genealogik, disebabkan para warganya terikat oleh
pertalian darah. Selanjutnya Bushar Muhamad (2000:35) mengemukakan obyek
Hak Ulayat meliputi :
a) Tanah (daratan)
b) Air (perairan seperti : kali, danau, pantai serta perairannya). Tumbuh-
tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu
pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).
c) Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Subyek hak ulayat adalah orang-orang
yang bersangkutan memiliki hubungan dengan tanah ulayat (kepala adat, kepala suku,
dan masyarakatnya)
2.2.2.Objek Hak Ulayat
Obyek Hak Ulayat adalah semua tanah dan isinya dalam wilayah masyarakat
hukum adat teritorial yang bersangkutan. Karena Hak Ulayat meliputi semua tanah,
maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang tidak ada sebagai res nullius
(tanah yang tidak adapemiliknya)
2.3. Penyelesaian Sengketa Pertanahan
2.3.1. Pengertian Sengketa
Katasengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris sama
dengan “conflict” atau “dispute”.Keduanya mengandung pengertian tentang adanya
13
perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat
dibedakan.Kosa kata “conflict” dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi konflik,
sedangkan kosa kata “dispute” diterjemahkandengankata sengketa. ( John.M.
Echlosdan Hasan Shadily, 1996: 138 ).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang
menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya sengketa
hukum adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi
keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
Sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. (depertemen pendidikan dan
kebudayaan, 1990:643) Sementara itu Sudarsono, Mengemukakan tentang sengketa
adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih
yang berselisih perkara dalam pengadilan. (2002:433).
Sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan
gambaran lingkungan yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang
dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun
lingkungan social, demikian menurut ( Koentjaraningrat.1982)
2.3.2. Sengketa Pertanahan
Menurut Margono (2000:85) sengketa yang terjadi saat ini antara lain terdiriatas: (1). Sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan dan tanah), (2). Sengketa bisnis yang rumit serta erat dengan unsur keuangan, perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemebuhan kontrak dan sebagainya,
14
(3). sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah dan hubungan administrasi pusat-daerah dan (4). Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi.
Sedangkan menurut Rusmadi Murad Sengketa pertanahan ialah proses
interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing
memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang
berada dibatas tanah yang bersangkutan. (1991:22). Selanjutnya Menurut
Sumardjono.(1982:189) secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan 5
yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek
perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3. Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Sedangkan Menurut Suyud Margono. (2000:25) ada beberapa sengketa yang
sering terjadi saat ini di kalangan masyarakat adalah:
1. Sengketa tradisional tentang warisan, keluarga dan tanah
2. Sengketa bisnis yang serta berat dengan unsur keuangan, perbankan,
peraturan Perundang-Undangan, etika dan sebagainya
3. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah
15
4. Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi,
reputasi, Negara dan perhatian masyarakat tradisional.
Secara yuridis dalam bukunya Arie Sukanti Hutalang lebih lanjut memperinci
masalah tanah yang dapat disengketakan yang terdiri dari :
1. Sengketa mengenai bidang tanah2. Sengketa mengenai batas-batas bidang tanah3. Sengketa mengenai luas bidang tanah4. Sengketa mengenai status tanahnya: tanah negara atau tanah hak5. Sengketa mengenai pemegang haknya6. Sengketa mengenai hak yang membebaninya7. Sengketa mengenai pemindahan haknya8. Sengketa mengenai penunjuk lokasi dan penetapannya untuk suatu proyek
atau swasta.9. Sengketa mengenai pelepasan / pembebasan tanah10. Sengketa mengenai pengosongan tanah11. Sengketa mengenai pemberian ganti kerugian12. Sengketa mengenai pembatalan haknya13. Sengketa mengenai pemberian haknya14. Sengketa mengenai pencabutan haknya15. Sengketa mengenai pemberian sertifikatnya Sengketa mengenai alat-alat
pembuktian adanya hak/perbuatan liku yang dilakukan dengan sengketa-sengketa lainnya. . (2002:52)
Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan bukanlah suatu hal
baru lagi yang terjadi di masyrakat. Namun dimensi sengketa makin terasa meluas di
masa kini. Tanah dalam perkembangannya juga telah memiliki nilai baru, bilamana
tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan sebagai alat untuk
berspekulasi (ekonomi) tanah telah menjadi barang dagangan dimana transaksi
ekonomi berlangsung dengan pengharapan akanmargin (keuangan) perdagangan
komoditas yang dipertukarkan itu.
16
2.3.3. Penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa yang terjadi dalam bidang perdata, yang pada
umumnya ditempuh adalah melalui jalur peradilan umum sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang disebutkan bahwa kewenangan dari
peradilan umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal-Pasal sebagai berikut :
1. Pasal 2 menyatakan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana
kekuatan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
2. Pasal 6 Pengadilan terdiri dari :
o Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
o Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding
3. Pasal 50, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
4. Pasal 51 :
o Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili per4kara pidana dan
perkara perdata di tingkat banding.
o Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar pengadilan negeri di
daerah hukumnya. (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.)
17
Penyelesaian sengketa melaui Alternatif Dispute Resolution (ADR) secara
implisit dimuat dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu Deputi, yakni Deputi
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Pertanahan Badan Pertanahan Nasional
(BPN) telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI No. 34
Tahun 2007 tentangTentang Pedoman Penyelesaian Masalah Sengketa Tanah
Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Pertanahan Nasional (BPN)
melakukan upaya antara lain melalui mediasi setelah berlakunya Perpres Nomor 10
Tahun 2006. (Maria S.W. Sumardjono.dkk. 2008).
Dalam pemeriksaan perkara sengketa perdata yang diantaranya mengenai hak
atas tanah, hakim yang mengadili wajib mengusahakan perdamaian antara kedua
belah berperkara antara lain:
1. Apabila pada hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan Ketua sidang berusaha memperdamaikan mereka;2. Apabila perdamaian tercapai pada waktu persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum akan melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian itu berkekuatan dan dijalankan sebagai putusan yang biasa;3. terhadap putusan sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding;4. dalam usaha untuk memperdamaikan kedua belah pihak, diperlukan bantuan seorang juru bahasa. (K.Wantjik Saleh, 1981:.23-24)
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana
penelitian kualitatif menurut Affifuddin dan Saebani (2012: 57-58) sebagai berikut:
“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti
kondisi objektif yang alamiah, dimana peneliti merupakan instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada
generalisasi”
Sementara pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekata
Diskriptif di mana pendekatan ini untuk membahas suatu permasalahan dengan cara
meneliti, mengelola data, menganalisis, menginterprestasikan, hal yang tulis dengan
pembahasan yang teratur dan sistematis, di tutup dengan kesimpulan dan pemberian
saran sesuai kebutuhan
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Nangga Mbaur Kecamatan Sambirampas
Kabupaten Manggarai Timur. Adapun batas wilayah penelitian sebagai berikut:
Utara : berbatasan dengan Laut flores
Selatan : berbatasan dengan desa Nanga Mbaling
Timur : berbatasan dengan desa Nampar Sepang
Barat : berbatasan dengan kelurahan pota
19
3.3.Teknik Penentuan Subjek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi
Spradley dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga
elemen yaitu, tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang
berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2013: 215). tetapi di transferkan ke tempat
lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus
yang di pelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden
tetapi sebagai narasumber dan informen. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga
bukan disebut sampel statistik tetapi sampel teoritis karena tujuan penelitian
kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam penelitian kualitatif juga
disebut sampel konstruktif. Karena dengan sumber data dari sampel itu dapat
dikontruksikan fenomena yang semula masi belum jelas.
Dalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah
purposive sampling dan snowball sampling.“Purposive sampling adalah teknik
pengumpulan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling tau tentang apa yang kita
harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti
menjelajahi objek/situasi sisial yang diteliti. Snowball sampling adalah teknik
pengambil sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama
menjadi besar”. (Sugiyono, 013: 218-219)
20
Berdasarkan uraian teori di atas tentang subjek penelitian dapat disimpulkan
bahwa, untuk mendapatkan subjek penelitian dalam penelitian ini dengan
menggunakan purposive sampling. Karena Purposive sampling merupakan teknik
pengumpulan data dengan cara pertimbangan tertentu
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Desa Nanga Mbaur,
Camat, Tokoh Adat, Kepala Suku, dan tokoh masyarakat dan orang-orang yang
mengetahui tentang adat di Desa Nanga Mbaur.
3.4 Jenis dan sumber data
3.4.1. Jenis Data
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti memerlukan data yang akurat agar
hasil kajian dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dalam melaksanakan
penelitian. Ada dua jenis data yaitu : kaulitatif dan kuantitatif (Suharsimi Arikunto,
2010,171)
a. Data kuantitatif adalah data–data yang berupa angka–angka dengan melalui
penelitian perhitungan .
b. Data kualitatif adalah data–data yang berupa uraiaan–uraiaan dengan melalui
peneliti sosial.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif yaitu
dengan cara menjelaskan secara sistematis dan wawancara dari permasalahan yang
terjadi di lapangan supaya peneliti mendapatkan data yang akurat.
21
3.4.2. sumber data
Sumber data dalam penelitian ini menurut Sugiyono (2013: 225).ada dua
sumber data yaitu:
a. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data.
b. Sumber data skunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.
Kedua sumber data di atas peneliti menggunakan sumber data primer dan data
skunder
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam
metode ilmiah, karena pada umumnya data yang dikumpulkan digunakan itu
mengkaji hipotesis yang telah dirumuskan menurut Nshir M (2008:211). Metode
pengumpulan data merupakan suatu prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan dan selalu ada hubungan antara metode
pengumpulan data dengan masalah penelitian. Kegiatan pengumpulan data
merupakan usaha secara operasional dalam pelaksanaan penelitian yang dapat
memberikan pengaruh positif bagi pelaksanaan analisis dan interprestasi data.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Maka dalam penelitian ini metode
pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
22
3.5.1. Metode observasi (pengamatan)
Observasi adalah yang dilakukan secara sengaja, sistematis, mengenai
fenomena sosial dengan gejala-gejala piskis untuk kemudian dilakukan pencatatan
Observasi yang digunakan oleh peneliti adalah observasi partisipatif, dimana peneliti
terlihat langsung dan mengambil bagian dalam situasi dari orang-orang yang
diobservasi atau melakukan pengamatan penuh terhadap objek yang akan diobservasi.
(ibid, 2011:63).Sedangkan menurut Suhaemin (2008:212). Pengumpulan data dengan
observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah merupakan cara
pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain
untuk keperluan peneliti.
Berdasarkan jenisnya, observasi dapat di bedakan 2 (dua), bagian yaitu:
Observasi secara langsung dan Observasi tidak lansung
a. Observasi secara langsung adalah
Observasi atau pengamatan yang dilakukan dimana observer berada langsung
bersama objek yang diteliti dalam lapangan.
b. Observasi tidak langsung
Observasi tidak langsung yaitu observasi atau pengamatan yang dilakukan tidak pada
saat berlangsung akan di suatu peristiwa yang akan diteliti. Misalnya dilakuakan
melalui film, slide, atau foto dan lain-lain (Nurul Zuriyah, 2008:173).
Dari kedua jenis observasi di atas peneliti menggunakan observasi secara
langsung untuk mengumpulkan data karena dalam mencari informasi peneliti harus
23
mendapatkan langsung dari subjek yang bersangkutan supaya data yang di peroleh
tidak diragukan kebenaranya.
3.5.2. Metode wawancara
Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan wawancara dalam bentuk
pertanyaan yang sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya
dan dijawab oleh responden dan informan yang kemudian dapat dikembangkan
dengan pertanyaan lain yang ada relevan pada wawancara secara langsung dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Menurut Margono (2006:181-182) Mengemukakan bahwa wawancara dapat
di bedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Wawancara terstruktur Wawancara terstruktur adalah pertanyaan dan alternatif jawaban kepda interviewe telah di tetapkan terlebih dahulu.
b. Wawancara tidak struktur Wawancara tidak struktur adalah wawancara yang bersifat informal, berupa petanyaan pandangan hidup, sikap, keyakinan, subjek, atau keterangan tentang lainnya dapat diajukan kepada objek . Wawancaran ini bersifat luwes dan biasanya direncanakan agar sesuai dengan subjek dan suasana pada saat wawancara dilaksanakan.
Dalam penelitian ini dipergunakan teknik wawancara tidak sutruktur, karena
peneliti langsung terlibat di lapangan untuk mengambil apa-apa yang diperlukan
maupun yang dialami oleh subyek dengan wawancara peneliti dapat menanyakan
kepada subyek hal-hal yang bersifat lintas waktu baik masa lampau, masa sekarang
dan masa yang akan datang.
24
3.5.3. Metode dokumentasi
Dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencari dan
mengumpulkan literatur baik berupa buku-buku, majalah, surat kabar dan bisa
melalui jaringan internet sebanyak mungkin dijadikan referensi untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian dan mendukung validitas data yang diperoleh melalui
wawancara Suharsimi Arikunto, (2006:231).
Dokumentasi yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa
peraturan perundang-undangan, buku jurnal, dan karya-karya tulis yang berhubungan
dengan materi penelitian ini.Metode dokumentasi ialah metode pengumpulan data
dengan memanfaatkan dokumen yang meliputi laporan tertulis dari suatu peristiwa.
Tujuan menggunakan metode dokumentasi adalah untuk memperoleh data yang
lengkap dan jelas mengenai cara pembagian tanah Lingko Di Desa Nangga Mbaur.
3.6. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus samapi tuntas, sehingga datanya sudah jelas.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion
drawing/verification. (Sugiyono, 2013: 247-252)
3.6.1. Reduksi Data (Reduction)
Reduksi Data yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan)
dituangkan dalam bentuk uraian atau laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan
lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal- hal yang pokok, dilakukan pada hal-
hal yang penting, kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data berlaku secara
25
terus menerus selama proses penelitian berlangsung selama pengumpulan data
berlangsung diadakan tahap reduksi data, selanjutnya membuat ringkasan, metode,
menelusuri tema membuat gagasan dan menulis memo.
3.6.2. Display Data
Sajian data yaitu sekumpulan informasi yang menjadi konsep rasional sesuai dengan
kenyataan sehingga memungkinkan menarik kesimpulannya baku serta pengumpulan
Data-data yang telah diambil dan telah direduksi akan disajikan secara deskriptif
dimana hasil wawancara diubah bahasanya menjadi kalimat yang lebih baku dan
mudah dimengerti serta dikaitkan teori-teori sesuai dengan hasil wawancara dan
observasi.
3.6.3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu melakukan verifikasi secara terus-menerus
sepanjang proses penelitian berlangsung, melalui sejak awal memasuki lokasi
penelitian dan selama proses pengumpulan data peneliti berusaha untuk menganalisis
dan mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal- hal yang sering timbul, hipotesis
dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat relati akan
tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus- menerus
maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded. Dengan kata lain setiap
kesimpulan senantiasa terus melakukan verifikasi selama penelitian berlangsung
(ibid, 1998:15-20).
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Desa Nanga Mbaur merupakan salah satu desa di kabupaten Manggarai Timur
yang mata pencaharianya di bidang agraris Desa ini dengan luas wilayah 1.951 Ha
dan Dengan luas wilayah perladangan/kebun 563 Ha(m2),serta luas wilayah
persawahan 421 Ha(M2).
Penduduk merupakan unsur terpenting bagi desa yang meliputi jumlah,
pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat
(Bintarto, 1983:13). Jumlah penduduk di Desa Nanga Mbaur sampai dengan akhir
tahun 2014 berjumlah 1432 jiwa dengan 300 KK. Adapun jumlah penduduk dari tiga
dusun yang ada di Desa Nanga Mbaur dapat dilihat pada table 4.1,sebagai berikut :
Tabel 4.1 Data Penduduk Desa Nanga Mbaur
No Golongan Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah1 2 3 4 51 10-12 bulan 12 20 342 13 bulan – 4 tahun 38 59 993 5 – 6 tahun 47 56 1034 7 - 12 tahun 49 55 1045 13 – 15 tahun 68 53 1216 16 – 18 tahun 62 67 1297 19 – 25 tahun 90 61 1518 26 – 35 tahun 65 67 1329 36 – 45 tahun 91 68 15910 46 – 50 tahun 68 56 12411 51 – 60 tahun 55 37 9212 61 – 75 tahun 41 33 7413 76 – 80 tahun 51 32 8314 81 – 90 tahun 15 12 27
27
Jumlah 752 676 1432 (Sumber: Profil Desa Nanga Mbaur 2014)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan, yakni laki-laki sebanyak 752 jiwa
dan perempuan 676 jiwa. Faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah: a) angka
kelahiran bayi perempuan lebih besar dari pada bayi laki-laki; b) sedikitnya laki-laki
yang merantau atau mencari pekerjaan di luar daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor desa Nanga Mbaur dan hasil
observasi lansung dari peneliti, hampir sebagian besar penduduk desa Nanga Mbaur
adalah petani, dan sebagian lagi adalah pedagang, pegawai swasta, PNS dan
wiraswasta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
TABEL 4.2 Mata Pencaharian Penduduk Desa Nanga Mbaur
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase (%)
1 2 31 Petani 223 52,222 Wiraswasta 55 12,883 PNS 31 7,264 Pengrajin - -5 Peternak 42 9,836 Penjahit - -7 Pedagang 24 5,628 Tukang Kayu 15 3,519 TNI/POLRI - -10 Pensiunan 13 3,0411 Sopir 2 0,4612 Pegawai Swasta 22 5,15
Jumlah 427 100 (Sumber: Profil desa Nanga Mbaur 2014)
28
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat Desa Nanga
Mbaur bermata pencaharian sebagai petani.Hal ini didukung oleh kondisi wilayah
desa Nanga Mbaur yang merupakan daerah persawahan dan didukung dengan
banyaknya jumlah masyarakat yang memiliki tanah sendiri, sehingga kebanyakan
dari masyarakat desa Nanga Mbaur bermata pencaharian sebagai petani.
Pendidikan merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM), sehingga diharapkan dapat mengembangkan suatu kepribadian yang
mandiri karena mempunyai kemampuan, baik kemampuan di sekolah maupun ketika
berada di luar sekolah atau masyarakat. Pada tabel berikut ini dijelaskan mengenai
komposisi penduduk di Desa Nanga Mbaur berdasarkan tingkat pendidikan.
Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Nanga Mbaur
No Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase (%)1 2 3 41 Tidak pernah sekolah 72 7,472 Belum masuk sekolah 115 11,943 Tidak tamat SD 86 8,934 Tamat SD 104 10,795 Tamat SLTP 110 11,426 Tamat SLTA 319 33,127 Tamat D-III 23 2,388 Tamat S-I 132 13,709 Tamat S-II 2 0,20
Jumlah 963 100 (Sumber: Profil Desa Nanga Mbaur 2014)
Berdasarkan tabel di atas dapat memberikan gambaran mengenai pendidikan
yang ada di desa Nanga Mbaur yang masih belum merata,di mana masih banyak
masyarakat desa Nanga Mbaur yang tidak pernah mengeyam pendidikan khusunya
29
orang tua. Namun bukan berarti hal ini akan menyurutkan niat para orang tua di desa
Nanga Mbaur untuk menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.
Bagi mereka cukup mereka sendiri saja yang tidak merasakan di bangku pendidikan
namun anak-anak mereka harus tetap sekolah.
Pendidikan agama merupakan salah satu kebutuhan rohani yang paling
penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Begitupun desa Nanga Mbaur yang
memiliki dua agama yaitu Islam dan Katolik. Keadaan tersebut dapat diimbangi
dengan tersedianya sarana untuk beribadah berupa 1 masjid yang berada di masing-
masing dusun dan 1 buah gereja di satu desa Nanga Mbaur
Mayoritas penduduk di desa Nanga Mbaur beragama Islam, ini sesuai dengan
hasil sensus terakhir tahun 2014. Mengenai keadaan yang jelas tentang agama yang
dianut oleh masyarakat desa Nanga Mbaurakan digambarkan pada tabel berikut ini:
Tabel 4.4 Agama Yang Dianut Penduduk desa Nanga MbaurNo Agama Jumlah Prosentase %1 2 3 41 Katolik 437 45,372 Islam 526 54,633 Protestan - -4 Hindu - -5 Budha - -
Jumlah 963 100 (Sumber: Profil desa Nanga Mbaur 2014)
4.1.1 Deskripsi Data Proedur Pembagian Tanah Lingko Masyarakat Desa Nanga Mbaur
Asal mula bagaimana pembentukan lingko seperti yang kenal dikalangan
masyarakat Manggarai dapat kita kaitkan dengan situasi prasejarah ketika mereka
30
mulai beralih dari pola hidup berpindah-pindah ke bentuk kehidupan menetap,
menetukan tempat yang tetap sebagai daerah hunian yang kenal dengan Beo
(kampung).
Tanah-tanah garapan yang diperoleh dengan merambah hutan oleh penduduk
beo itulah yang kemudian disebut lingko. Berapa banyak lingko untuk setiap beo,
sangat bergantung pada kemampuan warga beo itu untuk merambah hutan di sekitar
huniannya dan juga sejalan dengan pertambahan warga beo. Masing-masing lingko,
luasnya berbeda dan diberi identitas dengan nama tertentu, entah nama tumbuhan
yang banyak ditemukan di tanah tersebut, nama sungai yang melintas di wilayah itu
atau karakter geografisnya. Lingko Wae Bahi, ada sungai yang bernama Wae Bahi
mengalir di sekitar lingko tersebut; Lingko Belang Rambang, karena di lingko itu
banyak ditemukan belang (sejenis buluh / sejenis aur) dll.
Lingko-lingko ini kemudian akhirnya berbatasan dengan lingko-lingko milik
beo / kampung lain, sehingga ditentukan batas (rahit)) yang pada akhirnya menjadi
batas wilayah antar beo / kampung. Sekaligus juga merupakan pengakuan atas hak /
kepemilikan atas lingko masing-masing. Di samping itu juga lingko semakin pesat
perubahan zaman dan kebutuhan masyarakatpun semakin tinggi mengenai
kepemilikan dan hak atas tanah.
Adapun hasil wawancara dengan Abdul Wahid sebagai ketua BPD desa nanga mbaur
sejarah pembagian tanah Lingko desa nanga mbaur sebagai berikut.
Sepintas kalau kita memperhatikan sistim pembagian tanah adat masyarakat Manggarai, yakni sistim ‘lodok’, maka kita akan melihat adanya kesamaan dengan struktur mbaru niang (rumah asli) dan struktur beo orang Manggarai.
31
Mbaru niang adalah rumah tiang, dengan delapan tiang (siri leles) yang dibangun melingkari tiang utama (siri bongkok) yang merupakan sebatang kayu utuh (tanpa sambungan), dan membentuk sebuah lingkaran. Pada siri bongkok ini ditempatkan sesaji bagi para leluhur pada waktu diadakan pesta-pesta adat, seperti penti (pergantian tahun). Atap rumah berbentuk kerucut, yang terbuat dari ijuk (wunut) atau alang-alang (ri’i). Demikian pula dengan struktur kampung (beo) yang berbentuk konsentris, rumah-rumah dibangun melingkari ‘compang’ (bangunan batu berundak-undak) di tengah kampung. Compang menjadi tempat pemberian sesaji bagi warga kampung (beo). Compang dapat dikatakan sebagai altar beo. Struktur pembangunan rumah, pembentukan kampung atau pola pembagian tanah lingko haruslah dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip kekeluargaan, prinsip kesatuan suku atau warga beo umumnya.
Dari pendapat di atas sejarah pembagian tanah lingko harus berdasarkan
bagaimana model bangunan atap rumah yang berbentuk kerucut. masyarakat
manggarai pada zaman dahulu kalanya. sampai sekarang kebiasaan itu masi tetap di
lakukan dan di lestarikan bagaimana cara pembagian lingko oleh masyarakat
manggarai khususnya masyarakat desa nanga mbaur. Ada beberapa cara juga dalam
pembagian lingko dalam desa nanga mbaur.
Ada pun hasil wawancara dengan bapak Husen Loma sebagai ketua adat desa
nanga mbaur salah satu cara pembagian tanah lingko dengan cara sistem Lodok.
Tanah-tanah adat yang disebut lingko dibagi kepada warga dengan sistem lodok, yakni membagi lingko berawal dari “teno” dipusat lingko, dan menarik garis lurus (jari-jari) hingga batas terluar tanah lingko tersebut sebagai batas (langang). Proses pembagian sebagai berikut: di pusat lingko ditanam sebatang kayu yang disebut “teno”.Dinamakan teno karena sepotong tiang itu diambil dari sejenis pohon yang dinamakan hajuteno.(pohon teno). Teno merupakan pusat lingkaran tanah lingko yang selanjutnya disebut sebagai lodok (titi pusat) Dari teno ditarik garis batas yang disebut langang (batas tanah) sampai ke batas terluar tanah lingko yang disebut “cicing”. (lodokn one cicingn pe’ang).
32
Selain cara tersebut adapun cara lain dalam system pembagian lingko menurut
bapak muhamad Jafar Jaba SH sebagai berikut
Berapa besar ukuran besaran tanah di lodok (pusat lingko)? Masyarakat Manggarai membaginya berdasarkan “moso” (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besaran moso pun sangat relatip, tergantung pada berapa jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko bersangkutan. Makin banyak yang akan menerima, makin kecil ukuran moso, demikian pula sebaliknya makin sedikit jumlah penerima, makin besar ukuran moso. Berapa moso dibagikan kepada setiap orang juga bergantung pada kedudukan orang dalam beo (kampung). Maka dikenal istilah moso biasa (satu jari), moso kina (satu setengah jari) dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai pemimpin (tu’a beo / golo) atau tuan tanah (tua teno) biasanya mendapat moso wase (tiga jari) yang merupakan ukuran paling besar. Sedangkan warga lainnya akan menerima moso biasa (satu jari) atau moso kina (satu setengah jari).
Oleh karena desa nanga mbaur sangat taat dengan adat atau sejarah lingko
maka system pembagian tanah lingko ini menggunakan atau menggambarkan
bagaimana atap rumah pada masa itu (berbentuk kerucut) karna juga keterbatasan alat
pada masa lampau di desa nanga mbaur maka masyrakat desa nanga mbaur dalam
pembagian tanah lingko ini menggunakan moso (jari tangan).
Dalam pembagian ini juga tergantung pada berapa jumlah warga yang akan
menerima pembagian di lingko bersangkutan. Makin banyak yang akan menerima,
makin kecil ukuran moso, demikian pula sebaliknya makin sedikit jumlah penerima,
makin besar ukuran moso. Berapa moso dibagikan kepada setiap orang juga
bergantung pada kedudukan orang dalam beo (kampung). Maka dikenal istilah moso
biasa (satu jari), moso kina (satu setengah jari) dan moso wase (tiga jari).
Pembagian tanah lingko adalah suatu hal yang sering ketemui di masyarakan
dan juga sering terjadi suatu sengketa dalam hal tana sewalaupun masyarakat nanga
33
mbaur sudah di bagikan tanah secara adat oleh ketua adatnya namun masi ada
masyarakat-masyarakat yang menurutnya pembagian secara tanah lingko secara adat
tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-harinya maka oleh karena itu kepala desa
nanga mbaur sebagai pemerintah desa nanga mbaur di adakan pembagian tanah yang
baru tetapi system pembagian ini tidak lepas dengan hubungan dengan ketua adat
atau bekerja sama kedua bela pihak tersebut
Selanjutnya hasil wawancara dengan bapak Warka Jalu selaku Kepala Desa
nanga mbaur system pembagian lingko di desa nanga mbaur yang terbaru adalah
sebagai berikut.
1. Tanah lingko yang di kuasai oleh kepala adat akan di bebaskan terlebi dahulu dari lingkran adat dan selanjutnya tanah lingko tersebut di serahkan dan di bagikan oleh pihak desa dan dalam pembagian ini di pimpin oleh kepala desa dengan bantuan panitia pembagian tanah yang di bentuk. Kemudian tanah yang sudah diserahkan tersebut telah akan di bagikan kepada masyarakat nanga mbaur yang berhak mendapatkan tanah lingko tersebut sesuai dengan keadaan ekonominya .
2. Sistim Baris (secara modern) adalah patok dengan besaran ukuran tertentu. Dengan demikian misalnya kita temui ukuran perbaris / patok seluas kl. 250 m2. Sekali lagi berapa baris / patok untuk setiao orang, bergantung pada status atau relasinya dengan para tuan tanah. Ada yang menerima satu, dua atau tiga baris / patok. ”.(Wawancara, 06 Agustus 2015).
Warga masyarakat tidak menginginkan adanya perselisihan paham atau
kekacauan, maka pemerintah desa dalam pembagian tanah ini mengikut sertaan tokoh
masyarakat, tokoh agama, pemerintah desa dan ketua, pembagian tanah lingko ini
akan di berikan kepada orang yang benar-benar berhak mendapatkan tanah juga cara
pembagianya dengan cara modern menggunakan meter atau alat ukur lainya guna
34
untuk melancarkan pembagian tanah lingko tersebut supaya masyarakat yang
mendapatkan tanah tersebut mersa adil dan sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
4.1.2 Faktor-faktor penyebabkan terjadinya sengketa Tanah Lingko Di Desa Nanga Mbaur Kabupaten Manggarai Timur.
Sengketa merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia dan selalu
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. sengketa dapat ditemukan dalam berbagai bidang
kehidupan dan terdapat banyak hal yang menyebabkan terjadinya sengketa Salah satu
bentuk sengketa yang sering terjadi di Indonesia adalah sengketa tanah. sengketa
tanah merupakan permasalahan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dengan
beragam bentuk dan penyebabnya. Desa Nanga Mbaur Kabupaten Manggarai
merupakan salah satu wilayah yang sering terjadi sengketa tanah. sengketa tanah
yang terjadi di desa Nanga MbaurKabupaten Manggarai umumnya berbeda dengan
sengketa tanah yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Jawa, Kalimantan,
dan lain-lainnya. Salah satu contohnya sengketa tanah di Jawa Timur, menunjukkan
bahwa kebanyakan sengketa tanah yang terjadi ruang lingkupnya terbatas pada unit
individu atau keluarga, ketika kepemilikan dan penggunaan dicampur aduk, dan
perwakilan pemerintah seringkali berperan dalam resolusi sengketa Tetapi di Flores,
khususnya di beberapa daerah di Kabupaten Manggarai. Seringkali tanah dan sumber
daya alam dikelola secara komunal dan dibedakan antara hak pemilikan dan
penggunaan sengketa yang terjadi di desa Nanga MbaurKabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur ini merupakan permasalahan yang menjadi perhatian serius dari
Pemerintah Daerah maupun masyarakat.Hal ini tidak lepas dari dampak dan pengaruh
35
yang disebabkan oleh sengketa tersebut.sengketa tanah di desa Nanga
MbaurKabupaten Manggarai telah banyak menyebabkan memakan korban, baik
korban meninggal maupun luka-luka, rumah-rumah dibakar, dan lain-lainnya.
Kerugia tidak hanya dirasakan oleh pihak yang bersengketa, tetapi pihak lain yang
tidak terlibat juga merasakan dampak dari konflik tersebut. sengketa tanah di
Kabupaten Manggarai terjadi hampir setiap tahun dengan beragam penyebab dan akar
permasalahannya. Keterlibatan semua pihak diharapkan bisa membantu dalam
menyelesaikan dan mencegah terjadinya sengketa tanah.Dalam hal ini bukan hanya
Pemerintah yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan dan mencegah sengketa,
tetapi juga seluruh lapisan masyarakat harus bekerjasama untuk mengatasi
permasalahan yang hingga saat ini terus terjadi di desa Nanga Mbaur.Dengan
kerjasama dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat, maka penyelesaian dan
pencegahan sengketa tanah bisa dilakukan dengan baik serta bisa mengurangi resiko
dan kerugian yang sangat besar. Kerangka Teoritik sengketa adalah sebuah gejala
sosial yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu.
Sengketa selalu terjadi di desa nanga mbaur, dalam hal perebutan hak atas
tanah bahkan dalam system sosial terkecil sekalipun yang bernama keluarga dan
pertemanan sengketa tetap terjadi.
Adapun menurut bapak Abdurahim Akbar sebagai tokoh pemuda ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah.
1. Keterbatasan sumber. Manusia selalu mengalami keterbatasan sumber-sumber yang diperlukannya untuk medukung kehidupannya. Keterbatasan itu menimbulkan terjadinya kompetisi di antara manusia untuk
36
mendapatkan sumber yang diperlukannya dalam hal ini seringkali menimbulkan sengketa
2. konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai tujuan yang berbeda.
3. Kebutuhan. Orang memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain atau mempunyai kebutuhan yang sama mengenai sesuatu yang terbatas jumlahnya.
4. Saling tergantung atau interpendensi tugas. Konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik memiliki tugas yang tergantung satu sama lain.
5. Diferensiasi organisasi. Salah satu penyebab terjadinya konflik dalam oraganisasi adalah pembagian tugas dalam birokrasi organisasi dan spesialisasi tenaga kerja pelaksananya.
6. Sistem imbalan yang tidak layak. Sistem imbalan yang tidak layak dan tidak adil akan memicu konflik.
7. Komunikasi yang tidak baik. Komunikasi yang tidak baik sering kali menimbulkan konflik. Beragam karakteristik sistem sosial. Konflik dalam masyarakat sering terjadi karena adanya karakteristik yang beragam: suku, agama, dan ideologi.Kesembilan,Pribadi orang. Ada orang yang memiliki sifat kepribadian yang mudah menimbulkan konflik, seperti selalu curiga dan berpikiran negatif kepada orang lain, egois, sombong, merasa selalu paling benar, kurang dapat mengendalikan emosinya, dan ingin menang sendiri.
Terjadinya sengketa tanah di desa nanga mbaur karna tidak ada kepuasan dari
masyarakat untuk memiliki lahan tanah tersebut dan juga adanya desakan dari
kebutuhan hidup masyarakat yang karna mayoritas masyarakat nanga mbaur adalah
petani maka oleh karna itu rawan sekali masyarakat melakukan tindakan-tindakan
supaya mendapatkan lahan garapan.
Permasalahan tanah di desa nanga mbaur akan selalu sering terjadi dalam
beberapa tahun terakhir ini ada 4 kasus sengketa tanah di desa nanga mbaur dalam
tahun 2013-tahun 2014. Terdapat banyak hal yang menjadi akar permasalahan dari
konflik tanah yang terjadi di desa Nanga Mbaur. menurut Muhamad Jafar, SH
sebagai tokoh masyarakat.
37
1. Tertib administrasi, yang dimaksud dengan tertib administrasI disini adalah bahwa sebagian besar tanah yang ada di Kabupaten Manggrai belum bersertifikat, sehingga tanah tersebut secara administrasi belum jelas kepemilikannya. Dengan masuknya hukum formal (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lainnya) dan semakin majunya perkembangan jaman, maka adanya modernisasi administrasi hak atas tanah,dimana tanah–tanah yang ada harus jelas kepemilikannya dengan bukti sertifikat atas tanahtersebut. Secara administrasi hak atas tanah itu belum menjadi perhatian serius dari masyarakat desa nanga mbaur, dimana mereka masih berpegang pada hukum adat yang berlaku yang bersifat lisan.
2. Melanggar kesepakatan, yaitu adanya pengingkaran atas kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Tanah yang sebelumnya telah diserahkan kepada pihak lain atau kepada keluarga, dalam kurun waktu tertentu tanah tersebut diambil kembali oleh pihak yang telah menyerahkannya. Konflik kemudian muncul saat pihak yang menerima tanah menolak untuk menyerahkan kembali tanah yang telha diterimanya karena merasa telah memiliki dan telah mengolah tanah tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama.
3. Alih fungsi lahan. Konflik tanah di Manggarai juga terjadi karena adanya alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti kehutanan, pertambangan, serta pembangunan infrastruktur pemerintahan dan fasilitas-fasilitas umum. Konflik terjadi saat ada pihak yang tidak setuju dengan kebijakan alih fungsi lahan tersebut karena merasa dirugikan.
4. Penggunaan tidak sesuai peruntukkan.Tanah yang menjadi hak individu atau hak masyarakat adat diserahkan secara sukarela untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, tetapi kemudian diokupasi kembali oleh pihak yang telah menyerahkanya. Hal ini disebabkan oleh tanah tersebut digunakan tidak sesuai peruntukkan atau tidak sesuai dengan kesepakatan awal saat tanah tersebut diserahkan.
Selanjutnya menurut Husen Loma sebagai ketua adat desa nanga mbaur
sengketa terjadijuga karna permasalahan keluarga akibat perebutan hak waris:
Perebutan hak waris. sengketa tanah yang disebabkan oleh perebutan hak warissebagian besar terjadi antara pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan atau berasal dari keturunan yang sama, tetapi bisa juga terjadi antara ahli waris dari pemilik tanah dengan pihaklain yang mengklaim tanah tersebut. Perebutan hak waris dengan pihak lain biasanya terjadiketika pihak lain diberikan hak untuk mengelolah tanah, tetapi di kemudian hari tanah tersebut diklaim kembali oleh ahli waris dari pemilik tanah sebelumnya.Tanah
38
sangat terbatas dan dari waktu ke waktu memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Karena terdesak oleh kebutuhan hidup dan kebutuhan akan tanat, makan sebagian orang atau kelompok masyarakat akan berusaha untuk mendapatkan tanah. Konflik terjadi saat usaha-usah tersebut dilakukan dengan cara yang salah atau cara yang merugikan pihak lain.
Dari perselisihan-perselisihan sengketa tanah yang sering terjadi di
masyarakat para tokoh adat dan pemerintah desa akan bekerja sama dalam
menyelesaikan sengketa tersebut dan bahkan juga akan di bantu oleh tokoh
masyarakat maupun pemerintah daerah guna untuk menyelesaikan sengketa tanah
yang ada di desa nanga mbaur
Adapun wawancara dengan Husen Loma sebagai kepala adat desa nanga
mbaur cara menyelesaikan sengketa dengan adat manggarai yaitu lonto leok
(musawarah):
1. Lonto Leok (musyawarah).Penyelesaian Konflik Secara Adat-Istiadat Manggarai. Penyelesaian konflik tanah yang dilakukan oleh masyarakat lebih mengedepankan cara adat dan budaya masyarakat Manggarai. Penyelesaian konflik tanah secara adat umumnya dilakukan masyarakat di mbaru gendang (rumah adat masyarakat Manggarai) melalui forum lonto leok (musyawarah).Dalam forum lonto leok ini adat-istiadat dan simbol-simbol kebudayaan masyarakat Manggarai digunakan, dan dalam forum ini diupayakan permasalahant anah tersebut bisa diselesaikan secara damai.
2. Klarifikasi Kepemilikan Tanah Ulayat : Hak Individu Dan Hak MasyarakatAdat. Klarifikasi kepemilikan tanah ulayat disini merupakan upaya yang dilakukan untukmenyelesaikan konflik dengan memperjelas status kepemilikan tanah, mana yang menjadi hak individu dan mana yang menjadi hak masyarakat adat. Hal ini dikarenakan konflik terjadi karena masyarakat adat, kelompok, maupun individu tidak mengetahui secara jelas status kepemilikan tanah yang dipermasalahkan. Hal ini biasa dilakukan masyarakat di mbaru gendang.
Sengketa tanah di desa nanga mbaur merupakan salah satu permasalahan
yang membutuhkan penanganan serius dari Pemerintah Daerah. Dalam hal ini pihak
39
lain seperti kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat Manggarai itu sendiri
juga memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Konflik tanah
terjadi hampir diseluruh wilayah Kabupaten Manggarai dan konflik tersebut telah
terjadi sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia.Tanah merupakan objek yang
sangat dibutuhkan oleh siapa pun dan untuk berbagai bentuk fungsi dan
keperluannya, baik oleh Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat. Pemerintah
membutuhkan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur seperti kantor-
kantor atau pusat-pusat pemerintahan dan fasilitas-fasilitas umum,Pihak swasta
membutuhkan tanah untuk berbagai keperluannya seperti kantor, tempat usaha, dan
lain-lainnya. Sementara masyarakat membutuhkan tanah untuk kepentingan
pertanian, tempat tinggal, pekuburan, dan lain-lainnya. Oleh karena itu tanah
merupakan objek yang sangat penting. Seiring dengan perkembangan jaman,
kebutuhan akan tanah sangat meningkat, nilai ekonomis dari tanah pun semakin
meningkat. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat tidak diimbangi oleh
jumlah lahan yang ada, dimana tanah atau lahan kosong tidak bertambah dan bahkan
semakin berkurang jumlahnya seiring dengan semakin tingginya kebutuhan akan
tanah. Hal inilah yang kemudian menimbulkan permasalahan tanah, dan hal ini juga
terjadi di desa nanga mbaur. Konflik tanah di desa nanga mbaur dikategorikan dalam
beberapa jenis berdasarkan aktor atau pihak yang berkonflik, yaitu : individu dengan
individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, individu dengan
pemerintah, kelompok dengan pemerintah dan pemerintah dengan pemerintah.
Kelompok yang dimaksud bisa merupakan kelompok masyarakat adat dan juga
40
kelompok-kelompok kepentingan atau kelompok yang memiliki kepentingan dan
tujuan yang sama. sengketa tanah yang melibatkan kelompok masyarakat adat di
Manggarai merupakan sengketa tanah dengan intensitas paling tinggi atau yang
paling sering terjadi di desa nanga mbaur . sengketa yang melibatkan masyarakat adat
ini juga merupakan sengketa yang menyebabkan dampak dan kerugian yang paling
besar dalam setiap permasalahan tanah yang terjadi.
Adapun hasil wawancara dengan warka jalu sebagai kepala desa nanga mbaur
cara untuk melakukan penyelesaian sengketa tanah tersebut:
1. Mediasi. Pemerintah daerah dalam hal ini menjadi mediator antara pihak yang berkonflik. Dalam beberapa kasus tanah di Manggarai, Pemerintah juga menjadi pihak yang berkonflik, dan dalam hal ini Pemerintah tetap menjadi mediator tetapi dari instansi atau lembaga yang tidak terlibat dalam konflik tersebut.
2. Persuaif. Langkah ini merupakan langkah yang diambil oleh Pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik dengan cara damai atau menghindari terjadinya kekerasan.
3. Sosialisasi, Langkah ini dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak buruk dan kerugian yang akan ditimbulkan dari konflik tanah tersebut. Selain bertujuan menyelesaikan konflik yang sedang terjadi, sosialisasi juga bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik di kemudian hari.
4. Pemberian ganti rugi. Pemerintah yang menjadi pihak yang berkonflik akan mengambil langkah pemberianganti rugi kepada pihak lain untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Tetapi jika yang berkonflik bukan Pemerintah, makan dalam hal pemerintah menjadi mediator yang akan menyarankan salah satu pihak yang berkonflik untuk memberikan ganti rugi atas tanah yang dipermasalahakan. Ganti rugi bisa berupa uang, bisa juga berupa tanah pengganti.
5. Menempuh jalur hukum. Jika berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah daerah gagal, maka langkah terakhir yang dilakukan adalah dengan menyarankan pihak yang berkonflik atau pun pihak yang terlibat konflik dengan pemerintah untuk menempuh jalur hukum. Alur penyelesaian konflik yang dilakukan Pemerintah daerah Kabupaten Manggarai dimulai dari tingkat desa, kecamatan, dan Pemerintah daerah.
41
4.2 PEMBAHASAN
Sistim pembagian lingko desa Nanga Mbaur tidak terlepas dari peran penting
dari tokoh adat dan tokoh masyarakat sebagai pendukung dan ikut sertaan dari pihak
pemerintahan setempat yaitu kepala desa dan jajaranya guna melancarkan pembagian
tanah lingko tersebut. Sebagai masyarakat yang masi terikat erat dengan adat
manggarai, masyarakat nanga mbaur dalam pembagian lingkonya harus sesuai
dengan adat manggarai dan juga harus mengikuti bagaimana latar belakang atap
bangunan masyarakat manggarai pada masa dulunya. Jadi pembagian tanah lingko
juga harus berbentuk kerucut mengukuti bentuk atap rumah masyarakat manggarai
yang berbentuk segitiga, pada zaman dahulu masyrakat manggarai menganggap
bentuk seperti itu adalah suatu tanda ikatan persaudaraan yang sangat erat dan tidak
akan di pisahkan untuk selama-lamanya. Tanah lingko di desa nanga mbaur akan
melakukan pembagian oleh orang-orang yang bersangkutan yaitu ketua adat bahkan
kepala desa juga berperan dalam pembagian tanah tersebut. Sewalaupun zaman
sekarang sudah modern tetapi masyarakat nanga mbaur dalam pembagian tanah
lingko tidak menggunakan alat ukur, tetapi pembagian tanah tersebut menggunakan
jari tanagn orang-orang yang berhak mendapatkan tanah yang akan di bagikan
tersebut.
Sewalaupun sudah di bagikan secara teratur oleh tokoh adat tanah di desa
nanga mbaur sampai sekarang masi saja ada perselisihan pendapat tentang sengketaan
lahan tanah garapan, dari sengketa individu dengan individu, individu dengan
kelompok dan bahkan ada juga individu dengan pemerintah. Hal yang mendasar
42
sering terjadi sengketa tanah di desa nanga mbaur yaitu kurangnya kesadaran
masyarakat dalam kepemilikan tanah garapanya.
Ada pun beberapa faktor yang menjadi persoalan dan menjadi suatu akar dari
sengketa tanah yang terjadi di desa nanga mbaur:
1. Keterbatasan sumber. Manusia selalu mengalami keterbatasan sumber-sumber
yang diperlukannya untuk medukung kehidupannya. Keterbatasan itu
menimbulkan terjadinya kompetisi di antara manusia untuk mendapatkan sumber
yang diperlukannya dalam hal ini seringkali menimbulkan sengketa
2. konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik mempunyai tujuan yang
berbeda.
3. Kebutuhan. Orang memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain atau
mempunyai kebutuhan yang sama mengenai sesuatu yang terbatas jumlahnya.
4. Saling tergantung atau interpendensi tugas. Konflik terjadi karena pihak-pihak
yang terlibat konflik memiliki tugas yang tergantung satu sama lain.
5. Diferensiasi organisasi. Salah satu penyebab terjadinya konflik dalam oraganisasi
adalah pembagian tugas dalam birokrasi organisasi dan spesialisasi tenaga kerja
pelaksananya.
6. Sistem imbalan yang tidak layak. Sistem imbalan yang tidak layak dan tidak adil
akan memicu konflik.
7. Komunikasi yang tidak baik. Komunikasi yang tidak baik sering kali
menimbulkan konflik. Beragam karakteristik sistem sosial. Konflik dalam
masyarakat sering terjadi karena adanya karakteristik yang beragam: suku, agama,
43
dan ideologi.Kesembilan,Pribadi orang. Ada orang yang memiliki sifat
kepribadian yang mudah menimbulkan konflik, seperti selalu curiga dan
berpikiran negatif kepada orang lain, egois, sombong, merasa selalu paling benar,
kurang dapat mengendalikan emosinya, dan ingin menang sendiri.
Sewalaupun sering terjadi sengketa tanah di masyarakat desa nanga mbaur
tokoh adat dan pemerintah desa juga tidak lepastangan dengan masalah itu tetapi
tokoh adat bekerja sama dengan pemerintah desa dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa tanah yang terjadi di masyarakat nanga mbaur, cara yang paling sering
digunakan oleh ketua adat dalam penyelesaian sengketa tanah di desa nanga mbaur
adalah debgan menggunakan musawarah antara pihak-pikhak yang bersengketa
dengan menghadiri, beberapa saksi dan bahkan akan di undang pemerintah kabupaten
bahkan aparat kepolisian dan TNI guna menjaga ketertiban berlangsugnya
musawarah.
44
Bab V
Kesimpulan dan Saran
5.1 kesimpulan
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan:
1. Pembagian tanah lingko di desa nanga mbaur, dilakukan oleh kepala adat dan
kepala desa, berserta panitia pembagian tanah, cara pembagian tanah lingko ini
menggunakan moso lime (jari tanagan) orang-orang yang berhak menerima tanah
lingko tersebut, pembagian tanah lingko di lakukan oleh ketua adat ketika
masyarakat mengajukan permohonan pembagian tanah kepada ketua adat dan
kepala desa masyarakat nanga mbaur, kemudian barulah tanag lingko tersebut di
bagikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkanya.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah lingko di desa Nanga
Mbaur yaitu: Masyarakat desa Nangga Mbaur karena tidak adanya kesadaran dan
kepuasan dalam memiliki hak atas tanah yang telah di bagikan oleh ketua adat dan
kepala desa Nanga Mbaur, Tidak adanya kejelasan terhadap status hak
kepemilikan tanah, dan banyak tanah yang belum di daftar.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian dapat dikemukakan beberapa saran yaitu :
1. Pembagian tanah lingko di desa Nanga Mbaur oleh ketua adat dan kepala desa
Nanga Mbaur masih belum mampu menyelenggarakan pembagian tanah lingko
yang adil dan benar karna masi banyak perselisihan dan terjadi sengketa tanah
45
lingko tersebut sehingga perlu adanya bimbingan dan perhatian khusus tentang
pembagian tanah lingko ini dari pemerintah kabupaten dan perlunya pemerintah
kabupaten selalu mengawasi tanah lingko di desa Nanga Mbaur.
2. Dalam penyelesain sengketa tanah juga ketua adat bersama kepala desa belum
mampu menyelesaikanya secara baik dan benar oleh karna banyak tanah yang
belum terdaftar dan harus adanya kerja sama dari masyarakat itu sendiri dalam
penyelesaian sengketa secara musawara dan tidak terlepas juga pengawasan dari
pemerintah kabupaten terhadap desa Nanga Mbaur.
3. Kepala desa Nanga Mbaur harus memeriksa tanah-tanah yang belum terdaftar dan
belum mempunyai sertifikat tanah
46
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharmi. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
………, 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta, Bina Aksar
Afifuddin, Saebani Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung CV Pustaka Setia 2012)
Bushar Muhamad,Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramitha,2000)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
M, Ali Nashir. 1996. Tanyajawab Ilmu Pendidikan. Jakarta, Rineka cipta.
Hutagalung, Ari Sukanti,2002. Penyelesaian Sengketa Tanah Menurut Hukum yang Berlaku, Jakarta:Jurnal Hukum Bisnis
Hadi, Soetrisno, 1995 Metodologi Research, Jakarta:Andy offset
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
………, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan pelaksanaanya,(Jakarta: Djambatan,2003)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mataliteit dan Pembangunan,(Jakarta: Gramedia,1982)
Margono, Suyud, 2000 ADR ( Alternative Dispute Resolution ) & Arbitrase Proses Perkembangan &Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia
Nugroho, Heru:( Menggugat Kekuasaan Negara 2001)
Sudiya, Imam,2002.Hukum Adat Sketsa Asas,(Jokyakarta:Liberty,1982)
Saleh, K.Wantjik, 1981, Hukum Acara Perdata RVG/HIR, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia
Sumardjono, Maria S.W. dkk. 2008. Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif)
47
………, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar,(Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,1997)
Murad, Rusmadi, 1991 Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah, Bandung: Mandar Maju
Soekanto, Soerjono, 1986 Pengantar Penelitian Hukum, Jakatra: UI Prees
Sudarsono, Kamus Hukum, 2002 Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Sugiyono 1998.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi IV). Jakarta. Rineka Cipta.
………, Metode penelitian Kuantitatif, Kuailitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung.
Ter Haar, Bzn 1999 Asas-asas dan susunan hukum adat, Soebakti Poesponoto (penerjemah), Jakarta: Pradny Panata
Usman, Rachmadi, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung
Waluyo, Bambang,1991. Penelitian Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika
Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999,Jakarta, Djambatan
PMA/Ka.BPN No.5 tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
48