Upload
bruno-adiputra-patut-ii
View
70
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : Ny. Nurul Qomariah
Umur : 41 tahun
Alamat : manuruwi – Bangil – Pasuruan
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pedagang
Tgl MRS : 15 juni 2013
Men.Reg : 15-25-71
Subyektif
Keluhan utama: Kejang
Riwayat penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang sejak sekitar 10 jam SMRS. Kejang terjadi
sebanyak 3x kali, durasi tiap kali kejang kurang dari 5 menit, berhenti lalu
kambuh lagi. Pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri. Saat kejang berhenti
pasien masih dalam keadaan tidak sadar karena masih dalam kondisi tertidur, pada
pagi harinya pasien mengeluh kelelahan pada otot-otot dan kepala terasa pusing.
Pasien kemudian dibawah ke klinik swasta, dan kemudian di rujuk ke IGD RSUD
bangil.
1
Pasien mengaku sudah sering mengalami kejang sejak sekitar 2 tahun terakhir.
Biasanya kejang lebih sering kambuh saat pasien tertidur, tetapi kadang juga saat
paisen sadar.
Biasanya kejang kambuh saat pasien dalam kondisi kelelahan atau stres
memikirkan masalah tertentu. Kalau kambuh, kejang bisa sampai dua kali dalam
sehari.
Pasien tidak mengalami panas/demam. Pasien juga tidang sedang sakit gigi atau
mengalami infeksi telinga. Pasien tidak mengalai mual atau muntah. Pasien
sedang tidak menderita batuk.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat kejang mulai sekitar 2 tahun terakhir, sempat menjalani
pengobatan sejak 1,5 tahun terakhi, tapi berhenti berobat sekitar 1 tahun terakhir
dengan alasan susah mencari obatnya (Clobazam).
Riwayat Hipertensi (+), DM (-)
Riwayat penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien.
Riwayat pekerjaan
Pasien bekerja sebagai penjual makanan ringan di rumah
Riwayat sosial
Pasien mengaku jarang keluar rumah dan berbicara dengan para tetangga, lebih
banyak mengurung diri di dalam rumah, kecuali kalu ada pelanggan yang mau
membeli barang dagangan pasien.
2
Obyektif
Keadaan Umum : tampak lemas
GCS : 456
Kesadaran : Compos Mentis
Tensi : 160/80 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Suhu : 37 C
RR : 22x/mnt
Kepala/Leher
Anemis (-), Icterus (-), cyanosis (-), Dyspnue (-)
Peningkatan JVP (-)
Pembesaran KGB (-)
Thorax
Pulmo :
I: dinding dada simetris, deviasi trachea (-), vosa jungularis (-), retraksi (-),
kontraksi otot bantu pernapasan (-).
P: fremitus vocal simetris, fremitus raba simetris
P: dada kanan sonor, dada kiri sonor
A: suara napas vesikuler di seluruh lapangan paru, Ronkhi -/-, Whezing -/-
3
Cor :
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus Cordis teraba di spase intercostalis 5 midclavicula line sinistra
P: RHM terletak ICS 5 parasternal Sinistra, LHM di ICS 5 MCL Sinistra
A: S1S2 tunggal, M(-), G(-)
Abdomen
I: flat, soufel, jejas (-)
P: nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, pembesaran hepar (-)
P: thympani, nyeri ketuk (-)
A: BU (+) normal,
Extremitas
Odema:
-- --
-- --
Status Neurologis
Kaku kuduk (-)
Pupil : 2mm/2mm
Reflex Cahaya : +/ +
Reflex kornea : +/ +
Pemeriksaan motorik :
4
5 5
5 5
Reflek fisiologis :
◦ Reflek bisep : 2/2
◦ Reflek bisep : 2/2
◦ Reflek patella : 2/2
◦ Reflek achiles : 2/2
Reflek patologis :
◦ Babinski : (-/-)
◦ Chaddock (-/-)
◦ Hofman : (-/-)
◦ Tromer : (-/-)
Assasment
Diagnosis klinis:
Akut serial konvulsi
Akut general weaknes
Akut dizziness
Diagnosis topis: subcorteks
Diagnosis etiologis: Observasi Konvulsi
Diagnosis sekunder: Hipertensi st.II
Planning
Planing diagnosa:
Lab : DL, SE, GDA, BUN/SK, SGOT/SGPT
Foto thorax
EKG
Planning Terapi:
Inf. RL 2 fls/hari
Inj. Na Phenitoin 2 amp, diencerkan dalam 20ccNS bolus IV elan
Dilanjutkan Na Phenitoin 3x1 amp diencerkan dalam 10cc NS Iv pelan
Inj. Diazepam 1 amp bila kejang, encerkan 10 cc NS bolus IV pelan
Inj. Antrain 2x1 amp
Inj. Cicholin 2x500mg
5
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Pasang DC kateter
Clobbazam 2x1 tablet
Sore harinya pasien masih kejang diterapi dengan Inj. Midazolam ½ amp
diencerkan dalam 10cc NS IV pelan, ditambah Triheksifenidil 2mg 3x1 tablet PO.
Hasil Laboratorium
Darah Lengkap Kimia klinik
WBC : 8,1 GDA : 107, 4
RBC : 4,41 BUN : 7,35
HGB : 12,4 SK : 0,6
HCT : 38,4 Na : 151,1 (136-144)
MCV : 87,0 K : 4,1 (3,8-5,6)
MCH : 28,1 Cl : 108,4 (97-103)
PLT : 354
Tanggal 17 Juni 2013
S: pasien kadang masih kejang
O: GCS: 456
T: 140/80
Motorik:
5 5
5 5
P: R L 20 tpm
Inj. Na phenitoin 3x 100mg
Carbamazepin 200mg 2x1 tablet
Neurodex 2x1
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai dengan
prevalens 500 per 100.000 populasi, namun masih sedikit dokter yang mempunyai
spesialisasi pada penyakit ini. Sedangkan sekarang terdapat banyak kemajuan di
bidang ini yang dapat membantu penderita epilepsi. Dengan diagnosi dan terapi
yang tepat, sebagian penderita epilepsi dapat terkontrol.(1)
Epilepsi merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan yang lama dan
teratur, oleh karna itu penyndang penyakit dan keluarganya harus menjadi mitra
dokter dalam pengobatan epilepsi. Kerja sama yang baik antara dokter dan
penderita serta keluarganya merupakan faktor yang sangat penting dalam
penanganan epilepsi.(1)
2.2 DEFENISI
Bangkitan epilepsi (seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan
seizure (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kebangkitan berulang sebagai
akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang disebabkan oleh lepas muatan
listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksimal didasari oleh
berbagai faktor etiologi. (1)
Defenisi epilepsi menurut WHO adalah suatu kelainan otak kronik dengan
berbagia macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang
disebbkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran
7
klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran
tergantung lokasi klainan di otak.(1)
Epilepsy adalah gangguan kronik otak dengan ciri tinbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat refersibel dengan berbagai
etiologi. Serangan adalah suatu gejala yang timbul secara tiba-tiba ddan
menghilang secara tiba-tiba pula.(2)
2.3 EPIDEMIOLOGI EPILEPSI
2.3.1 Insidens Dan Prevalensi Epilepsi
Secara umum peneliti mendapatkan insidens 20-70 per 100.000 pertahun
dan prevalens 400-1000 per 100.000. pada populasi umum, insidens epilepsi
berubah-ubah menurut umur tertinggi. Pada usia anak-anak dini, mencapai nadir
pada usia dewasa dini dan naik kembali pada usia tua.(1)
2.3.2 Resiko Berulangnya Kejang
Agak sulit membayangkan prognosis pasien dengan riwayat kejang
pertama kali. Penderita tersebut dianggap epilepsi bila mengalami kejang tanpa
demam berikutnya.(1)
2.3.3 Kejang Tanpa Demam Setelah Kejang Demam
Resiko yang mungkin dihadapi anak paska kejang demam adalah 30-40%
akan mengalami kejang demam berikutnya, sedangkan sebagian kecil akan
mengalami epilepsi kelak dikemudian hari. Pada penelitian NCPP, hanya 30%
anak dengan kejang demam mengalami sekali kejang tanpa demam. Resiko
terjdinya epilepsi kelak di kemudian hari tergantung dari riwayat epilepsi dalam
keluarga, kelainan dalam perkembangan, atau kelainan saraf sebelum anak
8
menderita kejang demam, kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Apabila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut maka resiko mengalami
epilepsi adalah 13%, bila terdapat 1 atau tidak sama sekali maka resikonya hanya
2-3% saja.(1)
2.3.4 Berulangnya Kejang Tanpa Demam Sesudah Kejang Tanpa Demam
Pertama
Resiko tersebut pernah dilaporkan pada anak-anak dan dewasa sangat
bervariasi antara 27-71% dan tergantung pada jenis kelainan kejang serta ada
tidaknya kelainan neurologis dan elektro ensefalografi (EEG) di antara bayi yang
mengalami kejang neonatal akan terjadi bangkitan tanpa demam dlam 7 tahun
pertama sebanyak 25% kasus, 75% diantaranya akan menjadi epilepsi.(1)
Annegers dan kawan-kawan meneliti resiko berulangnya kejang pada 424
pasien kejang tanpa demam pertama yang terdiri mulai neonatus sampai dewasa,
220 pasien mengalami kejang berulang. Secara keseluruhan resiko berulangnya
kejang adalah, 9%, 21%, 30%, 36%, 48%, 56% berturut-turut pada pemantauan 1,
3, 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun.(1)
Resiko berulangnya kejang berbeda menurut klasifikasi etiologi kejang
pertama. Penderita kejang pertama idiopatik mempunyai resiko rekuren kumulatif
26% pada tahun pertama dan 45% pada pemantauan 5 tahun. Sedangkan pada
penderita dengan kejang pertama simtomatik yaitu dengan gangguan susunan
saraf pusat paskaneonatal mempunyai resiko rekuren 56% dalam 1 tahun pertama,
dan 77% pada pemantauan 5 tahun. Penderita dengan serebral palsi atau retardasi
mental berat mempunyai resiko rekuren 92% selama 1 tahun pemantauan.(1)
9
2.4 ETIOLOGI
1. Idiopatik: sebagian epilepsy pada anak-anak adalah epilepsy idiopatik
2. Factor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sclerosis tuberosa, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketouria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemi.
3. Faktor genetik; pada kejang demam dn breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum.
5. Gangguan metabolic; hipoglikemi, hipokalsemia, hiponatremi,
hipernatremi
6. Infeksi; radang yang disebabkan oleh bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis
7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
8. Neoplasma otak dan selaputnya
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10. Keracunan; Timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
11. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormone, depresi
serebral, dan lain-lain.(2)
12. Penghentian obat anti konvulsan secara mendadak. (3)
Sumber lain mengelompokkan penyebab epilepsi dalam 3 kelompok:
1. Idopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik
2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gaambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat misalnya
trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neurodegenerative.(1)
10
2.5 PATOFISIOLOGI TERJADINYA EPILEPSI
Selama dasawarsa terakhir ini tidak banyak kemajuan yang diperoleh
dalam mengungkapakan patofisiologi epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap
dengan baik dan terinci mekanisme yang memulai atau yang mencetuskan sel
neuron untuk berlepasan muatan secara sinkron dan berlebihan. Dengan perkataan
lain sampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme terjadinya bangkitan
epilepsi. Namun beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap.(1)
2.5.1 Gangguan Pada Membran Sel Neuron
Secara umum, epilepsi terjadi karena menurunya potensial
membrane sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksik,
yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut.
(2)
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabelitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion
kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan
konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natriun yang rendah di
dalam sel dalam keadaan normal.(1)
Potensial ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal misalnya
perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi kimiawi atau mekanis,
perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh kelainan
genetik.(1)
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah, membiarkan
ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan
kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk
dipermukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel
lainnya dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabelitas ion
meningkat pada epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi,
11
apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan
meningkatnya ion natrium di dalam sel.(1)
2.5.2 Gangguan Pada Mekanisme Inhibisi Prasinaps Dan Pasca-Sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps.
Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang
kemudian membebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau
menginghibisi membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamid
acid) mengakibatkan depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA atau Gamma
Amino Butyric Acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya.
Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi
sinaps.(1)
Beberapa penyelidikan menunjukkan peran asetilkolin sebagai zat yang
merendahkan potensial membrane postsinaptik dalam hal terepasnya muatan
listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul
sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka
pelepasan muatan listrik sel-sel saraf dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-
sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran
awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan
otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetil kolin daripada pada
otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempata pada permukaan
otak sebagai gejala sisa-sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau
trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu
pada tempat itu akan terjadi lepasan muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan
asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat
merenddahkan potensian membrane sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi.
Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya simtomatis.(2)
Setiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya
melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang
terdidri dari sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi
12
aktivitasnya. Pada keadaan normal didaptkan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya
bangkitan kejang. Efek inhibissi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran
sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik
yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan
sintesis GABA mengakibatkan gangguan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dan jika
eksitasi lebih unggul makan akn mengakibatkan bangkitan epilepsi. Fosfat
piridoksal penting untuk sintesi GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau
nutrisi dapat mengakkibatkan konvulsi pada bayi. Antikonvulsan valproat bekerja
dengan melalui pencegahan pemecahan GABA.(1)
Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi dari
sistem saraf yang berperanan, tetapi juga variasi antara keseimbangan sistem
inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan
ambang kejang. Dengan demikian mempengaruhi tinggi rendahnya ambang
kejang. Demikin pula jaringan saraf dapat menjadi hipereksitabel oleh perubahan
hemoestasis tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh demam, hipoksia,
hipokalsemia, hidrasi lebih , dan perubahan keseimbangan asam basa. Faktor
eksternal dapat juga menyebabkan hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan,
penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosis lebih
berbagai macam obat dan berbagai toksin.(1)
Dengan menggunakan elektrode-mikro dapat diselidiki perangai
kelistrikan suatu neuron. Telah diidentifikasikan lepas muatan yang berasal dari
badan sel, dendrit, dan akson. Dapat ditunjukkan bahwa aktifitas letupan listrik
abnormal yang berfrekuensi tinggi didapatkan pada sel neuron di fokus epileptik.
Diduga bahwa aktifitas autonom ini disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena
adanya perbedaaan potensial antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis di
dendrit ini dapat diakibatkan oleh tekanan mekanis, misalnya oleh jaringan parut.
Neuron epileptik secara histologis mempunyai sedikit ujung sinaps, dengan
demikian rangsang eferen yang diterimanya berkurang. Berkurangnya rangsangan
eferen ini dapat mengakibatkan sel neuron menjadi hipersensitif misalnya
13
terhadap zat kimiawi di sekitarnya dengan demikian terjadi lepas muatan listrik
yang berlebihan secara spontan.(1)
2.5.3 Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra seluler di
sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi
glia yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraseluler dapat terganggu dan
mengakibatkan meningkkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang
tinggi antar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat
mmendepolarisasi mebran neuron.(1)
Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion
kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu
kejang kadar ion kalium meningkat 5 kali atau lebih di cairan intersisial yang
mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut
diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema), hal ini menjadi jawaban
yang khas bagi astroglia terhadap meningkatnya kadar kalium ekstraseluler, baik
yang disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal maupun akibat iskemia serebral.(1)
Pada penelitian eksperimental didapatkan bahwa bila kation dimasukkan
dalam sel astroglia melalui pipet mikro timbulah letupan kejang (seizure
discharge) pada sel neuron di sekitarnya, suatu ilustrasi mengenai peranan sel
astroglia dalam mengatur aktivitas neuronal.(1)
Para penyelidik umumnya sependapat bahwa sebagian besar bangkitan
epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas
muatan listrik secara berlebihan dan hipersinkron. Kelompok sel neuron yang
abnormal ini, yang disebut juga sebagi fokus epilepsi, mendasari semua jenis
epilepsi yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini
kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-natomis dan melibatkan
daerah di sekitarnya atau daerah yang lebh jauh letaknya di otak.(1)
14
Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan
maka didapatkan 3 kemungkinan:
1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terlokalisasi pada
kelompok neuron tersebut kemudian berhenti.
2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh
otak, kemudian menjumpai tahanan dan berhenti
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan berhenti
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi fokal (parsial),
sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi
tergantung kepada letak dan fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik
berlebihan serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas
muatan melibatkan daerah motorik di lobus frontalis. Berbagai macam gangguan
sensoris akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlibat.
Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan thalamus.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan
epilepsi klinis, walaupun sel tersebut berlepasan muatan listrik berlebihan. Sel
neuron di serebelum di bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak
mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Fenomen Todd lebih sering dijumpai
pada pasien dengan fokus oleh lesi struktural.(1)
Sesekali didapatkan kecacatan akibat bangkitan kejang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan
kerusakan pada sel neuron, dengan akibat cacat menetap.(1)
Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium
dan kalium yang berhubungan erat dengan kelistrikan dan penjalarannya. Diduga
bahwa sel neuron sanggup mengeluarkan ion natrium dari dalam sel. Akibat dari
keadaan ini didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi di ruang intraseluler
dan ion natrium yang tinggi di ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium ke luar
dibutuhkan banyak energi yang diperoleh melalui senyawa fosfat (ATP). Bila
terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan natrium bertambah. Dengan
perkataan lain kebutuhan akan oksigen dan glukosa meningkat. Bila kejang
15
berlangsung singkat maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi.
Namun bila kejang berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan akan
oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat luka atau mati.(1)
Pada epilepsy idopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik
dilepaskan oleh nuclei intralamilares talami, yang dikenal juga sebagai inti
centrecephalic. Inti ini merupakan terminal dri lintasan asendens aspesifik atau
lintasn asendens intraemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen
aspesifik itu menetukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input
maka terjadilah koma. Pada grandmal, oleh karena sebab yang belum dapat
dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara
berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang
seluruh tubuh sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran
menerima impuls aferen dari luar sehingga kesadaran menghilang.(2)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di
bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blockade sejenak terhadap
inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai
kejang-kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.(2)
2.6 FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi adalah factor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1. Factor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang
mengejutkan, air panas.
2. Factor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya
golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemi, kelelahan fisik
3. Factor mental : stress, gangguan emosi.(2)
16
2.7 MANIFESTASI KLINIK
Menurut Commision of Classification and terminology of the International
League against Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:
2.7.1 Kejang Parsial (fokal, lokal)
2.7.1.1 Sawan parsial sederhana; sawan parsial dengan kesadaran tetap
normal
1. Dengan gejala motorik
a. Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
b. Fokal motorik menjalar: sawan dimuli dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi jackson.
c. Versif: sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
d. Postural: sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
e. Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang berhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitan yang disertai
vertigo.
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom ( sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi pupil)
a. Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum
b. Visual; terlihat cahaya
c. Auditoris: terdengar sesuatu
d. Olfaktori: terhidu sesuatu
e. Gustatorius: terkecap sesuatu
f. Disertai vertigo
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a. Disfagia : gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat
17
b. Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa sperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami,
mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak teringat
suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
c. Kognitif; gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
d. Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut
e. Ilusi: perubhan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar
f. Halusinasi komleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,
melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain.(2)
2.7.1.2 Sawan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula
baik kemudian menurun.
a) Dengan gejala parsial sederhana diikuti dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah,
menelan-nelan, wajah muka berubah seringali seperti ketakutan, menata-
nata sesuatu’ memegang—megang kancing baju, berjalan, mengembara
tidak menentu, berbicara dan lain-lain.
2) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan serangan.
a) Hanya dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme.(2)
2.7.2 Sawan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
2.7.2.1.1 Sawan lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muk tampak
membengong, bola mata dapat berputar ke atas, tidak ada reaksi bila diajak bicara.
18
Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak-anak.
a) Hanya penurunan kesadaran
b) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonik ringan biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral
c) Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak melunglai
d) Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mmendadak meengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
e) Dengan automatisme
f) Dengan komponen autonom. (2)
2.7.2.1.2 Lena tidak khas ( atypical absence), dapat disertai
a) Gangguan tonus yang lebih jelas
b) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.(2)
2.7.2.2 Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah, sebagian otot atau seluruh otot-otot, sekali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.(2)
2.7.2.3 Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.
Dijumpai terutama sekali pada anak-anak.(2)
19
2.7.2.4 Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,
juga terdapat pada anak.(2)
2.7.2.5 Sawan Tonik-klonik
Sawan ini sering ditemukan pada umur di atas balita yang dikenal dengan
sebutan grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang
mengawali suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan
kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang kelojot
diseluruh badan. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,
dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.(2)
2.7.2.6 Sawan Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh tubuh mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini
terutama sekali dijumpai pada anak-anak.(2)
2.7.3 Sawan Tidak Tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola
mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan mendadak berhenti sementara.(2)
20
2.8 DIAGNOSIS
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
a. Langkah pertama: memastika apakah kejadian yang bersifat paroksimal
menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
b. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tetntukanlah
bangkitan yang ada termasuk bangkitan apa.
c. Langkah ketiga: pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau epilepsi apa yang diderita pasien dan temukan
etiologisnya.(1)
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam
bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh
gambaran epileptiform pada EEG.(1)
2.8.1 Anamnesa (auto dan alo-anamnesis)
Hal-hal yang perlu diketahui dari anamnesa adalah;
a. Pola/bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama, atau pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita pasien sekarang
g. Usia pada saat terjadi bangkitan pertama kali
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran, dan perkembangan
bayi/anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga(1)
21
2.8.2 Pemeriksaan fisik umum dan Neurologik
Hal-hal yang perlu diperikssa antara lain adanya gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecandual alkohol
atau obat terlarang dan kanker.(1)
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
2.8.3.1 pemeriksaan Elktroensefalopati (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan
stimulasi fotik, hiprventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada
orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan ulang
gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama
menunjukkan hasil normal sedangkan persangaan epilepsi sangat tinggi, maka
dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan
dengan persyaratan khusus misalnya dengan mengurangi tidur (sleep deprivation)
atau dengan menghentikan obat antiepilepsi (OAE).(1)
Indikasi pemeriksaan EEG adalah:
Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
Menentukan prognosis pada kasu tertentu
Pertimbangan dalam menghentikan OAE
Membantu dalam menentukan letak fokus
Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya).(1)
22
2.8.3.2 Pemeriksaan pencitraan Otak ( Brain Imaging)
Indikasi pemeriksaan pencitraan otak adalah:
Semua kasus bangkitan pertam yang diduga ada kelainan struktural
Adanya perubahan bentuk bangkitan terdapat defisit neurologik fokal
Epilepsi dengan bangkitan parsial
Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
Untuk persiapan tindakan pembedahan.(1)
2.8.3.3 Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur pencitraan
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT-
Scan. MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang
sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.(1)
2.8.3.4 Pemeriksaan laboratorium
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis epilepsi
Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin (Hb), leukosit, hematokrit,
trombosit, hapusan darah tepi, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, fungsi
ginjal, dan lain-lain
Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP.
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada
kelainan metabolik bawaan.(1)
23
2.9 DIAGNOSIS BANDING
a. Pada neonatus dan bayi
Jittering
Apneic spell
b. Pada anak
Breath holding spells
Sinkope
Migren
Bangkitan psikogenik/konversi
Prolonge QT syndrome
Night terror
Tics
Hypercyanotic attack (pada tetralogi fallot)
c. Pada dewasa
Sinkope dapat sebagai vasovagal attack, sinkope kardiogenik, sinkope
hipovolemik, sinkope hipotensi, dan sinkope saat miksi (micturition
syncope)
Serangan iskemik sepintas (transient Ischemik Attack)
Vertigo
Transien Global Amnesia
Narkolepsi
Bangkitan panik, psikogenik
Sindrom menier
Tics. (1)
2.10 PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu
kapsitas fisikdan intelek pasien. Pengbatan epilepsi meliputi pengobatan
medikamentosa dan pengobatan psikososial.(2)
24
2.10.1 Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis dimana sawan yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka
disamping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa
prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
1. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan
2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama
3. Obat yang diberikan disesuaikan dengan jenis sawan.
4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan
berkurang, mempermuddah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
5. Dosis obat disesuaikan secara individual
6. Evaluasi hasilnya
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
Salah etiologi: kelainan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi,
adanya penyakit degeneratif susunan saraf pusat
Pemberian pbat anti epilepsi yang kurang tepat
Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur
Faktor emosional sebagai pencetus
Termasuk intractable epilepsy
7. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2-3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.(2)
25
Tabel: obat pilihan berdasarkan jenis kejang(2)
Bangkitan Jenis obat
Fokal/parsial
Sederhana CBZ, PB, PHT
Kompleks CBZ, PB, PHT, VAL
Tonik-klonik umum sekarang CBZ, PB, PHT, VAL
Umum
Tonik-klonik CBZ, PB, PHT, VAL
Mioklonik CLON, VAL
Absens/petit mal CLON, VAL
CBZ : Karbamazepin PHT : Fenitoin
CLON : klonazepam PB : Fenobarbitol
VAL : asam Valproat
2.10.2 Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani
pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja, dan
bermasyarakat secara normal.(2)
2.11 PROGNOSIS
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling
sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat
dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatan telah mengalami remisi.
Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat
secara teratur.(2)
26
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering
didapatkan padda sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula
usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.(2)
Prognosis tergantung beberapa faktor antara lain medis, sosial, dan
psikologis. Secara umum prognosis tergantung dengan beberapa faktor seperti
kekerapan kejang, ada tidaknya defisit neurologis/mental, jenis dan lamanya
kejang. Kehidupan pasien akan jauh lebih normal bila bebas serangan kejang
sedikitnya 1 tahun atau lebih.(1)
Silanpaa dalam penelitiannya mengenai prognosis intelegensi
mendapatkan 47,3% dengan intelegensi normal, 13,1% dengan retardasi mental
ringan dan sisanya dengan retardasi mental sedang atau berat. Juga terdapat
gangguan perkembangan motor halus pada 42,7% pasien, gangguan berbicara
pada 40% dan kesulitan hubungan interpersonal 37,8%. Terdapat 60% pasien
mengikuti sekolah normal, tetapi hanya 4,7% yang msuk perguruan tinggi.
Prevalensi kematian mendadak yang berhubungan dengan kejang adalah 1 per 525
sampai 1 per 2100 pasien epilepsi. Pada umumnya akibat status epilepsi dan
kecelakaan akibat trauma atau tenggelam.(1)
Secara umum dapat disimpulkan bahwa prognosis epilepsi tergantung
pada jenis epilepsinya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis antara
lain tidak adanya kelainan neurologis dan mental, kejangnya tidak sering, jenis
tonik klonik umum dan kejang cepat dikendalikan, umur onset setelah 2 atau 3
tahun.(1)
27