14
30 STRATEGI PENINGKATAN RENDEMEN DAN MUTU MINYAK DALAM AGRIBISNIS NILAM J.T. Yuhono dan Sintha Suhirman Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Nilam (Pogostemon cablin Benth) bukan merupakan tanaman asli dari wilayah Singapura. Minyak nilam dipakai sebagai bahan pencampur dan pengikat wangi-wangian dalam industri parfum, farmasi dan kosmetik. Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun dan tangkainya. Untuk memperoleh rendemen minyak yang optimum diperlukan standar perbandingan tertentu antara daun dan tangkai atau ranting yaitu 1:1. Dalam industri parfum minyak nilam merupakan bahan baku utama yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh minyak yang lain. Kendala umum dalam agribisnis nilam antara lain adalah rendahnya kadar minyak, mutu minyak rendah dan beragam, penyediaan produk tidak kontinyu dan harganya berfluktuasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak nilam antara lain adalah penggunaan bibit asalan, cara penanganan bahan baku (perajangan, pelayuan dan pengeringan), cara penyulingan, lama penyulingan, dan penggunaan alat penyuling. Sedangkan yang mempengaruhi mutu minyak antara lain adalah penggunaan bibit asalan, tanah dan iklim, kondisi lahan beragam, sistem pola tanam berpindah-pindah, penggunaan alat penyuling dan pemalsuan minyak serta cara penanganan bahan baku. Sifat-sifat kimia yang penting dalam minyak nilam, diantaranya bilangan asam maksimal 5% dan bilangan ester maksimal 10%. Upaya untuk membuat penyediaan produk supaya kontinyu antara lain penggunaan bibit unggul yang sudah dilepas antara lain : varietas Tapak Tuan, Lhok- seumawe dan Sidikalang, sistim usahatani nilam secara menetap, melaksanakan pemupu- kan melalui penambahan kompos dari limbah nilam (3 kg) ditambah pupuk NPK dan dengan pemberian mikorisa dan pupuk kandang 250 gr/tanaman, penanganan bahan tanaman melalui penjemuran (2 hari @ 5 jam), pelayuan dan pengecilan bahan sebelum disuling secara baik dan benar, menggunakan alat penyuling standard yang sudah dipatenkan, upaya pengembangan lahan dan peraturan per- dagangan yang ketat dan penyediaan produk yang berkelanjutan. Kata kunci : minyak nilam, rendemen, mutu, agribisnis PENDAHULUAN Nilam ( Pogostemon cablin Benth) bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tapi dimasukkan dari wilayah Singapura ke Indonesia sekitar tahun 1895 (Burkil dalam Dhalimi et al., 1998). Awalnya nilam disebut sebagai “Dilem Singapur” sekarang lebih dikenal dengan nilam Aceh. Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun nilam dan tangkai- nya. Untuk memperoleh kadar minyak yang optimum diperlukan standar per- bandingan tertentu antara daun dan tangkai atau rantingnya yaitu sebesar 1 : 1 (Wikardi et al., 1991), dan sebesar 2 : 1 (Rusli dan Hasanah, 1977), sedang petani nilam di Sumedang biasa meng- gunakan dengan perbandingan 70 : 30 persen. Dalam perdagangan internasio- nal, minyak nilam hanya digolongkan ke dalam satu jenis mutu, dengan nama dagang patchouly oil, dan dikelompok- kan dalam sistim perdagangan inter- nasional dengan kode nomor

3nilam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 3nilam

30

STRATEGI PENINGKATAN RENDEMEN DAN MUTU

MINYAK DALAM AGRIBISNIS NILAM

J.T. Yuhono dan Sintha Suhirman

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Nilam (Pogostemon cablin Benth)

bukan merupakan tanaman asli dari wilayah

Singapura. Minyak nilam dipakai sebagai bahan

pencampur dan pengikat wangi-wangian dalam

industri parfum, farmasi dan kosmetik. Minyak

nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun dan

tangkainya. Untuk memperoleh rendemen

minyak yang optimum diperlukan standar

perbandingan tertentu antara daun dan tangkai

atau ranting yaitu 1:1. Dalam industri parfum

minyak nilam merupakan bahan baku utama

yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh

minyak yang lain. Kendala umum dalam

agribisnis nilam antara lain adalah rendahnya

kadar minyak, mutu minyak rendah dan

beragam, penyediaan produk tidak kontinyu dan

harganya berfluktuasi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi rendemen minyak nilam antara

lain adalah penggunaan bibit asalan, cara

penanganan bahan baku (perajangan, pelayuan

dan pengeringan), cara penyulingan, lama

penyulingan, dan penggunaan alat penyuling.

Sedangkan yang mempengaruhi mutu minyak

antara lain adalah penggunaan bibit asalan,

tanah dan iklim, kondisi lahan beragam, sistem

pola tanam berpindah-pindah, penggunaan alat

penyuling dan pemalsuan minyak serta cara

penanganan bahan baku. Sifat-sifat kimia yang

penting dalam minyak nilam, diantaranya

bilangan asam maksimal 5% dan bilangan ester

maksimal 10%. Upaya untuk membuat

penyediaan produk supaya kontinyu antara lain

penggunaan bibit unggul yang sudah dilepas

antara lain : varietas Tapak Tuan, Lhok-

seumawe dan Sidikalang, sistim usahatani

nilam secara menetap, melaksanakan pemupu-

kan melalui penambahan kompos dari limbah

nilam (3 kg) ditambah pupuk NPK dan dengan

pemberian mikorisa dan pupuk kandang 250

gr/tanaman, penanganan bahan tanaman melalui

penjemuran (2 hari @ 5 jam), pelayuan dan

pengecilan bahan sebelum disuling secara baik

dan benar, menggunakan alat penyuling

standard yang sudah dipatenkan, upaya

pengembangan lahan dan peraturan per-

dagangan yang ketat dan penyediaan produk

yang berkelanjutan.

Kata kunci : minyak nilam, rendemen, mutu,

agribisnis

PENDAHULUAN

Nilam (Pogostemon cablin

Benth) bukan merupakan tanaman asli

Indonesia, tapi dimasukkan dari

wilayah Singapura ke Indonesia sekitar

tahun 1895 (Burkil dalam Dhalimi et

al., 1998). Awalnya nilam disebut

sebagai “Dilem Singapur” sekarang

lebih dikenal dengan nilam Aceh.

Minyak nilam diperoleh dari hasil

penyulingan daun nilam dan tangkai-

nya. Untuk memperoleh kadar minyak

yang optimum diperlukan standar per-

bandingan tertentu antara daun dan

tangkai atau rantingnya yaitu sebesar 1

: 1 (Wikardi et al., 1991), dan sebesar 2

: 1 (Rusli dan Hasanah, 1977), sedang

petani nilam di Sumedang biasa meng-

gunakan dengan perbandingan 70 : 30

persen. Dalam perdagangan internasio-

nal, minyak nilam hanya digolongkan

ke dalam satu jenis mutu, dengan nama

dagang patchouly oil, dan dikelompok-

kan dalam sistim perdagangan inter-nasional dengan kode nomor

Page 2: 3nilam

31

Harmonized system (HS) 330 129 400

atau kedalam Standar International

Trade Clasification (SITC) dengan

nomor 551 32294. Minyak nilam yang

akan diekspor, harus memenuhi per-

syaratan yang diterapkan oleh Depar-

temen Perdagangan (Tabel 1).

Minyak nilam antara lain diguna-

kan sebagai bahan baku, bahan pen-

campur dan fiksatif (pengikat wangi-

wangian) dalam industri parfum, far-

masi dan kosmetik serta makanan dan

minuman (Mustika dan Nuryani, 2006)

juga sebagai pewangi selendang, karpet

dan barang-barang tenunan (Rusli et

al., 1985). Dalam industri parfum

minyak nilam merupakan bahan baku

utama yang fungsinya tidak dapat di-

gantikan oleh minyak yang lain.

Di India daun nilam kering

digunakan sebagai pengusir serangga

(repellent) pada kain yang akan di

ekspor (Robbins, 1982). Minyak nilam

juga dapat berfungsi sebagai insektisida

untuk larva Spodoptera littorales

dengan LC 50 antara 10,1 dan 20,01

ml/m3 (Prawoto dan M.Sholeh, 2006).

Areal tanaman nilam Indonesia

pada tahun 2004 adalah seluas 16.639

ha dengan produksi sebesar 2424 ton

minyak (Ditjenbun, 2005), dan melibat-

kan petani pemilik sekitar 32.870

kepala keluarga (KK). Luasan dan

banyaknya KK yang terlibat, menun-

jukkan luas pemilikan lahan garapan

petani rata-rata sempit (Kanwil DPP

Perindustrian, 1986).

Tabel 1. Standar mutu minyak nilam Indonesia

Karakteristik Syarat Cara pengujian

Warna Kuning muda sampai coklat tua Visual

Bobot jenis, 25 0 / 25

0 C 0,943 – 0,983 SP-SMP-17-1975

(ISO R 279-1962 E)

Indek bias, 20 0 C 1,504 – 1,514 SP-SMP-16-1975

(ISO R 280-1962 E)

Kelarutan dalam etanol

90 % pada suhu 25 0 C ±

3 0 C

Larutan (jernih) atau opalesensi

ringan dalam perband. Vol 1 s/d

10 bagian

SP-SMP-19-1975

(BS 2073; 1962)

Bilangan asam maks. 5,0 SP-SMP-26-1975

(ISO R 1242-1973 E)

Bilangan ester, maks. 10,0 SP-SMP-27-1975

Minyak kruing Tidak nyata SP-SMP-25-1975

Zat zat asing

Alkohol

Lemak

Minyak pelikan

Negatif SP-SMP-17-1975

SP-SMP-24-1975

SP-SMP-42-1975

SI NO. 25/SI/73 Sumber : Balittro, 2003.

Page 3: 3nilam

32

Dari luasan yang sempit-sempit

yang dimiliki petani nilam tersebut

akan menghasilkan minyak yang juga

sedikit. Berarti kondisi minyak nilam

dari petanipun sudah beragam. Sentra

produksi nilam hanya terpusat di wi-

layah Sumatera dan Jawa (Ditjenbun,

2006). Enam daerah sentra produksi

nilam yang mempunyai luasan di atas

1000 ha, berturut-turut dari luasan

tertinggi adalah sebagian Sumatera

Barat (4.458 ha/8.989 KK), Nanggroe

Aceh Darusalam (2.876 ha/7.312 KK),

Sumatera Utara (2.608 ha/3.960 KK),

Jawa Tengah (2.292 ha/5.771 KK),

Bengkulu (1.620 ha/2.170 KK), dan

Jawa Barat (1.395 ha/2.433 KK).

Indonesia menduduki posisi eks-

por utama minyak nilam sekitar tahun

1960an, yang sebelumnya ditempati

oleh Singapura dan Malaysia (Allen,

1969). Ekspor minyak nilam Indonesia

pada tahun 1961 adalah ± 246 ton.

Pada tahun 2004 ekspornya meningkat

sebesar 900% atau ± 2.074 ton, dengan

nilai 27.136.913 U$ dolar (BPS, 2005).

Sekitar 75% kebutuhan dunia akan mi-

nyak nilam disuplai dari Indonesia

(Sumangat dan Risfaheri, 1998), berarti

konsumsi dunia akan minyak nilam di-

perkirakan sebesar 2.300 – 2.400 ton/

tahun.

Minyak nilam merupakan komo-

ditas ekspor, sebesar 85,6% dari total

produksi diekspor ke luar negeri (BPS,

2005). Sebagai komoditas ekspor, har-

ga nilam di dalam negeri tergantung

dari harga internasional, maka kesejah-

teraan petani nilam juga sangat tergan-

tung dari harga internasional.

Perkembangan pasar internasio-

nal pada hakekatnya menurut Budiarto

dan Widodo, (2005) merupakan inte-

raksi antara penawaran berlebih (excces

supply) dan permintaan berlebih

(excces demand). Apabila penawaran

berlebih dan permintaan tetap, maka

akan terjadi penurunan harga (Kind-

leberger dan Lindert, 1991). Begitu

sebaliknya apabila penawaran tetap dan

permintaan bertambah, maka harga

akan meningkat kembali. Hukum terse-

but berlaku pula pada komoditas nilam.

Naik turunnya harga minyak nilam

sangat berpengaruh terhadap petani

yang hanya menggantungkan hidupnya

dari usahatani.

Walaupun Indonesia mensuplai

sekitar 75% (Sumangat dan Risfaheri,

1998) sampai 90 % (Deperindag, 1993)

dari kebutuhan dunia, tetapi keberadaan

nilam di negeri ini mengalami banyak

kendala. Beberapa kendala umum yang

ditemui adalah a) rendahnya rendemen

minyak nilam yang diperoleh, b) mutu

minyak rendah dan beragam, c) penye-

diaan produk tidak kontinyu dan d)

harga yang terjadi berfluktuasi. Perma-

salahan-permasalahan di atas erat kait-

annya satu dengan yang lainnya se-

hingga diperlukan upaya dan terobos-

an-terobosan baru yang saling dapat

menghilangkan permasalahan tersebut.

Tulisan ini bertujuan menunjuk-

kan permasalahan yang terdapat pada

agribisnis nilam, upaya mengatasi dan

meningkatkan rendemen serta mutu-

nya.

Page 4: 3nilam

33

PERMASALAHAN PADA

TANAMAN NILAM

Rendahnya rendemen

Banyak faktor yang mempe-

ngaruhi rendah/kecilnya rendemen

minyak nilam yang diperoleh antara

lain adalah

a) Teknologi budidaya

- Penggunaan bibit asalan

Sampai dengan tanggal 1

Agustus 2005 belum ada varietas ung-

gul baru nilam yang dilepas dan sampai

saat itu petani nilam masih menggu-

nakan bibit asalan. Disebut bibit asalan

karena cara memperolehnya juga se-

cara asalan, tidak memperhatikan ke-

unggulan tanaman, besarnya rendemen

minyak, ketahanannya terhadap hama

dan penyakit serta varietasnya. Yang

dipentingkan adalah kemudahan untuk

mendapatkan bibit tersebut. Bibit asal-

an dibeli dari daerah lain (sentra pro-

duksi nilam), membeli atau minta ke

tetangga terdekat, akibat dari peng-

gunaan bibit asalan tersebut, kadar

yang diperoleh rata–rata rendah sekitar

1 – 2 % dari terna kering atau ± 0,3 –

0,4 dari terna basah.

- Sistim usahataninya ladang ber-

pindah

Petani nilam di daerah sentra

produksi utama masih banyak yang

menanam nilam secara berpindah–pin-

dah dengan maksud untuk menghindari

serangan penyakit budok dan meng-

hemat biaya produksi (Dhalimi et al.,

1998). Sistim tersebut kemudian dike-

nal dengan usahatani ladang berpindah.

Sistim usahatani ladang berpindah

tidak ramah terhadap lingkungan,

karena setiap penanaman baru, petani

akan membuka lahan baru dengan

keterbatasan, ketergesaan waktu dan

tenaga kerja serta penggunaan bibit

seadanya, sehingga akan terjadi erosi

genetik. Akibatnya tanaman meng-

alami penurunan terhadap produktivitas

dan kadar minyaknya.

- Tidak dilakukan pemupukan

Tanaman yang tidak dilakukan

pemupukan, akan diperoleh produksi,

produktivitas dan kualitas yang rendah.

Petani hanya berharap dari humus yang

ada pada saat melaksanakan penanam-

an baru dengan sistim perladangan ber-

pindah. Akibatnya kadar minyak dan

rendemen yang diperoleh rendah.

b) Cara penanganan bahan tanaman

sederhana dan tidak tepat

Penanganan bahan tanaman se-

habis dipanen hanya dilakukan penje-

muran di lahan bekas panen selama dua

hari penuh (± 2 x 8 jam), akibatnya

kadar minyak turun karena kandungan

minyak pada tanaman banyak yang

menguap. Perbandingan antara bahan

yang disuling juga berpengaruh ter-

hadap rendemen yang diperoleh.

Makin banyak porsi daun dibanding

dengan batang atau sebaliknya dan

dengan perbandingan berapa yang tepat

belum diketahui. Daun dan batang hasil

panen, langsung disuling atau langsung

dijual. Akibatnya kadar minyak yang

diperoleh akan turun.

c) Alat dan metode dalam penyu-

lingan

Petani umumnya tidak mengenal

metode–metode yang baik dan benar

Page 5: 3nilam

34

dalam melaksanakan penyulingan, se-

berapa hasil panen yang diperoleh,

langsung disuling. Akibatnya rende-

men yang diperoleh rendah. Penggu-

naan alat penyuling sederhana, terdiri

dari drum bekas dan kondisinya tidak

bersih. Akibatnya kadar minyak nilam

yang diperoleh rendah, tidak bersih dan

berwarna gelap. Kondisi ini disebabkan

antara lain karena adanya ion logam

yang kemudian bereaksi dengan senya-

wa dalam minyak membentuk kom-

plek logam berwarna. Minyak yang

berwarna gelap dapat menyebabkan

harga murah karena mutu minyak ren-

dah, serta tidak memenuhi Standar

Nasional Indonesia (Wahono et al.,

2004).

d) Tanah dan iklim kurang sesuai

Tanaman nilam berproduksi se-

cara optimum apabila ditanam pada

ketinggian 10 – 400 m dpl, beriklim

panas, curah hujan antara 2.300 – 3.000

mm/tahun (Rosman, 1998), suhu ideal

antara 22 – 28 0 C dengan kelembaban

diatas 75% (Mangun, 2005). Kenyata-

an dilapangan ditemui tanaman nilam

ditanam petani pada daerah–daerah

yang kurang/tidak sesuai, akibatnya

produksi yang diperoleh rata-rata ren-

dah. Contoh kasus di wilayah propinsi

Jawa Tengah, produktivitas minyak

nilam rata-rata pada tahun 2003 sebesar

69,41 kg/ha (Ditjenbun, 2006).

Rendahnya mutu minyak

Mutu minyak nilam dapat ber-

variasi, tergantung pada faktor-faktor

berikut ini

a. Penggunaan bibit asalan

Sampai dengan pertengahan

Agustus 2005 belum ada varietas ung-

gul nilam yang dilepas dan sampai saat

itu petani nilam masih menggunakan

bibit asalan. Bibit asalan bisa dibeli dari

daerah lain (sentra produksi nilam),

membeli atau minta ke tetangga ter-

dekat, akibat dari penggunaan bibit

asalan tersebut kadar Pachoully Alko-

hol yang diperoleh rata-rata rendah dan

kurang dari 30%.

b. Kondisi lahan dan mutu minyak

beragam

Pengusahaan nilam di Indonesia

hampir seluruhnya diusahakan rakyat

dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada

umumnya skala luasannya sempit dan

diusahakan pada kondisi lahan yang

beragam. Akibatnya mutu yang diper-

oleh rendah dan beragam. Sebagai

gambaran luas pemilikan lahan petani

nilam di wilayah Daerah Istimewa

Aceh berkisar antara 0,33 ha sampai

dengan 0,51 ha per kepala keluarga

(Kanwil Deperindag D.I. Aceh, 1986).

Petani di daerah Aceh Selatan rata-rata

memiliki sekitar 0,33 ha/KK, di Aceh

Tengah kira-kira 0,40 ha/KK dan di

Aceh Barat memiliki luasan sebesar

0,51 ha/KK, di Sumatera Barat, pemi-

likan lahan nilam berkisar antara 0,02

ha sampai dengan 0,694 ha/KK

(Sitorus, 1993). Keberagaman luas

pemilikan lahan dan rata-rata sempit

berakibat terhadap mutu minyak yang

dihasilkan beragam juga. Di Indonesia

tanaman nilam melibatkan sekitar

32.870 Kepala Keluarga, maka kebe-

Page 6: 3nilam

35

ragaman lahan ditunjukkan oleh

banyaknya KK tersebut.

c. Kemampuan teknis petani beragam

Disamping keberagaman luas

pemilikan, kemampuan teknologi budi-

daya dan pengolahan nilam juga be-

ragam. Akibatnya mutu yang dihasil-

kan juga beragam. Penelitian Sitorus

(1993) melaporkan bahwa petani nilam

di daerah Sumatera Barat, hanya sebe-

sar 20,8% melaksanakan pemupukan,

sisanya sebesar 79,2% tidak melak-

sanakan pemupukan.

Petani melaksanakan pemanenan

nilam umumnya hanya sekali saja,

yaitu pada umur 9 - 12 bulan, dan

mereka beralasan bahwa pada panen

periode ke dua hanya akan diperoleh

hasil sebesar 30 % dari panen pertama.

Sistim panennya adalah sistim pangkas

habis.

d. Sistim ladang berpindah

Sitorus melaporkan bahwa di

Sumatera Barat sebesar 58,3% meng-

usahakan tanaman nilam dengan pola

ladang berpindah, sisanya sebesar

41,7% dengan pola menetap. Sedang

Rusli et al. (1993) di Sumatera Barat

juga memperoleh hasil bahwa sebesar

60% petani melaksanakan usahatani ni-

lam secara ladang berpindah dan 40%

lainnya secara menetap. Pola penanam-

an secara ladang berpindah-pindah, se-

betulnya dimaksudkan untuk meng-

hindari serangan penyakit budok yang

menjadi kendala utama dan sangat

berbahaya bagi tanaman nilam. Tetapi

resiko sistim perladangan berpindah

biasanya tidak memperhatikan aspek

kesesuaian lahan, teknologi budidaya

anjuran dan penggunaan bibit sem-

barang, akibatnya hasil minyak yang

diperoleh rendah dan beragam.

e. Alat penyuling beragam

Industri pengolahan minyak me-

rupakan industri keluarga dan terpencar

diseluruh desa sentra produksi nilam.

Keterampilan yang dimiliki penyuling

berbeda, alat penyulingnya juga ber-

beda, ada yang sudah menggunakan

bahan dari stainless steel tapi tidak

jarang yang menggunakan dari bekas

drum. Akibatnya mutu minyak yang

diperoleh juga beragam.

f. Penipuan dan pemalsuan kualitas

Di samping industri-industri ke-

cil dengan segala keterbatasannya

menghasilkan minyak yang beragam,

industri menengah dan besar dengan

segala kelihaiannya melakukan praktek

penipuan kualitas dan rendemen. Peni-

puan dilakukan dengan cara memalsu-

kan rendemen sekaligus kualitas.

Bentuk pemalsuan tersebut dilakukan

dengan cara menambahkan benda-ben-

da asing kedalam minyak (Mustofa,

1988). Benda asing yang sering digu-

nakan dalam praktek pemalsuan antara

lain lemak, kerosin, terpentin dan pela-

rut organik lainnya (Makmun, 2003).

Penambahan bahan-bahan tersebut di-

maksudkan untuk menambah volume

atau berat, yang berarti rendemen

meningkat tetapi kualitasnya menurun.

Penyediaan produk tidak kontinyu

Mutu tidak menentu karena di-

campur dengan benda–benda asing dan

terjadinya fluktuasi harga, sangat mem-

pengaruhi pasokan minyak nilam, se-

Page 7: 3nilam

36

cara langsung mengindikasikan penye-

diaan produk tidak kontinyu. Pencam-

puran dengan benda asing akan menu-

runkan karakter minyak nilam, menu-

runnya karakter minyak berarti permin-

taan menurun dan menunjukkan penye-

diaan produk tidak kontinyu. Padahal

karakter yang tersaji dalam mutu mi-

nyak nilam yang prima yang dinya-

takan dalam sifat fisika kimianya

merupakan modal dasar daya saing

pasar nilam kita. Pernah terjadi pengu-

rangan permintaan dari salah satu

industri parfum pelanggan, terhadap

minyak nilam sebesar 25 - 40 ton per

tahun, ini disebabkan reputasi dari agen

pemasok jelek dalam hal penyediaan

produk yang tidak kontinyu dan mutu

yang kurang baik.

Harga berfluktuasi

Karena harga yang terjadi sering

berfluktuasi, dengan kecenderungan

menurun yang sangat tajam (Pujiharti

et al., 2000; Supriadi dan Mustanir,

2004), dapat berakibat terhadap pene-

lantaran lahan nilam mereka. Apabila

terjadi penurunan harga minyak nilam

dalam waktu yang lama dan terus

menerus, biasanya petani nilam akan

mengalihkan usahataninya ke komodi-

tas lain yang lebih menguntungkan.

STRATEGI PENINGKATAN

KADAR DAN MUTU DALAM

AGRIBISNIS NILAM

Dalam suatu sistem agribisnis,

nilai tambah (added value) yang ter-

besar berada pada sub sistem agribisnis

hulu dan hilir, sedangkan sub sistim

agribisnis usahatani sangat kecil, se-

hingga petani yang berada pada sub

sistem ini akan selalu menerima pen-

dapatan yang lebih rendah (Saragih,

2001). Demikian juga para agribisnis

nilam, pada sub sistim pengolahan/

industri, sebetulnya banyak diperoleh

nilai tambah. Walaupun masih ditemui

kendala pada perolehan rendemen dan

mutunya yang masih rendah. Oleh

karenanya diperlukan beberapa upaya

untuk meningkatkan rendemen dan

mutu minyak nilam antara lain melalui

Budidaya

Penggunaan benih unggul

Menyikapi kondisi tersebut, usa-

ha–usaha untuk memacu penanaman

varietas unggul sangat strategis dan

penting sekali (Djisbar dan Seswita,

1998). Melalui eksplorasi, karakteri-

sasi, uji multi lokasi dan evaluasi,

ternyata tanaman nilam dari daerah

tertentu saja yang mempunyai rende-

men minyak tinggi (Syukur dan

Nuryani, 1998). Pendapat tersebut

didukung oleh Rumiati et al. (1998).

Ternyata klon–klon nilam dari wilayah

Aceh yang memiliki kadar minyak dan

mutu yang tinggi serta memenuhi

standar ekspor, diantaranya klon Sidi-

kalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan

(Nurjani et al., 1997) dengan rendemen

2,23 - 4,23%; 2,00 - 4,14% dan 2,07 -

3,87%. Sesuai dengan surat keputusan

Menteri Pertanian RI No. 319 s/d

321/Kpts/SR. 120/8/2005 tanggal 1

Agustus 2005, telah dilepas tiga

varietas unggul nilam dengan nama

Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidi-

kalang dengan keunggulan–keung-

gulan sebagai berikut (Tabel 2).

Page 8: 3nilam

37

Dengan penggunaan varietas

unggul Tapak Tuan, Lhokseumawe

dan Sidikalang, disertai teknik budi-

daya yang benar dan pengolahan panen

dan pasca panen yang sesuai, maka

akan diperoleh produksi minyak yang

tinggi ± 176,47 – 583,26 kg/ha, pro-

duktivitas terna segar ± 31,38 – 80,37

ton/ha, berarti kadar dan mutu yang

tinggi.

Menanam pada tanah dan iklim yang

sesuai

Upaya pengembangan tanaman

nilam agar berproduksi optimal, kese-

suaian tanah dan iklim merupakan

faktor penting yang sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan produksi

(Rosman et al., 1998). Faktor tanah

meliputi jenis tanah, drainase, tekstur

tanah, air tanah, pH, C Organik, P2O5,

K2O dan KTK. Sedang faktor iklim

meliputi curah hujan, hari hujan, bulan

basah, kelembaban udara dan tempe-

ratur. Oleh karenanya upaya untuk

membuat tanaman nilam agar berpro-

duksi optimal, mempunyai rendemen

tinggi dan berkadar Pachoully Oil

tinggi, adalah diusahakan ditanam pada

ketinggian yang sesuai, jenis tanah

yang memenuhi persyaratan dan

iklimnya sesuai dengan persyaratan

kesesuaian lahan dan iklim untuk

tanaman nilam. (Rosman, 1998).

Sistim usahatani menetap

Untuk mendukung sistim perta-

nian menetap diperlukan paket tekno-

logi yang lengkap,. Strateginya diarah-

kan pada efisiensi usahatani, perbaikan

varietas dan teknik budidaya sesuai

standar prosedur operasional (SPO).

Dengan menggunakan varietas unggul

dan teknologi budidaya sesuai SPO,

maka rendemen dan mutu minyak akan

meningkat.

Perlakuan pemupukan

Upaya meningkatkan rendemen

minyak melalui rekayasa pemupukan

akan meningkatkan rendemen minyak.

Secara nyata dengan perlakuan kompos

dari limbah nilam sebanyak 3 kg dan

ditambah pupuk NKP dapat mening-

katkan bobot segar tanaman. Mokoriza

dengan pupuk kandang sebanyak 250

gr per tanaman akan meningkatkan

bobot segar nilam.

Kandungan minyak tertinggi ter-

dapat pada tiga pasangan daun termuda

Tabel 2. Deskripsi 3 varietas nilam yang dilepas

Karakteristik Tapak Tuan Lhokseumawe Sidikalang

produksi tanaman

segar (ton/ha)

41,59-64,67 42,59-64,67 31,38-80,37

Produksi Minyak

(kg/ha)

234,89-583,26 273,49-415,05 176,47-464,42

Kadar minyak (%) 2,07 – 3,87 2,00-4,14 2,23-4,23

Kadar Pachoully

alkohol (%)

28,69-35,90 29,11-34,46 30,21-35,20

Sumber : Balittro, 2006

Page 9: 3nilam

38

yang masih berwarna hijau (Wikardi et

al., 1990), karena daun berwarna coklat

sudah kehilangan minyaknya akibat

radiasi sinar matahari terlalu tinggi.

Cara panen terbaik adalah pemanenan

pertama pada umur 6 bulan, tinggalkan

satu cabang untuk menstimulir pertum-

buhan tunas, selanjutnya panen ke dua

setelah 3 - 4 bulan berikutnya.

Upaya untuk mempertinggi rendemen

Agar diperoleh hasil minyak

yang optimal diperlukan perlakuan

pendahuluan seperti pengeringan, pela-

yuan dan pengecilan ukuran (Ketaren

dalam Nurdjanah dan Marwati, 1998)

Hal ini perlu dilakukan karena kan-

dungan minyaknya dikelilingi oleh

kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh

dan kantong minyak atau rambut gran-

dular. Tanpa perlakuan pendahuluan

atau dalam bentuk utuh pengeluaran

minyak nilam hanya tergantung dari

proses difusi dan proses tersebut ber-

langsung sangat lambat (Irfan, 1989;

Nurdjanah dan Makmun, 1994).

Diperlukan penanganan yang ba-

ik terhadap bahan melalui perlakuan

pendahuluan berupa a) pengecilan ba-

han, b) pengeringan bahan dan c) pen-

jemuran kurang lebih satu minggu.

Upaya penanganan bahan sehabis

panen untuk mempertinggi kadar dan

mutu minyak dilakukan melalui penje-

muran, pelayuan dan pengecilan bahan

melalui perajangan menjadi bagian

yang lebih kecil. Apabila bahan hasil

panen dijemur terlalu lama akan menu-

runkan kadar minyak tetapi akan me-

ningkatkan kadar Pachoully Alkohol.

Pachoully Alkohol merupakan fraksi

berat dalam minyak nilam yang mudah

menguap (Rusli dan Hernani, 2000).

Kadar minyak yang tinggi sangat di-

harapkan oleh pengusaha/industri pe-

nyuling, sedang kadar Pachoully Alko-

hol yang tinggi sangat dicari oleh para

eksportir. Sekarang tinggal bagaimana

kita mengatur kebijakannya agar ke-

duanya tidak saling dirugikan. Bebe-

rapa hasil uji terhadap lama pengering-

an dan ada yang dikombinasikan

dengan pelayuan. Semua uji memenuhi

standar, baik kadar minyak atau kadar

Pachoully Oil nya. Untuk dapat meng-

akomodir ke dua pihak yang berkepen-

tingan antara pengusaha/industri pe-

nyuling dengan eksportir, maka strate-

ginya adalah “win–win solution”. Per-

lakuan pendahuluan sebaiknya adalah

bahan dijemur selama 2 hari dengan

lama penyinaran antara 5 – 7 jam per

harinya (Balittro, 2002).

Disamping cara, waktu penyu-

lingan juga berpengaruh terhadap ren-

demen, bobot jenis, bilangan ester dan

kadar Pachoully Alkohol. Makin lama

waktu penyulingan, rendemen, bobot

jenis dan bilangan ester yamg diperoleh

makin tinggi. Tetapi dalam standar

mutu minyak nilam Indonesia sudah

ada batasan-batasan dalam persyaratan

mutu minyak nilam untuk tujuan eks-

por, yaitu bilangan esternya tidak boleh

melebihi 10% dan bobot jenis minyak

pada suhu 25°C berkisar antara 0,947-

0,987, karena itu waktu/lama penyu-

lingan seharusnya diatur sedemikian

rupa agar hasilnya tidak melebihi batas-

an tersebut. Bahan dalam tangki juga

berpengaruh terhadap waktu penyu-

lingan, kepadatan makin banyak, waktu

penyulingan makin lama. Oleh karena-

Page 10: 3nilam

39

nya diperlukan simulasi terhadap kepa-

datan, dan salah satu solusinya adalah

melalui pengecilan bahan dengan cara

dirajang menjadi bagian yang kecil–

kecil.

Pada proses penyulingan, perlu

dipelajari/dibuat keseimbangan antara

lamanya waktu penyulingan dengan

batasan mengenai besaran maksimum

bilangan esternya (10%) dan bobot

jenis pada suhu 25o C berkisar antara

0,9 – 0,983.

Perbandingan bahan yang disuling

harus tepat

Perbandingan optimum yang di-

peroleh menurut Rusli dan Hasanah

(1977) antara daun dan batang adalah 1

: 0,5 sedang petani nilam di Sumedang

biasa menggunakan perbandingan daun

: batang dengan perbandingan 70 : 30.

Penggunaan alat dan metode

penyulingan

Alat penyuling yang digunakan

juga berpengaruh tehadap rendemen

minyak yang diperoleh. Sampai saat ini

ada tiga metode penyulingan minyak

nilam, yaitu : 1) penyulingan dengan

air, 2) penyulingan dengan uap lang-

sung dan 3) penyulingan dengan uap

tidak langsung. Penyulingan dengan

menggunakan alat tangki stainless steel

dengan uap langsung memberikan ren-

demen dan kadar Pachoully Alkohol

lebih tinggi dibanding cara uap tidak

langsung (dikukus) dan dengan air

(Nurdjanah et al., 1991; Mangun,

2005). Metode penyulingan digunakan

sesuai dengan kebutuhannya dan tipe

instalasi yang digunakan.

- Apabila menggunakan tipe ins-

talasi kecil, dapat dipakai metode

penyulingan dengan air dan me-

tode penyulingan sistim kukus

lebih menguntungkan. Metode

penyulingan yang dianjurkan

adalah bila dikukus lama pengu-

kusan 5 - 6 jam, kepadatan bahan

dalam ketel 90 - 130 g/l untuk 50

kg daun kering, kecepatan pe-

nyulingan 32 - 36 l/jam.

- Untuk tipe instalasi besar peng-

gunaan metode penyulingan

dengan uap lebih menguntung-

kan. Jika menggunakan uap lang-

sung menggunakan tekanan 1,5 -

2 bar kepadatan daun 50,5 kg/m3,

lama penyulingan 4 jam.

Untuk menghindari keberagam-

an minyak hasil produksi petani, diupa-

yakan dilakukan proses penyulingan

dilakukan pada satu atau dua pemroses

saja dalam satu wilayah, kelompok

tani, desa atau kecamatan, kemudian

dilaksanakan proses pemurnian mi-

nyak. Apabila keberadaan minyak ni-

lam hasil sulingan dipastikan beragam

maka diperlukan sosialisasi mengenai

upaya pemurnian minyak hasil suling-

an melalui pemurnian minyak dengan

cara flokulasi dengan menambahkan

larutan Na-EDTA 0,05 M dengan per-

bandingan volume 1 : 1 diaduk selama

5 menit.

Sosial ekonomi

Pencegahan pemalsuan

Hasil penelitian Makmun (2003),

diperloleh hasil bahwa pemalsuan ter-

jadi pada tingkat pedagang pengumpul

dan tingkat industri pengolah. Upaya

Page 11: 3nilam

40

strategi dan tindakan yang diambil ada

2 pilihan yaitu :

a. Penalty total. Maksudnya pada

rantai/bagian mana terjadi pemal-

suan langsung diberi tindakan te-

gas dengan melaksanakan pem-

bekuan dan pencabutan izin ter-

hadap pelaku kejahatan tersebut.

b. Eksportir dalam membeli minyak

nilam diharuskan menggunakan

standar mutu yang berbeda, un-

tuk mutu yang lebih baik dihar-

gai lebih tinggi dengan mutu

yang kurang baik, walaupun ke-

dua mutu tersebut masih masuk

dalam standar mutu. Oleh kare-

nanya diperlukan perbedaan har-

ga untuk tingkatan kadar pat-

chouli, bobot jenis, indek bias,

bilangan asam dan bilangan es-

ternya. Jadi setiap oknum pemal-

suan yang ingin mencari untung

dengan menambahkan benda

asing kedalam minyak diberi pe-

nalty melalui penolakan pembeli-

an atau dihargai lebih rendah

dibanding dengan bahan yang

sama tetapi bukan karena ada

unsur penipuan.

Penyediaan produk agar tetap

kontinyu

Minyak nilam kita merupakan

produk ekspor sebesar 85,6% produk

nasional ditujukan untuk ekspor. Indo-

nesia menguasai perdagangan nilam

dunia sekitar 75 - 90%, berarti Indo-

nesia menguasai pasar suplai minyak.

Supaya penyediaan produk tetap konti-

nyu, maka diupayakan pengembangan

areal sekaligus produksi dan produk-

tivitas. Produk yang tidak terjual pada

tahun bersangkutan dijadikan cadangan

atau carry over stock untuk dijual pada

tahun berikutnya. Disamping sebagai

cadangan, dengan penyimpanan lebih

lama akan menambah aroma wangi

dan meningkatkan kadar Pachoully

Alkohol.

Penstabilan harga

Karena Indonesia merupakan

produsen terbesar sekitar 80 - 90% dari

perdagangan minyak nilam dunia, se-

betulnya tidak sulit untuk menstabilkan

harga. Upaya penstabilan harga dapat

dilakukan oleh pemerintah melalui

pembelian minyak nilam pada saat har-

ga turun. Kemudian oleh minyak ter-

sebut dijadikan stok dan tidak dijual/

ekspor sebelum harga betul-betul stabil.

KESIMPULAN

Beberapa upaya untuk mening-

katkan rendemen dan mutu minyak

nilam telah diperoleh antara lain me-

lalui perbaikan teknologi budidaya,

penanganan pasca panen, penggunaan

alat dan metode penyulingan serta

kebijakan di bidang sosial ekonomi.

Melalui perbaikan teknologi bu-

didaya dilaksanakan dengan penggu-

naan bibit unggul yang sudah dilepas

seperti varietas Tapak Tuan, Lhokseu-

mawe dan Sidikalang. Kandungan ka-

dar minyaknya cukup tinggi sekitar

2,07 - 4,23% serta kadar Pachoully

Alkoholnya telah memenuhi standar

ekspor yaitu sekitar 28,69 - 35,90%.

Teknologi budidaya yang dianjurkan

adalah dengan sistim usahatani mene-

tap dan sesuai SPO termasuk kesesuai-

an lahan dan iklim.

Page 12: 3nilam

41

Melalui penanganan pasca panen

diantaranya adalah melalui metode

pengeringan, pelayuan dan pengirisan

bahan baku secara tepat. Bahan dijemur

dibawah matahari dengan lamanya 5-7

jam per hari selama dua hari, bilangan

esternya kurang dari 10% dan bobot

jenisnya pada suhu 25º C berkisar

antara 0,9 - 0,983.

Alat yang digunakan sejenis

stainless steel dengan metode penyu-

lingan secara uap langsung untuk tipe

instalasi besar, sedang untuk tipe insta-

lasi kecil disarankan menggunakan me-

tode uap tidak langsung atau melalui

dikukus terlebih dahulu. Untuk meng-

hindari keberagaman minyak asal pe-

tani, dilakukan pemurnian dengan cara

flokulasi/menambahkan larutan Na-

EDTA.

Untuk mencegah agar tidak ter-

jadi pemalsuan kualitas minyak dila-

kukan penalty total melalui pembekuan

dan pencabutan ijin industri/perdagang-

an atau eksportir melaksanakan pembe-

lian melalui pembedaan kualitas di-

mana kualitas jelek dihargai rendah,

sedang kualitas bagus dihargai tinggi.

Upaya agar persediaan produk tetap

tersedia dilakukan melalui penstabilan

harga.

SARAN

Masalah kadar dan mutu minyak

nilam menjadi prioritas utama dalam

pengembangan nilam, karena persaing-

an di dunia internasional semakin ketat.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Z.L., 1969. The market for

pachouli oil and leaves. Tropical

Product Institute Ministry of

Overseas Development g 39. p. 4 -

23.

Anggraeni, Ch. Winarti dan Pandji

Laksmanahardja, 1998. Karakteris-

tik Minyak Nilam di Indonesia.

Monograf Nilam 5 : 116 - 121.

Balittro, 2003. Agribisnis Tanaman

Minyak Atsiri. Booklet. Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat. 18 hal.

Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik

Ekspor, Buku I Badan Pusat

Statistik Jakarta. 19 hal.

Deperindag, 1993. Pengembangan ma-

ta dagang minyak nilam kawasan

pasar masyarakat Eropa, Badan

Pengembangan Ekspor Nasional.

Jakarta. 41 hal.

Dhalimi A., Anggraeni dan Hobir,

1998. Sejarah dan Perkembangan

Budidaya Nilam di Indonesia.

Monograf Nilam 5 : 1 - 9.

Djisbar A. dan D. Seswita, 1998. Per-

baikan varietas. Monograf Nilam 5

: 10 - 15.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005.

Statistik Perkebunan Indonesia. Ni-

lam. Departemen Pertanian. Jakar-

ta. 24 hal.

Irfan, 1989. Pengaruh lama kering-

anginan dan perbandingan daun

dengan batang terhadap rendemen

dan mutu minyak nilam (Pogos-

temon cablin Benth). Skripsi Feteta

IPB. 86 hal (tidak dipublikasikan).

Page 13: 3nilam

42

Ketaren S., 1985. Minyak Atsiri. Peng-

antar Teknologi Minyak Atsiri

Balai Pustaka Jakarta. hal. 191 -

202.

Kindleberger, C.P. dan Peter, H., Lin-

dert, 1991. Pemasaran Internasio-

nal.

Makmun, 2003. Identifikasi pemalsuan

minyak nilam dirantai tata niaga.

Buletin Penelitian Tanaman Rem-

pah dan Obat. XIV (2) Bogor. hal.

17 - 22.

Mangun, H.M.S., 2005. Nilam. Hasil-

kan minyak berkualitas mulai dari

teknik budidaya hingga proses

penyulingan. Penebar Swadaya. 83

hal.

Mustofa, A., 1998. Pengolahan minyak

atsiri pelatihan peningkatan mutu

olahan hasil hutan bahan kayu ber-

orientasi ekspor Deperindag. hal. 1

- 14 (tidak dpublikasikan).

Mustika I dan Y. Nuryani, 2006.

Strategi pengendalian nematoda

parasit pada tanaman nilam. Jurnal

Litbang Pertanian XXV (1) : 7 - 15.

Nurdjanah, N., dan A. Rivai, Afifah

dan Zamaluddin, 1991. Pengaruh

cara dan waktu penyulingan ter-

hadap rendemen dan mutu minyak

nilam (Pogostemon cablin Benth).

Buletin Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat VI (1) : 1 - 8.

Nurdjanah, N. dan T. Marwati, 1998.

Penanganan Bahan dan Penyuling-

an Minyak Nilam. Monograf Ni-

lam 5 : 100 - 107.

Nuryani Y. Hobir, C. Syukur dan I

Mariska, 1997. Peningkatan kadar

minyak nilam (Pogostemon cablin

Benth) melalui perbaikan varietas.

Simposium dan Kongres PERIPI,

Bandung 13 hal. (tidak dipublika-

sikan).

Pujiharti, Y., D.R. Mustikawati dan

Hasanah, 2000. Peningkatan pro-

duksi dan peluang pengembangan

nilam di lampung. Jurnal Penelitian

dan Pengembangan Pertanian (19) :

27 - 32.

Prawoto, A.A. dan M. Sholeh, 2006.

Produksi Awal dan Kajian Eko-

nomi Usahatani Nilam Aceh Seba-

gai Tanaman Sela Kakao Muda.

Pelita Perkebunan. Pusat Penelitian

Kopi dan Kakao Indonesia. Vol. 22

(3) : 168 - 190.

Robbin, S. R.J., 1982. Selected market

for the essential oil of patchouli and

vetiver tropical product institute.

Ministry of overseas.

Rumiati, S., D. Rusmin dan M.

Hasanah, 1998. Sistem Perbenihan.

Monograf Nilam 5 : 33 - 39.

Rusli S., dan M. Hasanah, 1977. Cara

penyulingan daun nilam mempe-

ngaruhi rendemen dan mutu mi-

nyak. Pemberitaan Lembaga Pene-

litian Tanaman Industri XXIV. hal.

1 – 9.

Rusli S., N. Nurdjanah, Soediarto, D.

Sitepu, S. Ardi dan D.T. Sitorus,

1985 Penelitian dan Pengembang-

an minyak atsiri Indonesia. Edisi

Khusus Penelitian Tanaman Rem-

Page 14: 3nilam

43

pah dan Obat, Bogor. Vol 2 : 10 -

39.

Rusli, S. dan Hernani, 2000. Pengolah-

an Hasil Tanaman Minyak Atsiri.

Prosiding Teknologi Pengolahan

Hasil Tanaman Perkebunan. Puslit-

bangbun. hal. 223 - 224.

Sait, S., 1978. Identifikasi bahan-bahan

pemalsu di dalam minyak-minyak

atsiri ekspor. Prosiding Seminar

Minyak Atsiri III, Balai Penelitian

Kimia. Bogor. hal. 319 - 324.

Sitorus, D.T., 1993. Analisis Kelayakan

Finansial Usahatani Nilam di

Sumatera Barat. Edsus vol IX (2) :

20 - 28.

Saragih, B., 2001. Agribisnis para-

digma baru pembangunan ekonomi

berbasis pertanian. Pustaka Wira

Usaha Muda. 243 hal.

Sumangat, D., Risfaheri, 1998. Standar

dan Masalah Mutu Minyak Nilam

Indonesia. Monograf Nilam 5 : 108

- 115.

Syukur C. Dan Y. Nuryani, 1998.

Plasma Nutfah. Monograf Nilam 5

: 24 - 32.

Supriadi, Elly dan Mustanir, 2004.

Strategi Pengembangan Menyelu-

ruh Terhadap Minyak Nilam

(Pachoully Oil) di Provinsi Nang-

groe Aceh Darussalam. Teknologi

Pengembangan Minyak Nilam

Aceh. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. hal.

11 - 20.

Tjiptadi, 1985. Pengembangan usaha

minyak atsiri. Hasil pertemuan

konsultasi pengembangan tanaman

minyak atsiri. Edisi Khusus Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat, Bogor. Vol 2 : 40 - 55.

Wikardi, E.A., A. Asman dan P.

Wahid, 1990. Perkembangan pene-

litian tanaman nilam. Edisi Khusus

Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat, Bogor. 6 (1) : 23 - 29.

Wahono, C.T., I.N. Istina, G. Harahap

dan E. S. Ritonga. Kajian Tek-

nologi Pengolahan Nilam. Prosi-

ding Seminar Nasional Mekanisasi

Pertanian. Balai Besar Pengem-

bangan Mekanisasi Pertanian. hal.

77 - 86.