Upload
geri-kushermawan
View
162
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
30
STRATEGI PENINGKATAN RENDEMEN DAN MUTU
MINYAK DALAM AGRIBISNIS NILAM
J.T. Yuhono dan Sintha Suhirman
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Nilam (Pogostemon cablin Benth)
bukan merupakan tanaman asli dari wilayah
Singapura. Minyak nilam dipakai sebagai bahan
pencampur dan pengikat wangi-wangian dalam
industri parfum, farmasi dan kosmetik. Minyak
nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun dan
tangkainya. Untuk memperoleh rendemen
minyak yang optimum diperlukan standar
perbandingan tertentu antara daun dan tangkai
atau ranting yaitu 1:1. Dalam industri parfum
minyak nilam merupakan bahan baku utama
yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh
minyak yang lain. Kendala umum dalam
agribisnis nilam antara lain adalah rendahnya
kadar minyak, mutu minyak rendah dan
beragam, penyediaan produk tidak kontinyu dan
harganya berfluktuasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi rendemen minyak nilam antara
lain adalah penggunaan bibit asalan, cara
penanganan bahan baku (perajangan, pelayuan
dan pengeringan), cara penyulingan, lama
penyulingan, dan penggunaan alat penyuling.
Sedangkan yang mempengaruhi mutu minyak
antara lain adalah penggunaan bibit asalan,
tanah dan iklim, kondisi lahan beragam, sistem
pola tanam berpindah-pindah, penggunaan alat
penyuling dan pemalsuan minyak serta cara
penanganan bahan baku. Sifat-sifat kimia yang
penting dalam minyak nilam, diantaranya
bilangan asam maksimal 5% dan bilangan ester
maksimal 10%. Upaya untuk membuat
penyediaan produk supaya kontinyu antara lain
penggunaan bibit unggul yang sudah dilepas
antara lain : varietas Tapak Tuan, Lhok-
seumawe dan Sidikalang, sistim usahatani
nilam secara menetap, melaksanakan pemupu-
kan melalui penambahan kompos dari limbah
nilam (3 kg) ditambah pupuk NPK dan dengan
pemberian mikorisa dan pupuk kandang 250
gr/tanaman, penanganan bahan tanaman melalui
penjemuran (2 hari @ 5 jam), pelayuan dan
pengecilan bahan sebelum disuling secara baik
dan benar, menggunakan alat penyuling
standard yang sudah dipatenkan, upaya
pengembangan lahan dan peraturan per-
dagangan yang ketat dan penyediaan produk
yang berkelanjutan.
Kata kunci : minyak nilam, rendemen, mutu,
agribisnis
PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin
Benth) bukan merupakan tanaman asli
Indonesia, tapi dimasukkan dari
wilayah Singapura ke Indonesia sekitar
tahun 1895 (Burkil dalam Dhalimi et
al., 1998). Awalnya nilam disebut
sebagai “Dilem Singapur” sekarang
lebih dikenal dengan nilam Aceh.
Minyak nilam diperoleh dari hasil
penyulingan daun nilam dan tangkai-
nya. Untuk memperoleh kadar minyak
yang optimum diperlukan standar per-
bandingan tertentu antara daun dan
tangkai atau rantingnya yaitu sebesar 1
: 1 (Wikardi et al., 1991), dan sebesar 2
: 1 (Rusli dan Hasanah, 1977), sedang
petani nilam di Sumedang biasa meng-
gunakan dengan perbandingan 70 : 30
persen. Dalam perdagangan internasio-
nal, minyak nilam hanya digolongkan
ke dalam satu jenis mutu, dengan nama
dagang patchouly oil, dan dikelompok-
kan dalam sistim perdagangan inter-nasional dengan kode nomor
31
Harmonized system (HS) 330 129 400
atau kedalam Standar International
Trade Clasification (SITC) dengan
nomor 551 32294. Minyak nilam yang
akan diekspor, harus memenuhi per-
syaratan yang diterapkan oleh Depar-
temen Perdagangan (Tabel 1).
Minyak nilam antara lain diguna-
kan sebagai bahan baku, bahan pen-
campur dan fiksatif (pengikat wangi-
wangian) dalam industri parfum, far-
masi dan kosmetik serta makanan dan
minuman (Mustika dan Nuryani, 2006)
juga sebagai pewangi selendang, karpet
dan barang-barang tenunan (Rusli et
al., 1985). Dalam industri parfum
minyak nilam merupakan bahan baku
utama yang fungsinya tidak dapat di-
gantikan oleh minyak yang lain.
Di India daun nilam kering
digunakan sebagai pengusir serangga
(repellent) pada kain yang akan di
ekspor (Robbins, 1982). Minyak nilam
juga dapat berfungsi sebagai insektisida
untuk larva Spodoptera littorales
dengan LC 50 antara 10,1 dan 20,01
ml/m3 (Prawoto dan M.Sholeh, 2006).
Areal tanaman nilam Indonesia
pada tahun 2004 adalah seluas 16.639
ha dengan produksi sebesar 2424 ton
minyak (Ditjenbun, 2005), dan melibat-
kan petani pemilik sekitar 32.870
kepala keluarga (KK). Luasan dan
banyaknya KK yang terlibat, menun-
jukkan luas pemilikan lahan garapan
petani rata-rata sempit (Kanwil DPP
Perindustrian, 1986).
Tabel 1. Standar mutu minyak nilam Indonesia
Karakteristik Syarat Cara pengujian
Warna Kuning muda sampai coklat tua Visual
Bobot jenis, 25 0 / 25
0 C 0,943 – 0,983 SP-SMP-17-1975
(ISO R 279-1962 E)
Indek bias, 20 0 C 1,504 – 1,514 SP-SMP-16-1975
(ISO R 280-1962 E)
Kelarutan dalam etanol
90 % pada suhu 25 0 C ±
3 0 C
Larutan (jernih) atau opalesensi
ringan dalam perband. Vol 1 s/d
10 bagian
SP-SMP-19-1975
(BS 2073; 1962)
Bilangan asam maks. 5,0 SP-SMP-26-1975
(ISO R 1242-1973 E)
Bilangan ester, maks. 10,0 SP-SMP-27-1975
Minyak kruing Tidak nyata SP-SMP-25-1975
Zat zat asing
Alkohol
Lemak
Minyak pelikan
Negatif SP-SMP-17-1975
SP-SMP-24-1975
SP-SMP-42-1975
SI NO. 25/SI/73 Sumber : Balittro, 2003.
32
Dari luasan yang sempit-sempit
yang dimiliki petani nilam tersebut
akan menghasilkan minyak yang juga
sedikit. Berarti kondisi minyak nilam
dari petanipun sudah beragam. Sentra
produksi nilam hanya terpusat di wi-
layah Sumatera dan Jawa (Ditjenbun,
2006). Enam daerah sentra produksi
nilam yang mempunyai luasan di atas
1000 ha, berturut-turut dari luasan
tertinggi adalah sebagian Sumatera
Barat (4.458 ha/8.989 KK), Nanggroe
Aceh Darusalam (2.876 ha/7.312 KK),
Sumatera Utara (2.608 ha/3.960 KK),
Jawa Tengah (2.292 ha/5.771 KK),
Bengkulu (1.620 ha/2.170 KK), dan
Jawa Barat (1.395 ha/2.433 KK).
Indonesia menduduki posisi eks-
por utama minyak nilam sekitar tahun
1960an, yang sebelumnya ditempati
oleh Singapura dan Malaysia (Allen,
1969). Ekspor minyak nilam Indonesia
pada tahun 1961 adalah ± 246 ton.
Pada tahun 2004 ekspornya meningkat
sebesar 900% atau ± 2.074 ton, dengan
nilai 27.136.913 U$ dolar (BPS, 2005).
Sekitar 75% kebutuhan dunia akan mi-
nyak nilam disuplai dari Indonesia
(Sumangat dan Risfaheri, 1998), berarti
konsumsi dunia akan minyak nilam di-
perkirakan sebesar 2.300 – 2.400 ton/
tahun.
Minyak nilam merupakan komo-
ditas ekspor, sebesar 85,6% dari total
produksi diekspor ke luar negeri (BPS,
2005). Sebagai komoditas ekspor, har-
ga nilam di dalam negeri tergantung
dari harga internasional, maka kesejah-
teraan petani nilam juga sangat tergan-
tung dari harga internasional.
Perkembangan pasar internasio-
nal pada hakekatnya menurut Budiarto
dan Widodo, (2005) merupakan inte-
raksi antara penawaran berlebih (excces
supply) dan permintaan berlebih
(excces demand). Apabila penawaran
berlebih dan permintaan tetap, maka
akan terjadi penurunan harga (Kind-
leberger dan Lindert, 1991). Begitu
sebaliknya apabila penawaran tetap dan
permintaan bertambah, maka harga
akan meningkat kembali. Hukum terse-
but berlaku pula pada komoditas nilam.
Naik turunnya harga minyak nilam
sangat berpengaruh terhadap petani
yang hanya menggantungkan hidupnya
dari usahatani.
Walaupun Indonesia mensuplai
sekitar 75% (Sumangat dan Risfaheri,
1998) sampai 90 % (Deperindag, 1993)
dari kebutuhan dunia, tetapi keberadaan
nilam di negeri ini mengalami banyak
kendala. Beberapa kendala umum yang
ditemui adalah a) rendahnya rendemen
minyak nilam yang diperoleh, b) mutu
minyak rendah dan beragam, c) penye-
diaan produk tidak kontinyu dan d)
harga yang terjadi berfluktuasi. Perma-
salahan-permasalahan di atas erat kait-
annya satu dengan yang lainnya se-
hingga diperlukan upaya dan terobos-
an-terobosan baru yang saling dapat
menghilangkan permasalahan tersebut.
Tulisan ini bertujuan menunjuk-
kan permasalahan yang terdapat pada
agribisnis nilam, upaya mengatasi dan
meningkatkan rendemen serta mutu-
nya.
33
PERMASALAHAN PADA
TANAMAN NILAM
Rendahnya rendemen
Banyak faktor yang mempe-
ngaruhi rendah/kecilnya rendemen
minyak nilam yang diperoleh antara
lain adalah
a) Teknologi budidaya
- Penggunaan bibit asalan
Sampai dengan tanggal 1
Agustus 2005 belum ada varietas ung-
gul baru nilam yang dilepas dan sampai
saat itu petani nilam masih menggu-
nakan bibit asalan. Disebut bibit asalan
karena cara memperolehnya juga se-
cara asalan, tidak memperhatikan ke-
unggulan tanaman, besarnya rendemen
minyak, ketahanannya terhadap hama
dan penyakit serta varietasnya. Yang
dipentingkan adalah kemudahan untuk
mendapatkan bibit tersebut. Bibit asal-
an dibeli dari daerah lain (sentra pro-
duksi nilam), membeli atau minta ke
tetangga terdekat, akibat dari peng-
gunaan bibit asalan tersebut, kadar
yang diperoleh rata–rata rendah sekitar
1 – 2 % dari terna kering atau ± 0,3 –
0,4 dari terna basah.
- Sistim usahataninya ladang ber-
pindah
Petani nilam di daerah sentra
produksi utama masih banyak yang
menanam nilam secara berpindah–pin-
dah dengan maksud untuk menghindari
serangan penyakit budok dan meng-
hemat biaya produksi (Dhalimi et al.,
1998). Sistim tersebut kemudian dike-
nal dengan usahatani ladang berpindah.
Sistim usahatani ladang berpindah
tidak ramah terhadap lingkungan,
karena setiap penanaman baru, petani
akan membuka lahan baru dengan
keterbatasan, ketergesaan waktu dan
tenaga kerja serta penggunaan bibit
seadanya, sehingga akan terjadi erosi
genetik. Akibatnya tanaman meng-
alami penurunan terhadap produktivitas
dan kadar minyaknya.
- Tidak dilakukan pemupukan
Tanaman yang tidak dilakukan
pemupukan, akan diperoleh produksi,
produktivitas dan kualitas yang rendah.
Petani hanya berharap dari humus yang
ada pada saat melaksanakan penanam-
an baru dengan sistim perladangan ber-
pindah. Akibatnya kadar minyak dan
rendemen yang diperoleh rendah.
b) Cara penanganan bahan tanaman
sederhana dan tidak tepat
Penanganan bahan tanaman se-
habis dipanen hanya dilakukan penje-
muran di lahan bekas panen selama dua
hari penuh (± 2 x 8 jam), akibatnya
kadar minyak turun karena kandungan
minyak pada tanaman banyak yang
menguap. Perbandingan antara bahan
yang disuling juga berpengaruh ter-
hadap rendemen yang diperoleh.
Makin banyak porsi daun dibanding
dengan batang atau sebaliknya dan
dengan perbandingan berapa yang tepat
belum diketahui. Daun dan batang hasil
panen, langsung disuling atau langsung
dijual. Akibatnya kadar minyak yang
diperoleh akan turun.
c) Alat dan metode dalam penyu-
lingan
Petani umumnya tidak mengenal
metode–metode yang baik dan benar
34
dalam melaksanakan penyulingan, se-
berapa hasil panen yang diperoleh,
langsung disuling. Akibatnya rende-
men yang diperoleh rendah. Penggu-
naan alat penyuling sederhana, terdiri
dari drum bekas dan kondisinya tidak
bersih. Akibatnya kadar minyak nilam
yang diperoleh rendah, tidak bersih dan
berwarna gelap. Kondisi ini disebabkan
antara lain karena adanya ion logam
yang kemudian bereaksi dengan senya-
wa dalam minyak membentuk kom-
plek logam berwarna. Minyak yang
berwarna gelap dapat menyebabkan
harga murah karena mutu minyak ren-
dah, serta tidak memenuhi Standar
Nasional Indonesia (Wahono et al.,
2004).
d) Tanah dan iklim kurang sesuai
Tanaman nilam berproduksi se-
cara optimum apabila ditanam pada
ketinggian 10 – 400 m dpl, beriklim
panas, curah hujan antara 2.300 – 3.000
mm/tahun (Rosman, 1998), suhu ideal
antara 22 – 28 0 C dengan kelembaban
diatas 75% (Mangun, 2005). Kenyata-
an dilapangan ditemui tanaman nilam
ditanam petani pada daerah–daerah
yang kurang/tidak sesuai, akibatnya
produksi yang diperoleh rata-rata ren-
dah. Contoh kasus di wilayah propinsi
Jawa Tengah, produktivitas minyak
nilam rata-rata pada tahun 2003 sebesar
69,41 kg/ha (Ditjenbun, 2006).
Rendahnya mutu minyak
Mutu minyak nilam dapat ber-
variasi, tergantung pada faktor-faktor
berikut ini
a. Penggunaan bibit asalan
Sampai dengan pertengahan
Agustus 2005 belum ada varietas ung-
gul nilam yang dilepas dan sampai saat
itu petani nilam masih menggunakan
bibit asalan. Bibit asalan bisa dibeli dari
daerah lain (sentra produksi nilam),
membeli atau minta ke tetangga ter-
dekat, akibat dari penggunaan bibit
asalan tersebut kadar Pachoully Alko-
hol yang diperoleh rata-rata rendah dan
kurang dari 30%.
b. Kondisi lahan dan mutu minyak
beragam
Pengusahaan nilam di Indonesia
hampir seluruhnya diusahakan rakyat
dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada
umumnya skala luasannya sempit dan
diusahakan pada kondisi lahan yang
beragam. Akibatnya mutu yang diper-
oleh rendah dan beragam. Sebagai
gambaran luas pemilikan lahan petani
nilam di wilayah Daerah Istimewa
Aceh berkisar antara 0,33 ha sampai
dengan 0,51 ha per kepala keluarga
(Kanwil Deperindag D.I. Aceh, 1986).
Petani di daerah Aceh Selatan rata-rata
memiliki sekitar 0,33 ha/KK, di Aceh
Tengah kira-kira 0,40 ha/KK dan di
Aceh Barat memiliki luasan sebesar
0,51 ha/KK, di Sumatera Barat, pemi-
likan lahan nilam berkisar antara 0,02
ha sampai dengan 0,694 ha/KK
(Sitorus, 1993). Keberagaman luas
pemilikan lahan dan rata-rata sempit
berakibat terhadap mutu minyak yang
dihasilkan beragam juga. Di Indonesia
tanaman nilam melibatkan sekitar
32.870 Kepala Keluarga, maka kebe-
35
ragaman lahan ditunjukkan oleh
banyaknya KK tersebut.
c. Kemampuan teknis petani beragam
Disamping keberagaman luas
pemilikan, kemampuan teknologi budi-
daya dan pengolahan nilam juga be-
ragam. Akibatnya mutu yang dihasil-
kan juga beragam. Penelitian Sitorus
(1993) melaporkan bahwa petani nilam
di daerah Sumatera Barat, hanya sebe-
sar 20,8% melaksanakan pemupukan,
sisanya sebesar 79,2% tidak melak-
sanakan pemupukan.
Petani melaksanakan pemanenan
nilam umumnya hanya sekali saja,
yaitu pada umur 9 - 12 bulan, dan
mereka beralasan bahwa pada panen
periode ke dua hanya akan diperoleh
hasil sebesar 30 % dari panen pertama.
Sistim panennya adalah sistim pangkas
habis.
d. Sistim ladang berpindah
Sitorus melaporkan bahwa di
Sumatera Barat sebesar 58,3% meng-
usahakan tanaman nilam dengan pola
ladang berpindah, sisanya sebesar
41,7% dengan pola menetap. Sedang
Rusli et al. (1993) di Sumatera Barat
juga memperoleh hasil bahwa sebesar
60% petani melaksanakan usahatani ni-
lam secara ladang berpindah dan 40%
lainnya secara menetap. Pola penanam-
an secara ladang berpindah-pindah, se-
betulnya dimaksudkan untuk meng-
hindari serangan penyakit budok yang
menjadi kendala utama dan sangat
berbahaya bagi tanaman nilam. Tetapi
resiko sistim perladangan berpindah
biasanya tidak memperhatikan aspek
kesesuaian lahan, teknologi budidaya
anjuran dan penggunaan bibit sem-
barang, akibatnya hasil minyak yang
diperoleh rendah dan beragam.
e. Alat penyuling beragam
Industri pengolahan minyak me-
rupakan industri keluarga dan terpencar
diseluruh desa sentra produksi nilam.
Keterampilan yang dimiliki penyuling
berbeda, alat penyulingnya juga ber-
beda, ada yang sudah menggunakan
bahan dari stainless steel tapi tidak
jarang yang menggunakan dari bekas
drum. Akibatnya mutu minyak yang
diperoleh juga beragam.
f. Penipuan dan pemalsuan kualitas
Di samping industri-industri ke-
cil dengan segala keterbatasannya
menghasilkan minyak yang beragam,
industri menengah dan besar dengan
segala kelihaiannya melakukan praktek
penipuan kualitas dan rendemen. Peni-
puan dilakukan dengan cara memalsu-
kan rendemen sekaligus kualitas.
Bentuk pemalsuan tersebut dilakukan
dengan cara menambahkan benda-ben-
da asing kedalam minyak (Mustofa,
1988). Benda asing yang sering digu-
nakan dalam praktek pemalsuan antara
lain lemak, kerosin, terpentin dan pela-
rut organik lainnya (Makmun, 2003).
Penambahan bahan-bahan tersebut di-
maksudkan untuk menambah volume
atau berat, yang berarti rendemen
meningkat tetapi kualitasnya menurun.
Penyediaan produk tidak kontinyu
Mutu tidak menentu karena di-
campur dengan benda–benda asing dan
terjadinya fluktuasi harga, sangat mem-
pengaruhi pasokan minyak nilam, se-
36
cara langsung mengindikasikan penye-
diaan produk tidak kontinyu. Pencam-
puran dengan benda asing akan menu-
runkan karakter minyak nilam, menu-
runnya karakter minyak berarti permin-
taan menurun dan menunjukkan penye-
diaan produk tidak kontinyu. Padahal
karakter yang tersaji dalam mutu mi-
nyak nilam yang prima yang dinya-
takan dalam sifat fisika kimianya
merupakan modal dasar daya saing
pasar nilam kita. Pernah terjadi pengu-
rangan permintaan dari salah satu
industri parfum pelanggan, terhadap
minyak nilam sebesar 25 - 40 ton per
tahun, ini disebabkan reputasi dari agen
pemasok jelek dalam hal penyediaan
produk yang tidak kontinyu dan mutu
yang kurang baik.
Harga berfluktuasi
Karena harga yang terjadi sering
berfluktuasi, dengan kecenderungan
menurun yang sangat tajam (Pujiharti
et al., 2000; Supriadi dan Mustanir,
2004), dapat berakibat terhadap pene-
lantaran lahan nilam mereka. Apabila
terjadi penurunan harga minyak nilam
dalam waktu yang lama dan terus
menerus, biasanya petani nilam akan
mengalihkan usahataninya ke komodi-
tas lain yang lebih menguntungkan.
STRATEGI PENINGKATAN
KADAR DAN MUTU DALAM
AGRIBISNIS NILAM
Dalam suatu sistem agribisnis,
nilai tambah (added value) yang ter-
besar berada pada sub sistem agribisnis
hulu dan hilir, sedangkan sub sistim
agribisnis usahatani sangat kecil, se-
hingga petani yang berada pada sub
sistem ini akan selalu menerima pen-
dapatan yang lebih rendah (Saragih,
2001). Demikian juga para agribisnis
nilam, pada sub sistim pengolahan/
industri, sebetulnya banyak diperoleh
nilai tambah. Walaupun masih ditemui
kendala pada perolehan rendemen dan
mutunya yang masih rendah. Oleh
karenanya diperlukan beberapa upaya
untuk meningkatkan rendemen dan
mutu minyak nilam antara lain melalui
Budidaya
Penggunaan benih unggul
Menyikapi kondisi tersebut, usa-
ha–usaha untuk memacu penanaman
varietas unggul sangat strategis dan
penting sekali (Djisbar dan Seswita,
1998). Melalui eksplorasi, karakteri-
sasi, uji multi lokasi dan evaluasi,
ternyata tanaman nilam dari daerah
tertentu saja yang mempunyai rende-
men minyak tinggi (Syukur dan
Nuryani, 1998). Pendapat tersebut
didukung oleh Rumiati et al. (1998).
Ternyata klon–klon nilam dari wilayah
Aceh yang memiliki kadar minyak dan
mutu yang tinggi serta memenuhi
standar ekspor, diantaranya klon Sidi-
kalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan
(Nurjani et al., 1997) dengan rendemen
2,23 - 4,23%; 2,00 - 4,14% dan 2,07 -
3,87%. Sesuai dengan surat keputusan
Menteri Pertanian RI No. 319 s/d
321/Kpts/SR. 120/8/2005 tanggal 1
Agustus 2005, telah dilepas tiga
varietas unggul nilam dengan nama
Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidi-
kalang dengan keunggulan–keung-
gulan sebagai berikut (Tabel 2).
37
Dengan penggunaan varietas
unggul Tapak Tuan, Lhokseumawe
dan Sidikalang, disertai teknik budi-
daya yang benar dan pengolahan panen
dan pasca panen yang sesuai, maka
akan diperoleh produksi minyak yang
tinggi ± 176,47 – 583,26 kg/ha, pro-
duktivitas terna segar ± 31,38 – 80,37
ton/ha, berarti kadar dan mutu yang
tinggi.
Menanam pada tanah dan iklim yang
sesuai
Upaya pengembangan tanaman
nilam agar berproduksi optimal, kese-
suaian tanah dan iklim merupakan
faktor penting yang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi
(Rosman et al., 1998). Faktor tanah
meliputi jenis tanah, drainase, tekstur
tanah, air tanah, pH, C Organik, P2O5,
K2O dan KTK. Sedang faktor iklim
meliputi curah hujan, hari hujan, bulan
basah, kelembaban udara dan tempe-
ratur. Oleh karenanya upaya untuk
membuat tanaman nilam agar berpro-
duksi optimal, mempunyai rendemen
tinggi dan berkadar Pachoully Oil
tinggi, adalah diusahakan ditanam pada
ketinggian yang sesuai, jenis tanah
yang memenuhi persyaratan dan
iklimnya sesuai dengan persyaratan
kesesuaian lahan dan iklim untuk
tanaman nilam. (Rosman, 1998).
Sistim usahatani menetap
Untuk mendukung sistim perta-
nian menetap diperlukan paket tekno-
logi yang lengkap,. Strateginya diarah-
kan pada efisiensi usahatani, perbaikan
varietas dan teknik budidaya sesuai
standar prosedur operasional (SPO).
Dengan menggunakan varietas unggul
dan teknologi budidaya sesuai SPO,
maka rendemen dan mutu minyak akan
meningkat.
Perlakuan pemupukan
Upaya meningkatkan rendemen
minyak melalui rekayasa pemupukan
akan meningkatkan rendemen minyak.
Secara nyata dengan perlakuan kompos
dari limbah nilam sebanyak 3 kg dan
ditambah pupuk NKP dapat mening-
katkan bobot segar tanaman. Mokoriza
dengan pupuk kandang sebanyak 250
gr per tanaman akan meningkatkan
bobot segar nilam.
Kandungan minyak tertinggi ter-
dapat pada tiga pasangan daun termuda
Tabel 2. Deskripsi 3 varietas nilam yang dilepas
Karakteristik Tapak Tuan Lhokseumawe Sidikalang
produksi tanaman
segar (ton/ha)
41,59-64,67 42,59-64,67 31,38-80,37
Produksi Minyak
(kg/ha)
234,89-583,26 273,49-415,05 176,47-464,42
Kadar minyak (%) 2,07 – 3,87 2,00-4,14 2,23-4,23
Kadar Pachoully
alkohol (%)
28,69-35,90 29,11-34,46 30,21-35,20
Sumber : Balittro, 2006
38
yang masih berwarna hijau (Wikardi et
al., 1990), karena daun berwarna coklat
sudah kehilangan minyaknya akibat
radiasi sinar matahari terlalu tinggi.
Cara panen terbaik adalah pemanenan
pertama pada umur 6 bulan, tinggalkan
satu cabang untuk menstimulir pertum-
buhan tunas, selanjutnya panen ke dua
setelah 3 - 4 bulan berikutnya.
Upaya untuk mempertinggi rendemen
Agar diperoleh hasil minyak
yang optimal diperlukan perlakuan
pendahuluan seperti pengeringan, pela-
yuan dan pengecilan ukuran (Ketaren
dalam Nurdjanah dan Marwati, 1998)
Hal ini perlu dilakukan karena kan-
dungan minyaknya dikelilingi oleh
kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh
dan kantong minyak atau rambut gran-
dular. Tanpa perlakuan pendahuluan
atau dalam bentuk utuh pengeluaran
minyak nilam hanya tergantung dari
proses difusi dan proses tersebut ber-
langsung sangat lambat (Irfan, 1989;
Nurdjanah dan Makmun, 1994).
Diperlukan penanganan yang ba-
ik terhadap bahan melalui perlakuan
pendahuluan berupa a) pengecilan ba-
han, b) pengeringan bahan dan c) pen-
jemuran kurang lebih satu minggu.
Upaya penanganan bahan sehabis
panen untuk mempertinggi kadar dan
mutu minyak dilakukan melalui penje-
muran, pelayuan dan pengecilan bahan
melalui perajangan menjadi bagian
yang lebih kecil. Apabila bahan hasil
panen dijemur terlalu lama akan menu-
runkan kadar minyak tetapi akan me-
ningkatkan kadar Pachoully Alkohol.
Pachoully Alkohol merupakan fraksi
berat dalam minyak nilam yang mudah
menguap (Rusli dan Hernani, 2000).
Kadar minyak yang tinggi sangat di-
harapkan oleh pengusaha/industri pe-
nyuling, sedang kadar Pachoully Alko-
hol yang tinggi sangat dicari oleh para
eksportir. Sekarang tinggal bagaimana
kita mengatur kebijakannya agar ke-
duanya tidak saling dirugikan. Bebe-
rapa hasil uji terhadap lama pengering-
an dan ada yang dikombinasikan
dengan pelayuan. Semua uji memenuhi
standar, baik kadar minyak atau kadar
Pachoully Oil nya. Untuk dapat meng-
akomodir ke dua pihak yang berkepen-
tingan antara pengusaha/industri pe-
nyuling dengan eksportir, maka strate-
ginya adalah “win–win solution”. Per-
lakuan pendahuluan sebaiknya adalah
bahan dijemur selama 2 hari dengan
lama penyinaran antara 5 – 7 jam per
harinya (Balittro, 2002).
Disamping cara, waktu penyu-
lingan juga berpengaruh terhadap ren-
demen, bobot jenis, bilangan ester dan
kadar Pachoully Alkohol. Makin lama
waktu penyulingan, rendemen, bobot
jenis dan bilangan ester yamg diperoleh
makin tinggi. Tetapi dalam standar
mutu minyak nilam Indonesia sudah
ada batasan-batasan dalam persyaratan
mutu minyak nilam untuk tujuan eks-
por, yaitu bilangan esternya tidak boleh
melebihi 10% dan bobot jenis minyak
pada suhu 25°C berkisar antara 0,947-
0,987, karena itu waktu/lama penyu-
lingan seharusnya diatur sedemikian
rupa agar hasilnya tidak melebihi batas-
an tersebut. Bahan dalam tangki juga
berpengaruh terhadap waktu penyu-
lingan, kepadatan makin banyak, waktu
penyulingan makin lama. Oleh karena-
39
nya diperlukan simulasi terhadap kepa-
datan, dan salah satu solusinya adalah
melalui pengecilan bahan dengan cara
dirajang menjadi bagian yang kecil–
kecil.
Pada proses penyulingan, perlu
dipelajari/dibuat keseimbangan antara
lamanya waktu penyulingan dengan
batasan mengenai besaran maksimum
bilangan esternya (10%) dan bobot
jenis pada suhu 25o C berkisar antara
0,9 – 0,983.
Perbandingan bahan yang disuling
harus tepat
Perbandingan optimum yang di-
peroleh menurut Rusli dan Hasanah
(1977) antara daun dan batang adalah 1
: 0,5 sedang petani nilam di Sumedang
biasa menggunakan perbandingan daun
: batang dengan perbandingan 70 : 30.
Penggunaan alat dan metode
penyulingan
Alat penyuling yang digunakan
juga berpengaruh tehadap rendemen
minyak yang diperoleh. Sampai saat ini
ada tiga metode penyulingan minyak
nilam, yaitu : 1) penyulingan dengan
air, 2) penyulingan dengan uap lang-
sung dan 3) penyulingan dengan uap
tidak langsung. Penyulingan dengan
menggunakan alat tangki stainless steel
dengan uap langsung memberikan ren-
demen dan kadar Pachoully Alkohol
lebih tinggi dibanding cara uap tidak
langsung (dikukus) dan dengan air
(Nurdjanah et al., 1991; Mangun,
2005). Metode penyulingan digunakan
sesuai dengan kebutuhannya dan tipe
instalasi yang digunakan.
- Apabila menggunakan tipe ins-
talasi kecil, dapat dipakai metode
penyulingan dengan air dan me-
tode penyulingan sistim kukus
lebih menguntungkan. Metode
penyulingan yang dianjurkan
adalah bila dikukus lama pengu-
kusan 5 - 6 jam, kepadatan bahan
dalam ketel 90 - 130 g/l untuk 50
kg daun kering, kecepatan pe-
nyulingan 32 - 36 l/jam.
- Untuk tipe instalasi besar peng-
gunaan metode penyulingan
dengan uap lebih menguntung-
kan. Jika menggunakan uap lang-
sung menggunakan tekanan 1,5 -
2 bar kepadatan daun 50,5 kg/m3,
lama penyulingan 4 jam.
Untuk menghindari keberagam-
an minyak hasil produksi petani, diupa-
yakan dilakukan proses penyulingan
dilakukan pada satu atau dua pemroses
saja dalam satu wilayah, kelompok
tani, desa atau kecamatan, kemudian
dilaksanakan proses pemurnian mi-
nyak. Apabila keberadaan minyak ni-
lam hasil sulingan dipastikan beragam
maka diperlukan sosialisasi mengenai
upaya pemurnian minyak hasil suling-
an melalui pemurnian minyak dengan
cara flokulasi dengan menambahkan
larutan Na-EDTA 0,05 M dengan per-
bandingan volume 1 : 1 diaduk selama
5 menit.
Sosial ekonomi
Pencegahan pemalsuan
Hasil penelitian Makmun (2003),
diperloleh hasil bahwa pemalsuan ter-
jadi pada tingkat pedagang pengumpul
dan tingkat industri pengolah. Upaya
40
strategi dan tindakan yang diambil ada
2 pilihan yaitu :
a. Penalty total. Maksudnya pada
rantai/bagian mana terjadi pemal-
suan langsung diberi tindakan te-
gas dengan melaksanakan pem-
bekuan dan pencabutan izin ter-
hadap pelaku kejahatan tersebut.
b. Eksportir dalam membeli minyak
nilam diharuskan menggunakan
standar mutu yang berbeda, un-
tuk mutu yang lebih baik dihar-
gai lebih tinggi dengan mutu
yang kurang baik, walaupun ke-
dua mutu tersebut masih masuk
dalam standar mutu. Oleh kare-
nanya diperlukan perbedaan har-
ga untuk tingkatan kadar pat-
chouli, bobot jenis, indek bias,
bilangan asam dan bilangan es-
ternya. Jadi setiap oknum pemal-
suan yang ingin mencari untung
dengan menambahkan benda
asing kedalam minyak diberi pe-
nalty melalui penolakan pembeli-
an atau dihargai lebih rendah
dibanding dengan bahan yang
sama tetapi bukan karena ada
unsur penipuan.
Penyediaan produk agar tetap
kontinyu
Minyak nilam kita merupakan
produk ekspor sebesar 85,6% produk
nasional ditujukan untuk ekspor. Indo-
nesia menguasai perdagangan nilam
dunia sekitar 75 - 90%, berarti Indo-
nesia menguasai pasar suplai minyak.
Supaya penyediaan produk tetap konti-
nyu, maka diupayakan pengembangan
areal sekaligus produksi dan produk-
tivitas. Produk yang tidak terjual pada
tahun bersangkutan dijadikan cadangan
atau carry over stock untuk dijual pada
tahun berikutnya. Disamping sebagai
cadangan, dengan penyimpanan lebih
lama akan menambah aroma wangi
dan meningkatkan kadar Pachoully
Alkohol.
Penstabilan harga
Karena Indonesia merupakan
produsen terbesar sekitar 80 - 90% dari
perdagangan minyak nilam dunia, se-
betulnya tidak sulit untuk menstabilkan
harga. Upaya penstabilan harga dapat
dilakukan oleh pemerintah melalui
pembelian minyak nilam pada saat har-
ga turun. Kemudian oleh minyak ter-
sebut dijadikan stok dan tidak dijual/
ekspor sebelum harga betul-betul stabil.
KESIMPULAN
Beberapa upaya untuk mening-
katkan rendemen dan mutu minyak
nilam telah diperoleh antara lain me-
lalui perbaikan teknologi budidaya,
penanganan pasca panen, penggunaan
alat dan metode penyulingan serta
kebijakan di bidang sosial ekonomi.
Melalui perbaikan teknologi bu-
didaya dilaksanakan dengan penggu-
naan bibit unggul yang sudah dilepas
seperti varietas Tapak Tuan, Lhokseu-
mawe dan Sidikalang. Kandungan ka-
dar minyaknya cukup tinggi sekitar
2,07 - 4,23% serta kadar Pachoully
Alkoholnya telah memenuhi standar
ekspor yaitu sekitar 28,69 - 35,90%.
Teknologi budidaya yang dianjurkan
adalah dengan sistim usahatani mene-
tap dan sesuai SPO termasuk kesesuai-
an lahan dan iklim.
41
Melalui penanganan pasca panen
diantaranya adalah melalui metode
pengeringan, pelayuan dan pengirisan
bahan baku secara tepat. Bahan dijemur
dibawah matahari dengan lamanya 5-7
jam per hari selama dua hari, bilangan
esternya kurang dari 10% dan bobot
jenisnya pada suhu 25º C berkisar
antara 0,9 - 0,983.
Alat yang digunakan sejenis
stainless steel dengan metode penyu-
lingan secara uap langsung untuk tipe
instalasi besar, sedang untuk tipe insta-
lasi kecil disarankan menggunakan me-
tode uap tidak langsung atau melalui
dikukus terlebih dahulu. Untuk meng-
hindari keberagaman minyak asal pe-
tani, dilakukan pemurnian dengan cara
flokulasi/menambahkan larutan Na-
EDTA.
Untuk mencegah agar tidak ter-
jadi pemalsuan kualitas minyak dila-
kukan penalty total melalui pembekuan
dan pencabutan ijin industri/perdagang-
an atau eksportir melaksanakan pembe-
lian melalui pembedaan kualitas di-
mana kualitas jelek dihargai rendah,
sedang kualitas bagus dihargai tinggi.
Upaya agar persediaan produk tetap
tersedia dilakukan melalui penstabilan
harga.
SARAN
Masalah kadar dan mutu minyak
nilam menjadi prioritas utama dalam
pengembangan nilam, karena persaing-
an di dunia internasional semakin ketat.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Z.L., 1969. The market for
pachouli oil and leaves. Tropical
Product Institute Ministry of
Overseas Development g 39. p. 4 -
23.
Anggraeni, Ch. Winarti dan Pandji
Laksmanahardja, 1998. Karakteris-
tik Minyak Nilam di Indonesia.
Monograf Nilam 5 : 116 - 121.
Balittro, 2003. Agribisnis Tanaman
Minyak Atsiri. Booklet. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. 18 hal.
Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik
Ekspor, Buku I Badan Pusat
Statistik Jakarta. 19 hal.
Deperindag, 1993. Pengembangan ma-
ta dagang minyak nilam kawasan
pasar masyarakat Eropa, Badan
Pengembangan Ekspor Nasional.
Jakarta. 41 hal.
Dhalimi A., Anggraeni dan Hobir,
1998. Sejarah dan Perkembangan
Budidaya Nilam di Indonesia.
Monograf Nilam 5 : 1 - 9.
Djisbar A. dan D. Seswita, 1998. Per-
baikan varietas. Monograf Nilam 5
: 10 - 15.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005.
Statistik Perkebunan Indonesia. Ni-
lam. Departemen Pertanian. Jakar-
ta. 24 hal.
Irfan, 1989. Pengaruh lama kering-
anginan dan perbandingan daun
dengan batang terhadap rendemen
dan mutu minyak nilam (Pogos-
temon cablin Benth). Skripsi Feteta
IPB. 86 hal (tidak dipublikasikan).
42
Ketaren S., 1985. Minyak Atsiri. Peng-
antar Teknologi Minyak Atsiri
Balai Pustaka Jakarta. hal. 191 -
202.
Kindleberger, C.P. dan Peter, H., Lin-
dert, 1991. Pemasaran Internasio-
nal.
Makmun, 2003. Identifikasi pemalsuan
minyak nilam dirantai tata niaga.
Buletin Penelitian Tanaman Rem-
pah dan Obat. XIV (2) Bogor. hal.
17 - 22.
Mangun, H.M.S., 2005. Nilam. Hasil-
kan minyak berkualitas mulai dari
teknik budidaya hingga proses
penyulingan. Penebar Swadaya. 83
hal.
Mustofa, A., 1998. Pengolahan minyak
atsiri pelatihan peningkatan mutu
olahan hasil hutan bahan kayu ber-
orientasi ekspor Deperindag. hal. 1
- 14 (tidak dpublikasikan).
Mustika I dan Y. Nuryani, 2006.
Strategi pengendalian nematoda
parasit pada tanaman nilam. Jurnal
Litbang Pertanian XXV (1) : 7 - 15.
Nurdjanah, N., dan A. Rivai, Afifah
dan Zamaluddin, 1991. Pengaruh
cara dan waktu penyulingan ter-
hadap rendemen dan mutu minyak
nilam (Pogostemon cablin Benth).
Buletin Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat VI (1) : 1 - 8.
Nurdjanah, N. dan T. Marwati, 1998.
Penanganan Bahan dan Penyuling-
an Minyak Nilam. Monograf Ni-
lam 5 : 100 - 107.
Nuryani Y. Hobir, C. Syukur dan I
Mariska, 1997. Peningkatan kadar
minyak nilam (Pogostemon cablin
Benth) melalui perbaikan varietas.
Simposium dan Kongres PERIPI,
Bandung 13 hal. (tidak dipublika-
sikan).
Pujiharti, Y., D.R. Mustikawati dan
Hasanah, 2000. Peningkatan pro-
duksi dan peluang pengembangan
nilam di lampung. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (19) :
27 - 32.
Prawoto, A.A. dan M. Sholeh, 2006.
Produksi Awal dan Kajian Eko-
nomi Usahatani Nilam Aceh Seba-
gai Tanaman Sela Kakao Muda.
Pelita Perkebunan. Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia. Vol. 22
(3) : 168 - 190.
Robbin, S. R.J., 1982. Selected market
for the essential oil of patchouli and
vetiver tropical product institute.
Ministry of overseas.
Rumiati, S., D. Rusmin dan M.
Hasanah, 1998. Sistem Perbenihan.
Monograf Nilam 5 : 33 - 39.
Rusli S., dan M. Hasanah, 1977. Cara
penyulingan daun nilam mempe-
ngaruhi rendemen dan mutu mi-
nyak. Pemberitaan Lembaga Pene-
litian Tanaman Industri XXIV. hal.
1 – 9.
Rusli S., N. Nurdjanah, Soediarto, D.
Sitepu, S. Ardi dan D.T. Sitorus,
1985 Penelitian dan Pengembang-
an minyak atsiri Indonesia. Edisi
Khusus Penelitian Tanaman Rem-
43
pah dan Obat, Bogor. Vol 2 : 10 -
39.
Rusli, S. dan Hernani, 2000. Pengolah-
an Hasil Tanaman Minyak Atsiri.
Prosiding Teknologi Pengolahan
Hasil Tanaman Perkebunan. Puslit-
bangbun. hal. 223 - 224.
Sait, S., 1978. Identifikasi bahan-bahan
pemalsu di dalam minyak-minyak
atsiri ekspor. Prosiding Seminar
Minyak Atsiri III, Balai Penelitian
Kimia. Bogor. hal. 319 - 324.
Sitorus, D.T., 1993. Analisis Kelayakan
Finansial Usahatani Nilam di
Sumatera Barat. Edsus vol IX (2) :
20 - 28.
Saragih, B., 2001. Agribisnis para-
digma baru pembangunan ekonomi
berbasis pertanian. Pustaka Wira
Usaha Muda. 243 hal.
Sumangat, D., Risfaheri, 1998. Standar
dan Masalah Mutu Minyak Nilam
Indonesia. Monograf Nilam 5 : 108
- 115.
Syukur C. Dan Y. Nuryani, 1998.
Plasma Nutfah. Monograf Nilam 5
: 24 - 32.
Supriadi, Elly dan Mustanir, 2004.
Strategi Pengembangan Menyelu-
ruh Terhadap Minyak Nilam
(Pachoully Oil) di Provinsi Nang-
groe Aceh Darussalam. Teknologi
Pengembangan Minyak Nilam
Aceh. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. hal.
11 - 20.
Tjiptadi, 1985. Pengembangan usaha
minyak atsiri. Hasil pertemuan
konsultasi pengembangan tanaman
minyak atsiri. Edisi Khusus Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. Vol 2 : 40 - 55.
Wikardi, E.A., A. Asman dan P.
Wahid, 1990. Perkembangan pene-
litian tanaman nilam. Edisi Khusus
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. 6 (1) : 23 - 29.
Wahono, C.T., I.N. Istina, G. Harahap
dan E. S. Ritonga. Kajian Tek-
nologi Pengolahan Nilam. Prosi-
ding Seminar Nasional Mekanisasi
Pertanian. Balai Besar Pengem-
bangan Mekanisasi Pertanian. hal.
77 - 86.