Upload
hoangdang
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN
LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN
TESIS
Oleh:
DEMAK MAGDALENA P. SILABAN127009024/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2014
TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN
LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN
TESIS
Oleh:
DEMAK MAGDALENA P. SILABAN127009024/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2014
TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN
LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN
TESIS
Oleh:
DEMAK MAGDALENA P. SILABAN127009024/LNG
\
FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2014
TRADISI LISAN NYANYIAN ANAK-ANAK PADAMASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN
LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN
ABSTRAK
Nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta memiliki banyak varian. Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi semakin punahnya nyanyian anak-anak pada masyarakat Batak Toba (MBT), menganalisis fungsi dan makna, konteks, serta kearifan lokal. Untuk itu digunakan teori fungsionalisme dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa nyanyian menidurkan anak yaitu Dideng dideng dan nyanyian permainan anak yaitu Kacang koring, Sada dua tolu, Sampele sampele dan Jambatan Tapanuli yang direkam langsung di lokasi penelitian Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa fungsi nyanyian menidurkan anak adalah sebagai bentuk hiburan, alat pendidikan anak, alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan penguatan ikatan persaudaraan, sedangkan fungsi nyanyian permainan anak masing-masing adalah sebagai bentuk hiburan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial, dan sebagai penguat ikatan persaudaraan. Makna nyanyian menidurkan anak adalah menghargai perjuangan ibu, sedangkan makna nyanyian permainan anak masaing-masing tidak boleh rakus, menjaga kebersihan badan, kebersamaan, dan cinta lingkungan. Konteks nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak ini adalah mengenai latar atau tempat berlangsungnya nyanyian anak tersebut, siapa yang melantunkan, siapa yang mendengarkan, bagaimana suasananya, serta bagaimana melakukannya. Nilai kearifan lokal yang terdapat pada nyanyian menidurkan anak adalah menghormati orang tua, menghormati kaum perempuan, sedangkan kearifan lokal nyanyian permainan anak masing-masing adalag saling berbagi, kesehatan, kerukunan bersaudara, serta cinta lingkungan. Dari hasil pembahasan maka disimpulkan bahwa nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak MBT merupakan tradisi lisan yang memiliki kearifan lokal yang sangat baik, oleh karena itu perlu dilestarikan sebagai tradisi lisan MBT.
Kata kunci: nyanyian rakyat, nyanyian menidurkan anak, nyanyian permainan anak, masyarakat Batak Toba, dan kearifan lokal.
iv
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap suku bangsa di Nusantara memilliki beragam bentuk tradisi yang khas.
Tradisi lokal ini sering disebut dengan kebudayaan lokal (local culture), yang hidup
di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat pendukungnya mengalami
perubahan, tetapi tradisi tetap ada. Salah satu bentuk tradisi yang masih berkembang
sampai sekarang adalah tradisi lisan. Awal mula tradisi lisan berkembang di
Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat yang
memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi kelisanan lebih
mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.
Tradisi lisan (oral tradition) dapat diartikan sebagai kebiasaan atau adat yang
berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari
generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Tradisi lisan menjadi bagian dari warisan
budaya bangsa yang ditetapkan dalam konvensi UNESCO tertanggal 17 September
2003. Pudentia (2007: 27) mendefinisikan tradisi lisan sebagai wacana yang
diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang
beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Tradisi lisan, dengan tradisi
dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya penting dan berharga yang
layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan kekuatan kultural
dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat oleh Sibarani
(2012:15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan
1
salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun
peradaban.
Folklor merupakan bagian dari tradisi lisan. Folklor merupakan sebagian dari
unsur kebudayaan yang penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut
atau dengan cara-cara lain. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja secara
tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)
(Danandjaja 2007: 2). Cakupan folklor sangat luas karena meliputi kebudayaan suatu
kolektif masyarakat suatu wilayah tertentu serta bentuk-bentuknya. Berdasarkan
klasifikasi folklor menurut ahli folklor dari Amerika Serikat yaitu Brunvand, folklor
dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan
folklor bukan lisan (Danandjaja, 2007: 22-153).
Sastra adalah gambaran kehidupan masyarakat. Sastra lisan merupakan tradisi
yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan menggunakan bahasa
sebagai media utama. Sastra lisan sering juga disebut sastra rakyat, karena muncul
dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Sastra lisan ini dituturkan,
didengarkan, dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan
maksud dan tujuan tertentu pula. Dalam kaitannya dengan tradisi lisan, wujud tradisi
lisan itu dapat berupa tradisi berkesusasteraan lisan seperti tradisi menggunakan
bahasa rakyat, tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional
atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan
menabalkan gelar kebangsawanan (Sibarani, 2012:48). Semua wujud tradisi lisan
2
tersebut mengindikasikan ada kegiatan budaya, yang merupakan perbedaan dari
sastra lisan dan folklor.
Penelitian khazanah tradisi lisan di Indonesia pada awalnya digalakkan
setelah muncul kesadaran akan semakin banyaknya penutur dan penikmat yang
hilang. Perkembangan zaman yang modern juga sedikit banyaknya mendukung
hilangnya dan pupusnya tradisi lisan. Nyanyian rakyat merupakan salah satu wujud
tradisi lisan yang dikhawatirkan kehilangan penutur dan penikmatnya.
Nyanyian rakyat merupakan bunyi (suara) yang berirama dan berlagu musik
yang terangkai sehingga menghasilkan suatu harmonisasi yang indah. Hal ini
diperkuat oleh Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 141) yang menyatakan bahwa
nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan
lagu, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk
tradisional, serta memiliki banyak varian. Nyanyian rakyat disebut juga puisi
tradisional, yang bersifat nyanyian, untuk dibacakan, dialami, dan dihayati bersama-
sama. Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, nyanyian rakyat tidak diketahui
siapa penciptanya karena pada saat nyanyian tersebut diciptakan rasa kebersamaan
masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Keberadaan
nyanyian rakyat sebagai salah satu bentuk dari tradisi lisan pada saat ini mulai
dikhawatirkan keberlangsungannya yang telah diambang kepunahan. Misalnya,
nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (lullaby), maupun nyanyian
permainan anak (playing song). Dahulu, sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua
untuk menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya. Berbeda dengan masa
sekarang, orangtua sudah jarang menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi
anaknya, memperdengarkan lagu-lagu klasik dirasa lebih bermanfaat dan sesuai
3
dengan perkembangan zaman. Begitu juga nyanyian permainan anak yang pada masa
lalu begitu populer digunakan anak-anak dalam mengiringi permainan mereka, tetapi
pada masa sekarang mereka umumnya sudah tidak menggunakan bahkan tidak
mengenal lagi nyanyian-nyanyian permainan tersebut.
Nyanyian menidurkan anak (lullaby) dan nyanyian permainan (play song)
termasuk ke dalam golongan nyanyian rakyat yang memiliki fungsi di dalamnya.
Danandjaja (1991:146) mengemukakan bahwa nyanyian rakyat yang berfungsi
adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan penting.
Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas
khusus dalam kehidupan manusia. Nyanyian menidurkan anak berisi pesan-pesan,
nasihat-nasihat, petuah-petuah, harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap
anaknya dari kecil hingga beranjak dewasa. Sedangkan nyanyian permainan menurut
Danandjaja (1991:147) adalah nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-
kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan (play) atau permainan bertanding
(game).
Hampir sebagian besar suku bangsa di Indonesia memiliki tradisi lisan,
demikian pula dengan masyarakat Batak Toba (selanjutnya disingkat MBT)
yang berada di desa Nagasaribu, Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang
Hasundutan, yang melestarikan tradisi lisan yang terlahir dan berkembang dalam
lingkungan yang menggunakan bahasa daerah. Tradisi lisan yang dimaksud
adalah nyanyian rakyat.
Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai jenis nyanyian rakyat yang
dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Berdasarkan
penggolongan nyanyian rakyat oleh Brunvand, maka MBT memiliki jenis-jenis
4
nyanyian rakyat seperti (a) Nyanyian kelonan (lullaby), contoh: dideng dideng; (b)
Nyanyian kerja (working song), contoh: luga-luga solu; (c) Nyanyian permainan
(playing song), contoh: sampele-sampele; (d) Nyanyian yang bersifat kerohanian dan
keagamaan, contoh: metmet ahu on, (e) Nyanyian nasehat, contoh siboruadi, dan (f)
Nyanyian mengenai pacaran dan pernikahan, contoh: madekdek ma gambiri.
Mengingat dewasa ini keberadaan nyanyian rakyat sudah mulai
dikhawatirkan keberadaannya, maka sebagai sebuah tradisi dan budaya sudah
sepatutnyalah nyanyian rakyat tersebut di atas dipertahankan dan dilestarikan karena
tradisi tersebut mencerminkan dan merupakan jati diri bangsa ataupun daerah dimana
kebudayaan atau tradisi berasal. Salah satu jenis nyanyian rakyat MBT yang sudah
mulai tertinggal adalah nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (ende
mandideng) maupun nyanyian permainan anak (ende marmeam).
Nyanyian menidurkan anak adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk
menidurkan anak. Dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi seorang ibu kepada
anaknya, seorang anak laki-laki atau perempuan kepada adiknya untuk menyanyikan
nyanyian pengantar tidur. Begitu juga pada MBT, sebelum menidurkan anak, para
orang tua pada MBT gemar sekali mendidengkan anaknya. Biasanya, jika hendak
mendidengkan anak maka si anak akan digendong (diompa) terlebih dahulu dengan
memakai kain gendongan yang disebut parompa. Ketika si anak sudah dalam
gendongan si orang tua, maka si orang tua tersebut mulai mendidengkan anaknya
sambil menepuk-nepuk bokong si anak dengan pelan ataupun mengelus-elus
badannya. Selain itu hentakan kaki si orangtua akan turut mengikuti irama lagu yang
dinyanyikan. Nyanyian yang disenandungkan selalu diiringi irama-irama yang
bervariasi dan mampu membuat si anak terlelap dalam tidurnya. Nyanyian atau
5
senandung tersebut biasanya berisi pesan-pesan, nasihat-nasihat, petuah-petuah,
harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap anaknya dari kecil hingga
beranjak dewasa. Semua harapan dan keinginan orang tua terhadap anaknya selalu
diutarakan lewat sebuah nyanyian yang disenandungkan pada anak sebelum tidur.
Hal ini disebabkan secara psikologis, ketika seorang anak tidur ia akan lebih mudah
menyerap pesan-pesan yang diberikan oleh orangtuanya karena pada saat itulah otak
anak bekerja dengan aktif dan cepat sehingga akan mudah terserap dalam alam
bawah sadar anak. Hal ini diperkuat oleh Ken Adams (2006:27) yang
mengungkapkan bahwa bayi yang masih kecil akan mencoba bergerak sesuai irama
saat mendengar musik.
Bersenandung atau mendidengkan anak ketika tidur akan semakin
mempererat atau mendekatkan hubungan batin antara orang tua dan anaknya. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Hutt dalam Desmita (2006: 101) yang menyatakan bahwa
respons selektif bayi yang baru lahir terhadap ucapan manusia memiliki arti penting
bagi kelangsungan hidupnya, sebab ia menjadi bagian vital dalam perkembangan
hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak. Nyanyian menidurkan anak pada
MBT yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah dideng dideng.
Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang biasanya dinyanyikan anak-
anak pada saat bermain, baik dilakukan di dalam rumah, maupun di luar rumah
waktu siang atau sore hari dalam keadaan cerah, atau di tempat lain di tempat mereka
bermain yang menurut mereka nyaman, biasanya di lapangan terbuka. Biasanya tidak
semua daérah sama dalam hal isi lagu permainan anak, tergantung tempat dimana
mereka tinggal. Zaman sekarang, nyanyian permainan anak ini sudah jarang
dinyanyikan oleh anak-anak, terutama anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan,
6
nyanyian permainan anak ini hanya dinyanyikan oleh anak-anak yang tinggal di
pedesaan atau di daérah pagunungan saja.
Begitu juga dalam MBT, sekarang ini hanya anak-anak yang tinggal di
pedesaan saja yang tahu menyanyikan nyanyian permainan anak. Hal ini disebabkan
karena kurikulum sekolah di pedesaan turut berkontribusi memperkenalkan pelajaran
Bahasa Daerah Batak Toba dalam Muatan Lokal. Nyanyian permainan anak ini
biasanya dinyanyikan secara kolektif baik oleh anak laki-laki maupun perempuan
yang jumlahnya minimal empat atau enam orang. Biasanya anak-anak Batak Toba
lebih suka bermain di sore hari setelah pulang sekolah atau setelah mereka membantu
orang tua bekerja, mereka bermain di halaman rumah maupun di pekarangan yang
luas. Sebenarnya bermain sambil bernyanyi juga bisa dilakukan di sekolah pada jam
istirahat, namun karena waktu istirahat di sekolah yang terbatas yaitu hanya 15
menit, sedangkan durasi nyanyian permainan pada umumnya lebih dari 15 menit,
membuat anak-anak lebih memilih bermain di luar sekolah. Hal lain adalah bahwa
bermain di luar sekolah lebih nyaman, mengingat sekolah adalah lingkungan yang
formal mengakibatkan anak-anak kurang bisa berekspresi dengan bebas. Nyanyian
permainan anak pada MBT yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sampele
sampele, jambatan Tapanuli, kacang koring, sada dua tolu.
Kemudian, pada umumnya anak-anak mempunyai cara dan gaya tersendiri
dalam melantunkan nyanyian-nyanyian tersebut, artinya anak-anak mengetahui isi
dan iramanya serta pada waktu kapan mereka dapat melantunkannya. Melantunkan
nyanyian tersebut merupakan salah satu cara menanamkan nilai kearifan orang
Batak dan cermin bahasa budaya yang mengandung nilai-nilai universal seperti
gembira, sengsara, suka, duka, baik, buruk, benar, salah, hidup, maut, dan unsur-
7
unsur lain yang merupakan suatu keutuhan sehingga menjadi suatu jalinan yang
terpadu dan sering dicerminkan dalam kehidupan (Depdikbud, 1993:56).
Beberapa nyanyian anak pada MBT memiliki beberapa varian. Pewarisan
nyanyian anak yang dilakukan secara lisan oleh nenek moyang Batak Toba
mengakibatkan nyanyian anak tersebut memiliki banyak varian. Danandjaja
(1991:141-142) mengemukakan bahwa dalam kenyataan, teks nyanyian rakyat
selalu dinyanyikan oleh informan dan jarang sekali yang hanya disajakkan (recite)
saja. Namun teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu/irama yang sama.
Sebaliknya, lagu/irama yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan
beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda. Hal ini pun terjadi dalam pelantunan
beberapa nyanyian anak misalnya Sampele sampele, Jambatan Tapamuli memiliki
beberapa varian. Munculnya varian dalam sebuah nyanyian rakyat disebabkan
masyarakat penutur yang terkadang tidak mengetahui lirik lengkapnya,
artinya ada yang mengetahui setengahnya atau hanya sebagian kecil, sehingga
terjadilah proses interpolasi (penambahan sisipan baru) pada teks induknya.
Masyarakat penutur hanya menghafal formula dari lagu tersebut, kemudian mencipta
ulang lirik lagu tersebut. Oleh karena itu, penciptaan ulang sebuah sastra lisan
seringkali terjadi.
Adanya keanekaragaman nyanyian permainan anak pada MBT menjadi
sebuah fenomena yang menarik untuk dianalisis, karena dalam lagu-lagu
permainan tersebut tidak hanya sekadar lagu pengiring dalam sebuah permainan,
bahkan mengandung nilai kearifan lokal. Kemudian, nyanyian menidurkan anak dan
nyanyian permainan anak berkaitan erat dengan konteks pertunjukan yang meliputi
dua hal: konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi merupakan lingkungan
8
atau tempat peristiwa percakapan berlangsung. Selain konteks situasi, konteks
budaya pun turut mempengaruhi dalam hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa
yang melatari pertunjukan.
Pada hakikatnya nyanyian rakyat bukan hanya semata-mata sebagai sebuah
seni, melainkan sebuah nyanyian yang memiliki fungsi. Salah satu fungsinya yang
sangat menonjol adalah nyanyian rakyat berfungsi sebagai pendidik, yakni di dalam
nyanyian rakyat tersebut berisi nasihat-nasihat, petuah-petuah, cita-cita, dan harapan-
harapan para orang tua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya ketika beranjak
dewasa.
Dalam nyanyian rakyat tergambar jelas tata cara kehidupan sosial
masyarakat. Hal ini sesuai dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut. Menurut
Danandjaya (1984:152-153) nyanyian rakyat memiliki fungsi yakni: (a) nyanyian
rakyat memiliki fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup
sehari-hari walaupun untuk sementara waktu atau menghibur diri dari kesukaran
hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri
dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.
Nyanyian rakyat yang berfungsi demikian adalah nyanyian jenaka, nyanyian untuk
mengiringi permainan anak-anak seperti “sampele-sampele”. (b) Nyanyian rakyat
juga berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian bekerja “luga-luga
solu”, nyanyian untuk baris berbaris, perjuangan, dan sebagainya. (c) Nyanyian
rakyat juga berfungsi untuk memelihara sejarah setempat, klen, dan sebagainya. (d)
Nyanyian rakyat juga berfungsi sebagai protes sosial, protes mengenai ketidakadilan
dalam masyarakat, negara, atau bahkan dunia.
9
Lirik nyanyian rakyat terdiri dari barisan kata-kata yang dirangkai dengan
baik dan dengan gaya bahasa yang menarik pula. Barisan kata-kata tersebut
mempunyai makna mendalam atau tujuan tertentu yang dipesankan kepada
masyarakat sebagai pendengarnya. Selain itu lirik nyanyian rakyat khususnya
nyanyian anak-anak mengandung makna yang dapat mempengaruhi pembentukan
identitas dan karakter mereka.
Di samping memiliki fungsi dan makna, nyanyian rakyat yang merupakan
warisan budaya juga sarat akan kearifan-kearifan lokal yang mencerminkan nilai-
nilai budaya yang sangat penting untuk digali yang dapat digunakan untuk
memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehingga dapat melangsungkan
kehidupan bahkan berkembang secara berkelanjutan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas yaitu tentang latar belakang
penelitian dengan objek kajian nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang berada
di desa Nagasaribu Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan.
Adapun alasan pengambilan data di lokasi tersebut karena keberadaan tradisi lisan
khususnya nyanyian rakyat anak-anak masih bertahan di tengah masyarakat yang
telah mengalami modernisasi.
Penganalisisan nyanyian rakyat anak-anak dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara pendeskripsian lagu melalui kajian fungsi,makna, konteks
serta kearifan lokal. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas maka penelitian ini
dituliskan dalam sebuah tulisan tesis dengan judul “Nyanyian Rakyat Anak-Anak
Pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Terhadap Fungsi, Makna, Konteks dan
Kearifan”.
10
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keberadaan (existence) nyanyian rakyat anak-anak pada masyarakat
Batak Toba saat ini?
2. Bagaimana fungsi dan makna nyanyian rakyat anak-anak pada masyarakat Batak
Toba?
3. Bagaimana konteks nyanyian rakyat anak-anak pada masyarakat Batak Toba?
4. Apa saja kearifan lokal yang terdapat pada nyanyian rakyat anak-anak Batak
Toba?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan keberadaan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT saat ini.
2. Mendeskripsikan fungsi dan makna nyanyian rakyat anak-anak MBT.
3. Mendeskripsikan konteks nyanyian rakyat anak-anak pada MBT.
4. Mendeskripsikan kerifan lokal nyanyian rakyat anak-anak pada MBT.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah kajian tradisi lisan.
b. Memberikan kontribusi yang relevan dalam penelitian kajian tradisi lisan
khususnya penelitian MBT.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Membantu masyarakat untuk memahami nyanyian rakyat anak-anak sebagai
tradsi lisan MBT.
11
b. Melestarikan nilai-nilai budaya dalam sikap dan falsafah MBT.
c. Mensosialisasikan tentang kearifan lokal kepada MBT agar transformasi budaya
dapat dijadikan suatu gerakan nasional.
1.5 Klarifikasi Istilah
anggunan : ayunan
diompa : digendong
ende parmeanan : nyanyian permainan
ende mandideng : nyanyian menidurkan anak
MBT : Masyarakat Batak Toba
mandar : kain sarung
parompa : kain gendongan
12
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Tradisi Lisan
Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis
keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat
dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat (Koentjaraningrat, 1997:9).
Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara
turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat
rutin. Adat kebiasaan tersebut disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan
selanjutnya dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi. Inilah yang
menjadi tradisi lisan.
Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang
diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang
beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus
penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan
antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan
menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma,
dan adat istiadat.
Sibarani (2012:43-46) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri
tradisi lisan sebagai berikut:
13
1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan ,
sebagian lisan dan bukan lisan.
2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya.
3. Dapat diamati atau ditonton
4. Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus
mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi
baru yang ada unsur etnisnya.
5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain.
6. Proses penyampaian ‘dari mulut ke mulut’. Tradisi yang disampaikan,
diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi lisan.
7. Mengandung nilai-nilai dan norma budaya.
8. Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan, sebuah
tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut
dengan variasi atau versi.
9. Milik bersama komunitas tertentu.
10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi
lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang
bukan lisan (non verbal). Oral traditions are the community’s traditionally cultural
activities inherited orally from one generation tro the other generation, either the
tradition is verbal or non verbal (Sibarani, 2012: 47).
14
2.1.2 Folklor
Secara etimologis, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Folk
berarti sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri pengenal, fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri
pengenal itu seperti: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian
yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama
(Sibarani, 2012:37). Sedangkan lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian
kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan maupun
melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat, baik
secara verbal maupun non verbal. Jadi, definisi folklore secara keseluruhan adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun,
diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu
pengingat (mnemonic device).
Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja, 2002) seorang ahli folklor
AS, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya
yaitu:
1. Folkor lisan (verbal folklore)
2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore).
Folklor lisan bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang
termasuk pada kelompok ini antara lain : (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat,
15
julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional,
seperti peribahasa, pepatah, dan pomeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki;
(4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (5) cerita prosa rakyat, seperti
mite, legenda, dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat (folksong), dan (7) musik
rakyat.
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran
unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang
“modern” seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan
ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda
salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari
gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat
untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata
tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini selain
kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat,
upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun
cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi
dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk
folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli
daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan
perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.
Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional
(gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat
16
Danandjaya (1994:3) mengemukakan Sembilan ciri folklor yaitu:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
2. Folkor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif atau dalam
bentuk standar dalam waktu yang lama minimal dua generasi.
3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal
ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya
bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa folklore
mudah mengalami perubahan.
4. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5. Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat bisanya
selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari”.
6. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif. Cerita rakyat misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes
sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan ligika umum. Ciri folkor ini berlaku bagi folklor lisan dan sebagain
lisan.
8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan
karena penciptanya yang pertama sudah tidak ada sehingga setiap anggota
kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
9. Folklor umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak
folklor merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
17
Selanjutnya menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) ada beberapa
fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu:
1. Sebagai sistem proyeksi (projective system); folklor memperlihatkan pandangan,
pemikiran, dan visi masyarakat pemilik folklor itu. Folklor itu menjadi cermin
komunitas pemiliknya karena di dalam folklor itu tergambar cara pandang (way
of life) komunitas pemiliknya. Sebagai contoh, kalau di Jawa Barat ada cerita
Sangkuriang merupakan proyeksi keinginan manusia untuk bersenggama dengan
ibu kandungnya. Jika ditinjau dari psikoanalisis Freud, keinginan manusia yang
meledak-ledak itu sering terpendam. Keinginan yang dinamakan odipus complex
tersebut diwujudkan ke dalam mimpi, karena masyarakat akan melarangnya.
2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture);
folklor merepresentasikan dan melegitimasi eksistensi pranata dan lembaga
kebudayaan. Pranata dan lembaga kebudayaan akan semakin eksis dan legal
dengan adanya folklor sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat itu. Sebagai
contoh, di Jawa Timur ada legenda cecak yang menghianati Nabi Muhammad
SAW, yakni kisah nabi yang telah dikhianati cecak berwarna kelabu, sewaktu
beliau bersembunyi di dalam goa untuk menghindari kejaran musuh-musuhnya.
Legenda ini digunakan untuk menghindari masyarakat Jawa Timur tidak
membunuh cecak berwarna kelabu pada hari Jumat Legi. Apabila hal ini
dilanggar akan menyebabkan sial.
3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device); menggali nilai-nilai pendidikan
yang ada pada folklor khususnya nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber
18
dari kearifan lokal (bentuk ajaran pada anak). Sebagai contoh, dalam lagu rakyat
Bang-bang Tut, menurut Sanimo (1992:4) merupakan pendidikan agar siapa
yang berbuat salah sebaiknya mengaku salah.
4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat
pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya (as a mean of applying social pressure and
exercisingsocial control); folklor berisikan petuah-petuah, etika dan norma-
norma yang perlu diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagai contoh, gugon
tuhon, seperti aja lungguh bantal mundhak wudunen, aja mangan neng ngarep
lawang.
Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara, 2008:129-30) menambahkan
fungsi lain, yaitu:
1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif (promoting a group’s feeling of
solidarity). Sebagai contoh, tentang legenfa kepahlawanan Pangeran
Sambernyawa, akan mempertebal solidaritas bangsa dan khususnya bagi warga
Mangkunegaran, mitos Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati.
2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang. Sebagai contoh, ketika
anak-anak memberikan cangkriman kepada orang dewasa, jaran madhep
ngetanbuntute neng ngendi? Jika orang dewasa menjawab: neng kulon, spontan
anak tadi akan menyalahkan. Yang betul ekornya di atas silit atau di tempat
semula.
19
3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit
hati dan pemberian hukuman. Sebagai contoh, kaya kuping ngluwhi sungu,
untuk menyebut orang bawahan yang akan kurang ajar terhadap atasannya.
4. Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat (serving a
vehical for social protes). Sebagai contoh, dagelan atau lawak dalam masyarakat
Jawa sebagai pertunjukan segar yang sering diboncengi misi protes. Oleh karena
bentuk protes lewat seni, justru lebih menarik.
5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (offering an enjoyable
escape from reality), yang penuh kesukaran, sehingga dapat mengubah
pekerjaan yang membosankan, menjadi permainan yang menyenangkan. Fungsi
semacam ini disebut juga fungsi rekreasi.
6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan (converting dull
work into play).
Dari fungsi tersebut berarti folklor dapat memuat aneka ragam fungsi, seperti
fungsi kultural, hukum, politik, dan keindahan. Fungsi-fungsi tersebut tentu saja bisa
berubah dan atau berkembang dalam kehidupan pemilik folklor.
2.1.2.1 Folklor Anak
Secara psikologis, anak tergolong mudah menerima folklor. Hafalan anak
jauh lebih kuat, dalam memori sajak-sajak dan permainan bunyi. Disamping itu,
psikologi anak juga membenarkan bahwa mereka gemar bermain. Dalam bermain,
banyak unsur folklor yang dilagukan. Oleh sebab itu, folklor anak jauh lebih lekat di
hati mereka, bahkan setelah menjadi orang dewasapun folklor anak itu masih
membekas (Endraswara, 2008: 60). Sejak dini anak-anak telah menjadi pendengar,
20
anak-anak (balita) usia 4-5 tahun, sudah dapat menerima dan merasakan keindahan
inti sari cerita karena kepintaran otaknya mengungguli kekuatan badannya (Gana,
1966: 53). Pada usia taman kanak-kanak (4-7 tahun) mereka sudah dapat menangkap
cerita yang dikisahkan, meskipun belum dapat membedakan khayalan dengan
kenyataan. Pada usia sekolah dasar (7-12 tahun) di samping mendengarkan, anak-
anak sudah dapat membaca. Para ahli berpendapat bahwa anak-anak usia 8-12 tahun
merupakan pengamat-pengamat yang teliti dan serius karena pandangan mereka yang
realistis terhadap dunia, serta pandangan mereka yang serius terhadap segala sesuatu
yang terjadi di sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan folklor anak yang berupa kisah atau cerita, Davis
(dalam Endraswara, 2008:62) mengemukakan bahwa cerita anak itu bersifat:
1. Tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam bentuk
mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang romantis.
2. Idealistis, yaitu yang pantas dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan
yang terbaik yang diambilkan dari zaman dahulu dan karya penulis terbaik pada
masa kini.
3. Populer, yaitu bersifat hiburan, yang menyenangkan anak-anak
4. Teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan dan
arahan orang-orang dewasaserta penulisannya dikerjakan oleh orang-orang
dewasa pula.
2.1.2.2 Nilai Luhur Folklor Anak
21
Pribadi anak adalah polos. Maksudnya seperti kertas putih, dapat dicoret
apapun. Jiwa yang masih bersih ini dapat diisi dengan cerita apa saja. Berkenaan
dengan hal ini, dalam cerita anak-anak sebetulnya terkandung nilai-nilai luhur,
terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Dongeng, misalnya, dapat dijadikan
sarana pendukung pendidikan untuk membentuk kepribadian yang berjiwa teladan.
Cerita atau bacaan merupakan sumber penting yang membukakan kemungkinan-
kemungkinan perkembangan jiwa. Figur-figur andalan anak dalam folklor akan
diteladani dalam sikap hidupnya.
Anak memiliki kebebasan jiwa. Anak juga kaya akan alternatif. Namun, perlu
diketahui bahwa anak dibesarkan dan belajar tidak dalam kevakuman budaya
(Edwards, 2004:89). Budaya yang dimaksud adalah berbagai adat kebiasaan, perilaku
verbal dan non verbal, dan lain-lain, sebagaimana yang didemonstrasikan secara
konkret oleh dan di lingkungan keluarganya. Budaya semacam ini hampir seluruhnya
terangkum dalam kandungan folklor. Setiap folklor merupakan refleksi pengalaman
yang berharga bagi perkembangan budaya anak. Oleh sebab itu folklor tersebut jika
diberdayakan akan mempengaruhi perjalanan dan perkembangan kejiwaan anak
selanjutnya. Meskipun seorang anak belum dapat membaca, tetapi sudah dapat
menerima rangsangan suara dan gerak, maka lewat media suara dan gerak inilah nilai
dan kenikmatan keindahan diberikan. Singkatnya, sastra yang diperkenalkan kepada
anak adalah sastra yang bermediakan suara dan diperkuat dengan gerakan-gerakan
anggota badan yang mendukung. Jika puisi yang diberikan kepada anak, maka puisi
itu adalah puisi-puisi yang dilagukan, puisi lagu, dan jika cerita fiksi yang diberikan
22
(setelah anak mampu memahami), maka cerita anak itu adalah cerita yang dikisahkan
secara lisan atau dibacakan dari buku.
Hal tersebut menandai bahwa juru dongeng, pelantun tembang, juru kisah,
dan penutur amat penting bagi jiwa anak. Kemampuan atraktif mereka dibutuhkan
dalam rangka mengorganisasi kelenturan jiwa anak. Dalam kaitan ini, puisi anak
yang dilagukan, tembang dolanan anak, atau nyanyian yang biasa didendangkan saat
menimang, meninabobo (lullaby), dipandang lebih komunikatif dalam jiwa anak.
Anak lebih mudah menerima pesan lewat lagu yang didendangkan, apalagi disertai
mimik dan atraksi.
2.1.3 Masyarakat Batak Toba
Sebagai satu kesatuan etnik, MBT mendiami suatu daerah kebudayaan
(culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Luas
daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km2. Umumnya tanah kawasan ini
terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah
berada pada 20- 30 Lintang Utara dan 980 – 99,50 Bujur Timur. Luas daratan Provinsi
Sumatera Utara 71.680 km2. Sumatera Utara dibagi menjadi 26 kabupaten, 8 kota
(dahulu kotamadya), 325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan/desa. Populasi penduduk
diperkirakan 12.985.075 (tahun 2010), dengan kepadatan 177, 9/km kuaderat terdiri
dari berbagai kelompok etnis. Batak (41, 95%), Jawa (32, 62%), Nias (6, 36%),
Melayu (4, 92%), Tionghoa (3, 07%), Minangkabau (2, 66%), Banjar (0, 97%), lain-
lain (7, 45%) (Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, 2010)
Wilayah Batak Toba berada di sekeliling danau Toba, Sumatera Utara.
Sekarang ini wilayah Batak Toba meliputi: Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten
23
Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun
batas-batas wilayah Batak Toba adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten
Mandailing Natal.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Tapanuli
Tengah.
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan (Lumbantoruan, 2012:1).
MBT terdiri dari banyak marga. Marga-marga tersebut tersebar di seluruh
wilayah Batak Toba, dan selain itu telah banyak berada di luar wilayah Batak Toba.
Pada umumnya MBT hidup dari pertanian, dan mereka dikenal sebagai pekerja keras
dan pantang menyerah.
MBT terkenal sebagai pemegang teguh adat yang merupakan warisan nenek
moyang. Struktur kekerabatan serta kehidupan masyarakat diatur dalam falsafah
hidupnya yang disebut dalihan natolu. Dalihan natolu terdiri dari: hula-hula yaitu
kelompok pemberi mempelai wanita, dongan tubu yaitu kerabat atau teman semarga,
dan boru yaitu kelompok penerima mempelai wanita.
Pada umumnya MBT adalah penganut agama Kristen (Protestan dan Katolik)
diperkirakan sekitar 95%, sedangkan 5% lainnya adalah penganut agama Islam dan
penganut kepercayaan tradisional. Penganut kepercayaan tradisional yang dimaksud
adalah: parbaringin, parmalim, dan golongan si Raja Batak (Lumbantoruan, 2012:
4).
2.1.4 Permainan Tradisional Anak Pada Masyarakat Batak Toba
24
Perkembangan industri permainan bagi anak-anak yang sudah berbalutkan
tehnologi mengalahkan trend permainan tradisional. Tak kala sudah sangat jarang
sekali terlihat anak-anak di sekitar kita yang masih bertahan dengan permainan
tradisional. Khususnya bagi orangtua, saat ini permainan itu sudah menjadi memori
yang hanya bisa dikenang namun bukan untuk diterapkan lagi untuk anak-anak.
Kalau dibandingkan dengan kondisi tempo dulu interaksi sosial bersama anak
tercipta pada saat bermain dengan ragam permainan tradisional anak. Permainan
tradisional anak pada MBT terdiri dari permainan yang menggunakan alat,
permainan yang tidak menggunakan alat, dan permainan yang menggunakan
nyanyian atau lagu.
2.1.4.1 Permainan yang Menggunakan Alat
Permainan yang menggunakan alat adalah permainan yang menggunakan alat
ketika bermain. Contoh permainan tradisional anak pada MBT yang menggunakan
alat adalah sebagai berikut:
1. Marsitengka (marsitekka)
Maristekka merupakan salah satu permainan tradisional anak-anak yang
sangat digemari. Permainan ini biasanya dilakukan di sekolah dan di depan rumah-
rumah masyarakat Batak Toba. Permainan ini biasanya dilakukan oleh 2 orang anak.
Caranya dengan membuat beberapa kotak persegi empat yang digariskan di tanah
dengan menggunakan kayu atau kapur putih jika area permainannya berlantai semen.
Permainan ini menggunakan alat seperti batu yang dilemparkan ke salah satu kotak,
ketika berlomba dengan melompat-lompat di dalam kotak tersebut dengan aturan
25
kaki peserta tidak boleh mengenai tepi garis kotak tersebut dan melangkahi batu yang
disebut "umpan" yang harus di ambil si peserta pada saat memutar dari ujung kotak.
Gambar 2.1: Permainan marsitengka (marsitekka)
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
2. Pat ni Gajah - Lomba Tempurung KelapaPermainan ini memakai potongan tempurung kelapa yang sudah kering
dengan bantuan tali yang diikatkan ke lubang tempurung kelapa serta saling
berhubungan. Permainan ini memerlukan kekuatan tenaga yang kuat karena harus
berlari di atas kedua tempurung yang diikatkan tadi. Biasanya permainan ini
dilakukan beberapa orang dan sering peserta berjatuhan dan putus talinya.
Gambar 2.2: Permainan pat ni Gajah
26
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
3. Marjalengkat (marjalekkat)
Dulu, marjalengkat ini sering dilakukan sebagai ajang adu ketangkasan yang
berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan berlari dengan memakai alat bantu
dua tongkat. Biasanya tongkat tersebut terbuat dari batang pohon bambu. Dan jenis
permainan ini dilakukan pada siang hari. Keseimbangan tubuh sangat diperlukan
karena pada marjalengkat ini kedua kaki tidak boleh menginjak tanah. Bagian tubuh
hanya dipikul oleh alat bantu dua buah tongkat dan harus bisa berlari melintasi badan
jalan dan bahkan sering dilakukan melintasi sungai.
Gambar 2.3: Permainan marjalengkat (marjalekkat)
27
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
4.Marultop ( Bambu Tembak)
Marultop merupakan permainan yang menggunakan alat yang terbuat dari
bambu dan pelurunya terbuat dari biji atau buah pohon atau dari gulungan kertas.
Caranya, kertas di basahi air, lalu di dimasukkan ke lubang laras sampai padat lalu
disodok. Suara letusan dari laras senapan ini tidak kalah dengan senjata mainan yang
banyak dijual di toko-toko mainan anak. Bahkan, suaranya tidak membuat bising dan
tidak mengejutkan siapa saja yang mendengarnya. Sejumlah anak mengaku, jika
terkena sasaran senapan bambu, tidak sakit.
Gambar 2.4: Marultop (Bambu Tembak)
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
2.1.4.2 Permainan yang Tidak Menggunakan Alat
Permainan yang tidak menggunakan alat adalah permainan yang tidak
menggunakan alat ketika bermain. Contoh permainan yang tidak menggunakan alat
pada MBT adalah:
1. Margala
Permainan margala adalah permainan yang mengandalkan kecepatan kaki
dan pikiran untuk mengatur strategi mengalahkan lawan.
28
Gambar 2.5: Permainan Margala
Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
2.1.4.3 Permainan yang Menggunakan Nyanyian
Permainan yang menggunakan nyanyian adalah permainan yang
menggunakan nyanyian ketika bermain. Contoh permainan yang menggunakan
nyanyian dalam MBT adalah: sampele sampele, jambatan Tapanuli, kacang koring,
sada dua tolu, dan lain-lain. Permainan yang menggunakan nyanyian ini akan
dibahas lebih jauh pada bab empat.
2.1.5 Sastra Lisan Batak Toba
Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke
mulut secara turun temurun (Endaswara, 2008: 151) dan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa
penciptanya.
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik.
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.
29
5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.
6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.
Oleh karena itu sebuah sastra lisan yang penyebarannya melalui mulut ke
mulut dapat dikatakan tradisi lisan. Tradisi lisan mempunyai fungsi sosial atau
manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.
Perihal sastra lisan Batak Toba, seorang ahli sastra Batak berkebangsaan
Jerman bernama Profesor Uli Kozok (dalam Lumbantoruan, 2012:6) mengatakan
bahwa “sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam
bentuk fable, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-torhanan dan turi-
turian, huling-hulingan semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan secara lisan
dari generasi ke generasi”. Walaupun orang Batak sudah berabad-abad memiliki
tulisan tersendiri mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan
sehari-hari. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang Batak menggunakan
tulisannya hanya untuk tiga tujuan yaitu: (1) ilmu kedukunan (hadatuon), (2) surat-
menyurat (termasuk surat ancaman), dan (3) ratapan (hanya di Karo, Simalungun,
dan Angkola Mandailing).
Sastra lisan Batak Toba yang merupakan warisan leluhur MBT masih dapat
disaksikan hingga saat ini. Sastra lisan seperti tarombo, umpasa, umpama, hata adat,
turi-turian, andung/andung-andung, huling-hulingan, ende-ende bahkan tonggo-
tonggo masih bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan
suatu keunggulan MBT yang mampu meneruskan tradisi lisannya dari generasi ke
generasi hingga sekarang ini.
Masyarakat Batak Toba (MBT) memiliki sebuah tradisi yang unik dalam
kehidupannya, yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi tersebut adalah
30
nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat anak-anak merupakan salah satu tradisi lisan MBT
yang hampir hilang dan pupus ditelan zaman. Untuk itu perlu dilakukan dokumentasi
dan fungsionalisme yang berkelanjutan terhadap tradisi lisan ini.
2.1.6 Nyanyian Rakyat (folksong)
Nyanyian rakyat disebut juga puisi oral. Dikatakan puisi oral karena pencipta,
penyebaran, dan penerimaan lagu dilakukan secara lisan. Dalam hal ini,
Nurgiyantoro (dalam Endraswara, 2008: 65) menyatakan bahwa syair lagu atau
tembang tidak lain adalah puisi. Tembang atau nyanyian dapat pula disebut sebagai
puisi yang dilagukan, atau puisi lagu. Sebagai sebuah karya seni, puisi, termasuk
puisi anak, mengandung berbagai unsur keindahan, khususnya keindahan yang
dicapai lewat bentuk-bentuk kebahasaan.
Nyanyian rakyat merupakan salah satu sumber dan media dalam
mengaktualisasikan diri sebagai perwujudan dan pancaran dari sifat manusia yang
senang berkesenian dan bermain. Selaras dengan pandangan Brunvand (dalam
Danandjaya, 1994:141) bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor
yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota
kolektif tertentu berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.
Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang
sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa
teks nyanyian rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan
nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena sifat dari nyanyian
rakyat yang mudah berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya. Sifat tidak kaku ini
tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian lainnya.
31
Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu masyarakat dari pada
lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf
maupun buta huruf, kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian rakyat
pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat juga beraneka
ragam, yakni dari yang paling sederhana sampai yang cukup rumit. Penyebarannya
melahirkan tradisi lisan menyebabkan nyanyian rakyat cenderung bertahan sangat
lama dan memiliki banyak varian-varian.
Nyanyian rakyat memiliki fungsi sebagai:
1. Pelipur lara, nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi permainan anak-anak,
dan nyanyian “Nina Bobo”.
2. Pembangkit semangat, seperti nyanyian kerja ”Holopis Kuntul Baris”, nyanyian
untuk baris-berbaris, perjuangan dan sebagainya.
3. Memelihara sejarah setempat, dan klen. Di Nias ada nyanyian rakyat yang
disebut Hoho, yang dipergunakan untuk memelihara silsilah klen besar
4. Protes sosial, mengenai ketidakadilan dalam masyarakat, negara bahkan dunia.
Menurut Brunvand, nyanyian rakyat dapat digolongkan dalam 3 jenis yaitu:
a. Nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan
lagunya memegang peranan yang sama penting. Jenis nyanyian rakyat ini dibagi
menjadi: (1). Nyanyian kelonan (lullaby); (2). Nyanyian kerja (working song).
Nyanyian ini bersifat menggugah semangat kerja karena bekerja mempunyai
tujuan untuk meminang kekasih pujaannya. (3). Nyanyian permainan (play song)
b. Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yakni nyanyian rakyat yang teksnya bersifat
liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonim itu,
tanpa menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Jenis dari nyanyian ini
32
yaitu: (1). Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, yakni nyanyian-nyanyian
yang liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang
bersambung. (2). Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni
nyanyian rakyat yang menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Uraian
lebih terperinci mengenai hal ini yaitu sebagai berikut: a) Nyanyian rakyat yang
bersifat kerohanian dan keagamaan lainnya. b) Nyanyian rakyat yang memberi
nasehat untuk berbuat baik. c) Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan
pernikahan.
c. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative songs).
Nyanyian rakyat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Masyarakat
adalah sekelompok orang yang mempunyai kebudayaan yang sama atau
setidaknya mempunyai sebuah kebudayaan bersama yang dapat dibedakan dari
yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Mereka tinggal satu daerah wilayah
tertentu, mempunyai perasaan akan adanya persatuan akan anggota-anggotanya
dan menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dengan yang
lainnya.
2.1.7 Nyanyian Rakyat Anak-Anak pada Masyarakat Batak Toba
Pada MBT terdapat dua jenis nyanyian anak yaitu nyanyian menidurkan anak
dan nyanyian permainan anak. Nyanyian menidurkan anak disebut ende mandideng
sedangkan nyanyian permainan anak disebut ende parmeaman.
a. Nyanyian Menidurkan Anak (Ende Mandideng)
Nyanyian menidurkan anak adalah nyanyian yang dinyanyikan untuk
menidurkan anak. Pada MBT nyanyian ini tidak hanya dinyanyikan oleh seorang ibu
kepada anaknya, tetapi juga bisa dinyanyikan oleh seorang anak laki-laki atau anak
33
perempuan kepada adiknya sebagai nyanyian pengantar tidur. Contoh nyanyian
menidurkan anak pada MBT adalah dideng dideng.
Dideng dideng
Molo huingot i sude
loja ni dainang i
marmudu au sian na metmet
tu na balga
Diabing au diompa au
asa sonang modom au
dideng dideng didok muse
O hasian…….
Artinya:
Jika kuingat itu semua
lelahnya ibuku
merawat aku dari kecil
hingga besar
dipangku aku, digendong aku
agar tenang aku tidur
dideng –dideng disebut lagi
oh sayang….
b. Nyanyian Permainan Anak (Ende Parmeaman)
Nyanyian permainan anak (ende parmeaman) adalah nyanyian yang
34
dinyanyikan anak-anak pada saat bermain. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan secara
kolektif oleh anak-anak dalam jumlah yang besar, di luar rumah atau di pekarangan
yang luas. Contoh nyanyian permainan anak pada MBT adalah: Sampele sampele,
Jambatan Tapanuli, Kacang koring, Sada dua tolu, dan sebagainya.
1. Teks nyanyian permainan Sampele sampele:
Sampele sampele si ria ria
mangangkat jarum bosi
tongon tu bariba
tungkot jom Amani Mallotom
na bibi na malamun
tampuk gaol na tata
angginta menteng enteng
ibotota martata
talu au marjuji
talu sagetep
ise manaluhon
siganjang mise
Artinya:
Sampele sampele kumpul bersama
melompat jarum besi
tepat ke seberang
tongkat jam bapaknya si Mallotom
yang mentah yang matang
petik pisang yang masih mengkal
adik kita terkekeh-kekeh
saudara perempuan kita tertawa-tawa
35
kalah aku berjudi
kalah serupiah
siapa mengalahkan
si panjang kumis
2. Teks nyanyian permainan Jambatan Tapanuli:
Jambatan Tapanuli
ganjang jala na uli
manuruk ma hamu sude
tinangkup ma parpudi
Ole ole
langkat ni tobu ole
molo poltak bulan i
mangalap boru ale
Boru aha ale
boru ni Toba ale
sian dia ale
sian Muara ale
Artinya:
Jembatan Tapanuli
panjang dan cantik
merunduklah kalian semua
ditangkaplah yang terakhir
Ole ole
kulitnya tebu ole
kalau terang bulan
meminang gadis ale
36
boru apa ale
boru dari Toba ale
dari mana ale
dari Muara ale
3. Teks nyanyian permainan Kacang koring
Kacang koring
sibuat na otik
Artinya:
Kacang kering
siambil yang sedikit
4. Teks nyanyian permainan Sada dua tolu
Sada dua tolu
sitambal nabalau
pulik hamu na tolu
holan ho do na umbau
Artinya:
Satu dua tiga
si Tambal yang biru
kecuali kalian bertiga
hanya kamu yang paling bau
Sebagaimana ciri-ciri folklor pada umumnya (Danandjaja, 1991:3-5), maka
nyanyian anak MBT memiliki tujuh ciri yaitu:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan
dari mulut ke mulut. Dalam proses ini enkulturasi kebudayaan dilakukan dengan
37
alamiah, dan tidak memiliki jadwal tertentu yang ketat, disesuaikan dengan pola
kehidupan sehari-hari MBT.
2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Bentuk yang tetap atau standar ini menjadi norma atau aturan
umum dalam menyanyikannya, tidak boleh diubah-ubah dengan sekehendak hati
penyanyinya, melainkan mengikuti ketetapan yang telah disetujui secara kolektif.
Nyanyian ini juga disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup
lama (paling sedikit dua generasi). Oleh karena proses yang demikian, biasanya
nyanyian ini sangat fungsional dalam konteks sosio budaya masyarakat.
3. Nyanyian anak ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda.
Meskipun pada umumnya memiliki bentuk yang tetap dan standar, namun ada
pula nyanyian anak memiliki versi dan variasi yang berbeda. Hal ini disebabkan
oleh pengembangan nyanyian anak ini oleh masing-masing pencipta atau
penyanyi, dan juga sebagai dampak dari enkulturasinya yang dilakukan secara
lisan, sehingga akurasi nada ataupun melodi tidak diutamakan.
4. Nyanyian anak bersifat anonim, artinya nama penciptanya sudah tidak diketahui
lagi. Hal ini disebabkan oleh karena nyanyian ini bagian dari tradisi yang usianya
relatif lama, dam selain itu nyanyian anak bukan bagian dari kebudayaan populer
yang memerlukan pencipta dan royalti, melainkan sebagai bagian dari kehidupan
kelompok yang lebih mengutamakan fungsi sosial.
5. Nyanyian anak mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Inilah
yang menjadi ciri utama bahwa nyanyian anak sangat fungsional dalam kehidupan
masyarakat. Di antara fungsi sosio budayanya adalah untuk menghibur anak.
Selain itu untuk sarana pembelajaran nilai-nilai kehidupan kelompoknya.
38
Nyanyian ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan peran keluarga, baik
keluarga inti, atau yang lebih luas struktur MBT. Nyanyian anak juga berfungsi
sebagai sarana kontinuitas kebudayaan Batak Toba. Nyanyian ini juga memiliki
fungsi untuk kesehatan fisik dan rohani, serta berbagai fungsi lainnya.
6. Nyanyian anak adalah milik bersama dari suatu kolektif. Nyanyian anak ini
dimiliki bersama, bukan dimiliki secara individu. Dalam hal ini nyanyian anak
Batak Toba seperti diuraikan di atas adalah milik MBT. Oleh karena itu nyanyian
ini termasuk kepada milik dan hak intelektual MBT, secara keseluruhan, bukan
saja yang tinggal di desa tetapi juga di kota, bukan saja yang tinggal di kawasan
budaya Batak Toba, tetapi juga mereka yang merantau ke daerah lainnya.
7. Nyanyian anak umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa nyanyian anak
merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Dari ciri-ciri nyanyian anak di atas, maka MBT belajar nyanyian anak adalah
secara lisan dari mulut ke mulut. Seorang ibu ataupun nenek, menggendong anaknya
sambil menyanyikan dideng dideng, membuai dan menepuk secara perlahan-lahan,
nyanyian dikumandangkan terus menerus hingga si anak tidur. Tentu anak gadis si
ibu tersebut mendengarkan nyanyian yang didendangkan si ibu. Dengan terbiasa
melihat dan mendengarkan nyanyian tadi, kemudian ia menghapal dan mencoba,
lama kelamaan dapat menirunya. Sang gadis tadi dapat menidurkan adiknya melalui
nyanyian yang baru dipelajarinya.. Begitu juga nyanyian permainan anak, anak-anak
kecil melihat dan mendengarkan saudara maupun teman-teman mereka yang lebih
besar bernyanyi sambil bermain. Dengan terbiasa melihat dan mendengarkan
nyanyian permainan tersebut, mereka menghapal dan mencoba, lama kelamaan dapat
39
memainkannya. Begitulah proses belajar mendidengkan anak dan menyanyikan
nyanyian permainan anak pada MBT Sumatera Utara.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Fungsionalisme Folklor
Dalam menganalisis fungsi nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, penulis
akan menggunakan teori fungsionalisme folklor. Teori fungsionalisme folklor terbagi
dua yaitu:
2.2.1.1 Fungsionalisme Murni
Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog
sosial. Dia tertarik pada dongeng masyarakat primitif. Menurut dia, dongeng dapat
dijadikan sebagai alat pendidikan dan kontrol sosial. Dongeng suci dianggap sebagai
hal sakral dan benar-benar terjadi. Karenanya di wilayah Trobriand, ada dongeng
yang berfungsi sebagai pedoman keagamaan , kesusilaan, dan aktifitas masyarakat.
Fungsi semacam ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi
pemenuhan kebutuhan naluri manusia.
Pada dasarnya folklor akan berfungi memantapkan identitas serta
meningkatkan integrasi sosial, dan secara simbolis mampu mempengaruhi
masyarakat. Bahkan, kadang-kadang folklor justru lebih kuat pengaruhnya dibanding
sastra modern. Folklor akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan tata nilai yang
berupa sikap dan perilaku.
Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b:280) tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya.
Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan
40
yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak
menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari
folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor di suatu tempat kurang berfungsi, di
tempat lain justru memegang peranan penting. Prop (1975:21) menyatakan:
“Function is understood as an act of character, defined from point of view of its
significance for the course of the action: Dalam konteks ini, fungsi merupakan
bentuk “ketergantungan” secara utuh pada sebuah sistem budaya. Dalam kaitan ini,
fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).
Dalam menganalisis fungsi nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yaitu
nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak akan digunakan teori
fungsionalisme folklor murni yaitu bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi
pemenuhan kebutuhan naluri manusia.
Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) fungsi folklor bagi
pendukungnya adalah:
1. Sebagai sistem proyeksi (projective system)
2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture)
3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device)
4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat
pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya
Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara, 2008:129-30) menambahkan
fungsi lain, yaitu:
1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif
2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang.
41
3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit
hati dan pemberian hukuman.
4. Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat
5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (fungsi rekreasi).
6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan
2.2.1.2 Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural meyakini bahwa memiliki fungsi bagi
pemenuhan keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami
sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan yang ditemukan oleh
institusi, yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Di lain
pihak, Evan Pritchard berpendapat bahwa struktur sosial adalah konfigurasi
kelompok yang mantap.
Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu sama lain saling
terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal tersebut
sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949:542) bahwa struktur sosial merupakan
bentuk “eksis” pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi
manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu
pula folklor. Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu
membentuk struktur yang unik.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek
struktural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial.
Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi
kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih
jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap
42
unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau
ditolak oleh unsur lain. Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada “pola pilihan”
yang harus diambil. Pada saat itu masyarakat akan menentukan pilihan dan
memutuskan.
2.2.2 Teori Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang
berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori semiotika,
berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara
kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi
oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan
sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.
Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tanda-tanda itu mempunyai arti
dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan struktur
tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotika ketandaan. Sebagai
ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda
dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non verbal.
Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang
ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu
dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotic (semiotics).
Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda
(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut
petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu
43
artinya. Contohnya, kata ‘ibu/ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai
arti: ‘orang yang melahirkan kita’. Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada
beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda
yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol
Ikon adalah tanda yang menunujukkan hubungan yang bersifat alamiah antara
penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya
gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret
menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunujukkan hubungan kausal (sebab-akibat)
antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin
menunujukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunujukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka). Arti
tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘Ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh
konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother.
Perancis menyebutnya la mere. Dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti
itu menunujukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling
banyak digunakan adalah simbol.
Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran
utama, yaitu Saussurean dan Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006:103),
dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat
dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai beikut :
(1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya
dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang
44
digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas,
dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
(2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh
makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda
tanpa maksud langsung, sebagai symptom, di samping sastra juga diterapkan
dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.
(3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan
sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.
Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan
digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Roland Barthes adalah
penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan
kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
penanda dan petanda di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007:82). Roland Barthes menegaskan bahwa
komponen-komponen tanda, penanda dan petanda terdapat juga pada tanda-tanda
bukan bahasa antara lain terdapat pada mite yakni keseluruhan sistem sastra dan
kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan
identitas.
45
2.2.3 Konteks
Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks,
dan konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta
kearifan lokal (Sibarani, 2012: 241-242). Teks, koteks, dan konteks merupakan tiga
bagian yang saling berhubungan sehingga pemahaman sebuah teks juga tergantung
pada ko-teks dan konteksnya, dan juga sebaliknya. Di samping menganalisis
hubungan proposisi dalam teks tradisi lisan, juga perlu menganalisis elemen koteks
dan konteksnya untuk mendapatkan makna yang sebenarnya, makna paduan kalimat
dalam wacana tradisi lisan baru dapat dipahami secara lengkap setelah dikaitkan
dengan ko-teks dan konteksnya. Teks memiliki struktur, ko-teks memiliki elemen,
dan konteks memiliki kondisi, yang formulanya dapat diungkapkan dari kajian tradisi
lisan.
Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat “tightly
formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang
mengantarkan tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi.
Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro.
Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari
sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks.
Struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks
tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan
(introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclution), yang masing-masing
saling mendukung secara koheren. Analisis teks harus mampu mengungkapkan
pesan-pesan apa yang ada dalam setiap elemen teks itu. Sedangkan struktur mikro
adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Linguistik teoretis mencakup tataran
46
bahasa seperti bunyi (fonologis), kata (morfologis), kalimat (sintaksis), wacana
(diskursus), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik), dan
bahasa kiasan figuratif. Kajian struktur mikro akan merumuskan formula berupa
kaidah bagi bahasa sehari-hari dan bahasa susastera mulai dari tataran bahasa yang
paling rendah seperti bunyi sampai tataran yang paling tinggi seperti wacana. Dalam
penelitian nyayian rakyat anak-anak pada MBT, analisis teks dilakukan dengan cara
menemukan tema maupun topik yang merupakan makna secara keseluruhan dari teks
nyanyian tersebut, mengungkapkan pesan-pesan apa yang ada dalam setiap elemen
teks nyanyian anak tersebut, serta merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa
sehari-hari dan bahasa susastera nyayian anak tersebut mulai dari tataran bahasa yang
paling rendah seperti bunyi sampai tataran yang paling tinggi seperti wacana.
Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur
paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Deskripsi
paralinguistik mencakup intonasi, aksen, jeda, dan tekanan. Peranan kajian
paralinguistik sangat penting ketika tradisi dinyayikan atau disenandungkan
sebagaimana karakteristik kebanyakan tradisi lisan. Kinetik merupakan bidang ilmu
yang mengkaji gerak isyarat. Dalam tradisi lisan, gerak isyarat sangat berperan
karena karakteristik tradisi lisan yang berupa kegiatan, peristiwa atau pertunjukan.
Dalam melakonkan tradsisi lisan, gerak isyarat itu lebih luas perannya karena
meliputi berbagai tarian atau gerakan lain yang tidak sekedar sebagai pendamping
dan pengganti teks verbal dalam komunikasi. Proksemik merupakan bidang ilmu
yang mempelajari penjagaan jarak antara pembicara dan pendengar sebelum dan
ketika sedang terjadi komunikasi. Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antar pelaku
dan antara pelaku dengan penonton akan mmemberikan kontribusi pada interpretasi
47
makna dalam tradisi lisan. Dari penjagaan jarak para pelaku dapat terlihat oposisi
binary antar pelaku, yang menggambarkan peran sebagai raja-rakyat, majikan-
pembantu, direktur-karyawan, pimpinan-bawahan, orang kaya-orang miskin, dan
sebagainya. Bentuk ko-teks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah
unsur material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur
material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat
pakaian dengan gayanya, penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan
lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsi
masing-masing. Dengan demikian , kajian semiotik terhadap unsur-unsur material
yang simbolik sebagai bagian dari ko-teks perlu dilakukan dalam memahami tradisi
lisan. Dalam penelitian nyanyian anak-anak pada MBT yang menjadi ko-teks adalah
intonasi, aksen, jeda, dan tekanan dari nyanyian anak tersebut, dan juga benda-benda
atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan tersebut.
Peranan konteks sangat penting dalam kajian tradisi lisan. Menurut Sibarani
(2012:234) dalam memahami kajian tradisi lisan ada beberapa jenis konteks yaitu
konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi yang perlu
dikaji dalam memahami makna, maksud pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada
gilirannya diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam
tradisi lisan.
Sedangkan menurut Sinar, T.S (2010: 54) sistem konteks sosial berada pada
tingkat semiotik konotatif bahasa yang terdiri dari konteks situasi, konteks budaya
dan ideologi.
Berdasarkan ketiga defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
dalam memahami konteks yaitu pada pemahaman tradisi lisan. Setiap jenis konteks
48
berbeda-beda sedangkan dalam Halliday dan Sinar dalam memahami konteks harus
dilihat 3 variabel yaitu medan (apa dan untuk apa), tenor (kepada siapa) dan mode
(bagaimana). Dimana ketiga istilah tersebut terangkum pada konteks sosial dan
konteks situasi dalam pemahaman tradisi lisan.
Dalam penelitian tradisi lisan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks
merupakan salah satu yang harus diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak
dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis tertarik dalam
mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks sosial dan konteks situasi yang
dikemukakan oleh Sibarani.
Dalam Sibarani (2012: 326) konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial
yang mempengaruhi atau menggunakan konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-
orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan komunitas
pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan
teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur, pengelola dan
penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di mana tempatnya, serta
bagaimana melakukannya.
2.2.4 Kearifan Lokal
2.2.4.1 Hakikat Pengetahuan dan Kearifan Lokal
Berbicara mengenai kearifan lokal ada tiga istilah yang digunakan yaitu
pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal (local wisdom), dan kecerdasan
setempat (local genius). Istilah pengetahuan lokal adalah segala sesuatu yang terkait
dengan bentuk – bentuk tradisional, baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya
yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (Avonina, 2006). Di pihak
lain, Sarjono (2004: 28 – 29) menyatakan pengetahuan lokal adalah pengetahuan
49
yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau
suku bangsa tertentu, yang bersifat turun-temurun dan terus berkembang sesuai
dengan perubahan lingkungan.
Sedyawati (1986: 186 – 187) membedakan dua pengertian local genius, yaitu:
(1) segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum
mendapat “pengaruh asing”; (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap,
menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing.
Sedangkan kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami
sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak
dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, dimana wisdom dipahami
sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak
atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
‘kearifan/kebijaksanaan’.
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal terdiri dari 2 kata, yaitu kearifan
(wisdom), dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan
Hasan Syadily, lokal yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan
kebjaksanaan. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa pengertian kearifan
lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat
atau lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan buadaya
50
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal.
Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang
terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah
kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong,
pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan,
kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan
penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani,
2012:133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom)
yaitu kesejahteraan dan kedamaian.
2.2.4.2 Dimensi Kearifan Lokal
Menurut Sutarto (2010: 7) kearifan lokal yang terkandung dalam produk
budaya, terkait dengan lima kegiatan kebudayaan. Pertama, sebagai bangsa yang
religious, kearifan lokal terkait dengan sikap serta perilaku dalam berkomunikasi
dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kedua, terkait dengan diri sendiri,
yakni bagaimana menata diri dan mengendalikan diri agar dapat menerima dan
diterima oleh pribadi – pribadi lain di luar diri kita. Ketiga, bagaimana bergaul atau
berkomunikasi dengan masyarakat luas karena kita menjadi bagian darinya. Dalam
hal ini kearifan lokal terkait dengan rasa keadilan, toleransi dan empati, yang
51
bermuara pada bagaimana menyenangkan perasaan orang lain agar orang lain
menerima kita sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, sikap dan
perilaku yang terkait dengan anggota keluarga dan kerabat kita. Kita harus
menghargai orang tua kita, dan kerabat kita yang lain. Kearifan lokal yang terkait
dengan etos belajar dan etos bekerja akan mengantar kita menjadi insan yang kreatif
dan produktif. Kreativitas kita bukan hanya menolong diri kita, tetapi juga menolong
orang lain. Jika kita dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat, kita akan menjadi
bagian yang berarti bagi masyarakat. Kelima, kearifan lokal yang terkait dengan
lingkungan akan membuat hidup kita aman dan nyaman karena lingkungan yang kita
jaga dan pelihara akan memberi manfaat positif kepada kehidupan kita. Lingkunagan
yang rusak akan membuat kehidupan kita rusak.
Menurut Ife (2002) kearifan lokal memiliki enam dimensi. Pertama, Dimensi
pengetahuan lokal. Setiap masyarakat dimanapun mereka berada selalu memiliki
pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal
terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis – jenis flora
dan fauna, dan kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena
masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubahan –
perubahan yang bervariasi menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan
lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal
mereka dalam menguasai alam. Kedua, Dimensi Nilai Lokal. Untuk mengatur
kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki
aturan atau nilai – nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh
anggotanya. Nilai – nilai itu biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan
TuhanNya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Nilai – nilai
52
itu memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa dating. Nilai
– nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.
Ketiga, Dimensi Keterampilan Lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat
dipergunakan sebagai kemampuan untuk bertahan hidup (survival). Keterampilan
lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam maupun
membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan
mampu memenuhi kebutuhan keluarganya masing – masing atau disebut dengan
ekonomi subsistensi. Keempat, Dimensi Sumber Daya Lokal. Sumber daya lokal
pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan
yang dapat diperbarui. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai
dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar – besar atau
dikomersilkan. Sumber daya lokal ini seperti hutan, kebun, sumber air, lahan
pertanian, dan pemukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat
kolektif. Kelima, Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal. Setiap
masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut
pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah
warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing–masing masyarakat
mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda–beda. Ada masyarakat
yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada
juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.
Keenam, Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal. Suatu masyarakat umumnya
dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap
masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya dapat dilakukan
melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing
53
anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan
fungsinya masing-masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja
bakti gotong royong.
2.3 Kajian Pustaka
Berdasarkan studi kepustakaan, ada beberapa penelitian yang relevan atau
yang mendiskusikan tentang nyanyian rakyatanak-anak pada MBT baik itu berupa
tulisan-tulisan karya ilmiah seperti artikel, jurnal, buku, skripsi, dan tesis.
Maliudin (2012) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
dalam rangka penyusunan tesis dengan judul Nyanyian Rakyat Kau-Kaudara dalam
Masyarakat Muna: Kajian Struktur Teks, Konteks, dan Fungsi serta Upaya
Pelestariannya. Pada penelitian ini nyanyian rakyat yang menjadi focus kajiannya
adalah nyanyian rakyat dalam mengiringi permainan anak.
Grace Somelok (2011) dari sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia dalam rangka penyusunan tesis dengan judul Kajian Etnografi terhadap
Makna dalam Syair Lagu pada Ritual Daur Hidup Masyarakat Masyarakat Suku
Naulu di Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah dan Model Pelestariannya.
Penelitian ini memfokuskan pada makna yang terkandung dalam syair lagu sebagai
upaya melestarikan warisan budaya daerah.
Ahmad Badrun (2003) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia
dalam rangka penyusunan disertasi dengan judul Patu Mbojo: Struktur Konteks
Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi.
Setia Dermawan Purba (2008), Jurnal Etnomusikologi Nomor 8, Tahun 4,
September 2008 ini berjudul Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Etnik Simalungun.
Jurnal ini membahas tentang nyanyian rakyat anak-anak Simalungun yang erat
54
kaitannya dengan pola pengasuhan dan pendidikan anak. Secara structural nyanyian
anak Simalungun terdiri dari unsur musik (yang di dalamnya memiliki nada, tangga
nada, pola-pola kadensa, ritmik, durasi, meter, dan meter bebas dan sejenisnya).
Arista (2012), “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Lirik Lagu Dolanan
Jawa”. Makalah ini membahas tentang makna dan nilai-nilai pendidikan karakter
yang terdapat dalam lirik lagu dolanan Jawa seperti: Gundul-Gundul Pancul,
Jamuran, Ilir-ilir, Sluku-Sluku Bathok, Padhang Bulan, dan Jaranan.
Ali Khais (2012), “Nyanyian Rakyat Kaili: Struktur, Fungsi, dan Nilai”.
Makalah ini membahas tentang struktur, fungsi, dan nilai nayanyian rakyat Kaili.
Dari analisis data yang dilakukan terhadap nyanyian rakyat Kaili, didapatkan
temuan struktur nyanyian rakyat Kaili meliputi struktur makro, super struktur, dan
struktur mikro yang merepresentasikan ideologi kultural masyarakat Kaili. Fungsi
Nyanyian Rakyat Kaili meliputi fungsi ritual, fungsi sosial, fungsi mendidik,
fungsi komunikasi dan informasi, dan fungsi hiburan. Sedangkan nilainya adalah
adalah nilai religius, nilai filsafat, nilai etika, dan nilai estetika.
Ulfa Riza Umami, Supriyadi (Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Muhammadiyah Malang). “Pemanfaatan Nilai-Nilai Didaktik Nyanyian
Permainan Anak-Anak Sapekan DiPulau Sapekan Kecamatan Sapekan Kabupaten
Sumenep. Makalah ini membahas tentang nilai-nilai didaktik dalam nyanyian
permainan anak-anak Sapekan . Terdapat nilai pendidikan sosial dan pendidikan
kepribadian. Unsur yang terkait dengan nilai pendidikan sosial yaitu kebersatuan
hidup dan adil terhadap orang lain.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti sastra lisan Nyanyian
Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Terhadap Fungsi, Makna,
Konteks dan Kearifan, adalah metode deskriptif kualitatif. Sastra lisan merupakan
fenomena humanistis sehingga perlu didekati dengan paham manusiawi pula. Metode
kualitatif menghendaki adanya pemaparan kata-kata atau kalimat dan tidak
56
menggunakan angka-angka statistik. Dalam bidang budaya, metode kualitatif dikenal
dengan metode etnografis. Artinya, pemaparan budaya rakyat dengan memperhatikan
aepek-aspek etnografis. Paham etnografis yang paling utama adalah wawancara
mendalam, pengamatan terlibat, dan dokumentasi (Endraswara, 2009:222). Fokus
utama pemakaian metode etnografis adalah pengambilan data secara holistik.
3.1 Wilayah dan Waktu Penelitian
Wilayah menyangkut masalah lokasi yang mungkin dapat terjangkau.
Wilayah akan berhubungan pula dengan setting waktu dan tempat penelitian. Dalam
hal ini telah ditentukan wilayah penelitian yaitu Desa Nagasaribu dan Desa Hutabaris
Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Jarak tempuh dari
Medan-Lintongnihuta adalah 7 jam. Kecamatan Lintongnihuta merupakan daerah
yang hampir seluruh penduduknya adalah etnis Batak Toba. Masyarakat
Lintonghihuta adalah masyarakat yang berbudaya, di wilayah ini masih dapat
ditemui tradisi-tradisi masa lalu yang hingga kini masih ada. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka masih menjalankan tradisi budaya Batak Toba dan cara hidup
tradisional yang sudah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka
walaupun tidak seluruh masyarakatnya yang masih menggunakannya.
Waktu penelitian nyanyian rakyat anak-anak ini dimulai dari bulan April
sampai Juni 2012, dalam kurun waktu tiga bulan dilakukan pengamatan secara
langsung terhadap nyanyian rakyat anak-anak di dua desa tersebut.
3.2 Penentuan Informan
Informan ada dua macam, yaitu informan kunci dan informan biasa. Informan
kunci adalah figur yang memegang peranan penting dalam sastra lisan, misalnya raja
adat, pemuka masyarakat, tokoh masyarakat, sesepuh, dan lain-lain. Dalam hal ini,
57
figur yang diwawancarai adalah figur yang dianggap masih mengerti dan memahami
nyanyian rakyat anak-anak pada MBT. Dan yang menjadi informan kunci dalam
penelitian ini adalah seorang nenek yaitu D. br Silaban (66 tahun), nenek tersebut
adalah pensiunan guru SD di Kecamatan Lintongnihuta, yang banyak memberikan
perhatian pada tradisi budaya Batak Toba termasuk nyanyian rakyat anak-anak ini.
Dulu, semasa kecil nenek tersebut merupakan pelaku nyanyian permainan anak, dan
dalam menidurkan anak-anaknya nenek tersebut juga masih mendidengkan mereka.
Sedangkan informan biasa merupakan orang biasa yang menjadi pendukung sastra
lisan, dalam hal ini yang menjadi informan biasa adalah anak-anak pelaku nyanyian
rakyat anak-anak tersebut.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pada dasarnya pengumpulan data sastra lisan dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu inventarisasi library research dan inventarisasi secara langsung di
masyarakat. Dalam hal ini judul-judul nyanyian rakyat dari berbagai sumber buku
yang terkait akan terlebih dahulu diinventarisasi, dan kemudian inventarisasi secara
langsung di MBT yang ada di Kecamatan Lintongnihuta. Data yang diperoleh masih
asli dan memerlukan ketelitian dalam transkripsi.
3.4 Teknik Analisis Data
Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam menganalisis data nyanyian anak-
anak ini adalah: Pertama, open coding, artinya membuka diri agar memperoleh
variasai data yang lengkap mengenai nyanyian anak-anak. Dalam kaitan ini proses
memerinci (breaking down), memilah (checking) mana data pendukung dan mana
yang bukan, memeriksa (examining) satu persatu secara cermat mana data yang akan
digunakan, membandingkan (comparing) antara catatan, pengamatan dan rekaman,
58
mengkonseptualisasikan (conceptualizing), dan mengkategorikan (categorizing).
Kedua, axial coding, artinya mengorganisasikan kembali data-data nyanyian anak-
anak yang telah terklasifikasi rapi, kemudian melakukan hubungan antarkategori agar
tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Hubungan kategori itu dianalisis berdasarkan
bandingan-bandingan, sehingga diperoleh kejelasan. Pada waktu analisis, selalu
berkiblat pada pendapat informan, dan tidak mendewakan teori belaka. Ketiga,
display coding, artinya menyajikan hasil kajian ke dalam beberapa tabel jika ingin
menggunakan tabel. Jika tanpa tabel, sajian langsung memaparkan kategori dan
analisis mendalam. Gambar-gambar (foto) pendukung harus komunikatif dan
melukiskan informasi lengkap.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dideskripsikan secara umum tentang data-data yang
ditemukan dan diperoleh di lapangan. Hal-hal yang akan dideskripsikan antara lain:
pertama, perihal gambaran umum wilayah penelitian yaitu Desa Nagasaribu dan
Desa Tapian Nauli Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan
(Humbahas) yang meliputi letak geografis, lingkungan budaya penelitian, yang
59
didalamnya terdapat alam fisik, alam hayati, kondisi masyarakat, dan unsur-unsur
budaya. Kedua, perihal nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang terdiri dari
nyanyian menidurkan anak, dan nyanyian permainan anak versi informan, dan versi
anak-anak di kedua desa tersebut.
4.1 Etnografis Masyarakat Batak Toba di Desa Nagasaribu dan Desa Tapian
Nauli Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan
4.1.1 Sistem Mata Pencaharian
Pada umunya pekerjaan masyarakat desa Nagasaribu dan Tapian Nauli
adalah bertani di sawah dan di ladang. Tanaman yang ditanam adalah seperti padi,
sayur-sayuran, ubi, cabai, tomat, kentang, dan lain-lain. Tanaman buah kurang cocok
tumbuh di dua desa tersebut khususnya dan kecamatan Lintongnihuta umumnya.
Seperti halnya desa-desa lain yang ada di Kecamatan Lintongnihuta, kedua desa ini
juga terkenal dengan tanaman kopinya yang biasa di sebut dengan kopi Lintong.
Hampir semua penduduk desa yang ada di kecamatan Lintongnihuta memiliki lahan
kopi masing-masing, sehingga tidak heran lagi kalau banyak penduduk masyarakat
desa Nagasaribu dan Tapian Nauli menjadi pengusaha (tokke) biji kopi. Para petani
kopi menjual biji kopi yang sudah lepas dari kulit merahnya kepada para tokke
tersebut, lalu para tokke menjemurnya, menggiling ke kilang kopi hingga lepas kulit
kuningnya, kemudian menjemurnya sampai kering lalu dijual ke Medan. Kemudian
para pengusaha di Medan mengekspornya ke luar negeri, begitulah kopi Lintong
terkenal sampai ke mancanegara. Selain sebagai petani dan tokke kopi, masyarakat
di dua desa ini juga bermata pencaharian sebagai pegawai yang terdiri dari guru
dan pegawai di kantor dinas. Dengan dimekarkannya kabupaten Humbang
Hasundutan dari Kabupaten Tapanuli Utara 11 tahun lalu, maka penduduk di dua
60
desa ini sudah banyak yang bekerja di kantor-kantor dinas Humbang Hasundutan.
Peternakan juga merupakan salah satu mata pencaharian di dua desa ini antara lain,
peternakan kerbau, babi, ayam dan bebek. Desa Nagasaribu dan Tapian Nauli
memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa tertutup yang membentuk
kelompok- kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok ini adalah
kumpulan marga/klan atau masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan
na tolu. Desa-desa tertutup ini disebut huta. Adapun nama-nama huta di desa
Nagasaribu adalah Nababan Dolok, Nagasaribu 1, Nagasaribu 2, Nagasaribu 3,
Tinambunan, sedangkan nama-nama huta di desa Tapian nauli adalah Lumban
Siantar, Hutabaris, Hutaimbaru, Sosor Mual. Huta tersebut biasanya dekat dengan
bahal yang biasanya terdapat pohon baringin (hariara).
4.1.2 Agama dan Kepercayaan
Agama yang paling dominan di desa Nagasaribu dan Tapian Nauli adalah
Kristen Protestan dan Katolik. Terdapat banyak gereja di desa ini yang menandakan
bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang religius.
Dahulu kepercayaan yang dianut oleh MBT adalah kepercayaan terhadap
Mula Jadi Na Bolon yang dipercayai oleh orang Batak sebagai dewa tertinggi yaitu
pencipta tiga dunia: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan
dunia bawah (banua toru), dan manusia dipercaya hidup di banua tonga, tidak
terpisah dari alam. Tiga golongan fungsional dalam MBT disebut Dalihan Na Tolu
yang dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia itu. Kehidupan sehari-hari
MBT di desa Nagasaribu ditopang oleh prinsip Dalihan Na Tolu. Salah satu contoh
penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini adalah dalam penggunaan ulos yang erat
kaitannya dengan kehidupan adat orang Batak Toba. Dalam MBT pemberian ulos
61
ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan
rohani dan hanya digunakan dalam upacara adat.
4.1.3 Bahasa
Bahasa merupakan alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi, dengan tujuan menyampaikan maksud hati kepada
orang lain atau lawan bicara baik lewat tulisan, lisan, maupun gerakan isyarat. Desa
Nagasaribu dan Tapian Nauli merupakan daerah di Kabupaten Humbang
Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas suku Batak Toba. Bahasa Batak
Toba merupakan bahasa asli masyarakat di dua desa ini. Pada umumnya
masyarakat Nagasaribu dan Tapian Nauli menggunakan Bahasa Batak Toba
sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
4.1.4 Kesenian
Seni pada MBT mencakup, seni sastra, seni tari, seni ukir , seni musik dan
seni kerajinan tangan.
a. Seni Sastra
Seni sastra pada MBT merupakan ekspresi dari mitologi-mitologi, pelipur
lara, norma-norma sosial, dan lainnya, yang muncul sesuai dengan alam pikiran
manusianya yang menjadi bahan teladan dalam kehidupan. Seni sastra Batak Toba
itu adalah sebagai berikut: (a) tabas-tabas, yaitu semacam doa yang diucapkan oleh
datu atau dukun; (b) tudosan, yaitu perumpamaan suatu benda terhadap kehidupan,
dengan membandingkan pada perasaan hati; (c) turi-turian, yaitu cerita yang
berbentuk legenda, misalnya legenda Siboru Deak Parujar, Tunggal Panaluan, dan
lainnya; (d) umpama, yaitu sejenis pantun yang memiliki nilai-nilai dan norma-
62
norma sosial dan keteladanan; (e) umpasa yaitu penyajian sastra yang bermakna
sebagai ucapan syukur atau berkat, dan mengandung unsur pantun; (f) andung-
andung yaitu penyajian untuk meratapi jenazah orang yang dikasihi; (g) huling-
hulingan atau hutinsa yaitu penyajian sastra yang berbentuk teka-teki, jika ia
berbentuk teka-teki cerita maka disebut dengan torhan-torhanan.
b. Seni Tari
Seni tari pada MBT adalah tortor. Tortor dalam MBT merupakan gambaran
dari kehidupan, yaitu tentang tubuh manusia, norma-norma, penyembahan, dan
lainnya. M. Hutasoit (1976:15-22) dalam bukunya yang bertajuk Gondang dohot
Tortor Batak, membagi tortor ke dalam dua bagian besar: (1) Tortor Hatopan, yaitu
tortor umum yang ditandai dengan karakteristik semua gerakan penari adalah sama.
Gerakan tortor ini telah diketahui orang ramai. Tortor Hatopan ini dibagi dua: (a)
Tortor Hatopan Baoa (tortor yang dilakukan oleh kaum pria saja), (b) Tortor
Hatopan Boru (tortor yang dilakukan oleh kaum wanita saja); (2) Tortor
Hapunjungan, yaitu tortor khusus yang tidak semua orang bebas menarikannya,
karena sudah ditentukan kelas-kelasnya. Misalnya Tortor Naposo adalah khusus
untuk muda-mudi, Tortor Raja khusus untuk raja atau orang yang diagungkan.
Tortor Hapunjungan terbagi dua: (a) Tortor Hapunjungan Baoa adalah jenis terian
lelaki, yang terdiri dari Tortor: Naposo, Nasiar-siaran, Situan Natorop, mejan, raja,
dalan, sibaran, joa-joa, monsak, dan hoda-hoda; (b) Tortor Hapunjungan Boru
adalah jenis tarian wanita, yang terdiri dari Tortor: naposo, soripada, siboru,
sibaran, haro-haro, siar-siaran, sihutur sanggul, tumba, dan lainnya.
c. Seni Ukir
Seni ukir pada MBT adalah gorga. B. Sirait mengemukakan bahwa pada
63
umumnya gorga yang terdapat di Batak Toba adalah mengandung nilai-nilai spiritual
dan estetika tinggi. Jenis gorga dibagi dalam dua bagian besar yang dibedakan
dengan warnanya: (a) gorga silinggom adalah gorga yang didominasi warna hitam,
(b) gorga sipalang atau sigara ni api didominasi warna merah. Menurut garisnya
gorga terdiri dari: (a) si tompi yaitu lambang ikatan kekeluargaan, (b) dalihan na tolu
melambangkan kekerabatan, (c) simeol-meol melambangkan kegembiraan, (d)
simeol-meol masialoan sama seperti simeol-meol cuma motifnya berhadap-hadapan,
(e) si tagan lambang peringatan agar tidak sombong dan congkak, (f) si jonggi
lambang keperkasaan, (g) si lintong lambang kesaktian, (h) simarogung-ogung
lambang kejayaan dan kemakmuran, (i) ipon-ipon lambang kemajuan, (i) iran-iran
lambang kecantikan, (j) hariara sundung di langit melambangkan terciptanya
manusia, (k) hoda-hoda lambang kebesaran, (l) simataniari lambang kekuatan hidup,
(m) desa na ualu adalah melambangkan perbintangan untuk menentukan saat-saat
baik bagi manusia untuk bertani, menangkap ikan, dan lainnya, (n) janggar atau
jorngom melambangkan penjaga keamanan, (o) gaja dompak melambangkan
kebenaran, (p) ulu paung berupa raksasa setengah manuasia dan setengah hewan
melambangkan keperkasaan untuk menjaga setan-setan dari luar kampung, (q) singa-
singa melambangkan keadilan hukum dan kebenaran, (r) boraspati (cecak)
melambangkan kekuatan pelindung manusia dari bahaya dan memebri tuah serta
harta kekayaan kepada manusia; (s) susu (payudara wanita) melambangkan
kesuburan (B. Sirait 1980:18-36).
d. Seni Musik
Seni musik dalam budaya Batak Toba terdiri dari musik vokal dan
instrumental. Musik vokal yang disebut ende dan musik instrumental yang disebut
64
gondang. Ende dapat dibagi menurut fungsi dan tujuan lagu tersebut. Jenis-jenis ende
adalah ende: (a) mandideng, nyanyian untuk menidurkan anak, (b) sipaingot
nyanyian yang isi teksnya berupa pesan kepada anak perempuan yang akan menikah,
(c) pargaulan, nyanyian solo khorus oleh kaum muda pada waktu senggang, (d)
tumba, nyanyian khusus untuk iringan tari tumba, biasanya saat terang bulan, (e)
sibaran, nyanyian yang menceritakan penderitaan yang berkepanjangan yang
menimpa seseorang atau keluarga, (f) pasu-pasuan, nyanyian yang berkenaan dengan
pemberkatan, yang bersiri lirik-lirik tentang kekuasaan Tuhan, biasanya dinyanyikan
oleh orang tua kepada anaknya, (g) hata yaitu nyanyian yang dinyanyikan dengan
ritme yang “monoton” seperti metric speech atau rap dengan lirik berupa pantuk
dengan persajakan AABB dengan memiliki jumlah suku kata yang relatif sama setiap
barisnya. Biasanya nyanyian ini dilakukan sekelompok anak yang dipimpin oleh
seorang yang lebih dewasa atau orang tua, (h) andung, yaitu nyanyian yang
menceritakan riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, baik pada waktu di
depan jenazah ataupun setelah dikubur. Nyanyian ini secara spontanitas dengan garis
melodi yang bebas (Ben Pasaribu 1986:27-28).
Gambar 4.1: Peta wilayah Humbang Hasundutan
65
Sumber: http://www.humbanghasundutankab.go.id/, diunggah 27 Mei 2014
4.2 Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba
4.2.1 Nyanyian Menidurkan Anak
Dalam menidurkan anak di kalangan MBT terdapat sebuah tradisi yakni
dideng. Tradisi ini masih ada sampai sekarang walaupun keberadaan tradisi ini
sudah di ambang kepunahan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni
perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga orang lebih suka
memperdengarkan anak-anak dengan berbagai jenis musik melalui alat-alat
elektronik, kesibukan orang tua dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
sehingga anak kebanyakan dititipkan di tempat penitipan anak, dan kurangnya
pengetahuan orang tua tentang tradisi dideng tersebut.
a. Sejarah dideng
Dideng merupakan nyanyian pengantar tidur yang biasa didendangkan oleh
orang tua kepada anaknya, mulai dari anak lahir sampai berusia 3 tahun (usia dini).
Dideng ini berisikan pesan-pesan, petuah-petuah, dan harapan-harapan orang tua
66
terhadap anaknya. Dulu, biasanya sebelum melakukan kegiatan ataupun aktivitas-
aktivitas lain para ibu terlebih dahulu mengurus anak-anaknya, mulai dari
memandikan, memakaikan pakaian, memberi makan sampai menidurkan anaknya.
Dalam menidurkan anak inilah biasanya para ibu bersenandung dengan harapan agar
anaknya segera terlelap dalam tidur (Gambar 4.2). Setelah anaknya tidur barulah ibu
mulai melakukan aktivitas hariannya mulai dari memberesi rumah, memasak,
mencuci piring, mencuci pakaian, dan lain-lain. Jika si ibu melakukan aktivitas di
luar rumah, misalnya ke ladang maupun ke sawah, maka si anak akan turut dibawa,
karena pada umumnya si anak masih dalam menyusui sehingga harus berada di dekat
ibunya setiap saat. Dan sebelum memulai aktivitasnya di ladang maupun di sawah si
anak akan terlebih dahulu di dideng agar si anak terlelap dalam tidurnya, biasanya si
anak ditidurkan di sebuah gubuk agar terhindar dari ancaman binatang liar.
Kemudian, di sela-sela pekerjaannya apabila sang anak terbangun, menangis, dan
merengek maka sang ibu dengan segera meninggalkan pekerjaannya dan kembali
“mendidengkan” anaknya hingga tertidur kembali. Begitulah seterusnya di setiap
harinya. Hal ini disebabkan bagi ibu anak merupakan prioritas utama. Dalam
mendidengkan anak biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan
menimang-nimang sambil menggendong anaknya, kedua dengan memasukkan anak
ke dalam ayunan (Gambar 4.3).
Gambar 4.2: Ibu sedang menimang-nimang anaknya sambil berdideng
67
Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar 4.3: Ibu mendidengkan anaknya dalam ayunan
Sumber : Dokumentasi penulis
b. Dideng dalam menidurkan anak
68
Sudah menjadi tradisi bahwa dalam menidurkan anak orang tua terutama
seorang Ibu selalu bersenandung atau berdideng. Hal ini dilakukan agar anaknya
cepat tertidur sehingga ia dapat kembali melanjutkan aktivitas harian lainnya.
Dideng tersebut biasanya berisi celotehan-celotehan sang Ibu seakan-akan ia
mengajak anaknya berbicara. Walaupun sang anak belum mengerti dengan apa yang
Ibu katakan atau ucapkan, tetapi Ibu yakin bahwa apa yang disampaikannya, sang
anak akan mengerti dan memahami dengan caranya sendiri.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, lirik dideng pada MBT versi informan
dan ke dua ibu yang tinggal di desa Tapian Nauli dan desa Nagasaribu adalah sama,
yaitu sebagai berikut:
Dideng dideng
Molo huingot i sude
loja ni dainang i
marmudu au sian na metmet
tu na balga
Diabing au diompa au
asa sonang modom au
dideng dideng didok muse
o hasian
Artinya:
Jika kuingat itu semua
lelahnya ibuku
merawat aku dari kecil
hingga besar
69
Dipangku aku, digendong aku
agar tenang aku tidur
dideng –dideng disebut lagi
oh sayang…
c. Waktu berlangsungnya dideng
Dideng hanya dilakukan dalam konteks menidurkan anak. Dideng bisa
dilakukan kapan saja di saat anak hendak tidur baik diwaktu malam maupun disiang
hari. Akan tetapi waktu yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah diwaktu
siang hari.
d. Tempat berlangsungnya dideng
Dideng dalam menidurkan anak biasanya berlangsung di dalam rumah sang
anak itu sendiri, tetapi jika sang ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke
ladang, maka dideng juga bisa berlangsung di tempat tersebut.
e. Penutur atau pelantun dideng
Orang yang mendidengkankan anak biasanya adalah Ibu, karena Ibu lah yang
selalu berada di samping anaknya dan yang mengurus anak. Pada hakikatnya
memang orang yang paling dekat dengan anak adalah Ibu, orang yang paling
mengerti kebutuhan anak adalah ibu, hal ini disebabkan ibu adalah sosok yang sangat
dibutuhkan oleh anak dan juga sebagai tempat untuk mengadu, bermanja, bermain.
Selain itu keterikatan batin antara ibu dan anak adalah kuat.
f. Petutur atau orang yang mendengar ketika berlangsungnya dideng
Pendengar utama dari dideng ini adalah anak, dimana anak merupakan
tujuan utama dari adanya senandung ini, sesuai dengan fungsi dideng yaitu untuk
menidurkan anak.
70
g. Alat yang dipergunakan ketika berlangsungnya dideng
Alat yang dipergunakan ketika berlangsungnya dideng adalah tempat untuk
tidur anak. Tempat untuk tidur anak yang biasanya digunakan oleh MBT adalah kain
gendongan (parompa) dan ayunan (anggunan). Kain gendongan (parompa)
digunakan ketika ibu mendidengkan anaknya dalam gendongannya. Pada umumnya
posisi menggendong anak ketika mendideng adalah gendong depan (ompa jolo) agar
ketika mendideng ibu bisa sambil menepuk-nepuk bokong si anak ataupun mengelus-
elus badannya, dengan maksud agar tidur si anak nyenyak. Sedangkan ayunan
(anggunan) sangat berperan penting, yakni (a) membuat kenyamanan di saat anak
tidur, (b) memudahkan sang Ibu dalam menidurkan anaknya sehingga ia dapat
melakukan aktivitas lainnya, dan (c) dapat membuat tidur anak menjadi lama dan
nyenyak sehingga anak tidak terlalu rewel nantinya. Dalam MBT ayunan biasanya
terbuat dari kain sarung (mandar), (Gambar 4.5).
Gambar 4.4: Anak sedang tidur dalam gendongan ibunya
Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar 4.5: Anak sedang tidur dalam ayunan kain
71
Sumber: Dokumentasi penulis
4.2.2 Nyanyian Permainan Anak
Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang dinyanyikan anak-anak pada
saat bermain. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, nyanyian permainan anak
pada MBT terdiri dari nyanyian permainan yang dinyanyikan untuk menentukan
pemain yang menang atau kalah dan nyanyian permainan yang dinyanyikan sampai
akhir permainan.
4.2.2.1 Nyanyian permainan yang dinyanyikan untuk menentukan pemain
yang menang atau kalah
Nyanyian permainan ini terbagi dua yaitu:
a. Nyanyian permainan yang dinyanyikan untuk menentukan pemain yang menang
72
(main terlebih dahulu), atau pemain yang kalah (jaga terlebih dahulu).
Pada dasarnya nyanyian permainan ini hanya dinyanyikan pada saat akan memulai
permainan, lirik nyanyian permainan ini juga pendek. Nyanyian permainan tersebut
adalah: kacang koring, sada dua tolu.
1. Nyanyian permainan kacang koring
Kacang koring
sibuat na otik
Artinya:
Kacang kering
siambil yang sedikit
Kacang koring merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran
dalam sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah. Nyanyian ini biasanya
dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat (martabun tabuni). Jumlah pemain
minimal empat orang anak. Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran
kecil, setiap anak menurunkan tangan kanannya dengan telapak tangan tertutup
(Gambar 4.6), kemudian secara bersama-sama anak-anak mengucapkan kalimat
‘kacang koring sibuat na otik. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu ‘tik’,
masing-masing anak harus memperlihatkan salah satu telapak tangan mereka dengan
bagian dalam telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah
anak yang memperlihatkan telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika
anak-anak yang lain sudah menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua
anak yang tersisa dengan melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran
sebagai penjaga pos. Si anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke
tiang untuk menunggu anak yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil
73
menunggu si anak tersebut mengucapkan kata ‘nunga”? (sudah?), jika masih ada
anak yang menjawab ‘daung’ (belum), berarti mereka belum menemukan tempat
persembunyian, tetapi jika tidak ada lagi yang menjawab, menandakan bahwa
mereka sudah berada di tempat persembunyiannya masing-masing dan sudah bisa
untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah menemukan salah satu temannya, dia harus
mengucapkan kata ‘tul’ sambil menyebutkan nama temannya tersebut. Begitu
seterusnya hingga semua anak ditemukan.
Gambar 4.6: Nyanyian permainan anak kacang koring
Sumber: Dokumentasi penulis
2. Nyanyian permainan Sada dua tolu:
Sada dua tolu
sitambal nabalau
74
pulik hamu na tolu
holan ho do na umbau
Artinya:
Satu dua tiga
si Tambal yang biru
kecuali kalian bertiga
hanya kamu yang paling bau
Sada dua tolu merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan sewaktu
bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan untuk
menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang
mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak. Permainan ini dilakukan
dengan membentuk lingkaran kecil. Semua anak menyanyikan “sada dua tolu
sitambal nabalau pulik hamu na tolu holan ho do na umbau” sambil seorang anak
menunjuk satu persatu temannya (Gambar 4.7). Nyanyian akan berakhir pada kata
‘bau’, dan anak yang ditunjuk pada saat nyanyian tersebut berakhir merupakan salah
satu pemain yang menang (yang akan dikejar). Begitu seterusnya dilakukan hingga
tinggal dua orang pemain. Pemain yang kalah adalah anak yang tidak kena tunjuk
pada saat lagu berakhir yaitu pada kata ‘bau’. Selanjutnya si anak yang kalah akan
mengejar anak yang lain satu persatu hingga berhasil menangkapnya.
Gambar 4.7: Nyanyian permainan anak sada dua tolu
75
Sumber: Dokumentasi penulis
c. Nyanyian permainan yang dinyanyikan tidak hanya pada saat akan memulai
permainan saja tetapi dinyanyikan di sepanjang permainan.
Pada dasarnya tujuan nyanyian permainan ini sama dengan nyanyian permainan
kacang koring di atas yaitu untuk menentukan pemain yang menang (main terlebih
dahulu), atau pemain yang kalah (jaga terlebih dahulu). Lirik nyanyian permainan ini
adalah panjang. Nyanyian permainan tersebut adalah : Sampele sampele.
Berdasarkan penelitian, terdapat dua varian lirik nyanyian permainan
Sampele sampele, yang pertama versi informan, sedangkan yang kedua adalah versi
anak-anak dari desa Tapian Nauli dan desa Nagasaribu yang sama. Tetapi dalam cara
melakukan permainan ini versi informan sama dengan versi anak-anak dari desa
Tapian Nauli, sedangkan versi anak-anak yang dari desa Nagasaribu berbeda.
Teks nyanyian permainan Sampele sampele versi informan
Sampele sampele si ria ria
76
mangangkat jarum bosi
tongon tu bariba
tungkot jom amani mallotom
na bibi na malamun
tampuk gaol na tata
anggita menteng enteng
ibotota martata
Turjengjeng……..
Artinya:
Sampele sampele kumpul bersama
melompat jarum besi
tepat ke seberang
tongkat jam bapaknya si Mallotom
yang mentah yang matang
petik pisang yang masih mengkal
adik kita terkekeh-kekeh
saudara perempuan kita tertawa-tawa
Turjengjeng……….
Teks nyanyian permainan Sampele sampele di desa Tapian Nauli dan
Nagasaribu
Sampele sampele si ria ria
mangangkat jarum bosi
tongon tu bariba
tungkot jom amani mallotom
na bibi na malamun
tampuk gaol na tata
anggita menteng enteng
77
ibotota martata
talu au marjuji
talu sagetep
ise pataluhon
siganjang mise
Artinya:
Sampele sampele kumpul bersama
melompat jarum besi
tepat ke seberang
tongkat jam bapaknya si Mallotom
yang mentah yang matang
petik pisang yang masih mengkal
adik kita terkekeh-kekeh
saudara perempuan kita tertawa-tawa
kalah aku berjudi
kalah serupiah
siapa mengalahkan
si panjang kumis
Sampele sampele merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan sewaktu
bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan untuk
menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang
mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, permainan ini dilakukan
dengan cara semua anak duduk sambil meluruskan kedua kaki masing-masing ke
depan. Semua anak menyanyikan nyanyian sampele sampele sambil masing-masing
anak menepuk satu persatu kaki mereka. Misalnya, jika ada lima orang anak sebagai
pemain, berarti akan ada sepuluh kaki yang diluruskan ke depan, dan nyanyian
78
sampele sampele akan dinyanyikan sebanyak sepuluh kali juga. Tepukan kaki akan
berhenti di akhir lagu yaitu pada kata turjengjeng, dan anak yang kakinya kena tepuk
di akhir lagu tersebut, maka si anak tersebut harus menarik kakinya dan melipatnya.
Jika ada seorang anak yang kedua kakinya sudah ditarik dan dilipat maka si anak
tersebut keluar dan menjadi salah satu pemain yang menang (yang akan dikejar).
Begitu seterusnya dilakukan hingga tinggal dua orang pemain. Pemain yang kalah
adalah anak yang salah satu kakinya masih lurus ke depan. Selanjutnya, si anak yang
kalah tersebut akan mengejar teman-temannya satu persatu, dan jika berhasil
menangkap mereka, si anak tersebut harus mengucapkan kata ‘sampele’.
Kemudian, berdasarkan pengamatan langsung di desa Tapian Nauli cara
mereka melakukan permainan ini hanya sedikit berbeda dari apa yang dikatakan
informan, perbedaannya yaitu pada kata terakhir lagu tersebut. Jika versi informan
kata terakhir adalah ‘turjengjeng’ maka kata terakhir versi anak-anak dari desa
Tapian Nauli adalah ‘mise’. Selanjutnya, anak yang kakinya kena tepuk pada saat
lagu berakhir yaitu pada kata ‘mise’, maka si anak tersebut harus menarik kakinya
dan melipatnya. Dari situ sampai seterusnya cara melakukan permainan ini sama.
Sedangkan cara melakukan nyanyian permainan Sampele sampele versi anak-
anak dari desa Nagasaribu sangat jauh berbeda dari yang dikatakan informan dan
juga dari yang dilakukan anak-anak dari desa Tapian Nauli. Anak-nak membentuk
lingkaran dengan masing-masing kedua telapak tangan terbuka masing-masing di sisi
kiri dan kanan, setiap anak menindih telapak tangan teman yang ada di sampingnya
seolah-olah berpegangan tangan. Kemudian nyanyian Sampele sampele dinyanyikan
bersama sambil menepuk telapak tangan teman yang ada di sampingnya tersebut.
Dan bagi anak yang padanya nyanyian berakhir yaitu tepat pada saat telapak
79
tangannya ditepuk oleh teman yang ada di sampingnya, yaitu pada kata ‘mise’, maka
si anak tersebut harus berganti posisi dengan teman yang lain, agar nantinya semua
anak mendapat giliran yang sama. Permainan ini berakhir di situ saja, tidak ada
kejar-kejaran di akhir permainan seperti yang dikatakan informan dan yang
dilakukan oleh anak-anak di desa Tapian Nauli.
Gambar 4.8: Nyanyian permainan anak Sampele sampele di desa Tapian Nauli
Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar 4.9: Nyanyian permainan anak Sampele sampele di desa Nagasaribu
80
Sumber: Dokumentasi penulis
4.2.2.2. Nyanyian permainan yang dinyanyikan sampai akhir permainan
Nyanyian permainan ini dinyanyikan mulai dari awal sampai akhir permainan. Pada
umumnya lirik nyanyian permainan ini adalah panjang. Nyanyian permainan tersebut
adalah: Jambatan Tapanuli.
Berdasarkan wawancara dengan informan dan pengamatan langsung di
lapangan, maka lirik nyanyian Jambatan Tapanuli versi informan, versi anak-anak
dari desa Nagasaribu, versi anak-anak dari desa Tapian Nauli, ketiga-tiganya
berbeda, perbedaannya di akhir nyanyian.
Teks Jambatan Tapanuli versi informan
Jambatan Tapanuli
ganjang jala na uli
manuruk ma hamu sude
tinangkup ma parpudi
81
Ole ole
langkat ni tobu ole
molo poltak bulan i
mangalap boru ale
Boru aha ale
boru ni tulang ale
Artinya:
Jembatan Tapanuli
panjang dan cantik
merunduklah kalian semua
ditangkaplah yang terakhir
Ole ole
kulitnya tebu ole
kalau terang bulan
menjemput gadis ale
boru apa ale
putrinya tulang ale
Teks Jambatan Tapanuli versi anak-anak dari desa Nagasaibu
Jambatan Tapanuli
ganjang jala na uli
manuruk ma hamu sude
tinangkup ma parpudi
Ole ole
langkat ni tobu ole
molo poltak bulan i
mangalap boru ale
Boru aha ale
82
boru ni Toba ale
sian dia ale
sian Muara ale
tinangkup ma parpudi
Artinya:
Jembatan Tapanuli
panjang dan cantik
merunduklah kalian semua
ditangkaplah yang terakhir
Ole ole
kulitnya tebu ole
kalau terang bulan
menjemput gadis ale
boru apa ale
boru dari Toba ale
dari mana ale
dari Muara ale
ditangkaplah yang terakhir
Teks Jambatan Tapanuli versi anak-anak dari desa Tapian Nauli
Ole ole
langkat ni tobu ole
molo poltak bulan i
mangalap boru ale
Boru aha ale
boru ni majuntak ale
sian dia ale
sian Muara ale
83
Jambatan Tapanuli adalah nyanyian permainan yang dulunya biasa
dinyanyikan anak-anak ketika terang bulan purnama. Tetapi sekarang nyanyian
tersebut dinyanyikan kapanpun baik di siang hari, sore hari, maupun malam hari.
Jumlah pemain minimal enam orang anak.
Berdasarkan wawancara dengan informan dan penelitian langsung di
lapangan, cara melakukan permainan ini versi informan dan versi anak-anak dari
desa Nagasaribu adalah sama. Permainan ini dilakukan dengan cara dua orang anak
yang lebih tinggi badannya yang berperan sebagai jembatan yang menamakan diri
mereka dengan nama-nama benda langit (matahari, bulan dan bintang), buah-buahan
(manggis, jeruk) berdiri berhadap-hadapan dan saling berpegangan tangan di atas
kepala. Anak-anak yang lain berbaris berjejer ke belakang, dimana setiap anak
memegang kedua bahu temannya yang di depan. Mereka akan berjalan menunduk
dari bawah jembatan tadi sambil menyanyikan lagu jambatan Tapanuli. Kedua anak
yang saling berpegangan tangan tadi akan menangkap anak di akhir lagu yaitu pada
kata ‘ale’. Lalu si anak tersebut akan ditanyai apa yang akan dipilih, bulan atau
bintang. Setelah ditentukan pilihannya maka si anak tersebut akan berdiri di belakang
yang dipilih. Begitu seterusnya sampai anak-anak habis ditangkap dan menentukan
pilihan mereka. Kemudian kedua pihak yaitu bulan dan bintang melakukan tarik
tambang, pihak yang menang adalah pihak yang kuat yang tetap berdiri dan mampu
menarik satu persatu pihak lawan atau bahkan membuat mereka jatuh.
Sedangkan cara melakukan permainan ini versi anak-anak dari desa Tapian
Nauli hanyalah berbeda pada saat kedua anak yang berfungsi sebagai jembatan
tersebut akan menangkap anak-anak yang lewat berjalan berbaris-baris dari bawah
tangan mereka di akhir lagu yaitu pada kata ‘parpudi’. Dari situ sampai selanjutnya
84
cara melakukan permainan ini sama.
Gambar 4.9: Nyanyian permainan anak jambatan Tapanuli versi anak-anak
dari desa Nagasaribu
Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar: 4.10: Nyanyian permainan anak Jambatan Tapanuli versi anak-anak
dari desa Tapian Nauli
85
Sumber: Dokumentasi penulis
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini
5.1.1 Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)
Keberadaan dideng pada MBT saat ini sudah sulit ditemukan. Ini terlihat
dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang dipengaruhi oleh mobilitas
zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial
86
masyarakat. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa faktor yang
mengakibatkan pergeseran dan perubahan pada tradisi dideng saat ini.
5.1.1.1 Bahasa
Bahasa merupakan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi
pergeseran dan perubahan tradisi dideng. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa
andung yang menjadi ciri khas sastra lisan Batak Toba. Dideng adalah bagian dari
sastra lisan Batak Toba yang juga menggunakan bahasa andung. Bahasa andung
adalah bahasa Batak Toba halus yang lebih sopan yang kosa katanya berbeda dari
bahasa Batak Toba sehari-hari (hata somal) tetapi memiliki arti yang sama. Dewasa
ini, bahasa andung sudah jarang dituturkan oleh MBT, hanya orang-orang tua yang
sudah lanjut umurnya saja yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun ke atas
yang masih menuturkan dan memahami bahasa ini. Sedangkan mereka para orang
tua yang berumur dibawah enam puluh tahun sudah tidak fasih lagi menuturkan
bahasa andung dan juga tidak memahaminya lagi. Hal ini lah yang menjadi kendala
bagi para orang tua Batak Toba di zaman sekarang ini, mereka tidak mengerti dan
memahami bahasa dideng itu sendiri akibatnya mereka tidak bisa mendideng dalam
bahasa Batak Toba lagi. Sekarang ini para orang tua Batak Toba hanya bisa
mendidengkan anak-anak mereka dengan nyanyian menidurkan anak yang biasa
didengar, lebih mudah dimengerti dan dipahami seperti: nina bobo, bobo iye iye bobo
lah sayang, pok ame ame dan lain-lain. Memang hal ini sangatlah ironi, MBT yang
nyata-nyatanya memiliki dideng dideng nyanyian menidurkan anak yang berasal dari
daerahnya sendiri yang sarat akan nasihat-nasihat, petuah-petuah, tuntunan hidup,
menjadi nyanyian yang asing didengar oleh MBT itu sendiri. Kalau hal ini terus
dibiarkan maka lama kelamaan nyanyian menidurkan anak dideng dideng hanya akan
87
tinggal sejarah saja. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba sepantasnya nyanyian
dideng dideng ini dihidupkan kembali dengan cara mempelajari, memahami
bahasanya dan menyanyikannya sebagai nyanyian pengantar tidur bagi anak.
5.1.1.2 Teknologi
Kemajuan teknologi yang semakin merata baik di desa maupun di kota juga
turut mempengaruhi keberlangsungan dideng pada MBT. Dewasa ini peralatan
elektronik seperti televisi, radio, CD, DVD sudah tidak sulit lagi ditemukan di desa.
Sekarang ini para orang tua Batak Toba di desa lebih cenderung memutar CD
maupun DVD yang berisikan lagu-lagu menidurkan anak yang berbahasa Indonesia
maupun yang berbahasa asing. Hal itu dirasa lebih praktis, tidak merepotkan dan up
to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Kebiasaan para orang tua Batak Toba
yang sudah mulai terpengaruh oleh kemajuan teknologi perlahan-lahan akan
membuat mereka menjadi orang tua yang pasif yang berakibat pada kedekatan
mereka dengan anak-anak mereka secara psikologis akan berkurang. Seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam dideng, selain menyanyi orang tua juga
akan kreatif menciptakan gerakan yang bisa membuat anaknya cepat tidur seperti
mengelus-elus badan si anak, menepuk-nepuk bokongnya, dan lain-lain. Tetapi
dengan hadirnya CD maupun DVD telah dapat menggantikan tradisi dideng tersebut
yang dulunya biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka. Kondisi seperti ini
perlahan-lahan akan membuat tradisi dideng tersebut akan benar-benar hilang di
tengah-tengah kehidupan MBT itu sendiri. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba,
nyanyian dideng dideng hendaknya dipelihara dan diwariskan kepada generasi
selanjutnya karena nyanyian ini adalah salah satu kekayaan budaya daerah dari Batak
Toba yang sangat sayang untuk dilupakan begitu saja.
88
5.1.2 Nyanyian Permainan Anak
Keberadaan nyanyian permainan anak pada MBT akhir-akhir ini juga sudah
mulai mengalami kepunahan. Berdasarkan penelitian di lapangan hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor.
5.1.2.1 Bahasa
Seperti halnya dalam nyanyian menidurkan anak, dalam nyanyian permainan
anak bahasa juga merupakan faktor yang mempengaruhi berkurangnya pendukung
nyanyian permainan tersebut. Nyanyian permainan anak juga menggunakan bahasa
andung. Nyanyian permainan anak adalah nyanyian rakyat yang merupakan bagian
dari sastra lisan Batak Toba. Jika dalam nyanyian menidurkan anak dideng dideng,
yang tidak mengerti bahasa andung tersebut adalah para orang tua dari anak-anak,
maka dalam nyanyian permainan ini anak-anak lah yang tidak mengerti bahasa dari
nyanyian permainan tersebut. Misalnya nyanyian Sampele sampele, nyanyian
tersebut sarat akan bahasa andung yang artinya sulit dimengerti dan dipahami oleh
orang dewasa sekalipun. Jika sekarang ini anak-anak Batak Toba sudah tidak fasih
lagi menyanyikan nyanyian permainan berbahasa Batak Toba, melainkan lebih fasih
menyanyikan hom pim pah, hal itu masih bisa dimaklumi. Karena bagaimana
mungkin anak-anak akan memahami dan mengerti nyanyian permainan tersebut jika
para orang tua mereka saja tidak tahu arti dari bahasa nyanyian itu sehingga mereka
tidak bisa mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Jika kondisi ini terus berlanjut
maka dapat dipastikan bahwa nyanyian permainan anak Batak Toba akan segera
punah karena pendukungnya yang sudah tidak ada lagi. Untuk mengatasi masalah ini
peranan orang tua dalam melestarikan warisan nenek moyang ini juga sangat
diharapkan karena anak ibarat kertas putih bersih yang belum ternoda. Dalam hal ini
89
orang tua Batak Toba zaman sekarang harus belajar kepada para orang tua yang
sudah lanjut usia tentang bahasa andung itu agar kelak mereka juga bisa
mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Kalau sejak dini anak-anak
diperkenalkan dengan nyanyian permainan anak yang berbahasa Batak Toba yang
berisi petuah, pendidikan moral, dan budi pekerti, maka kelak jika sudah dewasa
mereka akan berakhlak baik.
5.1.2.2 Teknologi
Kemajuan teknologi merupakan faktor yang turut membuat nyanyian
permainan anak Batak Toba akan semakin tersisih. Adanya permainan modern dalam
komputer yang dikenal dengan games membuat anak-anak Batak Toba sekarang ini
lebih betah duduk berlama-lama sendirian di depan komputer memainkan games
daripada bermain permainan tradisional dengan teman-temannya di luar rumah. Bagi
anak-anak Batak Toba sekarang ini, bisa memainkan bermacam-macam games di
komputer merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena hal itu menunjukkan bahwa
mereka dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Padahal di balik semua itu anak-
anak tersebut tidak menyadari bahwa bermain games di komputer lama kelamaan
akan berakibat buruk bagi mereka. Pengaruh buruk tersebut antara lain: a)
Membunuh kreatifitas anak-anak sebagai generasi muda. Permainan tradisional
biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-
barang, benda-benda, atau tumbuh- tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal
tersebut mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. b)
Hilangnya kecerdasan spiritual anak. Dalam permainan tradisional terdapat konsep
menang dan kalah. Namun menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya
bertengkar atau minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa
90
melakukan permainan mengajarkan secara langsung kepada teman-temannya yang
belum bisa. c) Hilangnya kecerdasan natural anak, banyak alat-alat permainan yang
dibuat atau digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas
tersebut mendekatkan anak terhadap alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu
terhadap alam. d) Matinya kecerdasan kinestetik anak, pada umumnya, permainan
tradisional mendorong para pemainnya untuk bergerak, seperti melompat, berlari,
menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya. Menguasai teknologi bukanlah hal
yang salah, tetapi menguasai teknologi lalu melupakan dan meninggalkan tradisi
budaya yang sudah diwariskan nenek moyang adalah hal yang salah.
5.2.1.3 Pendidikan
Dewasa ini, sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan sebagai rumah
kedua bagi anak sudah tidak lagi berkontribusi dalam memperkenalkan atau
mensosialisasikan nyanyian permainan anak. Hal itu disebabkan karena guru
sekolah sendiri tidak paham permainan tradisi yang seharusnya diajarkan kepada
anak dalam kaitan implementasi kurikulum muatan lokal. Karena walaupun ada
buku permainan tradisi khususnya yang menggunakan nyanyian, tetapi tidak disertai
notasi sehingga syair nyanyian tersebut hanya sebatas sekelompok kata-kata saja.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya beberapa sekolah di Kecamatan
Lintongnihuta yang dalam pembelajarannya mengajarkan permainan tradisi yang
menggunakan nyanyian salah satunya adalah SD Negeri Nababan Dolok desa
Nagasaribu. Kalaupun ada sedikit sekolah yang mengajarkan permainan tradisi,
hanya sebatas permainan yang tidak menggunakan nyanyian yang diajarkan dalam
pelajaran olahraga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sepantasnya juga
91
mengajarkan kepada anak didik nyanyian permainan yang merupakan warisan nenek
moyang ini yang didalamnya terkandung pendidikan karakter.
5.2 Fungsi Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba
5.2.1. Fungsi Nyanyian Menidurkan Anak
Pada bab dua (II) telah dikemukakan beberapa teori mengenai fungsi folklor.
Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) fungsi folklor bagi pendukungnya
adalah: 1) Sebagai sistem proyeksi (projective system), 2) Sebagai alat pengesahan
pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture), 3) Sebagai alat pendidik anak
(pedagogical device), 4) Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta
sebagai alat pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara,
2008:129-30) menambahkan fungsi lain, yaitu: 1) Untuk mempertebal perasaan
solidaritas kolektif, 2) Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang, 3)
Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit hati,
dan pemberian hukuman, 4) Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam
masyarakat, 5) Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (fungsi
rekreasi), 6) Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan.
Pada dasarnya dideng berfungsi sebagai media, baik itu media penghibur
anak, media untuk menyampaikan pesan, media untuk menyampaikan doa dan
harapan untuk anak, media untuk belajar bagi anak, media untuk penguat tali
kasih sayang antara orang tua dan anak dan juga media untuk mencurahkan kasih
sayang orang tua kepada anaknya. Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan
teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa sebagai fungsi dideng adalah: (1)
sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pendidikan anak; (3) sebagai alat pemaksa
92
berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial; dan (4) berfungsi sebagai
penguat ikatan persaudaraan.
1. Sebagai bentuk hiburan
Fungsi dideng dikatakan sebagai bentuk hiburan karena dideng sendiri
merupakan nyanyian yang dinyanyikan ketika hendak menidurkan anak.
Nyanyian bagi sang anak akan membuatnya semakin terlelap dalam tidur,
sedangkan bagi ibu yang menyanyikannya juga dapat menghilangkan sedikit
kepenatan dan keletihannya dalam bekerja. Hal ini disebabkan dengan bernyanyi si
ibu akan lebih bersantai sejenak dan melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak
mengenakkan. Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Danandjaja
bahwa nyanyian rakyat memiliki fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari
kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu atau menghibur diri
dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk
melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh
kedamaian jiwa.
2. Sebagai alat pendidikan anak
Selain sebagai bentuk hiburan dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan
anak. Dideng merupakan nyanyian yang diperuntukkan bagi anak-anak usia dini.
Proses belajar anak usia dini tidak sama dengan proses belajar anak-anak pada
umumnya. Pada umumnya proses belajar anak-anak dapat dilakukan di sekolah.
Selain itu faktor lingkungan juga turut memberikan pengalaman belajar bagi anak.
Sangat berbeda dengan proses belajar anak usia dini karena pada masa ini anak
hanya belajar dari orang tuanya. Maka dari itulah dideng juga berfungsi sebagai
alat pendidikan anak karena di dalam dideng tersebut banyak mengandung pesan-
93
pesan, petuah-petuah dan pengajaran yang diberikan oleh orang tua sehingga
secara tidak langsung anak akan mulai belajar.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial
Begitu pula halnya dengan fungsi dideng sebagai alat pemaksa berlakunya
norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan orang tua
kepada anaknya lewat dideng biasanya berisi tentang hal-hal yang mengandung
nilai-nilai moral. Hal ini bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa ia menjadi
pribadi yang menyenangkan, bertindak serta berlaku sesuai aturan dan norma-
norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi
bangsa, maupun masyarakat.
4. Sebagai penguat ikatan persaudaraan
Selanjutnya fungsi dideng sebagai penguat ikatan persaudaraan merupakan
bentuk adanya cinta dan kasih sayang yang besar antara ibu dan anaknya. Karena
dengan mendidengkan anaknya seorang ibu dapat mencurahkan segala keinginan
dan harapannya kepada anak yang sangat dikasihinya. Dari sanalah akan semakin
tumbuh dan tercipta ikatan tali cinta kasih antara anak dan ibunya.
5.2.2 Fungsi Nyanyian Permainan Anak
Pada dasarnya fungsi nyanyian permainan anak juga sama dengan fungsi
folklor seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
5.2.2.1 Fungsi nyanyian permainan Kacang koring
Berdasarkan fungsi folklor, maka nyanyian permainan anak kacang koring
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk hiburan
Pada umumnya setiap nyanyian permainan anak memiliki fungsi sebagai
94
bentuk hiburan atau rekreatif, demikian juga nyanyian permainan kacang koring juga
memiliki fungsi sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Hal itu disebabkan nyanyian
permainan kacang koring merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika
hendak memulai permainan. Dengan bermain anak-anak dapat menghilangkan
sedikit kepenatan dan keletihan dalam beraktivitas sehari-hari seperti belajar di
sekolah maupun di rumah dan membantu orang tua bekerja . Dengan bermain
anak-anak juga akan lebih bersantai sejenak, melupakan hal-hal ataupun kejadian
yang tidak mengenakkan yang dilaluinya ketika melakukan aktivitasnya tersebut
serta dapat melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga memperoleh
kedamaian jiwa.
95
2. Sebagai alat pendidikan anak
Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga
berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Kacang koring merupakan nyanyian
permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Selain mendapatkan
pendidikan formal di sekolah, mereka juga mendapatkan pendidikan non formal
di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan ini memberi
pendidikan bagi anak agar tidak rakus, tetapi mengambil sedikit saja (sibuat na
otik) atau secukupnya saja. Karena berlebihan itu tidak baik, sebab di tempat lain
masih banyak orang yang hidup berkekurangan.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali
sosial
Nyanyian permainan Kacang koring juga berfungsi sebagai alat pemaksa
berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang
disampaikan melalui nyanyian ini mengandung nilai moral. Hal ini bertujuan
agar kelak ketika sang anak dewasa dan dalam kehidupan sehari-harinya ia
menjadi pribadi yang menyenangkan, hidup sederhana, tidak berlebihan, taat pada
ajaran- ajaran, serta bertindak dan berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang
berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa maupun
masyarakat.
5.2.2.2 Fungsi nyanyian permainan sada dua tolu
Berdasarkan fungsi folklor, nyanyian permainan anak Sada dua tolu
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk hiburan
Sama seperti nyanyian permainan kacang koring, fungsi nyanyian
96
permainan sada dua tolu juga adalah sebagai bentuk hiburan atau rekreatif.
Nyanyian permainan sada dua tolu merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-
anak ketika hendak memulai permainan. Dengan bermain anak-anak dapat
menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan dalam beraktivitas sehari-hari
seperti belajar di sekolah, belajar di rumah dan membantu orang tua bekerja .
Dengan bermain anak-anak juga akan lebih bersantai sejenak, melupakan
hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan yang dilaluinya ketika
melakukan aktivitasnya tersebut serta dapat melepaskan diri dari segala
ketegangan perasaan sehingga memperoleh kedamaian jiwa.
2. Sebagai pencela orang lain
Nyanyian permainan Sada dua tolu juga berfungsi sebagai pencela orang
lain. Dalam nyanyian permainan ini terdapat lirik: pulik hamu na tolu holan ho do
na umbau (kecuali kalian bertiga hanya kamu yang paling bau). Lirik tersebut
mencela salah satu anak yang menjadi anggota dalam permainan tersebut yaitu
anak yang badannya beraroma tak sedap (bau), namun hal tersebut diungkapkan
bukan untuk mempermalukan si anak tersebut ataupun membuatnya sakit hati,
tetapi agar si anak tersebut lebih dahulu membersihkan badannya dan kemudian
bisa bergabung kembali dalam permainan.
3. Sebagai alat pendidikan anak
Di dalam celaan yang disampaikan kepada salah satu anak yang menjadi
anggota dalam permainan tersebut, sesungguhnya celaan tersebut juga berfungsi
sebagai alat pendidikan bagi anak yang bersangkutan. Nyanyian permainan ini
mengajarkan anak-anak pendidikan tentang kesehatan, yaitu betapa pentingnya
menjaga kebersihan badan sebab kebersihan badan merupakan pangkal kesehatan,
97
Badan yang bersih akan jauh dari segala jenis penyakit, tetapi badan yang kotor
akan menjadi tempat tumbuh suburnya kuman-kuman penyakit. Selain itu badan
yang bersih sudah pasti memberikan aroma yang harum, sedangkan badan yang
kotor akan menimbulkan aroma tak sedap (bau), yang bisa berakibat akan dijauhi
orang lain. Jadi, anak-anak harus selalu menjaga kebersihan badan agar senantiasa
harum dan sehat pastinya, dengan begitu anak-anak akan disenangi orang lain dan
tidak akan tersingkir dari pergaulan.
5.2.2.3 Fungsi nyanyian permainan Sampele sampele
Berdasarkan fungsi folklor, maka nyanyian permainan sampele sampele
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk hiburan
Seperti nyanyian permainan lainnya, nyanyian permainan Sampele
sampele juga berfungsi sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Sampele sampele
merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika bermain. Dengan
bermain anak-anak dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan dalam
beraktivitas sehari-hari seperti belajar di sekolah, belajar di rumah dan
membantu orang tua bekerja. Dengan bermain anak-anak juga akan lebih
bersantai sejenak, melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan
yang dilaluinya ketika melakukan aktivitasnya tersebut serta dapat melepaskan
diri dari segala ketegangan perasaan sehingga memperoleh kedamaian jiwa.
2. Sebagai alat pendidikan anak
Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga
berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Sampele sampele merupakan nyanyian
permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Selain mendapatkan
98
pendidikan formal di sekolah, mereka juga mendapatkan pendidikan non formal
di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan ini mengandung
pesan-pesan, petuah-petuah, serta pengajaran bagi anak-anak untuk tidak
melakukan perbuatan tercela seperti main judi, karena main judi tidak ada
gunanya, maksud hati mendapat untung, tetapi yang datang malah kekalahan.
3. Sebagai penguat ikatan persaudaraan
Selanjutnya nyanyian permainan sampele sampele juga berfungsi sebagai
penguat ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan bisa tumbuh dan semakin kuat
dengan berkumpul bersama (si ria ria). Berkumpul bersama memiliki banyak
manfaat. Masing-masing orang bisa mengutarakan keluh kesahnya, permasalahan
hidupnya, dan bahkan solusi untuk permasalahan tersebut pun bisa didapat.
Kesedihan juga bisa berganti menjadi canda dan tawa (anggita menteng enteng
ibotota martata) yang tidak akan pernah didapat kalau lagi sendiri-sendiri.
Dengan terciptanya kondisi yang demikian maka keinginan untuk berkumpul
kembali akan semakin besar. Dari sanalah akan tercipta ikatan persaudaraan yang
kuat yang tidak akan dapat terpisahkan.
4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali
sosial
Begitu pula halnya dengan fungsi sampele sampele sebagai alat pemaksa
berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang
disampaikan lewat nyanyian tersebut berisi tentang hal-hal yang mengandung
nilai-nilai agama, nilai moral dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan agar nantinya
setelah anak-anak dewasa bisa menjadi pribadi yang baik, taat pada ajaran- ajaran
maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga akan menjadi
99
manusia yang berguna baik bagi bangsa maupun masyarakat.
5.2.2.4 Fungsi nyanyian permainan Jambatan Tapanuli
Berdasarkan fungsi folklor, maka nyanyian permainan sampele sampele
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk hiburan
Fungsi nyanyian permainan Jambatan Tapanuli adalah sebagai bentuk
hiburan atau rekreatif. Dikatakan demikian karena Jambatan Tapanuli sendiri
merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika bermain. Dengan
bermain anak-anak dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan dalam
beraktivitas sehari-hari seperti belajar di sekolah, belajar di rumah dan
membantu orang tua bekerja. Dengan bermain anak-anak juga akan lebih
bersantai sejenak, melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan
yang dilaluinya ketika melakukan aktivitasnya tersebut serta dapat melepaskan
diri dari segala ketegangan perasaan sehingga memperoleh kedamaian jiwa.
2. Sebagai alat pendidikan anak
Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan Jambatan Tapanuli
juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Jambatan Tapanuli merupakan
nyanyian permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Selain
mendapatkan pendidikan formal di sekolah, mereka juga mendapatkan pendidikan
non formal di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan ini
mengandung banyak pendidikan maupun pengajaran bagi anak-anak diantaranya:
bahwa tidak selamanya yang terakhir akan menjadi yang terakhir, bisa saja yang
terakhir akan menjadi yang pertama, seperti yang dikatakan dalam nyanyian ini
(tinangkup ma parpudi) bahwa yang terakhir atau yang paling belakang akan
100
ditangkap lebih dahulu dan akan menjadi salah seorang pemain yang menang.
Nyanyian permainan ini juga mengenalkan kepada anak-anak bangunan maupun
tempat bersejarah yang bisa dibanggakan oleh MBT yaitu jembatan Tapanuli yang
ada di Tarutung. Kemudian, nyanyian ini juga mengenalkan kepada anak-anak
nama daerah yaitu Muara yang dulunya masih termasuk ke dalam wilayah
kabupaten Toba. Dahulu, nyanyian ini dinyanyikan pada saat terang bulan
purnama, dengan demikian anak-anak akan dengan mudah mengenal keagungan
Tuhan melalui ciptaanNya .
5.3 Makna Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba
Dalam mencari makna teks nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yaitu
nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak digunakan teori
semiotika. Semiotika Roland Barthes adalah yang digunakan untuk mencari
makna keseluruhan dari teks dideng.
5.3.1 Makna Nyanyian Menidurkan Anak Pada Masyarakat Batak Toba
Nyanyian dideng dideng merupakan curahan hati seorang anak yang
mengisahkan kembali jasa-jasa serta perjuangan ibunya dalam membesarkannya
dari kecil hingga dewasa. Tetapi dalam hal ini curahan hati sang anak tersebut
dinyanyikan oleh seorang ibu ketika ia menyanyikan nyanyian pengantar tidur
bagi anaknya. Dalam konteks mandideng si anak yang ditidurkan adalah masih
bayi, atau usia dini. Anak yang masih bayi atau usia dini belum bisa
mengungkapkan isi hatinya melalui nyanyian. Dalam hal ini ibu bernyanyi dengan
harapan kelak nanti anaknya dewasa, anaknya tersebut akan tetap mengingat dan
menghargai semua perjuangan ibunya yang telah membesarkannya dari kecil
hingga dewasa.
101
Perjuangan seorang ibu bukan hanya ketika melahirkan anaknya saja,
tetapi seorang ibu juga harus menyusui anaknya tanpa kenal waktu, memberi
makan, memandikan, menidurkan, semua itu adalah tanggung jawab seorang ibu
terhadap anaknya yang masih kecil. Perjuangan tersebut sungguh merupakan
perjuangan yang sangat luar biasa yang begitu melelahkan secara fisik, dimana
hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan bahkan tahun
berganti tahun, hal itu terus dilakukan sang ibu demi pertumbuhan anaknya.
Selanjutnya pada bait ke dua dikisahkan juga usaha-usaha sang ibu di kala
hendak menidurkan anaknya. Menidurkan anak bukanlah hal yang mudah, karena
anak hanya bisa tidur ketika dia sudah merasa nyaman. Banyak cara yang
dilakukan seorang ibu agar anaknya cepat tidur dan terlelap. Memberi ASI
merupakan langkah pertama, bayi yang sudah kenyang pada umumnya akan cepat
tidur. Tetapi terkadang dengan perut yang sudah kenyang sekalipun, si anak masih
tetap rewel, di sinilah ibu harus berusaha lebih keras lagi mengupayakan agar
anaknya cepat tidur. Kadang-kadang anaknya dipangku (diabing) tetapi kalau
belum juga bisa tidur dalam pangkuannya, anaknya digendong (diompa) lagi. Dan
kalau anaknya belum juga bisa tidur dengan cara dipangku maupun digendong,
maka sang ibu akan mendidengkan anaknya yaitu menyanyikan nyanyian
pengantar tidur dideng dideng. Bagi ibu anak bukanlah sekedar darah dan
dagingnya, tetapi juga belahan jiwanya, tempat curahan cinta dan kasih sayangnya
oleh karena itu ibu memanggilnya dengan sebutan hasian (sayang).
5.3.2 Makna Nyanyian Permainan Anak
Nyanyian permainan anak pada MBT memiliki makna-makna semiosis,
yang hanya bisa didekati dengan cara menyelami cara berpikir masyarakat
102
pengguna nyanyian ini. Dengan demikian pendekatan penelitian pengamatan
terlibat akan dapat mengungkap makna-makna dalam nyanyian permainan anak
ini.
5.3.2.1 Makna nyanyian permainan anak Kacang koring
Nyanyian permainan kacang koring adalah nyanyian permainan yang
mengandung nasehat. Dalam pemahaman MBT kacang koring (kacang kering)
adalah kacang garing Sihobuk. Kacang ini aslinya berasal dari desa Sihobuk,
Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Kacang Sihobuk memiliki karakter rasa
yang kuat, gurih dan renyah berkat proses pembuatannya yang cukup unik.
Terlebih dahulu kacang dipilih yang tebal kulitnya agar tidak mudah hancur ketika
sedang diproses, kemudian direndam selama satu sampai dua hari, lalu dijemur
sampai kering selanjutnya digongseng di atas bara di dalam tungku bercampur
pasir. Kacang ini sangat baik untuk kesehatan karena tidak digoreng melainkan
digongseng. Dahulu, kacang ini hanya bisa dijumpai di Tarutung, oleh karena itu
para perantau selalu memburu kacang ini sebagai oleh-oleh khas Tarutung. Berkat
pembuatannya yang unik, dan gunanya yang baik untuk kesehatan, serta hanya
bisa dijumpai di kota asalnya maka tidak heran kalau kacang ini dulunya cukup
mahal, sehingga orang-orang pun hanya membelinya secukupnya saja, yang
penting ada. Jadi, kacang koring sibuat naotik bermakna agar hendaknyalah
mengambil sedikit saja atau secukupnya saja agar orang lain juga mendapat
bagian sebab yang dibagi tidaklah banyak.
5.3.2.2 Makna nyanyian permainan anak Sada dua tolu
Meskipun lirik nyanyian permainan ini sedikit menyinggung, namun pada
dasarnya nyanyian ini mengandung nasihat. Nasihat agar anak-anak rajin
103
membersihkan badan. Anak yang badannya bersih akan tumbuh menjadi anak
yang sehat. Kalau badan sudah sehat, tentu akan banyak orang yang suka, yang
pada akhirnya si anak akan punya banyak teman. Sedangkan anak yang badannya
bau karena malas membersihkan diri sendiri, akan tumbuh menjadi anak yang
kurang sehat yang mengakibatkan orang lain akan menjauh dan enggan berteman
serta tersisih dari pergaulan.
5.3.2.3. Makna nyanyian permainan anak Sampele sampele
Nyanyian permainan sampele sampele adalah nyanyian permainan yang
menggambarkan suasana gembira, suasana gembira berkumpul bersama saudara
dan teman-teman. Dikisahkan ada sebuah jarum besi yang melompat ke seberang
(mangangkat jarum bosi tongon tu bariba). Lirik ini bermakna konotatif, karena
sebuah jarum besi tidak mungkin melompat sampai ke seberang. Lirik tersebut
bermakna bahwa sesuatu yang kecil yang, yang terkadang luput dari perhatian
orang, mampu melakukan sesuatu yang besar. Jarum besi adalah benda yang
berukuran kecil namun memiliki banyak manfaat, jarum besi biasanya digunakan
untuk merajut benang menjadi kain atau karung sehingga dapat dipergunakan
sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya, terdapat lirik yang dimaknai sebagai
pilihan, pilihan antara yang mentah dan yang matang, tetapi jika dua-duanya tidak
ada maka pilihlah yang mengkal yaitu yang setengah matang dan setengah
mentah. Lirik tersebut bermakna bahwa dalam hidup ini juga harus ada pilihan,
antara menjadi baik dan buruk/jahat. Kalau tidak bisa memilih salah satu, maka
itulah sifat manusia yang dalam dirinya terdapat kedua sifat tersebut yaitu sifat
baik dan sifat buruk/jahat. Karena tidak selamanya manusia itu baik, pasti ada sisi
buruk/jahatnya, dan tidak selamanya pula manusia itu jahat pasti ada sisi baiknya
104
juga. Kemudian, terdapat lirik yang menggambarkan seorang yang kalah main
judi yang dikalahkan oleh seorang yang sudah tua (si ganjang mise). Bermain judi
adalah permainan yang membutuhkan strategi yang jitu disamping uang yang
banyak. Lirik tersebut bermakna bahwa seorang yang muda, yang masih segar,
yang lebih kuat fisiknya, bisa dikalahkan oleh seorang yang sudah tua yang dari
strategi dan pengalaman jauh lebih matang dari yang muda.
5.3.2.4. Makna nyanyian permainan anak Jambatan Tapanuli
Dalam nyanyian permainan ini Jambatan Tapanuli (jembatan Tapanuli)
diibaratkan sebagai dua orang anak yang lebih tinggi badannya berdiri hadap-
hadapan sambil berpegangan tangan di atas kepala, sedangkan air yang mengalir
di bawah jembatan tersebut yaitu air sungai aek godang sigeaon diibaratkan
sebagai anak-anak yang berjalan menunduk di bawah tangan kedua anak tadi.
Pada dasarnya nyanyian permainan ini adalah nyanyian permainan yang
menggambarkan keindahan jembatan Tapanuli yang ada di kota Tarutung,
Kabupaten Tapanuli Utara. Dahulu, nyanyian ini biasa dinyanyikan di malam hari
pada saat terang bulan purnama, hal ini senada dengan jembatan Tapanuli yang
semakin indah dan mempesona serta berkilauan ketika sinar bulan purnama
menerpa air sungai aek godang sigeaon yang mengalir di bawahnya. Jembatan
Tapanuli merupakan jembatan yang panjang, kokoh dan indah yang menjadi
kebanggaan masyarakat Tapanuli khususnya yang tinggal di kota Tarutung.
Jembatan Tapanuli juga telah banyak memberi manfaat bagi masyarakat
Tarutung. Dengan adanya jembatan Tapanuli maka transportasi di kota Tarutung
pun semakin lancar sehingga turut mempengaruhi kemajuan di bidang
perekonomian. Selain itu aliran air sungai sigeaon juga telah menjadi sumber
105
pengairan bagi pertanian masyarakat Tarutung. Semua itu merupakan gambaran
dari lirik jambatan Tapanuli ganjang jala na uli. Selanjutnya lirik manuruk ma
hamu sude tinangkup ma parpudi menggambarkan anak yang berada di posisi
paling belakang barisan tersebut akan ditangkap lebih dulu. Lirik lagu tersebut
bermakna bahwa hidup ini adalah perjalanan, terkadang kita berada di depan,
terkadang juga di belakang. Kalaupun sekarang keadaan kita kurang beruntung,
berada jauh ketinggalan dari orang lain, namun kita harus tetap optimis bahwa
tidak selamanya yang dibelakang akan tetap terbelakang, akan ada waktunya yang
dibelakang akan menjadi yang terdepan. Selanjutnya terdapat lirik molo poltak
bulan i mangalap boru ale, dahulu bagi MBT sudah menjadi kebiasaan bagi
seorang pemuda melamar atau meminang kekasihnya pada saat terang bulan
purnama. Lirik ini bermakna bahwa memilih calon istri bukanlah perkara yang
mudah, karena istri akan menjadi pasangan hidup yang akan mendampingi
seorang pria mengarungi bahtera rumah tangga sampai akhir hayat, sehingga
harus benar-benar diketahui dengan jelas seperti apa wanita yang akan menjadi
calon istrinya nanti. Jadi meminang seorang wanita pada saat terang bulan
purnama bermakna agar wanita yang akan dipinang menjadi istrinya harus jelas
diketahui bibit bebet bobotnya, tidak boleh ada yang tersembunyi atau ditutup-
tutupi semuanya akan jelas seterang cahaya bulan purnama.
5.4 Konteks
5.4.1 Nyanyian Menidurkan Anak
Konteks meliputi konteks sosial dan konteks situasi. Konteks sosial ini
meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan
komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara
106
penggunaan teks. Konteks penuturan dalam penelitian ini pada hakikatnya
mengenai latar atau tempat berlangsungnya dideng, waktu berlangsungnya
dideng, siapa yang melantunkan dideng, siapa yang mendengarkan dideng, dan
suasananya.
5.4.1.1 Tempat berlangsungnya dideng
Secara keseluruhan dideng dalam menidurkan anak berlangsung di dalam
rumah tepatnya di ruang keluarga karena di sanalah ayunan diletakkan atau
digantungkan.
5.4.1.2 Waktu berlangsungnya dideng
Pada umumnya dideng dalam menidurkan anak dilakukan ketika anak
tidur disiang hari dan jarang dilakukan pada waktu malam hari karena biasanya
ketika malam hari anak cenderung lebih sering di bawa tidur ke kamar tidur dan
ditidurkan dengan disusui oleh ibunya.
5.4.1.3 Penutur atau pelantun dideng
Orang yang melantunkan dideng adalah ibu karena tanggung jawab
seorang ibu adalah mengurus anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan sang
ayah bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja
mencari nafkah di luar rumah. Selain, itu sosok ibu adalah figur yang paling
dekat dan sangat dibutuhkan oleh anak terutama anak usia dini
5.4.1.4 Petutur atau orang yang mendengar dideng
Orang yang mendengar atau berada di lokasi berlangsungnya dideng
adalah anak itu sendiri (anak yang menjadi tujuan utama dilantunkannya dideng).
Hal ini disebabkan oleh jika terlalu banyak orang lain berada di sana maka anak
tersebut akan sulit untuk tidur karena sudah barang tentu terjadi kebisingan
107
sementara itu agar cepat tidur sang anak butuh ketenanganan.
5.4.1.5 Suasana ketika berlangsungnya dideng
Suasana yang tercipta ketika berlangsungnya dideng adalah suasana yang
tenang dan sunyi di mana hanya ada ibu dan anak ketika proses dideng tersebut
berlangsung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam menidurkan
anak dibutuhkan suasana yang sunyi dan tenang agar sang anak dapat segera
tertidur. Hal ini disebabkan berdasarkan pengamatan di lapangan anak akan sulit
untuk tidur apabila berada di tengah suasana yang ramai dan ribut karena pada
dasarnya anak usia dini memiliki ketajaman pendengaran sehingga apabila
terdengar suara yag gaduh ia akan mudah untuk terbangun lagi.
5.4.2 Nyanyian Permainan Anak
Konteks meliputi konteks social dan konteks situasi. Konteks sosial ini
meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan
komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara
penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur,
pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di
mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya.
5.4.2.1 Nyanyian permainan Kacang koring
1. Pelaku permainan
Nyanyian ini biasanya dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat
(martabun tabuni), nyanyian ini merupakan nyanyian permainan untuk
menentukan giliran dalam sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah.
Jumlah pemain minimal empat orang anak.
108
2. Tempat berlangsungnya permainan
Permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah, tetapi bisa juga di dalam
rumah, tergantung situasi. Kalau cuaca sedang gerimis, hujan, atau terik matahari,
maka tidak baik bagi anak-anak untuk bermain di luar rumah, sehingga permainan
ini juga bisa dilakukan di dalam rumah, apalagi jika rumahnya cukup besar dan
memiliki banyak kamar sebagai tempat persembunyian.
3. Waktu berlangsungnya permainan
Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di sore hari, setelah anak-anak
pulang dari sekolah atau setelah anak-anak membantu orang tua mereka, karena
pada umumnya anak-anak yang tinggal di pedesaan sudah dilibatkan orang tuanya
untuk bekerja walaupun sekedar membantu-bantu. Mengingat nyanyian
permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah, maka yang menjadi alasan utama
nyanyian permainan ini dilakukan di sore hari adalah karena cuaca di sore hari
tidak sepanas dan seterik di siang hari, sehingga baik untuk kesehatan anak-anak.
4. Cara melakukan permainan
Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil, secara
bersama-sama anak-anak mengucapkan kalimat ‘kacang koring sibuat na otik’.
Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu ‘tik’, masing-masing anak
memperlihatkan salah satu telapak tangan dengan bagian dalam telapak tangan
menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah anak yang memperlihatkan
telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika anak-anak yang lain sudah
menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua anak yang tersisa dengan
melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran sebagai penjaga pos. Si
109
anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke tiang untuk menunggu
anak yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu si anak tersebut
mengucapkan kata ‘nunga”? (sudah?), jika masih ada anak yang menjawab
‘daung’ (belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi
jika tidak ada lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah di tempat
persembunyian dan sudah bisa untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah memukan
salah satu temannya, dia harus mengucapkan kata ‘tul’ sambil menyebutkan nama
temannya tersebut. Begitu seterusnya hingga semua anak ditemukan.
5.4.2.2 Nyanyian Permainan Sada dua tolu
1. Pelaku permainan
Sada dua tolu merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan sewaktu
bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan untuk
menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang
mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak.
2. Tempat berlangsungnya permainan
Sama seperti nyanyian permainan Kacang koring, nyanyian permainan
Sada dua tolu juga biasanya dilakukan di luar rumah, namun nyanyian permainan
ini juga bisa dilakukan di dalam rumah tergantung situasi cuaca mendukung atau
tidak.
3. Waktu berlangsungnya permainan
Seperti halnya nyanyian permainan pada umumnya maka nyanyian
permainan Sada dua tolu juga dilakukan pada saat sore hari setelah anak-anak
pulang sekolah, dan setelah membantu orangtua mereka.
4. Cara melakukan permainan
110
Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil. Semua anak
menyanyikan “sada dua tolu sitambal nabalau pulik hamu na tolu holan ho do na
umbau” sambil seorang anak menunjuk satu persatu temannya. Nyanyian akan
berakhir di akhir lagu yaitu pada kata bau, dan anak yang pada saat dirinya
ditunjuk dan pada saat itu juga nyanyian berakhir, merupakan salah satu pemain
yang menang (yang akan dikejar). Begitu seterusnya dilakukan hingga tinggal dua
orang pemain. Dan anak yang kalah dari antara kedua anak tersebut adalah anak
yang tidak ditunjuk pada saat lagu berakhir yaitu pada kata bau. Selanjutnya si
anak yang kalah akan mengejar anak yang lain satu persatu hingga berhasil
menangkapnya.
5.4.2.3 Nyanyian Permainan Sampele sampele
1. Pelaku permainan
Sampele sampele merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan
sewaktu bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan
untuk menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang
mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak.
2. Tempat berlangsungnya permainan
Nyanyian permainan ini juga biasanya dilakukan di luar rumah, tetapi bisa
juga di dalam rumah tergantung situasi cuaca. Tetapi sewaktu mereka
menyanyikan nyanyian sampele sampele demi alasan kebersihan adalah lebih baik
dilakukan di teras rumah karena seluruh anak akan duduk sambil meluruskan
kedua kaki mereka ke depan. Selanjutnya ketika mereka hendak kejar-kejaran
barulah mereka beranjak dari teras rumah. Tetapi yang namanya anak-anak
banyak juga yang tidak memperhatikan kebersihan, terkadang bagi mereka lebih
111
seru dan menyenangkan bila duduk di tanah.
3. Waktu berlangsungnya permainan
Nyanyian permainan ini juga dilakukan di sore hari setelah anak-anak
pulang sekolah dan membantu orang tua mereka bekerja.
4. Cara melakukan permainan
Permainan ini dilakukan dengan cara semua anak duduk sambil
meluruskan kedua kaki masing-masing ke depan. Semua anak menyanyikan
nyanyian sampele sampele sambil masing-masing anak menepuk satu persatu kaki
mereka. Misalnya, jika ada lima orang anak sebagai pemain, berarti akan ada
sepuluh kaki yang diluruskan ke depan, dan nyanyian sampele sampele akan
dinyanyikan sebanyak sepuluh kali juga. Tepukan kaki akan berhenti di akhir lagu
yaitu pada kata ‘mise, dan anak yang kakinya kena tepuk tepat pada saat lagu juga
berakhir, maka si anak tersebut harus menarik kakinya yang kena tepuk tadi dan
melipatnya. Jika ada seorang anak yang kedua kakinya sudah ditarik dan dilipat
maka si anak tersebut keluar dan menjadi salah satu pemain yang menang (yang
akan dikejar). Begitu seterusnya dilakukan hingga tinggal dua orang pemain.
Pemain yang kalah adalah anak yang salah satu kakinya masih lurus ke depan.
Selanjutnya, si anak yang kalah tersebut akan mengejar teman-temannya satu
persatu, dan jika berhasil menangkap mereka, si anak tersebut harus mengucapkan
kata ‘sampele’.
5.4.2.4 Nyanyian Permainan Jambatan Tapanuli
1. Pelaku permainan
Nyanyian permainan ini akan lebih seru dan menarik apabila dilakukan
oleh banyak pemain. Jumlah pemain yang banyak akan membentuk barisan yang
112
panjang pula. Jumlah minimal pemain dalam nyanyian permainan ini adalah enam
orang anak.
2. Tempat berlangsungnya permainan
Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah apalagi kalau
jumlah pemainnya lebih dari enam orang. Hal ini dikarenakan sewaktu mereka
menyanyikan nyanyian tersebut mereka akan berbaris memanjang ke belakang
dan di akhir permainan akan melakukan tarik tambang. Tetapi nyanyian ini juga
bisa dilakukan di dalam rumah apabila pemainnya dalam jumlah minimal yaitu
enam orang saja.
3. Waktu berlangsungnya permainan
Jambatan Tapanuli adalah nyanyian permainan yang dulunya biasa
dinyanyikan anak-anak ketika terang bulan purnama. Tetapi sekarang nyanyian
tersebut biasanya dilakukan di sore hari setelah anak-anak pulang sekolah dan
setelah membantu orangtua mereka bekerja.
4. Cara melakukan permainan
Permainan ini dilakukan dengan cara dua orang anak yang lebih tinggi
badannya yang berperan sebagai jembatan yang menamakan diri mereka dengan
nama-nama benda langit (matahari, bulan dan bintang), buah-buahan (manggis,
jeruk) berdiri berhadap-hadapan dan saling berpegangan tangan di atas kepala.
Anak-anak yang lain berbaris memanjang ke belakang, dimana setiap anak
memegang kedua bahu temannya yang di depan. Mereka akan berjalan menunduk
dari bawah jembatan tersebut sambil menyanyikan lagu jambatan Tapanuli.
Kedua anak yang saling berpegangan tangan tadi akan menangkap anak di akhir
lagu yaitu pada kata ‘ale’. Lalu si anak tersebut akan ditanyai apa yang akan
113
dipilih, bulan atau bintang. Setelah ditentukan pilihannya maka si anak tersebut
akan berdiri di belakang yang dipilih. Begitu seterusnya sampai semua anak-anak
ditangkap dan menentukan pilihan mereka. Kemudian kedua pihak yaitu bulan
dan bintang melakukan tarik tambang, pihak yang menang adalah pihak yang kuat
tetap berdiri dan mampu menarik satu persatu pihak lawan atau bahkan membuat
mereka jatuh.
5.5 Kearifan Lokal Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak
Toba
5.5.1 Kearifan Lokal Nyanyian Menidurkan Anak
Di dalam penelitian kearifan lokal nyanyian menidurkan anak terdapat
beberapa kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut
fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang dianalisis
berdasarkan pengamatan langsung.
5.5.1.1 Rasa Syukur
Di dalam nyanyian menidurkan anak terdapat kearifan lokal rasa syukur.
Rasa syukur merupakan ungkapan rasa terima kasih sang anak kepada Tuhan yang
telah memberikan seorang ibu yang baik, yang telah merawatnya dengan penuh
perjuangan dari kecil hingga dewasa.
5.5.1.2 Pendidikan
Selain rasa syukur terdapat juga kearifan lokal pendidikan. Dideng
merupakan media pendidikan bagi anak, anak usia dini hanya belajar dari orang
tuanya. Dideng banyak mengandung pesan-pesan, petuah-petuah dan pengajaran
yang diberikan oleh orang tua, sehingga secara tidak langsung anak akan mulai
belajar.
114
5.5.2 Kearifan Lokal Nyanyian Permainan Anak
5.5.2.1 Nyanyian Permainan Kacang Koring
Dalam nyanyian permainan Kacang koring terdapat kearifan lokal
kesetiakawanan sosial. Setia kawan berarti peduli terhadap kawan, tidak
mementingkan diri sendiri (egois). Nyanyian permainan ini mengajarkan agar
anak-anak tidak rakus, tetapi mengambil sedikit saja atau secukupnya saja
untuknya, agar kawan yang lain juga mendapat bagian.
5.5.2.2 Nyanyian Permainan Sada dua tolu
Kearifan lokal nyanyian permainan Sada dua tolu adalah kesehatan.
Kesehatan yang dimaksud adalah agar anak-anak senantiasa rajin membersihkan
dan merawat badan agar tidak bau. Karena anak yang badannya bersih dan terawat
akan disenangi banyak teman, tidak seperti lirik lagu tersebut yang
menggambarkan anak yang bau akan dikeluarkan dari permainan dan dijauhi
teman-teman.
5.5.2.3 Nyanyian Permainan Sampele sampele
Dalam nyanyian permainan Sampele sampele terdapat kearifan lokal
kerukunan. Kerukunan berarti hidup damai dan berdampingan antara satu dengan
yang lain. Dalam hal ini kerukunan yang dimaksud adalah kerukunan bersaudara.
Berkumpul bersama saudara yaitu kakak dan adik dan diwarnai oleh canda dan
tawa merupakan suasana kerukunan yang digambarkan dalam nyanyian sampele
sampele (anggiku mengkel-engkel ibotoku martata). Dalam nyanyian tersebut
tidak ada gambaran perselisihan maupun konflik meskipun seorang dari antara
mereka kalah bermain judi sama orang tua.
115
5.3.2.4 Nyanyian Permainan Jambatan Tapanuli
Kearifan lokal nyanyian jambatan Tapanuli adalah peduli lingkungan.
Jembatan Tapanuli adalah kebanggaan MBT umumnya dan masyarakat Tarutung
khususnya, keindahan dan kebersihan jembatan tersebut harus tetap dijaga agar
bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.
116
Daftar Pustaka
Adams, Ken. 2006. Children Psychology. New York: MsGraw-Hill. Arista. 2012. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Lirik Lagu Dolanan Jawa.
MakalahAhmad Badrun (2003) dari Sekolah Pascasarjana Universitas IndonesiaAvonina, Stefany. 2006. “Apa yang Dimaksud dengan Pengetahuan
Tradisional?”, Konvergensi, Edisi IX, Oktober 2006.Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Bascom William R. 1965b. “Four Functions of Folklore” dalam Alan Dundes The
Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.Brunvand, John Harold. 1978. The Study Of American Folklore: An Introduction,
Second Edition, New York: WW Norton & Company Inc.Danandjaja, James. 1991. “Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-
lain”. Jakarta: Grafiti. Danandjaja, James, 1994. “Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan
Penelitian Antropologi Psikologi” dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.
Danandjaja, James, 2002. “Folklor Amerika: “Cermin Multikultural yang Manunggal”. Jakarta: Grafiti.
Danandjaja, James, 2007. “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Edwards, Patricia, A. 2004. Children’s Literary Development. Boston: Pearson.Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Med
Press.Ife, Jun, 2002. Community Development, Creating Community Alternatif Vition
Analyses and Practice. Australia: Longmann.Gana, Oejeng, S. 1966. “Perkembangan Lektur untuk Anal-Anak di Luar Negeri
dan di Indonesia” dalam Batjaan Anak-Anak: Pandangan Beberapa Ahli. Jakarta: Balai Pustaka.
Grace Somelok (2011) dari sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Khais, Ali. 2012. Nyanyian Rakyat Kaili: Struktur, Fungsi, dan Nilai. Makalah.Koentjaraningrat.1997. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.Kozok, Uli. 2009. Surat Batak. Jakarta: KPG.Leach, Maria.1949. (Ed.). Dictionary of Folklore Mythology and Legend”. New
York: Funk & Wagnalls Company.Lumbantoruan, Nelson. 2012. Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba. Medan:
Mitra.----------------------------. 2012. Sastra Lisan Batak Toba. Medan: Mitra.Maliudin (2012) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan IndonesiaProp, Vladimir. 1975. Morfology of the Folktale. Austin, London: University of
Texas Press. Pudentia. 2007. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.Purba, Setia Dermawan. 2008. Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Etnik
Simalungun. Etnomusikologi. 8: 1-29.
117
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sanimo, Tutus. 1992. “Genre Puisi Folklor sebagai Bahan Pengajaran Sastra”. Tegal: Universitas Pancasari.
Sedyawati, Edi. 1986. Local Genius dalam Kesenian Indonesia”. dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). (Penyunting: Ayatrohedi). Jakarta: Pustaka Jaya.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal Hakikat. Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Medan: Asosiasi Tradisi Lisan
Sinar, T.S. 2010. Teori dan Analisis Wacana. Medan: Pustaka Bangsa Press.Sutarto, Ayu. 2010. Kearifan Lokal Jawa (Pesan-pesan mulia dari Leluhur).
Surabaya: Bidang PNFI-Nilai Budaya. Disdik Provinsi Jawa Timur. Umami, Ulfa Riza dan Supriyadi. Pemanfaatan Nilai-Nilai Didaktik Nyanyian
Permainan Anak-Anak Sapekan DiPulau Sapekan Kecamatan Sapekan Kabupaten Sumenep. Makalah.
Media internet(http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/nyanyian-rakyat-folksongs-di-indonesia-pengertian-contoh-balada-epos.html)
118