188
TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TESIS Oleh : DEMAK MAGDALENA P. SILABAN 127009024/LNG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN

LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN

TESIS

Oleh:

DEMAK MAGDALENA P. SILABAN127009024/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN2014

Page 2: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN

LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN

TESIS

Oleh:

DEMAK MAGDALENA P. SILABAN127009024/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN2014

Page 3: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN

LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN

TESIS

Oleh:

DEMAK MAGDALENA P. SILABAN127009024/LNG

\

FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN2014

Page 4: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

TRADISI LISAN NYANYIAN ANAK-ANAK PADAMASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN

LINTONGNIHUTA KABUPATENHUMBANG HASUNDUTAN

ABSTRAK

Nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta memiliki banyak varian. Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi semakin punahnya nyanyian anak-anak pada masyarakat Batak Toba (MBT), menganalisis fungsi dan makna, konteks, serta kearifan lokal. Untuk itu digunakan teori fungsionalisme dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa nyanyian menidurkan anak yaitu Dideng dideng dan nyanyian permainan anak yaitu Kacang koring, Sada dua tolu, Sampele sampele dan Jambatan Tapanuli yang direkam langsung di lokasi penelitian Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa fungsi nyanyian menidurkan anak adalah sebagai bentuk hiburan, alat pendidikan anak, alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan penguatan ikatan persaudaraan, sedangkan fungsi nyanyian permainan anak masing-masing adalah sebagai bentuk hiburan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial, dan sebagai penguat ikatan persaudaraan. Makna nyanyian menidurkan anak adalah menghargai perjuangan ibu, sedangkan makna nyanyian permainan anak masaing-masing tidak boleh rakus, menjaga kebersihan badan, kebersamaan, dan cinta lingkungan. Konteks nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak ini adalah mengenai latar atau tempat berlangsungnya nyanyian anak tersebut, siapa yang melantunkan, siapa yang mendengarkan, bagaimana suasananya, serta bagaimana melakukannya. Nilai kearifan lokal yang terdapat pada nyanyian menidurkan anak adalah menghormati orang tua, menghormati kaum perempuan, sedangkan kearifan lokal nyanyian permainan anak masing-masing adalag saling berbagi, kesehatan, kerukunan bersaudara, serta cinta lingkungan. Dari hasil pembahasan maka disimpulkan bahwa nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak MBT merupakan tradisi lisan yang memiliki kearifan lokal yang sangat baik, oleh karena itu perlu dilestarikan sebagai tradisi lisan MBT.

Kata kunci: nyanyian rakyat, nyanyian menidurkan anak, nyanyian permainan anak, masyarakat Batak Toba, dan kearifan lokal.

iv

Page 5: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap suku bangsa di Nusantara memilliki beragam bentuk tradisi yang khas.

Tradisi lokal ini sering disebut dengan kebudayaan lokal (local culture), yang hidup

di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat pendukungnya mengalami

perubahan, tetapi tradisi tetap ada. Salah satu bentuk tradisi yang masih berkembang

sampai sekarang adalah tradisi lisan. Awal mula tradisi lisan berkembang di

Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat yang

memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi kelisanan lebih

mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.

Tradisi lisan (oral tradition) dapat diartikan sebagai kebiasaan atau adat yang

berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari

generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Tradisi lisan menjadi bagian dari warisan

budaya bangsa yang ditetapkan dalam konvensi UNESCO tertanggal 17 September

2003. Pudentia (2007: 27) mendefinisikan tradisi lisan sebagai wacana yang

diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang

beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Tradisi lisan, dengan tradisi

dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya penting dan berharga yang

layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan kekuatan kultural

dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat oleh Sibarani

(2012:15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan

1

Page 6: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun

peradaban.

Folklor merupakan bagian dari tradisi lisan. Folklor merupakan sebagian dari

unsur kebudayaan yang penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut

atau dengan cara-cara lain. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang

tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja secara

tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang

disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)

(Danandjaja 2007: 2). Cakupan folklor sangat luas karena meliputi kebudayaan suatu

kolektif masyarakat suatu wilayah tertentu serta bentuk-bentuknya. Berdasarkan

klasifikasi folklor menurut ahli folklor dari Amerika Serikat yaitu Brunvand, folklor

dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan

folklor bukan lisan (Danandjaja, 2007: 22-153).

Sastra adalah gambaran kehidupan masyarakat. Sastra lisan merupakan tradisi

yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan menggunakan bahasa

sebagai media utama. Sastra lisan sering juga disebut sastra rakyat, karena muncul

dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Sastra lisan ini dituturkan,

didengarkan, dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan

maksud dan tujuan tertentu pula. Dalam kaitannya dengan tradisi lisan, wujud tradisi

lisan itu dapat berupa tradisi berkesusasteraan lisan seperti tradisi menggunakan

bahasa rakyat, tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional

atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan

menabalkan gelar kebangsawanan (Sibarani, 2012:48). Semua wujud tradisi lisan

2

Page 7: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

tersebut mengindikasikan ada kegiatan budaya, yang merupakan perbedaan dari

sastra lisan dan folklor.

Penelitian khazanah tradisi lisan di Indonesia pada awalnya digalakkan

setelah muncul kesadaran akan semakin banyaknya penutur dan penikmat yang

hilang. Perkembangan zaman yang modern juga sedikit banyaknya mendukung

hilangnya dan pupusnya tradisi lisan. Nyanyian rakyat merupakan salah satu wujud

tradisi lisan yang dikhawatirkan kehilangan penutur dan penikmatnya.

Nyanyian rakyat merupakan bunyi (suara) yang berirama dan berlagu musik

yang terangkai sehingga menghasilkan suatu harmonisasi yang indah. Hal ini

diperkuat oleh Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 141) yang menyatakan bahwa

nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan

lagu, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk

tradisional, serta memiliki banyak varian. Nyanyian rakyat disebut juga puisi

tradisional, yang bersifat nyanyian, untuk dibacakan, dialami, dan dihayati bersama-

sama. Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, nyanyian rakyat tidak diketahui

siapa penciptanya karena pada saat nyanyian tersebut diciptakan rasa kebersamaan

masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Keberadaan

nyanyian rakyat sebagai salah satu bentuk dari tradisi lisan pada saat ini mulai

dikhawatirkan keberlangsungannya yang telah diambang kepunahan. Misalnya,

nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (lullaby), maupun nyanyian

permainan anak (playing song). Dahulu, sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua

untuk menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya. Berbeda dengan masa

sekarang, orangtua sudah jarang menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi

anaknya, memperdengarkan lagu-lagu klasik dirasa lebih bermanfaat dan sesuai

3

Page 8: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

dengan perkembangan zaman. Begitu juga nyanyian permainan anak yang pada masa

lalu begitu populer digunakan anak-anak dalam mengiringi permainan mereka, tetapi

pada masa sekarang mereka umumnya sudah tidak menggunakan bahkan tidak

mengenal lagi nyanyian-nyanyian permainan tersebut.

Nyanyian menidurkan anak (lullaby) dan nyanyian permainan (play song)

termasuk ke dalam golongan nyanyian rakyat yang memiliki fungsi di dalamnya.

Danandjaja (1991:146) mengemukakan bahwa nyanyian rakyat yang berfungsi

adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan penting.

Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas

khusus dalam kehidupan manusia. Nyanyian menidurkan anak berisi pesan-pesan,

nasihat-nasihat, petuah-petuah, harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap

anaknya dari kecil hingga beranjak dewasa. Sedangkan nyanyian permainan menurut

Danandjaja (1991:147) adalah nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-

kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan (play) atau permainan bertanding

(game).

Hampir sebagian besar suku bangsa di Indonesia memiliki tradisi lisan,

demikian pula dengan masyarakat Batak Toba (selanjutnya disingkat MBT)

yang berada di desa Nagasaribu, Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang

Hasundutan, yang melestarikan tradisi lisan yang terlahir dan berkembang dalam

lingkungan yang menggunakan bahasa daerah. Tradisi lisan yang dimaksud

adalah nyanyian rakyat.

Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai jenis nyanyian rakyat yang

dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Berdasarkan

penggolongan nyanyian rakyat oleh Brunvand, maka MBT memiliki jenis-jenis

4

Page 9: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

nyanyian rakyat seperti (a) Nyanyian kelonan (lullaby), contoh: dideng dideng; (b)

Nyanyian kerja (working song), contoh: luga-luga solu; (c) Nyanyian permainan

(playing song), contoh: sampele-sampele; (d) Nyanyian yang bersifat kerohanian dan

keagamaan, contoh: metmet ahu on, (e) Nyanyian nasehat, contoh siboruadi, dan (f)

Nyanyian mengenai pacaran dan pernikahan, contoh: madekdek ma gambiri.

Mengingat dewasa ini keberadaan nyanyian rakyat sudah mulai

dikhawatirkan keberadaannya, maka sebagai sebuah tradisi dan budaya sudah

sepatutnyalah nyanyian rakyat tersebut di atas dipertahankan dan dilestarikan karena

tradisi tersebut mencerminkan dan merupakan jati diri bangsa ataupun daerah dimana

kebudayaan atau tradisi berasal. Salah satu jenis nyanyian rakyat MBT yang sudah

mulai tertinggal adalah nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (ende

mandideng) maupun nyanyian permainan anak (ende marmeam).

Nyanyian menidurkan anak adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk

menidurkan anak. Dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi seorang ibu kepada

anaknya, seorang anak laki-laki atau perempuan kepada adiknya untuk menyanyikan

nyanyian pengantar tidur. Begitu juga pada MBT, sebelum menidurkan anak, para

orang tua pada MBT gemar sekali mendidengkan anaknya. Biasanya, jika hendak

mendidengkan anak maka si anak akan digendong (diompa) terlebih dahulu dengan

memakai kain gendongan yang disebut parompa. Ketika si anak sudah dalam

gendongan si orang tua, maka si orang tua tersebut mulai mendidengkan anaknya

sambil menepuk-nepuk bokong si anak dengan pelan ataupun mengelus-elus

badannya. Selain itu hentakan kaki si orangtua akan turut mengikuti irama lagu yang

dinyanyikan. Nyanyian yang disenandungkan selalu diiringi irama-irama yang

bervariasi dan mampu membuat si anak terlelap dalam tidurnya. Nyanyian atau

5

Page 10: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

senandung tersebut biasanya berisi pesan-pesan, nasihat-nasihat, petuah-petuah,

harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap anaknya dari kecil hingga

beranjak dewasa. Semua harapan dan keinginan orang tua terhadap anaknya selalu

diutarakan lewat sebuah nyanyian yang disenandungkan pada anak sebelum tidur.

Hal ini disebabkan secara psikologis, ketika seorang anak tidur ia akan lebih mudah

menyerap pesan-pesan yang diberikan oleh orangtuanya karena pada saat itulah otak

anak bekerja dengan aktif dan cepat sehingga akan mudah terserap dalam alam

bawah sadar anak. Hal ini diperkuat oleh Ken Adams (2006:27) yang

mengungkapkan bahwa bayi yang masih kecil akan mencoba bergerak sesuai irama

saat mendengar musik.

Bersenandung atau mendidengkan anak ketika tidur akan semakin

mempererat atau mendekatkan hubungan batin antara orang tua dan anaknya. Hal ini

diperkuat oleh pendapat Hutt dalam Desmita (2006: 101) yang menyatakan bahwa

respons selektif bayi yang baru lahir terhadap ucapan manusia memiliki arti penting

bagi kelangsungan hidupnya, sebab ia menjadi bagian vital dalam perkembangan

hubungan kasih sayang antara orang tua dan anak. Nyanyian menidurkan anak pada

MBT yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah dideng dideng.

Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang biasanya dinyanyikan anak-

anak pada saat bermain, baik dilakukan di dalam rumah, maupun di luar rumah

waktu siang atau sore hari dalam keadaan cerah, atau di tempat lain di tempat mereka

bermain yang menurut mereka nyaman, biasanya di lapangan terbuka. Biasanya tidak

semua daérah sama dalam hal isi lagu permainan anak, tergantung tempat dimana

mereka tinggal. Zaman sekarang, nyanyian permainan anak ini sudah jarang

dinyanyikan oleh anak-anak, terutama anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan,

6

Page 11: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

nyanyian permainan anak ini hanya dinyanyikan oleh anak-anak yang tinggal di

pedesaan atau di daérah pagunungan saja.

Begitu juga dalam MBT, sekarang ini hanya anak-anak yang tinggal di

pedesaan saja yang tahu menyanyikan nyanyian permainan anak. Hal ini disebabkan

karena kurikulum sekolah di pedesaan turut berkontribusi memperkenalkan pelajaran

Bahasa Daerah Batak Toba dalam Muatan Lokal. Nyanyian permainan anak ini

biasanya dinyanyikan secara kolektif baik oleh anak laki-laki maupun perempuan

yang jumlahnya minimal empat atau enam orang. Biasanya anak-anak Batak Toba

lebih suka bermain di sore hari setelah pulang sekolah atau setelah mereka membantu

orang tua bekerja, mereka bermain di halaman rumah maupun di pekarangan yang

luas. Sebenarnya bermain sambil bernyanyi juga bisa dilakukan di sekolah pada jam

istirahat, namun karena waktu istirahat di sekolah yang terbatas yaitu hanya 15

menit, sedangkan durasi nyanyian permainan pada umumnya lebih dari 15 menit,

membuat anak-anak lebih memilih bermain di luar sekolah. Hal lain adalah bahwa

bermain di luar sekolah lebih nyaman, mengingat sekolah adalah lingkungan yang

formal mengakibatkan anak-anak kurang bisa berekspresi dengan bebas. Nyanyian

permainan anak pada MBT yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sampele

sampele, jambatan Tapanuli, kacang koring, sada dua tolu.

Kemudian, pada umumnya anak-anak mempunyai cara dan gaya tersendiri

dalam melantunkan nyanyian-nyanyian tersebut, artinya anak-anak mengetahui isi

dan iramanya serta pada waktu kapan mereka dapat melantunkannya. Melantunkan

nyanyian tersebut merupakan salah satu cara menanamkan nilai kearifan orang

Batak dan cermin bahasa budaya yang mengandung nilai-nilai universal seperti

gembira, sengsara, suka, duka, baik, buruk, benar, salah, hidup, maut, dan unsur-

7

Page 12: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

unsur lain yang merupakan suatu keutuhan sehingga menjadi suatu jalinan yang

terpadu dan sering dicerminkan dalam kehidupan (Depdikbud, 1993:56).

Beberapa nyanyian anak pada MBT memiliki beberapa varian. Pewarisan

nyanyian anak yang dilakukan secara lisan oleh nenek moyang Batak Toba

mengakibatkan nyanyian anak tersebut memiliki banyak varian. Danandjaja

(1991:141-142) mengemukakan bahwa dalam kenyataan, teks nyanyian rakyat

selalu dinyanyikan oleh informan dan jarang sekali yang hanya disajakkan (recite)

saja. Namun teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu/irama yang sama.

Sebaliknya, lagu/irama yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan

beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda. Hal ini pun terjadi dalam pelantunan

beberapa nyanyian anak misalnya Sampele sampele, Jambatan Tapamuli memiliki

beberapa varian. Munculnya varian dalam sebuah nyanyian rakyat disebabkan

masyarakat penutur yang terkadang tidak mengetahui lirik lengkapnya,

artinya ada yang mengetahui setengahnya atau hanya sebagian kecil, sehingga

terjadilah proses interpolasi (penambahan sisipan baru) pada teks induknya.

Masyarakat penutur hanya menghafal formula dari lagu tersebut, kemudian mencipta

ulang lirik lagu tersebut. Oleh karena itu, penciptaan ulang sebuah sastra lisan

seringkali terjadi.

Adanya keanekaragaman nyanyian permainan anak pada MBT menjadi

sebuah fenomena yang menarik untuk dianalisis, karena dalam lagu-lagu

permainan tersebut tidak hanya sekadar lagu pengiring dalam sebuah permainan,

bahkan mengandung nilai kearifan lokal. Kemudian, nyanyian menidurkan anak dan

nyanyian permainan anak berkaitan erat dengan konteks pertunjukan yang meliputi

dua hal: konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi merupakan lingkungan

8

Page 13: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

atau tempat peristiwa percakapan berlangsung. Selain konteks situasi, konteks

budaya pun turut mempengaruhi dalam hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa

yang melatari pertunjukan.

Pada hakikatnya nyanyian rakyat bukan hanya semata-mata sebagai sebuah

seni, melainkan sebuah nyanyian yang memiliki fungsi. Salah satu fungsinya yang

sangat menonjol adalah nyanyian rakyat berfungsi sebagai pendidik, yakni di dalam

nyanyian rakyat tersebut berisi nasihat-nasihat, petuah-petuah, cita-cita, dan harapan-

harapan para orang tua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya ketika beranjak

dewasa.

Dalam nyanyian rakyat tergambar jelas tata cara kehidupan sosial

masyarakat. Hal ini sesuai dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut. Menurut

Danandjaya (1984:152-153) nyanyian rakyat memiliki fungsi yakni: (a) nyanyian

rakyat memiliki fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup

sehari-hari walaupun untuk sementara waktu atau menghibur diri dari kesukaran

hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri

dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.

Nyanyian rakyat yang berfungsi demikian adalah nyanyian jenaka, nyanyian untuk

mengiringi permainan anak-anak seperti “sampele-sampele”. (b) Nyanyian rakyat

juga berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian bekerja “luga-luga

solu”, nyanyian untuk baris berbaris, perjuangan, dan sebagainya. (c) Nyanyian

rakyat juga berfungsi untuk memelihara sejarah setempat, klen, dan sebagainya. (d)

Nyanyian rakyat juga berfungsi sebagai protes sosial, protes mengenai ketidakadilan

dalam masyarakat, negara, atau bahkan dunia.

9

Page 14: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Lirik nyanyian rakyat terdiri dari barisan kata-kata yang dirangkai dengan

baik dan dengan gaya bahasa yang menarik pula. Barisan kata-kata tersebut

mempunyai makna mendalam atau tujuan tertentu yang dipesankan kepada

masyarakat sebagai pendengarnya. Selain itu lirik nyanyian rakyat khususnya

nyanyian anak-anak mengandung makna yang dapat mempengaruhi pembentukan

identitas dan karakter mereka.

Di samping memiliki fungsi dan makna, nyanyian rakyat yang merupakan

warisan budaya juga sarat akan kearifan-kearifan lokal yang mencerminkan nilai-

nilai budaya yang sangat penting untuk digali yang dapat digunakan untuk

memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehingga dapat melangsungkan

kehidupan bahkan berkembang secara berkelanjutan.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas yaitu tentang latar belakang

penelitian dengan objek kajian nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang berada

di desa Nagasaribu Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan.

Adapun alasan pengambilan data di lokasi tersebut karena keberadaan tradisi lisan

khususnya nyanyian rakyat anak-anak masih bertahan di tengah masyarakat yang

telah mengalami modernisasi.

Penganalisisan nyanyian rakyat anak-anak dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara pendeskripsian lagu melalui kajian fungsi,makna, konteks

serta kearifan lokal. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas maka penelitian ini

dituliskan dalam sebuah tulisan tesis dengan judul “Nyanyian Rakyat Anak-Anak

Pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Terhadap Fungsi, Makna, Konteks dan

Kearifan”.

10

Page 15: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keberadaan (existence) nyanyian rakyat anak-anak pada masyarakat

Batak Toba saat ini?

2. Bagaimana fungsi dan makna nyanyian rakyat anak-anak pada masyarakat Batak

Toba?

3. Bagaimana konteks nyanyian rakyat anak-anak pada masyarakat Batak Toba?

4. Apa saja kearifan lokal yang terdapat pada nyanyian rakyat anak-anak Batak

Toba?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan keberadaan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT saat ini.

2. Mendeskripsikan fungsi dan makna nyanyian rakyat anak-anak MBT.

3. Mendeskripsikan konteks nyanyian rakyat anak-anak pada MBT.

4. Mendeskripsikan kerifan lokal nyanyian rakyat anak-anak pada MBT.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah kajian tradisi lisan.

b. Memberikan kontribusi yang relevan dalam penelitian kajian tradisi lisan

khususnya penelitian MBT.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Membantu masyarakat untuk memahami nyanyian rakyat anak-anak sebagai

tradsi lisan MBT.

11

Page 16: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

b. Melestarikan nilai-nilai budaya dalam sikap dan falsafah MBT.

c. Mensosialisasikan tentang kearifan lokal kepada MBT agar transformasi budaya

dapat dijadikan suatu gerakan nasional.

1.5 Klarifikasi Istilah

anggunan : ayunan

diompa : digendong

ende parmeanan : nyanyian permainan

ende mandideng : nyanyian menidurkan anak

MBT : Masyarakat Batak Toba

mandar : kain sarung

parompa : kain gendongan

12

Page 17: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Tradisi Lisan

Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis

keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat

dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat (Koentjaraningrat, 1997:9).

Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara

turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat

rutin. Adat kebiasaan tersebut disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan

selanjutnya dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi. Inilah yang

menjadi tradisi lisan.

            Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang

diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang

beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus

penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan

antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan

menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma,

dan adat istiadat.

Sibarani (2012:43-46) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri

tradisi lisan sebagai berikut:

13

Page 18: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan ,

sebagian lisan dan bukan lisan.

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya.

3. Dapat diamati atau ditonton

4. Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus

mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi

baru yang ada unsur etnisnya.

5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu

generasi ke generasi lain.

6. Proses penyampaian ‘dari mulut ke mulut’. Tradisi yang disampaikan,

diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi lisan.

7. Mengandung nilai-nilai dan norma budaya.

8. Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan, sebuah

tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut

dengan variasi atau versi.

9. Milik bersama komunitas tertentu.

10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.

Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang

diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi

lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang

bukan lisan (non verbal). Oral traditions are the community’s traditionally cultural

activities inherited orally from one generation tro the other generation, either the

tradition is verbal or non verbal (Sibarani, 2012: 47).

14

Page 19: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

2.1.2 Folklor

Secara etimologis, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Folk

berarti sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri pengenal, fisik, sosial, dan

kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri

pengenal itu seperti: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian

yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama

(Sibarani, 2012:37). Sedangkan lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian

kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan maupun

melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat, baik

secara verbal maupun non verbal. Jadi, definisi folklore secara keseluruhan adalah

sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun,

diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik

dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu

pengingat (mnemonic device).

Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja, 2002) seorang ahli folklor

AS, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya

yaitu:

1. Folkor lisan (verbal folklore)

2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)

3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore).

Folklor lisan bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang

termasuk pada kelompok ini antara lain : (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat,

15

Page 20: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional,

seperti peribahasa, pepatah, dan pomeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki;

(4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (5) cerita prosa rakyat, seperti

mite, legenda, dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat (folksong), dan (7) musik

rakyat.

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran

unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang

“modern” seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan

ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda

salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari

gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat

untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata

tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini selain

kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat,

upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun

cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi

dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk

folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli

daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan

perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.

Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional

(gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat

16

Page 21: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Danandjaya (1994:3) mengemukakan Sembilan ciri folklor yaitu:

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.

2. Folkor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif atau dalam

bentuk standar dalam waktu yang lama minimal dua generasi.

3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal

ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya

bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa folklore

mudah mengalami perubahan.

4. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.

5. Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat bisanya

selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari”.

6. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu

kolektif. Cerita rakyat misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes

sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai

dengan ligika umum. Ciri folkor ini berlaku bagi folklor lisan dan sebagain

lisan.

8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan

karena penciptanya yang pertama sudah tidak ada sehingga setiap anggota

kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

9. Folklor umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar,

terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak

folklor merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

17

Page 22: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Selanjutnya menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) ada beberapa

fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu:

1. Sebagai sistem proyeksi (projective system); folklor memperlihatkan pandangan,

pemikiran, dan visi masyarakat pemilik folklor itu. Folklor itu menjadi cermin

komunitas pemiliknya karena di dalam folklor itu tergambar cara pandang (way

of life) komunitas pemiliknya. Sebagai contoh, kalau di Jawa Barat ada cerita

Sangkuriang merupakan proyeksi keinginan manusia untuk bersenggama dengan

ibu kandungnya. Jika ditinjau dari psikoanalisis Freud, keinginan manusia yang

meledak-ledak itu sering terpendam. Keinginan yang dinamakan odipus complex

tersebut diwujudkan ke dalam mimpi, karena masyarakat akan melarangnya.

2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture);

folklor merepresentasikan dan melegitimasi eksistensi pranata dan lembaga

kebudayaan. Pranata dan lembaga kebudayaan akan semakin eksis dan legal

dengan adanya folklor sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat itu. Sebagai

contoh, di Jawa Timur ada legenda cecak yang menghianati Nabi Muhammad

SAW, yakni kisah nabi yang telah dikhianati cecak berwarna kelabu, sewaktu

beliau bersembunyi di dalam goa untuk menghindari kejaran musuh-musuhnya.

Legenda ini digunakan untuk menghindari masyarakat Jawa Timur tidak

membunuh cecak berwarna kelabu pada hari Jumat Legi. Apabila hal ini

dilanggar akan menyebabkan sial.

3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device); menggali nilai-nilai pendidikan

yang ada pada folklor khususnya nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber

18

Page 23: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

dari kearifan lokal (bentuk ajaran pada anak). Sebagai contoh, dalam lagu rakyat

Bang-bang Tut, menurut Sanimo (1992:4) merupakan pendidikan agar siapa

yang berbuat salah sebaiknya mengaku salah.

4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat

pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu

dipatuhi anggota kolektifnya (as a mean of applying social pressure and

exercisingsocial control); folklor berisikan petuah-petuah, etika dan norma-

norma yang perlu diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagai contoh, gugon

tuhon, seperti aja lungguh bantal mundhak wudunen, aja mangan neng ngarep

lawang.

Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara, 2008:129-30) menambahkan

fungsi lain, yaitu:

1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif (promoting a group’s feeling of

solidarity). Sebagai contoh, tentang legenfa kepahlawanan Pangeran

Sambernyawa, akan mempertebal solidaritas bangsa dan khususnya bagi warga

Mangkunegaran, mitos Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati.

2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang. Sebagai contoh, ketika

anak-anak memberikan cangkriman kepada orang dewasa, jaran madhep

ngetanbuntute neng ngendi? Jika orang dewasa menjawab: neng kulon, spontan

anak tadi akan menyalahkan. Yang betul ekornya di atas silit atau di tempat

semula.

19

Page 24: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit

hati dan pemberian hukuman. Sebagai contoh, kaya kuping ngluwhi sungu,

untuk menyebut orang bawahan yang akan kurang ajar terhadap atasannya.

4. Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat (serving a

vehical for social protes). Sebagai contoh, dagelan atau lawak dalam masyarakat

Jawa sebagai pertunjukan segar yang sering diboncengi misi protes. Oleh karena

bentuk protes lewat seni, justru lebih menarik.

5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (offering an enjoyable

escape from reality), yang penuh kesukaran, sehingga dapat mengubah

pekerjaan yang membosankan, menjadi permainan yang menyenangkan. Fungsi

semacam ini disebut juga fungsi rekreasi.

6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan (converting dull

work into play).

Dari fungsi tersebut berarti folklor dapat memuat aneka ragam fungsi, seperti

fungsi kultural, hukum, politik, dan keindahan. Fungsi-fungsi tersebut tentu saja bisa

berubah dan atau berkembang dalam kehidupan pemilik folklor.

2.1.2.1 Folklor Anak

Secara psikologis, anak tergolong mudah menerima folklor. Hafalan anak

jauh lebih kuat, dalam memori sajak-sajak dan permainan bunyi. Disamping itu,

psikologi anak juga membenarkan bahwa mereka gemar bermain. Dalam bermain,

banyak unsur folklor yang dilagukan. Oleh sebab itu, folklor anak jauh lebih lekat di

hati mereka, bahkan setelah menjadi orang dewasapun folklor anak itu masih

membekas (Endraswara, 2008: 60). Sejak dini anak-anak telah menjadi pendengar,

20

Page 25: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

anak-anak (balita) usia 4-5 tahun, sudah dapat menerima dan merasakan keindahan

inti sari cerita karena kepintaran otaknya mengungguli kekuatan badannya (Gana,

1966: 53). Pada usia taman kanak-kanak (4-7 tahun) mereka sudah dapat menangkap

cerita yang dikisahkan, meskipun belum dapat membedakan khayalan dengan

kenyataan. Pada usia sekolah dasar (7-12 tahun) di samping mendengarkan, anak-

anak sudah dapat membaca. Para ahli berpendapat bahwa anak-anak usia 8-12 tahun

merupakan pengamat-pengamat yang teliti dan serius karena pandangan mereka yang

realistis terhadap dunia, serta pandangan mereka yang serius terhadap segala sesuatu

yang terjadi di sekitarnya.

Dalam kaitannya dengan folklor anak yang berupa kisah atau cerita, Davis

(dalam Endraswara, 2008:62) mengemukakan bahwa cerita anak itu bersifat:

1. Tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam bentuk

mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang romantis.

2. Idealistis, yaitu yang pantas dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan

yang terbaik yang diambilkan dari zaman dahulu dan karya penulis terbaik pada

masa kini.

3. Populer, yaitu bersifat hiburan, yang menyenangkan anak-anak

4. Teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan dan

arahan orang-orang dewasaserta penulisannya dikerjakan oleh orang-orang

dewasa pula.

2.1.2.2 Nilai Luhur Folklor Anak

21

Page 26: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Pribadi anak adalah polos. Maksudnya seperti kertas putih, dapat dicoret

apapun. Jiwa yang masih bersih ini dapat diisi dengan cerita apa saja. Berkenaan

dengan hal ini, dalam cerita anak-anak sebetulnya terkandung nilai-nilai luhur,

terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Dongeng, misalnya, dapat dijadikan

sarana pendukung pendidikan untuk membentuk kepribadian yang berjiwa teladan.

Cerita atau bacaan merupakan sumber penting yang membukakan kemungkinan-

kemungkinan perkembangan jiwa. Figur-figur andalan anak dalam folklor akan

diteladani dalam sikap hidupnya.

Anak memiliki kebebasan jiwa. Anak juga kaya akan alternatif. Namun, perlu

diketahui bahwa anak dibesarkan dan belajar tidak dalam kevakuman budaya

(Edwards, 2004:89). Budaya yang dimaksud adalah berbagai adat kebiasaan, perilaku

verbal dan non verbal, dan lain-lain, sebagaimana yang didemonstrasikan secara

konkret oleh dan di lingkungan keluarganya. Budaya semacam ini hampir seluruhnya

terangkum dalam kandungan folklor. Setiap folklor merupakan refleksi pengalaman

yang berharga bagi perkembangan budaya anak. Oleh sebab itu folklor tersebut jika

diberdayakan akan mempengaruhi perjalanan dan perkembangan kejiwaan anak

selanjutnya. Meskipun seorang anak belum dapat membaca, tetapi sudah dapat

menerima rangsangan suara dan gerak, maka lewat media suara dan gerak inilah nilai

dan kenikmatan keindahan diberikan. Singkatnya, sastra yang diperkenalkan kepada

anak adalah sastra yang bermediakan suara dan diperkuat dengan gerakan-gerakan

anggota badan yang mendukung. Jika puisi yang diberikan kepada anak, maka puisi

itu adalah puisi-puisi yang dilagukan, puisi lagu, dan jika cerita fiksi yang diberikan

22

Page 27: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

(setelah anak mampu memahami), maka cerita anak itu adalah cerita yang dikisahkan

secara lisan atau dibacakan dari buku.

Hal tersebut menandai bahwa juru dongeng, pelantun tembang, juru kisah,

dan penutur amat penting bagi jiwa anak. Kemampuan atraktif mereka dibutuhkan

dalam rangka mengorganisasi kelenturan jiwa anak. Dalam kaitan ini, puisi anak

yang dilagukan, tembang dolanan anak, atau nyanyian yang biasa didendangkan saat

menimang, meninabobo (lullaby), dipandang lebih komunikatif dalam jiwa anak.

Anak lebih mudah menerima pesan lewat lagu yang didendangkan, apalagi disertai

mimik dan atraksi.

2.1.3 Masyarakat Batak Toba

Sebagai satu kesatuan etnik, MBT mendiami suatu daerah kebudayaan

(culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Luas

daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km2. Umumnya tanah kawasan ini

terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah

berada pada 20- 30 Lintang Utara dan 980 – 99,50 Bujur Timur. Luas daratan Provinsi

Sumatera Utara 71.680 km2. Sumatera Utara dibagi menjadi 26 kabupaten, 8 kota

(dahulu kotamadya), 325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan/desa. Populasi penduduk

diperkirakan 12.985.075 (tahun 2010), dengan kepadatan 177, 9/km kuaderat terdiri

dari berbagai kelompok etnis. Batak (41, 95%), Jawa (32, 62%), Nias (6, 36%),

Melayu (4, 92%), Tionghoa (3, 07%), Minangkabau (2, 66%), Banjar (0, 97%), lain-

lain (7, 45%) (Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, 2010)

Wilayah Batak Toba berada di sekeliling danau Toba, Sumatera Utara.

Sekarang ini wilayah Batak Toba meliputi: Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten

23

Page 28: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun

batas-batas wilayah Batak Toba adalah sebagai berikut:

- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten

Mandailing Natal.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Tapanuli

Tengah.

- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan (Lumbantoruan, 2012:1).

MBT terdiri dari banyak marga. Marga-marga tersebut tersebar di seluruh

wilayah Batak Toba, dan selain itu telah banyak berada di luar wilayah Batak Toba.

Pada umumnya MBT hidup dari pertanian, dan mereka dikenal sebagai pekerja keras

dan pantang menyerah.

MBT terkenal sebagai pemegang teguh adat yang merupakan warisan nenek

moyang. Struktur kekerabatan serta kehidupan masyarakat diatur dalam falsafah

hidupnya yang disebut dalihan natolu. Dalihan natolu terdiri dari: hula-hula yaitu

kelompok pemberi mempelai wanita, dongan tubu yaitu kerabat atau teman semarga,

dan boru yaitu kelompok penerima mempelai wanita.

Pada umumnya MBT adalah penganut agama Kristen (Protestan dan Katolik)

diperkirakan sekitar 95%, sedangkan 5% lainnya adalah penganut agama Islam dan

penganut kepercayaan tradisional. Penganut kepercayaan tradisional yang dimaksud

adalah: parbaringin, parmalim, dan golongan si Raja Batak (Lumbantoruan, 2012:

4).

2.1.4 Permainan Tradisional Anak Pada Masyarakat Batak Toba

24

Page 29: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Perkembangan industri permainan bagi anak-anak yang sudah berbalutkan

tehnologi mengalahkan trend permainan tradisional. Tak kala sudah sangat jarang

sekali terlihat anak-anak di sekitar kita yang masih bertahan dengan permainan

tradisional. Khususnya bagi orangtua, saat ini permainan itu sudah menjadi memori

yang hanya bisa dikenang namun bukan untuk diterapkan lagi untuk anak-anak.

Kalau dibandingkan dengan kondisi tempo dulu interaksi sosial bersama anak

tercipta pada saat bermain dengan ragam permainan tradisional anak. Permainan

tradisional anak pada MBT terdiri dari permainan yang menggunakan alat,

permainan yang tidak menggunakan alat, dan permainan yang menggunakan

nyanyian atau lagu.

2.1.4.1 Permainan yang Menggunakan Alat

Permainan yang menggunakan alat adalah permainan yang menggunakan alat

ketika bermain. Contoh permainan tradisional anak pada MBT yang menggunakan

alat adalah sebagai berikut:

1. Marsitengka (marsitekka)

Maristekka merupakan salah satu permainan tradisional anak-anak yang

sangat digemari. Permainan ini biasanya dilakukan di sekolah dan di depan rumah-

rumah masyarakat Batak Toba. Permainan ini biasanya dilakukan oleh 2 orang anak.

Caranya dengan membuat beberapa kotak persegi empat yang digariskan di tanah

dengan menggunakan kayu atau kapur putih jika area permainannya berlantai semen.

Permainan ini menggunakan alat seperti batu yang dilemparkan ke salah satu kotak,

ketika berlomba dengan melompat-lompat di dalam kotak tersebut dengan aturan

25

Page 30: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

kaki peserta tidak boleh mengenai tepi garis kotak tersebut dan melangkahi batu yang

disebut "umpan" yang harus di ambil si peserta pada saat memutar dari ujung kotak.

Gambar 2.1: Permainan marsitengka (marsitekka)

Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014

2. Pat ni Gajah - Lomba Tempurung KelapaPermainan ini memakai potongan tempurung kelapa yang sudah kering

dengan bantuan tali yang diikatkan ke lubang tempurung kelapa serta saling

berhubungan. Permainan ini memerlukan kekuatan tenaga yang kuat karena harus

berlari di atas kedua tempurung yang diikatkan tadi. Biasanya permainan ini

dilakukan beberapa orang dan sering peserta berjatuhan dan putus talinya.

Gambar 2.2: Permainan pat ni Gajah

26

Page 31: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014

3. Marjalengkat (marjalekkat)

Dulu, marjalengkat ini sering dilakukan sebagai ajang adu ketangkasan yang

berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan berlari dengan memakai alat bantu

dua tongkat. Biasanya tongkat tersebut terbuat dari batang pohon bambu. Dan jenis

permainan ini dilakukan pada siang hari. Keseimbangan tubuh sangat diperlukan

karena pada marjalengkat ini kedua kaki tidak boleh menginjak tanah. Bagian tubuh

hanya dipikul oleh alat bantu dua buah tongkat dan harus bisa berlari melintasi badan

jalan dan bahkan sering dilakukan melintasi sungai.

Gambar 2.3: Permainan marjalengkat (marjalekkat)

27

Page 32: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014

4.Marultop ( Bambu Tembak)

Marultop merupakan permainan yang menggunakan alat yang terbuat dari

bambu dan pelurunya terbuat dari biji atau buah pohon atau dari gulungan kertas.

Caranya, kertas di basahi air, lalu di dimasukkan ke lubang laras sampai padat lalu

disodok. Suara letusan dari laras senapan ini tidak kalah dengan senjata mainan yang

banyak dijual di toko-toko mainan anak. Bahkan, suaranya tidak membuat bising dan

tidak mengejutkan siapa saja yang mendengarnya. Sejumlah anak mengaku, jika

terkena sasaran senapan bambu, tidak sakit.

Gambar 2.4: Marultop (Bambu Tembak)

Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014

2.1.4.2 Permainan yang Tidak Menggunakan Alat

Permainan yang tidak menggunakan alat adalah permainan yang tidak

menggunakan alat ketika bermain. Contoh permainan yang tidak menggunakan alat

pada MBT adalah:

1. Margala

Permainan margala adalah permainan yang mengandalkan kecepatan kaki

dan pikiran untuk mengatur strategi mengalahkan lawan.

28

Page 33: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Gambar 2.5: Permainan Margala

Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014

2.1.4.3 Permainan yang Menggunakan Nyanyian

Permainan yang menggunakan nyanyian adalah permainan yang

menggunakan nyanyian ketika bermain. Contoh permainan yang menggunakan

nyanyian dalam MBT adalah: sampele sampele, jambatan Tapanuli, kacang koring,

sada dua tolu, dan lain-lain. Permainan yang menggunakan nyanyian ini akan

dibahas lebih jauh pada bab empat.

2.1.5 Sastra Lisan Batak Toba

Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke

mulut secara turun temurun (Endaswara, 2008: 151) dan memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.

2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa

penciptanya.

3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik.

4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.

29

Page 34: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.

6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Oleh karena itu sebuah sastra lisan yang penyebarannya melalui mulut ke

mulut dapat dikatakan tradisi lisan. Tradisi lisan mempunyai fungsi sosial atau

manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.

Perihal sastra lisan Batak Toba, seorang ahli sastra Batak berkebangsaan

Jerman bernama Profesor Uli Kozok (dalam Lumbantoruan, 2012:6) mengatakan

bahwa “sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam

bentuk fable, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-torhanan dan turi-

turian, huling-hulingan semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan secara lisan

dari generasi ke generasi”. Walaupun orang Batak sudah berabad-abad memiliki

tulisan tersendiri mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan

sehari-hari. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang Batak menggunakan

tulisannya hanya untuk tiga tujuan yaitu: (1) ilmu kedukunan (hadatuon), (2) surat-

menyurat (termasuk surat ancaman), dan (3) ratapan (hanya di Karo, Simalungun,

dan Angkola Mandailing).

Sastra lisan Batak Toba yang merupakan warisan leluhur MBT masih dapat

disaksikan hingga saat ini. Sastra lisan seperti tarombo, umpasa, umpama, hata adat,

turi-turian, andung/andung-andung, huling-hulingan, ende-ende bahkan tonggo-

tonggo masih bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan

suatu keunggulan MBT yang mampu meneruskan tradisi lisannya dari generasi ke

generasi hingga sekarang ini.

Masyarakat Batak Toba (MBT) memiliki sebuah tradisi yang unik dalam

kehidupannya, yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi tersebut adalah

30

Page 35: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat anak-anak merupakan salah satu tradisi lisan MBT

yang hampir hilang dan pupus ditelan zaman. Untuk itu perlu dilakukan dokumentasi

dan fungsionalisme yang berkelanjutan terhadap tradisi lisan ini.

2.1.6 Nyanyian Rakyat (folksong)

Nyanyian rakyat disebut juga puisi oral. Dikatakan puisi oral karena pencipta,

penyebaran, dan penerimaan lagu dilakukan secara lisan. Dalam hal ini,

Nurgiyantoro (dalam Endraswara, 2008: 65) menyatakan bahwa syair lagu atau

tembang tidak lain adalah puisi. Tembang atau nyanyian dapat pula disebut sebagai

puisi yang dilagukan, atau puisi lagu. Sebagai sebuah karya seni, puisi, termasuk

puisi anak, mengandung berbagai unsur keindahan, khususnya keindahan yang

dicapai lewat bentuk-bentuk kebahasaan.

Nyanyian rakyat merupakan salah satu sumber dan media dalam

mengaktualisasikan diri sebagai perwujudan dan pancaran dari sifat manusia yang

senang berkesenian dan bermain. Selaras dengan pandangan Brunvand (dalam

Danandjaya, 1994:141) bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor

yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota

kolektif tertentu berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.

Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang

sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa

teks nyanyian rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan

nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena sifat dari nyanyian

rakyat yang mudah berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya. Sifat tidak kaku ini

tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian lainnya.

31

Page 36: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu masyarakat dari pada

lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf

maupun buta huruf, kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian rakyat

pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat juga beraneka

ragam, yakni dari yang paling sederhana sampai yang cukup rumit. Penyebarannya

melahirkan tradisi lisan menyebabkan nyanyian rakyat cenderung bertahan sangat

lama dan memiliki banyak varian-varian.

Nyanyian rakyat memiliki fungsi sebagai:

1. Pelipur lara, nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi permainan anak-anak,

dan nyanyian “Nina Bobo”.

2. Pembangkit semangat, seperti nyanyian kerja ”Holopis Kuntul Baris”, nyanyian

untuk baris-berbaris, perjuangan dan sebagainya.

3. Memelihara sejarah setempat, dan klen. Di Nias ada nyanyian rakyat yang

disebut Hoho, yang dipergunakan untuk memelihara silsilah klen besar

4. Protes sosial, mengenai ketidakadilan dalam masyarakat, negara bahkan dunia.

Menurut Brunvand, nyanyian rakyat dapat digolongkan dalam 3 jenis yaitu:

a. Nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan

lagunya memegang peranan yang sama penting. Jenis nyanyian rakyat ini dibagi

menjadi: (1). Nyanyian kelonan (lullaby); (2). Nyanyian kerja (working song).

Nyanyian ini bersifat menggugah semangat kerja karena bekerja mempunyai

tujuan untuk meminang kekasih pujaannya. (3). Nyanyian permainan (play song)

b. Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yakni nyanyian rakyat yang teksnya bersifat

liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonim itu,

tanpa menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Jenis dari nyanyian ini

32

Page 37: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

yaitu: (1). Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, yakni nyanyian-nyanyian

yang liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang

bersambung. (2).   Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni

nyanyian rakyat yang menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Uraian

lebih terperinci mengenai hal ini yaitu sebagai berikut: a)   Nyanyian rakyat yang

bersifat kerohanian dan keagamaan lainnya. b)   Nyanyian rakyat yang memberi

nasehat untuk berbuat baik. c)   Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan

pernikahan.

c. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative songs).

Nyanyian rakyat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Masyarakat

adalah sekelompok orang yang mempunyai kebudayaan yang sama atau

setidaknya mempunyai sebuah kebudayaan bersama yang dapat dibedakan dari

yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Mereka tinggal satu daerah wilayah

tertentu, mempunyai perasaan akan adanya persatuan akan anggota-anggotanya

dan menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dengan yang

lainnya.

2.1.7 Nyanyian Rakyat Anak-Anak pada Masyarakat Batak Toba

Pada MBT terdapat dua jenis nyanyian anak yaitu nyanyian menidurkan anak

dan nyanyian permainan anak. Nyanyian menidurkan anak disebut ende mandideng

sedangkan nyanyian permainan anak disebut ende parmeaman.

a. Nyanyian Menidurkan Anak (Ende Mandideng)

Nyanyian menidurkan anak adalah nyanyian yang dinyanyikan untuk

menidurkan anak. Pada MBT nyanyian ini tidak hanya dinyanyikan oleh seorang ibu

kepada anaknya, tetapi juga bisa dinyanyikan oleh seorang anak laki-laki atau anak

33

Page 38: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

perempuan kepada adiknya sebagai nyanyian pengantar tidur. Contoh nyanyian

menidurkan anak pada MBT adalah dideng dideng.

Dideng dideng

Molo huingot i sude

loja ni dainang i

marmudu au sian na metmet

tu na balga

Diabing au diompa au

asa sonang modom au

dideng dideng didok muse

O hasian…….

Artinya:

Jika kuingat itu semua

lelahnya ibuku

merawat aku dari kecil

hingga besar

dipangku aku, digendong aku

agar tenang aku tidur

dideng –dideng disebut lagi

oh sayang….

b. Nyanyian Permainan Anak (Ende Parmeaman)

Nyanyian permainan anak (ende parmeaman) adalah nyanyian yang

34

Page 39: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

dinyanyikan anak-anak pada saat bermain. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan secara

kolektif oleh anak-anak dalam jumlah yang besar, di luar rumah atau di pekarangan

yang luas. Contoh nyanyian permainan anak pada MBT adalah: Sampele sampele,

Jambatan Tapanuli, Kacang koring, Sada dua tolu, dan sebagainya.

1. Teks nyanyian permainan Sampele sampele:

Sampele sampele si ria ria

mangangkat jarum bosi

tongon tu bariba

tungkot jom Amani Mallotom

na bibi na malamun

tampuk gaol na tata

angginta menteng enteng

ibotota martata

talu au marjuji

talu sagetep

ise manaluhon

siganjang mise

Artinya:

Sampele sampele kumpul bersama

melompat jarum besi

tepat ke seberang

tongkat jam bapaknya si Mallotom

yang mentah yang matang

petik pisang yang masih mengkal

adik kita terkekeh-kekeh

saudara perempuan kita tertawa-tawa

35

Page 40: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

kalah aku berjudi

kalah serupiah

siapa mengalahkan

si panjang kumis

2. Teks nyanyian permainan Jambatan Tapanuli:

Jambatan Tapanuli

ganjang jala na uli

manuruk ma hamu sude

tinangkup ma parpudi

Ole ole

langkat ni tobu ole

molo poltak bulan i

mangalap boru ale

Boru aha ale

boru ni Toba ale

sian dia ale

sian Muara ale

Artinya:

Jembatan Tapanuli

panjang dan cantik

merunduklah kalian semua

ditangkaplah yang terakhir

Ole ole

kulitnya tebu ole

kalau terang bulan

meminang gadis ale

36

Page 41: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

boru apa ale

boru dari Toba ale

dari mana ale

dari Muara ale

3. Teks nyanyian permainan Kacang koring

Kacang koring

sibuat na otik

Artinya:

Kacang kering

siambil yang sedikit

4. Teks nyanyian permainan Sada dua tolu

Sada dua tolu

sitambal nabalau

pulik hamu na tolu

holan ho do na umbau

Artinya:

Satu dua tiga

si Tambal yang biru

kecuali kalian bertiga

hanya kamu yang paling bau

Sebagaimana ciri-ciri folklor pada umumnya (Danandjaja, 1991:3-5), maka

nyanyian anak MBT memiliki tujuh ciri yaitu:

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan

dari mulut ke mulut. Dalam proses ini enkulturasi kebudayaan dilakukan dengan

37

Page 42: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

alamiah, dan tidak memiliki jadwal tertentu yang ketat, disesuaikan dengan pola

kehidupan sehari-hari MBT.

2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam

bentuk standar. Bentuk yang tetap atau standar ini menjadi norma atau aturan

umum dalam menyanyikannya, tidak boleh diubah-ubah dengan sekehendak hati

penyanyinya, melainkan mengikuti ketetapan yang telah disetujui secara kolektif.

Nyanyian ini juga disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup

lama (paling sedikit dua generasi). Oleh karena proses yang demikian, biasanya

nyanyian ini sangat fungsional dalam konteks sosio budaya masyarakat.

3. Nyanyian anak ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda.

Meskipun pada umumnya memiliki bentuk yang tetap dan standar, namun ada

pula nyanyian anak memiliki versi dan variasi yang berbeda. Hal ini disebabkan

oleh pengembangan nyanyian anak ini oleh masing-masing pencipta atau

penyanyi, dan juga sebagai dampak dari enkulturasinya yang dilakukan secara

lisan, sehingga akurasi nada ataupun melodi tidak diutamakan.

4. Nyanyian anak bersifat anonim, artinya nama penciptanya sudah tidak diketahui

lagi. Hal ini disebabkan oleh karena nyanyian ini bagian dari tradisi yang usianya

relatif lama, dam selain itu nyanyian anak bukan bagian dari kebudayaan populer

yang memerlukan pencipta dan royalti, melainkan sebagai bagian dari kehidupan

kelompok yang lebih mengutamakan fungsi sosial.

5. Nyanyian anak mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Inilah

yang menjadi ciri utama bahwa nyanyian anak sangat fungsional dalam kehidupan

masyarakat. Di antara fungsi sosio budayanya adalah untuk menghibur anak.

Selain itu untuk sarana pembelajaran nilai-nilai kehidupan kelompoknya.

38

Page 43: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Nyanyian ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan peran keluarga, baik

keluarga inti, atau yang lebih luas struktur MBT. Nyanyian anak juga berfungsi

sebagai sarana kontinuitas kebudayaan Batak Toba. Nyanyian ini juga memiliki

fungsi untuk kesehatan fisik dan rohani, serta berbagai fungsi lainnya.

6. Nyanyian anak adalah milik bersama dari suatu kolektif. Nyanyian anak ini

dimiliki bersama, bukan dimiliki secara individu. Dalam hal ini nyanyian anak

Batak Toba seperti diuraikan di atas adalah milik MBT. Oleh karena itu nyanyian

ini termasuk kepada milik dan hak intelektual MBT, secara keseluruhan, bukan

saja yang tinggal di desa tetapi juga di kota, bukan saja yang tinggal di kawasan

budaya Batak Toba, tetapi juga mereka yang merantau ke daerah lainnya.

7. Nyanyian anak umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar,

terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa nyanyian anak

merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Dari ciri-ciri nyanyian anak di atas, maka MBT belajar nyanyian anak adalah

secara lisan dari mulut ke mulut. Seorang ibu ataupun nenek, menggendong anaknya

sambil menyanyikan dideng dideng, membuai dan menepuk secara perlahan-lahan,

nyanyian dikumandangkan terus menerus hingga si anak tidur. Tentu anak gadis si

ibu tersebut mendengarkan nyanyian yang didendangkan si ibu. Dengan terbiasa

melihat dan mendengarkan nyanyian tadi, kemudian ia menghapal dan mencoba,

lama kelamaan dapat menirunya. Sang gadis tadi dapat menidurkan adiknya melalui

nyanyian yang baru dipelajarinya.. Begitu juga nyanyian permainan anak, anak-anak

kecil melihat dan mendengarkan saudara maupun teman-teman mereka yang lebih

besar bernyanyi sambil bermain. Dengan terbiasa melihat dan mendengarkan

nyanyian permainan tersebut, mereka menghapal dan mencoba, lama kelamaan dapat

39

Page 44: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

memainkannya. Begitulah proses belajar mendidengkan anak dan menyanyikan

nyanyian permainan anak pada MBT Sumatera Utara.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Fungsionalisme Folklor

Dalam menganalisis fungsi nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, penulis

akan menggunakan teori fungsionalisme folklor. Teori fungsionalisme folklor terbagi

dua yaitu:

2.2.1.1 Fungsionalisme Murni

Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog

sosial. Dia tertarik pada dongeng masyarakat primitif. Menurut dia, dongeng dapat

dijadikan sebagai alat pendidikan dan kontrol sosial. Dongeng suci dianggap sebagai

hal sakral dan benar-benar terjadi. Karenanya di wilayah Trobriand, ada dongeng

yang berfungsi sebagai pedoman keagamaan , kesusilaan, dan aktifitas masyarakat.

Fungsi semacam ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi

pemenuhan kebutuhan naluri manusia.

Pada dasarnya folklor akan berfungi memantapkan identitas serta

meningkatkan integrasi sosial, dan secara simbolis mampu mempengaruhi

masyarakat. Bahkan, kadang-kadang folklor justru lebih kuat pengaruhnya dibanding

sastra modern. Folklor akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan tata nilai yang

berupa sikap dan perilaku.

Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b:280) tidak dapat

dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya.

Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan

40

Page 45: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak

menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari

folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor di suatu tempat kurang berfungsi, di

tempat lain justru memegang peranan penting. Prop (1975:21) menyatakan:

“Function is understood as an act of character, defined from point of view of its

significance for the course of the action: Dalam konteks ini, fungsi merupakan

bentuk “ketergantungan” secara utuh pada sebuah sistem budaya. Dalam kaitan ini,

fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).

Dalam menganalisis fungsi nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yaitu

nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak akan digunakan teori

fungsionalisme folklor murni yaitu bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi

pemenuhan kebutuhan naluri manusia.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) fungsi folklor bagi

pendukungnya adalah:

1. Sebagai sistem proyeksi (projective system)

2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture)

3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device)

4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat

pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu

dipatuhi anggota kolektifnya

Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara, 2008:129-30) menambahkan

fungsi lain, yaitu:

1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif

2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang.

41

Page 46: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit

hati dan pemberian hukuman.

4. Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat

5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (fungsi rekreasi).

6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan

2.2.1.2 Fungsionalisme Struktural

Teori fungsionalisme struktural meyakini bahwa memiliki fungsi bagi

pemenuhan keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami

sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan yang ditemukan oleh

institusi, yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Di lain

pihak, Evan Pritchard berpendapat bahwa struktur sosial adalah konfigurasi

kelompok yang mantap.

Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu sama lain saling

terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal tersebut

sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949:542) bahwa struktur sosial merupakan

bentuk “eksis” pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi

manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu

pula folklor. Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu

membentuk struktur yang unik.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek

struktural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial.

Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi

kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih

jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap

42

Page 47: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau

ditolak oleh unsur lain. Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada “pola pilihan”

yang harus diambil. Pada saat itu masyarakat akan menentukan pilihan dan

memutuskan.

2.2.2 Teori Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang

berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori semiotika,

berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara

kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi

oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan

sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.

Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tanda-tanda itu mempunyai arti

dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan struktur

tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotika ketandaan. Sebagai

ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda

dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non verbal.

Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang

ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu

dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotic (semiotics).

Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda

(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut

petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu

43

Page 48: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

artinya. Contohnya, kata ‘ibu/ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai

arti: ‘orang yang melahirkan kita’. Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada

beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda

yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol

Ikon adalah tanda yang menunujukkan hubungan yang bersifat alamiah antara

penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya

gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret

menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunujukkan hubungan kausal (sebab-akibat)

antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin

menunujukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunujukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah

antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka). Arti

tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘Ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh

konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother.

Perancis menyebutnya la mere. Dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti

itu menunujukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling

banyak digunakan adalah simbol.

Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran

utama, yaitu Saussurean dan Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006:103),

dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat

dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai beikut :

(1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya

dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang

44

Page 49: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas,

dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

(2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh

makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda

tanpa maksud langsung, sebagai symptom, di samping sastra juga diterapkan

dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.

(3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan

sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan

digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Roland Barthes adalah

penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan

kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik

pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang

berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu

tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan

hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,

langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan

penanda dan petanda di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak

langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007:82). Roland Barthes menegaskan bahwa

komponen-komponen tanda, penanda dan petanda terdapat juga pada tanda-tanda

bukan bahasa antara lain terdapat pada mite yakni keseluruhan sistem sastra dan

kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan

identitas.

45

Page 50: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

2.2.3 Konteks

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks,

dan konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta

kearifan lokal (Sibarani, 2012: 241-242). Teks, koteks, dan konteks merupakan tiga

bagian yang saling berhubungan sehingga pemahaman sebuah teks juga tergantung

pada ko-teks dan konteksnya, dan juga sebaliknya. Di samping menganalisis

hubungan proposisi dalam teks tradisi lisan, juga perlu menganalisis elemen koteks

dan konteksnya untuk mendapatkan makna yang sebenarnya, makna paduan kalimat

dalam wacana tradisi lisan baru dapat dipahami secara lengkap setelah dikaitkan

dengan ko-teks dan konteksnya. Teks memiliki struktur, ko-teks memiliki elemen,

dan konteks memiliki kondisi, yang formulanya dapat diungkapkan dari kajian tradisi

lisan.

Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat “tightly

formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang

mengantarkan tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi.

Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro.

Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari

sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks.

Struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks

tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan

(introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclution), yang masing-masing

saling mendukung secara koheren. Analisis teks harus mampu mengungkapkan

pesan-pesan apa yang ada dalam setiap elemen teks itu. Sedangkan struktur mikro

adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Linguistik teoretis mencakup tataran

46

Page 51: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

bahasa seperti bunyi (fonologis), kata (morfologis), kalimat (sintaksis), wacana

(diskursus), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik), dan

bahasa kiasan figuratif. Kajian struktur mikro akan merumuskan formula berupa

kaidah bagi bahasa sehari-hari dan bahasa susastera mulai dari tataran bahasa yang

paling rendah seperti bunyi sampai tataran yang paling tinggi seperti wacana. Dalam

penelitian nyayian rakyat anak-anak pada MBT, analisis teks dilakukan dengan cara

menemukan tema maupun topik yang merupakan makna secara keseluruhan dari teks

nyanyian tersebut, mengungkapkan pesan-pesan apa yang ada dalam setiap elemen

teks nyanyian anak tersebut, serta merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa

sehari-hari dan bahasa susastera nyayian anak tersebut mulai dari tataran bahasa yang

paling rendah seperti bunyi sampai tataran yang paling tinggi seperti wacana.

Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur

paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Deskripsi

paralinguistik mencakup intonasi, aksen, jeda, dan tekanan. Peranan kajian

paralinguistik sangat penting ketika tradisi dinyayikan atau disenandungkan

sebagaimana karakteristik kebanyakan tradisi lisan. Kinetik merupakan bidang ilmu

yang mengkaji gerak isyarat. Dalam tradisi lisan, gerak isyarat sangat berperan

karena karakteristik tradisi lisan yang berupa kegiatan, peristiwa atau pertunjukan.

Dalam melakonkan tradsisi lisan, gerak isyarat itu lebih luas perannya karena

meliputi berbagai tarian atau gerakan lain yang tidak sekedar sebagai pendamping

dan pengganti teks verbal dalam komunikasi. Proksemik merupakan bidang ilmu

yang mempelajari penjagaan jarak antara pembicara dan pendengar sebelum dan

ketika sedang terjadi komunikasi. Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antar pelaku

dan antara pelaku dengan penonton akan mmemberikan kontribusi pada interpretasi

47

Page 52: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

makna dalam tradisi lisan. Dari penjagaan jarak para pelaku dapat terlihat oposisi

binary antar pelaku, yang menggambarkan peran sebagai raja-rakyat, majikan-

pembantu, direktur-karyawan, pimpinan-bawahan, orang kaya-orang miskin, dan

sebagainya. Bentuk ko-teks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah

unsur material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur

material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat

pakaian dengan gayanya, penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan

lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsi

masing-masing. Dengan demikian , kajian semiotik terhadap unsur-unsur material

yang simbolik sebagai bagian dari ko-teks perlu dilakukan dalam memahami tradisi

lisan. Dalam penelitian nyanyian anak-anak pada MBT yang menjadi ko-teks adalah

intonasi, aksen, jeda, dan tekanan dari nyanyian anak tersebut, dan juga benda-benda

atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan tersebut.

Peranan konteks sangat penting dalam kajian tradisi lisan. Menurut Sibarani

(2012:234) dalam memahami kajian tradisi lisan ada beberapa jenis konteks yaitu

konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi yang perlu

dikaji dalam memahami makna, maksud pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada

gilirannya diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam

tradisi lisan.

Sedangkan menurut Sinar, T.S (2010: 54) sistem konteks sosial berada pada

tingkat semiotik konotatif bahasa yang terdiri dari konteks situasi, konteks budaya

dan ideologi.

Berdasarkan ketiga defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan

dalam memahami konteks yaitu pada pemahaman tradisi lisan. Setiap jenis konteks

48

Page 53: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

berbeda-beda sedangkan dalam Halliday dan Sinar dalam memahami konteks harus

dilihat 3 variabel yaitu medan (apa dan untuk apa), tenor (kepada siapa) dan mode

(bagaimana). Dimana ketiga istilah tersebut terangkum pada konteks sosial dan

konteks situasi dalam pemahaman tradisi lisan.

Dalam penelitian tradisi lisan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks

merupakan salah satu yang harus diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak

dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis tertarik dalam

mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks sosial dan konteks situasi yang

dikemukakan oleh Sibarani.

Dalam Sibarani (2012: 326) konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial

yang mempengaruhi atau menggunakan konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-

orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan komunitas

pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan

teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur, pengelola dan

penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di mana tempatnya, serta

bagaimana melakukannya.

2.2.4 Kearifan Lokal

2.2.4.1 Hakikat Pengetahuan dan Kearifan Lokal

Berbicara mengenai kearifan lokal ada tiga istilah yang digunakan yaitu

pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal (local wisdom), dan kecerdasan

setempat (local genius). Istilah pengetahuan lokal adalah segala sesuatu yang terkait

dengan bentuk – bentuk tradisional, baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya

yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (Avonina, 2006). Di pihak

lain, Sarjono (2004: 28 – 29) menyatakan pengetahuan lokal adalah pengetahuan

49

Page 54: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau

suku bangsa tertentu, yang bersifat turun-temurun dan terus berkembang sesuai

dengan perubahan lingkungan.

Sedyawati (1986: 186 – 187) membedakan dua pengertian local genius, yaitu:

(1) segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum

mendapat “pengaruh asing”; (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap,

menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing.

Sedangkan kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami

sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak

dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang

tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, dimana wisdom dipahami

sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak

atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang

terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai

‘kearifan/kebijaksanaan’.

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal terdiri dari 2 kata, yaitu kearifan

(wisdom), dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan

Hasan Syadily, lokal yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan

kebjaksanaan. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa pengertian kearifan

lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat

atau lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan

diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan

berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan buadaya

50

Page 55: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal

merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan

pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya

dianggap sangat universal.

Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang

terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah

kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong,

pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan,

kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan

penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani,

2012:133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom)

yaitu kesejahteraan dan kedamaian.

2.2.4.2 Dimensi Kearifan Lokal

Menurut Sutarto (2010: 7) kearifan lokal yang terkandung dalam produk

budaya, terkait dengan lima kegiatan kebudayaan. Pertama, sebagai bangsa yang

religious, kearifan lokal terkait dengan sikap serta perilaku dalam berkomunikasi

dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kedua, terkait dengan diri sendiri,

yakni bagaimana menata diri dan mengendalikan diri agar dapat menerima dan

diterima oleh pribadi – pribadi lain di luar diri kita. Ketiga, bagaimana bergaul atau

berkomunikasi dengan masyarakat luas karena kita menjadi bagian darinya. Dalam

hal ini kearifan lokal terkait dengan rasa keadilan, toleransi dan empati, yang

51

Page 56: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

bermuara pada bagaimana menyenangkan perasaan orang lain agar orang lain

menerima kita sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, sikap dan

perilaku yang terkait dengan anggota keluarga dan kerabat kita. Kita harus

menghargai orang tua kita, dan kerabat kita yang lain. Kearifan lokal yang terkait

dengan etos belajar dan etos bekerja akan mengantar kita menjadi insan yang kreatif

dan produktif. Kreativitas kita bukan hanya menolong diri kita, tetapi juga menolong

orang lain. Jika kita dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat, kita akan menjadi

bagian yang berarti bagi masyarakat. Kelima, kearifan lokal yang terkait dengan

lingkungan akan membuat hidup kita aman dan nyaman karena lingkungan yang kita

jaga dan pelihara akan memberi manfaat positif kepada kehidupan kita. Lingkunagan

yang rusak akan membuat kehidupan kita rusak.

Menurut Ife (2002) kearifan lokal memiliki enam dimensi. Pertama, Dimensi

pengetahuan lokal. Setiap masyarakat dimanapun mereka berada selalu memiliki

pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal

terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis – jenis flora

dan fauna, dan kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena

masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubahan –

perubahan yang bervariasi menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan

lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal

mereka dalam menguasai alam. Kedua, Dimensi Nilai Lokal. Untuk mengatur

kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki

aturan atau nilai – nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh

anggotanya. Nilai – nilai itu biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan

TuhanNya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Nilai – nilai

52

Page 57: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

itu memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa dating. Nilai

– nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.

Ketiga, Dimensi Keterampilan Lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat

dipergunakan sebagai kemampuan untuk bertahan hidup (survival). Keterampilan

lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam maupun

membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan

mampu memenuhi kebutuhan keluarganya masing – masing atau disebut dengan

ekonomi subsistensi. Keempat, Dimensi Sumber Daya Lokal. Sumber daya lokal

pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan

yang dapat diperbarui. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai

dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar – besar atau

dikomersilkan. Sumber daya lokal ini seperti hutan, kebun, sumber air, lahan

pertanian, dan pemukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat

kolektif. Kelima, Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal. Setiap

masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut

pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah

warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing–masing masyarakat

mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda–beda. Ada masyarakat

yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada

juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.

Keenam, Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal. Suatu masyarakat umumnya

dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap

masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya dapat dilakukan

melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing

53

Page 58: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan

fungsinya masing-masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja

bakti gotong royong.

2.3 Kajian Pustaka

Berdasarkan studi kepustakaan, ada beberapa penelitian yang relevan atau

yang mendiskusikan tentang nyanyian rakyatanak-anak pada MBT baik itu berupa

tulisan-tulisan karya ilmiah seperti artikel, jurnal, buku, skripsi, dan tesis.

Maliudin (2012) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

dalam rangka penyusunan tesis dengan judul Nyanyian Rakyat Kau-Kaudara dalam

Masyarakat Muna: Kajian Struktur Teks, Konteks, dan Fungsi serta Upaya

Pelestariannya. Pada penelitian ini nyanyian rakyat yang menjadi focus kajiannya

adalah nyanyian rakyat dalam mengiringi permainan anak.

Grace Somelok (2011) dari sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia dalam rangka penyusunan tesis dengan judul Kajian Etnografi terhadap

Makna dalam Syair Lagu pada Ritual Daur Hidup Masyarakat Masyarakat Suku

Naulu di Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah dan Model Pelestariannya.

Penelitian ini memfokuskan pada makna yang terkandung dalam syair lagu sebagai

upaya melestarikan warisan budaya daerah.

Ahmad Badrun (2003) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia

dalam rangka penyusunan disertasi dengan judul Patu Mbojo: Struktur Konteks

Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi.

Setia Dermawan Purba (2008), Jurnal Etnomusikologi Nomor 8, Tahun 4,

September 2008 ini berjudul Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Etnik Simalungun.

Jurnal ini membahas tentang nyanyian rakyat anak-anak Simalungun yang erat

54

Page 59: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

kaitannya dengan pola pengasuhan dan pendidikan anak. Secara structural nyanyian

anak Simalungun terdiri dari unsur musik (yang di dalamnya memiliki nada, tangga

nada, pola-pola kadensa, ritmik, durasi, meter, dan meter bebas dan sejenisnya).

Arista (2012), “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Lirik Lagu Dolanan

Jawa”. Makalah ini membahas tentang makna dan nilai-nilai pendidikan karakter

yang terdapat dalam lirik lagu dolanan Jawa seperti: Gundul-Gundul Pancul,

Jamuran, Ilir-ilir, Sluku-Sluku Bathok, Padhang Bulan, dan Jaranan.

Ali Khais (2012), “Nyanyian Rakyat Kaili: Struktur, Fungsi, dan Nilai”.

Makalah ini membahas tentang struktur, fungsi, dan nilai nayanyian rakyat Kaili.

Dari  analisis data yang dilakukan terhadap nyanyian rakyat Kaili,  didapatkan

temuan struktur nyanyian rakyat Kaili meliputi struktur makro, super struktur, dan

struktur mikro yang  merepresentasikan ideologi kultural masyarakat Kaili. Fungsi

Nyanyian Rakyat Kaili meliputi  fungsi ritual,  fungsi sosial,  fungsi mendidik,

fungsi komunikasi dan informasi, dan fungsi hiburan. Sedangkan nilainya adalah

adalah  nilai religius, nilai filsafat, nilai etika, dan nilai estetika.

Ulfa Riza Umami, Supriyadi (Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia,

Universitas Muhammadiyah Malang). “Pemanfaatan Nilai-Nilai Didaktik Nyanyian

Permainan Anak-Anak Sapekan DiPulau Sapekan Kecamatan Sapekan Kabupaten

Sumenep. Makalah ini membahas tentang nilai-nilai didaktik dalam nyanyian

permainan anak-anak Sapekan . Terdapat nilai pendidikan sosial dan pendidikan

kepribadian. Unsur yang terkait dengan nilai pendidikan sosial yaitu kebersatuan

hidup dan adil terhadap orang lain.

55

Page 60: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti sastra lisan Nyanyian

Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Terhadap Fungsi, Makna,

Konteks dan Kearifan, adalah metode deskriptif kualitatif. Sastra lisan merupakan

fenomena humanistis sehingga perlu didekati dengan paham manusiawi pula. Metode

kualitatif menghendaki adanya pemaparan kata-kata atau kalimat dan tidak

56

Page 61: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

menggunakan angka-angka statistik. Dalam bidang budaya, metode kualitatif dikenal

dengan metode etnografis. Artinya, pemaparan budaya rakyat dengan memperhatikan

aepek-aspek etnografis. Paham etnografis yang paling utama adalah wawancara

mendalam, pengamatan terlibat, dan dokumentasi (Endraswara, 2009:222). Fokus

utama pemakaian metode etnografis adalah pengambilan data secara holistik.

3.1 Wilayah dan Waktu Penelitian

Wilayah menyangkut masalah lokasi yang mungkin dapat terjangkau.

Wilayah akan berhubungan pula dengan setting waktu dan tempat penelitian. Dalam

hal ini telah ditentukan wilayah penelitian yaitu Desa Nagasaribu dan Desa Hutabaris

Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Jarak tempuh dari

Medan-Lintongnihuta adalah 7 jam. Kecamatan Lintongnihuta merupakan daerah

yang hampir seluruh penduduknya adalah etnis Batak Toba. Masyarakat

Lintonghihuta adalah masyarakat yang berbudaya, di wilayah ini masih dapat

ditemui tradisi-tradisi masa lalu yang hingga kini masih ada. Dalam kehidupan

sehari-hari mereka masih menjalankan tradisi budaya Batak Toba dan cara hidup

tradisional yang sudah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka

walaupun tidak seluruh masyarakatnya yang masih menggunakannya.

Waktu penelitian nyanyian rakyat anak-anak ini dimulai dari bulan April

sampai Juni 2012, dalam kurun waktu tiga bulan dilakukan pengamatan secara

langsung terhadap nyanyian rakyat anak-anak di dua desa tersebut.

3.2 Penentuan Informan

Informan ada dua macam, yaitu informan kunci dan informan biasa. Informan

kunci adalah figur yang memegang peranan penting dalam sastra lisan, misalnya raja

adat, pemuka masyarakat, tokoh masyarakat, sesepuh, dan lain-lain. Dalam hal ini,

57

Page 62: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

figur yang diwawancarai adalah figur yang dianggap masih mengerti dan memahami

nyanyian rakyat anak-anak pada MBT. Dan yang menjadi informan kunci dalam

penelitian ini adalah seorang nenek yaitu D. br Silaban (66 tahun), nenek tersebut

adalah pensiunan guru SD di Kecamatan Lintongnihuta, yang banyak memberikan

perhatian pada tradisi budaya Batak Toba termasuk nyanyian rakyat anak-anak ini.

Dulu, semasa kecil nenek tersebut merupakan pelaku nyanyian permainan anak, dan

dalam menidurkan anak-anaknya nenek tersebut juga masih mendidengkan mereka.

Sedangkan informan biasa merupakan orang biasa yang menjadi pendukung sastra

lisan, dalam hal ini yang menjadi informan biasa adalah anak-anak pelaku nyanyian

rakyat anak-anak tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pada dasarnya pengumpulan data sastra lisan dapat dilakukan melalui dua

cara, yaitu inventarisasi library research dan inventarisasi secara langsung di

masyarakat. Dalam hal ini judul-judul nyanyian rakyat dari berbagai sumber buku

yang terkait akan terlebih dahulu diinventarisasi, dan kemudian inventarisasi secara

langsung di MBT yang ada di Kecamatan Lintongnihuta. Data yang diperoleh masih

asli dan memerlukan ketelitian dalam transkripsi.

3.4 Teknik Analisis Data

Tahap-tahap yang akan dilakukan dalam menganalisis data nyanyian anak-

anak ini adalah: Pertama, open coding, artinya membuka diri agar memperoleh

variasai data yang lengkap mengenai nyanyian anak-anak. Dalam kaitan ini proses

memerinci (breaking down), memilah (checking) mana data pendukung dan mana

yang bukan, memeriksa (examining) satu persatu secara cermat mana data yang akan

digunakan, membandingkan (comparing) antara catatan, pengamatan dan rekaman,

58

Page 63: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

mengkonseptualisasikan (conceptualizing), dan mengkategorikan (categorizing).

Kedua, axial coding, artinya mengorganisasikan kembali data-data nyanyian anak-

anak yang telah terklasifikasi rapi, kemudian melakukan hubungan antarkategori agar

tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Hubungan kategori itu dianalisis berdasarkan

bandingan-bandingan, sehingga diperoleh kejelasan. Pada waktu analisis, selalu

berkiblat pada pendapat informan, dan tidak mendewakan teori belaka. Ketiga,

display coding, artinya menyajikan hasil kajian ke dalam beberapa tabel jika ingin

menggunakan tabel. Jika tanpa tabel, sajian langsung memaparkan kategori dan

analisis mendalam. Gambar-gambar (foto) pendukung harus komunikatif dan

melukiskan informasi lengkap.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dideskripsikan secara umum tentang data-data yang

ditemukan dan diperoleh di lapangan. Hal-hal yang akan dideskripsikan antara lain:

pertama, perihal gambaran umum wilayah penelitian yaitu Desa Nagasaribu dan

Desa Tapian Nauli Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

(Humbahas) yang meliputi letak geografis, lingkungan budaya penelitian, yang

59

Page 64: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

didalamnya terdapat alam fisik, alam hayati, kondisi masyarakat, dan unsur-unsur

budaya. Kedua, perihal nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang terdiri dari

nyanyian menidurkan anak, dan nyanyian permainan anak versi informan, dan versi

anak-anak di kedua desa tersebut.

4.1 Etnografis Masyarakat Batak Toba di Desa Nagasaribu dan Desa Tapian

Nauli Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

4.1.1 Sistem Mata Pencaharian

Pada umunya pekerjaan masyarakat desa Nagasaribu dan Tapian Nauli

adalah bertani di sawah dan di ladang. Tanaman yang ditanam adalah seperti padi,

sayur-sayuran, ubi, cabai, tomat, kentang, dan lain-lain. Tanaman buah kurang cocok

tumbuh di dua desa tersebut khususnya dan kecamatan Lintongnihuta umumnya.

Seperti halnya desa-desa lain yang ada di Kecamatan Lintongnihuta, kedua desa ini

juga terkenal dengan tanaman kopinya yang biasa di sebut dengan kopi Lintong.

Hampir semua penduduk desa yang ada di kecamatan Lintongnihuta memiliki lahan

kopi masing-masing, sehingga tidak heran lagi kalau banyak penduduk masyarakat

desa Nagasaribu dan Tapian Nauli menjadi pengusaha (tokke) biji kopi. Para petani

kopi menjual biji kopi yang sudah lepas dari kulit merahnya kepada para tokke

tersebut, lalu para tokke menjemurnya, menggiling ke kilang kopi hingga lepas kulit

kuningnya, kemudian menjemurnya sampai kering lalu dijual ke Medan. Kemudian

para pengusaha di Medan mengekspornya ke luar negeri, begitulah kopi Lintong

terkenal sampai ke mancanegara. Selain sebagai petani dan tokke kopi, masyarakat

di dua desa ini juga bermata pencaharian sebagai pegawai yang terdiri dari guru

dan pegawai di kantor dinas. Dengan dimekarkannya kabupaten Humbang

Hasundutan dari Kabupaten Tapanuli Utara 11 tahun lalu, maka penduduk di dua

60

Page 65: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

desa ini sudah banyak yang bekerja di kantor-kantor dinas Humbang Hasundutan.

Peternakan juga merupakan salah satu mata pencaharian di dua desa ini antara lain,

peternakan kerbau, babi, ayam dan bebek. Desa Nagasaribu dan Tapian Nauli

memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa tertutup yang membentuk

kelompok- kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok ini adalah

kumpulan marga/klan atau masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan

na tolu. Desa-desa tertutup ini disebut huta. Adapun nama-nama huta di desa

Nagasaribu adalah Nababan Dolok, Nagasaribu 1, Nagasaribu 2, Nagasaribu 3,

Tinambunan, sedangkan nama-nama huta di desa Tapian nauli adalah Lumban

Siantar, Hutabaris, Hutaimbaru, Sosor Mual. Huta tersebut biasanya dekat dengan

bahal yang biasanya terdapat pohon baringin (hariara).

4.1.2 Agama dan Kepercayaan

Agama yang paling dominan di desa Nagasaribu dan Tapian Nauli adalah

Kristen Protestan dan Katolik. Terdapat banyak gereja di desa ini yang menandakan

bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang religius.

Dahulu kepercayaan yang dianut oleh MBT adalah kepercayaan terhadap

Mula Jadi Na Bolon yang dipercayai oleh orang Batak sebagai dewa tertinggi yaitu

pencipta tiga dunia: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan

dunia bawah (banua toru), dan manusia dipercaya hidup di banua tonga, tidak

terpisah dari alam. Tiga golongan fungsional dalam MBT disebut Dalihan Na Tolu

yang dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia itu. Kehidupan sehari-hari

MBT di desa Nagasaribu ditopang oleh prinsip Dalihan Na Tolu. Salah satu contoh

penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini adalah dalam penggunaan ulos yang erat

kaitannya dengan kehidupan adat orang Batak Toba. Dalam MBT pemberian ulos

61

Page 66: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan

rohani dan hanya digunakan dalam upacara adat.

4.1.3 Bahasa

Bahasa merupakan alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia

untuk saling berkomunikasi, dengan tujuan menyampaikan maksud hati kepada

orang lain atau lawan bicara baik lewat tulisan, lisan, maupun gerakan isyarat. Desa

Nagasaribu dan Tapian Nauli merupakan daerah di Kabupaten Humbang

Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas suku Batak Toba. Bahasa Batak

Toba merupakan bahasa asli masyarakat di dua desa ini. Pada umumnya

masyarakat Nagasaribu dan Tapian Nauli menggunakan Bahasa Batak Toba

sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun dalam kehidupan

sehari-hari.

4.1.4 Kesenian

Seni pada MBT mencakup, seni sastra, seni tari, seni ukir , seni musik dan

seni kerajinan tangan.

a. Seni Sastra

Seni sastra pada MBT merupakan ekspresi dari mitologi-mitologi, pelipur

lara, norma-norma sosial, dan lainnya, yang muncul sesuai dengan alam pikiran

manusianya yang menjadi bahan teladan dalam kehidupan. Seni sastra Batak Toba

itu adalah sebagai berikut: (a) tabas-tabas, yaitu semacam doa yang diucapkan oleh

datu atau dukun; (b) tudosan, yaitu perumpamaan suatu benda terhadap kehidupan,

dengan membandingkan pada perasaan hati; (c) turi-turian, yaitu cerita yang

berbentuk legenda, misalnya legenda Siboru Deak Parujar, Tunggal Panaluan, dan

lainnya; (d) umpama, yaitu sejenis pantun yang memiliki nilai-nilai dan norma-

62

Page 67: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

norma sosial dan keteladanan; (e) umpasa yaitu penyajian sastra yang bermakna

sebagai ucapan syukur atau berkat, dan mengandung unsur pantun; (f) andung-

andung yaitu penyajian untuk meratapi jenazah orang yang dikasihi; (g) huling-

hulingan atau hutinsa yaitu penyajian sastra yang berbentuk teka-teki, jika ia

berbentuk teka-teki cerita maka disebut dengan torhan-torhanan.

b. Seni Tari

Seni tari pada MBT adalah tortor. Tortor dalam MBT merupakan gambaran

dari kehidupan, yaitu tentang tubuh manusia, norma-norma, penyembahan, dan

lainnya. M. Hutasoit (1976:15-22) dalam bukunya yang bertajuk Gondang dohot

Tortor Batak, membagi tortor ke dalam dua bagian besar: (1) Tortor Hatopan, yaitu

tortor umum yang ditandai dengan karakteristik semua gerakan penari adalah sama.

Gerakan tortor ini telah diketahui orang ramai. Tortor Hatopan ini dibagi dua: (a)

Tortor Hatopan Baoa (tortor yang dilakukan oleh kaum pria saja), (b) Tortor

Hatopan Boru (tortor yang dilakukan oleh kaum wanita saja); (2) Tortor

Hapunjungan, yaitu tortor khusus yang tidak semua orang bebas menarikannya,

karena sudah ditentukan kelas-kelasnya. Misalnya Tortor Naposo adalah khusus

untuk muda-mudi, Tortor Raja khusus untuk raja atau orang yang diagungkan.

Tortor Hapunjungan terbagi dua: (a) Tortor Hapunjungan Baoa adalah jenis terian

lelaki, yang terdiri dari Tortor: Naposo, Nasiar-siaran, Situan Natorop, mejan, raja,

dalan, sibaran, joa-joa, monsak, dan hoda-hoda; (b) Tortor Hapunjungan Boru

adalah jenis tarian wanita, yang terdiri dari Tortor: naposo, soripada, siboru,

sibaran, haro-haro, siar-siaran, sihutur sanggul, tumba, dan lainnya.

c. Seni Ukir

Seni ukir pada MBT adalah gorga. B. Sirait mengemukakan bahwa pada

63

Page 68: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

umumnya gorga yang terdapat di Batak Toba adalah mengandung nilai-nilai spiritual

dan estetika tinggi. Jenis gorga dibagi dalam dua bagian besar yang dibedakan

dengan warnanya: (a) gorga silinggom adalah gorga yang didominasi warna hitam,

(b) gorga sipalang atau sigara ni api didominasi warna merah. Menurut garisnya

gorga terdiri dari: (a) si tompi yaitu lambang ikatan kekeluargaan, (b) dalihan na tolu

melambangkan kekerabatan, (c) simeol-meol melambangkan kegembiraan, (d)

simeol-meol masialoan sama seperti simeol-meol cuma motifnya berhadap-hadapan,

(e) si tagan lambang peringatan agar tidak sombong dan congkak, (f) si jonggi

lambang keperkasaan, (g) si lintong lambang kesaktian, (h) simarogung-ogung

lambang kejayaan dan kemakmuran, (i) ipon-ipon lambang kemajuan, (i) iran-iran

lambang kecantikan, (j) hariara sundung di langit melambangkan terciptanya

manusia, (k) hoda-hoda lambang kebesaran, (l) simataniari lambang kekuatan hidup,

(m) desa na ualu adalah melambangkan perbintangan untuk menentukan saat-saat

baik bagi manusia untuk bertani, menangkap ikan, dan lainnya, (n) janggar atau

jorngom melambangkan penjaga keamanan, (o) gaja dompak melambangkan

kebenaran, (p) ulu paung berupa raksasa setengah manuasia dan setengah hewan

melambangkan keperkasaan untuk menjaga setan-setan dari luar kampung, (q) singa-

singa melambangkan keadilan hukum dan kebenaran, (r) boraspati (cecak)

melambangkan kekuatan pelindung manusia dari bahaya dan memebri tuah serta

harta kekayaan kepada manusia; (s) susu (payudara wanita) melambangkan

kesuburan (B. Sirait 1980:18-36).

d. Seni Musik

Seni musik dalam budaya Batak Toba terdiri dari musik vokal dan

instrumental. Musik vokal yang disebut ende dan musik instrumental yang disebut

64

Page 69: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

gondang. Ende dapat dibagi menurut fungsi dan tujuan lagu tersebut. Jenis-jenis ende

adalah ende: (a) mandideng, nyanyian untuk menidurkan anak, (b) sipaingot

nyanyian yang isi teksnya berupa pesan kepada anak perempuan yang akan menikah,

(c) pargaulan, nyanyian solo khorus oleh kaum muda pada waktu senggang, (d)

tumba, nyanyian khusus untuk iringan tari tumba, biasanya saat terang bulan, (e)

sibaran, nyanyian yang menceritakan penderitaan yang berkepanjangan yang

menimpa seseorang atau keluarga, (f) pasu-pasuan, nyanyian yang berkenaan dengan

pemberkatan, yang bersiri lirik-lirik tentang kekuasaan Tuhan, biasanya dinyanyikan

oleh orang tua kepada anaknya, (g) hata yaitu nyanyian yang dinyanyikan dengan

ritme yang “monoton” seperti metric speech atau rap dengan lirik berupa pantuk

dengan persajakan AABB dengan memiliki jumlah suku kata yang relatif sama setiap

barisnya. Biasanya nyanyian ini dilakukan sekelompok anak yang dipimpin oleh

seorang yang lebih dewasa atau orang tua, (h) andung, yaitu nyanyian yang

menceritakan riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, baik pada waktu di

depan jenazah ataupun setelah dikubur. Nyanyian ini secara spontanitas dengan garis

melodi yang bebas (Ben Pasaribu 1986:27-28).

Gambar 4.1: Peta wilayah Humbang Hasundutan

65

Page 70: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: http://www.humbanghasundutankab.go.id/, diunggah 27 Mei 2014

4.2 Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba

4.2.1 Nyanyian Menidurkan Anak

Dalam menidurkan anak di kalangan MBT terdapat sebuah tradisi yakni

dideng. Tradisi ini masih ada sampai sekarang walaupun keberadaan tradisi ini

sudah di ambang kepunahan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni

perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga orang lebih suka

memperdengarkan anak-anak dengan berbagai jenis musik melalui alat-alat

elektronik, kesibukan orang tua dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan

sehingga anak kebanyakan dititipkan di tempat penitipan anak, dan kurangnya

pengetahuan orang tua tentang tradisi dideng tersebut.

a. Sejarah dideng

Dideng merupakan nyanyian pengantar tidur yang biasa didendangkan oleh

orang tua kepada anaknya, mulai dari anak lahir sampai berusia 3 tahun (usia dini).

Dideng ini berisikan pesan-pesan, petuah-petuah, dan harapan-harapan orang tua

66

Page 71: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

terhadap anaknya. Dulu, biasanya sebelum melakukan kegiatan ataupun aktivitas-

aktivitas lain para ibu terlebih dahulu mengurus anak-anaknya, mulai dari

memandikan, memakaikan pakaian, memberi makan sampai menidurkan anaknya.

Dalam menidurkan anak inilah biasanya para ibu bersenandung dengan harapan agar

anaknya segera terlelap dalam tidur (Gambar 4.2). Setelah anaknya tidur barulah ibu

mulai melakukan aktivitas hariannya mulai dari memberesi rumah, memasak,

mencuci piring, mencuci pakaian, dan lain-lain. Jika si ibu melakukan aktivitas di

luar rumah, misalnya ke ladang maupun ke sawah, maka si anak akan turut dibawa,

karena pada umumnya si anak masih dalam menyusui sehingga harus berada di dekat

ibunya setiap saat. Dan sebelum memulai aktivitasnya di ladang maupun di sawah si

anak akan terlebih dahulu di dideng agar si anak terlelap dalam tidurnya, biasanya si

anak ditidurkan di sebuah gubuk agar terhindar dari ancaman binatang liar.

Kemudian, di sela-sela pekerjaannya apabila sang anak terbangun, menangis, dan

merengek maka sang ibu dengan segera meninggalkan pekerjaannya dan kembali

“mendidengkan” anaknya hingga tertidur kembali. Begitulah seterusnya di setiap

harinya. Hal ini disebabkan bagi ibu anak merupakan prioritas utama. Dalam

mendidengkan anak biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan

menimang-nimang sambil menggendong anaknya, kedua dengan memasukkan anak

ke dalam ayunan (Gambar 4.3).

Gambar 4.2: Ibu sedang menimang-nimang anaknya sambil berdideng

67

Page 72: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: Dokumentasi penulis

Gambar 4.3: Ibu mendidengkan anaknya dalam ayunan

Sumber : Dokumentasi penulis

b. Dideng dalam menidurkan anak

68

Page 73: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sudah menjadi tradisi bahwa dalam menidurkan anak orang tua terutama

seorang Ibu selalu bersenandung atau berdideng. Hal ini dilakukan agar anaknya

cepat tertidur sehingga ia dapat kembali melanjutkan aktivitas harian lainnya.

Dideng tersebut biasanya berisi celotehan-celotehan sang Ibu seakan-akan ia

mengajak anaknya berbicara. Walaupun sang anak belum mengerti dengan apa yang

Ibu katakan atau ucapkan, tetapi Ibu yakin bahwa apa yang disampaikannya, sang

anak akan mengerti dan memahami dengan caranya sendiri.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, lirik dideng pada MBT versi informan

dan ke dua ibu yang tinggal di desa Tapian Nauli dan desa Nagasaribu adalah sama,

yaitu sebagai berikut:

Dideng dideng

Molo huingot i sude

loja ni dainang i

marmudu au sian na metmet

tu na balga

Diabing au diompa au

asa sonang modom au

dideng dideng didok muse

o hasian

Artinya:

Jika kuingat itu semua

lelahnya ibuku

merawat aku dari kecil

hingga besar

69

Page 74: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Dipangku aku, digendong aku

agar tenang aku tidur

dideng –dideng disebut lagi

oh sayang…

c. Waktu berlangsungnya dideng

Dideng hanya dilakukan dalam konteks menidurkan anak. Dideng bisa

dilakukan kapan saja di saat anak hendak tidur baik diwaktu malam maupun disiang

hari. Akan tetapi waktu yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah diwaktu

siang hari.

d. Tempat berlangsungnya dideng

Dideng dalam menidurkan anak biasanya berlangsung di dalam rumah sang

anak itu sendiri, tetapi jika sang ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke

ladang, maka dideng juga bisa berlangsung di tempat tersebut.

e. Penutur atau pelantun dideng

Orang yang mendidengkankan anak biasanya adalah Ibu, karena Ibu lah yang

selalu berada di samping anaknya dan yang mengurus anak. Pada hakikatnya

memang orang yang paling dekat dengan anak adalah Ibu, orang yang paling

mengerti kebutuhan anak adalah ibu, hal ini disebabkan ibu adalah sosok yang sangat

dibutuhkan oleh anak dan juga sebagai tempat untuk mengadu, bermanja, bermain.

Selain itu keterikatan batin antara ibu dan anak adalah kuat.

f. Petutur atau orang yang mendengar ketika berlangsungnya dideng

Pendengar utama dari dideng ini adalah anak, dimana anak merupakan

tujuan utama dari adanya senandung ini, sesuai dengan fungsi dideng yaitu untuk

menidurkan anak.

70

Page 75: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

g. Alat yang dipergunakan ketika berlangsungnya dideng

Alat yang dipergunakan ketika berlangsungnya dideng adalah tempat untuk

tidur anak. Tempat untuk tidur anak yang biasanya digunakan oleh MBT adalah kain

gendongan (parompa) dan ayunan (anggunan). Kain gendongan (parompa)

digunakan ketika ibu mendidengkan anaknya dalam gendongannya. Pada umumnya

posisi menggendong anak ketika mendideng adalah gendong depan (ompa jolo) agar

ketika mendideng ibu bisa sambil menepuk-nepuk bokong si anak ataupun mengelus-

elus badannya, dengan maksud agar tidur si anak nyenyak. Sedangkan ayunan

(anggunan) sangat berperan penting, yakni (a) membuat kenyamanan di saat anak

tidur, (b) memudahkan sang Ibu dalam menidurkan anaknya sehingga ia dapat

melakukan aktivitas lainnya, dan (c) dapat membuat tidur anak menjadi lama dan

nyenyak sehingga anak tidak terlalu rewel nantinya. Dalam MBT ayunan biasanya

terbuat dari kain sarung (mandar), (Gambar 4.5).

Gambar 4.4: Anak sedang tidur dalam gendongan ibunya

Sumber: Dokumentasi penulis

Gambar 4.5: Anak sedang tidur dalam ayunan kain

71

Page 76: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: Dokumentasi penulis

4.2.2 Nyanyian Permainan Anak

Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang dinyanyikan anak-anak pada

saat bermain. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, nyanyian permainan anak

pada MBT terdiri dari nyanyian permainan yang dinyanyikan untuk menentukan

pemain yang menang atau kalah dan nyanyian permainan yang dinyanyikan sampai

akhir permainan.

4.2.2.1 Nyanyian permainan yang dinyanyikan untuk menentukan pemain

yang menang atau kalah

Nyanyian permainan ini terbagi dua yaitu:

a. Nyanyian permainan yang dinyanyikan untuk menentukan pemain yang menang

72

Page 77: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

(main terlebih dahulu), atau pemain yang kalah (jaga terlebih dahulu).

Pada dasarnya nyanyian permainan ini hanya dinyanyikan pada saat akan memulai

permainan, lirik nyanyian permainan ini juga pendek. Nyanyian permainan tersebut

adalah: kacang koring, sada dua tolu.

1. Nyanyian permainan kacang koring

Kacang koring

sibuat na otik

Artinya:

Kacang kering

siambil yang sedikit

Kacang koring merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran

dalam sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah. Nyanyian ini biasanya

dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat (martabun tabuni). Jumlah pemain

minimal empat orang anak. Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran

kecil, setiap anak menurunkan tangan kanannya dengan telapak tangan tertutup

(Gambar 4.6), kemudian secara bersama-sama anak-anak mengucapkan kalimat

‘kacang koring sibuat na otik. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu ‘tik’,

masing-masing anak harus memperlihatkan salah satu telapak tangan mereka dengan

bagian dalam telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah

anak yang memperlihatkan telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika

anak-anak yang lain sudah menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua

anak yang tersisa dengan melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran

sebagai penjaga pos. Si anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke

tiang untuk menunggu anak yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil

73

Page 78: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

menunggu si anak tersebut mengucapkan kata ‘nunga”? (sudah?), jika masih ada

anak yang menjawab ‘daung’ (belum), berarti mereka belum menemukan tempat

persembunyian, tetapi jika tidak ada lagi yang menjawab, menandakan bahwa

mereka sudah berada di tempat persembunyiannya masing-masing dan sudah bisa

untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah menemukan salah satu temannya, dia harus

mengucapkan kata ‘tul’ sambil menyebutkan nama temannya tersebut. Begitu

seterusnya hingga semua anak ditemukan.

Gambar 4.6: Nyanyian permainan anak kacang koring

Sumber: Dokumentasi penulis

2. Nyanyian permainan Sada dua tolu:

Sada dua tolu

sitambal nabalau

74

Page 79: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

pulik hamu na tolu

holan ho do na umbau

Artinya:

Satu dua tiga

si Tambal yang biru

kecuali kalian bertiga

hanya kamu yang paling bau

Sada dua tolu merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan sewaktu

bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan untuk

menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang

mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak. Permainan ini dilakukan

dengan membentuk lingkaran kecil. Semua anak menyanyikan “sada dua tolu

sitambal nabalau pulik hamu na tolu holan ho do na umbau” sambil seorang anak

menunjuk satu persatu temannya (Gambar 4.7). Nyanyian akan berakhir pada kata

‘bau’, dan anak yang ditunjuk pada saat nyanyian tersebut berakhir merupakan salah

satu pemain yang menang (yang akan dikejar). Begitu seterusnya dilakukan hingga

tinggal dua orang pemain. Pemain yang kalah adalah anak yang tidak kena tunjuk

pada saat lagu berakhir yaitu pada kata ‘bau’. Selanjutnya si anak yang kalah akan

mengejar anak yang lain satu persatu hingga berhasil menangkapnya.

Gambar 4.7: Nyanyian permainan anak sada dua tolu

75

Page 80: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: Dokumentasi penulis

c. Nyanyian permainan yang dinyanyikan tidak hanya pada saat akan memulai

permainan saja tetapi dinyanyikan di sepanjang permainan.

Pada dasarnya tujuan nyanyian permainan ini sama dengan nyanyian permainan

kacang koring di atas yaitu untuk menentukan pemain yang menang (main terlebih

dahulu), atau pemain yang kalah (jaga terlebih dahulu). Lirik nyanyian permainan ini

adalah panjang. Nyanyian permainan tersebut adalah : Sampele sampele.

Berdasarkan penelitian, terdapat dua varian lirik nyanyian permainan

Sampele sampele, yang pertama versi informan, sedangkan yang kedua adalah versi

anak-anak dari desa Tapian Nauli dan desa Nagasaribu yang sama. Tetapi dalam cara

melakukan permainan ini versi informan sama dengan versi anak-anak dari desa

Tapian Nauli, sedangkan versi anak-anak yang dari desa Nagasaribu berbeda.

Teks nyanyian permainan Sampele sampele versi informan

Sampele sampele si ria ria

76

Page 81: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

mangangkat jarum bosi

tongon tu bariba

tungkot jom amani mallotom

na bibi na malamun

tampuk gaol na tata

anggita menteng enteng

ibotota martata

Turjengjeng……..

Artinya:

Sampele sampele kumpul bersama

melompat jarum besi

tepat ke seberang

tongkat jam bapaknya si Mallotom

yang mentah yang matang

petik pisang yang masih mengkal

adik kita terkekeh-kekeh

saudara perempuan kita tertawa-tawa

Turjengjeng……….

Teks nyanyian permainan Sampele sampele di desa Tapian Nauli dan

Nagasaribu

Sampele sampele si ria ria

mangangkat jarum bosi

tongon tu bariba

tungkot jom amani mallotom

na bibi na malamun

tampuk gaol na tata

anggita menteng enteng

77

Page 82: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

ibotota martata

talu au marjuji

talu sagetep

ise pataluhon

siganjang mise

Artinya:

Sampele sampele kumpul bersama

melompat jarum besi

tepat ke seberang

tongkat jam bapaknya si Mallotom

yang mentah yang matang

petik pisang yang masih mengkal

adik kita terkekeh-kekeh

saudara perempuan kita tertawa-tawa

kalah aku berjudi

kalah serupiah

siapa mengalahkan

si panjang kumis

Sampele sampele merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan sewaktu

bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan untuk

menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang

mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, permainan ini dilakukan

dengan cara semua anak duduk sambil meluruskan kedua kaki masing-masing ke

depan. Semua anak menyanyikan nyanyian sampele sampele sambil masing-masing

anak menepuk satu persatu kaki mereka. Misalnya, jika ada lima orang anak sebagai

pemain, berarti akan ada sepuluh kaki yang diluruskan ke depan, dan nyanyian

78

Page 83: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

sampele sampele akan dinyanyikan sebanyak sepuluh kali juga. Tepukan kaki akan

berhenti di akhir lagu yaitu pada kata turjengjeng, dan anak yang kakinya kena tepuk

di akhir lagu tersebut, maka si anak tersebut harus menarik kakinya dan melipatnya.

Jika ada seorang anak yang kedua kakinya sudah ditarik dan dilipat maka si anak

tersebut keluar dan menjadi salah satu pemain yang menang (yang akan dikejar).

Begitu seterusnya dilakukan hingga tinggal dua orang pemain. Pemain yang kalah

adalah anak yang salah satu kakinya masih lurus ke depan. Selanjutnya, si anak yang

kalah tersebut akan mengejar teman-temannya satu persatu, dan jika berhasil

menangkap mereka, si anak tersebut harus mengucapkan kata ‘sampele’.

Kemudian, berdasarkan pengamatan langsung di desa Tapian Nauli cara

mereka melakukan permainan ini hanya sedikit berbeda dari apa yang dikatakan

informan, perbedaannya yaitu pada kata terakhir lagu tersebut. Jika versi informan

kata terakhir adalah ‘turjengjeng’ maka kata terakhir versi anak-anak dari desa

Tapian Nauli adalah ‘mise’. Selanjutnya, anak yang kakinya kena tepuk pada saat

lagu berakhir yaitu pada kata ‘mise’, maka si anak tersebut harus menarik kakinya

dan melipatnya. Dari situ sampai seterusnya cara melakukan permainan ini sama.

Sedangkan cara melakukan nyanyian permainan Sampele sampele versi anak-

anak dari desa Nagasaribu sangat jauh berbeda dari yang dikatakan informan dan

juga dari yang dilakukan anak-anak dari desa Tapian Nauli. Anak-nak membentuk

lingkaran dengan masing-masing kedua telapak tangan terbuka masing-masing di sisi

kiri dan kanan, setiap anak menindih telapak tangan teman yang ada di sampingnya

seolah-olah berpegangan tangan. Kemudian nyanyian Sampele sampele dinyanyikan

bersama sambil menepuk telapak tangan teman yang ada di sampingnya tersebut.

Dan bagi anak yang padanya nyanyian berakhir yaitu tepat pada saat telapak

79

Page 84: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

tangannya ditepuk oleh teman yang ada di sampingnya, yaitu pada kata ‘mise’, maka

si anak tersebut harus berganti posisi dengan teman yang lain, agar nantinya semua

anak mendapat giliran yang sama. Permainan ini berakhir di situ saja, tidak ada

kejar-kejaran di akhir permainan seperti yang dikatakan informan dan yang

dilakukan oleh anak-anak di desa Tapian Nauli.

Gambar 4.8: Nyanyian permainan anak Sampele sampele di desa Tapian Nauli

Sumber: Dokumentasi penulis

Gambar 4.9: Nyanyian permainan anak Sampele sampele di desa Nagasaribu

80

Page 85: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: Dokumentasi penulis

4.2.2.2. Nyanyian permainan yang dinyanyikan sampai akhir permainan

Nyanyian permainan ini dinyanyikan mulai dari awal sampai akhir permainan. Pada

umumnya lirik nyanyian permainan ini adalah panjang. Nyanyian permainan tersebut

adalah: Jambatan Tapanuli.

Berdasarkan wawancara dengan informan dan pengamatan langsung di

lapangan, maka lirik nyanyian Jambatan Tapanuli versi informan, versi anak-anak

dari desa Nagasaribu, versi anak-anak dari desa Tapian Nauli, ketiga-tiganya

berbeda, perbedaannya di akhir nyanyian.

Teks Jambatan Tapanuli versi informan

Jambatan Tapanuli

ganjang jala na uli

manuruk ma hamu sude

tinangkup ma parpudi

81

Page 86: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Ole ole

langkat ni tobu ole

molo poltak bulan i

mangalap boru ale

Boru aha ale

boru ni tulang ale

Artinya:

Jembatan Tapanuli

panjang dan cantik

merunduklah kalian semua

ditangkaplah yang terakhir

Ole ole

kulitnya tebu ole

kalau terang bulan

menjemput gadis ale

boru apa ale

putrinya tulang ale

Teks Jambatan Tapanuli versi anak-anak dari desa Nagasaibu

Jambatan Tapanuli

ganjang jala na uli

manuruk ma hamu sude

tinangkup ma parpudi

Ole ole

langkat ni tobu ole

molo poltak bulan i

mangalap boru ale

Boru aha ale

82

Page 87: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

boru ni Toba ale

sian dia ale

sian Muara ale

tinangkup ma parpudi

Artinya:

Jembatan Tapanuli

panjang dan cantik

merunduklah kalian semua

ditangkaplah yang terakhir

Ole ole

kulitnya tebu ole

kalau terang bulan

menjemput gadis ale

boru apa ale

boru dari Toba ale

dari mana ale

dari Muara ale

ditangkaplah yang terakhir

Teks Jambatan Tapanuli versi anak-anak dari desa Tapian Nauli

Ole ole

langkat ni tobu ole

molo poltak bulan i

mangalap boru ale

Boru aha ale

boru ni majuntak ale

sian dia ale

sian Muara ale

83

Page 88: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Jambatan Tapanuli adalah nyanyian permainan yang dulunya biasa

dinyanyikan anak-anak ketika terang bulan purnama. Tetapi sekarang nyanyian

tersebut dinyanyikan kapanpun baik di siang hari, sore hari, maupun malam hari.

Jumlah pemain minimal enam orang anak.

Berdasarkan wawancara dengan informan dan penelitian langsung di

lapangan, cara melakukan permainan ini versi informan dan versi anak-anak dari

desa Nagasaribu adalah sama. Permainan ini dilakukan dengan cara dua orang anak

yang lebih tinggi badannya yang berperan sebagai jembatan yang menamakan diri

mereka dengan nama-nama benda langit (matahari, bulan dan bintang), buah-buahan

(manggis, jeruk) berdiri berhadap-hadapan dan saling berpegangan tangan di atas

kepala. Anak-anak yang lain berbaris berjejer ke belakang, dimana setiap anak

memegang kedua bahu temannya yang di depan. Mereka akan berjalan menunduk

dari bawah jembatan tadi sambil menyanyikan lagu jambatan Tapanuli. Kedua anak

yang saling berpegangan tangan tadi akan menangkap anak di akhir lagu yaitu pada

kata ‘ale’. Lalu si anak tersebut akan ditanyai apa yang akan dipilih, bulan atau

bintang. Setelah ditentukan pilihannya maka si anak tersebut akan berdiri di belakang

yang dipilih. Begitu seterusnya sampai anak-anak habis ditangkap dan menentukan

pilihan mereka. Kemudian kedua pihak yaitu bulan dan bintang melakukan tarik

tambang, pihak yang menang adalah pihak yang kuat yang tetap berdiri dan mampu

menarik satu persatu pihak lawan atau bahkan membuat mereka jatuh.

Sedangkan cara melakukan permainan ini versi anak-anak dari desa Tapian

Nauli hanyalah berbeda pada saat kedua anak yang berfungsi sebagai jembatan

tersebut akan menangkap anak-anak yang lewat berjalan berbaris-baris dari bawah

tangan mereka di akhir lagu yaitu pada kata ‘parpudi’. Dari situ sampai selanjutnya

84

Page 89: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

cara melakukan permainan ini sama.

Gambar 4.9: Nyanyian permainan anak jambatan Tapanuli versi anak-anak

dari desa Nagasaribu

Sumber: Dokumentasi penulis

Gambar: 4.10: Nyanyian permainan anak Jambatan Tapanuli versi anak-anak

dari desa Tapian Nauli

85

Page 90: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Sumber: Dokumentasi penulis

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini

5.1.1 Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)

Keberadaan dideng pada MBT saat ini sudah sulit ditemukan. Ini terlihat

dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang dipengaruhi oleh mobilitas

zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial

86

Page 91: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

masyarakat. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa faktor yang

mengakibatkan pergeseran dan perubahan pada tradisi dideng saat ini.

5.1.1.1 Bahasa

Bahasa merupakan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi

pergeseran dan perubahan tradisi dideng. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa

andung yang menjadi ciri khas sastra lisan Batak Toba. Dideng adalah bagian dari

sastra lisan Batak Toba yang juga menggunakan bahasa andung. Bahasa andung

adalah bahasa Batak Toba halus yang lebih sopan yang kosa katanya berbeda dari

bahasa Batak Toba sehari-hari (hata somal) tetapi memiliki arti yang sama. Dewasa

ini, bahasa andung sudah jarang dituturkan oleh MBT, hanya orang-orang tua yang

sudah lanjut umurnya saja yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun ke atas

yang masih menuturkan dan memahami bahasa ini. Sedangkan mereka para orang

tua yang berumur dibawah enam puluh tahun sudah tidak fasih lagi menuturkan

bahasa andung dan juga tidak memahaminya lagi. Hal ini lah yang menjadi kendala

bagi para orang tua Batak Toba di zaman sekarang ini, mereka tidak mengerti dan

memahami bahasa dideng itu sendiri akibatnya mereka tidak bisa mendideng dalam

bahasa Batak Toba lagi. Sekarang ini para orang tua Batak Toba hanya bisa

mendidengkan anak-anak mereka dengan nyanyian menidurkan anak yang biasa

didengar, lebih mudah dimengerti dan dipahami seperti: nina bobo, bobo iye iye bobo

lah sayang, pok ame ame dan lain-lain. Memang hal ini sangatlah ironi, MBT yang

nyata-nyatanya memiliki dideng dideng nyanyian menidurkan anak yang berasal dari

daerahnya sendiri yang sarat akan nasihat-nasihat, petuah-petuah, tuntunan hidup,

menjadi nyanyian yang asing didengar oleh MBT itu sendiri. Kalau hal ini terus

dibiarkan maka lama kelamaan nyanyian menidurkan anak dideng dideng hanya akan

87

Page 92: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

tinggal sejarah saja. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba sepantasnya nyanyian

dideng dideng ini dihidupkan kembali dengan cara mempelajari, memahami

bahasanya dan menyanyikannya sebagai nyanyian pengantar tidur bagi anak.

5.1.1.2 Teknologi

Kemajuan teknologi yang semakin merata baik di desa maupun di kota juga

turut mempengaruhi keberlangsungan dideng pada MBT. Dewasa ini peralatan

elektronik seperti televisi, radio, CD, DVD sudah tidak sulit lagi ditemukan di desa.

Sekarang ini para orang tua Batak Toba di desa lebih cenderung memutar CD

maupun DVD yang berisikan lagu-lagu menidurkan anak yang berbahasa Indonesia

maupun yang berbahasa asing. Hal itu dirasa lebih praktis, tidak merepotkan dan up

to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Kebiasaan para orang tua Batak Toba

yang sudah mulai terpengaruh oleh kemajuan teknologi perlahan-lahan akan

membuat mereka menjadi orang tua yang pasif yang berakibat pada kedekatan

mereka dengan anak-anak mereka secara psikologis akan berkurang. Seperti yang

telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam dideng, selain menyanyi orang tua juga

akan kreatif menciptakan gerakan yang bisa membuat anaknya cepat tidur seperti

mengelus-elus badan si anak, menepuk-nepuk bokongnya, dan lain-lain. Tetapi

dengan hadirnya CD maupun DVD telah dapat menggantikan tradisi dideng tersebut

yang dulunya biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka. Kondisi seperti ini

perlahan-lahan akan membuat tradisi dideng tersebut akan benar-benar hilang di

tengah-tengah kehidupan MBT itu sendiri. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba,

nyanyian dideng dideng hendaknya dipelihara dan diwariskan kepada generasi

selanjutnya karena nyanyian ini adalah salah satu kekayaan budaya daerah dari Batak

Toba yang sangat sayang untuk dilupakan begitu saja.

88

Page 93: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

5.1.2 Nyanyian Permainan Anak

Keberadaan nyanyian permainan anak pada MBT akhir-akhir ini juga sudah

mulai mengalami kepunahan. Berdasarkan penelitian di lapangan hal tersebut

disebabkan oleh beberapa faktor.

5.1.2.1 Bahasa

Seperti halnya dalam nyanyian menidurkan anak, dalam nyanyian permainan

anak bahasa juga merupakan faktor yang mempengaruhi berkurangnya pendukung

nyanyian permainan tersebut. Nyanyian permainan anak juga menggunakan bahasa

andung. Nyanyian permainan anak adalah nyanyian rakyat yang merupakan bagian

dari sastra lisan Batak Toba. Jika dalam nyanyian menidurkan anak dideng dideng,

yang tidak mengerti bahasa andung tersebut adalah para orang tua dari anak-anak,

maka dalam nyanyian permainan ini anak-anak lah yang tidak mengerti bahasa dari

nyanyian permainan tersebut. Misalnya nyanyian Sampele sampele, nyanyian

tersebut sarat akan bahasa andung yang artinya sulit dimengerti dan dipahami oleh

orang dewasa sekalipun. Jika sekarang ini anak-anak Batak Toba sudah tidak fasih

lagi menyanyikan nyanyian permainan berbahasa Batak Toba, melainkan lebih fasih

menyanyikan hom pim pah, hal itu masih bisa dimaklumi. Karena bagaimana

mungkin anak-anak akan memahami dan mengerti nyanyian permainan tersebut jika

para orang tua mereka saja tidak tahu arti dari bahasa nyanyian itu sehingga mereka

tidak bisa mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Jika kondisi ini terus berlanjut

maka dapat dipastikan bahwa nyanyian permainan anak Batak Toba akan segera

punah karena pendukungnya yang sudah tidak ada lagi. Untuk mengatasi masalah ini

peranan orang tua dalam melestarikan warisan nenek moyang ini juga sangat

diharapkan karena anak ibarat kertas putih bersih yang belum ternoda. Dalam hal ini

89

Page 94: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

orang tua Batak Toba zaman sekarang harus belajar kepada para orang tua yang

sudah lanjut usia tentang bahasa andung itu agar kelak mereka juga bisa

mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Kalau sejak dini anak-anak

diperkenalkan dengan nyanyian permainan anak yang berbahasa Batak Toba yang

berisi petuah, pendidikan moral, dan budi pekerti, maka kelak jika sudah dewasa

mereka akan berakhlak baik.

5.1.2.2 Teknologi

Kemajuan teknologi merupakan faktor yang turut membuat nyanyian

permainan anak Batak Toba akan semakin tersisih. Adanya permainan modern dalam

komputer yang dikenal dengan games membuat anak-anak Batak Toba sekarang ini

lebih betah duduk berlama-lama sendirian di depan komputer memainkan games

daripada bermain permainan tradisional dengan teman-temannya di luar rumah. Bagi

anak-anak Batak Toba sekarang ini, bisa memainkan bermacam-macam games di

komputer merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena hal itu menunjukkan bahwa

mereka dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Padahal di balik semua itu anak-

anak tersebut tidak menyadari bahwa bermain games di komputer lama kelamaan

akan berakibat buruk bagi mereka. Pengaruh buruk tersebut antara lain: a)

Membunuh kreatifitas anak-anak sebagai generasi muda. Permainan tradisional

biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-

barang, benda-benda, atau tumbuh- tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal

tersebut  mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. b)

Hilangnya kecerdasan spiritual anak. Dalam permainan tradisional terdapat konsep

menang dan kalah. Namun menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya

bertengkar atau minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa

90

Page 95: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

melakukan permainan mengajarkan secara langsung kepada teman-temannya yang

belum bisa. c) Hilangnya kecerdasan natural anak, banyak alat-alat permainan yang

dibuat atau digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas

tersebut mendekatkan anak terhadap alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu

terhadap alam. d) Matinya kecerdasan kinestetik anak, pada umumnya, permainan

tradisional mendorong para pemainnya untuk bergerak, seperti melompat, berlari,

menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya. Menguasai teknologi bukanlah hal

yang salah, tetapi menguasai teknologi lalu melupakan dan meninggalkan tradisi

budaya yang sudah diwariskan nenek moyang adalah hal yang salah.

5.2.1.3 Pendidikan

Dewasa ini, sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan sebagai rumah

kedua bagi anak sudah tidak lagi berkontribusi dalam memperkenalkan atau

mensosialisasikan nyanyian permainan anak. Hal itu disebabkan karena guru

sekolah sendiri tidak paham permainan tradisi yang seharusnya diajarkan kepada

anak dalam kaitan implementasi kurikulum muatan lokal. Karena walaupun ada

buku permainan tradisi khususnya yang menggunakan nyanyian, tetapi tidak disertai

notasi sehingga syair nyanyian tersebut hanya sebatas sekelompok kata-kata saja.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya beberapa sekolah di Kecamatan

Lintongnihuta yang dalam pembelajarannya mengajarkan permainan tradisi yang

menggunakan nyanyian salah satunya adalah SD Negeri Nababan Dolok desa

Nagasaribu. Kalaupun ada sedikit sekolah yang mengajarkan permainan tradisi,

hanya sebatas permainan yang tidak menggunakan nyanyian yang diajarkan dalam

pelajaran olahraga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sepantasnya juga

91

Page 96: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

mengajarkan kepada anak didik nyanyian permainan yang merupakan warisan nenek

moyang ini yang didalamnya terkandung pendidikan karakter.

5.2 Fungsi Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba

5.2.1. Fungsi Nyanyian Menidurkan Anak

Pada bab dua (II) telah dikemukakan beberapa teori mengenai fungsi folklor.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) fungsi folklor bagi pendukungnya

adalah: 1) Sebagai sistem proyeksi (projective system), 2) Sebagai alat pengesahan

pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture), 3) Sebagai alat pendidik anak

(pedagogical device), 4) Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta

sebagai alat pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan

selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara,

2008:129-30) menambahkan fungsi lain, yaitu: 1) Untuk mempertebal perasaan

solidaritas kolektif, 2) Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang, 3)

Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit hati,

dan pemberian hukuman, 4) Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam

masyarakat, 5) Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (fungsi

rekreasi), 6) Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan.

Pada dasarnya dideng berfungsi sebagai media, baik itu media penghibur

anak, media untuk menyampaikan pesan, media untuk menyampaikan doa dan

harapan untuk anak, media untuk belajar bagi anak, media untuk penguat tali

kasih sayang antara orang tua dan anak dan juga media untuk mencurahkan kasih

sayang orang tua kepada anaknya. Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan

teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa sebagai fungsi dideng adalah: (1)

sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pendidikan anak; (3) sebagai alat pemaksa

92

Page 97: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial; dan (4) berfungsi sebagai

penguat ikatan persaudaraan.

1. Sebagai bentuk hiburan

Fungsi dideng dikatakan sebagai bentuk hiburan karena dideng sendiri

merupakan nyanyian yang dinyanyikan ketika hendak menidurkan anak.

Nyanyian bagi sang anak akan membuatnya semakin terlelap dalam tidur,

sedangkan bagi ibu yang menyanyikannya juga dapat menghilangkan sedikit

kepenatan dan keletihannya dalam bekerja. Hal ini disebabkan dengan bernyanyi si

ibu akan lebih bersantai sejenak dan melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak

mengenakkan. Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Danandjaja

bahwa nyanyian rakyat memiliki fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari

kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu atau menghibur diri

dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk

melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh

kedamaian jiwa.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan

anak. Dideng merupakan nyanyian yang diperuntukkan bagi anak-anak usia dini.

Proses belajar anak usia dini tidak sama dengan proses belajar anak-anak pada

umumnya. Pada umumnya proses belajar anak-anak dapat dilakukan di sekolah.

Selain itu faktor lingkungan juga turut memberikan pengalaman belajar bagi anak.

Sangat berbeda dengan proses belajar anak usia dini karena pada masa ini anak

hanya belajar dari orang tuanya. Maka dari itulah dideng juga berfungsi sebagai

alat pendidikan anak karena di dalam dideng tersebut banyak mengandung pesan-

93

Page 98: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

pesan, petuah-petuah dan pengajaran yang diberikan oleh orang tua sehingga

secara tidak langsung anak akan mulai belajar.

3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial

Begitu pula halnya dengan fungsi dideng sebagai alat pemaksa berlakunya

norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan orang tua

kepada anaknya lewat dideng biasanya berisi tentang hal-hal yang mengandung

nilai-nilai moral. Hal ini bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa ia menjadi

pribadi yang menyenangkan, bertindak serta berlaku sesuai aturan dan norma-

norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi

bangsa, maupun masyarakat.

4. Sebagai penguat ikatan persaudaraan

Selanjutnya fungsi dideng sebagai penguat ikatan persaudaraan merupakan

bentuk adanya cinta dan kasih sayang yang besar antara ibu dan anaknya. Karena

dengan mendidengkan anaknya seorang ibu dapat mencurahkan segala keinginan

dan harapannya kepada anak yang sangat dikasihinya. Dari sanalah akan semakin

tumbuh dan tercipta ikatan tali cinta kasih antara anak dan ibunya.

5.2.2 Fungsi Nyanyian Permainan Anak

Pada dasarnya fungsi nyanyian permainan anak juga sama dengan fungsi

folklor seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

5.2.2.1 Fungsi nyanyian permainan Kacang koring

Berdasarkan fungsi folklor, maka nyanyian permainan anak kacang koring

memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk hiburan

Pada umumnya setiap nyanyian permainan anak memiliki fungsi sebagai

94

Page 99: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

bentuk hiburan atau rekreatif, demikian juga nyanyian permainan kacang koring juga

memiliki fungsi sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Hal itu disebabkan nyanyian

permainan kacang koring merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika

hendak memulai permainan. Dengan bermain anak-anak dapat menghilangkan

sedikit kepenatan dan keletihan dalam beraktivitas sehari-hari seperti belajar di

sekolah maupun di rumah dan membantu orang tua bekerja . Dengan bermain

anak-anak juga akan lebih bersantai sejenak, melupakan hal-hal ataupun kejadian

yang tidak mengenakkan yang dilaluinya ketika melakukan aktivitasnya tersebut

serta dapat melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga memperoleh

kedamaian jiwa.

95

Page 100: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga

berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Kacang koring merupakan nyanyian

permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Selain mendapatkan

pendidikan formal di sekolah, mereka juga mendapatkan pendidikan non formal

di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan ini memberi

pendidikan bagi anak agar tidak rakus, tetapi mengambil sedikit saja (sibuat na

otik) atau secukupnya saja. Karena berlebihan itu tidak baik, sebab di tempat lain

masih banyak orang yang hidup berkekurangan.

3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali

sosial

Nyanyian permainan Kacang koring juga berfungsi sebagai alat pemaksa

berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang

disampaikan melalui nyanyian ini mengandung nilai moral. Hal ini bertujuan

agar kelak ketika sang anak dewasa dan dalam kehidupan sehari-harinya ia

menjadi pribadi yang menyenangkan, hidup sederhana, tidak berlebihan, taat pada

ajaran- ajaran, serta bertindak dan berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang

berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa maupun

masyarakat.

5.2.2.2 Fungsi nyanyian permainan sada dua tolu

Berdasarkan fungsi folklor, nyanyian permainan anak Sada dua tolu

memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk hiburan

Sama seperti nyanyian permainan kacang koring, fungsi nyanyian

96

Page 101: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

permainan sada dua tolu juga adalah sebagai bentuk hiburan atau rekreatif.

Nyanyian permainan sada dua tolu merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-

anak ketika hendak memulai permainan. Dengan bermain anak-anak dapat

menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan dalam beraktivitas sehari-hari

seperti belajar di sekolah, belajar di rumah dan membantu orang tua bekerja .

Dengan bermain anak-anak juga akan lebih bersantai sejenak, melupakan

hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan yang dilaluinya ketika

melakukan aktivitasnya tersebut serta dapat melepaskan diri dari segala

ketegangan perasaan sehingga memperoleh kedamaian jiwa.

2. Sebagai pencela orang lain

Nyanyian permainan Sada dua tolu juga berfungsi sebagai pencela orang

lain. Dalam nyanyian permainan ini terdapat lirik: pulik hamu na tolu holan ho do

na umbau (kecuali kalian bertiga hanya kamu yang paling bau). Lirik tersebut

mencela salah satu anak yang menjadi anggota dalam permainan tersebut yaitu

anak yang badannya beraroma tak sedap (bau), namun hal tersebut diungkapkan

bukan untuk mempermalukan si anak tersebut ataupun membuatnya sakit hati,

tetapi agar si anak tersebut lebih dahulu membersihkan badannya dan kemudian

bisa bergabung kembali dalam permainan.

3. Sebagai alat pendidikan anak

Di dalam celaan yang disampaikan kepada salah satu anak yang menjadi

anggota dalam permainan tersebut, sesungguhnya celaan tersebut juga berfungsi

sebagai alat pendidikan bagi anak yang bersangkutan. Nyanyian permainan ini

mengajarkan anak-anak pendidikan tentang kesehatan, yaitu betapa pentingnya

menjaga kebersihan badan sebab kebersihan badan merupakan pangkal kesehatan,

97

Page 102: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Badan yang bersih akan jauh dari segala jenis penyakit, tetapi badan yang kotor

akan menjadi tempat tumbuh suburnya kuman-kuman penyakit. Selain itu badan

yang bersih sudah pasti memberikan aroma yang harum, sedangkan badan yang

kotor akan menimbulkan aroma tak sedap (bau), yang bisa berakibat akan dijauhi

orang lain. Jadi, anak-anak harus selalu menjaga kebersihan badan agar senantiasa

harum dan sehat pastinya, dengan begitu anak-anak akan disenangi orang lain dan

tidak akan tersingkir dari pergaulan.

5.2.2.3 Fungsi nyanyian permainan Sampele sampele

Berdasarkan fungsi folklor, maka nyanyian permainan sampele sampele

memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk hiburan

Seperti nyanyian permainan lainnya, nyanyian permainan Sampele

sampele juga berfungsi sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Sampele sampele

merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika bermain. Dengan

bermain anak-anak dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan dalam

beraktivitas sehari-hari seperti belajar di sekolah, belajar di rumah dan

membantu orang tua bekerja. Dengan bermain anak-anak juga akan lebih

bersantai sejenak, melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan

yang dilaluinya ketika melakukan aktivitasnya tersebut serta dapat melepaskan

diri dari segala ketegangan perasaan sehingga memperoleh kedamaian jiwa.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga

berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Sampele sampele merupakan nyanyian

permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Selain mendapatkan

98

Page 103: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

pendidikan formal di sekolah, mereka juga mendapatkan pendidikan non formal

di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan ini mengandung

pesan-pesan, petuah-petuah, serta pengajaran bagi anak-anak untuk tidak

melakukan perbuatan tercela seperti main judi, karena main judi tidak ada

gunanya, maksud hati mendapat untung, tetapi yang datang malah kekalahan.

3. Sebagai penguat ikatan persaudaraan

Selanjutnya nyanyian permainan sampele sampele juga berfungsi sebagai

penguat ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan bisa tumbuh dan semakin kuat

dengan berkumpul bersama (si ria ria). Berkumpul bersama memiliki banyak

manfaat. Masing-masing orang bisa mengutarakan keluh kesahnya, permasalahan

hidupnya, dan bahkan solusi untuk permasalahan tersebut pun bisa didapat.

Kesedihan juga bisa berganti menjadi canda dan tawa (anggita menteng enteng

ibotota martata) yang tidak akan pernah didapat kalau lagi sendiri-sendiri.

Dengan terciptanya kondisi yang demikian maka keinginan untuk berkumpul

kembali akan semakin besar. Dari sanalah akan tercipta ikatan persaudaraan yang

kuat yang tidak akan dapat terpisahkan.

4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali

sosial

Begitu pula halnya dengan fungsi sampele sampele sebagai alat pemaksa

berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang

disampaikan lewat nyanyian tersebut berisi tentang hal-hal yang mengandung

nilai-nilai agama, nilai moral dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan agar nantinya

setelah anak-anak dewasa bisa menjadi pribadi yang baik, taat pada ajaran- ajaran

maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga akan menjadi

99

Page 104: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

manusia yang berguna baik bagi bangsa maupun masyarakat.

5.2.2.4 Fungsi nyanyian permainan Jambatan Tapanuli

Berdasarkan fungsi folklor, maka nyanyian permainan sampele sampele

memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk hiburan

Fungsi nyanyian permainan Jambatan Tapanuli adalah sebagai bentuk

hiburan atau rekreatif. Dikatakan demikian karena Jambatan Tapanuli sendiri

merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika bermain. Dengan

bermain anak-anak dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan dalam

beraktivitas sehari-hari seperti belajar di sekolah, belajar di rumah dan

membantu orang tua bekerja. Dengan bermain anak-anak juga akan lebih

bersantai sejenak, melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan

yang dilaluinya ketika melakukan aktivitasnya tersebut serta dapat melepaskan

diri dari segala ketegangan perasaan sehingga memperoleh kedamaian jiwa.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan Jambatan Tapanuli

juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Jambatan Tapanuli merupakan

nyanyian permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Selain

mendapatkan pendidikan formal di sekolah, mereka juga mendapatkan pendidikan

non formal di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan ini

mengandung banyak pendidikan maupun pengajaran bagi anak-anak diantaranya:

bahwa tidak selamanya yang terakhir akan menjadi yang terakhir, bisa saja yang

terakhir akan menjadi yang pertama, seperti yang dikatakan dalam nyanyian ini

(tinangkup ma parpudi) bahwa yang terakhir atau yang paling belakang akan

100

Page 105: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

ditangkap lebih dahulu dan akan menjadi salah seorang pemain yang menang.

Nyanyian permainan ini juga mengenalkan kepada anak-anak bangunan maupun

tempat bersejarah yang bisa dibanggakan oleh MBT yaitu jembatan Tapanuli yang

ada di Tarutung. Kemudian, nyanyian ini juga mengenalkan kepada anak-anak

nama daerah yaitu Muara yang dulunya masih termasuk ke dalam wilayah

kabupaten Toba. Dahulu, nyanyian ini dinyanyikan pada saat terang bulan

purnama, dengan demikian anak-anak akan dengan mudah mengenal keagungan

Tuhan melalui ciptaanNya .

5.3 Makna Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba

Dalam mencari makna teks nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yaitu

nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak digunakan teori

semiotika. Semiotika Roland Barthes adalah yang digunakan untuk mencari

makna keseluruhan dari teks dideng.

5.3.1 Makna Nyanyian Menidurkan Anak Pada Masyarakat Batak Toba

Nyanyian dideng dideng merupakan curahan hati seorang anak yang

mengisahkan kembali jasa-jasa serta perjuangan ibunya dalam membesarkannya

dari kecil hingga dewasa. Tetapi dalam hal ini curahan hati sang anak tersebut

dinyanyikan oleh seorang ibu ketika ia menyanyikan nyanyian pengantar tidur

bagi anaknya. Dalam konteks mandideng si anak yang ditidurkan adalah masih

bayi, atau usia dini. Anak yang masih bayi atau usia dini belum bisa

mengungkapkan isi hatinya melalui nyanyian. Dalam hal ini ibu bernyanyi dengan

harapan kelak nanti anaknya dewasa, anaknya tersebut akan tetap mengingat dan

menghargai semua perjuangan ibunya yang telah membesarkannya dari kecil

hingga dewasa.

101

Page 106: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Perjuangan seorang ibu bukan hanya ketika melahirkan anaknya saja,

tetapi seorang ibu juga harus menyusui anaknya tanpa kenal waktu, memberi

makan, memandikan, menidurkan, semua itu adalah tanggung jawab seorang ibu

terhadap anaknya yang masih kecil. Perjuangan tersebut sungguh merupakan

perjuangan yang sangat luar biasa yang begitu melelahkan secara fisik, dimana

hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan bahkan tahun

berganti tahun, hal itu terus dilakukan sang ibu demi pertumbuhan anaknya.

Selanjutnya pada bait ke dua dikisahkan juga usaha-usaha sang ibu di kala

hendak menidurkan anaknya. Menidurkan anak bukanlah hal yang mudah, karena

anak hanya bisa tidur ketika dia sudah merasa nyaman. Banyak cara yang

dilakukan seorang ibu agar anaknya cepat tidur dan terlelap. Memberi ASI

merupakan langkah pertama, bayi yang sudah kenyang pada umumnya akan cepat

tidur. Tetapi terkadang dengan perut yang sudah kenyang sekalipun, si anak masih

tetap rewel, di sinilah ibu harus berusaha lebih keras lagi mengupayakan agar

anaknya cepat tidur. Kadang-kadang anaknya dipangku (diabing) tetapi kalau

belum juga bisa tidur dalam pangkuannya, anaknya digendong (diompa) lagi. Dan

kalau anaknya belum juga bisa tidur dengan cara dipangku maupun digendong,

maka sang ibu akan mendidengkan anaknya yaitu menyanyikan nyanyian

pengantar tidur dideng dideng. Bagi ibu anak bukanlah sekedar darah dan

dagingnya, tetapi juga belahan jiwanya, tempat curahan cinta dan kasih sayangnya

oleh karena itu ibu memanggilnya dengan sebutan hasian (sayang).

5.3.2 Makna Nyanyian Permainan Anak

Nyanyian permainan anak pada MBT memiliki makna-makna semiosis,

yang hanya bisa didekati dengan cara menyelami cara berpikir masyarakat

102

Page 107: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

pengguna nyanyian ini. Dengan demikian pendekatan penelitian pengamatan

terlibat akan dapat mengungkap makna-makna dalam nyanyian permainan anak

ini.

5.3.2.1 Makna nyanyian permainan anak Kacang koring

Nyanyian permainan kacang koring adalah nyanyian permainan yang

mengandung nasehat. Dalam pemahaman MBT kacang koring (kacang kering)

adalah kacang garing Sihobuk. Kacang ini aslinya berasal dari desa Sihobuk,

Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Kacang Sihobuk memiliki karakter rasa

yang kuat, gurih dan renyah berkat proses pembuatannya yang cukup unik.

Terlebih dahulu kacang dipilih yang tebal kulitnya agar tidak mudah hancur ketika

sedang diproses, kemudian direndam selama satu sampai dua hari, lalu dijemur

sampai kering selanjutnya digongseng di atas bara di dalam tungku bercampur

pasir. Kacang ini sangat baik untuk kesehatan karena tidak digoreng melainkan

digongseng. Dahulu, kacang ini hanya bisa dijumpai di Tarutung, oleh karena itu

para perantau selalu memburu kacang ini sebagai oleh-oleh khas Tarutung. Berkat

pembuatannya yang unik, dan gunanya yang baik untuk kesehatan, serta hanya

bisa dijumpai di kota asalnya maka tidak heran kalau kacang ini dulunya cukup

mahal, sehingga orang-orang pun hanya membelinya secukupnya saja, yang

penting ada. Jadi, kacang koring sibuat naotik bermakna agar hendaknyalah

mengambil sedikit saja atau secukupnya saja agar orang lain juga mendapat

bagian sebab yang dibagi tidaklah banyak.

5.3.2.2 Makna nyanyian permainan anak Sada dua tolu

Meskipun lirik nyanyian permainan ini sedikit menyinggung, namun pada

dasarnya nyanyian ini mengandung nasihat. Nasihat agar anak-anak rajin

103

Page 108: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

membersihkan badan. Anak yang badannya bersih akan tumbuh menjadi anak

yang sehat. Kalau badan sudah sehat, tentu akan banyak orang yang suka, yang

pada akhirnya si anak akan punya banyak teman. Sedangkan anak yang badannya

bau karena malas membersihkan diri sendiri, akan tumbuh menjadi anak yang

kurang sehat yang mengakibatkan orang lain akan menjauh dan enggan berteman

serta tersisih dari pergaulan.

5.3.2.3. Makna nyanyian permainan anak Sampele sampele

Nyanyian permainan sampele sampele adalah nyanyian permainan yang

menggambarkan suasana gembira, suasana gembira berkumpul bersama saudara

dan teman-teman. Dikisahkan ada sebuah jarum besi yang melompat ke seberang

(mangangkat jarum bosi tongon tu bariba). Lirik ini bermakna konotatif, karena

sebuah jarum besi tidak mungkin melompat sampai ke seberang. Lirik tersebut

bermakna bahwa sesuatu yang kecil yang, yang terkadang luput dari perhatian

orang, mampu melakukan sesuatu yang besar. Jarum besi adalah benda yang

berukuran kecil namun memiliki banyak manfaat, jarum besi biasanya digunakan

untuk merajut benang menjadi kain atau karung sehingga dapat dipergunakan

sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya, terdapat lirik yang dimaknai sebagai

pilihan, pilihan antara yang mentah dan yang matang, tetapi jika dua-duanya tidak

ada maka pilihlah yang mengkal yaitu yang setengah matang dan setengah

mentah. Lirik tersebut bermakna bahwa dalam hidup ini juga harus ada pilihan,

antara menjadi baik dan buruk/jahat. Kalau tidak bisa memilih salah satu, maka

itulah sifat manusia yang dalam dirinya terdapat kedua sifat tersebut yaitu sifat

baik dan sifat buruk/jahat. Karena tidak selamanya manusia itu baik, pasti ada sisi

buruk/jahatnya, dan tidak selamanya pula manusia itu jahat pasti ada sisi baiknya

104

Page 109: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

juga. Kemudian, terdapat lirik yang menggambarkan seorang yang kalah main

judi yang dikalahkan oleh seorang yang sudah tua (si ganjang mise). Bermain judi

adalah permainan yang membutuhkan strategi yang jitu disamping uang yang

banyak. Lirik tersebut bermakna bahwa seorang yang muda, yang masih segar,

yang lebih kuat fisiknya, bisa dikalahkan oleh seorang yang sudah tua yang dari

strategi dan pengalaman jauh lebih matang dari yang muda.

5.3.2.4. Makna nyanyian permainan anak Jambatan Tapanuli

Dalam nyanyian permainan ini Jambatan Tapanuli (jembatan Tapanuli)

diibaratkan sebagai dua orang anak yang lebih tinggi badannya berdiri hadap-

hadapan sambil berpegangan tangan di atas kepala, sedangkan air yang mengalir

di bawah jembatan tersebut yaitu air sungai aek godang sigeaon diibaratkan

sebagai anak-anak yang berjalan menunduk di bawah tangan kedua anak tadi.

Pada dasarnya nyanyian permainan ini adalah nyanyian permainan yang

menggambarkan keindahan jembatan Tapanuli yang ada di kota Tarutung,

Kabupaten Tapanuli Utara. Dahulu, nyanyian ini biasa dinyanyikan di malam hari

pada saat terang bulan purnama, hal ini senada dengan jembatan Tapanuli yang

semakin indah dan mempesona serta berkilauan ketika sinar bulan purnama

menerpa air sungai aek godang sigeaon yang mengalir di bawahnya. Jembatan

Tapanuli merupakan jembatan yang panjang, kokoh dan indah yang menjadi

kebanggaan masyarakat Tapanuli khususnya yang tinggal di kota Tarutung.

Jembatan Tapanuli juga telah banyak memberi manfaat bagi masyarakat

Tarutung. Dengan adanya jembatan Tapanuli maka transportasi di kota Tarutung

pun semakin lancar sehingga turut mempengaruhi kemajuan di bidang

perekonomian. Selain itu aliran air sungai sigeaon juga telah menjadi sumber

105

Page 110: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

pengairan bagi pertanian masyarakat Tarutung. Semua itu merupakan gambaran

dari lirik jambatan Tapanuli ganjang jala na uli. Selanjutnya lirik manuruk ma

hamu sude tinangkup ma parpudi menggambarkan anak yang berada di posisi

paling belakang barisan tersebut akan ditangkap lebih dulu. Lirik lagu tersebut

bermakna bahwa hidup ini adalah perjalanan, terkadang kita berada di depan,

terkadang juga di belakang. Kalaupun sekarang keadaan kita kurang beruntung,

berada jauh ketinggalan dari orang lain, namun kita harus tetap optimis bahwa

tidak selamanya yang dibelakang akan tetap terbelakang, akan ada waktunya yang

dibelakang akan menjadi yang terdepan. Selanjutnya terdapat lirik molo poltak

bulan i mangalap boru ale, dahulu bagi MBT sudah menjadi kebiasaan bagi

seorang pemuda melamar atau meminang kekasihnya pada saat terang bulan

purnama. Lirik ini bermakna bahwa memilih calon istri bukanlah perkara yang

mudah, karena istri akan menjadi pasangan hidup yang akan mendampingi

seorang pria mengarungi bahtera rumah tangga sampai akhir hayat, sehingga

harus benar-benar diketahui dengan jelas seperti apa wanita yang akan menjadi

calon istrinya nanti. Jadi meminang seorang wanita pada saat terang bulan

purnama bermakna agar wanita yang akan dipinang menjadi istrinya harus jelas

diketahui bibit bebet bobotnya, tidak boleh ada yang tersembunyi atau ditutup-

tutupi semuanya akan jelas seterang cahaya bulan purnama.

5.4 Konteks

5.4.1 Nyanyian Menidurkan Anak

Konteks meliputi konteks sosial dan konteks situasi. Konteks sosial ini

meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan

komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara

106

Page 111: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

penggunaan teks. Konteks penuturan dalam penelitian ini pada hakikatnya

mengenai latar atau tempat berlangsungnya dideng, waktu berlangsungnya

dideng, siapa yang melantunkan dideng, siapa yang mendengarkan dideng, dan

suasananya.

5.4.1.1 Tempat berlangsungnya dideng

Secara keseluruhan dideng dalam menidurkan anak berlangsung di dalam

rumah tepatnya di ruang keluarga karena di sanalah ayunan diletakkan atau

digantungkan.

5.4.1.2 Waktu berlangsungnya dideng

Pada umumnya dideng dalam menidurkan anak dilakukan ketika anak

tidur disiang hari dan jarang dilakukan pada waktu malam hari karena biasanya

ketika malam hari anak cenderung lebih sering di bawa tidur ke kamar tidur dan

ditidurkan dengan disusui oleh ibunya.

5.4.1.3 Penutur atau pelantun dideng

Orang yang melantunkan dideng adalah ibu karena tanggung jawab

seorang ibu adalah mengurus anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan sang

ayah bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja

mencari nafkah di luar rumah. Selain, itu sosok ibu adalah figur yang paling

dekat dan sangat dibutuhkan oleh anak terutama anak usia dini

5.4.1.4 Petutur atau orang yang mendengar dideng

Orang yang mendengar atau berada di lokasi berlangsungnya dideng

adalah anak itu sendiri (anak yang menjadi tujuan utama dilantunkannya dideng).

Hal ini disebabkan oleh jika terlalu banyak orang lain berada di sana maka anak

tersebut akan sulit untuk tidur karena sudah barang tentu terjadi kebisingan

107

Page 112: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

sementara itu agar cepat tidur sang anak butuh ketenanganan.

5.4.1.5 Suasana ketika berlangsungnya dideng

Suasana yang tercipta ketika berlangsungnya dideng adalah suasana yang

tenang dan sunyi di mana hanya ada ibu dan anak ketika proses dideng tersebut

berlangsung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam menidurkan

anak dibutuhkan suasana yang sunyi dan tenang agar sang anak dapat segera

tertidur. Hal ini disebabkan berdasarkan pengamatan di lapangan anak akan sulit

untuk tidur apabila berada di tengah suasana yang ramai dan ribut karena pada

dasarnya anak usia dini memiliki ketajaman pendengaran sehingga apabila

terdengar suara yag gaduh ia akan mudah untuk terbangun lagi.

5.4.2 Nyanyian Permainan Anak

Konteks meliputi konteks social dan konteks situasi. Konteks sosial ini

meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan

komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara

penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur,

pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di

mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya.

5.4.2.1 Nyanyian permainan Kacang koring

1. Pelaku permainan

Nyanyian ini biasanya dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat

(martabun tabuni), nyanyian ini merupakan nyanyian permainan untuk

menentukan giliran dalam sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah.

Jumlah pemain minimal empat orang anak.

108

Page 113: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

2. Tempat berlangsungnya permainan

Permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah, tetapi bisa juga di dalam

rumah, tergantung situasi. Kalau cuaca sedang gerimis, hujan, atau terik matahari,

maka tidak baik bagi anak-anak untuk bermain di luar rumah, sehingga permainan

ini juga bisa dilakukan di dalam rumah, apalagi jika rumahnya cukup besar dan

memiliki banyak kamar sebagai tempat persembunyian.

3. Waktu berlangsungnya permainan

Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di sore hari, setelah anak-anak

pulang dari sekolah atau setelah anak-anak membantu orang tua mereka, karena

pada umumnya anak-anak yang tinggal di pedesaan sudah dilibatkan orang tuanya

untuk bekerja walaupun sekedar membantu-bantu. Mengingat nyanyian

permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah, maka yang menjadi alasan utama

nyanyian permainan ini dilakukan di sore hari adalah karena cuaca di sore hari

tidak sepanas dan seterik di siang hari, sehingga baik untuk kesehatan anak-anak.

4. Cara melakukan permainan

Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil, secara

bersama-sama anak-anak mengucapkan kalimat ‘kacang koring sibuat na otik’.

Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu ‘tik’, masing-masing anak

memperlihatkan salah satu telapak tangan dengan bagian dalam telapak tangan

menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah anak yang memperlihatkan

telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika anak-anak yang lain sudah

menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua anak yang tersisa dengan

melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran sebagai penjaga pos. Si

109

Page 114: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke tiang untuk menunggu

anak yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu si anak tersebut

mengucapkan kata ‘nunga”? (sudah?), jika masih ada anak yang menjawab

‘daung’ (belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi

jika tidak ada lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah di tempat

persembunyian dan sudah bisa untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah memukan

salah satu temannya, dia harus mengucapkan kata ‘tul’ sambil menyebutkan nama

temannya tersebut. Begitu seterusnya hingga semua anak ditemukan.

5.4.2.2 Nyanyian Permainan Sada dua tolu

1. Pelaku permainan

Sada dua tolu merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan sewaktu

bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan untuk

menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang

mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak.

2. Tempat berlangsungnya permainan

Sama seperti nyanyian permainan Kacang koring, nyanyian permainan

Sada dua tolu juga biasanya dilakukan di luar rumah, namun nyanyian permainan

ini juga bisa dilakukan di dalam rumah tergantung situasi cuaca mendukung atau

tidak.

3. Waktu berlangsungnya permainan

Seperti halnya nyanyian permainan pada umumnya maka nyanyian

permainan Sada dua tolu juga dilakukan pada saat sore hari setelah anak-anak

pulang sekolah, dan setelah membantu orangtua mereka.

4. Cara melakukan permainan

110

Page 115: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil. Semua anak

menyanyikan “sada dua tolu sitambal nabalau pulik hamu na tolu holan ho do na

umbau” sambil seorang anak menunjuk satu persatu temannya. Nyanyian akan

berakhir di akhir lagu yaitu pada kata bau, dan anak yang pada saat dirinya

ditunjuk dan pada saat itu juga nyanyian berakhir, merupakan salah satu pemain

yang menang (yang akan dikejar). Begitu seterusnya dilakukan hingga tinggal dua

orang pemain. Dan anak yang kalah dari antara kedua anak tersebut adalah anak

yang tidak ditunjuk pada saat lagu berakhir yaitu pada kata bau. Selanjutnya si

anak yang kalah akan mengejar anak yang lain satu persatu hingga berhasil

menangkapnya.

5.4.2.3 Nyanyian Permainan Sampele sampele

1. Pelaku permainan

Sampele sampele merupakan nyanyian permainan yang dinyanyikan

sewaktu bermain kejar-kejaran (marsilelean). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan

untuk menentukan siapa yang menang (yang dikejar) dan siapa yang kalah (yang

mengejar). Jumlah pemain minimal empat orang anak.

2. Tempat berlangsungnya permainan

Nyanyian permainan ini juga biasanya dilakukan di luar rumah, tetapi bisa

juga di dalam rumah tergantung situasi cuaca. Tetapi sewaktu mereka

menyanyikan nyanyian sampele sampele demi alasan kebersihan adalah lebih baik

dilakukan di teras rumah karena seluruh anak akan duduk sambil meluruskan

kedua kaki mereka ke depan. Selanjutnya ketika mereka hendak kejar-kejaran

barulah mereka beranjak dari teras rumah. Tetapi yang namanya anak-anak

banyak juga yang tidak memperhatikan kebersihan, terkadang bagi mereka lebih

111

Page 116: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

seru dan menyenangkan bila duduk di tanah.

3. Waktu berlangsungnya permainan

Nyanyian permainan ini juga dilakukan di sore hari setelah anak-anak

pulang sekolah dan membantu orang tua mereka bekerja.

4. Cara melakukan permainan

Permainan ini dilakukan dengan cara semua anak duduk sambil

meluruskan kedua kaki masing-masing ke depan. Semua anak menyanyikan

nyanyian sampele sampele sambil masing-masing anak menepuk satu persatu kaki

mereka. Misalnya, jika ada lima orang anak sebagai pemain, berarti akan ada

sepuluh kaki yang diluruskan ke depan, dan nyanyian sampele sampele akan

dinyanyikan sebanyak sepuluh kali juga. Tepukan kaki akan berhenti di akhir lagu

yaitu pada kata ‘mise, dan anak yang kakinya kena tepuk tepat pada saat lagu juga

berakhir, maka si anak tersebut harus menarik kakinya yang kena tepuk tadi dan

melipatnya. Jika ada seorang anak yang kedua kakinya sudah ditarik dan dilipat

maka si anak tersebut keluar dan menjadi salah satu pemain yang menang (yang

akan dikejar). Begitu seterusnya dilakukan hingga tinggal dua orang pemain.

Pemain yang kalah adalah anak yang salah satu kakinya masih lurus ke depan.

Selanjutnya, si anak yang kalah tersebut akan mengejar teman-temannya satu

persatu, dan jika berhasil menangkap mereka, si anak tersebut harus mengucapkan

kata ‘sampele’.

5.4.2.4 Nyanyian Permainan Jambatan Tapanuli

1. Pelaku permainan

Nyanyian permainan ini akan lebih seru dan menarik apabila dilakukan

oleh banyak pemain. Jumlah pemain yang banyak akan membentuk barisan yang

112

Page 117: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

panjang pula. Jumlah minimal pemain dalam nyanyian permainan ini adalah enam

orang anak.

2. Tempat berlangsungnya permainan

Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah apalagi kalau

jumlah pemainnya lebih dari enam orang. Hal ini dikarenakan sewaktu mereka

menyanyikan nyanyian tersebut mereka akan berbaris memanjang ke belakang

dan di akhir permainan akan melakukan tarik tambang. Tetapi nyanyian ini juga

bisa dilakukan di dalam rumah apabila pemainnya dalam jumlah minimal yaitu

enam orang saja.

3. Waktu berlangsungnya permainan

Jambatan Tapanuli adalah nyanyian permainan yang dulunya biasa

dinyanyikan anak-anak ketika terang bulan purnama. Tetapi sekarang nyanyian

tersebut biasanya dilakukan di sore hari setelah anak-anak pulang sekolah dan

setelah membantu orangtua mereka bekerja.

4. Cara melakukan permainan

Permainan ini dilakukan dengan cara dua orang anak yang lebih tinggi

badannya yang berperan sebagai jembatan yang menamakan diri mereka dengan

nama-nama benda langit (matahari, bulan dan bintang), buah-buahan (manggis,

jeruk) berdiri berhadap-hadapan dan saling berpegangan tangan di atas kepala.

Anak-anak yang lain berbaris memanjang ke belakang, dimana setiap anak

memegang kedua bahu temannya yang di depan. Mereka akan berjalan menunduk

dari bawah jembatan tersebut sambil menyanyikan lagu jambatan Tapanuli.

Kedua anak yang saling berpegangan tangan tadi akan menangkap anak di akhir

lagu yaitu pada kata ‘ale’. Lalu si anak tersebut akan ditanyai apa yang akan

113

Page 118: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

dipilih, bulan atau bintang. Setelah ditentukan pilihannya maka si anak tersebut

akan berdiri di belakang yang dipilih. Begitu seterusnya sampai semua anak-anak

ditangkap dan menentukan pilihan mereka. Kemudian kedua pihak yaitu bulan

dan bintang melakukan tarik tambang, pihak yang menang adalah pihak yang kuat

tetap berdiri dan mampu menarik satu persatu pihak lawan atau bahkan membuat

mereka jatuh.

5.5 Kearifan Lokal Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak

Toba

5.5.1 Kearifan Lokal Nyanyian Menidurkan Anak

Di dalam penelitian kearifan lokal nyanyian menidurkan anak terdapat

beberapa kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut

fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang dianalisis

berdasarkan pengamatan langsung.

5.5.1.1 Rasa Syukur

Di dalam nyanyian menidurkan anak terdapat kearifan lokal rasa syukur.

Rasa syukur merupakan ungkapan rasa terima kasih sang anak kepada Tuhan yang

telah memberikan seorang ibu yang baik, yang telah merawatnya dengan penuh

perjuangan dari kecil hingga dewasa.

5.5.1.2 Pendidikan

Selain rasa syukur terdapat juga kearifan lokal pendidikan. Dideng

merupakan media pendidikan bagi anak, anak usia dini hanya belajar dari orang

tuanya. Dideng banyak mengandung pesan-pesan, petuah-petuah dan pengajaran

yang diberikan oleh orang tua, sehingga secara tidak langsung anak akan mulai

belajar.

114

Page 119: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

5.5.2 Kearifan Lokal Nyanyian Permainan Anak

5.5.2.1 Nyanyian Permainan Kacang Koring

Dalam nyanyian permainan Kacang koring terdapat kearifan lokal

kesetiakawanan sosial. Setia kawan berarti peduli terhadap kawan, tidak

mementingkan diri sendiri (egois). Nyanyian permainan ini mengajarkan agar

anak-anak tidak rakus, tetapi mengambil sedikit saja atau secukupnya saja

untuknya, agar kawan yang lain juga mendapat bagian.

5.5.2.2 Nyanyian Permainan Sada dua tolu

Kearifan lokal nyanyian permainan Sada dua tolu adalah kesehatan.

Kesehatan yang dimaksud adalah agar anak-anak senantiasa rajin membersihkan

dan merawat badan agar tidak bau. Karena anak yang badannya bersih dan terawat

akan disenangi banyak teman, tidak seperti lirik lagu tersebut yang

menggambarkan anak yang bau akan dikeluarkan dari permainan dan dijauhi

teman-teman.

5.5.2.3 Nyanyian Permainan Sampele sampele

Dalam nyanyian permainan Sampele sampele terdapat kearifan lokal

kerukunan. Kerukunan berarti hidup damai dan berdampingan antara satu dengan

yang lain. Dalam hal ini kerukunan yang dimaksud adalah kerukunan bersaudara.

Berkumpul bersama saudara yaitu kakak dan adik dan diwarnai oleh canda dan

tawa merupakan suasana kerukunan yang digambarkan dalam nyanyian sampele

sampele (anggiku mengkel-engkel ibotoku martata). Dalam nyanyian tersebut

tidak ada gambaran perselisihan maupun konflik meskipun seorang dari antara

mereka kalah bermain judi sama orang tua.

115

Page 120: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

5.3.2.4 Nyanyian Permainan Jambatan Tapanuli

Kearifan lokal nyanyian jambatan Tapanuli adalah peduli lingkungan.

Jembatan Tapanuli adalah kebanggaan MBT umumnya dan masyarakat Tarutung

khususnya, keindahan dan kebersihan jembatan tersebut harus tetap dijaga agar

bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.

116

Page 121: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Daftar Pustaka

Adams, Ken. 2006. Children Psychology. New York: MsGraw-Hill. Arista. 2012. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Lirik Lagu Dolanan Jawa.

MakalahAhmad Badrun (2003) dari Sekolah Pascasarjana Universitas IndonesiaAvonina, Stefany. 2006. “Apa yang Dimaksud dengan Pengetahuan

Tradisional?”, Konvergensi, Edisi IX, Oktober 2006.Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Bascom William R. 1965b. “Four Functions of Folklore” dalam Alan Dundes The

Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.Brunvand, John Harold. 1978. The Study Of American Folklore: An Introduction,

Second Edition, New York: WW Norton & Company Inc.Danandjaja, James. 1991. “Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-

lain”. Jakarta: Grafiti. Danandjaja, James, 1994. “Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan

Penelitian Antropologi Psikologi” dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.

Danandjaja, James, 2002. “Folklor Amerika: “Cermin Multikultural yang Manunggal”. Jakarta: Grafiti.

Danandjaja, James, 2007. “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Edwards, Patricia, A. 2004. Children’s Literary Development. Boston: Pearson.Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Med

Press.Ife, Jun, 2002. Community Development, Creating Community Alternatif Vition

Analyses and Practice. Australia: Longmann.Gana, Oejeng, S. 1966. “Perkembangan Lektur untuk Anal-Anak di Luar Negeri

dan di Indonesia” dalam Batjaan Anak-Anak: Pandangan Beberapa Ahli. Jakarta: Balai Pustaka.

Grace Somelok (2011) dari sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Khais, Ali. 2012. Nyanyian Rakyat Kaili: Struktur, Fungsi, dan Nilai. Makalah.Koentjaraningrat.1997. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.Kozok, Uli. 2009. Surat Batak. Jakarta: KPG.Leach, Maria.1949. (Ed.). Dictionary of Folklore Mythology and Legend”. New

York: Funk & Wagnalls Company.Lumbantoruan, Nelson. 2012. Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba. Medan:

Mitra.----------------------------. 2012. Sastra Lisan Batak Toba. Medan: Mitra.Maliudin (2012) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan IndonesiaProp, Vladimir. 1975. Morfology of the Folktale. Austin, London: University of

Texas Press. Pudentia. 2007. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.Purba, Setia Dermawan. 2008. Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Etnik

Simalungun. Etnomusikologi. 8: 1-29.

117

Page 122: 5.2.1.3 Pendidikan · Web viewPemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor

Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sanimo, Tutus. 1992. “Genre Puisi Folklor sebagai Bahan Pengajaran Sastra”. Tegal: Universitas Pancasari.

Sedyawati, Edi. 1986. Local Genius dalam Kesenian Indonesia”. dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). (Penyunting: Ayatrohedi). Jakarta: Pustaka Jaya.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal Hakikat. Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Medan: Asosiasi Tradisi Lisan

Sinar, T.S. 2010. Teori dan Analisis Wacana. Medan: Pustaka Bangsa Press.Sutarto, Ayu. 2010. Kearifan Lokal Jawa (Pesan-pesan mulia dari Leluhur).

Surabaya: Bidang PNFI-Nilai Budaya. Disdik Provinsi Jawa Timur. Umami, Ulfa Riza dan Supriyadi. Pemanfaatan Nilai-Nilai Didaktik Nyanyian

Permainan Anak-Anak Sapekan DiPulau Sapekan Kecamatan Sapekan Kabupaten Sumenep. Makalah.

Media internet(http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/nyanyian-rakyat-folksongs-di-indonesia-pengertian-contoh-balada-epos.html)

118