Upload
hoangthu
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai
sebuah kontrak antara satu atau lebih yang bertindak sebagai prinsipal (yaitu
pemegang saham) yang menunjuk orang lain sebagai agen (yaitu manajer)
untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan prinsipal termasuk
mendelegasikan kekuasaan dalam pembuatan keputusan.
Entitas di Indonesia terdiri dari dua sektor, yaitu entitas sektor publik dan
non publik/swasta. Anggaran sektor publik berhubungan dengan proses
penentuan jumlah dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan
moneter yang menggunakan dana masyarakat, serta bersifat terbuka untuk
publik. Sedangkan anggaran pada sektor swasta bersifat tertutup untuk publik.
Meskipun berbeda, kedua sektor memiliki kesamaan dalam hal pihak-pihak yang
mengelola entitas tersebut yaitu prinsipal dan agen.
Eisenhard (1989) dalam Sandrya (2012), menyatakan ada tiga asumsi
mengenai teori keagenan yaitu : 1) asumsi tentang sifat manusia, yaitu sifat
manusia yang mengutamakan kepentingan sendiri (self interest), keterbatasan
rasionalitas atau daya pikir terhadap persepsi masa depan (bounded rationality),
dan cenderung untuk menghindari resiko; 2) asumsi tentang keorganisasian,
adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi, dan asimetri informasi yang
terjadi antara prinsipal dan agen; dan 3) asumsi tentang informasi, adalah
9
10
informasi dianggap sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Berdasarkan ketiga asumsi tersebut manusia akan bertindak opportunistik, yaitu
mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan organisasi. Agen akan
termotivasi untuk meningkatkan kompensasi dan jenjang karir di masa
mendatang, sedangkan prinsipal termotivasi untuk meningkatkan utilitas dan
profitabilitasnya. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan terus
meningkat, karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari.
Sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas
diri, lingkungan kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang
menimbulkan asimetri informasi yaitu ketidakseimbangan informasi antara
prinsipal dan agen.
Teori keagenan juga menyatakan bahwa entitas merupakan urat nadi dari
hubungan-hubungan keagenan dan mencoba untuk memahami perilaku
organisasi dengan menguji bagaimana pihak-pihak dalam hubungan keagenan
tersebut memaksimumkan utilitas melalui kerjasama. Latuheru (2005)
menyatakan jika bawahan (agent) yang berpartisipasi dalam proses penyusunan
anggaran mempunyai informasi khusus tentang kondisi lokal, akan
memungkinkan bawahan memberikan informasi yang dimilikinya untuk
membantu kepentingan perusahaan. Namun sering keinginan atasan tidak sama
dengan bawahan sehingga menimbulkan konflik diantara mereka. Hal ini dapat
terjadi dalam melakukan kebijakan pemberian rewards organisasi kepada
bawahan didasarkan pada pencapaian anggaran. Bawahan cenderung
memberikan informasi yang bias agar anggaran mudah dicapai dan mendapatkan
11
rewards berdasarkan pencapaian anggaran tersebut. Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya senjangan anggaran.
2.2 Pendekatan Kontijensi
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan
antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, sehingga para peneliti
berkesimpulan bahwa ada variabel lain yang memengaruhinya. Govindarajan
(1986) dalam Husnatarina dan Nor (2007) mengemukakan bahwa untuk
menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil temuan tersebut, dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kontijensi (contigency approach).
Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel
lain yang dapat bertindak sebagai variabel moderating maupun intervening yang
memengaruhi hubungan antara partisipasi penganggaran dengan senjangan
anggaran. Murray (1990) dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa
Variabel Moderating adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua
variabel. Sedangkan variabel intervening adalah variabel yang dipengaruhi oleh
suatu variabel lain dan memengaruhi variabel lainnya. Dengan kata lain variabel
intervening merupakan variabel perantara antara dua variabel. Dalam penelitian
ini, pendekatan kontijensi akan digunakan untuk mengevaluasi keefektifan
hubungan partisipasi penganggaran pada senjangan anggaran. Berdasarkan
pendekatan kontijensi di atas peneliti menduga keadilan prosedural dan iklim
kerja etis akan memoderasi hubungan partisipasi anggaran dengan senjangan
anggaran.
12
2.3 Anggaran
Anggaran merupakan rencana kegiatan yang terdiri dari sejumlah target
yang akan dicapai oleh pimpinan organisasi dalam melaksanakan serangkaian
kegiatan tertentu pada masa yang akan datang (Husnatarina dan Nor, 2007).
Rencana kegiatan ini memerlukan informasi lokal dari bawahan untuk
tercapainya target tersebut. Anggaran juga dapat dikatakan sebagai pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama perioda waktu tertentu
dalam ukuran finansial (Mardiasmo, 2002). Anggaran daerah harus bisa menjadi
tolak ukur pencapaian kinerja yang diharapkan, sehingga perencanaan anggaran
daerah harus bisa menggambarkan sasaran kinerja secara jelas. Kejelasan
sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara
jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh
pihak yang bertanggung jawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut
(Kenis, 1979). Pencapaian sasaran anggaran akan lebih mudah dicapai ketika
pihak penyusun mengerti mengenai rencana yang akan dilaksanakan.
Yusfaningrum dkk. (2005) menyatakan bahwa anggaran memberikan manfaat,
antara lain:
1) Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan dan anggaran
berarti mewakili kesepakatan negosiasi diantara partisipasi dominan
dalam suatu organisasi mengenai tujuan kegiatan pada masa akan
datang.
2) Anggaran merupakan gambaran tentang prioritas alokasi sumber daya
karena dapat bertindak sebagai blue print aktivitas perusahaan.
13
3) Sebagai alat komunikasi antar divisi, dimana anggaran dapat sangat
membantu melakukan komunikasi internal antar divisi dalam
organisasi maupun manajemen puncak.
Proses penyusunan anggaran menurut Chandra (1993) dibagi menjadi dua
pendekatan yaitu imposed budgets approaches dan participative budgeting
approaches. Proses penganggaran imposed budget dikenal dengan pendekatan
top-down, sedangkan participative budgeting dikenal dengan pendekatan
bottom-up. Menurut Siegel dan Marconi (1989) proses penyusunan anggaran
melibatkan banyak pihak, mulai dari manajemen tingkat atas sampai manajemen
tingkat bawah. Anggaran mempunyai dampak langsung terhadap perilaku
manusia, terutama bagi individu yang langsung terlibat dalam penyusunan
anggaran.
Adapun tujuan dari penyusunan anggaran menurut Anthony dan
Govindarajan (2011) adalah sebagai berikut:
1) Memperbaiki rencana strategis.
2) Mengkoordinasikan aktivitas berbagai bagian organisasi.
3) Mengarahkan tanggung jawab kepada manajer, memberikan otorisasi
besarnya biaya yang boleh dikeluarkan dan memberikan umpan balik
kepada manajer atas kinerjanya.
4) Sebagai perjanjian atau komitmen yang merupakan dasar untuk
mengevaluasi kinerja manajer sesungguhnya.
14
Mardiasmo (2005:63) menyatakan terdapat beberapa alasan pentingnya
anggaran sektor publik yaitu:
a) Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan
pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
b) Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan
masyarkat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber
daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah
keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan
trade offs.
c) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik
merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembaga-
lembaga publik yang ada.
2.4 Proses Penyusunan anggaran
Pada dasarnya prinsip-prinsip dan mekanisme penganggaran relatif tidak
berbeda antara sektor swasta dengan sektor publik (Henley et al., 1990).
Menurut Mardiasmo (2002) siklus anggaran meliputi empat tahap yang terdiri
atas :
1) Tahap persiapan anggaran
Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas
dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah
15
tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran
pengeluaran, hendaknya dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih
akurat. Perlu disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika
anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan dengan
pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran.
2) Tahap ratifikasi
Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang
cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya
memiliki managerial skill, namun juga harus mempunyai political
skill, salesman ship dan coalition building yang memadai. Integritas
dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam
tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan
eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan
memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan
bantahan dari pihak legislatif.
3) Tahap implementasi/pelaksanaan anggaran
Dalam tahap ini yang paling penting harus diperhatikan oleh manajer
keuangan publik adalah dimilikinya sistem informasi akuntansi dan
sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal
ini bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang
memadai dan andal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran
yang telah disepakati sehingga dapat diandalkan untuk tahap
16
penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang baik
dapat dilihat dari sistem pengendalian intern yang memadai.
4) Tahap pelaporan dan evaluasi anggaran
Tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Pada
saat tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan
sistem pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap
pelaporan dan evaluasi anggaran tidak akan menemukan banyak
masalah.
Proses penyusunan anggaran pemerintah daerah dimulai dengan
pelaksanaan Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang
dilaksanakan bulan Januari dengan menyerap aspirasi atau program-program
yang diajukan oleh masyarakat dalam bentuk prioritas pembangunan desa
sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Pada bulan
Pebruari dilanjutkan dengan Musyawarah Pembangunan Kecamatan
(Musrenbangcam) untuk membahas program-program yang diajukan oleh desa
yang menjadi prioritas yang sudah dibahas dalam Musrenbangdes. Kemudian
bulan Maret dilaksanakan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD)
untuk membahas program-program SKPD yang sinkron dengan program-
program yang sudah disepakati dalam Muserenbangcam dan menentukan SKPD
yang mana akan melaksanakan program tersebut yang dilanjutkan dengan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota, sehingga bulan Mei
sudah dihasilkan penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dari
RKPD tersebut pada bulan Juni diadakan pembahasan dan kesepakatan
17
mengenai Kebijakan Umum APBD (KUA) antara kepala daerah dan DPRD
yang berisikan kebijakan secara umum mengenai anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Berdasarkan KUA dilanjutkan dengan pembahasan dan
kesepakatan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang berisikan
program dan kegiatan masing-masing SKPD dan plafon anggaran untuk
membiayai program dan kegiatan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan
penyusuanan Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD berdasarkan plafon
anggaran yang ada. RKA-SKPD yang sudah final dibuatkan Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang akan menjadi Rancangan APBD (RAPBD)
yang disusun antara bulan Juli sampai September. Pada bulan Oktober sampai
Nopember dilaksanakan pembahasan dan persetujuan RAPBD antara kepala
daerah dan DPRD, penyusunan rancangan Perda tentang APBD dan penetapan
Perda APBD bulan Desember yang dilampiri DPA masing-masing SKPD
sehingga pada bulan Januari tahun berikutnya APBD sudah bisa dilaksankan.
2.5 Partisipasi Penganggaran
Brownell (1982) dalam Rosalia (2004) menyatakan salah satu fungsi dari
partisipasi penganggaran adalah sarana komunikasi antara bawahan dan atasan,
tidak hanya seputar masalah anggaran, tetapi juga isu lain yang terkait
dengannya. Partisipasi Penganggaran memungkinkan bawahan untuk bertukar
dan mencari informasi dari atasan mereka, yang tentunya dapat mendukung
terciptanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses penentuan
anggaran dan urusan keorganisasian lainnya. Selain itu juga memungkinkan
18
bawahan untuk menyampaikan kritiknya, untuk mencari informasi bagi
penyelesaian tugasnya.
Siegel dan Marconi (1989) dalam Falikhatun (2007) menyatakan bahwa
partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran mempunyai hubungan yang
positif dengan pencapaian tujuan organisasi. Bawahan mempunyai kesempatan
untuk melaporkan informasi yang dimiliki kepada atasannya, sehingga atasan
dapat memilih keputusan yang terbaik untuk pencapaian tujuan organisasi.
Menyusun anggaran secara partisipatif diharapkan dapat meningkatan
kinerja para pimpinan dan bawahannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa ketika suatu tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif
disetujui, maka bawahan akan bersungguh-sungguh pada tujuan atau standar
yang ditetapkan, dan bawahan akan memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk
mencapainya karena ikut serta terlibat dalam penyusunannya (Milani, 1975).
Utomo (2006) mengemukakan bila partisipasi penganggaran tidak dilaksanakan
dengan baik dapat mendorong bawahan atau pelaksana anggaran tidak
melaksanakan dengan baik sehingga dapat mendorong bawahan atau pelaksana
anggaran melakukan senjangan anggaran.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sastropoetro (1980;39)
partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan
tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan
bersama. Batasan pengertian tentang partisipasi dari pendapat diatas,
memberikan gambaran tentang adanya beberapa hal pokok yang terkandung
dalam partisipasi yaitu:
19
1) Partisipasi berarti keterlibatan mental dan emosi yang lebih banyak
daripada fisik. Partisipasi yang didorong oleh mental dan emosi akan
menimbulkan kesadaran yang menumbuhkan partisipasi sukarela,
bukan ikut-ikutan atau tertekan dan terpaksa untuk keikutsertaan
karena paksaan bukan partisipasi.
2) Partisipasi mendorong orang untuk menyumbang atau mendukung (to
contribute) kepada kehidupan kelompok atau institusi “kehidupan
bersama” bukan menyumbang (hadiah) kepada seseorang, sehingga
adanya sumbangan (dukungan) kepada kehidupan kelompok dari
anggota kelompok, jelas akan memberikan pengaruh yang sangat
menentukan pada kelangsungan kehidupan kelompok.
3) Partisipasi mendorong orang untuk ikut bertanggung jawab dalam
suatu kegiatan untuk kepentingan bersama. Karena apa yang
disumbangkan itu adalah berdasarkan sukarela, sehingga
menimbulkan rasa “self involved” kepada organisasi.
Soobaroyen (2005) dalam Pratama (2013) menyebutkan bahwa partisipasi
penganggaran dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu :
1) Keikutsertaan penyusunan anggaran.
2) Besarnya pengaruh terhadap penetapan anggaran.
3) Kebutuhan memberikan pendapat.
20
2.6 Keadilan Prosedural
Peran keadilan dalam proses penganggaran telah menjadi fokus riset
akuntansi perilaku. Pihak yang bekerja dengan sumber-sumber yang terbatas
tidak dapat memenuhi semua permintaan yang berkaitan dengan penganggaran,
artinya masalah-masalah tentang keadilan nampaknya akan muncul ketika dinas
menghadapi sumber-sumber daya yang terbatas (Libby, 1999).
Kehadiran suatu prosedur diawali dengan pemikiran bahwa semua
operasional lembaga akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sementara
adil adalah tidak berat sebelah dan hanya berpihak kepada yang benar (Syukri,
2012). Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atas perlakuan yang
adil. Menurut Greenberg dan Baron (2003) keadilan prosedural didefinisikan
sebagai persepsi keadilan atas pembuatan keputusan dalam organisasi yang telah
dibuat. Pihak-pihak di dalam organisasi sangat memperhatikan dalam pembuatan
keputusan secara adil dan mereka beranggapan bahwa organisasi dan karyawan
akan diuntungkan jika organisasi melaksanakan prosedur dengan adil secara
konsisten. Sedangkan definisi keadilan prosedural menurut Kreitner dan Kinicki
(2000) adalah keadilan yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan
untuk mengalokasikan keputusan. Keadilan prosedural terkait dengan kepatuhan
dan transparansi dari proses-proses pembuatan keputusan. Mendengarkan
keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu
langkah yang dianggap tepat untuk diambil, agar suatu proses dapat dianggap
adil secara prosedural (Syukri, 2012 dalam Meiraningsih , 2014).
21
Leventhal (1980) mengusulkan beberapa kriteria yang dapat digunakan
dalam mengevaluasi keadilan dalam suatu proses pengalokasian:
Representativeness: proses tersebut menggabungkan minat dan nilai-nilai dari
semua subgroup penting dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh keputusan itu;
Accuracy: keputusan-keputusan yang berdasarkan informasi yang benar dan
akurat, pendapat yang mengandung informasi yang baik; Competency: semua
orang yang dipengaruhi oleh proses menerima perlakuan yang sama (konsisten
antar orang) dan proses yang digunakan dibuat dalam cara yang sama setiap saat
(konsisten antar waktu); Bias Suppression: pengambilan keputusan tidak
memiliki kepentingan pribadi dalam keputusan tersebut dan memberikan semua
pandangannya dengan pertimbangan yang cukup; Correctability: proses tersebut
memungkinkan melakukan koreksi terhadap keputusan yang buruk; dan
Ethically: proses tersebut sesuai dengan standar etika dan moralitas pribadi.
Pareke (2003) dalam Fitri (2009) menyatakan bahwa perspektif
komponen-komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural
merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan prosedural
dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang sangat
penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam
organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan adanya
keadilan prosedural manakala aturan prosedural yang ada dalam organisasi
dipenuhi oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur dalam
organisasi itu dilanggar maka individu akan mempersepsikan adanya ketidak-
adilan. Karenanya keputusan harus dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-
22
bias pribadi dengan melibatkan sebanyak mungkin informasi yang akurat,
dengan kepentingan-kepentingan indivudu yang terpengaruh terwakili dengan
cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai etis mereka. Dengan adanya keadilan
prosedural diduga akan memperlemah pengaruh partisipasi penganggaran pada
senjangan anggaran.
2.7 Iklim Kerja Etis
Istilah etika secara etimologis berasal dari kata ethos yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat kebiasaan, yang dibatasi dengan dasar nilai moral
menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, yang baik atau
tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia. Menurut para
ahli maka etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya untuk menegaskan mana yang benar dan salah.
Etika merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut
pandang budaya, susila serta agama (Pramono, 2012). Etika mengatur hubungan
antara manusia mengenai bagaimana orang berperilaku dalam berhubungan
dengan orang lain. Menurut Aren (1995) perilaku beretika diperlukan oleh
masyarakat agar semua sisi kehidupan dapat berjalan dengan baik dan teratur.
Kebutuhan akan etika dalam masyarakat sangat penting, sehingga banyak
diantara nilai-nilai etika dimasukkan dalam undang-undang. Terdapat dua alasan
utama mengapa orang tidak beretika:
1) Standar etika seseorang berbeda dari masyarakat secara keseluruhan.
2) Seseorang memutuskan untuk bertindak semaunya.
23
Iklim etis didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan dan prosedur-
prosedur organisasi yang khusus yang berisi nilai-nilai etis. Iklim etis merupakan
persepsi- persepsi yang menunjukkan tipe kebijakan dan prosedur organisasi
yang memiliki nilai-nilai etis. Ethical work climate bukan suatu konstruk
normatif untuk mengukur bagaimana etika yang berlangsung dalam suatu
organisasi, tetapi dapat digunakan untuk menegakkan suatu indikator pemikiran
etikal dalam suatu organisasi (Victor dan Cullen, 1988) .
Pertimbangan atas situasi-situasi etika dengan memperhatikan ruang
lingkup etika, biasanya memerlukan dua dimensi fokus pengamatan (Rachels,
1989, 1999; Solomon, 1992 dalam Sulasmi dan Widhianto, 2009), yaitu:
1) Pertama menyangkut kriteria etika yang digunakan yang menyangkut
masalah hasilnya, prinsip-prinsip yang berkembang atau aturan lain
untuk membuat keputusan.
2) Dimensi kedua, yang disebut sebagai locus of analysis menjelaskan
tentang siapa atau apa yang dipengaruhi oleh kejadian dengan cara
yang relevan secara etika. Lingkupnya dapat bersifat individual (self),
organisasi atau masyarakat.
Victor dan Cullen (1988) dalam Sulasmi dan Widhianto (2009)
menggunakan tiga klasifikasi moral philosophy untuk mendesain dimensi
kriteria ethical work climate, yaitu:
1) Egoism artinya memaksimalkan kepentingan pribadi.
2) Benevolence artinya memaksimalkan kepentingan bersama.
24
3) Principle artinya ketaatan pada tugas, peraturan, hukum atau standar
yang berlaku.
Iklim kerja etis sangat penting diterapkan secara konsisten dalam
organisasi sektor publik sebagai acuan anggota organisasi dalam berperilaku.
Terutama sebagai pedoman etika bagi pihak penyusun anggaran dalam proses
penyusunan anggaran sehingga menghasilkan keputusan penganggaran yang
sesuai dengan aturan. Semakin etis iklim kerja suatu organisasi, diduga akan
memperlemah pengaruh partsisipasi penganggaran pada senjangan anggaran,
sebaliknya semakin tidak etis suatu organisasi, diduga akan semakin
memperkuat pengaruh partisipasi anggaran pada senjangan anggaran.
2.8 Senjangan Anggaran
Senjangan anggaran adalah perbedaan antara jumlah anggaran yang
diajukan oleh subordinates dengan jumlah estimasi yang terbaik dari organisasi
(Anthony dan Govindarajan, 2011). Faktor yang memotivasi bawahan untuk
melakukan senjangan anggaran adalah untuk mendapatkan penilain kinerja yang
baik dari atasan. Desmiyawati (2009) mendefinisikan senjangan anggaran
sebagai tindakan bawahan yang mengecilkan kapasitas produktifnya ketika
bawahan diberi kesempatan untuk menentukan standar kinerjanya. Hal ini
menyebabkan perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran
yang sesuai dengan estimasi terbaik bagi organisasi.
Senjangan anggaran terjadi apabila manajer dengan sengaja melakukan
permintaan yang lebih besar terhadap sumber-sumber melebihi anggaran yang
25
sebenarnya dibutuhkan atau manajer dengan sengaja menyatakan kemampuan
produktivitasnya lebih kecil dari yang sebenarnya ketika diberi kesempatan
untuk memilih suatu standar kerja yang akan digunakan untuk menilai
kinerjanya (Young, 1985). Anthony dan Govindarajan (1998) mendefinisikan
senjangan anggaran sebagai perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan
anggaran yang sesuai estimasi terbaik bagi perusahan.
Senjangan anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
diantaranya partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran (Yuwono, 1999).
Faktor lain seperti kebijakan pemberian reward atau promosi atas pencapaian
target anggaran. Senjangan anggaran timbul karena keinginan dari atasan dan
bawahan yang tidak sama terutama jika kinerja tergantung pada pencapaian
sasaran anggaran, maka mereka akan membuat senjangan anggaran melalui
proses partisipatif (Schiff dan Lewin, 1970; Chow et al., 1988 dalam Grediani
dan Sugiri, 2010).
Adanya keinginan untuk menghindari risiko dari bawahan yang terlibat
dalam penyusunan anggaran memberikan kecenderungan pemberian informasi
yang tidak obyektif kepada atasannya tentang potensi, sumber daya dan
kemampuannya dalam mencapai anggaran. Asrininggati (2006) dalam Pratama
(2013) menyebutkan beberapa indikator senjangan anggaran yaitu:
1) Perbedaan jumlah anggaran yang dinyatakan dengan estimasi terbaik.
2) Kelonggaran dalam anggaran.
3) Standar anggaran.
4) Keinginan untuk mencapai target.
26
2.9 Penelitian Terdahulu
2.9.1 Penelitian Internasional
1) Penelitian Stede (2000) mengumpulkan data melalui kuesioner dengan
menggunakan 341 responden, yaitu manajer unit bisnis umum dengan
garis pelaporan langsung ke perusahaan di Belgia, menemukan bukti
bahwa budgetary control berpengaruh negatif dan signifikan pada
senjangan anggaran.
2) Penelitian Adnan dan Sulaiman (2007) menguji variabel budaya nasional,
agama dan religiusitas dalam penciptaan senjangan anggaran. Dalam
penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan memberikan
kuesioner kepada 63 manajer departemen yang sebagian besar adalah
orang Malaysia pada perusahaan Korea. Hasil penelitian menyatakan
bahwa partisipasi anggaran dan budget emphasis memengaruhi
penciptaan senjangan anggaran, tetapi tidak menemukan bukti bahwa
budaya nasional, agama dan relegiusitas memengaruhi kecenderungan
manajer untuk menciptakan senjangan anggaran.
3) Penelitian Rankin et al. (2008) yang menguji pengaruh kejujuran dan
otorisasi yang unggul pada proposal anggaran dengan metoda kuesioner,
menggunakan 60 lulusan sarjana dari sebuah universitas besar di AS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat bawahan memiliki
kewenangan akhir atas anggaran, secara signifikan slack berkurang
dengan adanya pernyataan faktual dalam budget communication.
27
4) Penelitian Ozer dan Yilmaz (2011) yang menguji pengaruh persepsi
keadilan prosedural, efektivitas pengendalian anggaran dan iklim kerja
etis kecenderungan untuk menciptakan senjangan anggaran. Data
penelitian dikumpulkan dengan memberikan kuesioner kepada 465
manajer yang bekerja pada organisasi sektor publik sebagai sampel
penelitian. Penelitian tersebut menemukan efektivitas pengendalian
anggaran, iklim kerja etis dan persepsi keadilan prosedural dari manajer
memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan manajer untuk
menciptakan senjangan anggaran.
5) Pada tahun 2011, Yilmaz dan Ozer kembali melakukan penelitian
mengenai senjangan anggaran dengan menggunakan variabel lain, yaitu:
pengaruh ketidakpastian lingkungan dan efektivitas pengendalian
anggaran pada sektor publik. Penelitian ini dilakukan di Turkey, dengan
460 responden yang merupakan manajer pada organisasi sektor publik
dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pada penelitian ini
menemukan hubungan negatif dan signifikan antara ketidakpastian
lingkungan dan efektivitas pengendalian anggaran yang cenderung dapat
menciptakan senjangan anggaran. Namun ketidakpastian lingkungan
memiliki hubungan positif signifikan pada senjangan anggaran.
2.9.2 Penelitian di Indonesia
1) Penelitian yang dilakukan oleh Belianus Patria Latuheru (2005) menguji
pengaruh variabel komitmen organisasi dan partisipasi anggaran pada
28
senjangan anggaran. Hasil dari penelitian tersebut adalah interaksi antara
variabel komitmen organisasi dengan partisipasi anggaran akan
menurunkan kecenderungan manajer dalam menciptakan senjangan
anggaran.
2) Suhartono dan Solichin (2006) menguji pengaruh kejelasan sasaran
anggaran terhadap senjangan anggaran instansi pemerintah daerah
dengan komitmen organisasi sebagai pemoderasi, mengumpulkan data
melalui metoda survei pada dinas pemerintah daerah se-Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Simpulan penelitian ini adalah kejelasan sasaran
anggaran berpengaruh negatif signifikan pada senjangan anggaran.
Kejelasan sasaran dengan komitmen organisasi juga berpengaruh negatif
signifikan pada senjangan anggaran.
3) Pengaruh partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran dengan
menggunakan lima variabel pemoderasi diuji Ikhsan dan Ane (2007).
Menggunakan 37 responden pada perusahaan manufaktur yang berada
pada Kawasan Industri Medan dengan menggunakan teknik kuesioner.
Temuan dari hasil pengujian adalah partisipasi anggaran berpengaruh
positif terhadap senjangan anggaran.
4) Penelitian pengaruh keterlibatan pekerjaan dan budget emphasis pada
hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran
dilakukan oleh Husnatarina dan Nor (2007). Dalam penelitian ini
menggunakan sampel di kantor dinas dan badan yang ada di Kota
Palangka Raya dengan memberikan kuesioner kepada 66 responden.
29
Hasil penelitian ini menyatakan partisipasi penyusunan anggaran
berpengaruh positif signifikan pada senjangan anggaran, tapi interaksi
antara partisipasi anggaran dengan keterlibatan kerja dan budget
emphasis secara empiris tidak terbukti dapat menjadi variabel
pemoderasi hubungan partisipasi anggaran pada senjangan anggaran.
5) Desmiyawati (2009) menguji pengaruh partisipasi anggaran terhadap
senjangan anggaran dengan komitmen organisasi sebagai variabel
moderating, pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner terhadap
103 responden di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Indragiri
Hulu. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa partisipasi anggaran
berpengaruh negatif signifikan terhadap senjangan anggaran. Tetapi tidak
terdapat pengaruh interaksi partisipasi anggaran dan komitmen organisasi
pada senjangan anggaran.
6) Penelitian Grediani dan Sugiri (2010) tentang pengaruh tekanan ketaatan
dan tanggung jawab persepsian pada penciptaan senjangan anggaran.
Pengumpulan data dengan kuesioner terhadap 63 mahasiswa program
Magister Sains dan program sarjana jurusan Akuntansi, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Temuan
penelitian ini membutikan bahwa rekomendasi anggaran secara
signifikan lebih tinggi daripada estimasi awal (akuntan manajemen di
bawah tekanan dari atasan, akan melanggar kebijakan anggaran
perusahaan dan menciptakan budgetary slack, sehingga menghasilkan
rekomendasi anggaran yang lebih tinggi.
30
7) Penelitian Meiraningsih (2014) tentang pengaruh partisipasi
penganggaran pada senjangan anggaran dengan keadilan prosedural dan
iklim kerja etis sebagai variabel pemoderasi (studi empiris di Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga se-Provisnsi Bali). Pengumpulan data
dengan menggunakan kuesioner terhadap 138 Kepala Dinas, Kepala
Subdinas/Kepala Bagian/Kepala Bidang dan Kepala Subbagian/Kepala
Subbidang/Kepala seksi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga se-
Provinsi Bali. Hasil penelitian menyatakan bahwa partsisipasi
penganggaran berpengaruh positif pada senjangan anggaran, keadilan
prosedural dan iklim kerja etis dapat berperan sebagai variabel
pemoderasi hubungan antara patisipasi penganggaran dengan senjangan
anggaran.