Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43
BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU
2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau
Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan
kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang
mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti
kerbau. Jadi kata minangkabau berarti ―kerbau yang menang‖. Menurut lagenda,
nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau
dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.
Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau
mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut
setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan
rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi
dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang
kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar
itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya.
Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan
pergelutan tersebut dengan cara yang aman (http://ms.wikipedia.org/wiki/
Minangkabau).
Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat
dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat
Universitas Sumatera Utara
44
mereka yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan
pakaian adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau.
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau
sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih
tepat sebelumnya adalah ―Minangkabwa,‖ ―Minangakamwa,‖ ―Minangatamwan,‖
dan ―Phinangkabhu.‖ Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang
(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada
Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ
disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang
melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang
terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (http://roezyhamdani.
blogspot.com/p/suku-minangkabau.html).
Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan
bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan
migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah
timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi
yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian
suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang
terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut
terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan
selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis.
Universitas Sumatera Utara
45
Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980),
diebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan
Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-
tanah baru untuk dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut
membentuk semacam konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak.
Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi
Luhak Nan Tigo.
Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi
daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau
Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok,
dan (3) Luhak Lima Puluah Koto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau
Kampar.
Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk
Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo,
Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu,
Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau
sepanjang hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri,
dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan;
Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman,
Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan,
Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo
Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan
Bengkulu.
Universitas Sumatera Utara
46
Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan
dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan
ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek
diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.
Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri
yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat
suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya
waktu, berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku
Gudam, Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain-lain.
2.2 Sistem Agama dan Kepercayaan
Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan
Budha telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang
di sekitar istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam
masuk dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke
tiga belas.
Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang
di Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
identitas masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat
Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’,
syara’ basandi Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum
Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur‘an. Sehingga nyata bahwa antara adat
Universitas Sumatera Utara
47
Minangkabau dengan agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling
menunjang dalam membina masyarakatnya.
Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam
karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di
antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu
mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan
agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.
2.3 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di
Medan ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman
mereka sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut
prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem
kekerabatan matrilineal terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu: Pertama,
garis keturunan ―menurut garis ibu.‖ Kedua, perkawinan harus dengan kelompok
lain, di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami
matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan,
pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami,
dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan
tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta
matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam
Universitas Sumatera Utara
48
lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki
diwariskan kepada anak perempuan.
Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan
kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik
adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang
merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan
perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan
cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah
yang disebut dengan Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik
membentuk klen besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu
andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk
sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal
dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.
Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga
istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masing-
masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah
atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng
lain disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih
ada dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap
menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.
Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup
berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi
Universitas Sumatera Utara
49
tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau-
surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul
dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.
Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan
atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada
sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik
memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk
kakak laki-laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-
laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak
perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang
kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih
muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun
yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi
mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang
segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun.
Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung
jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban
membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan
harta pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang
sejajar dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab
dalam kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah
yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan
dikawinkan.
Universitas Sumatera Utara
50
Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku
dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri
yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan
laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-
laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan
pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan
menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara
khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu
(kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada
kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu
meninggal dunia.
Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu
kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan
dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak
dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.
Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh
masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Peranan datuek
kampueng dan penghulu suku juga masih berperan, akan tetapi peranannya hanya
formalitas saja.
2.4 Sistem Kesenian
Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam
kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif
Universitas Sumatera Utara
51
(Koentjaraningrat, 1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya
merupakan permainan rakyat yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh
karena sifatnya yang terbuka maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah
berubah. Pengertian berubah dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya
masyarakat Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berkembang, memperkaya,
dan memperbanyak aspek-aspeknya (Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat
Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yakni seni bangunan,
seni sastra, seni rupa,seni beladiri, seni drama, seni suara, dan seni tari.
Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan
rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur,
dan didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung
atapnya yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.
Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui
penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-
ukiran pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-
tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.
Seni bela diri yang lebih sering disebut silek yang dimiliki masyarakat
Minangkabau merupakan seni olahraga bela diri yang tumbuh kembang dan
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Silek bagi mereka
merupakan jati diri, yang melekat dalam keseharian mereka, terutama bagi kaum
laki-laki, tetapi bukan tabu bagi kaum perempuan, karena banyak juga perempuan
Minang yang menguasai seni bela diri tersebut. Seni beladiri ini mereka pelajari
Universitas Sumatera Utara
52
guna agar mereka bisa membela diri dari serangan para penyamun, atau
melindungi kaum kerabatnya.
Seni Drama mereka berupa Randai, yang merupakan teater rakyat atau
opera yang didalamnya meliputi pencak silat, musik dan tarian. Didalamnya berisi
opera bernyanyi sambil bercerita dan melakukan mancak8. Seni sastra terutama
sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair yang paling banyak
dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.
Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat
dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan
seni sastra. Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau,
yaitu berupa dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara
melalui instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan
lainnya.
Seni tari merupakan gabungan antara seni gerak dan seni suara yang dapat
dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang
berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa mancak, tari piring, tari
Galombang, dan banyak lagi.
8 Dikatakan sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat
yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan
untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan. (Wawancara
dengan Bapak Nawar,Padang)
Universitas Sumatera Utara
53
2.5 Upacara Adat dan Acara Perayaan Minangkabau
Upacara adat merupakan serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat
pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Adapun
upacara- upacara adat Minangkabau:
1. Batagak Panghulu
Batagak panghulu adalah upacara pengangkatan panghulu. Sebelum
upacara peresmiannya, syarat-syarat berikut harus dipenuhi:
a. Baniah, yaitu menentukan calon penghulu baru.
b. Dituah cilakoi, yaitu diperbincangkan baik buruknya calon dalam
sebuah rapat.
c. Panyarahan baniah, yaitu penyerahan calon penghulu baru.
d. Manakok ari, yaitu perencanaan kapan acara peresmiannya akan
dilangsungkan.
Peresmian pengangkatan panghulu dilaksanakan dengan upacara adat.
Upacara ini disebut malewakan gala. Hari pertama adalah batagak gadang,
yakni upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri urang nan ampek jinih
dan pemuka masyarakat. Panghulu baru menyampaikan pidato. Lalu panghulu
tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilah keris tanda serah terima
jabatan. Terakhir panghulu baru diambil sumpahnya, dan ditutup dengan doa.
Hari kedua adalah hari perjamuan. Hari berikutnya panghulu baru diarak ke
rumah bakonya diringi bunyi-bunyian. Disinilah tari Galombang
dipersembahkan.
Universitas Sumatera Utara
54
2. Upacara Perkawinan (Baralek)
a. Pinang-Maminang
Acara ini diprakarsai pihak perempuan. Bila calon suami untuk si
perempuan sudah ditemukan, dimulailah perundingan para kerabat
untuk membicarakan calon itu. Pinangan dilakukan oleh utusan yang
dipimpin mamak si perempuan. Jika pinangan diterima, perkawinan
bisa dilangsungkan.
b. Batimbang Tando
Batimbang tando adalah upacara pertunangan. Saat itu dilakukan
pertukaran tanda bahwa mereka telah berjanji menjodohkan anak
kamanakan mereka. Setelah pertunangan barulah dimulai perundingan
pernikahan.
c. Malam Bainai
Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun pacar/inai
yang telah dilumatkan. Yang diinai adalah keduapuluh kuku jari.
Acara ini dilaksanakan di rumah anak daro (pengantin wanita)
beberapa hari sebelum hari pernikahan. Acara ini semata-mata dihadiri
perempuan dari kedua belah pihak.
d. Pernikahan
Pernikahan dilakukan pada hari yang dianggap paling baik, biasanya
Kamis malam atau Jumat. Acara pernikahan diadakan di rumah anak
daro atau di masjid.
e. Basandiang dan Perjamuan
Universitas Sumatera Utara
55
Basandiang adalah duduknya kedua pengantin di pelaminan untuk
disaksikan tamu-tamu yang hadir pada pesta perjamuan. Kedua
pengantin memakai pakaian adat Minangkabau. Acara biasanya
dipusatkan di rumah anak daro, jadi segala keperluan dan persiapan
dilakukan oleh pihak perempuan. Di sinilah tari Galombang di
persembahkan.
f. Manjalang
Manjalang merupakan acara berkunjung. Acara ini dilaksanakan di
rumah marapulai (pengantin laki-laki). Para kerabat menanti anak daro
yang datang manjalang. Kedua pengantin diiringi kerabat anak daro
dan perempuan yang menjujung jamba, yaitu semacam dulang berisi
nasi, lauk pauk, dsb.
3. Upacara Sunat Rasul
Sunat Rasul juga merupakan syariat Islam, tanda pendewasaan bagi
seorang anak. Upacara biasanya diselenggarakan waktu si anak berumur 8 – 12
tahun, bertempat di rumah ibu si anak atau rumah keluarga terdekat ibu si anak.
Acara dimulai dengan pembukaan, lalu si anak disunat, selanjutnya doa.
4. Upacara Turun Mandi
Upacara turun mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang
baru lahir dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat bahwa di kaum tersebut
telah lahir keturunan baru. Upacara ini dilaksanakan di rumah orang tua si anak
saat anak tersebut berumur tiga bulan. Di sini, si anak dimandikan oleh
bakonya. Selain itu juga ada perjamuan.
Universitas Sumatera Utara
56
Adapun acara perayaan yang biasa dilakukan masyarakat Minangkabau:
a. Tabuik (Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati
Asyura, gugurnyaImam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan
oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantaiSumatera Barat,
khususnya di Kota Pariaman.
b. Makan bajamba atau juga disebut makan barapak adalah tradisi
makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara
duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah
ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar
agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan
pertemuan penting lainnya.
c. Turun ka sawah - upacara kerja gotong-royong
d. Manyabik - upacara menuai padi
e. Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidilfitri
f. Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidiladha
g. Maanta pabukoan - menghantar makanan kepada ibu mertua
sewaktu bulan Ramadan
h. Tabuik - perayaan Islam di Pariaman
i. Tanah Ta Sirah, perlantikan seorang Datuk (ketua puak) apabila
Datuk yang sebelumnya meninggal dunia silang beberapa jam yang
lalu (tidak payah didahului dengan upacara batagak pangulu)
Universitas Sumatera Utara
57
j. Mambangkik Batang Tarandam, perlantikan seorang Datuk apabila
Datuk yang sebelumya telah meninggal 10 atau 50 tahun yang lalu
(mengisi jawatan yang telah lama dikosongkan).
2.6 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan
Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan
perantau beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang
penting di luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan
perkebunan secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
terdapat dua gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama
kedatangan dari orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan.
Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh.
Kedatangan merea ke Kota Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai
buruh perkebunan, tetapi umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim
ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan).
Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal
ini dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961
terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat,
tetapi pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang
berdomisili di luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang
Minang berada di luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat
bahwa keinginan merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding
dengan suku lainnya yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang
Universitas Sumatera Utara
58
Minangkabau cukup besar. Sebab menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau
tertinggi di Indonesia adalah suku Bawean (35,9%), kemudian suku Batak
(14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%), setelah itu suku Minang sebesar 10,5%
(Ahmad Yunus, 1985:4).
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau
merantau, baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap
fenomena budaya ialah sistem kekerabatan matrilineal mereka. Dengan sistem
tersebut, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum
lelaki cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat
tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum
wanita beserta suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan banyaknya kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan
merantau untuk mencari kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta
melanjutkan pendidikan. Begitu juga pada penjelasan pada faktor ekonomi
dimana pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber
daya alam yang dapat diolah mereka, yang menyebabkan tidak cukup memenuhi
keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang mendorong orang Minang pergi
merantau.
Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka
untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah
mengadu nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan
memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka,
Universitas Sumatera Utara
59
membeli tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi
kemajuan daerah mereka.
Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi
budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat
membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat
Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini
memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya
tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.
Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
menempati seluruh kawasan kota Medan. Tercatat masyarakat Minangkabau
paling banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi
ini juga merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.
Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di
Sumatera Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1.
Meskipun jumlah suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku
Minangkabau dan kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan
mereka memperkenalkan diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha
rumah makan Minang, pedagang sate Padang, dan lain-lainnya.
Universitas Sumatera Utara
60
Tabel 2.1:
Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku
Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000
Suku Persentase Jumlah Penduduk
Melayu 5,89% 674.112 jiwa
Karo 5,09% 585.173 jiwa
Simalungun 2,04% 234.515 jiwa
Toba 25,62% 2.948.264 jiwa
Mandailing 11,27% 1.296.518 jiwa
Pakpak 0,73% 83.866 jiwa
Nias 6,36% 731.620 jiwa
Jawa 33,40% 3.843.602 jiwa
Minang 2,66% 306.550 jiwa
Cina 2,71% 311.779 jiwa
Aceh 0,97% 111.686 jiwa
Lainnya 3,29% 379.113 jiwa
Sumber: Badan Pendataan Statistik Propinsi Sumatera Utara
2.7 Sanggar – Sanggar Minangkabau di Kota Medan
2.7.1 Sanggar Tigo Sapilin
Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau
yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini
berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga
merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera
Utara. Sanggar ini merupakan sanggar Minang yang tertua di Medan. Sanggar ini
terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II,
Kecamatan Medan Perjuangan, Medan.
Universitas Sumatera Utara
61
Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian
tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya
karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi
dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan
kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat
Minangkabau.
Sanggar Tigo Sapilin ini awalnya memiliki anggota yang memang keluarga
sendiri begitu juga kerabat Bapak ini yang berasal dari lulusan ASKI Padang
Panjang. Namun sekarang karena keluarga dan kerabat bapak tersebut
melanjutkan kehidupan masing-masing ke berbagai tempat, dilanjutkanlah oleh
keluarga yang masih ada ditempat bapak ini dan ada juga beberapa orang dari luar
keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota sanggar Tigo Sapilin saat ini, ada
perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas anak-anak dan orang dewasa.
Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan pemusik.
Kelompok sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin setiap hari Sabtu
sekitar pukul 15.30-17.30 wib. Dimana waktu untuk latihan ini disesuaikan karena
besok harinya hari minggu libur untuk anak sekolah, kuliah, dan beberapa yang
bekerja. Akan tetapi, anggota sanggar ini juga melakukan latihan di hari-hari
lainnya tergantung keinginan para anggota. Begitu juga jika ada job atau
panggilan permintaan pertunjukan dalam suatu acara ataupun pesta pernikahan,
jadwal latihan lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat
tergantung hari apa dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan
bersama.
Universitas Sumatera Utara
62
Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana
pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama
maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari
para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar
saling menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya
gerakan tari mengikuti musik.
Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar,
yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari
penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya
menambah inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya.
Dalam penentuan harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini,
mereka memberikan harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat
dibandingkan kepada orang lain. Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini
kepada masyarakat umum sekitar Rp. 3.000.000 – Rp.4.000.000.
Sanggar Tigo Sapilin ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari
tradisional di kota Medan, dari semuanya paling banyak pertunjukan tari
Galombang untuk upacara perkawinan. Sanggar ini menyajikan tari Galombang
dengan bentuk yang sudah dikreasikan sama seperti sanggar-sanggar lainnya,
yaitu gerakan baku dari gerakan ini yakni mancak ataupun bungo silek yang
dikreasikan kembali dalam pola geraknya. Sanggar ini juga masih rajin ikut serta
dalam ajang silahturahmi ke Bukit Tinggi yakni Pedati (Pesta Budaya Seni
Pameran Dagang dan Industri).
Universitas Sumatera Utara
63
2.7.2 Sanggar Pilago
Sanggar Pilago ini merupakan salah satu sanggar yang bergerak dalam
bidang tari dan musik kesenian tradisional dan lebih berbasis pada tradisi
Minangkabau. Berdiri secara individu pada tahun 2004 tanpa dibawahi naungan
organisasi manapun. Dikarenakan sanggar yang spesifikasinya lebih kepada
sanggar Minang jadi organisasi seperti Badan Musyawarah Masyarakat Minang
(BM3) sudah mengetahui dan mereka selalu menggunakan sanggar ini dalam
setiap kegiatan Minang khususnya. Sanggar ini didirikan dan diketuai oleh ibu
Nurwani, yang juga merupakan dosen tetap di Universitas Negeri Medan
(UNIMED) dan juga menantu dan mantan anggota sanggar dari bapak H. Abu
Bakar Siddiq, S.H., pendiri sanggar Tigo Sapilin yang penulis jelaskan di atas.
Dibantu juga dengan junior dan teman-teman ibu ini.
Sanggar Pilago ini dibentuk dikarenakan latar belakang pendidikan ibu
Nirwani adalah seni, dan mengajar seni, secara spontan menumbuhkan rasa
keinginan untuk mengembangkan kreatifitas di seni, terkhusus menjaga dan
mengembangkan kesenian tradisi Minangkabau di kota Medan ini. Menyalurkan
bakat juga merupakan salah satu faktor ibu ini membentuk sanggar Pilago ini.
Untuk penamaan sanggar ini dibuat nama Pilago, diambil dari marga ibu ini
sendiri yakni marga Piliang dan marga Caniago dari marga suami ibu ini.
Sanggar ini dulunya berlokasi di jalan Adi Nugoro, belakang taman budaya,
tepatnya di sekretariat BM3, diberi tempat berlatih dan mengembangkan sanggar
ini oleh pihak BM3. Tetapi berjalannya waktu, sekarang sudah dibuat di Jalan
Pimpinan No.92 Medan yang merupakan rumah dari Ibu Nurwani ini sendiri.
Universitas Sumatera Utara
64
Sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin di hari Rabu dan Jumat sore
sekitar pukul 16.00 – 18.00 WIB. Namun jika ada pesanan mendadak dari
konsumen, untuk tempat pelatihannya dibuat di kampus UNIMED dari sore
sampai malam hingga tidak mengenal waktu lagi, karena anggota nya dari
mahasiswa ibu ini sendiri juga. Tempat ini dipilih karena lebih efisiensi.
Untuk anggotanya sampai saat ini silih berganti bergantian, karena
notabenenya tadi anggotanya berasal dari mahasiswa nya sendiri. Diperkirakan
ibu ini ada sekitar 30-an orang anggotanya include perempuan, laki-laki, penari,
maupun pemusik nya.
Untuk sistem pelatihan, dilakukan dengan menggunakan latihan bersama
dibimbing oleh ibu ini dan dibantu oleh pak Martozet dan pak Iwan selaku dosen
UNIMED juga. Dimana pertamanya diberi ide terlebih dahulu lalu dikembangkan
bersama para penari dan pemusik. Penari terlebih dulu yang berlatih, baik itu
mengulang gerakan lama maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah
dalam beberapa hari para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya
digabunglah dengan para pemusik agar saling menyesuaikan.
Sanggar ini juga menawarkan tari-tarian daerah lainnya seperti Melayu,
Jawa, Sunda, Batak, Mandailing, dan sebagainya. Selain tari-tarian sanggar ini
juga menawarkan live musik daerah Minangkabau, misalnya pada arak-arakan
pengantin dan juga musik untuk mengiringi tari.
Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar,
yaitu dengan membagi rata minimal Rp.100.00,00 pada setiap anggotanya dan
menyisakan diluar dari honor anggota dari penghasilan setiap pertunjukan untuk
Universitas Sumatera Utara
65
biaya kostum, make-up, dan juga transport. Itu tergantung juga pada incoming
sanggar, jika pesanan mendapat nilai harga yang besar maka pembagian untuk
anggota juga akan naik. Dalam penentuan harga untuk sekali pertunjukan yang
dilakukan sanggar ini, patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada
masyarakat umum bermacam- macam tergantung permintaan bentuk tari
Galombang yang mana yang dipesan. Karena ada 3 macam bentuk tari
Galombang yang ditawarkan ibu ini kepada konsumen, maka berbeda-bedalah
harga yang ditawarkan. Ada bentuk tari Galombang yang biasa, dengan
menggunakan 2 orang pesilat, penari 6 orang, pembawa carano 1 orang, pemusik
6 orang, jadi ada 15 anggota, dalam perhitungannya bisa dikenakan harganya
sekitar Rp. 3.000.000,00. Jika bentuk tari Galombang nya diminta 4 pesilat nya,
jadi menggunakan 17 anggota, maka kisaran perhitungan harganya dibuat sekiata
Rp. 3.000.000,00 lebih. Ada 1 bentuk lagi, ibu ini menamakannya tari Galombang
untuk pesta Baralek Gadang maksudnya pesta besar dengan menggunakan 6
orang penari Randai, 4 orang pembawa Jamba, 6 orang penari, 2 orang pesilat
beserta penari piring, 3 orang pembawa carano, 8 orang pemusik, jadi totalnya
menggunakan 29 anggota, perhitungan biayanya dikenakan sekitar
Rp.5.000.000,00 – Rp.7.000.000,00.
Sanggar Pilago ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari
tradisional di kota Medan, Sumatera Utara, maupun Sumatera Barat. Dari
semuanya paling banyak untuk upacara perkawinan dan penyambutan tamu
kebesaran sabagiannya. Sanggar ini juga sering diundang di acara Pedati (Pesta
Budaya Seni Pameran Dagang dan Industri) yakni acara silahturahmi ke Bukit
Universitas Sumatera Utara
66
Tinggi. Sanggar ini menyajikan tari Galombang dengan bentuk yang sudah
dikreasikan juga sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan mancak
ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam pola geraknya.
2.7.3 Sanggar Tri Arga
Sanggar Tri Arga ini berdiri sejak tahun 1997, yang didirikan oleh Ibu
Herna, Pak Mus, dan Pak Khairul dan di ketuai oleh Ibu Herna. Awalnya sanggar
ini berlokasi di Komplek Tasbih Blok 5, yang merupakan tempat latihan menari
sekaligus latihan bermusik, akan tetapi seiring berjalannya waktu sanggar Tri
Arga ini pindah lokasi di jalan Dolok sanggul No. 3 Medan yang merupakan
rumah dari Pak Khairul.
Sanggar Tri Arga ini berbasis tradisi Minang, hal ini dapat dilihat bahwa
sanggar ini mengutamakan tari-tarian Minangkabau sebagai produk utama
sanggar untuk ditawarkan kepada konsumennya, seperti tari piring, tari
persembahan, tari payung, tari rantak, tari bangau, begitu juga dengan tari
Galombang yang menjadi fokus penulis. Sanggar ini juga menawarkan tari-tarian
daerah lainnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Mandailing, dan sebagainya.
Selain tari-tarian sanggar ini juga menawarkan live musik daerah Minangkabau,
misalnya pada arak-arakan pengantin dan juga musik untuk mengiringi tari.
Sanggar Tri Arga ini beranggotakan 27 orang yang aktif termasuk penari
dan pemusik. Kegiatan latihan menari dan bermusik di lakukan di setiap hari Rabu
dan Sabtu sore. Sanggar ini mengutamakan job oriented, yaitu mempelajari tari
dan musik daerah untuk kepentingan pertunjukan atau kepentingan pesanan
konsumen.
Universitas Sumatera Utara