Upload
vandang
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ABSTRAK
PENGARUH FAKTOR FINANCIAL STABILITY TERHADAP KECENDERUNGAN KECURANGAN AKUNTANSI PADA
PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 2006-2010
Oleh
NANCY GRACE PASARIBU
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh financial leverage, asset composition, asset turnover terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan dugaan hipotesis bahwa financial leverage, asset composition, asset turnover berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
Penelitian ini menggunakan sampel penelitian sebanyak 16 perusahaan yang dipilih berdasarkan metoda penyampelan bersasaran. Regresi logistik digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa financial leverage dan asset composition berpengaruh positif tidak signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi, dan asset turnover berpengaruh positif signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
Kata kunci: Kecurangan Akuntansi, Hutang Keuangan, Komposisi Aset, Perputaran Aset.
2
ABSTRACT
THE EFFECT OF FINANCIAL STABILITY FACTORS TO ACCOUNTING FRAUD TENDENCY IN FOOD AND BEVERAGES
COMPANY LISTED IN BEI 2006-2010
By
NANCY GRACE PASARIBU
The purpose of this study is to analyze the effect of financial leverage, asset composition, and asset turnover to the accounting fraud tendency in food and beverages companies listed in the Indonesian Stock Exchange. With the allegations hypothesis that financial leverage, asset composition, asset turnover is positive effect to the accounting fraud tendency.
This study samples were 16 companies using the purposive sampling method. In this study binary logistic regression was used to test the hypothesis.
The results showed that financial leverage and asset composition is positive effect and not significant to accounting fraud tendency, and asset turnover are positive effect and significant to accounting fraud tendency.
Keyword: Accounting Fraud, Financial Leverage, Asset Composition, Asset Turnover.
3
Nama : Nancy Grace Pasaribu
NPM : 0811031039
Jurusan : Akuntansi
No HP : 0857 8981 5830
Email : [email protected]
Pembimbing I : Saring Suhendro, S.E., M.Si., Akt.
Pembimbing II : Retno Y. N., S.E., M.Sc., Akt.
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecurangan akuntansi telah berkembang secara luas. Dampak dari kecurangan
tersebut sangat besar dan telah merugikan banyak pihak. Contoh kecurangan
akuntansi juga terjadi di Indonesia sebagai Negara dengan peringkat korupsi
tertinggi di dunia (Transparancy International, 2005). Di Indonesia, kecurangan
akuntansi dibuktikan dengan adanya likuidasi beberapa bank, diajukannya
manajemen BUMN dan swasta ke pengadilan, kasus kejahatan perbankan,
manipulasi pajak, korupsi di komisi penyelenggara pemilu, dan DPRD.
Kecurangan akuntansi sering kali diawali dengan salah saji atau manajemen laba
dari laporan keuangan kuartal yang dianggap tidak material tetapi akhirnya
tumbuh menjadi fraud secara besar-besaran dan menghasilkan laporan keuangan
tahunan yang menyesatkan secara material (Rezaee, 2002). Oleh sebab itu,
penelitian ini menjadikan manajemen laba (earnings management) sebagai proksi
variabel dependen yaitu kecenderungan kecurangan akuntansi. Manajemen laba
yang dipilih adalah manajemen laba real karena perusahaan melakukan
manajemen laba real untuk menghindari melaporkan kerugian (Roychowdhury
2006).
Dalam SAS No.99 untuk menghadapi tekanan manajer melakukan financial
statement fraud dengan melakukan kecurangan financial stability (Skousen,
2009). Financial stability merupakan keadaan yang menggambarkan kondisi
keuangan suatu entitas dalam keadaan stabil. Ketika financial stabilty perusahaan
berada dalam keadaan terancam, maka manajemen akan melakukan berbagai cara
agar kondisi keuangan perusahaan terlihat baik. Perusahaan yang terbukti secara
empiris tetap stabil meskipun kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan krisis
adalah perusahaan food and beverages yang dapat dilihat dari peningkatan
pertumbuhan antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2001. Hal ini tentu tidak
terlepas dari pengelolaan model kerja yang efektif, kemampuan perusahaan dalam
5
bersaing dan permintaan pasar tidak menurun. Maka penulis sangat tertarik untuk
memilih perusahaan food and beverages sebagai objek penelitian.
Variabel independen dalam penelitian ini terdapat tiga faktor financial stability
yaitu financial leverage, asset composition, dan asset turnover yang merupakan
kecenderungan kecurangan akuntansi. Financial leverage merupakan penggunaan
sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan
tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan
meningkat keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham (Sartono, 2001).
Penggunaan hutang tersebut akan menciptakan leverage keuangan yang
mendorong risiko dari saham biasa dan mendorong pemegang saham untuk
meminta tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Hubungan antara kecenderungan kecurangan akuntansi dengan financial leverage
dapat dilihat dari salah satu motivasi debt convenant hypothesis, yang menyatakan
bahwa semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka
manajer akan cenderung memilih metoda akuntansi yang dapat “memindahkan”
laba perioda mendatang ke perioda berjalan sehingga dapat mengurangi
kemungkinan perusahaan yang mengalami pelanggaran kontrak atau perjanjian
hutang(Widyastuti, 2009).
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh
Soselisa dan Mukhlasin (2009), dengan perbedaan yang terdiri dari variabel
independen, perioda penelitian, dan sampel penelitian. Besar harapan penulis
untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai kecurangan akuntansi
melalui model yang komprehensif dan teruji secara empiris sesuai dengan situasi
dan kondisi yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Financial Stability terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi pada
Perusahaan Food and Beverages yang Terdaftar di BEI 2006-2010. ”
6
1.2 Perumusan Masalah dan Batasan Masalah
1.2.1 Perumusan Masalah
1. Apakah financial leverage berpengaruh terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi?
2. Apakah asset composition berpengaruh terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi?
3. Apakah asset turnover berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi?
1.2.2 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Populasi adalah perusahaan Food and Beverages yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia dengan perioda pengamatan tahun 2006-2010.
2. Kecenderungan kecurangan akuntansi yang diteliti dilakukan dengan
penyekoran 1 untuk perusahaan yang cenderung melakukan kecurangan
akuntansi dan 0 untuk perusahaan yang tidak cenderung melakukan
kecurangan akuntansi.
3. Faktor-faktor mempengaruhi kecenderungan kecurangan akuntansi
diproksikan dengan financial leverage, asset composition, dan asset
turnover.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Menganalisis pengaruh financial leverage, asset composition, asset turnover
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia perioda tahun 2006 - 2010.
1.3.2 Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari dilakukannya penelitian
ini adalah:
1. Dapat menjadi bukti empiris serta memberikan kontribusi tambahan
terhadap penelitian-penelitian yang telah ada.
7
2. Bagi manajemen perusahaan dapat mencegah dan menganggulangi
terjadinya fraud demi integritas keuangan, reputasi, dan masa depan
organisasi.
3. Bagi para akademisi hasil studi ini diharapkan dapat memberikan masukan
terhadap isu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan
kecurangan akuntansi.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan atau
bahan pembanding bagi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis
maupun penelitian yang lebih luas.
2.1. Kecurangan (fraud)
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mendefinisi kecurangan
(fraud) sebagai tindakan penipuan atau kekeliruan yang dibuat oleh seseorang
atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan
beberapa manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain
(Ernst & Young LLP, 2009).
Dalam penelitian ini, financial leverage, asset composition, dan asset turnover
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kecurangan
akuntansi. Dengan kata lain faktor-faktor tersebut mendorong terjadinya
kecurangan akuntansi. Skousen et.al (2009) menjelaskan teori Fraud Triangle
bahwa penyebab atau pemicu fraud dibedakan atas tiga hal yaitu:
1. Tekanan (Unshareable pressure/ incentive) yang merupakan motivasi
seseorang untuk melakukan fraud antara lain motivasi ekonomi, alasan
emosional (iri/cemburu, balas dendam, kekuasaan, gengsi) dan nilai (values).
2. Kesempatan / peluang persepsian (Perceived opportunity) yaitu kondisi yang
memungkinkan seseorang melakukan atau menutupi tindakan tidak jujur.
Contoh kurangnya pengendalian yang dapat mencegah dan mendeteksi
perilaku curang, ketidakmampuan menilai kualitas kinerja ,terbatasnya akses
terhadap informasi, dan tidak adanya jejak audit.
3. Rasionalisasi (Rationalization) atau sikap yaitu pembenaran atas kecurangan
yang telah dilakukan. Contoh yang paling banyak digunakan adalah hanya
8
meminjam aset yang dicuri serta merasa pendapatannya kurang dari yang
seharusnya lalu melakukan kecurangan.
Tabel 1.1 : Jenis-jenis Fraud
Jenis Fraud Korban Pelaku Penjelasan 1. Embezzlement
employee atau occupational fraud
Karyawan Atasan Atasan baik langsung maupun tidak langsung melakukan kecurangan pada karyawannya.
2. Management fraud
Stakeholders, kreditor dan pihak lain yang mengandalkan laporan keuangan
Manajemen puncak
Manajemen puncak menyediakan penyajian yang keliru, biasanya pada informasi keuangan.
3. Invesment scams
Investor Perorangan Individu yang menipu investor menanamkan uangnya dalam investasi yang salah.
4. Vendor fraud Organisasi atau perusahaan yang membeli barang atau jasa
Organisasi / perorangan yang menjual
Organisasi yang memasang harga terlalu tinggi atau tidak adanya pengirimin pada barang yang telah dibayar.
5. Customer fraud
Organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa
Pelanggan Pelanggan membohongi penjual dengan memberikan kepada pelanggan yang tidak seharusnya atau menuduh penjual memberikan lebih sedikit dari yang seharusnya.
Sumber: Fraudulent Financial Reporting: Tanggung Jawab Auditor Independen
(Effendi, 2006).
ACFE (Association of Certified Fraud Examiners) membagi Fraud (Kecurangan)
dalam tiga jenis berdasarkan perbuatan yaitu:
1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan atau pencurian aset-aset
perusahaan atau pihak lain. Asset misappropriation merupakan bentuk fraud
yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat
diukur/dihitung (defined value). Penyimpangan atas aset dapat digolongkan
9
ke dalam kecurangan kas dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya
serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).
2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement)
Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat,
eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan atau
financial engineering dalam penyajian laporan keuangannya. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat
dianalogikan dengan istilah window dressing.
3. Korupsi (Corruption)
Korupsi terbagi ke dalam conflict of interest, pemberian ilegal (illegal
gratuity), dan pemerasan (economic extortion). Jenis fraud ini paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap. Hal
ini merupakan jenis yang banyak terjadi di negara-negara berkembang yang
penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola
yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini
tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja secara bersama-sama
menikmati keuntungan.
2.2. Manajemen Laba
Manajemen laba adalah suatu intervensi yang dilakukan manajer pada kinerja
perusahaan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan
memperoleh keuntungan untuk kepentingan sendiri. Timbulnya manajemen laba
dapat dijelaskan dengan teori agensi. Sebagai agen, manajer secara moral
bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal)
dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak.
Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda didalam perusahaan
dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan
tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Teknik
manajemen laba terdiri dari manajemen laba real dan manajemen laba akrual.
10
Manajemen laba real merupakan manipulasi yang dilakukan melalui aktivitas
sehari-hari perusahaan selama perioda akuntansi berjalan dengan tujuan
memenuhi target laba tertentu atau untuk menghindari kerugian. Menurut
Roychowdhury (2006) metoda manajemen laba real yaitu:
A. Manajemen penjualan
Manajemen penjualan dapat dikatakan sebagai bentuk usaha manajer untuk
meningkatkan penjualan selama perioda akuntansi dengan tujuan meningkatkan
laba untuk mencapai target laba. Contohnya dengan menawarkan diskon-diskon
yang berlebihan dan menawarkan persyaratan kredit yang lebih lunak. Pemberian
diskon tersebut akan meningkatkan volume penjualan sehingga dapat mencapai
target laba jangka pendek dan kinerjanya terlihat baik maka manajer akan
menerima bonus. Akan tetapi, laba tahun sekarang yang meningkat mempunyai
dampak negatif terhadap aliran kas masa depan. Hal tersebut terjadi karena
margin yang lebih rendah serta menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi
daripada aktivitas normal.
Cara lain untuk meningkatkan penjualan yaitu dengan menawarkan persyaratan
kredit yang lebih lunak. Sebagai contoh perusahaan ritel dan otomotif sering
menawarkan tingkat bunga kredit yang rendah sampai dengan akhir perioda
akuntansi untuk meningkatkan penjualan. Volume penjualan yang meningkat
menyebabkan laba tahunan berjalan tinggi namun arus kas masuk lebih kecil dan
biaya produksi lebih tinggi dari penjualan normal.
B. Produksi yang berlebihan (Overproduction)
Overproduction merupakan teknik manajemen laba dengan memproduksi besar-
besaran. Manajer memproduksi barang lebih besar daripada yang dibutuhkan agar
mencapai permintaan yang diharapkan perusahaaan. Produksi dalam skala besar
menyebabkan biaya overhead tetap dibagi dengan jumlah unit barang yang besar
sehingga rata-rata biaya per unit produk dan harga pokok penjualan menurun.
Penurunan harga pokok per unit produk yang diproduksi besar-besaran
mempunyai dampak pelaporan margin operasi yang lebih tinggi dan arus kas
kegiatan operasi yang lebih rendah daripada tingkat penjualan normal.
11
C. Pengurangan biaya diskresioner
Biaya diskresioner merupakan biaya-biaya yang tidak mempunyai hubungan yang
akurat dengan output dan merupakan biaya yang outputnya tidak dapat diukur
secara moneter. Contohnya dengan menurunkan beban iklan, beban administrasi,
dan beban umum terutama saat perioda pengeluaran tersebut tidak secara
langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Apabila pengeluaran biaya
diskresioner dalam bentuk kas, maka pengurangan biaya-biaya tersebut akan
berdampak pada arus kas keluar sehingga berdampak positif pada arus kas operasi
abnormal perioda tersebut. Resiko yang timbul akibat hal tersebut kemungkinan
menyebabkan penurunan arus kas pada perioda yang akan datang.
Sedangkan manajemen laba akrual merupakan rekayasa atau manipulasi laba
dengan discretionary accrual yang tidak memiliki pengaruh terhadap aliran kas
perusahaan secara langsung. Manajemen laba akrual biasanya dilakukan pada
akhir perioda dengan keikutsertaan pihak manajer perusahaan. Ketika manager
mengetahui laba sebelum direkayasa, sehingga dapat mengetahui berapa besar
manipulasi yang diperlukan agar target laba tercapai. Manipulasi ini dapat
terdeteksi oleh auditor, investor ataupun badan pemerintah sehingga dapat
berdampak pada harga saham bahkan menyebabkan kebangkrutan atau kasus
hukum (Wulandari dan Ayu, 2007).
2.3. Financial Stability
Dalam SAS No.99 dikemukakan dalam menghadapi tekanan untuk melakukan
financial statement fraud manager melakukan kecurangan stabilitas keuangan
(financial stability) atau profitabilitas terancam oleh keadaan ekonomi, industri,
dan situasi entitas yang beroperasi (Skousen, 2009). Financial stability
merupakan keadaan yang menggambarkan kondisi keuangan dalam keadaan
stabil. Ketika financial stabilty perusahaan berada dalam keadaan terancam, maka
manajemen akan melakukan berbagai cara agar kondisi keuangan perusahaan
terlihat baik.
2.3.1. Financial Leverage
12
Menurut Subramanyan (2010) financial leverage perusahaan pada tahunt akan
berpengaruh sebagai ukuran sejauh mana aset perusahaan dapat dibiayai dengan
utang pada tahunt+1. Hubungan antara kecenderungan kecurangan akuntansi
dengan financial leverage dapat dilihat dari salah satu motivasi yang
dikemukakan oleh Widyastuti (2009) yaitu debt convenant hypothesis, yang
menyatakan bahwa semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian
hutang maka manajer akan cenderung memilih metoda akuntansi yang dapat
“memindahkan” laba perioda mendatang ke perioda berjalan sehingga dapat
mengurangi kemungkinan perusahaan yang mengalami pelanggaran kontrak atau
perjanjian hutang.
2.3.2. Asset Composition
Asset composition yang dalam hal ini mencakup aset lancar dan sediaan akan
berhubungan dengan kecenderungan kecurangan akuntansi. Asset composition
adalah penggambaran komposisi sediaan dan piutang yang terdapat dalam total
aset (Salman, 2007) . Komposisi aset mengukur kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan tidak memperhitungkan sediaan,
karena sediaan memerlukan waktu yang relatif lama untuk direalisasi menjadi
uang kas, walaupun kenyataannya mungkin sediaan lebih likuid daripada piutang.
Persons (1995) menyatakan perubahan asset composition perusahaan pada tahunt
dalam jumlah yang material akan menimbulkan tuntutan auditor pada tahunt+1.
2.3.3 Asset Turnover.
Asset turnover merupakan penggambaran nilai penjualan yang dihasilkan
perusahaan dari setiap rupiah asetnya. Perputaran aset menunjukkan seberapa jauh
aset yang telah dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan atau menunjukkan
berapa kali operating assets berputar dalam suatu perioda tertentu dan seberapa
efektif perusahaan menggunakan hutang. Persons (1995) menyatakan bahwa asset
turnover mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi persaingan usaha.
Hal ini memberikan insentif bagi manajer tersebut untuk melakukan kecurangan
akuntansi. Subramanyan (2010) asset turnover perusahaan pada tahunt akan
13
berpengaruh sebagai ukuran seberapa jauh aset digunakan dalam kegiatan
perusahaan pada tahunt+1.
Benish (1997) mengungkapkan bahwa sales, growth, leverage, dan total akrual
yang dibagi dengan total aset berguna dalam mengidentifikasi pelanggar GAAP
dan perusahaan yang secara agresif menggunakan akrual untuk memanipulasi
pendapatan. Dengan demikian hubungan kecenderungan kecurangan akuntansi
dengan perputaran aset (asset turnover) dapat dikatakan bahwa semakin
terdorongnya manajer oleh pemegang saham untuk mendapatkan investor baru
menyebabkan manajer terdorong untuk melakukan bentuk-bentuk kecurangan
akuntansi. Investor-investor pada umumnya tertarik untuk menanamkan modal
ketika perusahaan tersebut memiliki kinerja keuangan yang baik dengan
pertumbuhan yang meningkat dengan cepat.
2.4. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh financial
stability terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi:
Soselisa dan Mukhlasin (2009) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh
faktor kultur organisasi, manajemen, strategik, keuangan dan auditor terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi. Penelitian ini dilakukan pada 110
perusahaan go public di BEI selama perioda 2003 – 2007. Penelitian tersebut
menggunakan daftar sanksi yang dikeluarkan oleh Bapepam untuk
mengidentifikasi 29 perusahaan yang melakukan kecurangan akuntansi (fraud
firm) selama perioda 2003 – 2007 dan mengambil secara acak 81 perusahaan
sebagai perusahaan yang tidak melakukan kecurangan akuntansi (non-fraud firm).
Dengan hasil penelitian financial leverage tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi sedangkan komposisi aset dan ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
serta capital turnover yang berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi.
Wilopo (2006) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi dengan populasi perusahaan BUMN yang
14
ada di Indonesia dengan mengirimkan kuesioner kepada 477 perusahaan. Hasil
dari penelitian ini adalah pengendalian internal yang efektif memberikan pengaruh
yang signifikan dan negatif terhadap perilaku tidak etis, pengendalian internal
yang efektif memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi, kesesuaian kompensasi memberikan
pengaruh tidak signifikan terhadap perilaku tidak etis, kesesuaian kompensasi
memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi, ketaatan aturan akuntansi memberikan pengaruh yang signifikan dan
negatif terhadap perilaku tidak etis, ketaatan dari akuntan atau penanggung jawab
penyusun laporan keuangan terhadap aturan akuntansi memberikan pengaruh
yang signifikan dan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi,
asimetri informasi memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
perilaku tidak etis, asimetri informasi memberikan pengaruh yang signifikan dan
positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi, moralitas manajemen
memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap perilaku tidak etis,
moralitas manajemen memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif pada
kecenderungan kecurangan akuntansi, perilaku tidak etis memberikan pengaruh
yang signifikan dan positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
2.5. Model Penelitian
Financial Leverage
Kecenderungan Kecurangan
Akuntansi
Asset Composition
Asset Turnover
15
2.6. Pengembangan Hipotesis
2.6.1 Financial Leverage
Financial leverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban
tetap dengan harapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih
besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkat keuntungan yang tersedia
bagi pemegang saham (Sartono, 2001). Dalam suatu perusahaan dikenal istilah
biaya modal (Cost Of Capital) yaitu penggambaran pengembalian yang harus
diperoleh suatu perusahaan atas investasi. Analisis biaya modal ini bertujuan
untuk melihat bagaimana kondisi struktur modal perusahaan, biaya modal ini
diusahakan seminimal mungkin maka dapat dikatakan bahwa struktur keuangan
adalah baik.
Pada kenyataannya, perusahaan sulit mencapai struktur modal yang optimal dalam
suatu komposisi pembelanjaan yang tepat, bahkan ketika menetapkan suatu range
untuk struktur modal yang optimal pun sangat sulit. Oleh karena itu, sebagian
besar perusahaan hanya memperhatikan apakah perusahaan tersebut terlalu
banyak mempergunakan hutang ataukah tidak. Penggunaan hutang tersebut akan
menciptakan leverage keuangan yang mendorong resiko dari saham biasa dan
mendorong pemegang saham untuk meminta tingkat pengembalian yang lebih
tinggi.
Persons (1995) menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang
tinggi tidak lagi menggunakan pinjaman sebagai sumber dananya dan akan beralih
ke equity financing. Oleh karena itu, perusahaan tersebut harus memiliki kinerja
yang baik dan laba yang tinggi untuk menarik calon investor. Hal ini akan
menciptakan motivasi untuk melakukan manipulasi laba. Soselisa dan Mukhlasin
(2009) menyatakan bahwa financial leverage berpengaruh negatif pada
kecenderungan kecurangan akuntansi sedangkan Persons (1995) menyatakan
bahwa financial leverage berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi. Berdasarkan uraian di atas maka melalui skripsi ini dapat diajukan
hipotesis:
(Ha1) : Financial leverage berpengaruh positif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi.
16
2.6.2 Asset Composition
Asset composition adalah penggambaran komposisi sediaan dan piutang yang
terdapat dalam total aset (Salman, 2007) . Komposisi aset mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan tidak
memperhitungkan sediaan, karena sediaan memerlukan waktu yang relatif lama
untuk direalisasi menjadi uang kas, walaupun kenyataannya mungkin sediaan
lebih likuid daripada piutang.
Feroz et al. (1991) menyatakan bahwa 75% perusahaan yang melakukan
kecurangan akuntansi cenderung melakukan overstatements dari piutang usahanya
dan sediaannya. Sebagaimana halnya yang disebutkan pula oleh BPK (2010)
penyalahgunaan aset (asset misappropriation) dapat digolongkan ke dalam
kecurangan kas dan kecurangan atas sediaan dan aset lainnya serta pengeluaraan
biaya-biaya secara curang (fraudulent disbursement).
Jadi dapat diketahui bahwa hubungan komposisi aset (assets composition) dengan
kecenderungan kecurangan akuntansi semakin tidak seimbangnya laporan
keuangan yang dilakukan pelaku kecurangan akibat penyalahgunaan aset, pelaku
cenderung memindahkan akun lain misalnya dengan membebankan ke akun
biaya. Persons (1995) menyatakan bahwa besarnya komposisi aset lancar
khususnya piutang dan sediaan dalam aset perusahaan berpengaruh secara positif
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Berdasarkan uraian di atas maka
melalui skripsi ini dapat diajukan hipotesis:
(Ha2) : Asset composition berpengaruh positif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi.
2.6.3 Asset Turnover.
Asset turnover merupakan penggambaran nilai penjualan yang dihasilkan
perusahaan dari setiap rupiah asetnya. Perputaran aset menunjukkan seberapa jauh
aset yang telah dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan atau menunjukkan
berapa kali operating assets berputar dalam suatu perioda tertentu dan seberapa
efektif perusahaan menggunakan hutang. Persons (1995) menyatakan bahwa asset
turnover mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi persaingan usaha.
Persons (1995) juga menyatakan bahwa manajer dari perusahaan yang melakukan
17
kecurangan biasanya kurang bisa bersaing dibandingkan dengan manajer
perusahaan yang tidak melakukan kecurangan dalam memanfaatkan aset
perusahaan untuk menghasilkan pendapatan. Hal ini memberikan insentif bagi
manajer tersebut untuk melakukan kecurangan akuntansi. Beneish (1999)
berargumen bahwa kinerja perusahaan yang buruk mendorong perusahaan untuk
melakukan kecurangan akuntansi.
Nguyen (2008) juga mengungkapkan jenis-jenis fraud yang berhubungan dengan
penjualan baik yang dilakukan pelanggan ataupun suatu perusahaan. Contoh di
Indonesia dapat dikemukakan kasus yang terjadi pada PT Kimia Farma Tbk. PT
Kimia Farma Tbk adalah badan usaha milik negara yang sahamnya telah
diperdagangkan di bursa. Berdasarkan indikasi oleh Kementerian BUMN dan
pemeriksaan Bapepam ditemukan adanya salah saji dalam laporan keuangan yang
mengakibatkan lebih saji (overstatement) laba bersih untuk tahun yang berakhir
31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3 % dari penjualan
dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji ini terjadi dengan cara melebihsajikan
penjualan dan sediaan pada 3 unit usaha, dan dilakukan dengan
menggelembungkan harga sediaan yang telah diotorisasi oleh Direktur Produksi
untuk menentukan nilai sediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma Tbk per 31
Desember 2001. Selain itu manajemen PT Kimia Farma Tbk melakukan
pencatatan ganda atas penjualan pada 2 unit usaha. Pencatatan ganda itu dilakukan
pada unit-unit yang tidak disampling oleh auditor eksternal (Koroy, 2008).
Persons (1995) menemukan bahwa semakin rendah asset turnover suatu
perusahaan, maka akan semakin besar kecenderungan perusahaan tersebut untuk
melakukan kecurangan laporan keuangan/ akuntansi. Berdasarkan uraian di atas
maka melalui skripsi ini dapat diajukan hipotesis:
(Ha3) : Asset turnover berpengaruh positif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi.
18
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu berupa
laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang terdaftar dan telah dipublikasi di
Bursa Efek Indonesia pada perioda 2006 – 2010.
3.2 Metoda Pengumpulan Data
Metoda pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
mencari data langsung dari catatan-catatan atau laporan keuangan yang ada pada
BEI. Data sekunder yang diambil dari BEI ini terdiri dari laporan auditor
independen dan laporan keuangan perusahaan setiap perusahaan food and
beverages yang terdaftar dan sesuai dengan kriteria pemilihan sampel. Perusahaan
food and beverages terbukti secara empiris tetap stabil meskipun kondisi ekonomi
Indonesia dalam keadaan krisis dapat dilihat dari peningkatan pertumbuhan antara
tahun 1998 sampai dengan tahun 2001. Dengan pengelolaan model kerja yang
efektif, kemampuan perusahaan dalam bersaing dan permintaan pasar tidak
menurun. Selain itu juga penulis melakukan studi pustaka yaitu pengumpulan data
sebagai landasan teori serta penelitian terdahulu yang didapat dari dokumen-
dokumen, buku, internet, ICMD (Indonesian Capital Market Directory) serta
sumber data tertulis lainnya yang berhubungan dengan informasi yang
dibutuhkan.
3.3 Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sampel perusahaan food and
beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebab perusahan tersebut
terbukti secara empiris tetap stabil meskipun kondisi Indonesia mengalami krisis
keuangan. Penulis menggunakan data perioda pengamatan yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia selama 5 tahun, yaitu dari perioda tahun 2006-2010. Teknik
penarikan sampel dalam penelitian ini adalah metoda penyampelan bersasaran
(purposive sampling method), yaitu pemilihan anggota sampel yang didasarkan
pada kriteria-kriteria tertentu atau ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh sampel itu.
Kriteria yang harus dipenuhi oleh sampel pada penelitian ini adalah:
1. Tersedia laporan keuangan lengkap untuk perioda yang berakhir pada 31
Desember pada tahun pengamatan 2006 -2010 dalam satuan rupiah.
19
2. Laporan tahunan perusahaan yang memiliki data-data berkaitan dengan
variabel penelitian.
Tabel 3.1 Proses Seleksi Sampel Berdasarkan Kriteria
NO. Kriteria Jumlah 1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
tahun 2006-2010
150
2. Perusahaan food and beverages yang terdaftar di
BEI tahun 2006-2010
21
3. Perusahaan food and beverages yang melakukan
delisting tahun 2006-2010 dari BEI
(3)
4. Tidak ada data penelitian (2)
Jumlah sampel penelitian 16
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
3.4.1 Variabel Dependen (Y)
Variabel dependen atau sering disebut variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kecenderungan kecurangan akuntansi yang diproksikan dengan manajemen
laba real. Kecenderungan kecurangan akuntansi merupakan variabel dami (dummy
variable) sehingga akan diberikan nilai 1 untuk perusahaan yang cenderung
melakukan kecurangan akuntansi, dan nilai 0 untuk perusahaan yang tidak
cenderung melakukan kecurangan akuntansi.
3.4.2 Variabel Independen
1. Financial Leverage (FL)
Sartono (2001) menyatakan financial leverage merupakan penggunaan sumber
dana yang memiliki beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan
tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan
meningkat keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham. Financial leverage
digunakan untuk mengetahui sejauh mana perusahaan menggunakan hutang dari
luar untuk membiayai operasi. Subramanyam dan Wild (2010) dalam buku
20
Analisis Laporan Keuangan menyatakan formula untuk menghitung variabel
financial leverage adalah:
2. Asset Composition (AC)
Assets composition adalah penggambaran komposisi sediaan dan piutang yang
terdapat dalam total aset (Persons,1995). Komposisi aset mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dengan tidak memperhitungkan
sediaan, karena sediaan memerlukan waktu yang relatif lama untuk direalisir
menjadi uang kas, walaupun kenyataannya mungkin sediaan lebih likuid daripada
piutang (mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka
pendeknya). Persons (1995) menyatakan komposisi aset diproksikan dalam
formula:
3. Asset Turnover (ATO)
Asset turnover merupakan penggambaran nilai penjualan yang dihasilkan
perusahaan dari setiap rupiah asetnya. Perputaran aset menunjukkan seberapa jauh
aset yang telah dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan atau menunjukkan
berapa kali operating assets berputar dalam suatu perioda tertentu dan seberapa
efektif perusahaan menggunakan hutang atau mengelola asetnya sehingga
memberikan aliran kas masuk. Formula yang digunakan untuk mengukur variabel
perputaran aset menurut Subramanyam dan Wild (2010) dalam buku Analisis
Laporan Keuangan adalah:
3.5 Alat Analisis
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan metoda regresi. Regresi yang
digunakan adalah regresi logistik. Regresi logistik (logit) dipilih karena data
dalam penelitian ini berupa data nominal dan data rasio baik variabel dependen
maupun variabel independen. Regresi logistik adalah regresi yang digunakan
21
untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap satu variabel dependen
yang merupakan variabel dami (dummy variable). Model logit yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
KKA = α + β1FL+ β2AC + β3ATO +ε
Keterangan:
KKA = Kecenderungan kecurangan akuntansi (variabel dami, 1 jika perusahaan
cenderung curang, 0 jika perusahaan tidak cenderung curang, yang diukur
dengan manajemen laba real)
FL = Financial leverage
AC = Asset composition
ATO = Asset turnover
α = konstanta
ε = error atau kesalahan residual
3.5.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif ini digunakan untuk mengukur rata-rata, nilai maksimum dan
minimum, standar deviasi dari masing-masing obyek penelitian pada perioda
2006-2010. Analisis deskriptif ini dengan menggunakan SPSS versi 18.0.
3.5.2 Uji Hipotesis
Untuk menjawab hipotesis yang telah dibuat dapat digunakan metoda analisis
sebagai berikut:
a. Uji Kelayakan Model Regresi
Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit lebih besar dari pada
0,05 maka model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan
model dapat diteima karena sesuai dengan data observasinya (Ghozali, 2007).
b. Uji Model Fit
Dalam menilai overall fit model, dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Diantaranya:
1. Chi Square
22
Nilai chi square didapat dari nilai -2logL1–2logL0. Apabila terjadi penurunan,
maka model tersebut menunjukkan model regresi yang baik (Ghozali, 2007).
2. Cox and Snell’s R Square dan Nagelkereke’s R square
Nagelkereke R square merupakan modifikasi dari koefisien Cox and Snell R
square untuk memastikan bahwa nilainya bervariasi dari 0 sampai 1. Hal ini
dilakukan dengan cara membagi nilai Cox and Snell R square dengan nilai
maksimumnya (Ghozali, 2007).
3. Tabel Klasifikasi 2x2
Tabel klasifikasi 2x2 menghitung nilai estimasi yang benar (correct) dan salah
(incorrect). Pada kolom merupakan dua nilai prediksi dari variabel dependen
dalam hal ini kecenderungan kecurangan (1) dan tidak cenderung curang (0),
sedangkan pada baris menunjukkan menunjukkan nilai observasi
sesungguhnya dari variabel dependen. Pada model sempurna, maka semua
kasus akan berada pada diagonal dengan ketepatan peramalan 100% (Ghozali,
2007).
c. Pengujian Signifikansi Koefisien Regresi
Pengujian koefisien regresi dilakukan untuk menguji seberapa jauh semua
variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Analisis pengujian hipotesis
dengan logit memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tingkat signifikansi (α) yang digunakan sebesar 5%.
2. Kriteria penerimaan dan penolakan signifikansi didasarkan pada
signifikansi p-value (prob value). Jika p value (signifikansi) > 0.05, maka
variabel yang diteliti tidak signifikan. Sebaliknya jika p value < 0.05,
maka variabel yang diteliti signifikan (Ghozali, 2007)
4.1 Statistik Deskriptif
Roychowdhury (2006) menyatakan perusahaan yang terbukti melakukan tindakan
manajemen laba real cenderung memperlihatkan arus kas kegiatan operasi yang
rendah, biaya produksi yang tinggi dan biaya diskresioner yang rendah dari yang
23
seharusnya. Apabila mean arus kas kegiatan operasi abnormal dan biaya
diskresioner seluruh sampel bernilai negatif maka sampel diduga cenderung
melakukan manajemen laba real. Sedangkan apabila mean biaya produksi
abnormal bernilai positif maka sampel diduga cenderung melakukan manajemen
laba real melalui biaya produksi.
Untuk memberi skor 1 atau 0 pada setiap perusahaan food and beverages diawali
dengan menghitung kegiatan abnormal arus kas, abnormal produksi dan abnormal
diskresioner menggunakan pendekatan Roychowdhury (2006). Setelah
menghitung ketiga abnormal manajemen laba real dengan Microsoft Excel maka
nilai kegiatan abnormal tersebut menjadi dasar untuk menjadi dasar
mengklasifikasikan perusahaan mana yang melakukan manajemen laba real sesuai
dengan persyaratan nilai mean ketiga kegiatan abnormal perusahaan
Roychowdhury (2006) menggunakan uji statistik deskriptif SPSS. Setelah
diperoleh hasil uji statistik deskriptif dari variabel-variabel abnormal arus kas
(ABNCFO), abnormal produksi (ABNPROD), dan abnormal diskresioner
(ABNDISEXP) maka langkah selanjutnya menentukan nilai mean manakah yang
masuk persyaratan manajemen laba real Roychowdhury (2006) bahwa mean arus
kas kegiatan operasi abnormal dan biaya diskresioner seluruh sampel bernilai
negatif , serta mean biaya produksi abnormal bernilai positif.
Tabel 4.1 Hasil Uji Statistik DeskriptifDescriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
ABNCFO 80 ,056311 ,407307 ,19317308 ,089282422
ABNPROD 80 -,134529 1,763518 ,39343193 ,289919966
ABNDISEXP 80 -,018954 2,160397 ,58660501 ,362209520
Valid N (listwise) 80
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Jadi dari hasil tabel di atas dapat diartikan perusahaan hanya terbukti melakukan
manajemen laba real melalui biaya produksi saja. Nilai mean biaya produksi
abnormal sebesar 0,39343193 nantinya akan menjadi dasar dalam
mengelompokkan sampel. Jika nilai biaya produksi abnormal sampel lebih besar
dari 0,39343193 maka diberi nilai 1 dengan arti perusahaan tersebut cenderung
24
melakukan kecurangan akuntansi. Namun apabila nilai biaya produksi abnormal
sampel lebih kecil dari 0,39343193 maka diberi nilai 0 dengan arti perusahaan
tersebut tidak cenderung melakukan kecurangan akuntansi.
4.2 Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Test)
Analisis pertama yang dilakukan adalah dengan menilai kelayakan model regresi
logistik yang akan digunakan. Pengujian kelayakan ini dilakukan dengan
menggunakan Goodness of fit test yang diukur dengan nilai Chi-Square pada
bagian bawah uji Hosmer and Lemeshow.
Tabel 4.2 Hasil Uji Hosmer and LemeshowHosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 14,453 8 ,071
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Dari tabel di atas dapat diartikan bahwa nilai dari pengujian Hosmer and
Lemeshow’s Goodness of Fit Test berupa nilai chi square sebesar 14,453 dengan
signifikansi sebesar 0,071. Dengan tingkat signifikansi lebih besar dari tingkat α
sebesar 0,05 maka hal tersebut menunjukkan model mampu memprediksi nilai
observasinya atau dapat dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data
observasinya (Ghozali, 2007).
4.3 Uji Model Fit (Overall Model Fit)
4.3.1 Chi Square Test
Tabel 4.3 Hasil Uji Chi Square awal
Iteration
-2 Log likelihood
Coefficients
Constant
Step 0 1 110,703 -,100
2 110,703 -,100
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 4.4 Hasil Uji Chi Square akhir
25
Iteration
-2 Log likelihood
Coefficients
Constant FL AC ATO
Step 1 1 98,760 -1,422 ,799 2,835 ,199
2 85,928 -2,510 ,729 2,736 1,046
3 80,606 -3,794 ,661 3,089 1,975
4 80,328 -4,197 ,646 3,424 2,244
5 80,326 -4,230 ,644 3,454 2,267
6 80,326 -4,230 ,644 3,454 2,267
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Kedua tabel di atas menunjukkan perbandingan. Pada -2 log likelihood awal
menunjukkan angka 110,703, sedangkan pada -2 log likelihood akhir
menunjukkan angka 80,326 adanya penurunan nilai ini mengindikasikan bahwa
model regresi ini baik Ghozali (2007).
4.3.2 Cox and Snell’s R Square dan Nagelkerke’s R Square
Tabel 4.5 Hasil Uji Cox and Snell’s R Square dan Nagelkerke’s R Square
Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 80,326a ,316 ,422
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel di atas nilai Nagelkerke’s R Square sebesar 0,422 menunjukkan
bahwa variabilitas variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel
independen sebesar 42,2 % dan 57,8 % dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar
model. Cox and Snell’s R Square merupakan ukuran yang meniru R2 pada
multiple regression yang didasarkan pada teknik estimasi likelihood dengan nilai
maksimum kurang dari 1 sehingga sulit diinterprestasi. Nagelkerke’s R Square
merupakan modifikasi dari koefisien Cox and Snell’s untuk memastikan bahwa
nilainya bervariasi dari 0 (nol) sampai 1 (satu). Hal ini dilakukan dengan cara
membagi nilai Cox and Snell’s R Square dengan nilai maksimumnya (Ghozali,
2007).
26
4.3.3 Uji Klasifikasi 2x2
Tabel 4.6 Hasil Uji Klasifikasi
Observed Predicted
KKA
Percentage
Correct
Tidak Cenderung
Curang
Cenderung
Curang
Step 1 KKA Tidak Cenderung Curang 35 7 83,3
Cenderung Curang 8 30 78,9
Overall Percentage 81,3
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Dari tabel tersebut perusahaan yang diprediksi tidak memiliki kecenderungan
untuk melakukan kecurangan akuntansi, kekuatan prediksi dari model regresi
sebesar 83,3%. Hal ini menunjukkan 35 perusahaan yang diprediksi tidak
memiliki kecenderungan untuk melakukan kecurangan akuntansi. Sedangkan
kekuatan prediksi model perusahaan yang cenderung melakukan kecurangan
akuntansi sebesar 78,9%, yang berarti sebanyak 30 perusahaan dari total 38
perusahaan yang cenderung melakukan kecurangan akuntansi.
Sebesar 81,3% persentase secara keseluruhan dapat diprediksi melalui model
regresi ini. Dengan kata lain persentase tersebut menunjukkan ketepatan tabel
yang mendukung tidak adanya perbedaan terhadap data hasil prediksi dengan data
observasinya yang menunjukkan sebagai model regresi yang baik. Ghozali (2007)
menyatakan pada model yang sempurna, maka kasus akan berada pada tingkat
ketepatan peramalan 100%.
4.4 Uji Koefisien Regresi
Uji hipotesis menggunakan model logistic regression. Regresi logistik digunakan
untuk menguji pengaruh financial leverage, asset composition dan asset turnover
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Untuk menguji signifikansi
koefisien dari variabel independen yang menggunakan p-value (probability value)
dengan tingkat signifikansi sebesar 5% (0,05). Apabila nilai signifikansi lebih
27
kecil dari 0,05 maka koefisien regresi adalah signifikan. Hasil pengujian hipotesis
disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.7 Hasil Uji Signifikansi Koefisien Regresi
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a FL ,644 ,653 ,973 1 ,324 1,904
AC 3,454 3,274 1,113 1 ,291 31,641
ATO 2,267 ,582 15,191 1 ,000 9,647
Constant -4,230 1,054 16,119 1 ,000 ,015
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai konstanta adalah -4,230 yang artinya
jika financial leverage, komposisi aset, dan asset turnover mengalami kenaikan
sebesar 1, maka log of odds kecenderungan kecurangan akuntansi akan turun
sebesar 4,230 dengan asumsi variabel lain adalah konstan (ceteris paribus)
sehingga didapatkan persamaan Logit sebagai berikut:
= -4,230 + 0,644 FL + 3,454 AC + 2,267 ATO
Berdasarkan tabel pengujian hipotesis di atas menunjukkan bahwa koefisien
financial leverage 0,644 artinya apabila financial leverage mengalami kenaikan
sebesar 1, maka log of odds kecenderungan kecurangan akuntansi akan naik
sebesar 0,644 dengan asumsi variabel lain adalah konstan (ceteris paribus).
Koefisien asset composition 3,454 artinya apabila asset composition mengalami
kenaikan sebesar 1, maka log of odds kecenderungan kecurangan akuntansi akan
naik sebesar 3,454 dengan asumsi variabel lain adalah konstan (ceteris paribus).
Koefisien asset turnover 2,267 artinya apabila asset turnover mengalami kenaikan
sebesar 1, maka log of odds kecenderungan kecurangan akuntansi akan naik
sebesar 2,267dengan asumsi variabel lain adalah konstan (ceteris paribus).
4.5 Estimasi dan Interprestasinya
Pengujian hipotesis dengan regresi logistik tersaji dalam tabel 4.6 Variables in the
Equation pada kolom signifikan dibandingkan dengan nilai signifikansi (α) yang
digunakan, yaitu 0,05 (5%). Apabila tingkat signifikansi < 0.05, maka Ha
diterima, jika tingkat signifikan > 0.05, maka Ha tidak dapat diterima.
28
Dari hasil perhitungan berdasarkan tabel 4.8 secara statistis maka disimpulkan
bahwa financial leverage yang memiliki koefisien positif 0,644 dengan nilai
signifikansi 0,324 (p value > 0,05) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan
bahwa financial leverage berpengaruh positif terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi ditolak. Hasil tersebut tidak konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh Soselisa dan Mukhlasin (2009).
Asset composition yang memiliki koefisien 3,454 dengan nilai signifikansi sebesar
0,291. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa asset
composition berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
ditolak karena menunjukan nilai signifikansi p value >0,05. Hasil ini konsisten
dengan penelitian Soselisa dan Mukhlasin (2009).
Sedangkan asset turnover yang memiliki koefisien 2,267 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,000. Hal ini menyatakan bahwa perusahaan dengan asset turnover
berpengaruh positif signifikan terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
Hasil ini berkontradiksi dengan penelitian yang dilakukan Soselisa dan Mukhlasin
(2009) yang menyatakan bahwa asset turnover berpengaruh secara negatif
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
4.6 Pembahasan
4.6.1 Pengaruh financial leverage terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi.
Hasil pengujian terhadap variabel financial leverage secara statistis menunjukkan
nilai koefisien regresi sebesar 0,644 dengan nilai signifikansi 0,324 (p value >
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ini ditolak. Persons (1995)
melakukan penelitian yang sama dengan hasil yang berbeda dengan nilai koefisien
regresi positif sebesar 2,799 dan nilai signifikansi sebesar 0,0001. Jadi diperoleh
bukti secara empiris terdapat argumentasi bahwa perbedaan hasil tersebut terjadi
akibat perbedaan kondisi keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan
perusahaan asing. Contohnya bentuk pasar modal yang transaksinya lebih terbuka,
mudah diakses dan dengan manajemen perusahaan yang baik.
29
4.6.2 Pengaruh asset composition terhadap kecenderungan kecurangan
akuntansi.
Hasil pengujian statistik yang menghasilkan asset composition yang memiliki
koefisien sebesar 3,454 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,291 (p value >
0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak. Secara empiris
terdapat argumentasi bahwa hal tersebut terjadi akibat perbedaan sampel yang
digunakan dengan perioda yang berbeda pula. Soselisa dan Mukhlasin (2009)
dalam penelitiannya menggunakan daftar sanksi yang dikeluarkan oleh Bapepam
untuk mengidentifikasi perusahaan manufaktur yang melakukan kecurangan
akuntansi (fraud firm) perioda 2003 – 2007.
5.1 Simpulan
1. Melalui pengujian statistik deskriptif, abnormal perusahaan food and
beverages memiliki kecenderungan manajemen laba hanya melalui biaya
produksi dengan nilai mean sebesar 0,39343193.
2. Financial leverage secara statistis menghasilkan koefisien positif sebesar
0,644 dengan nilai signifikansi sebesar 0,324. Hasil tersebut menyatakan
apabila financial leverage mengalami kenaikan sebesar 1, maka log of odds
kecenderungan kecurangan akuntansi akan naik sebesar 0,644 dengan
asumsi variabel lain adalah konstan. Jadi dapat disimpulkan bahwa financial
leverage berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
maka hipotesis ditolak. Perusahaan yang memiliki financial leverage yang
tinggi tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan pemindahan laba
atau motivasi debt convenant hypothesis (Widyastuti, 2009).
3. Asset composition secara statistis menghasilkan koefisien positif sebesar
3,454 dengan nilai signifikansi sebesar 0,291. Hasil tersebut menyatakan
apabila asset composition mengalami kenaikan sebesar 1, maka log of odds
kecenderungan kecurangan akuntansi akan naik sebesar 3,454 dengan
asumsi variabel lain adalah konstan. Jadi dapat disimpulkan bahwa asset
composition berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan
30
akuntansi maka hipotesis ditolak. Perusahaan yang memiliki asset
composition yang tinggi tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan
overstatement pada piutang maupun sediaannya (Feroz et al, 1991).
4. Asset turnover secara statistis menghasilkan koefisien positif sebesar 2,267
dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hasil tersebut menyatakan apabila
asset turnover mengalami kenaikan sebesar 1, maka log of odds
kecenderungan kecurangan akuntansi akan naik sebesar 2,267 dengan
asumsi variabel lain adalah konstan. Jadi dapat disimpulkan bahwa asset
turnover berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi
maka hipotesis diterima. Perusahaan yang memiliki asset composition yang
tinggi tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan salah saji pada
penjualannya (Beneish, 1999).
5.2 Keterbatasan Penelitian
Berikut ini beberapa keterbatasan penelitian yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya:
1. Tidak didapatkannya daftar sanksi fraud firm Bapepam jadi sampel penelitian
hanya terbatas pada perusahaan food and beverages yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia sehingga kemungkinan kesimpulan penelitian ini tidak akan
berlaku untuk perusahaan manufaktur secara keseluruhan dan pada perioda
waktu yang berbeda.
2. Variabel independen dalam penelitian ini hanya dapat menjelaskan 42,2 %
saja, sehingga variabel independen dalam penelitian ini belum dapat
menjelaskan secara keseluruhan.
5.3 Saran
1. Melakukan penelitian dengan menguji industri lain yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat
dan menunjukkan apakah penelitian dapat memberikan hasil yang berbeda.
2. Menambahkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kecenderungan
kecurangan akuntansi.