14
BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015 Acute Febrile Illness Susila Utama, Tuti Parwati Merati Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Acute febrile illness (penyakit demam akut) terjadi sekitar 20-25% dari rawat inap di Indonesia dan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Demam dapat dikaitkan dengan penyakit menular. Namun di negara-negara berkembang keadaan klinis demam biasanya terkait dengan etiologi infeksi. Meskipun beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari penyebab spesifik agen penyakit menular seperti demam berdarah, diare, atau penyakit influenza. Penelitian skala besar untuk mengidentifikasi penyebab penyakit demam di Indonesia belum dilakukan. Untuk mengidentifikasi etiologi penyakit menular, ada beberapa pemeriksaan penunjang yang akan diperlukan seperti pemeriksaan mikroskopis, kultur bakteri dan virus, molekul, antigen atau tes antibodi. Dokter sering membuat diagnosa hanya pada keadaan klinis, dimana diagnostik laboratorium masih kurang. Hal ini dikarenakan biaya pemeriksaan yang tinggi dalam melakukan pengujian diagnostik khusus, atau ketidakmampuan mayoritas pasien untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan manajemen klinis yang tidak pantas dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional, yang dapat berkontribusi untuk meningkatkan resistensi obat. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi penyakit demam dalam berbagai konteks di Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui etiologi penyakit demam akut dan menggambarkan profil klinis penyakit demam akut. Tahun 1971-1972 oleh Anderson et al, dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan serologis dari pasien rawat inap dengan penyakit demam yang belum jelas penyebabnya . Dari hasil pemeriksaan tersebut infeksi Salmonella dan arbovirus menjadi etiologi utama yang paling banyak ditemukan, sedangkan leptospira, rickettsia, brucella dan infeksi toksoplasma ditemukan hanya pada beberapa pasien. Pada tahun 1978 oleh Olson et al, dilakukan Studi lain di Klaten, Jawa Tengah dan ditemukan alphavirus dan flavivirus sebagai etiologi demam. Pada tahun 1995, Suharti dkk menemukan bahwa dengue terdiri hanya 49% dari total klinis dicurigai kasus DBD di Semarang, Jawa Tengah. Etiologi lainnya termasuk rickettsia, hantavirus, leptospira, rubella, chikungunya, dan influenza. Pada tahun 2002-2003, Vollaard et al ditemukan tingginya prevalensi SalmonelIa typhi dan infeksi parathyphi (9% dan 3%) yang dikonfirmasi dengan kultur bakteri, pada pasien demam rawat jalan dan rawat inap di Jakarta. Pada tahun 2005-2006, Gasem dkk. menekankan pentingnya mempertimbangkan leptospira dan rickettsia infeksi pada pasien dengan demam akut di pusat-pusat kesehatan primer dan rumah sakit di Semarang. Selama periode yang sama

Acute Febrile Illness Susila Utama, Tuti Parwati Merati ... · BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015 Acute Febrile Illness Susila Utama, Tuti Parwati Merati

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    Acute Febrile Illness

    Susila Utama, Tuti Parwati Merati

    Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi

    Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

    Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

    PENDAHULUAN

    Acute febrile illness (penyakit demam akut) terjadi sekitar 20-25% dari rawat inap di

    Indonesia dan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Demam dapat

    dikaitkan dengan penyakit menular. Namun di negara-negara berkembang keadaan klinis

    demam biasanya terkait dengan etiologi infeksi. Meskipun beberapa penelitian telah

    dilakukan untuk mempelajari penyebab spesifik agen penyakit menular seperti demam

    berdarah, diare, atau penyakit influenza. Penelitian skala besar untuk mengidentifikasi

    penyebab penyakit demam di Indonesia belum dilakukan. Untuk mengidentifikasi etiologi

    penyakit menular, ada beberapa pemeriksaan penunjang yang akan diperlukan seperti

    pemeriksaan mikroskopis, kultur bakteri dan virus, molekul, antigen atau tes antibodi.

    Dokter sering membuat diagnosa hanya pada keadaan klinis, dimana diagnostik

    laboratorium masih kurang. Hal ini dikarenakan biaya pemeriksaan yang tinggi dalam

    melakukan pengujian diagnostik khusus, atau ketidakmampuan mayoritas pasien untuk

    melakukan pemeriksaan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan manajemen klinis yang

    tidak pantas dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional, yang dapat berkontribusi

    untuk meningkatkan resistensi obat. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

    mengevaluasi penyakit demam dalam berbagai konteks di Indonesia. Adapun tujuan dari

    penelitian ini yaitu untuk mengetahui etiologi penyakit demam akut dan menggambarkan

    profil klinis penyakit demam akut. Tahun 1971-1972 oleh Anderson et al, dilakukan

    pengambilan spesimen untuk pemeriksaan serologis dari pasien rawat inap dengan

    penyakit demam yang belum jelas penyebabnya . Dari hasil pemeriksaan tersebut infeksi

    Salmonella dan arbovirus menjadi etiologi utama yang paling banyak ditemukan,

    sedangkan leptospira, rickettsia, brucella dan infeksi toksoplasma ditemukan hanya pada

    beberapa pasien. Pada tahun 1978 oleh Olson et al, dilakukan Studi lain di Klaten, Jawa

    Tengah dan ditemukan alphavirus dan flavivirus sebagai etiologi demam. Pada tahun

    1995, Suharti dkk menemukan bahwa dengue terdiri hanya 49% dari total klinis dicurigai

    kasus DBD di Semarang, Jawa Tengah. Etiologi lainnya termasuk rickettsia, hantavirus,

    leptospira, rubella, chikungunya, dan influenza. Pada tahun 2002-2003, Vollaard et al

    ditemukan tingginya prevalensi SalmonelIa typhi dan infeksi parathyphi (9% dan 3%) yang

    dikonfirmasi dengan kultur bakteri, pada pasien demam rawat jalan dan rawat inap di

    Jakarta. Pada tahun 2005-2006, Gasem dkk. menekankan pentingnya

    mempertimbangkan leptospira dan rickettsia infeksi pada pasien dengan demam akut di

    pusat-pusat kesehatan primer dan rumah sakit di Semarang. Selama periode yang sama

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    Suwandono et al, menegaskan bahwa dengue harus dipantau secara hati-hati, karena

    memberikan kontribusi 15% dari penyakit demam akut pada pasien yang melakukan

    perawatan di fasilitas kesehatan primer di Jakarta. Chikungunya memiliki prevalensi yang

    sama, tetapi tidak ada bukti dari endemisitas. Pada tahun 2000-2008 oleh Alisjahbana et

    al, sebuah studi observasional yang dilakukan pada pasien dewasa. Dalam studi tersebut

    didapatkan hasil etiologi demam yang berbeda-beda, masing-masing dengan proporsi:

    dengue 12%, influenza 10%, chikungunya 8%, dan tifus 2,4%. Tidak seperti di Jakarta,

    kasus chikungunya di Bandung ditemukan sepanjang tahun. Studi-studi ini dan surveilans

    influenza nasional juga terdeteksi dan muncul agen infeksi seperti virus zika di Klaten,

    hantavirus di Semarang dan Bandung, dan influenza subtipe H5N1 di banyak daerah.

    Meskipun sudah banyak studi yang telah dilakukan, namun sebagian besar kasus masih

    belum ditemukan etiologinya dengan pasti. Menurut Ellis et al., Leelarasamee et al, Brown

    et al, etiologi yang paling sering ditemukan pada studi ini juga merupakan etiologi atau

    agen penting yang ditemukan di Thailand, Myanmar, perbatasan Thailand dan Malaysia.

    ACUTE FEBRILE ILLNESS

    Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang

    berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand,

    2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat

    dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau

    axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010).

    Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia

    adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien

    dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan

    sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).

    Demam adalah keluhan utama yang umum di negara berkembang. Karena tinggi

    prevalensi penyakit demam maka dibutuhkan diagnosa diferensial untuk membedakan

    penyakit demam akut (AFI). Penyakit demam akut didefinisikan sebagai akut timbulnya

    demam (demam lebih dari 38 derajat Celsius berlangsung selama kurang dari 2 minggu)

    dan tidak ada penyebab yang jelas berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan

    fisik(Kashinkunti MD et al,2010).

    Penyakit demam akut adalah sindrom yang timbul dari berbagai penyebab

    diantaranya infeks saluran pernafasan atas, infeksi saluran pernafasan bagian bawah,

    diare, infeksi saluran kencing, influenza, thypoid, leptospirosis, riketsia, malaria, dan

    penyebeb lainnya.

    Tahun 1971-1972 oleh Anderson et al, dilakukan pengambilan spesimen untuk

    pemeriksaan serologis dari pasien rawat inap dengan penyakit demam yang belum jelas

    penyebabnya . Dari hasil pemeriksaan tersebut infeksi Salmonella dan arbovirus menjadi

    etiologi utama yang paling banyak ditemukan, sedangkan leptospira, rickettsia, brucella

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    dan infeksi toksoplasma ditemukan hanya pada beberapa pasien. Pada tahun 1978 oleh

    Olson et al, dilakukan Studi lain di Klaten, Jawa Tengah dan ditemukan alphavirus dan

    flavivirus sebagai etiologi demam. Pada tahun 1995, Suharti dkk menemukan bahwa

    dengue terdiri hanya 49% dari total klinis dicurigai kasus DBD di Semarang, Jawa Tengah.

    Etiologi lainnya termasuk rickettsia, hantavirus, leptospira, rubella, chikungunya, dan

    influenza.

    Pada tahun 2002-2003, Vollaard et al ditemukan tingginya prevalensi SalmonelIa

    typhi dan infeksi parathyphi (9% dan 3%) yang dikonfirmasi dengan kultur bakteri, pada

    pasien demam rawat jalan dan rawat inap di Jakarta. Pada tahun 2005-2006, Gasem dkk.

    menekankan pentingnya mempertimbangkan leptospira dan rickettsia infeksi pada pasien

    dengan demam akut di pusat-pusat kesehatan primer dan rumah sakit di Semarang.

    Selama periode yang sama Suwandono et al, menegaskan bahwa dengue harus

    dipantau secara hati-hati, karena memberikan kontribusi 15% dari penyakit demam akut

    pada pasien yang melakukan perawatan di fasilitas kesehatan primer di Jakarta.

    Chikungunya memiliki prevalensi yang sama, tetapi tidak ada bukti dari endemisitas. Pada

    tahun 2000-2008 oleh Alisjahbana et al, sebuah studi observasional yang dilakukan pada

    pasien dewasa. Dalam studi tersebut didapatkan hasil etiologi demam yang berbeda-

    beda, masing-masing dengan proporsi: dengue 12%, influenza 10%, chikungunya 8%,

    dan tifus 2,4%. Tidak seperti di Jakarta, kasus chikungunya di Bandung ditemukan

    sepanjang tahun. Studi-studi ini dan surveilans influenza nasional juga terdeteksi dan

    muncul agen infeksi seperti virus zika di Klaten, hantavirus di Semarang dan Bandung,

    dan influenza subtipe H5N1 di banyak daerah. Meskipun sudah banyak studi yang telah

    dilakukan, namun sebagian besar kasus masih belum ditemukan etiologinya dengan pasti.

    Menurut Ellis et al., Leelarasamee et al, Brown et al, etiologi yang paling sering ditemukan

    pada studi ini juga merupakan etiologi atau agen penting yang ditemukan di Thailand,

    Myanmar, perbatasaThailand dan Malaysia.

    Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam

    akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi

    bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain

    pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,

    bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih,

    dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam

    antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya,

    dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya

    menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis,

    2011). Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria,

    toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).

    Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain

    faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh

    gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll),

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-

    obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu

    anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian

    imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor

    non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan

    otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan,

    2009).

    Pada tahun 2010 Kashinkunti MD et al, melakukan penelitian observasional

    prospektif selama satu tahun pada pasien dewasa (usia > 16 tahun) rawat inap di Rumah

    Sakit tersier Karnataka dengan lama demam < 15 hari. Adapun tujuan dari penelitian ini

    yaitu untuk mengetahui etiologi penyakit demam akut dan menggambarkan profil klinis

    penyakit demam akut. Penelitian ini dilakukan pada 100 pasien rawat inap. Data

    dikumpulkan untuk mengidentifikasi jenis kelamin, rentang usia dan lamanya demam.

    Penegakkan diagnosis dilakukan dengan pendekatan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

    laboratorium. Pemeriksaan Kultur darah, parasit malaria dan serologi demam dilakukan.

    Adapun hasil yang ditemuakan dari penelitian ini adalah : scrub typhus (33%), demam

    berdarah (25%), demam enterik (14%), malaria (8,0%), melihat demam rickettsiosis

    (6,0%), H1N1 (5.0%), dan diagnosa tidak jelas (9,0%) (Kashinkunti MD et al,2010).

    Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Mesir menunjukkan bahwa infeksi, seperti

    salmonellosis (5%), demam tifoid (18%), dan brucellosis (11%), adalah penyebab umum

    dari AFI. Di Amerika Selatan, infeksi dengan Leptospira, malaria, Rickettsia, virus dengue,

    dan Venezuela kuda virus ensefalitis diidentifikasi sebagai penyebab utama AFI. Di

    beberapa daerah, seperti sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara, penelitian rumah sakit

    berbasis sanitasi telah dibentuk untuk mendapatkan data klinis dan kesehatan masyarakat

    tentang penyebab AFI sepanjang tahun dan untuk mengidentifikasi pola kerentanan dan

    prediktor klinis. Penyebab dengue tidak pasti, meskipun diyakini sebagai penyebab

    substansial seluruh daerah tropis. Kurangnya informasi tentang etiologi spesifik yang

    membentuk diagnosis demam berdarah memperlambat kemampuan kita untuk membuat

    diagnosis yang akurat, memberikan pengobatan yang efektif, dan efektif menargetkan

    langkah-langkah kesehatan masyarakat (Mali et al,2011)

    Diagnosis penyakit menular, mirip dengan penyakit lain didasarkan pada

    anamnesis, pemeriksaan, dasar investigasi dan konfirmasi diagnostik. Namun

    perbedaannya dalam presentasi klinis berdasarkan evolusi agen atau faktor host etiologi,

    risiko eksposur untuk agen re-emerging atau muncul karena kegiatan dan perjalanan

    manusia sehingga menimbulkan tantangan besar pada penegakan diagnosis tepat waktu

    terhadap penyakit ini . Tumpang tindih yang signifikan dari gejala, tanda dan parameter

    laboratorium dasar penyakit tropis akan menambah tantangan dalam menegakkan

    diagnosis. Meskipun konfirmasi diagnostik wajib dalam menegakkan diagnosis definitif

    demam tropis, namun didalam penerapannya ditemukan ketidaktersediaan atau tidak

    terdapat aksesibilitas sehingga menyebabkan pendekatan berbasis klinis untuk diagnosis

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    dugaan penyakit demam. Pendekatan tersebut dapat menyebabkan tidak memadai

    evaluasi klinis, keterlambatan dalam diagnosis, penggunaan antibiotik yang tidak rasional,

    serta meningkatnya morbiditas dan mortalitas (Premaratna R,2013).

    Tipe-tipe Demam

    Jenis Demam Penjelasan

    Demam septik

    Demam hektik

    Pada demam ini, suhu badan berangsur naik

    ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari

    dan turun kembali ke

    Demam remiten

    Pada demam ini, suhu badan dapat turun

    setiap hari tetapi tidak pernah mencapai

    suhu normal

    Demam intermiten

    Pada demam ini, suhu badan turun ke

    tingkat yang normal selama beberapa jam

    dalam satu hari

    Demam Kontinyu

    Pada demam ini, terdapat variasi suhu

    sepanjang hari yang tidak berbeda lebih dari

    satu derajat

    Demam Siklik

    Pada demam ini, kenaikan suhu badan

    selama beberapa hari yang diikuti oleh

    periode bebas demam untuk beberapa hari

    yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu

    seperti semula

    (Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)

    Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.

    Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen

    eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen

    adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu

    pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri

    gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen

    yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6,

    TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit,

    neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika

    terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).

    Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah put ih (monosit,

    limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau

    reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal

    dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen

    endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin

    (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan

    patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu

    mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi

    kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan

    produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan

    menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).

    Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase

    kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh

    yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang

    berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan

    menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi

    panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga

    yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi

    pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga

    tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).

    AFIRE STUDY

    Penelitian AFIRE adalah penelitian yang menggunakan metode observasional

    kohort yang dilakukan pada pasien demam yang dirawat inap. Jumlah total sampel yang

    dibutuhkan adalah 1600, yang terdiri dari 100 subjek dewasa dan 100 subjek anak

    masing-masing disetiap site, dimana terdapat delapan site yang bergabung dalam

    penelitian ini. Populasi dari penelitian ini terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berusia

    lebih atau sama dengan satu tahun. Periode perekrutan subjek selama 1 tahun untuk

    mengumpulkan data demografi, riwayat penyakit, tanda dan gejala, hasil tes laboratorium,

    klinis, pengobatan dan hasil. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk

    mengidentifikasi etiologi kasus penyakit demam akut dan mengevaluasi manifestasi klinis

    dan hasil. Selain itu, tujuan sekunder penelitian ini untuk menyediakan data klinis yang

    penting untuk meningkatkan dan / atau mengembangkan manajemen dan kesehatan

    kebijakan klinis, untuk meningkatkan kapasitas penelitian dan jaringan untuk penyakit

    menular di Indonesia dengan meningkatkan kemampuan peneliti klinis site dalam

    melakukan penelitian yang relevan dengan kesehatan masyarakat, dan untuk

    membangun repositori spesimen biologi untuk studi di masa depan, seperti menentukan

    etiologi demam tidak terdiagnosis dan / atau patogenisitas dan pentingnya kesehatan

    publik.

    Sampai dengan saat ini, total skrining dan enroll subjek berdasarkan data nasional

    masing-masing adalah 4036 subjek dan 1170 subjek. Total subjek yang sudah dianalisa

    adalah 826subjek yang terdiri dari hasil laboratorium yang terkonfirmasi sejumlah 403

    subjek (48,7%) dan yang tidak terkonfirmasi sejumlah 423 subjek (51,3%).

    Berdasarkan data lokal dari RSUP Sanglah (site 520), didapatkan jumlah total

    skrining subjek dari bulan Juli 2013 sampai dengan November 2015 adalah 1145 subjek

    yang terdiri dari 748 subjek dewasa dan 397 subjek anak. Total enroll subjek adalah 177

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    subjek yang terdiri dari 129 subjek dewasa dan 48 subjek anak. Sedangkan data

    diagnosis klinik yang didapatkan berdasarkan data laboratorium dan pemeriksaan fisik

    yang paling banyak adalah infeksi dengue (65), kemudian masing diikuti oleh infeksi

    saluran pernapasan(34), typhoid(30), infeksi saluran pencernaan(22), dan malaria(1).Total

    data laboratorium yang terkonfirmasi adalah 95 subjek (53%), yang terdiri dari

    pemeriksaan serologi 68 subjek (38%) (virus 39 subjek dan bakteri 29 subjek),

    pemeriksaan kultur 14 subjek (8%) (bakteri 11 subjek dan jamur 3 subjek), pemeriksaan

    serologi dan kultur 5 subjek (3%) (bakeri 4 subjek, bakteri dan virus 1 subjek),

    pemeriksaan antigen 3 subjek (1%) (virus 2 subjek dan parasit 1 subjek), pemeriksaan

    mikroskopis 5 subjek (3%) (amoeba 5 subjek). Sedangkan total data laboratorium yang

    tidak terkonfirmasi adalah 82 subjek (47%). Adapun hasil pengaruh pemberian antibiotik

    terhadap pemeriksaan kultur darah: pemberian antibiotik sebelum kultur darah ditemukan

    positif pada 4 subjek, sedangkan pemberian antibiotik setelah kultur darah adalah positif

    pada 9 subjek. Subjek yang tidak mendapat antibiotik sebelum dan sesudah kultur darah,

    ternyata hasil kultur yang positif lebih banyak (17 subjek).

    KESIMPULAN

    Demam akut adalah kasus yang sering ditemukan dalam praktek klinis sehari hari

    dimana etiologinya sangat bervariasi. Studi AFIRE bertujuan mengetahui etiologi demam

    akut yang memerlukan rawat inap di rumah sakit, melibatkan 1600 subjek dengan 8 site

    masih berlangsung. Hasil sementara di site 520 (Denpasar) didapatkan penyebab demam

    akut terbanyak adalah infeksi dengue, infeksi saluran pernafasan dan demam tifoid.

    DAFTAR RUJUKAN

    1. Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of

    Midwestern University. Available from:

    http://emedicine.medscape.com/article/801598-overview. [Updated 20 May 2010]

    2. http://www.ina-respond.com (Acute Febrile Illness Riquering Hospitalization)

    3. Jenson, H.B., and Baltimore, R.S., 2007. Infectious Disease: Fever without a focus.

    In: Kliegman, R.M., Marcdante, K.J., Jenson, H.B., and Behrman, R.E., ed. Nelson

    Essentials of Pediatrics. 5th ed. New York: Elsevier, 459- 461.

    4. Kaneshiro, N.K., and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington. Available

    from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm. [Updated 29

    January 2010]

    5. Kashinkunti MD, Gundikeri SK, Dhananjaya M: Acute undifferentiated febrile

    illness- clinical spectrum and outcome from a tertiary care teaching hospital

    of north Karnataka. Int J Biol Med Res. 2013; 4(2) :3399- 3402

    http://www.ina-respond.com/

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

    6. Matthew R. Kasper,* Patrick J. Blair, Sok Touch, Buth Sokhal, Chadwick Y.

    Yasuda, Maya Williams,Allen L. Richards, Timothy H. Burgess, Thomas F. Wierzba,

    and Shannon D. Putnam: Infectious Etiologies of Acute Febrile Illness among

    Patients SeekingHealth Care in South-Central Cambodia. Am. J. Trop. Med.

    Hyg.,86(2), 2012, pp. 246–253doi:10.4269/ajtmh.2012.11-0409

    7. Nelwan, R.H., 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo, A.W.,

    Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit

    Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2767-2768

    8. Premaratna R: Dealing with Acute Febrile Illness in the Resource Poor Tropics.

    Faculty of Medicine, Department of Medicine, University of Kelaniya, Sri LankaTrop

    Med Surg2013, 1:1

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015

  • BIDS-7 dan BAMHOI-3, Widhya Sabha, Denpasar 21 November 2015