Upload
anna-listyana-dewi
View
17
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bc
Citation preview
MOLUSKUM KONTAGIOSUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moluskum kontagiosum merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
Molluscum Contagiosum Virus (MCV); kelompok Pox Virus dari genus Molluscipox
virus. Molluscum Contagiosum Virus (MCV) merupakan virus double stranded
DNA, berbentuk lonjong dengan ukuran 230 x 330 nm. 3,4,10 Terdapat 4 subtipe utama
Molluscum Contagiosum Virus (MCV), yaitu MCV I, MCV II, MCV III dan MCV
IV. Keempat subtipe tersebut menimbulkan gejala klinis serupa berupa lesi papul
milier yang terbatas pada kulit dan membran mukosa . MCV I diketahui memiliki
prevalensi lebih besar dibandingkan ketiga subt ipe lain. Sekitar 96,6% infeksi
moluskum kontagiosum disebabkan oleh MCV I. Akan tetapi pada pasien dengan
penurunan status imun didapatkan prevalensi MCV II sebesar 60 %. Molluscum
Contagiosum Virus (MCV) merupakan imunogen yang lemah. Sekitar sepertiga
pasien tidak memproduksi antibodi terhadap MCV, sehingga seringkali didapatkan
serangan berulang. 1,3 Angka kejadian moluskum kontagiosum di seluruh dunia
diperkirakan sebesar 2% - 8%, dengan prevalensi 5% - 18% pada pasien HIV AIDS.
Moluskum kontagiosum bersifat endemis pada komunitas padat penduduk,
higiene buruk dan daerah miskin. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak, usia
dewasa dengan aktivitas seksual aktif dan status imunodefisiensi. Penularan dapat
melalui kontak langsung dengan lesi aktif atau autoinokulasi, penularan secara tidak
langsung melalui pemakaian bersama alat-alat pribadi seperti handuk, pisau cukur,
alat pemotong rambut serta penularan melalui kontak seksual . 1,2,3,4,5 Masa inkubasi
Moluskum kontagiosum didapatkan satu sampai beberapa minggu hingga 6 bulan.
Lesi berupa papulae miliar, asimtomatis, berbentuk kubah dengan delle, bila
dipijat mengeluarkan massa putih seperti butiran nasi. Tempat predileksi adalah
wajah, badan serta ekstremitas. Lesi jarang didapatkan pada daerah telapak tangan
dan telapak kaki. Pada orang dewasa lesi dapat pula ditemui di daerah perigenital dan
perianal. Hal ini berkaitan dengan penularan virus melalui hubungan seksual. Lesi
moluskum kontagiosum harus dapat dibedakan dengan verucca vulgaris, 2 kondiloma
akuminata, varisela, herpes simpleks, papiloma, syringoma dan tumor adneksa lain.1,3
Diagnosis moluskum kontagiosum pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan gejala klinis yang tampak. Pemeriksaan histopatologi melalui
biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis pada beberapa kasus dengan gejala
klinis tidak khas. 3 Pemeriksaan histopatologi moluskum kontagiosum menunjukkan
gambaran proliferasi sel-sel stratum spinosum yang membentuk lobulus disertai
central cellular dan viral debris. Lobulus intraepidermal dipisahkan oleh septa
jaringan ikat dan didapatkan badan moluskum di dalam lobulus; berupa sel berbentuk
bulat atau lonjong yang mengalami degenerasi keratohialin. 2 Pada stratum basalis
dijumpai gambaran mitosis sel dengan pembesaran nukleus basofilik. Pada fase lanjut
dapat ditemui sel yang mengalami proses vakuolisasi sitoplasmik dan didapatkan
globi eosinofilik. Beberapa kasus lesi moluskum kontagiosum dengan infeksi
sekunder, didapatkan gambaran inflamasi predominan limfosit dan neutrofil pada
pemeriksaan histopatologi. 1,5,10,11
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini antara lain adalah untuk memperoleh informasi
ilmiah tentang Moluskum Kontagiosum dan untuk memenuhi salah satu syarat
penilaian pada masa kepaniteraan klinik pada stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta di RSUD Karanganyar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Moluskum kontagiosum merupakan suatu penyakit infeksi virus pada
kulit yang disebabkan oleh virus golongan poxvirus genus Molluscipox dengan
wujud klinis berupa benjolan pada kulit atau papul-papul multiple yang
berumbilikasi di tengah, mengandung badan moluskum, serta dapat sembuh
dengan sendirinya. 1
B. Epidemiologi
Moluskum kontagiosum dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di
negara tropis. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak. Biasanya pada
dewasa oleh karena hubungan seksual. Media penularan penyakit ini melalui
kontak langsung. Penyakit ini menyebar dengan cepat pada suatu komunitas yang
padat dengan higienitas yang kurang. 2
Pada negara tropis, insiden paling tinggi pada anak-anak dengan rentang
usia 2 dan 3 tahun. Sedangkan pada negara maju, biasanya pada anak-anak
sekolah karena penggunaan kolam renang yang bersama-sama. Studi di Jepang
pada tahun 2008, menyatakan bahwa terdapat 7000 anak terserang moluskum
kontagiosum dengan 75% di antaranya memiliki riwayat penggunaan kolam
renang bersama. 2,3 Di Amerika Serikat, pada tahun 2003, hanya ditemukan 5%
anak-anak yang terkena moluskum kontagiosum, dan kira-kira antara 5-20%
menyerang dewasa dengan AIDS. 1
C. Etiologi
Moluskum kontagiosum disebabkan oleh suatu virus dari golongan
poxvirus. Dalam taksonomi, virus ini termasuk dalam ordo Poxviridae, famili
Chordopoxvirinae, genus Molluscipox virus, spesies Molluscum contagiosum
virus (MOCV). Virus ini termasuk golongan double strained DNA (dsDNA).
Virion dari MOCV ditemukan dengan struktur beramplop, berbentuk
seperti bata dengan ukuran 320x250x200 nm. Partikel virus ini terdiri dari 2
bentuk infeksius yang berbeda, yaitu internal mature virus (IMV) dan external
enveloped virus (EEV).
Virus ini memiliki struktur genome linier, dengan dsDNA kira-kira 190
kB, genome linier diapit degan sekuens inverted terminal repeat (ITR) yang
secara kovalen saling terikat pada ujung-ujungnya.
Proses replikasi virus ini terjadi di sitoplasma. Virus akan menyisip ke
glycosaminoglycans (GAGs) pada permukaan sel target atau oleh komponen
matriks ekstraseluler, kemudian memicu fusi membran, dan melepaskan inti
virus ke dalam sitoplasma. Pada fase awal, gen awal ditranskripsi di sitoplasma
oleh polymerase RNA virus, ekspresi gen awal akan terbentuk 30 menit
pascainfeksi. Ekspresi paling akhir adalah tidak terselubungnya inti virus dan
genom virus sekarang sudah benar-benar bebas di sitoplasma. Fase intermediet,
gen intermediet akan diekspresikan di sitoplasma, memicu terjadinya replikasi
DNA genom kira-kira 100 menit pascainfeksi. Dan yang terakhir adalah fase
akhir, gen akhir diekspresikan dalam waktu 140 menit sampai dengan 48 jam
pascainfeksi, memproduksi struktur protein virus lengkap.
Pembentukan virion progenik dimulai saat terdapat penyatuan antara
membran internal sel yang terinfeksi, dan menghasilkan partikel sferis imatur.
Partikel ini kemudian menjadi matur dengan menjadi struktur IMV yang
menyerupai bata. Virion IMV dapat dilepas melalui lisisnya sel, kemudian dapat
memperoleh membran dobel kedua dari trans-Golgi dan tunas yang kemudian
dikenal sebagai EEV. 4
Menurut subtipe MOCV, terdapat 4 subtipe, yaitu MOCV I, MOCV II,
MOCV III, dan MOCV IV. Subtipe MOCV I yang lebih sering menyebabkan
infeksi, kira-kira sekitar 75-90%. Sedangkan MOCV II, III, dan IV akan
menyebabkan moluskum kontagiosum jika pada orang-orang dengan keadaan
imunitas immunocompromised. 1
D. Penularan
Secara umum, memang penularan moluksum kontagiosum adalah melalui
kontak langsung dari orang ke orang melalui barang-barang, seperti misalnya
pakaian, handuk, alat cuci atau alat mandi. Selain itu, moluskum kontagiosum
juga dapat ditularkan melalui kontak olahraga. Saat seseorang menyentuh lesi di
suatu bagian tubuh, kemudian dia menyentuhkannya ke bagian tubuh lainnya,
makanya akan dapat menyebarkan MOCV juga, proses ini disebut sebagai
autoinokulasi. Jika yang terkena adalah daerah wajah, saat mencukur kumis atau
jenggot juga dapat menyebarkan virus. Meskipun penularannya secara umum
tergolong rendah, tetapi tidak diketahui berapa lama seseorang yang terinfeksi
dapat menularkan atau menyebarkan virus tersebut. 3 Tungau juga bisa menjadi
kemungkinan penyebaran virus penyebab moluskum kontagiosum. 1
Jika terdapat suatu kejadian luar biasa atau wabah moluskum
kontagiosum, maka perlu diperhatikan beberapa kemungkinan penularannya,
yaitu :
1. Kolam renang
2. Kontak saat olahraga (misalnya gulat)
3. Proses pembedahan (tangan seorang ahli bedah yang terkena moluskum
kontagiosum)
4. Proses tato (jarang)
5. Hubungan seksual; lesi moluskum kontagiosum oleh karena hubungan
seksual biasanya berkembang dalam jangka waktu 2-3 bulan
setelahnya. Jika ada anak-anak dengan lesi moluskum kontagiosum di
daerah genital, maka bisa curiga ke arah kekerasan seksual pada anak.
E. Patogenesis
Inkubasi rata-rata moluskum kontagiosum adalah 2-7 minggu, dengan
kisaran ekstrim sampai 6 bulan. Infeksi dan infestasi MOCV menyebabkan
hyperplasia dan hipertrofi epidermis. Inti virus bebas dapat ditemukan pada
epidermis. Jadi pabrik MOCV berlokasi di lapisan sel granular dan malphigi.
Badan moluskum banyak mengandung virion MOCV matur yang banyak
mengandung struktur collagen-lipid-rich saclike intraseluler yang diduga
berperan penting dalam mencegah reaksi sistem imun host untuk mengenalinya.
Ruptur dan pecahnya sel yang mengandung virus terjadi pada bagian tengah lesi.
MOCV menimbulkan tumor jinak selain juga menyebabkan lesi pox nekrotik. 1
F. Manifestasi Klinis
Pada kulit akan tampak lesi umbilikata yang multipel. Lesi tersebut papul
berbatas tegas, licin, dan berbentuk kubah (dome shaped) sewarna kulit. Ukuran
papul bervariasi dari 2-6 milimeter. Di bagian tengah lesi, biasanya terdapat
lekukan (delle) kecil, berisi bahan seperti nasi dan berwarna putih yang
merupakan cirri khas dari moluskum kontagiosum.
Benjolan biasanya tidak terasa gatal, tidak terasa nyeri. Namun papul bisa
meradang, misalnya karena garukan, sehigga teraba hangat dan berwarna
kemerahan. Jika terjadi infeksi sekunder, bisa terjadi supurasi. Lokasi bisa di
wajah, badan, kadang-kadang pada perut, bagian bawah perut, dan genitalia. 1
Pasien anak dengan dermatitis atopik, 10% mengalami moluskum
kontagiosum, dan bisa mengalami perluasan. Namun, prevalensi moluskum
kontagiosum pada anak dengan dermatitis atopik, memiliki hubungan langsung
yang rendah. Walaupun luas daerah yang terkena moluskum kontagiosum pada
anak dengan dermatitis atopik lebih besar dibandingkan dengan anak tanpa
dermatitis atopik, tetapi dalam suatu penelitian Seize, dkk tidak ada hubungan
yang signifikan secara statistik. 5
G. Dermatopatologi
Gambaran histopatologi pada sediaan kulit dengan moluskum
kontagiosum adalah proliferasi sel-sel stratum spinosum membentuk lobuli.
Lobuli dipisahkan oleh septa jaringan ikat, di dalamnya terdapat badan
moluskum berupa sel-sel bulat atau lonjong yang berbentuk seperti telur,
berdinding licin homogen. Sediaan diambil pada inti sentral yang paling tebal,
kemudian diwarnai dengan Giemsa, Gram, atau Wright, atau Papanicolaou. 1
H. Diagnosis Banding
1. Veruka vulgaris : vegetasi lentikular, permukaan kasar, kering, warna
keabu-abuan, kulit di sekitarnya tidak meradang
2. Keratoakantoma : biasanya nodula-nodula keras, pada bagian tengah
didapati sumbatan keratin, bisa ditemukan di wajah, telinga, punggung,
dan tangan.
I. Penatalaksanaan
Moluskum kontagiosum adalah penyakit infeksi virus yang dapat sembuh
spontan. Pada kelompok pasien imunokompeten jarang ditemui lesi moluskum
kontagiosum bertahan lebih dari 2 bulan. Terapi untuk memperbaiki gejala yang
timbul diperlukan pada beberapa pasien dengan penurunan status imun, dimana
didapatkan lesi ekstensif dan persisten.1 Pemberian terapi dilakukan berdasarkan
beberapa pertimbangan meliputi kebutuhan pasien, rekurensi penyakit serta
kecenderungan pengobatan yang meninggalkan lesi pigmentasi atau jaringan
parut. Sebagian besar pengobatan moluskum kontagiosum bersifat traumatis pada
lesi. Pilihan terapi terbaru mencakup pemberian antivirus dan agen
imunomodulator. 1,3 Berikut ini merupakan beberapa pilihan terapi yang umum
digunakan dalam penatalaksanaan moluskum kontagiosum.
1. Bedah Beku (Cryosurgery)
Merupakan salah satu terapi yang umum dan efisien digunakan dalam
pengobatan moluskum kontagiosum, terutama pada lesi predileksi perianal
dan perigenital. Bahan yang digunakan adalah nitrogen cair . Aplikasi
menggunakan lidi kapas pada masing masing lesi selama 10-15 detik.
Pemberian terapi dapat diulang dengan interval 2-3 minggu. Efek samping
meliputi rasa nyeri saat pemberian terapi, erosi, ulserasi serta terbentuknya
jaringan parut hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi. 1,3,13
2. Eviserasi
Merupakan metode yang mudah untuk menghilangkan lesi dengan cara
mengeluarkan inti umbilikasi sentral melalui penggunaan instrumen seperti
skalpel, ekstraktor komedo dan jarum suntik. Penggunaan metode ini
mungkin tidak dapat ditoleransi oleh anak-anak. 1,3
3. Podofilin dan Podofilotoksin
Suspensi podofilin 25% dalam larutan benzoin atau alkohol dapat
diaplikasikan pada lesi dengan menggunakan lidi kapas, dibiarkan selama 1 -4
jam kemudian dilakukan pembilasan dengan menggunakan air bersih.
Pemberian terapi dapat diulang sekali seminggu. Terapi ini membutuhkan
perhatian khusus karena mengandung mutagen yaitu quercetin dan
kaempherol. Efek samping lokal akibat penggunaan bahan ini meliputi erosi
pada permukaan kulit normal serta timbulnya jaringan parut. Efek samping
sistemik akibat penggunaan secara luas pada permukaan mukosa berupa
neuropati saraf perifer, gangguan ginjal, ileus, leukopeni dan
trombositopenia. 3,5 Podofilotoksin merupakan alternatif yang lebih aman
dibandingkan podofilin. Sebanyak 0,05 ml podofilotoksin 5% diaplikasikan
pada lesi 2 kali sehari selama 3 hari. Kontraindikasi absolut kedua bahan ini
pada wanita hamil.3
4. Cantharidin
Merupakan agen keratolitik berupa larutan yang mengandung 0,9% collodian
dan acetone. Telah menunjukkan hasil memuaskan pada penanganan infeksi
Molluscum Contagiosum Virus (MCV). Pemberian bahan ini terbatas pada
puncak lesi serta didiamkan selama kurang lebih 4 jam sebelum lesi dicuci.
Cantharidin menginduksi lepuhan pada kulit sehingga perlu dilakukan tes
terlebih dahulu pada lesi sebelum digunakan. Bila pasien mampu menoleransi
bahan ini, terapi dapat diulang sekali seminggu sampai lesi hilang. Efek
samping pemberian terapi meliputi eritema, pruritus serta rasa nyeri dan
terbakar pada daerah lesi. Kontraindikasi penggunaan Cantharid in pada lesi
moluskum kontagiosum di daerah wajah. 1,3
5. Tretinoin
Tretinoin merupakan derivat vitamin A yang berfungsi sebagai agen anti
proliferasi sel. Krim tretinoin 0,1% digunakan pada penanganan moluskum
kontagiosum. Pemberian dengan cara dioleskan 2 kali sehari pada lesi.
Penyembuhan dilaporkan terjadi dalam waktu 11 hari setelah pemberian
terapi. Efek samping terapi berupa eritema pada daerah timbulnya lesi. Pilihan
lain menggunakan krim tretinoin 0,05% menunjukkan hasil yang memuaskan
dengan efek samping berupa iritasi ringan. 3,5
6. Cimetidine
Cimetidine merupakan antagonis reseptor histamin H 2 yang menstimulasi
reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Mekanisme kerja Cimetidine pada terapi
moluskum kontagiosum masih belun diketahui secara jelas. Sebuah studi
menunjukkan keberhasilan penggunaan cimetidine dosis 40 mg / kgBB / oral /
hari dosis terbagi dua pada pengobatan moluskum kontagiosum dengan lesi
ekstensif. Cimetidine berinteraksi dengan berbagai pengobatan sistemik lain,
sehingga perlu dilakukan anamnesis riwayat pengobatan pada pasien yang
akan mendapat terapi obat ini. 3,5
7. Larutan KOH
Larutan KOH 10% diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi dengan menggunakan
lidi kapas. Pemberian terapi dihentikan bila didapatkan respon inflamasi atau
timbul ulkus pada daerah lesi. Perbaikan lesi didapatkan setelah kurang lebih
30 hari pemberian terapi. Efek samping berupa pembentukan jaringan parut
hipertropik serta hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada daerah lesi.
Sebuah studi merekomendasikan penggunaan l arutan KOH 5% yang
memiliki efek samping minimal dalam pengobatan moluskum kontagiosum
pada anak -anak. 1,3
8. Pulsed Dye Laser
Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan modalitas terapi
pulsed dye laser pada lesi moluskum kontagiosum. Perbaikan l esi dicapai
dalam waktu 2 minggu setelah pemberian terapi tanpa disertai efek samping
yang berarti. Pulsed dye laser merupakan salah satu pilihan terapi yang efisien
namun memiliki kekurangan dari segi efektifitas biaya. 1,3
9. Imunomodulator
Penggunaan imunomodulator telah menjadi bagian dari pilihan terapi
moluskum kontagiosum. Pada pasien dengan gangguan fungsi imun dimana
didapatkan lesi ekstensif tersebar di seluruh tubuh, terapi lokal yang bersifat
destruktif dikatakan tidak efektif. Penggunaan imunomodulator telah
memberikan hasil memuaskan. 3 Imunomodulator topikal telah digunakan
pada bermacam kelainan kulit. Molekul imunomodulator topikal memiliki
kemampuan memodifikasi respon imun lokal pada kulit, bersifat stimulator
maupun supresor terhadap respon imun. Pemilihan preparat topikal didasarkan
pada beberapa alasan antara lain hasil terapi memuaskan, kemudahan aplikasi
serta tingkat keamanan lebih baik dibandingkan preparat sistemik.
Imunomodulator topikal terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu
imunomodulator steroid dan imunomodulator non -steroid. 6
Berikut ini adalah klasifikasi imunomodulator non -steroid topikal di bidang
dermatologi: 6
1. Macrolactum
a. Tacrolimus
b. Pimecrolimus
c. Sirolimus
d. Siklosporin2. Imunostimulator
a. Imiquimod
b. Resiquimod3. Imunomodulator non-steroid topikal yang umum digunakan pada terapi
moluskum kontagiosum adalah imiquimod. Imiquimod merupakan molekul
sintetik Imunomodulator lain:
- Calcipotriol
- Anthralin
- Zinc topikal
- Interferon topikal
- Interferon intralesi
4. Alergen kontak
- Dyphencyprone (DPC)
- Squaric Acid Dibutyl Ester (SADBE)
- Dinitrochlorobenzene (DNCB)
6 golongan imidazoquinoline amine. 6,8 Mekanisme kerja imiquimod masih
belum diketahui secara jelas. Pemberian imiqu imod secara topikal merangsang
respon imun seluler dan respon imun lokal melalui stimulasi monosit, makrofag
dan sel dendritik di jaringan perifer untuk memproduksi sitokin proinflamasi,
terutama interferon -α 1 (IFN-α 1), interferon-α 2 (IFN-α 2), interferon-α 5 (IFN-
α 5), interferon-α 6 (IFN-α6), interferon-α 8 (IFN-α 8), interleukin 12 (IL-12)
dan Tumor Necrosing Factor-α (TNF-α). Mekanisme tersebut merupakan
pertahanan alami primer terhadap infeksi virus. IFN-α akan menghambat respon
T helper 2 (Th2), s edangkan IL-12 dan TNF α menstimulasi respon T helper1
(Th1). Imiquimod diketahui berperan pula dalam meningkatkan maturasi dan
migrasi sel Langerhans fungsional yang berperan sebagai antigen presenting cell
pada jaringan epidermis kulit, menuju kelenjar l imfe regional. Keadaan ini
membuat respon imun yang diinduksi oleh imiquimod menjadi lebih spesifik
terhadap antigen tertentu. 9 Imiquimod tersedia dalam bentuk krim 1% dan 5%,
bermanfaat dalam penanganan kelainan infeksi maupun neoplasma dermatologi.
Imiquimod digunakan 3 kali / minggu pada malam hari sampai lesi hilang secara
menyeluruh atau selama maksimal 16 minggu. Dioleskan pada tiap lesi dan
didiamkan selama 6 -10 jam.1,5,8 Pemakaian krim imiquimod 5%, 5 hari dalam
seminggu selama 16 minggu memberikan perbaikan lesi pada 15 pasien anak
dengan moluskum kontagiosum. 8 Penelitian lain membandingkan krim
imiquimod 1% dengan placebo pada 100 pasien laki-laki moluskum
kontagiosum, didapatkan perbaikan lesi menyeluruh pada 86% pasien yang
mendapat terapi krim imiquimod 1%. Rekurensi lesi moluskum kontagiosum
terjadi 10 bulan setelah pemberian terakhir krim imiquimod 1% pada seorang
pasien. Penggunaan krim imiquimod secara umum cukup dapat ditoleransi. Efek
samping minimal berupa rasa gatal, nyeri dan terbaka r pada kulit. Pada beberapa
kasus pernah dilaporkan terjadinya efek samping berupa eritema, indurasi, erosi
dan ulkus. Efek samping sistemik berupa sakit nyeri kepala, nyeri otot dan flu
like symptoms didapatkan pada beberapa kasus. 6 Tidak didapatkan bukti
timbulnya efek samping sistemik maupun toksik pada anak -anak. 3
10. Antivirus
Antivirus yang umum digunakan dalam pengobatan moluskum kontagiosum
adalah Cidofovir. Cidofovir merupakan analog nukleosida deoxytidine 7
monophosphate yang memiliki aktivitas antivi rus terhadap sejumlah besar
DNA virus meliputi citomegalovirus (CMV), virus herpes simplex (HSV),
Human Papiloma Virus (HPV) dan Molluscum Contagiosum Virus (MCV). 5,14 Didalam tubuh host, cidofovir mengalami 2 fase fosforilasi melalui jalur
monofosfat kinase dan piruvat kinase. Melalui kedua fase fosforilasi tersebut
akan terbentuk cidofovir difosfat yang merupakan metabolit aktif cidofovir.
Cidofovir difosfat bekerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap DNA
polimerase virus sehingga mampu menghambat sint esis DNA virus. 14
Cidofovir tersedia dalam bentuk krim 3% , solusio intravena dan intralesi.
Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan cidofovir topikal
maupun injeksi intralesi pada pengobatan penyakit kulit yang disebabkan oleh
virus. Resolusi lesi moluskum contagiosum didapatkan 2 -6 minggu setelah
pemberian terapi.14 Sebuah laporan kasus menyebutkan efektifitas pemberian
krim cidofovir 3% sekali sehari selama 8 minggu pada pengobatan 2 penderita
moluskum kontagiosum anak dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).3 Meadows dkk melaporkan keberhasilan terapi krim cidofovir 3% dan
solusio cidofovir intravena pada 3 orang penderita HIV sero -positif disertai
moluskum kontagiosum dengan predileksi lesi di daerah wajah, badan,
ekstremitas dan perianal. Pemberian terapi cidofovir intravena pada 2 orang
pasien memberikan perbaikan lesi dalam waktu 2 bulan, sedangkan aplikasi
krim cidofovir 3% dua kali sehari selama 2 minggu pada seorang pasien
memberikan perbaikan lesi secara menyeluruh. 7 Cidofovir memiliki potensi
cukup baik dalam pengobatan moluskum kontagiosum, terutama pada pasien
dengan penurunan status imun. Akan tetapi kurangnya efektifitas dari segi
biaya memberikan batasan ter sendiri dalam pemilihan terapi.3 Sebuah artikel
menyebutkan harga krim cidofovir 3% adalah sebesar US$ 65 per gram. 14
Efek samping lokal pemberian terapi cidofovir mencakup reaksi inflamasi
pada daerah sekitar lesi, sedangkan efek samping sistemik meliputi
nefrotoksik, neutropenia dan asidosis metabolik. 12
J. Prognosis
Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, maka jarang atau tidak akan residif.
BAB III
KESIMPULAN
Moluskum kontagiosum merupakan suatu penyakit infeksi virus pada
kulit yang disebabkan oleh virus golongan poxvirus genus Molluscipox dengan
wujud klinis berupa benjolan pada kulit atau papul-papul multiple yang
berumbilikasi di tengah, mengandung badan moluskum, serta dapat sembuh
dengan sendirinya. 1
Terapi yang diberikan intinya adalah mengeluarkan massa yang
mengandung badan moluskum. Bisa menggunakan teknik cryosurgery,
evisceration, curettage, elektrokauterisasi, adhesive tape stripping.
Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, maka jarang atau tidak akan residif.
Daftar Pustaka
1. Crowe, Mark A, Molluscum Contagiosumhttp://emedicine.medscape.com/article/910570-overview
2. Graham, Robin & Tony. Lectures Notes Dermatology. Edisi 8. 2005.
Erlangga. Jakarta, Indonesia
3. Hanson, Daniel & Dayna G. Diven. Molluscum Contagiosum. Dermatology
Online Journal. 2003, 9:1-11.
http://dermatology.cdlib.org/92/reviews/molluscum/diven.html
4. K Jawetz, Melnick & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. 1995.
EGC. Jakarta, Indonesia.
5. Kauffman, Lisa C. Molluscum Contagiosum.
http://emedicine.medscape.com/article/762548 -overview.
6. Handpur S., Sharma VK, Sumanth K. Topical Imunomodulators in
Dermatology. J Postgrad Med. Vol. 50. Juni 2004, No.2. hal.131 -137.
7. Meadows, K.P. Resolution of Recalcitrant Molluscum Contagiosum virus
Lesions in Human Immunodefficiency Virus -Infected Patients Treated with
Cidofovir. Archives of Dermatology. Vol. 133. 1997.
8. Najarian, David J & Joseph C. English III. Imiquimod Cream: A New
Multipurpose Topical Therapy for Dermatology. Continuing Education
Credit. Vol. 28. 2003, No.2. hal. 122 -125.
9. Puneet, Bhargava & Kanodia Sanjay. Imiquimod: A Novel Immune Response
Modifier. Indian J. Sex. Transm. Dis. Vol. 27. 2006, No.1. hal. 2 -4.
10. Robin & Cotran. Pathologic Basis of Disease. 2005. Elsevier Saunders,
Philadelphia, United States.
11. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. 2002. EGC,
Jakarta, Indonesia.
12. Toro, Jorge R. et al. Topical Cidofovir: A novel treatment for Recalc itrant
Molluscum Contagiosum in Children Infected With Human
Immunodeficiency Virus 1. Report of Cases. Arch Dermatol. Vol. 136.
Agustus 2000. hal. 983-985.
13. Valentine C.L.; Diven D. Treatment Modalities for Molluscum Contagiosum.
Dermatologic Therapy. Vol. 13. September 2000, No. 3.
14. Zabawsky, Edward J, Jr. A Review of Topical and Intralesional Cidofovir.
Dermatology Online Journal. Vol. 6. 2000, No.1. hal 1 -16.
http://dermatology.cdlib.org/DOJvol6num1/therapy/cidofovir/zabawsky.html .