Upload
hoangkiet
View
215
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
Anak Mantri
Candu Mendongeng
KISAH SEORANG YANG BERNAMA
NARMODO
oleh
NARMODO
2
Edisi ke 2
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. i
1. Kata Pengantar …………………………………………………………… ii
2. Pendahuluan ……………………………………………………………… 1
3. Masa Kanak-kanak ……………………………………………………….. 3
4. Masa ABG-Remaja ……………………………………………………….. 7
5. Masa Perjoangan 1948-1949 ………………………………………………. 14
6. Masa Pasca Perjoangan 1948 – 1949 ……………………………………… 25
7. Masa bekerja, berkeluarga dan lansia ……………………………………… 28
DAFTAR BACAAN ......................................................................................... 38
LAMPIRAN
Bagan Susunan Keluarga Bpk Soeparman Soemowidikdo (Lampiran 1) …...... 39
Bagan Susunan Keluarga Narmodo (Lampiran 2) …………………………...... 40
Inilah Saya (Lampiran 3) .............................................................................. 41
Orang Tua Tercinta (Lampiran 4) ........................................................................ 42
Keluarga Besar Narmodo (Lampiran 5) ……………………………………. 43
Home Sweet Home: Salemba (Lampiran 6) ……………………………………. 44
Home Sweet Home: Jatibening (Lampiran 7) ……………………………. 45
ii
KATA PENGANTAR
Saya menyampaikan kata pengantar ini secara singkat saja.
Dongeng yang saya ceriterakan ini adalah mengenai kehidupan saya, mulai saya
dilahirkan samapai usia lanjut, tetapi meskipun demikian saya tidak berani menyatakan
bahwa dongeng ini merupakan otobiografi saya. Kesan yang mengarah ke otobiagrafi
memang ada, tetapi penyusunan suatu otobiografi itu tentunya memerlukan kaidah-kaidah
baku.
Dongeng yang saya sampaikan ini hanya kumpulan memori yang masih berserakan
sebatas yang masih saya ingat. Mudah-mudahan dongeng bersangkutan dapat
dimanfaatkan menambah informasi dan wawasan oleh keturunan saya dan keluarga
lainnya, karena berdasarkan pengalaman saya, banyak peristiwa beserta datanya terutama
yang berhubungan dengan silsilah keluarga sulit diperoleh.
Tulisan dongeng ini adalah edisi ke 2 untuk memperbaiki edisi 1 yang masih
menyisakan sejumlah memori yang tercecer sekaligus dilengkapi dengan beberapa foto
pendukungnya.
Semoga.
Jatibening Satu Agustus 2010
Narmodo
1
1. PENDAHULUAN
Dongeng yang akan saya ceriterakan di bawah ini bersumber pada memori saya
ditambah dengan ceritera atau bahan-bahan dari saudara-saudara saya lainnya.
Saya adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah bernama Soeparman
yang kemudian bernama Soemowidikdo setelah menikah serta berkeluarga dengan ibu
Markonah. Ayah adalah anak pertama dan merupakan satu-satunya anak laki-laki dari
enam bersaudara dari eyang Wongsowitjitro, sedang ibu hanya 2 bersaudara dengan adik
laki-lakinya yang kita kenal sebagai pak Amatredjo.
Pak Amatredjo bekerja di bengkel kereta api dari Nederlands Indische Spoor
Maatchappij (NIS Mij) Lempuyangan Yogyakarta. NIS Mij adalah perusahaan kereta api
swasta yang menjalani trayek Yogyakarta-Semarang dan sekitarnya. Isterinya, lebih akrab
dikenal dengan nama mbok Amat, memiliki warung/kios di daerah Suryatmajan sekitar
pabrik besi milik Maclaine & Watson Company. Penduduk setempat menamakan pabrik
tersebut pabrik “Waleson” dari kata akhir Maclaine & Watson. Mbok Amat berjualan
“kinangan” yang terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan tembakau rajangan untuk
susur yang digunakan untuk menghapus/mengurangi ludah/air liur dari bibir mulut akibat
makan sirih tadi. Sebetulnya, usaha utama mbok Amat adalah berjualan bunga tabur dan
peralatan orang meninggal yang lain seperti kain kafan, kapas, dupa, dan air mawar. Pada
waktu itu, ada kebiasaan/adat penduduk di mana setiap malam jumat atau hari-hari tertentu
lainnya mereka meletakkan sesajian dari bunga tabur di samping pintu masuk rumah untuk
menolak bala. Dengan demikian, selalu ada pembeli dari bunga tabur.
Pada zaman itu (zaman Nederlands Indie atau zaman penjajahan Belanda) ayah
mulai bekerja di Yogyakarta sebagai mantri Candu dari Opium Regie. Opium Regie adalah
2
suatu usaha monopoli Pemerintah yang mengurusi soal candu, tetapi di samping itu juga
mengurusi garam, sehingga namanya menjadi Opium en Zout Regie.
Dari Yogyakarta beliau dimutasikan ke Bali (di daerah Karangasem dan
Klungkung), kemudian dalam waktu yang cukup lama berdinas di Sumatra meliputi hampir
seluruh kota dalam wilayah yang dulunya disebut Sumatra’s Oostkust (Sumatra pesisir
Timur, sekarang meliputi Propinsi Sumatra Utara dan Propinsi Riau).
Berkat kerajinan dan ketekunan beliau, secara bertahap meningkat kedudukannya
sampai menjabat sebagai Assisten Collecteur Opium Regie hingga pensiun.
3
2. MASA KANAK-KANAK
Semasa ayah berdinas di Sumatra, saya dilahirkan pada hari Rabu Pon tanggal 26
Rabiul Awal 1347 H bertepatan dengan kalender Masehi tanggal 12 September 1928 dan
diberi nama Narmodo.
Tempat kelahiran saya ialah Bagansiapi-api, suatu kota nelayan wilayah Kabupaten
Bengkalis Propinsi Riau (dahulu termasuk Sumatra’s Oostkust/Sumatra Pesisir Timur)
terletak di mulut muara sungai Rokan pesisir Timur pulau Sumatra. Tidak heran kalau hasil
daerah tersebut adalah ikan laut serta hasil ikutan lainnya. Hasil ikutan terkenal pada waktu
itu adalah telur terubuk, yaitu telur sejenis ikan laut dari golongan besar (dalam bahasa
latin disebut Ghipeidae) yang mengalami proses pengolahan/pengasinan sebelumnya.
Ikannya sendiri kurang disukai penduduk karena banyak mengandung lemak.
Di sekitar tahun 1932/1933 ayah dipensiun dini, sehubungan adanya kecurigaan
atasan terhadap kegiatan ayah di organisasi Muhamaddiyah. Sebetulnya beliau belum
mencapai usia pensiun, sedang track record-nya cukup baik dalam menjalankan tugas
pekerjaan.
Karena saya masih balita, ingatan maupun kesan sewaktu tinggal di Sumatra sangat
terbatas dan samar-samar. Yang saya ingat hanyalah sewaktu tinggal di kota Binjai dan
Tanjung Balai. Tempat tinggal di kota Binjai, rumah dan halamannya cukup luas.
Sedangkan di Tanjung Balai yang kotanya dekat aliran sungai Asahan, kita mendiami
rumah tinggi dengan kolong di bawahnya, karena pada waktu sore hari, tempat tinggal kita
sering tergenang air luapan sungai Asahan yang tidak mampu lagi mengalirkan airnya ke
muara sehubungan laut sedang pasang.
Sekitar tahun tersebut di atas, kami sekeluarga pulang ke Jawa dengan naik kapal
laut milik KPM (suatu perusahaan perkapalan Belanda) dengan rute Belawan/Medan
4
melalui Singapore ke Tanjung Priok/Jakarta. Waktu itu Jakarta bernama Batavia. Kami
semua sempat singgah di Singapore untuk pesiar melihat-lihat kota dan tempat rekreasinya,
karena para penumpang memang dimungkinkan turun ke darat.
Setelah dua tiga hari di Jakarta, perjalanan diteruskan ke Kediri. Untuk sementara
waktu kami menumpang di rumah eyang di daerah Ringinsirah. Di rumah eyang ternyata
sudah banyak penghuninya yang terdiri dari anggota keluarga eyang lainnya. Waktu itu
eyang kakung sakit lumpuh akibat terlalu banyak duduk bermain kartu yang dapat
berlangsung berhari-hari, malahan kadang-kadang sampai tidak pulang ke rumah. Selain
sakit lumpuh, menurut ingatan saya eyang juga sudah sulit berbicara.
Eyang putri kesukaannya adalah “nginang”, yaitu mengunyah daun sirih dengan
kelengkapannya seperti gambir dan kapur sirih. Gambir adalah endapan rebusan daun yang
diuapkan dari tanaman yang dalam istilah bahasa latinnya disebut “Uncaria gambir”.
Kunyahan daun sirih tadi karena bereaksi dengan ludah, maka air liur dan bibir menjadi
merah. Sedang untuk menhapus/mengurangi ludah/air liur yang memerah dari bibir/mulut
digunakan “susur” yaitu secomot tembakau rajangan sebesar lebih kecil dari bola
pingpong. Caranya ialah dengan memutar-mutar “susur” tadi pada bibir/mulut. Kadang-
kadang “susur” ini bila tidak diperlukan untuk menghapus atau mengurangi air liur digigit,
tetapi sebagian masih terlihat di luar mulut pada bibir. “Susur” ini dapat merupakan mala
petaka bagi cucu-cucu yang nakal, karena mulut kita dicolek dengan susur tadi oleh eyang
(disusuri).
Setelah beberapa lama tinggal bersama eyang di Kediri, kami sekeluarga pindah ke
Yogyakarta. Adapun alasannya adalah karena sudah banyak anggota keluarga lainnya yang
tinggal di rumah eyang, di samping ibu juga ingin dekat dengan keluarganya. Sebagai
menantu perempuan tidak lepas dari rasa kurang nyaman bila tinggal bersama dengan
mertua yaitu eyang. Walaupun demikian, ayah masih mondar-mandir Yogyakarta-Kediri,
menjenguk eyang kakung dan eyang putri yang dua-duanya sudah uzur.
Di kota Yogyakarta inilah saya mulai bersekolah di Taman Indria suatu sekolah
Taman Kanak-Kanak dari perguruan Taman Siswa. Sekolahannya ada di pendopo rumah
5
Ki Hajar Dewantara. Uniknya kita belajar dengan lesehan. Masing-masing murid duduk di
atas sehelai tikar empat persegi dengan meja kecil di depannya setinggi sesuai dengan bila
kita duduk di atas tikar.
Di perguruan Taman Siswa saya hanya sampai di pertengahan tahun ajaran kelas
tiga. Mengingat keadaan fisik dan finansial ayah makin menurun akibat dari seringnya
mondar-mandir Yogyakarta-Kediri, akhirnya diputuskan untuk kembali menetap di Kediri.
Di Kediri ayah menyewa sebuah rumah di desa Kepanjen, desa ke arah timur dari
Sumberece dan tidak lagi tinggal bersama eyang.
Saya dan kakak-kakak dimasukkan ke sekolah Neutrale HIS suatu HIS swasta yang
bersubsidi. HIS adalah singkatan dari Hollands Inlandse School, suatu sekolah rendah
kalau sekarang kira-kira setaraf dengan Sekolah Dasar. Bahasa pengantarnya adalah bahasa
Belanda dengan masa belajar selama tujuh tahun. Saya melanjutkan kembali duduk di kelas
tiga dan ketika naik ke kelas empat, saya pindah ke 2e Gouvernements HIS suatu sekolah
HIS Negeri ke 2, karena di Kediri ada dua HIS Negeri.
Penghasilan ayah sebagai orang pensiunan dapat dikatakan pas-pasan, bahkan
cenderung kurang untuk mencukupi kehidupan keluarga dengan anak-anak yang masih
sekolah semua. Oleh karena itu, maka ibu turut membantu mencari tambahan penghasilan
dengan cara jualan kain batik yang kadang-kadang dilakukan secara “door to door”. Selain
itu, ibu juga berusaha membuat “kue satu” dari tepung kacang hijau dan dijual melalui
warung/depot makanan. Saya mendapat tugas mengantarkan kue satu tersebut ke
warung/depot makanan yang sudah menjadi langganan. Depot yang masih saya ingat
antara lain Depot Harjo dekat jembatan sungai Brantas ke arah Semampir, stasiun trem
KSM (Kedirische Stoom Tram Maatscappij) dekat stasiun KA dan warung Aman di sekitar
Pasar Paing. Trem KSM ini menjalani rute Kediri-Pare dan Kediri-Wates menyusuri tepi
jalan ke arah tempat tujuan tersebut.
Setelah Jepang menduduki tanah air, jualan kain batik ibu terhenti, sedangkan usaha
kue satu terus berlanjut. Berhentinya penjualan kain batik karena tidak ada lagi pasokan
kain akibat sulitnya memperoleh bahan tekstil selama pendudukan Jepang.
6
Sebelum tahun ajaran selesai, ketika saya duduk di kelas tujuh, keburu Jepang
datang menduduki Hindia Belanda/Indonesia, kalau tidak salah sekitar awal tahun 1942.
7
3. MASA ABG REMAJA
Kedatangan Jepang menduduki Hindia Belanda/Indonesia ini menyebabkan
kegiatan belajar mengajar terhenti sama sekali. Setelah vakum beberapa lama, yang berarti
tertundanya/mundurnya tahun ajaran baru, dibukalah sekolah “Kokumin Gakko” atau
Sekolah Rakyat dalam bahasa Indonesianya. Bahasa pengantarnya Bahasa Jawa yang
selanjutnya diubah berbahasa Indonesia dengan masa belajar lima tahun. Kenyataannya
saya hanya menamatkan serta berijazah Sekolah Rakyat lima tahun ini, meskipun
sebelumnya telah belajar selama tujuh tahun di HIS.
Setamat Sekolah Rakyat, mungkin pengaruh teman-teman dekat sekelas, saya ingin
melanjutkan ke Sekolah Tehnik di Surabaya. Keinginan ini tidak tercapai, karena saya
tidak lulus ujian saringan seleksi. Namun demikian untuk beberapa waktu saya masih di
Surabaya dan tinggal di rumah keluarga Soewardjo, yang istrinya (Soepariyam) adalah
adik ayah, sambil mencoba mencari sekolahan lain yang sesuai keinginan saya.
Sewaktu saya masih di Surabaya ini, di Kediri dibukalah kesempatan pendaftaran
dan penerimaan murid untuk masuk “Chu Gakko” yaitu Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Negeri. Saya kembali lagi ke Kediri, namun sudah terlambat untuk pendaftaran
masuk Chu Gakko/SMP tadi. Dari pada menganggur, saya masuk ke Perguruan Taman
Siswa setingkat SMP dengan nama Sekolah Taman Tani. Sekolah ini semacam sekolah
kejuruan bidang pertanian, Nama sekolah Taman Tani sesungguhnya hanya merupakan
suatu kamulflase menghindari larangan pemerintah Jepang usaha swasta mendirikan
Sekolah Menengah Umum. Oleh karena itu pelajaran teori/praktek pertanian diberikan
sambil lalu saja, malahan pelajaran lainnya yang bersifat umum seperti yang diajarkan pada
SMP pemerintah lebih diutamakan.
8
Pada akhir tahun ajaran kelas satu saya mencoba masuk SMP Negeri Praban di
Surabaya melalui tes yang dilakukan bersama siswa SMP Praban sendiri yang sedang
ulangan untuk kenaikan ke kelas dua. Alhamdulillah, hasil tes saya baik dan saya diterima
sebagai murid kelas dua. Saya hanya beberapa bulan sekolah di SMP Praban, kemudian
pindah ke SMP Balowerti di Kediri yang muridnya semua laki-laki, karena SMP ini tidak
menganut system Co-educatie, jadi murid laki-laki perempuan dipisah sekolahnya. Murid-
murid perempuan belajar di SMP tersendiri, yaitu SMP Putri Pocanan. Sementara itu kakak
perempuan saya Soekartini yang menjadi guru di Sekolah Rakyat Pare ditarik/diminta
mengajar di SMP Putri Pocanan.
Setelah proklamasi kemerdekaan dianut system Co-educatie, sehingga baik SMP
Balowerti maupun SMP Pocanan (Putri) murid-muridnya campur laki-laki dan perempuan.
Kakak saya Soekartini mendapat bagian mengajar di SMP Balowerti, sedang saya memilih
sekolah di SMP Pocanan. Pada umumnya murid sekolah di zaman Jepang, sebagian besar
waktu belajarnya habis digunakan untuk melakukan kegiatan di luar kelas seperti taiso
(olah raga senam), kyoreng (latihan baris berbaris dan perang-perangan), Kingrohoshi
(kerja bakti). Kerja bakti yang dilakukan antara lain menanami lahan kosong bahkan
sampai di pinggir jalan pun ditanami dengan tanaman pangan, tanaman jarak, mengerjakan
matun yaitu membersihkan rumput dan tanaman liar di antara tanaman padi, menggropyok
hama tikus di sawah.
Hidup di zaman pendudukan Jepang makin lama terasa makin tersiksa dan sulit,
utamanya mengenai sandang pangan. Sementara itu pada tahun 1944/1945 banyak
peristiwa yang terjadi dan ternyata akan banyak mempengaruhi perubaban keadaan
nantinya.
Tahun 1944 Jepang mulai banyak keteter di medan pertempuran oleh serangan
balik pihak sekutu. Di bulan Pebruari 1944 terjadi pemberontakan pasukan PETA dari
Daidan (batalyon) Blitar, tetapi sayang pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Jepang.
Tanggal 7 September 1944 pemerintah Jepang di Tokyo menjanjikan kemerdekaan
Indonesia.
9
Membayangkan kembali kerja bakti dahulu, yang masih terkesan sampai sekarang
adalah tatkala kerja bakti di kawasan hutan jati Mojoduwur Kecamatan Brebek Kabupaten
Nganjuk. Kawasan hutan Mojoduwur ini lokasinya di pegunungan Kendeng yang
merupakan daerah tandus dan miskin air. Sungai-sungai berair hanya waktu musim hujan
saja, suplai air minum kami dikirim dari Brebek/Nganjuk dengan truk, sehingga masing-
masing murid di jatah keperluan air minumnya.
Di Mojoduwur kami bekerja dengan para romusha (pekerja paksa) menyelesaikan
proyek Jepang membangun Komplek asrama yang konon untuk menampung sisa anggota
PETA Blitar yang pernah memberontak.
Setelah Hiroshima di jatuhi bom atom oleh Amerika, maka pada tanggal 15
Agustus 1945 Jepang menyerah. Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia di
proklamasikan. Waktu itu saya masih duduk di akhir tahun ajaran kelas tiga SMP dalam
suasana liburan bulan puasa. Setelah masuk sekolah kembali sesudah liburan, kegiatan
belajar mengajar masih kurang menentu.
Dalam keadaan kosong belajar seperti itu, sebagian besar murid-murid kelas tiga
sempat mengikuti latihan kemiliteran bersama-sama calon anggota/prajurit Badan
Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang
akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam status kalah perang Jepang mendapat perintah dari pihak Sekutu supaya
meneruskan roda pemerintahan sampai mereka (Sekutu) datang. Sementara itu Bung
Karno telah memproklamasikan Indonesia merdeka. Di sinilah mulai terjadi ketegangan-
ketegangan antara Jepang yang merasa mendapat perintah Sekutu untuk meneruskan roda
pemerintahan dengan rakyat Indonesia yang sudah merdeka.
Untuk menghadapi ketegangan yang dapat menjurus kepada pertikaian, maka di
tempat-tempat stragegis terutama oleh golongan pemuda, didirikanlah posko-posko.
10
Apabila ada gerak-gerik Jepang atau kaki-tangannya yang mencurigakan maka
berkumandanglah teriakan seruan dengan kata-kata “siaap...siaap” sambil memukul-mukul
tiang listrik. Secara spontan rakyat akan keluar baik dari posko maupun dari rumah-rumah
dengan membawa senjata seadanya menuju suara seruan tadi.
Kaitan dengan masa siaap-siaap itu, ada suatu peristiwa yang sangat mengesankan,
di mana rakyat termasuk ex anggota PETA, HEIHO dan juga saya turut mengepung dan
menyerang markas Kenpetai (Polisi Militer Jepang), meskipun sebagian besar hanya
bersenjata seadanya seperti bambu runcing segala macam jenis senjata tajam bahkan
pentungan. Kekuatan kita yang betul-betul bersenjata api adalah pasukan ex Tokubetsu
Kaisatsu Tai (pasukan polisi istimewa) yang dibentuk oleh Jepang waktu itu.
Akhirnya tentara Jepang yang ada di markas Kenpetai itu menyerah, setelah
sebelumnya diadakan negosiasi dengan mereka mengenai penyerahan senjata. Di dini hari
setelah semalaman rakyat mengepung markas Kenpetai serta penyerahan diri mereka,
rakyat baru mau membubarkan diri sesudah bendera Jepang Hinomaru diturunkan dan
diganti dengan bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian
Jepang menyingkir ke luar kota dan berkumpul di daerah perkebunan sekitar kabupaten
Kediri menunggu repatriasi oleh pihak Sekutu.
Bulan September 1945 sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris mendarat di
Indonesia dengan tugas melucuti dan menyelenggarakan repatriasi tentara Jepang, juga
mengatur warga negara sekutu yang ditawan Jepang. Di bawah lindungannya turut serta
membonceng tentara Belanda beserta NICA nya singkatan dari Netherlands Indies Civil
Administration, yaitu suatu pemerintahan sipil yang dibentuk Belanda di Australia ketika
mereka mundur dari Indonesia. Tujuan keikut sertaan mereka dengan tentara Inggris
datang di Indonesia adalah untuk mengambil alih dan menduduki kembali Indonesia.
Pertempuran pertama dari Republik Indonesia adalah pertempuran Surabaya yang
berlangsung pada akhir-akhir bulan Oktober 1945. Inggris memberi Ultimatum agar semua
11
orang Indonesia meletakan senjatanya dan menyerahkan diri dalam waktu 24 jam. Tetapi
rakyat membalas dengan cara pembunuhan besar-besaran terhadap tentara Inggris.
Merasa terdesak, Inggris meminta bantuan Bung Karno yang baru saja menjabat
sebagai Presiden Republik Indonesia untuk dapat menghentikan pembunuhan-
pembunuhan ini. Terjadi kesepakatan mengadakan gencatan senjata, hal mana dipatuhi
oleh pejoang-pejoang Indonesia.
Beberapa hari kemudian, Jenderal Mallaby Komandan pasukan Inggris di Surabaya
terbunuh yang tidak jelas siapa pembunuhnya. Kematian Mallaby ini digunakan sebagai
dalih untuk menuntut penyerahan segera tidak bersyarat. Pernyataan ini memancing
berkobarnya kembali pertempuran yang paling sengit. Inggris mengerahkan Angkatan
Udaranya dengan bombardemen udara. Kapal-kapal perangnya memuntahkan tembakan
meriam dari laut.
Pada tanggal 10 November 1945 dimulailah serangan balasan. Tanggal ini
kemudian dikenal dan dikenang sebagai hari Pahlawan. Banyak penduduk yang mengungsi
meninggalkan kota Surabaya menuju ke daerah lain, termasuk kakak perempuan saya
Sulartinah (Ny. Moh Shaleh) yang waktu itu bekerja pada kantor telepon Surabaya. Ia
kembali ke Kediri dan menggabungkan diri dengan kantor telepon setempat. Sedang kakak
laki-laki yaitu Mas Suhud sementara masih ada di tempat bergabung dengan pemuda-
pemuda pejoang lainnya.
Setelah tentara Inggris selesai bertugas dan meninggalkan Indonesia akhir
Nopember 1945, tentara Belanda dan Nicanya berhadapan langsung dengan Indonesia,
maka mulailah terjadi pertempuran-pertempuran dengan kita.
Saya sudah lupa, kapan kegiatan belajar mengajar dimulai lagi, apakah sekitar akhir
tahun 1945 ataukah permulaan tahun 1946. Yang pasti di tahun 1946, karena Kediri belum
mempunyai SMA, dengan mengikuti ujian saya diterima di SMA Negeri bagian A
Manahan Solo. Sedangkan kakak perempuan di atas saya persis Darmawati sudah lebih
12
dahulu sekolah di situ. Menurut cerita ibu, kakak diberi nama Darmawati, karena sewaktu
ibu melahirkannya, ayah sedang mengumpulkan darma/derma yaitu sumbangan untuk
bantuan korban bencana alam melalui pementasan wayang orang dari perkumpulan
kesenian orang-orang Jawa di rantau. Dalam pentas tadi ayah berperan sebagai “Buto
Cakil”. Buto cakil adalah seorang raksasa bertaring di ujung mulut di bagian bawah dengan
suara kecil menggagap serta banyak tingkah. Muncul dalam adegan perang tanding
melawan seorang kesatria. Perangnya disebut perang kembang, karena tariannya sangat
menarik. Akhirnya ia mati kena tusuk oleh kerisnya sendiri. Konon cakil adalah lambang
kejahatan.
Di antara guru-guru kelas 1A yang masih saya ingat betul adalah Prof. DR.
Purbatjaraka yang mengajar bahasa sansekerta. Sewaktu mengajar beliau selalu
berpakaian Jawa lengkap dengan kain dan destarnya sambil membawa “upet” yang
membara untuk bila diperlukan menyundut rokoknya karena kelangkaan adanya korek api.
Upet tersebut diletakkan pada pinggir meja guru atau bangku murid yang kadang-kadang
sampai membakar pinggiran meja atau bangku. Upet adalah potongan memanjang sebesar
jari tangan dari seludang bunga kelapa kering yang mengalami proses pelunakan agar api
dapat membara terus tanpa mati sebelum habis terbakar semua.
Ketika sekolah di SMA Negeri Solo itu, melalui organisasi perjoangan
pelajar/mobilisasi pelajar saya pernah dikirim ke daerah pertempuran Jawa Tengah bagian
Utara. Daerah pertempurannya meliputi daerah-daerah sekitar Demak di Timur, Ungaran
di tengah sampai Kendal di bagian Barat. Saya ditempatkan di MPP (Markas Pimpinan
Pertempuran) Salatiga untuk membantu pada bagian perhubungan yang menerima laporan-
laporan dari garis depan.
Situasi revolusi fisik makin menggelora dan meningkat. Sehubungan dengan itu,
pada tahun 1947 saya dan kakak Darmawati kembali ke Kediri. Kebetulan waktu itu di
Kediri sudah berdiri SMA Negeri. Menurut sejarahnya SMA ini didirikan pada bulan
September 1946 dengan nama Sekolah Menengah Tinggi berstatus swasta. Baru bulan
September 1947 kemudian SMT Kediri mendapat status menjadi sekolah negeri dan
13
namanya berubah menjadi SMA Negeri Kediri dengan gedung sekolahan tetap
menumpang di gedung SMP Balowerti dan masuk pada sore/siang hari. Jadi sekolah SMA
Kediri ini dapat dikatakan adalah seratus persen produk kemerdekaan Indonesia bukannya
bekas/kelanjutan dari AMS (Algemene Middelbare School) zaman Belanda atau Koto Chu
Gakko zaman Jepang.
Sedang senang dan asiknya bersekolah kembali, pada akhir tahun 1948 sekitar
pertengahan bulan Desember kota Kediri diserang dan diduduki Belanda. Lagi-lagi
kegiatan belajar mengajar terhenti kembali. Terhentinya kegiatan belajar-mengajar kali ini
merupakan yang ketiga kalinya. Yang pertama kali terjadi pada tahun 1942 saat saya akan
menamatkan sekolah HIS, karena Jepang menduduki Indonesia, dan kedua kalinya adalah
pada saat akan menamatkan sekolah SMP tahun 1945 karena proklamasi kemerdekaan
yang berlanjut dengan revolusi fisik.
14
4. MASA PERJUANGAN 1948-1949
Pada permulaan Belanda menyerang dan menduduki kota Kediri sebagian besar
penduduk mengungsi ke luar kota. Demikian keluarga saya, yaitu ayah, ibu, kakak, dan
adik mengungsi ke daerah Ngronggo, suatu desa tidak terlalu jauh dari desa Tosaren ke
arah Selatan.
Kemudian kakak-kakak dan adik kembali masuk kota, sedang ayah serta ibu tetap
di luar kota dan selalu berpindah-pindah tempat. Beliau adalah anggota Badan Pekerja
Dewan Perwakilan Daerah kota Kediri dan kebetulan ditugaskan oleh Pemda Kediri untuk
tetap ada di daerah sebelah Timur sungai Brantas. Wali Kota Cs ada di sebelah Barat sungai
Brantas dalam rangka pembagian tugas kewilayahan.
Kakak-kakak dan adik tinggal bersama dengan paman Roesbandi, suami dari ibu
Soeparmi adik ayah di Kampung Dalem. Sebagai PNS paman tetap berprinsip non-
Cooperation dengan Belanda. Untuk menunjang hidup sehari-hari bibi berjualan sembako
dibantu adik saya Hardjono di Pasar Paing. Barang-barang dagangannya dimuat dalam
gerobak yang didorong oleh Hardjono. Kalau tidak salah waktu itu, ia masih duduk di
Sekolah Dasar, jadi tidak dicurigai oleh Belanda karena dianggap masih anak-anak.
Hardjono meninggal di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1991 dan meninggalkan seorang
isteri dan empat orang anak, yang tiga diantaranya sudah berkeluarga. Anak nomor dua
pada bulan November 2007 meninggal dalam usia 38 tahun.
Saya sendiri sebelum pertengahan bulan Desember 1948 sudah jarang di rumah
bergabung dalam organisasi Perjoangan Pelajar/Mobpel (mobilisasi pelajar). Karena
keadaan makin gawat, sebagian dari kami dipindahkan dari markas di JL. Balowerti ke
rumah penduduk di desa Wringin Anom dekat alun-alun dan rel kereta api.
15
Ternyata kami hanya semalam tidur di Wringin Anom karena pagi-pagi itu kalau
tidak salah tanggal 18 Desember 1948, terdengar rentetan bunyi metraliur dan stengun dari
arah Selatan. Oleh karena itu kelompok kami yang terdiri dari 9-10 orang menghindarkan
diri ke arah Timur jurusan Wates. Kelompok kami hanya memiliki satu senjata karaben
Jepang, satu pistol dan lainnya hanya membawa semacam granat sederhana dari peluru
senjata berat seperti peluru berdiameter 12,7 yang ekornya diberi gombyok. Maka oleh
teman-teman granat tersebut dinamakan “pistol gombyok”.
Dalam perjalanan, kami sering berhenti mencari informasi tentang keadaan kota
Kediri dan menanyakan keadaan di depan kami. Menjelang magrib kami telah sampai di
Pandantoya daerah Wates dan bersepakat untuk bermalam di tempat ini. Atas bantuan pak
lurah kami diberi tempat untuk istirahat dan tidur di sebuah rumah seorang penduduk.
Keesokan harinya kita bertemu dengan rombongan Walikota Kediri yang rupanya
juga meninggalkan kota untuk bergerilya. Kita mengenalkan diri pada rombongan
Walikota tersebut dan beliau melihat kami sebagai kelompok yang terpisah dari induknya.
Oleh karenanya Pak Walikota menawarkan kepada rombongan kami untuk bergabung
dengan mereka. Selain kami dijadikan pasukan pengawal rombongan Walikota, juga
diminta membantu mempertahankan eksistensi pemerintah Kota Kediri termasuk
mengaktifkan Staf Pertahanan Rakyat (SPR).
Setelah beberapa hari ada di Pandantoya, rombongan Walikota memutuskan untuk
mendekati kota Kediri kembali dengan pertimbangan, bahwa sebaiknya sebagai Walikota
Kediri, beliau harus bergerilya tidak terlalu jauh dari wilayah kekuasaannya. Demi
keamanan rombongan mengambil jalan memutar, di awali dengan mendaki gunung Kelud
melalui daerah Gambar daerah bekas aliran lahar letusan gunung Kelud. Pada sore harinya
rombongan tiba di suatu desa dekat Selopuro, tetapi rombongan belum berani
menyeberangi jalan raya Blitar-Kepanjen menunggu kesempatan yang baik, yaitu jika hari
sudah gelap.
Setelah hari mulai gelap, rombongan baru menyeberangi jalan raya Blitar
Kepanjen. Demikian pula penyeberangan Kali Brantas. Kami memanfaatkan jembatan
16
yang sudah dihancurkan, namun kurang sempurna sehingga masih dapat dilewati meskipun
hanya dengan merangkak meniti sebuah galar besi melengkung, tetapi masih
menghubungkan kedua tepi kali.
Perjalanan diteruskan ke arah Barat lewat Lodoyo menyusuri jalan-jalan kecil
sepanjang selatannya kali Brantas yang dipandang relatif lebih aman karena jalannya
melalui hutan jati dan rawa-rawa. Setelah perjalanan hampir sehari penuh rombongan tiba
di daerah Tjampur Darat suatu daerah yang berrawa-rawa. Ada beberapa teman yang
memanfaatkan kesempatan untuk bersampan di rawa. Perjalanan selanjutnya menuju ke
arah Gandusari daerah Trenggalek kemudian menyusuri lereng-lereng gunung Wilis
menuju ke Pagerwojo melalui jalan setapak (jalan pintas) dan akhirnya sampailah kami
semua di Besuki. Konon diwaktu damai Besuki ini merupakan tempat peristirahatan dan
rekreasi.
Dari Modjo suatu tempat di sebelah Barat Sungai Brantas kira-kira berhadapan
dengan Ngadiluwih di sebelah Timur sungai, diperoleh informasi, bahwa beberapa desa di
Brangkulon Kediri beberapa hari yang lalu dihujani peluru mortir dan howitzer oleh
Belanda. Menurut penduduk Brangkulon tadi katanya tentara Belanda mengetahui melalui
Intelnya, bahwa Jenderal Sudirman ada di Brangkulon dan akan melalui desa Grogol,
Gringging, Pace dan Sawahan menuju arah Yogyakarta.
Dari Besuki dengan menghindari jalan raya Modjo-Kediri melalui jalan-jalan
setapak di pegunungan yang berlungur-lungur (lereng gunung dengan jalan yang berkelok-
kelok dan naik turun) rombongan menuju desa Kletak + 25-30 km sebelah Barat kota
Kediri tersembunyi di antara perbukitan gunung Wilis. Desa Kletak inilah yang dijadikan
“head quarter” rombongan Walikota yang kemudian head quarter tersebut bergeser lagi ke
depan untuk lebih mendekati kota Kediri yaitu di salah satu desa sekitar
Tjampuredjo/Podjok.
Sejak di Kletak untuk tugas-tugas tertentu saya sering mondar-mandir antara
Brangkulon dan Brangwetan menyeberangi Sungai Brantas dengan rakit bambu dari suatu
tempat di Bandar Kidul dan mendarat di suatu tempat di desa Kaliombo. Meskipun
17
demikian saya lebih banyak menetap di Brangwetan dengan home base saya di rumah
bapak Carik desa Blabak sebuah desa sebelah Tenggara kota Kediri.
Suatu ketika nyawa hampir-hampir melayang, karena rakit yang saya tumpangi
ketahuan patroli Belanda yang kemudian langsung melepaskan tembakan-tembakan
ke arah rakit kami. Untungnya rakit sudah mendekati tepi Brangwetan. Secara reflek kami
semua penumpang rakit terjun ke air dan menyelam sambil berenang mengikuti arus
menuju ke tepian dan bersembunyi di bawah rumpun bambu yang memang banyak ada di
tepian situ. Sementara itu peluru masih berseliweran dan berdesing-desing di atas kami
yang mengenai batang-batang bambu. Beberapa saat kemudian tembakan-tembakan
berhenti dan diperkirakan Patroli sudah meninggalkan tempat itu. Dengan mengucap
syukur alhamdulillah karena kami selamat semua, kami mulai naik ke darat. Saya
beristirahat sebentar sambil menunggu keringnya pakaian yang dipakai sebelum
meneruskan perjalanan ke home base di desa Blabak.
Peristiwa lain yang tidak enak dan tidak mudah dilupakan adalah waktu saya
tertangkap tentara Belanda, tepatnya pada hari Kamis legi tanggal 2 Juni 1949 sore hari.
Dengan todongan brengun saya disuruh jongkok dengan kedua tangan di atas kepala,
karena saya dituduh dan dianggap sebagai gerombolan extremis. Namun secara spontan
saya menjawab dalam bahasa Belanda “Ik_ben geen extremis, maar een dood gewone
school jongen” (artinya saya bukan extremis, tetapi hanya seorang pelajar biasa). Dampak
dari jawaban saya itu, tentara tadi makin berang dan langsung menendang perut saya
dengan keras, sehingga saya tidak saja jongkok malahan jatuh terduduk. Sambil terduduk
saya sempat berfikir, bagaimana mereka mengetahui dan menemukan home base saya.
Akhirnya, setelah semua penghuni rumah yang saya tempati (home base) dikumpulkan,
baru saya ketahui bahwa seorang teman yang saya titipi lembaran pamphlet-pamflet untuk
disebarluaskan sebagai salah satu usaha untuk meng-counter propaganda Belanda
tertangkap lebih dahulu dalam perjalanan ke home base nya di sebelah utara kota Kediri.
Saya hampir tidak mengenalnya lagi karena kepalanya membengkak dan wajah dan
bajunya penuh darah akibat dihajar serdadu Belanda. Karena tidak tahan menghadapi
siksaan, akhirnya dia menunjukkan home base saya.
18
Ternyata kelompok tentara Belanda yang menggrebek home base saya adalah
kelompok patroli yang bermarkas di pabrik gula Pesantren. Makanya saya dan teman yang
sama-sama tertangkap di home base dibawa ke pabrik gula tersebut. Semalam suntuk kami
berdua bersama teman yang tertangkap terlebih dahulu dengan posisi adu punggung kedua
belah tangan diikat menjadi satu. Kami berdua diamankan di Pos jaga yang dilengkapi
dengan senapan mesin terlindung oleh tumpukan karung pasir.
Keesokan harinya kami diperiksa/diinvestigasi yang dalam istilah mereka di
“Verhoor” di kantor “IVG” yaitu kepanjangan dari Inlichting Veiligheids Groep.
Tempatnya adalah di bekas kantor Polisi luar kota sekitar Kuwak. Setelah sempat dua hari
ditahan dan diperiksa di kantor IVG tersebut, pada suatu malam kami dibawa pergi
yang semula tidak tahu akan dibawa ke mana. Kami sempat berhati kecil dan “deg-degan”
jangan-jangan kami akan dieksekusi yang konon biasanya dilakukan di daerah gunung
Klotok. Tetapi ketika kendaraan yang membawa kami tidak belok kiri di pertigaan depan
Karesidenan, maka timbul kembali harapan kami dan akhirnya kami mengetahui bahwa
kami dimasukkan penjara.
Meskipun sudah ditempatkan di penjara, masih ada pemeriksaan lanjutan beberapa
kali lagi di kantor IVG yang berbeda, yaitu kantornya ada di sebelah kiri kantor telepon,
kalau kita menghadap ke jalan raya. Kantor telepon letaknya di sebelah Timur rel kereta
api ke arah Ringinsirah.
Ternyata, hampir semua lapisan masyarakat yang ditangkap Belanda ada di penjara
ini seperti pedagang pasar, belantik (perantara jual beli ternak di pasar hewan), petani,
lurah, pegawai, pelajar, guru, perawat, dan orang laki-laki lain dengan bermacam-macam
pekerjaan dan profesi. Bahkan bapak Mokh Sardjan, ayah artis Titiek Qadarsih, yang
merupakan tokoh partai Masyumi setempat juga ada di sini. Untuk diketahui, bapak Moch
Sardjan ini pernah menjabat menteri perekonomian era Presiden Soekarno sebelum
kementrian perekonomian ini dipecah menjadi kementrian perdagangan dan kementrian
perindustrian.
19
Hidup di penjara, ”HAM” kita memang betul-betul dipasung, namun masih ada
rasa bangganya, karena kita di penjara bukan tersangkut kasus kriminal, tapi soal
perjoangan membela tanah air.
Penjara Kediri mempunyai tiga blok atau kelompok kamar/ruangan yaitu blok a, b
dan c. Masih ada bangunan lain yang agak terpisah yang merupakan blok khusus wanita.
Di penjara itu saya ditempatkan dalam suatu ruangan/ kamar di blok b berisi kurang lebih
tiga puluh orang. Tempat tidurnya adalah papan-papan yang ditopang di atas kaki lepas
setinggi kaki meja pingpong. Alas tidurnya adalah tikar “glangse” semacam tikar yang
biasa digunakan untuk membungkus/mengepak kapuk randu atau tembakau lembaran
kering untuk ekspor. Jadi keadaan tikar tersebut cukup kasar bila dibandingkan dengan
tikar mendong.
Di sudut ruangan dengan luas yang tidak begitu besar dibatasi dinding setengah
badan terdapat semacam toilet untuk buang air kecil maupun besar. Jadi tidak perlu kaget,
kalau kadang-kadang kita sedang makan tiba-tiba ada yang jongkok di sudut itu. Kami
semua seharian penuh ada di ruangan/kamar, kecuali untuk antri menerima ransum
makanan dan mandi.
Di tengah lapangan blok terdapat sebuah sumur, tempat kita semua mandi dengan
cara bergiliran masing-masing kamar. Kita dapat ransum makan tiga kali sehari termasuk
sarapan. Sarapannya adalah bubur dicampur dengan ubi jalar. Tetapi apabila stok beras
dan ubi jalar menyusut, sarapan pagi diganti dengan grontol jagung tanpa parutan kelapa
atau diselingi dengan kacang tolo. Kita harus pandai-pandai memakan kedua jenis bahan
makanan ini, supaya terasa tetap nikmat, yaitu pakai cara makan perlahan-lahan sambil
mengupas kulit arinya. Ketika sarapan bubur campur ubi jalar, beruntunglah mereka yang
mendapat bagian ubi jalar banyak, berarti sedikit banyak dapat mengenyangkan perut
dibanding kalau bagian buburnya yang banyak. Makan siang dan sore adalah nasi dengan
lauk sayur, sepotong tempe atau ikan asin, kadang-kadang seminggu sekali sepotong telur
dadar yang amat tipis. Piring makan dikenal dengan nama ompreng yang dibuat dari seng.
20
Sayurnya sering sekali sayur kangkung. Pada mulanya saya tidak sampai hati untuk
memakannya karena kuah sayur kangkung tadi bereaksi dengan seng ompreng menjadi
kebiru-biruan seperti warna tinta. Lama kelamaan oke juga memakannya daripada
kelaparan. Setiap hari minggu keluarga diperbolehkan mengirim bingkisan seperti
makanan, rokok, pakaian, sikat, pasta gigi, dan lain-lain.
Suatu malam bulan Juli 1949 bertepatan dengan bulan puasa, saya terbangun
mendengar pintu ruangan dibuka. Kelihatannya ada orang baru yang datang masuk
ruangan. Setelah saya amati, antara percaya dan tidak, bahwa orang itu adalah Bapak
Bagyono, guru saya. Ketika beliau melihat saya, dengan tenang beliau berkata: Nar, endi
kelasaku? (Nar, mana tikar saya?) Memang waktu saya baru saja masuk penjara bulan Juni
1949, saya menerima kiriman lima helai tikar. Dalam hati saya merasa heran, karena
kelompok saya hanya empat orang, kog mendapat kiriman lima helai tikar.
Dengan persetujuan teman-teman satu ruangan, tiap pagi beliau diminta
kesediannya untuk memimpin senam di halaman blok b. Beliau tidak lama bersama kita di
penjara karena sebelum hari Lebaran bulan Juli 1949 sekitar pukul 16:00 seorang cipier
(penjaga penjara) datang ke ruangan untuk menjemput sekaligus memberitahukan bahwa
beliau dibebaskan. Sesaat sebelum meninggalkan ruangan, beliau masih sempat berkata
kepada saya dalam nada bercanda: Nar, aku keluar duluan ya. Kenyatannya, beliau tidak
pernah tiba di rumah. Saya mengetahui beliau tidak sampai di rumah karena pada hari
Lebaran keluarga mengirim parcel. Parcel ditolak oleh petugas karena menurutnya bapak
Bagyono sudah dibebaskan sebelum hari Lebaran.
Saya tidak tahu bagaimana prosedur pelepasan ini, apakah langsung saja lepas dari
penjara, ataukah harus kembali dahulu melalui kantor IVG. Berkaitan dengan prosedur
pelepasan yang kurang jelas ini, maka saat ”hilangnya” beliau sehingga tidak sampai tiba
di rumah, ada beberapa kemungkinan:
1) Antara penjara dan rumah, apabila dilepas langsung dari penjara;
2) Antara penjara dan kantor IVG, apabila pelepasan harus melalui kantor IVG
dahulu;
21
3) Antara kantor IVG dan rumah, apabila telah ada penyelesaian di kantor IVG.
Tragisnya, baik jenasah maupun pusaranya tidak pernah diketemukan.
Setelah beberapa waktu ada di penjara, sekitar akhir bulan Juli 1949, saya ditunjuk
sebagai ”foreman” membawahi blok a sampai c karena saya dianggap dapat berkomunikasi
dalam bahasa Belanda dengan cipier dan serdadu-serdadu penjaga.
Ada seorang cipier bernama Jackson, berbadan agak kurus dan tinggi. Ke mana-
mana selalu menyandang stengun dan terkenal keras dan galak. Ia sering melakukan
”sidak” ke ruangan-ruangan mencari senjata tajam atau tali yang dianggap dapat digunakan
untuk membunuh. Ia mencurigai bahwa di antara teman-teman ada yang menyimpan
senjata tajam hasil buatannya secara sembunyi-sembunyi ketika mereka diperkerjakan di
bengkel penjara.
Tuan Jackson pernah marah-marah dan memaki-maki saya gara-gara persoalan
berikut. Pada suatu sore, meskipun sedang off, ia datang ke kantor naik sepeda
berboncengan dengan seorang wanita. Kalau melihat dandanannya, dapat dipastikan kalau
ia seorang WTS. Ketika melihat si wanita tersebut sendirian, teman-teman di belakang
terali ruangan kamar blok b timbul keisengannya. Mereka mengeluarkan kata-kata yang
nadanya meledek. Ada yang menyeringai, malahan ada yang mengucapkan ”daag – daag”
kepada WTS yang bersangkutan. Waktu itu Jackson sedang berada di ruangan kantor,
sehingga tidak mengetahui kejadian itu sebelum si WTS melaporkannya kepada Jackson.
Berdasarkan laporan itu, kemudian saya sebagai foreman dipanggil dan diberi waktu
sampai esok harinya untuk menemukan orang-orang yang mengganggu teman wanitanya.
Ini adalah hal yang sulit bagi saya, karena kalau saya tunjuk teman-teman yang telah
melakukan perbuatan iseng tadi tentu saya akan dikeroyok mereka. Semalaman saya
berpikir keras. Esok paginya, sebelum saya dipanggil saya menghadap lebih dahulu.
Dengan merendah dan sambil mohon maaf atas tingkah laku teman-teman saya sampaikan
bahwa mereka berasal dari segala lapisan masyarakat. Mereka yang berasal dari lapisan
bawah kurang mengerti dan mengenal ”fatsoen” (sopan santun). Kelihatannya ia dapat
menerima argumen saya, namun ia masih mengancam. Katanya, lain kali hal itu tidak boleh
22
terulang kembali. Kalau tidak ”kau orang” sendiri akan saya masukkan sel. Alangkah
senang hati saya karena insiden tersebut dapat selesai tanpa korban.
Di blok b, ada satu ruangan yang diperuntukkan bagi mereka yang sakit. Ruangan
ini diperlengkapi dengan empat tempat tidur berupa veldbed, almari obat-obatan, dan
dinamakan ”zieken kamer” (ruangan untuk orang sakit). Ruangan ini dikelola oleh seorang
petugas pribumi ala kadarnya. Oleh karena itu garnizoen arts Mayor dr de Vries tiap
minggu selalu datang memeriksa. Pada waktu itu, tiga kali seminggu, mereka yang sakit
dengan pengawalan diantar ke rumah sakit militer. Pernah terjadi ada yang memanfaatkan
kesempatan berobat ini untuk kabur. Setelah kejadian itu, agar tidak ada yang kabur lagi,
mereka yang akan berobat ke rumah sakit dirantai berenteng satu per satu ke belakang.
Karena ada tindakan merantai ini, berobat ke rumah sakit menjadi tidak menarik lagi.
Akibatnya, tidak ada lagi yang ingin berobat ke rumah sakit.
Setelah saya menjadi foreman, timbul ide untuk memanfaatkan dua orang perawat
senior yang kebetulan juga ditawan untuk mengelola zieken kamer. Atas penataan kedua
perawat tadi, dr de Vries menunjukkan kepuasannya dan menyerahkan pengelolaannya
kepada mereka berdua. Hanya ia berpesan bahwa apabila ada keadaan gawat darurat,
mereka supaya menghubunginya melalui kepala penjara. Demikian juga mengenai obat-
obatan yang diperlukan.
Pada suatu hari yang tanggal dan bulannya saya sudah lupa, saya dan sebagian besar
tawanan lainnya dipindahkan ke penjara di Madiun. Kita semua dinaikkan truk dengan
pengawalan yang sangat ketat. Satu truk berisi kurang lebih lima belas orang dan
diharuskan duduk lesehan, sedang di setiap sudut bak truk berdiri atau duduk seorang
serdadu Belanda dengan senjata yang siap tembak. Konvoi truk dikawal oleh beberpa tank
dan panser wagon.
Penjara di Madiun lebih luas dibanding dengan yang ada di Kediri dan terdiri dari
enam blok ganda, yaitu blok a, b, c, d, e dan f masing-masing dengan sebutan Noord (Utara)
dan Zuid (Selatan). Saya ditempatkan di blok f Zuid, blok paling belakang. Tiap blok terdiri
23
dari lima ruangan/kamar, sedang tempat tidurnya dari ubin beton yang dibuat sedikit
miring, kemiringan yang tinggi untuk bagian kepala dengan alas tidur tikar “Glangse”. Ada
ruang untuk mandi bersama berupa los/bangsal memanjang, di atasnya ada sepasang pipa
berlobang-lobang sepanjang los tadi. Apabila kran dibuka, maka keluarlah air seperti hujan
dan kita mandi di bawahnya ramai-ramai.
Di penjara Kediri kita selalu ada di ruangan/kamar kecuali kalau mau mengambil
ransum makan dan mandi, tetapi di penjara Madiun kita dapat sedikit kebebasan yaitu jam
07.00 sampai jam 17.00 sore kita diperbolehkan ada di luar ruangan/kamar. Juga ada
kesempatan berkirim surat pos lewat pimpinan penjara dan menerima tamu.
Lain dari pada itu kegiatan kerohanian juga diperhatikan, bagi yang beragama Islam
diselenggarakan sholat Jumat, sedang pada hari Minggu ada kebaktian bagi mereka yang
non muslim. Sebagai tawanan di penjara setiap minggu kita mendapat pembagian sepotong
sabun cuci cap bendera yang cukupan besarnya dibandingkan dengan baju yang perlu
dicuci dan dua pak rokok sigaret produksi BAT bermerk “SIGNET” dengan gambar
sebuah cincin stempel. Barang-barang pembagian tadi terutama sabunnya sering jadi obyek
barter dengan para penjaga/juru kunci kamar yang terdiri dari orang-orang pribumi.
Adanya kesempatan barter tadi, timbul niat saya ikut barter sabun dengan “ragi”
untuk membuat tape. Tape yang dibuat bukan dari singkong atau ketan, tetapi dari nasi.
Bahan-baku nasi diperoleh dengan cara “menimpa” dari dapur yang dikepalai seorang
India yang mudah dikibuli. Nasi yang sudah berragi dimasukkan ke dalam kaleng bekas
“corned beef” dan kemudian ditutup rapat dengan kertas diikat karet gelang. Setelah dua
atau tiga hari jadilah tape tersebut dan dapat dinikmati bersama.
Menjelang akhir tahun 1949 kira-kira bulan Desember, dalam rangka penyerahan
kedaulatan RI, semua tawanan yang ada di penjara Madiun dibebaskan dengan surat
pelepasan dari kolonel Scheffelaar komandan Tijger Brigade (Brigade Harimau). Dalam
surat pelepasan disebutkan juga bahwa kepada yang bersangkutan diberikan paket pakaian
dan uang tunai sebesar sepuluh gulden. Paket pakaian terdiri dari satu helai sarung, satu
24
celana panjang bergaris seperti celana piyama dan satu hem putih lengan pendek tanpa
kancing, jadi kalau mau memakainya tinggal kepalanya dimasukkan seperti mau memakai
baju kaos.
Pada hari dan tanggal yang saya sudah lupa dari Madiun kita diangkut dengan
kereta api kembali ke Kediri, masih dalam pengawalan, tetapi tidak seketat seperti waktu
dipindahkan ke Madiun. Dengan adanya rombongan penyambutan tawanan di setasiun
Kediri, Belanda khawatir kalau nantinya akan terjadi sesuatu. Oleh karena itu maka jauh
sebelum tiba di stasiun Kediri, kereta api diberhentikan di tengah sawah dan kita semua
disuruh turun dan dinaikkan ke truk-truk yang telah disiapkan. Dalam hati kecil saya
bertanya-tanya akan dibawa kemana lagi kita-kita ini. Baru kemudian diketahui, bahwa
kita sudah sampai di pabrik/penggilingan beras di kawasan perempatan Recopentung dekat
lapangan Setono Betek
Kita semua ditinggalkan begitu saja tanpa ada pengucapan kata-kata dari komandan
pengawalan. Melihat keadaan demikian, akhirnya kita semua membubarkan diri pulang ke
rumah masing-masing. Saya sendiri, sekitar jam 16.00 sampai rumah di Jl. Kampung
Dalem no. 60. Ternyata saya sudah ditunggu ibu sejak pagi hari dan disambut dengan rasa
haru dan gembira melihat anaknya kembali sehat setelah selama setengah tahun sempat
ditawan Belanda. Sementara itu rombongan penyambutan kebingungan mencari para
tawanan yang baru dibebaskan
25
5. MASA PASCA PERJOANGAN 1948-1949
Menjelang akhir tahun 1949 dalam rangka penyerahan kedaulatan RI, semua
tawanan di penjara Madiun dibebaskan. Setelah dibebaskan saya memerlukan beberapa
waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan biasa, karena meskipun hanya enam bulan di
penjara sebagai tawanan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap diri saya.
Pada awal-awal setelah pembebasan, saya dan teman-teman ex tawanan masih
sering suka berkumpul-kumpul, tetapi lama kelamaan masing-masing satu per satu mulai
kembali ke aktivitas semula.
Sebagaimana diketahui SMA Kediri selama pendudukan Belanda tahun 1949
ditutup dan baru pada tahun 1950 dibuka kembali. Saya kemudian mendaftar ulang untuk
masuk sekolah. Ternyata teman-teman sekelas masih tetap seperti dulu.
Jika sebelum pendudukan Belanda SMA ada di Balowerti, maka setelah itu
dipindahkan ke gedung bekas SMP Pocanan dan masuk pagi hari. Mereka-mereka yang
terlibat dalam organisasi perjoangan pelajar, baru di demobilisasikan pada bulan Juli tahun
1950 dengan surat tanda demobilisasi Gubernur Militer Jawa Timur tanggal 1 Juli 1950
nomor I/Kd/0559/1950.
Sebagaimana dimaklumi, sebelum pendudukan Belanda rumah kami ada di desa
Singonegaran sebelah Selatan dari Pasar Paing. Ketika Belanda memasuki kota Kediri,
keluarga mengungsi ke luar kota. Saya sendiri tidak mengetahui persis proses pengungsian
ini, sebab lama sebelum Belanda masuk kota Kediri, saya sudah jarang ada di rumah,
karena bergabung dengan organisasi perjoangan pelajar.
Sewaktu masih tinggal di desa Singonegaran menurut ingatan saya adalah bahwa
setiap hari pasaran yang jatuh pada hari Paing di depan rumah selalu ramai dengan orang-
26
orang/pedagang dan petani yang membawa hasil bumi dan lain-lain. Mereka membawa
pedati atau gerobak yang ditarik sapi dan parkir di pinggir jalan depan rumah.
Karena rumah ditinggal mengungsi dan hampir tidak pernah ditengok-tengok
kembali, maka habislah barang-barang dijarah orang. Demikian juga buku-buku dan
catatan pelajaran sekolah, ijazah Sekolah Rakyat dan SMP milik saya terbawa juga oleh
penjarah. Oleh karena itu dalam hati saya bertekad untuk dapat menyelesaikan pendidikan
di SMA ini dengan sebaik mungkin.
Pada tanggal 25 Juli 1950 sampai dengan tanggal 15 Agustus 1950 diselenggarakan
ujian penghabisan tahun pelajaran 1949/1950 meliputi delapan mata pelajaran dengan hasil
nilai rata-rata tujuh. Bagi saya ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa, mengingat di
kelas tiga saya hanya belajar selama enam bulan. Akhirnya saya dapat menamatkan SMA
dengan berijazah tertanggal 17 Agustus 1950.
Karena saya belajar dibagian kesusasteraan (bagian A) maka dari delapan mata
pelajaran yang diujikan, lima diantaranya merupakan mata pelajaran bahasa, yaitu bahasa
Indonesia, Inggris, Daerah, Jawa kuno dan Jerman. Tiga mata pelajaran lainnya adalah
Sejarah Umum, Sejarah Kebudayaan dan Ilmu Bumi. Di samping ujian tertulis, untuk
bahasa Indonesia dan Inggris ada ujian lisan dengan penguji berasal dari luar lingkungan
sekolah.
Kalau saya tidak salah ingat penguji bahasa Indonesia Bapak Darwis dari Surabaya
dan Frater Mensfoord untuk bahasa Inggris. Yang saya takuti adalah ujian bahasa Indonesia
apabila menyangkut tata bahasa. Tetapi untungnya saya hanya disuruh membaca sebagian
dari buku yang berhuruf Arab tanpa ada tanda bacaan (lazim disebut huruf Arab gundul).
Seingat saya buku tersebut menceritakan kepahlawanan Hang Tuah.
Berbekal ijazah yang baru saya terima, saya dengan beberapa teman pergi ke
Yogyakarta untuk mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Negeri Gajah Mada dan
diterima sebagai mahasiswa tanpa ujian saringan. Dibanding dengan proses pendaftaran
27
dan penerimaan mahasiswa pada PTN sekarang, proses pendaftaran dan penerimaan
mahasiswa saat itu sangat mudah dan sederhana. Barangkali hal ini karena masih
terbatasnya jumlah calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi
Meskipun kami adalah lulusan SMA bagian kesusasteraan (bagian A), tetapi
anehnya tidak seorang temanpun yang ingin melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra. Pada
saat itu di Fakultas Hukum dianut system study bebas yang memungkinkan mahasiswa
setiap saat dapat mengajukan permohonan untuk diuji apabila sudah merasa siap. Ujian-
ujian semuanya dilakukan dengan cara lisan.
Ada tiga macam tingkat ujian, yakni :
1. testimonium untuk mata kuliah tambahan
2. tentamen untuk mata kuliah lainnya (mata kuliah ujian)
3. ujian sidang untuk mata kuliah ujian yang menjadi pilihan mahasiswa.
Pada ujian sidang, mahasiswa lainnya dalam jumlah terbatas dapat mengikuti
jalannya sidang ujian tersebut. Saya hanya sampai tingkat persiapan dan kemudian menuju
Jakarta untuk mencoba mencari nafkah di Ibu Kota.
28
6. MASA BEKERJA, BERKELUARGA, DAN LANSIA
Di Jakarta saya untuk sementara tinggal bersama kakak perempuan Sumastuti,
isteri Bapak Suroyo di Jalan Cisadane daerah Cikini.
Pada bulan September 1952 saya diterima di Departemen Pertanian sebagai Ajun
Komis dengan gaji pokok Rp 174,- dan ditempatkan pada bagian Rencana Kesejahteraan
Istimewa. Tugas saya adalah melakukan verificatie terhadap pertanggungan jawab
keuangan dari daerah-daerah. Saya hanya bertahan dua tahun di tempat itu dan kemudian
pada tahun 1954 akhir, pindah ke Badan Urusan Tembakau yang kemudian menjadi
Lembaga Tembakau. Badan ini adalah badan non structural, tetapi dibina oleh Departemen
Perdagangan dan Departemen Pertanian dengan titik berat pada Departemen Perdagangan.
Karyawannya berstatus Non PNS termasuk saya. Pada tahun 1958 dari Instansi, saya
memperoleh fasilitas menempati rumah dinas dekat kantor di persil belakang kantor
Departemen Pertanian Jalan Salemba Raya no. 16. Sampai akhir tahun 2000 saya
menempati rumah dinas tersebut.
Karena merasa sudah mempunyai penghasilan tetap dan usia sudah memadai pada
tanggal 7 Pebruari 1959 saya menikah di Yogyakarta dengan Oenggargini adik kelas di
SMA Kediri dan kebetulan juga adik teman sesekolahan. Saat itu Oenggargini telah lulus
ujian Bacclaureat Ilmu Hukum Jurusan Kenegaraan (setingkat sarjana muda) dari
Universitas Negeri Gajah Mada.
Pada tanggal 1 Desember 1957 ia diangkat menjadi pegawai Departemen P. D. dan
K di Jakarta. Sementara itu pada tanggal 14 Juni 1960 lahir Gemala Paramita anak pertama.
Kemudian berturut-turut disusul anak kedua Widyo Hapsoro pada tanggal 24 Juli 1961.
Anak ketiga Poppy Intan Tjahaya lahir pada tanggal 24 November 1962, anak keempat
Sita Dewi pada tanggal 27 Maret 1965 dan yang bungsu Bagus Satyawan Sidarta pada
tanggal 6 Agustus 1970. Pada bulan Februari 1965 Ibu wafat dan dimakamkan di TPU
Setonogedong Kediri. Kemudian ayah kita boyong ke Jakarta. Namun, naas tidak dapat
29
dielakkan, pada bulan Mei 1965 beliau wafat menyusul ibu dan dimakamkan di TPU Karet
Pasar Baru Barat Jakarta.
Karena rumah dekat dengan R.S Sint Carolus empat orang anak lahir di rumah sakit
tersebut, hanya Sita Dewi yang lahir di Klinik Bersalin Jalan Ciliman daerah Cikini. Satu
dan lain hal ini disebabkan oleh keterlambatan mendaftar ke R.S Sint Carolus.
Kelima anak saya tadi menyelesaikan pendidikan dasar di TK dan SD Kristen
Yayasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK) dengan pertimbangan letak sekolahnya dekat
rumah. Pendidikan menengah pertama ditempuh di sekolah yang bervariasi ada yang di
SMP Negeri 1, 8, 9 dan 216, sedang pendidikan menengah atas, empat anak adalah
alumnus SMA Negeri 4, sedang seorang yaitu Bagus alumnus SMA Negeri 8.
Perguruan tingginya juga bervariasi yaitu:
a. 2 orang alumnus Universitas Kristen Indonesia Fakultas Ekonomi dan Fakultas
Hukum
b. 2 orang alumnus Universitas Indonesia Fakultas MIPA(Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam), jurusan Biologi dan Matematika
c. Seorang alumnus Universitas Trisakti Fakultas Teknik Mineral jurusan Geologi
Poppy Intan Tjahaya pada tahun 1986 memperoleh bea siswa dari BATAN (Badan
Tenaga Atom Nasional) mulai bulan April 1988 sampai 1994 (enam tahun) mendapat
kesempatan belajar di Kyushu University di Jepang sampai mencapai tingkat S3 dengan
latar belakang Studi Ilmu Biokimia.
Sita Dewi menyelesaikan tingkat S2 di Universitas Indonesia Fakultas Pascasarjana
Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Widyo Hapsoro saat ini juga telah
menyelesaikan studi kenotariatan di Universitas Pajajaran Bandung.
Pada tahun 1962 saya mencoba kuliah kembali di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Extension Course. Tetapi sayang hanya sampai tingkat empat, yang seharusnya
sudah mulai menyusun skripsi.
30
Saya mendapat kesempatan di tahun 1980 untuk meninjau “Tabak Borse” di Jerman
Barat dan beberapa Pabrik Cerutu di Negeri Belanda. Tabak Borse atau Bursa Tembakau
adalah suatu tempat dimana tembakau cerutu Indonesia dijual melalui system
lelang tertulis yang dalam bahasa Jermannya dinamakan Einschreibung. Sebagaimana
diketahui, tembakau Indonesia, bahan cerutu asal Deli/Sumatera Utara, Besuki/daerah
Jember dan Vorstenlanden daerah Klaten memang dikirim ke Tabak Borse Bremen.
Sebelum adanya sengketa dengan negeri Belanda soal Papua Barat atau Irian
Jaya/Barat (1950-1962), penjualan tembakau Indonesia melalui lelang diselenggarakan di
Amsterdam dan Rotterdam Negeri Belanda. Saya merasa beruntung, karena ketika di
Bremen sempat pergi ke Berlin untuk menyaksikan tembok Berlin dan bulevar andalan
“Unter der Linden” yang terkenal waktu itu. Sebagai penjelasan dapat ditambahkan di sini,
bahwa setelah perang dunia ke II usai pada tahun 1945 dalam perjanjian Potsdam, Berlin
dibagi menjadi empat bagian, yaitu zone USA, Inggris, Perancis (Sekutu) dan Uni Soviet.
Tembok yang tinggi dan kokoh itu dibangun oleh Uni Soviet pada tahun 1961 yang
akhirnya membelah Jerman menjadi Jerman Barat (RFD/Republik Federasi Djerman) dan
Jerman Timur (RDD/Republik Demokratik Djerman). Pembangunan tembok tersebut oleh
Uni Soviet merupakan puncak dari selalu adanya percekcokan dan kekurangpuasan antara
kubu Sekutu dan Uni Soviet. Baru perpuluh-puluh tahun kemudian tembok Berlin tadi
dibongkar dan dihancurkan setelah adanya unificatie antara RFD dan RDD.
Pada tanggal 1 Maret 1982 atas pertimbangan tertentu, Departemen Perdagangan
mengangkat semua karyawan Lembaga Tembakau termasuk saya menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Pada saat itu saya sudah berusia 54 tahun, sehingga praktis saya menjadi PNS
Departemen Perdagangan hanya dua tahun dan akhirnya tahun 1984 saya dipensiun.
Dengan Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 15 Juli 1985 saya ditetapkan
bersama beberapa karyawan lainnya memperoleh tanda penghargaan berupa Piagam
Pernyataan Terima Kasih sebagai penghargaan atas pengabdian dan dharma bakti kepada
Pemerintah Nusa dan Bangsa cq Departemen Perdagangan. Karena tenaga saya masih
dibutuhkan saya masih dipekerjakan kembali sebagai tenaga ahli honorer.
31
Agustus 1995 saya mendapat musibah berupa luka retak di tulang pangkal paha
kanan karena terpeleset di kamar mandi saat mengambil air sembahyang subuh. Saya
dirawat di RS Cikini dan menurut dokter setempat, saya harus dioperasi untuk penggantian
tulang paha yang retak tadi, tetapi anak-anak tidak menyetujuinya mengingat usia saya
sudah lanjut. Akibat tidak dilakukan tindakan operasi ini, maka setelah selesai perawatan,
kaki kanan menjadi sekitar 5 cm lebih pendek dibanding dengan kaki kiri. Karena itu
diperlukan sepatu khusus dalam arti sol sepatu kanan lebih tebal 5 cm dari sepatu kiri untuk
menyeimbangkan panjang kaki kiri dan kanan.
Terapi yang dilakukan adalah kaki kanan hanya diluruskan kembali seolah-olah
ditarik dengan melekatkan bahan seperti plester lebar dan panjang dari perut sampai
tungkai kaki. Di ujung tungkai kaki tadi digantungi beban + 5 kg dan tungkai kaki tadi
diletakkan di atas bantalan, sedangkan beban tetap menggantung di ujung luar tempat tidur.
Dengan posisi demikian, saya masih dapat duduk di tempat tidur.
Beberapa waktu kemudian untuk menjaga agar keretakan tulang paha tidak meluas,
dari perut terus ke bawah meliputi pangkal paha kanan yang retak sampai di atas lutut di
“gips”/semen. Setelah digips saya tidak dapat duduk lagi dan mulai menjalani fisioterapi
terutama latihan berjalan dengan dua tongkat penyangga di ketiak kiri dan kanan. Saya
kira jalan dibantu tongkat penyangga tadi mudah, ternyata saya merasakan kesulitan.
Apabila mau turun dari tempat tidur saya harus dapat langsung berdiri di atas kaki kiri yang
sehat untuk kemudian jalan dengen tongkat penyangga.
Setelah menjalani rawat inap selama kurang lebih tiga bulan, saya keluar dari rumah
sakit masih pakai “gips” dan harus secara periodic menjalani pemeriksaan/berobat jalan.
Karena keretakan tulang paha sudah membaik berdasarkan hasi foto rontgen, maka “gips”
dilepas dan alangkah leganya rasa hati ini.
Mulailah saya giat belajar jalan dengan tongkat penyangga sampai akhirnya saya
dapat berjalan tanpa alat bantu. Jalan saya sekarang tidak sempurna dan secepat seperti
dahulu sebelum mengalami cidera di pangkal paha. Saya harus merogoh kocek dalam-
32
dalam sampai sebelas juta, itupun sebagian sudah ditanggung oleh PT Askes. Meskipun
demikian masih ada hikmahnya juga, karena saya dapat menghentikan kebiasaan merokok
hingga sekarang.
Anak-anak satu demi satu melepaskan masa lajangnya, tetapi justru dimulai oleh
Sita Dewi anak keempat pada tahun 1992. Ia kebetulan mendapat jodoh juga putera
keempat dari keluarga Bapak Sugih Sujoko dari Boyolali, yaitu Wahyu Catur Wibowo.
Dalam rangka suami menyelesaikan studinya untuk S2 di Indiana University USA, Sita
Dewi selepas pernikahan mengikuti suaminya ke USA sekaligus sebagai masa honey
moon. Sepulangnya dari USA Wahyu kembali berdinas di Pusilkom Universitas Indonesia
sampai ia berangkat ditugaskan ke Australia untuk gelar S3 nya di Royal Melbourne
Institute of Technology, Sita baru menyusul kemudian dengan dua anak balitanya Noni
dan Tio. Kedua anak ini sempat bersekolah dasar di Melbourne. Di Melbourne ini mereka
dianugerahi momongan yang ketiga yaitu Ana. Setibanya kembali di Indonesia Wahyu
menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Anak kedua Widyo Hapsoro pada tanggal 13 September 1993 menyusul menikah
dengan seorang gadis pilihannya Dwiwati Budi Astuti dengan nama akrabnya Anis. Ia
adalah puteri bungsu dari keluarga Soewarto Kolonel (purnawirawan) Polisi dari Pondok
Karya. Pelaksanaan akad nikah sangat mengharukan karena dilakukan di depan jenazah
Bapak Soewarto. Sebetulnya pernikahan sudah direncanakan akan diselenggarakan pada
bulan November 1993, tetapi apa daya pada tanggl 12 September 1993 Bapak Soewarto
mengalami kecelakan mobil sampai meninggal dunia, sehingga hari pernikahan diajukan.
Sekarang mereka sudah mempunyai tiga orang anak, dua puteri yaitu Ica dan Nadya dan
seorang putera bernama Nabiel.
Anak ketiga Poppy Intan Tjahaya menikah pada tanggal 27 Oktober 1996 dengan
Putu Sukmabuana putera pertama dari keluarga Bapak I Made Ripu dari Yogyakarta. Dua
jagoan yaitu Farhan dan Fauzi turut menghangatkan dan meramaikan suasana rumah
tangga mereka.
33
Si bungsu Bagus, pada tanggal 2 Juli 2006 mempersunting gadis pilihannya yaitu
Farra Lanova puteri kedua dari keluarga Bapak Iskandar Sabirin asal kota empek-empek
Palembang. Kaitan dengan pernikahan itu, sesuai adat daerah asal Bapak Iskandar pada
acara resepsi diadakan upacara penganugerahan gelar Cahyo Mataram kepada Bagus
beserta isteri.
Saya kira tidak ada salahnya, apabila di sini dikemukakan, bahwa setelah istri saya
Oenggargini meninggal pada tanggal 1 Februari 1986 sehingga sejak saat itu saya hidup
sendiri tanpa istri bersama anak-anak. Pada masa itulah saya merasakan suatu kekurangan
akan perlunya seorang wanita yang dapat mendampingi saya untuk hidup bersama di usia
yang makin senja. Oleh karena itulah pada tanggal 26 April 1996 bertepatan dengan 8
Dzulhijjah 1416 H telah dilangsungkan akad nikah antara saya dan Nawang Sri Esti adik
almarhumah Oenggargini di KUA Kecamatan Menteng dalam suasana sederhana tetapi
cukup khidmad.
Dengan demikian susunan keluarga menjadi lengkap kembali seperti tertera pada
bagan terlampir (lampiran 1 dan 2). Saya menempati rumah dinas di persil belakang
komplek Departemen Pertanian Jalan Salemba Raya no. 16 mulai tahun 1958 sejak masih
lajang sampai berkeluarga. Kantor Departemen Pertanian kemudian pindah ke gedung baru
di atas lahan yang cukup luas di daerah Ragunan. Sedang bekasnya ditempati oleh kantor
Direktorat Jenderal Peternakan.
Dalam kurun waktu selanjutnya Departemen Pertanian memutuskan untuk menjual
assetnya berupa tanah dan gedung/bangunan yang ada di Jalan Salemba Raya no. 16
kepada pihak swasta dengan system ruilslag/tukar guling. Pihak swasta ini tidak mustahil
dari Grup Cendara, mengingat aktivitas Tommy Suharto dalam penyelesaian proses
ruilslag tadi. Akhirnya ruilslag menjadi kenyataan pada pertengahan tahun 2000 dengan
akibatnya saya harus keluar dari rumah dinas tersebut. Saya hanya mendapat bantuan Rp.
25 juta pada bulan Agustus 2000 sebagai pesangon dengan syarat selambat-lambatnya tiga
bulan sesudah menerima uang harus meninggalkan rumah dinas tadi.
34
Untungnya istri saya mempunyai rumah BTN type 45 di komplek Jatibening Satu
Pondok Gede dengan luas tanah 167 m2 termasuk pembelian tanah dari
proyek/pengembang yang berbentuk trapesium. Untuk menghilangkan bentuk
trapesiumnya saya membeli sebidang tanah yang berbatasan dengan tanah kami tersebut
seluas + 80 m2 dari penduduk setempat yang kebetulan mau menjualnya. Dengan tambahan
tanah seluas + 80 m2 tadi, luas tanah kami keseluruhan menjadi 247 m2.
Agar dicapai luas bangunan yang ideal sesuai kebutuhan kami sekeluarga, maka
rumah type 45 di atas direnovasi dalam artian diperluas 102 m2 dengan 2 lantai tanpa
merubah bentuk rumah asli yang “Klein aber mein”. Dengan modal uang pesangon Rp 25
juta ditambah Rp 20 juta uang patungan anak-anak sehingga berjumlah Rp 45 juta serta
masih ditambah pasokan kayu balok dan beberapa daun pintu satu truk tronton dari Putu
di Bandung, sambil mengucapkan “Bismillahirahman nirrohim” dalam bulan September
2000 pekerjaan renovasi dimulai. Proyek renovasi ini dikomandani penuh oleh mas Heru
dan Pak De Kirman dengan pekerja/tukang sebagian besar asal Pelabuhan Ratu.
Menjelang akhir bulan Desember 2000 kebetulan juga menghadapi Lebaran 1421
H dimana pekerja/tukangnya sudah ingin pulang, rumah hasil renovasi sudah mencapai
tahap layak huni, tinggal finishing touch saja. Sampai tahap tersebut telah menghabiskan
biaya sekitar Rp 77 juta yang berarti ada kekurangan Rp 32 juta yang untungnya mas Heru
berkenan menalangi dahulu. Talangan mas Heru tadi baru dapat saya lunasi selama hampir
satu setengah tahun dengan menyicil.
Pada kesempatan ini tiada kata lain yang dapat saya sampaikan kepada mas Heru
dan Pad De Kirman, kecuali rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Karena
pekerjaan renovasi rumah dapat diselesaikan dalam waktu + 3,5 bulan yang dapat
dikatakan relatif cepat, maka rumah tersebut kira-kira tidak salah kalau disebut rumah
“instan”. Pada awal tahun 2001, akhirnya kami sekeluarga sudah dapat pindah ke rumah di
Jatibening Satu dengan didahului acara tumpengan sederhana yang diprakarsai oleh mbak
Mur.
35
Dengan tiada terasa, di pertengahan tahun 2010 usia saya telah mencapai 81 tahun
lebih 11 bulan dan termasuk “eldery people”/lansia. Memang menjadi tua merupakan
proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Manusia hanya dapat memperlambat efek dari
proses menua tersebut serta menjaga agar masa lanjut usia tetap dalam kondisi prima.
Lanjut usia merupakan tahap akhir siklus kehidupan. Dalam “gerontology” yaitu ilmu
pengetahuan yang mempelajari lanjut usia, lanjut usia dibagi dalam 2 golongan yaitu :
Pertama : Young old (usia 64-74 tahun)
Kedua : Old old (usia diatas 75 tahun)
Sedang dari segi kesehatan dibagi pula dalam 2 kelompok :
Well old, mereka yang tidak sakit-sakitan
Sick old, mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan
psikiatris.
Saya sendiri sekarang termasuk golongan old old dan alhamdulillah, meskipun
tidak termasuk kelompok sick old, tetapi tidak pula termasuk kelompok well old murni.
Hal ini adalah dampak dari pertumbuhan saya waktu remaja yang kurang pas, karena ada
pendudukan Jepang dan permulaan masa kemerdekaan yang masih sering diselengi clash
dengan tentara Belanda. Meskipun ada kendala dengan kaki kanan saya akibat jatuh
beberapa tahun yang lalu, kebiasaan olah raga berjalan kaki masih diteruskan di komplek
Jatibening Satu yang kita tempati sekarang. Route jalan yang kami lalui adalah jalan-
jalan di komplek dan sekitarnya yang kondisi jalannya tidak selalu mulus, sehingga
memaksa saya membawa tongkat. Namun dikala tongkat terlupa dibawa, saya berpegangan
pundak istri saya. Keadaan ini yang menimbulkan kesan orang bagaimana “mesra” nya
kami berdua. Mereka tidak tahu, dibalik kemesraan ini sebetulnya hanya karena saya lupa
membawa tongkat! Saking seringnya kami menjalani route yang sama, banyak warga yang
hafal wajah-wajah kami, walaupun belum tentu kenal nama, disertai rasa kagum terhadap
kelansiaan dan kekompakkan kami yang masih aktif melakukan olah raga.
36
Agar dapat bersosialisasi sekaligus bersilaturahmi dengan komunitas lansia
lainnya, maka kami berdua menggabungkan diri dengan kelompok senam lansia Serodja
yang masih berlokasi di komplek itu juga. Dalam kelompok ini kita berolah raga senam
lansia dua kali seminggu. Selain senam ini untuk menjaga kebugaran jasmani, tetapi
sebetulnya disitu juga dibina rasa kebersamaan dan keakraban antara sesama. Agustus
2005 kami berdua ikut serta dalam kelompok latihan “Vitalisasi otak”(senam untuk
kebugaran fisik dan otak) yang merupakan program RS Duren Sawit.
Dalam kata pengantar buku Latihan Vitalisasi Otak karangan Prof. Dr. Soemarmo
Markam ApS(K) dkk, menyebutkan antara lain bahwa senam otak adalah senam yang pada
dasarnya untuk mempertahankan kesehatan otak dikombinasikan dengan gerakan badan.
Sifat gerakannya lambat, disesuaikan dengan irama pernapasan sehingga tidak
meningkatkan frekwensi denyut jantung dan tekanan darah, karena dilakukan oleh para
lansia. Kelompok latihan”vitalisasi otak” dipimpin dan dibina oleh Dr. Agus Solichin, SpS
MARS dokter RS Duren Sawit. Latihan senam dilaksanakan seminggu sekali. Setelah
senam peserta istirahat sebentar sambil makan bubur kacang hijau, kemudian dilanjutkan
dengan ceramah/kuliah oleh dokter Agus Solichin. Dalam ceramahnya antara lain, telah
dibahas soal otak (memelihara dan menstimulasi), pernafasan dan otak, penyakit-penyakit
atau gangguan yang umumnya diderita lansia, seperti nyeri lutut, sakit pinggang, sakit
kepala, stroke dan lain sebagainya. Juga dibahas soal tidur (insomnia, parasomnia,
katafleksi dan narkolepsi), mimpi dan ngorok. Untuk keperluan evaluasi kemampuan daya
tangkap peserta pada waktu tertentu diadakan tes, dari materi yang sudah dibahas.
Sayangnya latihan vitalisasi otak ini sudah beberapa waktu terhenti. Barangkali karena
kesibukan Dokter Agus Solichin sebagai dokter ahli saraf di RS Duren Sawit. Saya pribadi
merasakan bahwa latihan tersebut banyak sekali manfaatnya guna kebugaran fisik dan otak
untuk menjangkau hidup sehat serta ceria di usia lanjut.
37
DAFTAR BACAAN
1. Adams, Chindy. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta 1966
2. Ensiklopedi Indonesia. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta 1980
3. Buku Kenangan 50 Tahun SMA Negeri 1 Kediri (9 September 1946-9September
1996), 14 September 1996.
4. Reuni Akbar SMA Negeri 1 Kediri (9 September 1946-9September 2001). 9
September 2001
5. Hendroyogi. Kediri 50 an Tahun yang lalu : Suatu Kenangan nan Indah di Waktu
Remaja. Jakarta 9 Agustus 2003 (Terbatas tidak diterbitkan)
6. Henuhili, Supiyani dr SPKJ. Sehat di Usia Lanjut. Dibacakan pada Seminar
Sehari & Dialog Interaktif “Ceria Menghadapi Hari Tua”, RS Duren Sawit 24
September 2005
7. Markam, Soemarmo Prof.dr. SP.S (K) dkk. Latihan Vitalisasi Otak. Jakarta : PT
Grasindo, 2005
38
LAMPIRAN I Bagan Susunan Keluarga Bpk. Soeparman Soemowidigdo
39
LAMPIRAN 2 Bagan susunan keluarga Narmodo
40
LAMPIRAN 3 Inilah Saya
SAAT LULUS SEKOLAH
SMA NEGERI KEDIRI
TAHUN 1950
MASA BEKERJA DAN
PENGABDIAN
MASA PURNA BAKTI
DAN LANSIA
41
LAMPIRAN 4 Orang Tua Tercinta
42
LAMPIRAN 5 Keluarga Besar Narmodo
43
LAMPIRAN 6 Home Sweet Home
44
LAMPIRAN 7 Home Sweet Home