62
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium, yang berasal dari getah Papaver somniferum. Mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya yaitu morfin, kodein, tebain dan papverin. Analgesik terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga menimbulkan efek farmakodinamik yang lainnya ( Farmakologi UI, 2007). Morfin adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai berat, terutama yang terkait dengan penyakit neoplastik (tumor), infark miokard (kematian otot jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga meredakan kecemasan yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih merupakan salah satu obat yang paling penting dalam penatalaksanaan nyeri. Heroin juga telah digunakan dalam hal pengobatan. Kematian disebabkan oleh beberapa hal, yakni penyebab kematian utama adalah overdosis narkoba, trauma (termasuk bunuh diri dan pembunuhan), serta somatic (infeksi melalui darah) (Clausen at al, 2009). Usia mempunyai pengaruh langsung terhadap kematian dan jenis kematian. Ketergantungan obat juga terkait dengan proses penuaan, namun sampai saat ini bukti nyata hubungan antara usia dengan risiko 1

ANALISIS-JURNAL

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangAnalgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium, yang berasal dari getah Papaver somniferum. Mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya yaitu morfin, kodein, tebain dan papverin. Analgesik terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga menimbulkan efek farmakodinamik yang lainnya ( Farmakologi UI, 2007). Morfin adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai berat, terutama yang terkait dengan penyakit neoplastik (tumor), infark miokard (kematian otot jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga meredakan kecemasan yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih merupakan salah satu obat yang paling penting dalam penatalaksanaan nyeri. Heroin juga telah digunakan dalam hal pengobatan. Kematian disebabkan oleh beberapa hal, yakni penyebab kematian utama adalah overdosis narkoba, trauma (termasuk bunuh diri dan pembunuhan), serta somatic (infeksi melalui darah) (Clausen at al, 2009). Usia mempunyai pengaruh langsung terhadap kematian dan jenis kematian. Ketergantungan obat juga terkait dengan proses penuaan, namun sampai saat ini bukti nyata hubungan antara usia dengan risiko kematian akibat ketergantungan opioid belum ditemukan secara nyata. Rata-rata usia pada saat kematian di kalangan pengguna opioid adalah usia 30 tahun. Studi dari Inggris telah melaporkan tingginya tingkat fatal-overdosis di antara pengguna heroin muda, dan mereka memiliki ilmu pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko overdosis dibandingkan dengan pengguna yang lebih tua. Sebaliknya, usia yang lebih tua juga telah dilaporkan sebagai factor kematian di antara pengguna heroin ( dengan penelitian kohort). Di Australia umur rata-rata kematian di antara laki-laki pengguna opioid yang overdosis meningkat dari 24,5 pada 1979 menjadi 30,6 pada tahun 1995.

1.2 EpidemiologiJumlah kejadian overdosis analgesik opioid sebanding dengan jumlah opioid yang beredar dan diresepkan dimasyarakat. Sejak tahun 1997 hingga 2007 peresepan obat analgesik opioid di Amerika Serikat meningkat 700%, dan pada kurun waktu yang sama tersebut peresepan metadon meningkat hingga 1200%. Pada tahun 2010 National Poison Data System yang menerima dan mencatat kasus-kasus yang berhubungan dengan keracunan obat melaporkan bahwa lebih dari 107.000 kasus paparan analgesik opioid, dimana lebih dari 27.500 kasus diantaranya menerima analgesik opioid dari fasilitas kesehatan. Ada tumpang tindih antara penyakit psikiatri dan sindrom nyeri kronis. Pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi lebih beresiko mengalami overdosis opioid dibandingkan dengan pasien lain yang tidak mengalami kondisi tersebut, karena pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi umumnya menerima dosis opioid yang lebih tinggi. Pasien tersebut juga kemungkinan menerima agen hipnotif-sedatif (penenang), misal benzodiazepin yang sering beresiko mengalami overdosis dan kemungkinan lebih jauh menyebabkan kematian. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,9% pertahun. Jumlah tersangka tindak kejahatan Narkoba pun meningkat dari 4.955 orang pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,6% pertahun. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Info BNN, menyebutkan jumlah penyalahguna narkoba yang teratur pakai dan pecandu di Indonesia tahun 2004 sekitar 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang. Data dari Rumah Sakit ketergantungan obat tahun 1999, 80% pasien berusia antara 16-24 tahun. Angka kematian pecandu 1,5% per tahun.

BAB II. KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 PengertianAn opioid is a chemical that works by binding to opioid receptors , which are found principally in the central nervous system and the gastrointestinal tract .Opioid adalah obat kimia yang bekerja dengan mengikat reseptor opioid , yang ditemukan terutama dalam sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Jadi, toksisitas The receptors in these organ systems mediate both the beneficial effects and the side effects of Reseptor ini dalam sistem organ mempunyai efek yang menguntungkan dan juga memiliki efek samping. EfekThe analgesic effects of opioids are due to decreased perception of pain, decreased reaction to pain as well as increased pain tolerance. analgesik opioid disebabkan oleh penurunan persepsi nyeri, penurunan reaksi terhadap rasa sakit serta meningkatkan toleransi nyeri. The side effects of opioids include sedation , respiratory depression , and constipation . Efek samping opioid termasuk sedasi , depresi pernafasan , dan sembelit.Opioids can cause cough suppression, which can be both an indication for opioid administration or an unintended side effect. Opioid dapat menyebabkan supresi batuk, yang dapat menjadi indikasi untuk administrasi opioid atau efek samping yang tidak disengaja. Physical dependence can develop with ongoing administration of opioids, leading to a withdrawal syndrome with abrupt discontinuation. Ketergantungan fisik dapat berkembang dengan administrasi yang terus menerus opioid, yang mengarah sindrom putus obat. Opioids can produce a feeling of euphoria, and this effect, coupled with physical dependence, can lead to recreational use of opioids by many individuals. Opioid dapat menghasilkan perasaan euforia, dan efek ini, ditambah dengan ketergantungan fisik, dapat menyebabkan penyalahgunaan opioid oleh banyak orang. Keracunan akut opioid menyebabkan sindrom yang ditandai dengan koma, bradypnea dan miosis. Central respiratory depression is the principle cause of death associated with this intoxication. Central depresi pernafasan adalah penyebab kematian prinsip yang terkait dengan keracunan ini. The epidemiology of acute opioid poisoning has changed considerably since heroine maintenance treatments (buprenorphine and methadone) have been made available.

2.2 EtiologiPenyebab dari keracunan opium akibat dosis fatal yang dikonsumsi,berikut tabel dosis opium dan dosis fatal : Jenis ObatDosis Fatal (g)Dosis Pengobatan (mg)

Kodein0,860

Dekstrometorphan0,560-120/hari

Heroin 0,24

Loperamid (Imodium)0,5

Meperidin (petidin)1100

Morfin0,210

Naloxone

Opium (Papaver somniferum)0,3

Pentazocaine (Talwin)0,3

Faktor resiko yang dapat menyebabkan toksikasi opioid yaitu penyalahgunaan alkohol, hiperkalkemia, meningitis, strok hemoragik, keracunan obat obatan lain.

2.3 PatofisiologiA. Farmakodinamik1. Sistem sarafa) Narkosis Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15- 20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.b) AnalgesiaOpioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.

c) EksitasiMorfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.d) MiosisMorfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien glaukoma.e) Depresi nafasMorfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas dibatang otak. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi nafas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi nafas.f) Mual muntahEfek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic trigger zone di area postrema medulla oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri. Dengan dosis terapi (15 mg morfin sub kutan) pada pasien yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien berobat jalan mengalami mual dan 15 % pasien mengalami muntah.

2. Saluran Cernaa) LambungMorfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.b) Usus halusMengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus halus.c) Usus besarMorfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi.d) Duktus koledokusDosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metildihidromorfinon menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; dan efek ini menetap selama 2 jam atau lebih.

3. Sistem kardiovaskularPemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain melepaskan histamine yang merupakan factor penting dalam timbulnya hipotensi.4. Otot polosMorfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih.5. Kulit Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai kulit yang berkeringat.6. MetabolismeMorfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH.3 B. Farmakodinamik Morfin tidak menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda beda. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.

2.4 Tanda & gejala (Manifestasi Klinis)Tanda dan gejala yang muncul pada pasien yaitu :1. Penurunan kesadaran (stupor sampai koma)2. Pupil pinpoint (dilatasi pupil karena anoksia akibat over dosis)3. Pernapasankurangdari12x/menitsampaihentinapas4. Adariwayatpemakaianopioida(needle track sign) 5. Bicara cadel 6. Gangguan atensi atau daya ingat. 7. Perilaku mal adaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya euforia awal yang diikuti oleh apatis, disforia,agitasi atau retardasi psikomotor atau gangguan fungsi sosial dan fungsi pekerjaan selama atau segera setelah pemakaian opioid.Gejala putus obat dari ketergantungan opioid adalah:1. Kram otot parah dan nyeri tulang2. Diare berat,3. Kram perut,4. Rinorea lakrimasipiloereksi,5. Menguap,6. Demam,7. Dilatasi pupil,8. hipertensi takikardia9. disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia.

2.5 Prosedur diagnostikA. Urine (drug screening)Untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Urine harus diperoleh tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian zat terakhir. Metode pemeriksaan antara lain dengan cara paper chromatography, Thin Layer Chromatography, Enzym Immunoassay.B. RambutDengan metode Liquid chromatography menggunakan ultraviolet dapat dideterminasi adanya opiat pada rambut pecandu heroin (opiat). Seseorang dikatakan pecandu heroin, bila pada rambutnya ditemukan kandungan 10 ng heroin/mg rambut.( Japardi I, 1979).Menurut KEPMENKES RI nomor 350/Menkes/SK/ IV/2008 kriteria diagnostik untuk ketergantungan zat dan intoksikasi opioida mengacu pada kriteria yang ada di ICD-X.

2.6 Penatalaksanaan medisA. Penatalaksanaan medisMengingat kecepaatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya keracunan dapat mengancam nyawa maka upaya penatalaksanaan kasus keracunan ditujukan kepada hal berikut:1) Penatalaksanaan KegawatanPenilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi dan prnurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan tepat sehingga tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai. Urutan resusutasi:a. A (airways), bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan muntahan, lender, gigi palsu, bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat penghisap lender.b. B (breathing), jaga agar pernapasan sestabil mungkin dan bila memang diperlukan dapat diberikan alat bantu respiratory.c. C (circulation), tekanan darah dan volume cairan harus dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan. Dalam keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid.Bila terdapat henti jantung lakukan RJP (resusitasi jantung paru).2) DekontaminasiUmumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap melalui kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan, sedang dekontaminasi saluran cerna ditujukan agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar, pemberian obat perangsang muntah dan kumbah lambung.Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahan/obat dpat dilakukan dengan dialisis, akan tetapi kadang-kadang peralatan tersebut tidak tersedia di rumah sakit (hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum dapat dicoba sebagai tindakan pengganti.3) Pemberian AntidotumTidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip utama adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah. Tetapi antidotum untuk keracunan opiat baik untuk dewasa maupun anak-anak adalah naloxone.4) Suportif, Konsultasi dan RehabilitasiTerapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara holistik dan cost effectiveness disesuaikan dengan kondisi masing-masing pelayanan kesehatan.1.7 Pengobatan 1. Naloxone : naloxone adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus dewasa maupun anak-anak. Dosis dewasa: 0,4-2,0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat dengan pemnaduan perbaikan gejala klinis. Dapat dipertimbangkan naloxone drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek naloxone sekitar 2-3 jam.Bila dalam observasi tidak ada respon setelah pemakaian total 10 mg (naloxone) diagnosis intoksikasi opiat perlu diulang.2. Edema paru diobati sesuai dengan antidotumnya yaitu pemberian naloxone di samoing oksigen dan respirator bila diperlukan3. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamine dengan dosis 2-5 mcg/KgBB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan4. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral)5. Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat oral, awasi jalan napas dengan baik6. Activated Charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai: 100 gram7. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam IV 5-10 mg dan dapat diulang bila diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi napas dan bila ada indikasi dapat dilakukan intubas

BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian3.1.1 Riwayat kesehatan1. Identitas klienNama: Tn. RTempat/ tgl lahir: Jember/ 10 September 1990Umur: 25 tahunJenis kelamin: Laki-lakiAlamat: Jl. Kalimantan 4 Blok C no. 45 RT/RW 01/02 kecamatan SumbersariStatus perkawinan: belum kawinAgama: IslamSuku: JawaPendidikan: SMAPekerjaan: Pengangguran Tanggal masuk RS: 11 Januari 2015Sumber informasi: Keluarga

2. Keluhan UtamaKlien datang keruma sakit dalam keadaan sesak dan kesadaran somnolen.3. Riwayat Penyakit SekarangKlien datang ke rumah sakit dengan temannya. Saat itu pasien ditemukan dikamar kost an dalam keadaan sesak, dan kesadaran menurun.4. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah mengalami keracunan sebelumnya, namun pasien sempat dibawa kerumah sakit Demam Berdarah sekitar 6 bulan yang lalu.5. Riwayat Penyakit KeluargaKeluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit menular maupun penyakit bawaan, namun pasien berasal dari keluarga yang broken home (bukan riwayat penyakit keluarga, namun salah satu faktor pencetus).

3.1.2 Pengkajian pola gordon1) Pola persepsi dan manajemen kesehatanPada klien dengan kasus keracuanan NAPZA atau zat adiktif, klien biasanya berobat ke tempat pelayana terdekat atau puskesmas. klien biasanya mengkonsumsi obat yang dibeli di warung dekat rumah apabila mengalami sesak nafas setelah mengkonsumi opiate.2) Pola Nutrisi/metabolikPola nutris pada klien dengan kasus keracunan zat adiktif, ditemukan gangguan metabolik, gejalanya dapat berupa kehilangan nafsu makan, merasa mual bahkan muntah.3) Pola eliminasiPola eliminasi pada klien dengan kasus keracunan zat adiktif pola BAB dan BAK akan mengalami gangguan 4) Pola aktivitas dan latihanPada klien dengan keracunan zat adiktif akan mengalami kelemahan otot saat melakukan aktivitas5) Pola kognitif perseptualPada pasien dengan kasus keracunan gas CO, terjadi gejala yang dapat berupa gangguan pada penglihatan serta ikut serta mengkaji mengenai perasaan dan penanganan nyeri yang dialaminya dengan menilai skala nyeri 0-10.6) Pola istirahat tidurPada klien denagn kasus keracunan zat adiktif, istirahat/tidurnya akn terganggu karena pasien sering kali mengalami nyeri dibagian dada. 7) Pola konsep diri persepsi diriBagaimana persepsikeluarga dan klien terhadappengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.8) Pola peran dan hubunganPada klien dengan kasus keracunan zat adiktif, keluarga dapat selalu memberi dorongan serta dukungan terhadap kesembuhan klien.9) Pola seksual dan reproduksiPada klien dengan keracunan zat adiktif biasanya akan ditemukan gangguan pada sistem reproduksi seperti kemandulan10) Pola pertahanan diriPada klien dengan kasus keracunan zat adiktif, pola pertahanan dirinya untuk menangani stress bisa cukup baik sebab ada keluarga dan teman yang senantiasa mendukungnya. 11) Keyakinan dan nilaiAdanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh, tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.

3.1.3 Pemeriksaan fisik1. Kepala dan rambuta. Inspeksi: kepala dan rambut tampak bersih, rambut berwarna hitam, tidak ada perdarahan atau peradanganb. Palpasi: Tidak ada benjolan pada kepala, rambut kuat dan tidak mudah rontok dan tidak ada nyeri tekan2. Mataa. Inpeksi: reaksi terhadap cahaya tidak ada, dilatasi pupil, tidak ada peradangan atau perdarahan3. Telingaa. Inspeksi: bentuk simetris, tidak ada perdarahan atau peradangan, tidak ada cairan, tidak memakai alat bantu pendengaran 4. Hidunga. Inspeksi: hidung simetris kanan dan kiri, perdarahan dan peradangan tidak ada, polip tidak ada5. Mulut dan Gigia. Inspeksi: mulut berisi busa/ mucus, mukosa bibir kering, tampak sianosis, tidak ada perdarahan atau peradangan 6. Lehera. Inspeksi: tidak ada bendungan vena jugularis, tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, kaku kuduk tidak ada7. Dadaa. Inspeksi: bentuk simetris, tampak penggunaan otot-otot bantu dalam bernapasb. Palpasi: pernapasan dangkal (32x/ menit)c. Perkusi: sonor, tidak ada bunyi abnormald. Auskultasi: bunyi napas stridor 8. Abdomena. Inspeksi: Bentuk perut normal, tidak ada lesi atau benjolanb. Palpasi: tidak nyeri tekan, turgor kulit normalc. Perkusi: tidak ada pembesaran hepard. Auskultasi: peristaltic usus 15x/ mnt9. Ekstremitas atas dan bawaha. Inspeksi: bentuk simetrisb. Palpasi: tonus otot baik10. Kulit atau integumena. Inspeksi: kulit tampak sianosis, tidak ada lesi, tidak ada peradanganb. Palpasi: Turgor kulit baik11. Kukua. Inspeksi: tampak sianosis, kuku pendek, bersih dan rapi

3.1.4 Analisa data dan masalah

NoAnalisa DataEtiologiMasalah Keperawatan

1. DS: - teman pasien mengatakan, saya menemukan Tn. R dalam keadaan pucat, dan sesak.DO: - mukosa bibir kering Tampak sianosis pada kuku Tekanan darah 90/ 30 mmHg Nadi 104x/ menitVasodilatasi pembuluh darah

TD menurun

Suplai O2 ke otak tidak adekuat

Anoxia/ Hipoksia

Gangguan perfusi jaringan serebral

Gangguan perfusi jaringan

2DS: teman pasien mengatakan, saya menemukan Tn. R dalam keadaan sesak.DO: klien tampak sesak RR 32x/ menit Tampak penggunaan otot bantu pernafasan Tampak sianosis pada kuku Mukosa bibir kering dan sianosisPenyempitan jalan nafas

Ketidakseimbangan O2 dan CO2

Sesak

Pola nafas tidak efektifPola nafas tidak efektif

3DS : -DO : Klien mengalami penurunan kesadaran Klien tampak sering berhalusinasiSuplai O2 menurun

Gangguan perfusi jaringan

Gangguan neurologis di otak

Gangguan proses berfikirGangguan proses berfikir

4DS : - pasien terlihat menutup diri dengan lingkungan, terlihat saat dijenguk temannya Tn R menolakDO : Klien tampak murung dan cenderung menarik diriGangguan neurologis

Gangguan persepsi/ sensori

Abnormal fungsi sistem pada tubuh

Harga diri rendah kronisHarga diri rendah kronis

5DS : -DO: Klien mengalami penurunan kesadaran karena kadar oksigen menurunSuplai O2 menurun

Gangguan perfusi jaringan

Gangguan neurologis di otak

Gangguan proses berfikirGangguan persepsi sensori

6DS : pasien DO: Berat badan klien menurun, 46 kg sebelumnya 50 TD 90/ 30 mmHG Nadi 104x/ menitIntoksikasi zat adiktif

Gangguan saluran pencernaan

Mual dan muntah

Kekurangan volume cairanKekurangan volume cairan

7DS: -DO: -Kesadaran menurunSuplai O2 tidak adekuat

Anoxia/ Hipoksia

Kesadaran menurun

Risiko cideraRisiko cidera

8DS: -DO: Klien tampak lemah

Suplai O2 tidak adekuat

Frekuensi pernafasan meningkat

Kontraksi otot pernafasan

Intoleran aktivitasIntoleran aktivitas

3.1.5 PathwayZat Adiktif Harga diri rendahAbnormal fungsi sistem pada tubuh AnsietasdisforiaGangguan proses pikirKekurangan volume cairanKetidakefektifan pola nafasDepresi Nafas Gangguan pusat nafas dibatang otakSuplai O2 tidak adekuat Risiko CederaPenurunan kesadaran Intoleransi AktivitasSuplai O2 ke otak tidak adekuat

Suplai O2 ke jaringan tidak adekuat

Mual /muntah Saluran pencernaan

Tekanan darah menurun Vasodilatasi pembuluh darah Intoksikasi zat adiktif

Gangguan perfusi jaringan serebral

Gangguan neurologis di otak

Gangguan persepsi/sensori

3.2 Diagnosa Keperawatan (NANDA)1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai O2 ke otak tidak adekuat1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi nafas1. Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan neurologis di otak 1. Ansietas berhubungan dengan disforia akibat obat 1. Harga diri rendah kronis berhubungan dengan abnormal fungsi sistem pada tubuh 1. Gangguan persepsi/sensori berhubungan dengan gangguan neurologis di otak1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat muntah1. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran 1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

3.3 Perencanaan Keperawatan (NOC)DiagnosaNOC

Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai O2 ke otak tidak adekuat

NOC 1. Circulation status 1. Tissue prefussion : cerebralKriteria hasil: 1. Mendeonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan Tekanan sistole dan diastole dalam renang yang diharapkan Tidak ada ortostatikhihipertensi Tidak ada tanda-tanda peningkatan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)1. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuannya Menunjukan perhatian, konsentrasi dan orientasi Membuat keputusan dengan benar Menunjukan fungsi sensori motori creanial yang utuh : tingkat kesadaran membaik Tidak ada gerakan involunter

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi nafasNOC 1. Resprastory status : Ventilation 1. Resprastory status : Airway Patency1. Vital sign statusKriteria hasil: 1. Menunjukan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal tidak ada suara nafas abnormal )1. Tanda-tanda vital dalam rentang norma (tekanan darah, nadi, pernafasan )

Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan neurologis di otak

NOC1. Knowledge : disease process1. Knowledge : Health behaviour Kriteria hasil: 1. Mampu melaksanakan proses mental yang kompleks1. Mampu berfokus pada suatu stimulus tertentu 1. Tidak menunjukan halusianasi atau waham

Ansietas berhubungan dengan disforia akibat obatNOC1. Anxiety self-Control1. Anxiety level1. Coping

Kriteria hasil: 1. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas1. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan teknik untuk mengontrol cemas1. Vital sign dalam batas normal1. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan

Harga diri rendah kronis berhubungan dengan abnormal fungsi sistem pada tubuh

NOC1. Coping 1. Anxiety level Kriteria hasil: 1. Tingkat persepsi positif tentang situasi hidup saat ini1. Penilaian diri tentang penghargaan terhadap diri1. Melatih prilaku untuk meningkatkan persepsi diri

Gangguan persepsi/sensori berhubungan dengan gangguan neurologis di otakNOC1. Body image1. Self eestemKriteria hasil: 1. Memperlihatkan pengaturan pikiran yang logis1. Mengompensasi defisit sensori dengan mengoptimalkan indera yang tidak rusak

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat muntah

NOC 1. Fluid balance1. Hydraction1. Nutrional Status : food and flid intakeKriteria Hasil1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urien normal, HT normal1. Tekanan sarah, nadi, suhutubuh dalam batas normal1. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan

Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran

NOC1. Risk ControlKriteria Hasil 1. Klien terbebas dari cidera 1. Klien mampu menjelasskan cara/matode untk mencegah cedera1. Klien mampu menjlaskan faktor risiko dari lingkungan/perilaku personal1. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury1. Mampu mengenali perubahan status kesehatan

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

NOC1. Energy conservation1. Activity tolerance1. Self Care :ADLsKriteria Hasil1. Berpartisipasi dalam aktifitaas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR1. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri1. Tanda-tanda vital normal1. Mampu berpindah dengan atau tanpa bantuan alat1. Status kardiopulmonari adekuat1. Sirkulasi status baik1. Status respirasi, pertukaran gas dan ventilasi adekuat

3.4 Intervensi keperwatan (NIC)NoDiagnosaNIC

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai O2 ke otak tidak adekuat

1. Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda vital sesuai indikasi setelah dilakukan pungsi lumbal.1. Pantau/catat status neurologis, seperti GCS.1. Pantau frekuensi/irama jantung dan denyut jantung.1. Pantau pernapasan, catat pola, irama pernapasan dan frekuensi pernapsan.1. Pantau GDA.1. Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.1. Berikan obat sesuai indikasi seperti : Steroid; deksametason, metilprednison (medrol).

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi nafas1. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 1. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat nafas buatan 1. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan 1. Monitor respirasi dan status O21. Pertahankan alat nafas yang paten1. Pertahankan posisi pasien1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR1. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

1.

Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan neurologis di otak1. Minimalkan ketakutan kekhawatiran dan ketidaknyamanan 1. Sediakan lingkungan terapeutik secra aman1. Beri informasi dan dukungan kepada pasien 1. Bantu pasien meningkatkan penilaian pribadi tentang harha diri

1.

Ansietas berhubungan dengan disforia akibat obat 1. Persiapkan pasien mengahadapi kemungkinan krisis perkembangan dan/atau situasional 1. Minimalkan ketakutan kekhawatiran, prasangka atau perasaan tidak tenang 1. Bantu pasien berdaptasi dengan persepsi stresor, perubahan atau ancaman yang menghambat1. Berikan penenangan, penerimaan dan bantuan dukungan selama masa stress

1.

Harga diri rendah kronis berhubungan dengan abnormal fungsi sistem pada tubuh

1. Kaji perilaku mencederai diri 1. Beri dukungandan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang status pasien dengan metode terapi 1. Anjurkan pasien menggunakan strategi koping adaptif 1. Pantau intensitas halusianasi dan waham pasien

1.

Gangguan persepsi/sensori berhubungan dengan gangguan neurologis di otak1. Pantau lingkungan pasien1. Pantau status neurologis pasien 1. Pantau tingkat kesadaran pasien 1. Pantau kemampuan untuk membedakan sensasi tajam tumpul, panas dingin1. Pantau terhadap parastesia

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat muntah

1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat1. Monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortoststik), jika diperlukan1. Monitor vital sign1. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian 1. Monitor status nutrisi1. Dukung masukan oral1. Berikan penggatian nesogastrik sesuai output1. Atur kemungkinan tranfusi

1. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran

1. Sediakan lingkunga yang aman bagi pasien1. Identifikasi kebutuha keamasan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dsn fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit dahulu pasien1. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya1. Memansang siderail tempat tidurMenganjurkan keluarga untuk menemani pasienBerikan penjelasan kepada pasien dan keluarga ayau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebabnya.

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

1. Kolaborasi dengan tanaga rehabilitasi Medik dalam merencenakan program terapi yang tepat 1. Bantu klien untuk mengindentifikasi aktivas yang mampu dilakukan1. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial1. Bantu untuk mengindetifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan 1. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda , krek1. Bantu kien untuk membuat jadwal di waktu luang 1. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual1. Bantu klien/eluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktifitas

1.5 Evaluasi Keperawatan (SOAP)NoDiagnosaEvaluasi

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai O2 ke otak tidak adekuat

S: -O:- GCS: E1V1M30. Terpasang Oksigen 3 L/menit0. RR: 24x/menit, irama normal0. Nadi: 80x/menitA: Masalah belum teratasiP:Intervensi dilanjutkan.

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi nafasS: Klien mengatakan sesaknya sudah mulai berkurang.O: - RR: 24x/menit0. Terpasang O2 3 L/menitA: Masalah teratasi.P:Intervensi dihentikan.

1.

Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan neurologis di otakS: klien menyatakan nyeri berkurang.O: 0. Skala nyeri berkurang menjadi 3 dari skala nyeri (1-5)0. TTV:TD: 130/80 mmHgNadi: 80x/menitSuhu: 37,5oCRR: 24x/menitA: Masalah belum teratasiP: Intervensi dilanjutkan

1.

Ansietas berhubungan dengan disforia akibat obatS: pasien mengatakaniya sus, saya faham bahaya menyalahgunakan obat-obat. Saya tidak akan mengulanginya O: pasien tampak tidak cemasA: Masalah teratasi sepenuhnyaP: Intervensi dihentikan

1.

Harga diri rendah kronis berhubungan dengan abnormal fungsi sistem pada tubuh

S: keluarga pasien mengatakan akhir-akhir ini banyak merubah sikapnya menjadi lebih baik O: pasien kadang-kadang menujukan penyesuaian psikologisA: Masalah teratasi sebagian P: Intervensi dilanjutkan

1.

Gangguan persepsi/sensori berhubungan dengan gangguan neurologis di otakS: keluarga pasien terkadang saya tidak mngerti apa yang dikatakannya susO: pasien masih kesulitan berbicara (cadel)A: Masalah teratasi sebagianP: Intervensi dilanjutkan

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat muntahS: keluarga pasien pasien sudah tidak muntah lagi susO: sataus volume cairan pasien adekuat atau volume cairan seimbang dengan kebutuhan tubuhA: Masalah teratasi P: Intervensi dihentikan

1. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran

S: keluarga pasien pasien sudah sadar dan bisa berespon normal susO: kesadaran pasien meningkat A: Masalah teratasi sebagianP: Intervensi dilanjutkan

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

S: keluarga pasien pasien masih belum bisa beraktivitas seperti biasa susO: pasien masih meggunakan bantuan aktivitas seperti kursi roda , krekA: Masalah teratasi sebagianP: Intervensi dilanjutkan

BAB IV. PEMBAHASAN

4.1 Algoritma Mengamatiselama1 4jamsebelumkeluardariEDIntoksikasiopioidyangberhubungandenganalkohol, opioid dengan durasi lama (metadon)

ResponyangbaikuntukdosisawalnaloxoneTidak adakomplikasi pernapasan

Saat gawat daruratUlangi penggunaanaloxonesampaipasienmeresponMenilaiuntuktanda - tanda overdosis opioidMemulainaloxone, 4mgIV,IMatauSColeh para medis

Sebelum gawat darurat (ED)

Tanda-tandaedemaparu-paru,hypoventilation,aspirasiradang paru-parudanmengantuk

Mengamatihingga12-24jamPenerimaanrawat inapatauICUuntuklebih lanjutevaluasidandukunganpernafasan

Sumber : (A. Fareed dkk, 2011) 4.2 Pembahasan terkait isi jurnalJurnal yang berjudul Illicit Opioid Intoxication: Diagnosis and Treatment menjelaskan tentang penyalahgunaan narkoba jenis opoid dan pengobatan akibat overdosis opioid. Opioid adalah obat kimia yang bekerja dengan mengikat reseptor opioid , yang ditemukan terutama dalam sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Namun pada saat ini penggunaan opioid disalahgunakan yaitu dengan pemalsuan resep dokter. The Drug Abuse Warning Network (DAWN) melaporkan terjadi peningkatan gawat darurat (ED) penggunaan opioid analgesik sebesar 111% dari 144.600 pada tahun 2004 menjadi 305.900 pada tahun 2008. Mekanisme aksi, Metabolisme dan profil farmakokinamikOpioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan lain. Terdapat empat tipe reseptor opioid yaitu Mu() , Kappa(), Delta(), Sigma(). Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung pada ikatan dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif. Reseptor reseptor opioid ini normalnya distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins) yang berperan penting dalam merespon rangsangan terhadap nyeri, pengaturan suhu tubuh, respirasi, aktivitas endokrin dan gastointestinal, suasana hati, dan motivasi. Opioid dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu agonis, parsial agonis dan antagonis. Sebagian besar opioid dengan potensi kecanduan itu terjadi pada klasifikasi agonis pada reseptor Mu() seperti morfin, meferidin,dan fentanil. Obat-obatan tersebut mengaktifkan sistem dopaminergik mesocorticolimbic melalui Mu() agonis, reseptor Mu() ini dapat menyebabkan euforia, penguatan positif dan menjadikan penggunanya kecanduan. Interaksi antara lingkungan dan individu menjadi peran penting untuk penyalahgunaan opioid dan mendatangkan pemicu untuk penggunaan narkoba. Dengan kata lain, neurobiologic mekanisme tindakan opioid dapat mewakili interaksi antara lingkungan sebagai pemicu untuk penggunaan narkoba dan individu sebagai subjek yang akan mengalami ketergantungan dalam menanggapi isyarat lingkungan.Opioid diklasifikasikan ke dalam subkelas yaitu alami dan sintetik. Morfin adalah salah satu dari opioid sintetis yang dapat terdeteksi dalam urin dengan tes skrening immunoassay. Morfin adalah opioid jenis sintetis yang penggunaannya terlarang kecuali untuk pengobatan (resep dokter). Durasi heroin biasanya pendek, tapi penghapusan metaboliknya (morfin) tergantung pada rute penggunaannya, dosis obat, berat badan, waktu berlalu sejak terakhir dosis, dan farmakokinetik antar individu. Metabolisme opioid yang durasinya singkat seperti oxycodone dan xanax itu berbeda dari heroin . Tidak seperti morfin dan hydromorphone, oxycodone dimetabolisme oleh sitokrom P450 sistem enzim di dalam hati, membuatnya rentan terhadap interaksi obat. Beberapa orang yang metabolismenya cepat mengakibatkan efek analgesik berkurang tetapi efek samping yang meningkat, sementara yang metabolisme lambat dapat mengakibatkan peningkatan toksisitas tanpa peningkatan analgesia. Oxycodone dan metabolit nya terutama diekskresikan dalam urin dan keringat. Metadon adalah opioid jenis sintetis dengan durasi panjang. Metadon secara ekstensif dimetabolisme oleh sitokrom P450 3A4 sistem enzim didalam tubuh terutama di hati tetapi juga oleh usus. Metadon ini diidentifikasi dalam urin dan tinja. Heroin merupakan jenis opioid yang sudah jelas dilarang pengonsumsiannya. Mengendus, merokok dan IV menjadi rute umum untuk penggunaan heroin. Baru-baru ini epidemi muncul di Amerika Serikat penggunaan opioid diresepkan secara non medis. Telah dilaporkan rute baru penggunaan opioid, hal ini untuk mencapai euforia oleh penggunanya. Rute ini termasuk mengunyah, menghancurkan dan penggunaan oxycodone lepas terkendali (oxycontin) melalui IV, menjilati serbuknya dan konsumsi oral yang diresepkan secara non medis.

Tanda dan gejala overdosisTanda tanda keracunan dan overdosis opioid adalah penurunan tingkat kesadaran yang bisa berkisar dari mengantuk ke keadaan stuporous ke koma. Tanda tanda lainnya penekanan sistem pernapasan (seperti tercekik), Sianosis, hipotensi, bradikardia, dan hipotermia. Kematian dapat terjadi biasanya dengan tanda penekanan (depresi) pernapasan. Tanda dan gejala yang sering dilaporan dari overdosis opioid adalah kondisi paru seperti edema paru, radang paru dan komplikasi seperti rhadomyolysis akibat dari berkepanjangan tekanan pada otot-otot selama koma dan gagal ginjal dari lisis jaringan otot. Selain kerusakan pada paru paru juga ada laporan mengenai gangguan kardiovaskuler dan gangguan kognitif akibat overdosis opioid. Tanda dan gejala untuk jenis opioid yang durasinya pendek seperti heroin biasanya menunjukkan tanda-tanda dan gejala penarikan (withdrawal) dalam 8 12 jam setelah dosis terakhir. Jika tidak diobati, mencapai puncaknya dalam 36-72 jam dan biasanya substansial reda dalam 5 hari. Jenis durasi yang lama seperti metadon, penarikan (withdrawal) dapat mencapai puncak antara 5-6 hari, dan sindrom akan tidak biasanya mereda untuk 14-21 hari. Warner Smith et al juga melaporkan overdosis yang terkait termasuk dapat menyebabka neuropati periferal, muntah, kelumpuhan tungkai, infeksi dada dan kejang. Pemakaian morfin jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis. Dalam kedaan ketergantungan tersebut apabila tidak diberikan morfin maka akan menimbulkan gejala gejala (withdrawal) (putus obat). Gejala ini juga akan muncul apabila diberikan antagonis reseptor dimana morfin berikatan, seperti nalokson, nalorfin, naltrekson atau levalorfan. Tanda-tanda terjadinya withdrawal meliputi demam hebat, peningkatan sekret hidung dan air mata, kedinginan, tegaknya bulu roma dan nyeri otot, penurunan nafsu makan, daya tahan tubuh dan berat badan. Pada keadaan yang parah hilangnya cairan tubuh dalam jumlah yang cukup besar mungkin terjadi akibat hipertermia, hiperventilasi, emesis dan diare. Sedangkan gejala psikologis bisa meliputi gangguan tidur, cemas, gemetar, berkeringat dan halusinasi.

Diagnosis intoksikasi dan overdosisObat obatan jenis opioid memiliki distribusi yang luas dan dapat diidentifikasi di hampir semua bagian tubuh dan semua cairan tubuh. Obat ini biasanya di metabolisme oleh hati, memproduksi metabolit yang sering dan lebih tahan lama. Beberapa tes laboratorium dapat mengidentifikasi adanya opioid atau metabolit obat tersebut dalam darah, kencing, rambut atau air liur. Tes skrining immunoassay yang lebih murah biasanya digunakan untuk mendeteksi keberadaan opiat (turunan dari opium poppy) atau metabolit opioid dalam darah, kencing, rambut atau air liur. Adanya opioid atau metabolit opioid dapat dideteksi dalam darah hingga 3 12 jam, dalam urin hingga 1 3 hari, rambut hingga 7 90 hari, dan di air liur hingga 3-24 jam. Kromatografi gas atau spektrometri massa adalah tes laboratorium lebih mahal yang tersedia untuk konfirmasi hasil atau deteksi sintetis opioid.

Pengobatan dan pencegahan intoksikasi dan overdosis1. Naloxone adalah pengobatan standar untuk seseorang yang mengalami overdosis opioid. Metabolit nya aktif, 6-alpha-naloxol memiliki umur paruh lebih banyak daripada naloxone. Itu biasanya diberikan intravena (IV), subkutan (SC) atau injeksi intramuskular (IM). Beberapa laporan menunjukkan bahwa administrasi IM dapat memperpanjang efek naloxone. Hal ini biasanya dikelola oleh paramedis sebelum pasien ke gawat darurat. Terdapat bukti bahwa efek antagonis depresan pernapasan morfin selama enam jam. Dosis awal ini biasanya 0.4 mg IV/SC/IM. Dapat diulang sampai pasien merespon. Beberapa studi melaporkan total dosis berkisar antara 2 6 mg tergantung pada dosis opioid dikonsumsi . Faktor-faktor lain juga dapat dikaitkan dengan kebutuhan untuk dosis yang lebih tinggi dari naloxone untuk resusitasi pasien overdosis seperti seiring penggunaan alkohol dengan opioid. Namun perlu dilakukan pertimbangan dalam pemberian naloxone ini. Hal itu tergantung pada janis opoid yang dikonsumsi, contohnya terjadinya perbedaan pemberian naloxone kepada orang yang mengonsumsi opioid jenis heroin (singkat) dan metadon (lama). Pertimbangan dalam hal menjadi faktor penting perlu tidaknya dilakukan rawat inap di rumah sakit. Tanda-tanda edema paru, hipoventilasi, pneumonia dan mengantuk mungkin memerlukan waktu yang cukup lama sekita 12-24 jam dan dalam beberapa kasus rawat inap maupun unit perawatan intensif (ICU). Boy et al melaporkan kasus baru bahwa pasien dengan overdosi heroin dapat rawat jalan setelah perawatan di rumah sakit dengan mengonsumsi obat naloxone. 2. Mengonsumsi naltrexone juga dapat mengurangi ketergantungan opioid. Naltrexone adalah antagonis reseptor opioid yang diresepkan untuk mengobati ketergantungan opiat. Ini juga telah berhasil digunakan dalam pengobatan ketergantungan alkohol. Seorang pengguna narkoba tidak akan merasakan efek euforia, kenyamanan atau kesejahteraan yang terkait dengan obat ini dan diantisipasi bahwa pengguna tidak akan memiliki keinginan untuk mengambil obat opiat. Naltrexone mengganggu jalur di otak yang melepaskan bahan kimia seperti endorfin dan telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan kambuh.3. Beberapa negara mengembangkan program anti-narkoba untuk mengurangi peningkatan jumlah mortalitas akibat narkoba. Program ini sudah terbukti di Chicago dengan mendistribusikan naloxone kit. Program ini telah membantu setidaknya 1.000 pecandu opioid sejak tahun 2001.

BAB V. PENUTUP

5.1 KesimpulanNapza dapat dikelompokkan dalam golongan Opiat dan Non Opiat. Pada tahun 2003 dari seluruh pengguna napza berjenis kelamin laki-laki, hampir separuhnya (40,6 %) adalah pengguna jenis opiat, begitu pula dengan wanita yaitu 45,2 persen, sisanya adalah golongan non opiat lainnya seperti kokain dan kannabis. Dengan melihat prevalensi yang cukup tinggi pada penyalahgunaan opiat, maka penting untuk dibahas lebih mendalam mengenai penyalahgunaan opiat sehingga dapat menimbulkan adiksi. Adiksi opiat adalah gangguan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh penggunaan opiat yang berkelanjutan. Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan Napza; pada awalnya ada yang hanya mencoba-coba atau sekedar ingin tahu; lama-kelamaan mengalami ketergantungan;sehingga akan muncul berbagai masalah dan persoalan. Persoalan yang dapat muncul antara lain : Kepribadian adiksi, terinfeksi berbagai penyakit (HIV/AIDS, Hepatitis B, C); reaksi putus obat (sakaw), pengobatan yang mahal, overdosis (OD), dan lain - lain.

5.2 Saran Sebagai petugas layanan kesehatan, perawat berperan sebagai mata rantai akhir dalam terapi atau pemberian obat kepada klien. Pengetahuan tentang obat-obatan tidak hanya dipelajari oleh bidang farmasi saja, perawat juga diharuskan mempelajarinya karena mengingat peran pentingnya dalam pemberian terapi obat pada klien. Dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan, perawat harus mampu memberi terapi atau obat-obatan dengan dosis dan indikasi yang sesuai dengan pasien. Oleh karena itu, perawat harus memahami dan mampu mengidentifikasi kefektifan kerja obat serta efek-efek yang ditimbulkan.

DAFTAR PUSTAKA

BukuA. Fareed,dkk. 2011.Illicit Opioid Intoxication: Diagnosis and Treatment.Emory University School of Medice. USA [Jurnal Utama]Gono, Joyo Nur Suryanto.(Tanpa Tahun) Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan Dan Pencegahannya. [Artikel]Gunawan, Sulistia G dkk. 2009. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : UI Fakultas KedokteranJapardi, Iskandar. (Tanpa Tahun). Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw). Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. [Jurnal Pendukung]Junaidi Khotib,dkk.(Tanpa Tahun) . Prospek Tipikal Antagonis Dopamin Sebagai Penanggulangan Ketergantungan Morfin. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya [Jurnal Pendukung]Katzung, Betram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10, Bagian Farmakologi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta : EGCMulyono I dkk. 2000. Opiat reseptor, efek klinis dan toleransi, Aneastesiologi Indonesia vol 1 No.1. Jakarta.Nurarif, Amin Huda & Kusuma , Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing Santoso, Topo dkk. 2000. Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Remaja : Suatu Perspektif. [Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1]

Internethttp://alcoholrehab.com/drug-addiction-treatment/naltrexone-implant-for-opiate-dependence/ (diakses pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 20.00)http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi9.pdf (diakses pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 16.00).http://www.dexa-medica.com/sites/default/files/publication_upload071203937713001196646105okt-nov2007%20new.pdf (diakses pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 14.00).

19