ANALISIS KASUS filhum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

filsafat hukum yang bernilai yudikatif dan berpendidikan ini

Citation preview

ANALISIS KASUS PARADIGMA CRITICAL THEORY SEBAGAI TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2012

OLEH :Ragil Prastyawan11010110120073FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG2013

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Manusia Dianuggerahi oleh Tuhan Yang maha Esa dengan sifat ingin tahu.[footnoteRef:1] Maka dari itu untuk memahami realitas kehidupan sekelilingnya serta semangat juang untuk memenuhi kebutuhannya yang terus berubah, maka manusia mau tidak mau harus mengembangkan ilmu pengetahuan. Didalam Upaya pengembangan ilmu pengetahuan guna mengantisipasi proses perubahan ini, dari waktu ke waktu manusia perlu menekankan landasan berpikir baru didalam kerangka khasanah disiplin ilmiah yang ada. Dalam kaitan ini, salah satu landasan berpikir baru yang belum banyak digagas adalah dibidang filsafat, utamanya filsafat hukum. [footnoteRef:2] [1: Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Halaman 1] [2: Erlyn Indarti. DISKRESI DAN PARADIGMA : Sebuah Telaah Filsafat Hukum. (Semarang : Badan penerbiat Universitas Diponegoro, 2010). Halaman 2]

Suatu aliran filsafat hukum itu tidak sama dengan paradigma. Setiap aliran filsafat hukum itu sebenarnya merupakan bagian dan bisa dikatakan pengejawantahan atau terlahir atau berakar dari suatu paradigma tertentu.[footnoteRef:3] Paradigma itu sendiri dapat dipahami sebagai suatu kerangka pemikiran yang meliputi beragam belief dan standar. Kerangka mana lalu menetapkan ruang lingkup dari segala hal yang dianggap sah dalam suatu bidang, disiplin atau cabang ilmu pengetahuan didalam mana paradigm itu dimaksud diaplikasikan. Secara keseluruhan, apa yang terkandung dalam paradigma dengan demikian mendefinisikan suatu pola aktivitas ilmiah yang mapan dan mantap bagi komunitas ilmuan yang bersangkutan. Pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang sebaliknya, dimana pola ini juga mendefinisikan bagaimana isi dan bentuk dari komunitas ilmuan yang berbagi paradigma tersebut.[footnoteRef:4] [3: Ibid. Halaman 13] [4: Ibid. Halaman 14]

Dalam konteks pengertian paradigma yang lebih mencakup sekaligus sistematis, padat, dan rasional inilah Guba dan Lincoln menawarkan 4 (empat) paradigma utama, keempat paradigma tersebut adalah positivism; postpositivism; critical theory et al; dan constructivism. Keempat paradigma tersebut dibedakan satu sama lain melalui respon terhadap 3 (tiga) pertanyaan mendasar yang meliputi pertanyaan ontologis, epistemologis, dan metodologis. [footnoteRef:5] Dari keempat macam paradigma ini hanya akan diambil satu jenis paradigma yang penulis anggap sejalan dengan pikiran penulis, yaitu paradigm critical theory at al berkaitan dengan sebuah kasus yang akan penulis angkat dan analisa, [5: Ibid. Halaman 19]

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bila kita simak secara seksama bukan hanya sekedar instrument untuk mencapai stabilisasi suatu pemerintahan dalam jangka waktu yang relatif pendek namun pada esensinya APBN sebagaimana fungsinya sebagai mobilisasi dana investasi yang merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan berupa pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi guna meningkatkan pendapatan nasional dan mencapai pertumbuhan ekonomi guna meningkatkan pendapatan nasional.[footnoteRef:6] Namun dalam penyusunan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja negara saat ini dipertanyakan fungsi dan efisiensi dari dana yang dikeluarkan atau yang dianggarkan yang telah disusun oleh pemerintah untuk sebagai fungsi utama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), perlu mendapatkan sorotan yang kritis terhadap APBN yang telah disusun oleh pemerintah. Banyak belanja negara yang telah dianggarkan dan telah dikeluarkan pemerintah tidak tepat sasaran. [6: Losina Purnastuti, Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Idah Mustikaswati, 2003). Halaman 76]

Tidak tepatnya sasaran pada penggunaan uang negara untuk APBN di Indonesia banyak dipengaruhi oleh faktor, dalam hal ini salah satu yang mempengaruhi salah satunya ialah faktor politik. Salah satunya yang terdapat pada RUU RAPBN 2013 yang telah disusun oleh pemerintah dan telah disetujui oleh DPR berlanjut disahkan UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2013 dan diundangkannya dalam berita lembaran negara. Didalam Undang-undang tersebut terdapat permasalahan kasus yang memiliki dampak besar sangat merugikan negara yaitu misal pada kasus kerugian yang disebabkan oleh PT. Lapindo Brantas yang berkedudukan di Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh PT. Lapindo Brantas negara harus ikut menanggung juga kerugian, dimana hal tersebut berarti rakyat Indonesia ikut menanggung kerugian yang disebabkan oleh PT. Lapindo Brantas melalui Pajak yang telah dibayar oleh rakyat, mengingat PT. Lapindo Brantas adalah perusahaan milik swasta maka sangat tidak adil apabila rakyat ikut menanggung kerugian yang telah disebabkan oleh perusahaan tersebut. Pada pasal 9 ayat 2 disebutkan dalam rangka penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur Sidoarjo, anggaran belanja yang dialokasikan pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2013 dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur, termasuk didalamnya penanganan tanggul utama sampai ke kali Porong (mengalirkan lumpur dari tanggul utama ke kali porong) dengan pagu paling tinggi sebesar Rp. 155.000.000.000,00 (seratus lima puluh lima milyar rupiah). Dengan terdapatnya pasal mengenai bantuan kepada PT. Lapindo berantas pada UU No. 19 Tahun 2012 membuktikan menandahkan bahwa dalam dibalik perancangan pembuatan penyusunan pasal tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik mengingat perusahaan tersebut milik swasta dan pemiliknya ialah Aburizal Bakrie ketua Umum dari partai Golkar dan partai tersebut ialah merupakan salah satu partai yang tergabung dalam Setgab koalisi gabungan dengan partai penguasa yakni Partai Demokrat. Jadi melihat dari kondisi politik di pemerintahan yang demikian tersebut maka terhat jelas bahwa dibalik penyusunan pasal tersebut sangat erat kaitannya dari politik apabila ditinjau dari segi politik.

Melihat hal diatas semakin terlihat dan membuktikan bahwa hukum di Indonesia atau produk undang-undang yang dibuat oleh pemerintah terkadang secara jelas kurang memenuhi atau tidak memenuhi rasa keadilan terhadap rakyat, dimana dikarenakan faktor politik. Sistem hukum modern pada saat ini strukturnya dibangun dengan menggunakan diatas paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan. Hukum sendiri sedari awal dikonstruksikan untuk besifat adil dan netral, didalam pelaksanaannya ternyata sangat berlawanan dengan sifat-sifat hal tersebut. Yang terjadi dalam praktik bahkan hukum sedari awal telah memiliki potensi untuk bersifat memihak terutama kepada mereka yang memiliki kekuasaan yang paling dominan.

1.2. Tujuan PenulisanTujuan dari penulisan yakni untuk memahami dan mengetahui lebih mendalam mengenai mata kuliah filsafat hukum, dalam hal ini kaitannya dalam menganalisa suatu kasus hukum atau permasalahan hukum yang ada di masyarakat dalam pandangan suatu paradigma khususnya paradigma Critical Theory et al.

1.3. Permasalahan1. Mengapa Pemerintah dalam perancangan UU No. 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara tahun 2013 memasukkan Alokasi dana kepada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS) pada tahun anggaran 2013 ?

BAB IIPEMBAHASANPada penulisan tugas ini, penulis menggunakan paradigma Critical Theory et al dalam menganalisa kasus Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 yang telah dianggarkan pemerintah kepada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS). Paradigma Critical Theory et al memiliki suatu kenyataan virtual sejarah, artinya bahwa aliran-aliran ini dimaksudkan untuk memahami atau menyakinkan hukum secara virtual atau sejarah. Karenanya, hukum pada dasarnya adalah kesadaran yang tidak benar atau dengan kata lain disadari secara salah.[footnoteRef:7] Dalam pengertian lain menurut Guba dan Lincoln paradigma Critical Theory et al merupakan realitas yang nyata dalam suatu dimensi yang terbentuk oleh faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender kemudian sejalan dengan waktu terkristalisasi dan dianggap nyata. [7: Ibid Halaman 28]

Dalam teori ini. penganut atau pemegang dan obyek pencarian terkait secara interaktif, artinya adalah temuan obyek penelitian ditengahi oleh nilai yang dipegang semua pihak terkait. Paradigmaa teori kritikal ini berpandangan bahwa ada suatu dialog antara penganut dengan obyek investigasi dimana kesalahan maupun kesalah pahaman merubah pemahaman bahwa struktur histori suatu obyek dapat dirubah dengan memerlukan aksi nyata.Pada paradigma critical theory et al, yang diakui adalah nilai formatif. Sedangkan etika yang terkandung di dalamnya, sebagai unsur intrinsic adalah pencerahan atau kesadaran moral. Tujuannya ditelusuri dari pradigma ini adalah kritik - transformasistruktur sosial, politik, cultural, ekonomi, etnis dan gender yang membatasi dan mengeksploitasi manusia melalui konfrontasi dan (bila perlu dengan konflik). Sifat paradigmaa critical theory et al ini dalam kandungan pengetahuan merupakan serangkaian wawasan struktural atau historis sejalan dengan hilangnva kemasa bodohan dan kesalah pahaman.Dalam critical theoiy et al ini, hukum dianggap sebagai sesuatu yang historis atau wujud dari kenyataan, sesuatu yang bersejarah dan dalam wujud yang bisa dimengerti atau dipercaya, namun hukum bisa juga dianggap sebagai kesadaran yang melenceng. Ciri-ciri hukum dari konsep pemahaman hukum tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Serangkaian struktur sebagai suatu realitas virtual atau historis, yang merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai nilai politik, ekonomi, sosial, budaya, etnik, gender dan agama ; Sebagai instrument hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif, dan eksploitatif ; Setiap saat terbuka bagi kritik, revisi, dan transformasi, guna menuju emansipasi.Berdasarkan Ontologi, Epistemologi dan Metodologinya, Critical theory dalam penelitiannya bertujuan untuk Memberikan suatu kritik terhadap suatu ketidak pedulian pada lingkungan yang diteliti dan kemasa bodohan terhadap suatu pandangan yang menggap bahwa relitas adalah sesuatu yang alaimah (terjadi begitu saja), dan tidak dapat berubah. Pengungkapan segala bentuk ketidak adilan, penderitaan, konflik, ketimpaan dan segala sesuatu yang dapat menghambat dan membatasi umat manusia dalam menghadirkan realitas dari struktur yang ada. [footnoteRef:8] [8: Dikembangkan dari ERLYN INDIARTI,selayan pandang critical theory,critical legal theory dan critical legal studies,dalam Majalah masalah masalah hukum,Vol.XXXI No.3. Juli-September2002,hal.139.]

Paradigma Critical Theory et al / Critical Legal Studies merupakan sebuah teori yang bertujuan melawan pemikiran yang ada, khususnya mengenai norma norma yang sudah ada dalam praktek hukum selama ini, yang cenderung diterima apa adanya oleh masyarakat, yaitu norma norma standart hukum yang didasarkan pada ajaran premis liberal justice.[footnoteRef:9] Penganut aliran ini percaya bahwa logika dan struktur hukum muncul dari power relationship dalam masyarakat. Kepentingan hukum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam pemikiran kerangka tersebut, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hukum sebagai instrument untuk melakukan penekanan penekanan kepada masyarakat, sebagai cara untuk mempertahankan kedudukan.[footnoteRef:10] Dengan kata lain, hukum mulai dari proses pembuatan sampai dengan pemberlakuan selalu mengandung pemihakan, walaupun dalam liberal legal order, dibentuk akan keyakinan, kenetralan, objektivitas, prediktibilitas dalam hukum.[footnoteRef:11] [9: Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum : mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali, (Bandung : PT. Reflika Aditama, 2004), Halaman 125] [10: Ibid. Halaman 126] [11: Ibid.]

Pengembangan paradigma menurut Guba dan Lincoln tentang bagaimana paradigma tersebut dapat digunakan seseorang,dengan dijabarnya adanya tiga aspek dimensi yaitu diantaranya :1. Dimensi ontologis, pertanyaan pokoknya ialah apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Sehingga dapat dipertanyakan kenyataannya. Dalam ontologis dari paradigma Critical Theory et al / Critical Legal Studies menjelaskan bahwa setiap saat hukum semestinya terbuka bagi kritik, revisi, dan transformasi guna menuju emansipasi.[footnoteRef:12] [12: Erlyn Indarti, Op Cit, Halaman 28]

2. Dimensi epistemologi, pertanyaan pokoknya ialah bagaimana relasi antara peneliti dan yang diteliti? epistemologi dalam filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat. Oleh karena itu, filsafat ilmu menjadi bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi dalam kajian ini bukan dalam ruanglingkup yang lebih luas sebagai cabang filsafat, tetapi sebagai salah satu aspek bahasan filsafat ilmu (disamping aspek ontologis dan axiologis) yang secara membahas dengan mengutamakan bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya dari suatu pengetahuan, prosedur, tolak ukur, kebenarannyadan sarana / teknik memperolehnya.[footnoteRef:13] Dalam epistemologi dari paradigma Critical Theory et al / Critical Legal Studies menjelaskan hubungan antara setiap manusia, kelompok manusia, dan institusi harus secara subjektif dan interaktif dalam hal pembuatan, pembentukan atau penggabungan, bahkan penegakan hukum berangkat dari semacam proses mediasi / interaksi diantara sekalian nilai yang dipegang oleh semua pihak yang berkepentingan.[footnoteRef:14] [13: Otje Salman dan Anton F.susanto, Op Cit, Halaman 128] [14: Erlyn Indarti, Op Cit, Halaman 28]

3. Dimensi metodologi, pertanyaan pokoknya ialah bagaimana bahasa yang akan dipakai dalam penelitian atau kajian ? dalam dimensi dari paradigma Critical Theory et al / Critical Legal Studies ini disebutkan bahwa hukum selanjutnya dibuat atau dibentuk, dibangun dan ditegakkan melalui metodologi dialogis atau dialektal. Yang mana disini berlangsung dialog diantara masyarakat luas dan bersifat dialektikal yang mentransform kemasa bodohan dan kesalah pahaman menjadi kesadaran untuk mendobrak atau membongkar ketimpangan atau penindasan.[footnoteRef:15] [15: Erlyn Indarti, Op Cit, Halaman 28-29]

I. Alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS)Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah Negara Republik Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penaikan jumlah alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya yang jumlah atau besarnya semakin meningkat tidak juga dapat memberikan dampak pengurangan kemiskinan, hal tersebut semakin jelas terlihat tampak secara nyata bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) selama ini terkesan dihambur hamburkan atau pemborosan dalam penggunaan uang rakyat, sehingga penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak tepat sasaran dan sehingga keluar dari fungsi utama Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yaitu sebagai instrument untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan berupa pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi guna meningkatkan pendapatan nasional.

Pemrintah telah mengesahkan APBNP 2013 melalui Undang Undang Nomor 15 tahun 2013 yang merupakan produk hukum bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat (DPR), dan tidak ada pihak pihak tertentu yang menuding atau yang memprotes keberadaan dari Pasal 9 ayat 2 pada Undang Undang Nomor 15 Tahun 2013 yang terkait masalah pengalokasian anggaran sebesar Rp. 155.000.000.000,00 untuk kepentingan penanggulangan lumpur Lapindo Sidoarjo. Hal tersebut terlihat jelas bahwa menandakan merupakan dari kesepakatan hitam antar partai politik diantaranya Partai Golkar dan Partai Demokrat untuk membantu PT. Minarak Lapindo Jaya (PT. MLJ).

Presiden selaku pemerintah telah menandatangani Undang undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) tahun 2013, setelah ditandatangani maka ada kewajiban pemerintah untuk segera mengimpelementasikan sejumlah hal hal yang ada didalam APBNP 2013 termasuk alokasi dana ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Pengimpelementasian tersebut merupakan salah satu penegakan hukum yang mencakup nilai nilai keadilan yang terkandung didalamnya yang berbunyi aturan formal maupun nilai nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sistem hukum modern saat ini, sebagian strukturnya dibangun atas paradigma Positivismme dalam suatu ilmu pengetahuan. Hukum yang dari awalnya dikonstruksikan untuk besifat adil dan netral, didalam pelaksanaannya ternyata sangat berlawanan dengan sifat sifat tersebut, dikarenakan hukum dari awalnya memiliki potensi yang sangat rentan untuk bersifat memihak terutama kepada mereka yang memiliki kekuasaan yang dominan.

Dalam alokasi APBN 2013 yang termuat pada Undang undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) tahun 2013, alokasi dana untuk penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo yang termuat dalam pasal 9 Ayat 2 terdapat sangat banyak pengaruh dan keganjalan.[footnoteRef:16] Mengingat PT. Minarak Lapindo Jaya (PT. LMJ) ialah perusahaan swasta milik perseorangan dan mempunyai aset yang sangat besar tidak seharusnya pemerintah ikut serta membantu memberikan bantuan, seharusnya pemerintah memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut atas bencana yang disebabkan oleh perusahaan tersebut dengan alasan paksaan memenuhi sanksi dengan berasalasan untuk menyelamatkan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul disekitaran semburan lumpur di Sidoarjo. Tindakan tersebutlah yang harusnya diambil oleh pemerintah, mengingat bencana tersebut terjadi karena kesalahan dari perusahaan maka tidak seharusnya kesalahan tersebut ditanggung oleh rakyat banyak, dibebankan rakyat banyak dengan penggunaan uang rakyat untuk menutupi kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh perusahaan tersebut. Tuntutan kepada pemerintah untuk memberikan sanksi paksaan kepada perusahaan tersebut untuk menanggung kesalahan atas bencana yang disebabkan perusahaan tersebut diharapkan dapat terwujud bukan malah pemerintah yang memberikan ganti kerugian dengan mengalokasikan dana untuk penanggulangan bencana akibat dari perusahaan tersebut. Apabila penegakan hukum dengan pemberian sanksi kepada perusahaan tersebut apabila tidak diberikan atau tidak ditegakkan maka akan dapat memicu bermunculan perusahaan lain membuat suatu permasalahan bencana baru. Pemerintah harusnya menyadari bahwa dalam pembangunan perekonomian nasional dan dalam penyelenggaraan penegakan hukum selalu tidak dapat terlepas dari unsur politik, walau demikian kearifan keadilan bagi penegakan hukum harus senantiasa selalu ditegakkan dengan seadil adilnya. [16: Liputan6News.com, 18 Juni 2013 : Pendapat Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan.]

Permasalahannya disini, hukum itu selalu tidak terepas dari unsur-unsur politis. Keadilan yang hendak diciptakan oleh hukum, akan berhenti bekeija secara adil bila berhadapan dengan kepentingan politik. Kaum-kaum elit politik yang duduk di pemerintahan merupakan sekelompok orang yang akan mempengaruhi di dalam pembentukan hukum. Sehingga di saat hukum ditegakkan mereka akan menjadi pihak yang tidak tersentuh oleh hukum itu sendiri, melainkan mendapat keuntungan. Hal ini sehamsnya masyarakat da pat mengkritisi permasalahan-pennasalahan tersebut, kama kritik public itu bennakna sosiaL hal ini dapat dirujuk dari pendapat Von Benda Beckmann yang menvatakan bahwa suatu lembaga public itu bermakna social manakala benar-benar diterima masyarakat.[footnoteRef:17] [17: Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007) Halaman 69]

Kesuasaan Politik memang menjadi suatu hal yang dominan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa pemerintah memberikan alokasi dana kepada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS) pada tahun anggaran 2013. Pemerintah berpendapat menurutnya bencana lumpur Lapindo merupakan tanggungjawab pemerintah selanjutnya untuk sebagai dalam rangka penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan disekitar tanggul lumpur Sidoarjo.

Tanpa pemerintah sadari hal tersebut juga dapat berdampat menimbulkan opini bagi masyarakat mengenai hal yang tidak baik terhadap kebijakan pemerintah. Pada dasarnya kebijakan tersebut sangat baik namun apabila ditinjau dari segi faktor politik, maka dianggap sebagai sesuatu yang dianggap oleh masyarakat sebagai kesepakatan hitam diantara oleh partai politik, dan disaat masyarakat mulai memandang suatu kebijakan tersebut dari segi politik maka disaat itulah masyarakat mulai dibuatnya suatu konsessus dan maka kebijakan tersebut harus dibongkar dengan dilakukannya uji materi terhadap Pasal 9 Undang Undang APBNP 2013. Karena dapat juga dikhawatirkan memang memenuhi unsur politik hal tersebut dikarenakan dapat saja sebagai pemberian mahar kepada Partai Golkar agar menyetujui adanya kenaikan BBM bersubsidi.

Tanpa kita sadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam penyusunannya sangatlah dipengaruhi oleh banyak pengaruh salah satunya tak dapat lepas dari faktor politik, sehingga faktor efisiensi menjadi dilupakan atau tidak dihiraukan. Melihat hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak baik maka harus dibongkar.

BAB IIIPENUTUPI. KESIMPULANDari hasil analisis bab pembahsan, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013 (APBNP 2013) yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2013 tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dalam mengalokasikan dana anggaran pada penerapannya pembuatan kebijakan masih belum dapat terpenuhi sepenuhnya fungsi dari APBN itu sendiri, sehingga terciptanya ketidak adilan. Hal tersebut memang dikarenakan tidak dapat dipungkiri oleh pengaruh kepentingan politik yang terlalu mendominasi dalam perbuatan atau tindakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seperti halnya dalam penyusunan APBNP 2013 yang termuat pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 20113 dalam pasal 9 ayat 2 mengenai adanya Pasal Lapindo, dari produk hukum tersebut merupakan hasil dari konspirasi kepentingan politik dan ekonomi yang akan bertolak belakang dengan keadilan masyarakat Rakyat Indonesia. Dikarenakan hal musibah tersebut seharusnya menjadi pertanggungjawaban dari PT. Lapindo Brantas, dan bukan menjadi pertanggungjawaban negara yang menggunakan hasil dari uang rakyat.

II. SaranAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ialah untuk mencapai stabilisasi suatu pemerintahan sebagaimana fungsinya sebagai mobilisasi dana investasi yang merupakan instrument untuk mengatur pengeluaran dana dan pemasukan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan pemerintahan berupa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi guna meningkatkan pendapatan nasional. Pada APBNP 2013 yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 khususnya Pasal 9 Ayat 2 yang memuat Pasal Lapindo, pemerintah seharusnya tidak merumuskan pasal tersebut karena musibah bencana yang terjadi di Lumpur Sidoarjo merupakan akibat dari kesalahan PT. Lapindo Brantas. Pemerintah harusnya memberikan sanksi tegas untuk menanggung musibah yang telah diperbuat. Mengingat PT. Lapindo Brantas merupakan sebuah perusahaan besar yang memiliki asset yang sangat besar maka sekiranya akan cukup untuk dapat menanggung bertanggungjawab atas musibah yang telah diperbuatnya, bila perlu sampai dilakukan upaya mempailitkan atas perusahaan tersebut apabila memang assetnya tidak mencukupi, dan apabila masih kurang maka barulah pemerintah dapat mengalokasikan anggaran bantuan dalam penanggungan musibah tersebut. Kalau memang sanksi tersebut diberikan maka pada saat ini dalam alokasi APBNP 2013 maka pemerintah tidak perlu mengalokasikannya, sehingga dana tersebut dapat dialokaasikan pada sektor lain misal belanja infrastruktur agar dapat tercapai pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan pendapatan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 2012)Indarti, Erlyn. DISKRESI DAN PARADIGMA : Sebuah Telaah Filsafat Hukum. (Semarang : Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2010)Purnastuti, Losina. Ekonomi Indonesia. (Jakarta : Idah Mustikaswati, 2003). Indarti, Erlyn. MAJALAH : Masalah masalah hukum, Selayang pandnag critial theory,critical legal theory, dan critical legal studies, hal.137 (Semarang: Badan benerbit Universitas Diponegoro, 2002)Salman,Otje dan Anton F.Susanto. Teori Hukum : mengingat, mengumpulkan, dan membuka keembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2004)Raharjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007)

Perundang-Undangan :Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013