Analisis Kasus Wanprestasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

.......

Citation preview

TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM PERDATAANALISIS KASUS WANPRESTASIPT. METRO BATAVIA VS PT. GMF

OLEH :

GILAR AMRIZALE1A012355/KELAS C

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANKEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPURWOKERTO2014

A. KASUS POSISIKonflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia merupakan salah satu contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS.Untuk menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah mengajukan gugatan perdata terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya. Ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai penerbangan itu terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar AS$ 256.266 plus bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17 November 2007. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan ESN 724662. Keputusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Maret 2009.Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat berada di luar negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk menjaga kepentingan transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang diumumkan kuasa hokum Garuda, Adnan Buyung Nasution. Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUHPerdata, semua jenis atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur. Sita jaminan hanya dilarang terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk menjalankan pencaharian debitur. Pesawat terbang bisa dijadikan objek sita jaminan. Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan sebagai alat perdagangan. Penetapan itu berbunyi, mengabulkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) penggugat dengan batasan dan ketentuan sebagai berikut. Pertama, menyatakan pesawatpesawat terbang dalam sitaan tersebut tetap dapat dioperasikan demi kepentingan pelayanan transportasi umum selama dalam sitaan. Kedua, menyatakan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut hanya boleh dioperasikan terbatas dalam wilayah Negara Republik Indonesia selama dalam sitaan. Ketiga, memerintahkan termohon (Batavia Air) merawat pesawat-pesawat terbang dalam sitaan itu sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku dengan biaya yang dibebankan kepada termohon sita. Keempat, memerintahkan termohon untuk selalu melaporkan kepada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dan Pemohon atas setiap perubahan pada pesawat, termasuk tidak terbatas pada mesin pesawat udara dan auxiliary power unit (APU) dari pesawat yang disita. Kelima, memerintahkan termohon sita menghadirkan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut di Bandara Soekarno-Hatta pada saat sita jaminan diletakkan oleh Pengadilan Negeri. Keenam, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri melaporkan sita jaminan atas pesawat-pesawat terbang yang telah diletakkan pada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara. Ketujuh, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri yang melakukan sita jaminan pesawat terbang berkoordinasi dengan Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dalam melakukan sita jaminan, terkait dengan identifikasi pesawat terbang dan status pesawat guna menghindari terjadinya peletakan sita jaminan dan eksekusi yang sia-sia. Kedelapan, memerintahkan termohon sita melaporkan segala perubahan barang tersita kepada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara. Batavia melaporkan penyitaan kepada Departemen Perhubungan supaya dicatat, atas pesawat yang disita ke Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Ditjen Pehubungan Udara Departemen Perhubungan. Pencatatan itu terkait dengan identifikasi dan status pesawat agar sita jaminan tidak sia-sia, termasuk setiap perubahan terhadap pesawat selama dalam masa sitaan. Selain itu, Batavia harus merawat pesawat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Majelis hakim membebankan biaya perawatan itu ke Batavia.

B. ANALISIS DAN PEMBAHASANBerdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence Facility yang sudah dibahas sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR?Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat. Isi pasal tersebut, sesuai dengan permohonan sita jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya. Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita , namun hanya disimpan oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana.Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya, yaitu tujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selamalamanya delapan hari.Penjelasan: Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi keputusan hakim, akan tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak yang menang baik dengan lisan maupun dengan surat memajukan permintaan kepada pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan tersebut. Ketua pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan diberi ingat supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari, memenuhi keputusan itu. Setelah lewat tempo yang ditetapkan itu dan yang kalah belum juga memenuhi perintah hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian memerintahkan kepada Panitera untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang kalah sekira cukup untuk memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi GMF terhadap Batavia dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia dapat melunasi utang.

C. KESIMPULANHukum perdata bersumber pokok pada kitab undang-undang hukum sipil yang berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 mei 1848 KUHP yang berdasarkan asas konkordansi. Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.Kasus Hukum Perdata PT. Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia terdapat masalah jatuh tempo dari PT Metro Batavia yang sesuai dengan Pasal 196 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), terdapat juga Pasal 227 HIR yang berisikan sita jaminan untuk PT Metro Batavia dan Pasal 1311 KUHPerdata Kebendaan siberhutang berhak menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Semua keputusan pengadilan sesuai dengan Hukum Perdata yang berlaku. Dilihat dari pembahasan dan penjabaran masalah kasus wanprestasi di atas yang mengenai konflik antara PT Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia, penulis menyimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan tindak perdata yang sesuai dengan penerapan pasal 227 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), pasal 1131 KUHPerdata, dan pasal 196 HIR. Untuk itu, segala keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah dibuat sudah sesuai dengan perkara kasus yang berdasarkan hukum yang telah ditetapkan.