50
ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI I. TUJUAN Agar mahasiswa dapat memahami langkah - langkah analisis obat didalam cairan hayati. II. DASAR TEORI Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan makhluk hidup. Berdasarkan interaksi tersebut, maka farmakologi dibagi menjadi dua yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik. Dalam farmakodinamik dipelajari mengenai pengaruh (efek) obat terhadap makhluk hidup. Sedangkan farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari tentang kinetika absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat dalam tubuh. Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan kondisi kesehatan seseorang. Ada 4 fase dalam proses farmakokinetik: 1. Penyerapan (absorbsi) obat Absorbsi ditentukan oleh bentuk sediaan, bahan pencampur obat, cara pemberian obat. Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan usus besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan lapisan dinding mukosanya lebih permeabel. Bioavailability artinya jumlah dan kecepatan bahan obat aktif masuk ke

Analisis Obat Dalam Cairan Hayati

Embed Size (px)

DESCRIPTION

praktikum 3 farmasi UGM Farmasi 2013 Eksperimental 1

Citation preview

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I. TUJUANAgar mahasiswa dapat memahami langkah - langkah analisis obat didalam cairan hayati.

II. DASAR TEORIFarmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan makhluk hidup. Berdasarkan interaksi tersebut, maka farmakologi dibagi menjadi dua yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik. Dalam farmakodinamik dipelajari mengenai pengaruh (efek) obat terhadap makhluk hidup. Sedangkan farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari tentang kinetika absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat dalam tubuh.Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan kondisi kesehatan seseorang. Ada 4 fase dalam proses farmakokinetik:1. Penyerapan (absorbsi) obatAbsorbsi ditentukan oleh bentuk sediaan, bahan pencampur obat, cara pemberian obat. Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan usus besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan lapisan dinding mukosanya lebih permeabel. Bioavailability artinya jumlah dan kecepatan bahan obat aktif masuk ke dalam pembuluh darah, dan terutama ditentukan oleh dosis dari obat2. Distribusi obatDistribusi artinya setelah obat masuk ke dalam sirkulasi darah, kemudian obat diditribusikan ke dalama jaringan tubuh. Distribusi obat ini tergantung pada rata-rata aliran darah pada organ target, massa dari organ target, dan karakteristik dinding pemisah diantara darah dan jaringan. Di dalam darah obat berada dalam bentuk bebas atau terikat dengan komponen darah albumin, gliko-protein dan lipo-protein, sebelum mencapai organ target. Apabila obat telah terikat dengan protein maka secara farmakologi obat tersebut tidak mempunyai efek terapetik dan ditibusinya terbatas. Selain itu obat tidak dapat menembus membran sel karena merupakan suatu komplek yang besar.3. MetabolismeTempat utama metabolismeobat terjadi di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam bentuk tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam bentuk aktif sampai di hati. Obat-obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerisasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu. Kecepatan metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor genetik, penyakit yang menyertai(terutama penyakit hati dan gagal jantung), dan adanya interaksi diantara obat-obatan. Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun sampai lebih dari 30% karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati.4. EksresiTempat utama terjadinya eksresi adalah di ginjal. Sedangkan sistem billier membantu ekskresi untuk obat-obatan yang tidak diabsorbsi kembali dari sistem pencernaan. Sedangkan kontribusi dari intestine (usus), ludah, keringat, air susu ibu, dan lewat paru-paru kecil, kecuali untuk obat-obat anestesi yang dikeluarkan waktu ekshalasi. Metabolisme oleh hati membuat obat lebih polar dan larut air sehingga mudah di ekskresi oleh ginjal. Obat-obatan dengan berat lebih dari 300 g/mol yang termasuk grup polar dan lipophilic di ekskresikan lewat empedu.Secara lebih jelasnya Farmakodinamik menggambarkan bagaimana obat bekerja dan mempengaruhi tubuh, melibatkan reseptor, post-reseptor dan interaksi kimia. Farmakokinetik dan farmakodinamik membantu menjelaskan hubungan antara dosis dan efek dari obat. Respon farmakologis tergantung pada ikatan obat pada target. Konsentrasi obat pada reseptor mempengaruhi efek obat. Farmakodinamik dipengaruhi oleh perubahan fisiologis tubuh seperti proses penuaan, penyakit atau adanya obat lain. Penyakit-penyakit yang mempengaruhi farmakodinamik contohnya adalah mutasi genetik, tirotoksikosis (penyakit gondok), malnutrisi (salah gizi) dll.Pada hakekatnya supaya bisa diserap oleh tubuh obat harus diubah menjadi metabolit aktifnya. Biasanya obat-obat yang demikian disebut dengan Pro drug (Pra obat). Prodrug bersifat labil, tidak mempunyai aktivitas farmakologis, tapi dalam tubuh akan diubah menjadi aktif. Contoh : Bioavailabilitas parasetamol ditingkatkan oleh ester propacetamol dan sumacetamol. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat dieksresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak di dalam tubuh.Darah merupakan tumpuan proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi. Artinya tanpa darah, obat tidak dapat menyebar ke lingkungan badan dan dikeluarkan dari badan. Karena itu, logis bila adanya proses absorbsi dapat ditunjukkan dengan peningkatan kadar obat dalam darah dan adanya proses distribusi serta eliminasi ditunjukkan dnegan pengurangan kadar obat dalam darah. Dengan kata lain, besarnya obat yang ada dalam darah mencerminkan besarnya kadar obat di tempat absorbsi, distribusi, dan tempat eliminasi.Penetapan kadar obat di dalam badan dapat dianalisis dari cairan hayati lain seperti urin, saliva atau lainya. Namun, dalam praktik, uji dengan darah paling banyak dilakukan. Di samping tempat dominan yang dilalui obat seperti yang dijelaskan di atas, darah juga menjadi tempat yang paling cepat dicapai oleh obat. Sedangkan urin merupakan cairan hayati yang biasanya digunakan dalam uji fase farmakokinetik untuk mempelajari disposisi suatu obat dan menentukan kadar suatu obat untuk obat-obatan yang dieksresikan lewat urin, minimal 10% nya terdapat dalam urin dalam bentuk utuh yang belum dimetabolisme.Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter farmakokinetika. Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin,saliva dan lainnya). Parameter farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan metabolitnya.Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetika adalah :a.Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti cairan intrasel, ekstrasel (plasma darah, cairan interstitial, cairan cerebrospinal), dan berbagai fasa lipofil dalam tubuh.b.Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin dapat mengikat obat.c.Distribusi obat dalam berbagai system kompartemen biologis, terutama hubungan waktu dan kadar obat dalam berbagai system tersebut, yang sangat menentukan kinetika obat.d.Dosis sediaan obat,transportantar kompartemen seperti proses absorpsi, bioaktivasi, biodegradasi dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam tubuhTerdapat tiga jenis parameter farmakokinetik yaitu parameter primer, sekunder, dan turunan. Parameter farmakokinetik primer meliputi kecepatan absorbsi, Vd (volume distribusi), Cl (klirens). Parameter farmakokinetik sekunder antara lain adalah t 1/2 eliminasi (waktu paruh eliminasi), Ke (konstanta kecepatan eliminasi). Sedangkan parameter farmakokinetik turunan harganya tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian obat Parameter farmakokinetik meliputi :1. Parameter pokok Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada pemberian intramuskular). Cl (Klirens)Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat persatuan waktu (Neal, 2006). Volume distribusi (Vd)Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat (Neal, 2006).2. Parameter Sekunder Waktu paro eliminasi (t 1/2)Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obatdi dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang konstan) (Katzung, 2001). Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yangakan tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasimenunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapaikeseimbangan (Neal, 2006).3. Parameter Turunan Waktu mencapai kadar puncak ( tmak )Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai puncak. Kadar puncak (Cp mak)Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum atau plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan eliminasi dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-proses tersebut berada dalam keadaan seimbang. Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu (AUC)Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obatdiabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik .Agar nilai parameter obat dapat dipercaya ,metode penetapan kadar harus memeuhi berbagai criteria yaitu meliputi perolehan kembali,presisi dan akurasi .Persyaratan yang dituntut adalah jika metode tersebut dapat memperoleh nilai perolehan kembali yang tinggi(75-90% atau lebih ) ,kesalahan acak dan sistemik kurang dari 10 %.Parameter farmakokinetika sangat penting karena dapat menggambarkan seberapa besar obat diabsorbsi, seberapa tepat obat dieliminasi, seberapa besar efek terapeutik dan ketoksisikan suatu obat. Oleh karena itu agar parameter dapat dipercaya, metode yang digunakan dalam menentukan kadar obat yang digunakan harus memenuhi criteria sebagai berikut:1. Selektif atau spesifikSelektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatu obat dari metabolitnya, obat lahir(dalam kasus tertentu yang berkaitan) dan kandungan endogen cuplikan hayati. Selektifitas metode menempati prioritas utama karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah dalam bentuk tak berubah atau metabolitnya. Metode analisis yang digunakan harus memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu obat yang akan ditetapkan tersebut. Spesifik hendaknya diterapkan dengan percobaan melalui bukti kromatografi bahwa metode spesfik untuk obat.Sebagai tambahan, standar internal hendaknya dapat dipisahkan secara lengkap dan menunjukkan tidak adanya gangguan senyawa-senyawa lain. Penetapan kadar secara kalorimetrik dan spektrofotometrik biasanya kurang spesifik. Gangguan dari zat lain dapat memperbesar kesalahan hasil (Shargel, 1998).2. Sensitif atau pekaSensitifitas metode berkaiatan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh suatu metode analisis yang digunakan. Pemilihan metode analisis tergantung pada tingkat sensitifitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan kadar dari waktu ke waktu. Sehingga metode analisis yang dipilih harus dapat mengukur kadar obat tertimggi sampai yang terendah yang ada dalam badan.Perlu diperhatikan bahwa terdapat keterkaitan antara kespesifikan dan kepekaan suatu metode analisis. Dalam berbagai kasus,kespesifikan suatu metode dapat ditingkatkan dengan menurunkan kepekaan, karena dengan cara gangguan komponen lain dalam sampel dapat ditekan. Akan tetapi, penurunan kepekaan kadang-kadang mengakibatkan kekeliruan negative yang merugikan dalam analissi kualitatif. Oleh karena itu, sebelum memilih suatu metode, perlu dipertimbangkan dengan seksama manakah yang lebih dibutuhkan,kepekaan yang maksimum atau kespesifikan yang tinggi.3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan(precision)Ketelitian(accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan anatara harga penetapan kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui.Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilainilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi pengukuran tersebut.

Metode yang baik memberikan hasil recovery yang tinggi yaitu 75-90% atau lebih. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu hasil itu teliti (accurate) berarti purata sama dengan harga sebenarnya, walaupun penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah lebih baik hasil yang kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat. Ketepatan(precision) menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil (reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata kecil meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan harga sebenarnya. Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan penyebaran data, sperti datndar deviasi atau koefisien variasi.

4. CepatKecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam suatu macam penelitian farmakokinetika5. EfisienMetode tidak terlalu panjang karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu kesalahan sistematik.

III. ALAT DAN BAHANALAT Labu takar 100 ml Pipet volume 0,1; 0,2; 1,0; 2,0 ml Tabung reaksi 15 buah Pipet ukur 5 ml Speltrofotometer Kuvet Scalpel/ silet Sentrifuge Stopwatch Kertas grefik numeric dan semilogBAHAN Asam trikloroasetat (TCA) Natrium nitrit 0,1 % Ammonium sulfamat 0,5 % N (1-naftil) etilebdiamin 0,1 % Sulfadiazine (Na) Antikoagulan: heparin Darah tikus

IV. CARA KERJA Ditetaapkanan prosedur kadar Bratton Marshall

Dibuat larutan stok Na sulfadiazine

Dibuat kurva baku internal

Sampel darah invivo diproses

Stok Na sulfadiazine ditambahkan darah sampel di campurkan dan dipusingkan (sentrifuge)

Diambil beningan dan diencerkan

Ditambahkan NaNO2 didiamkan

Ditambahkan larutan N (1-naftil) etilendiamin dan dicampur dengan baik

Dipindahkan larutan kedalam kuvet dan dibaca intensitas warna pada spektrofotometer

Dicari waktu larutan sulfadiazine

Digunakan larutan sulfadiazine

Diukur resapan

Dibuat kurva resapan versus

Ditetapkan waktu resapan

Dicari panjang gelombang

Dibuat kurva baku sulvadiazin menggunakan regersi

Ditentukan perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistemik

Disediakan larutan dalam darah 50, 100, 300 g/ml

Diambil 0,1 ml dan dimasukkan dalam tabung reaksi dengan 3,9 ml air

Dianalisis sulfadiazine

Ditentukan kadar masing-masing

Dihitung kadar rata-rata dan simpangan baku

Dibuat 2 replikasi

V. HASIL PERCOBAAN1. Kurva bakuKadar 0; 25; 50; 100; 200; 400 g/ lVolume pengambilan:

Kadar 25 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.25V1= 25 lV Aquadest = 1000-25 lV Aquadest= 975 l

Kadar 50 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.50V1= 50 lV Aquadest = 1000-50 lV Aquadest= 950 l

Kadar 100 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.100V1= 100 lV Aquadest = 1000-100 lV Aquadest= 900 l

Kadar 200 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.200V1= 200 lV Aquadest = 1000-200 lV Aquadest= 800 l

Kadar 400 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.400V1= 400 lV Aquadest = 1000-400 lV Aquadest= 600 l

Kadar (g/ ml)

Absorbansi

250,180

500,325

1000,199

2000,412

4000,929

2. Volume pengambilan (Recovery)Kadar 75; 150; 300 g/ lVolume pengambilan:

Kadar 75 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.150V1= 150 lV Aquadest = 2000-150 lV Aquadest= 1850 l

Kadar 150 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.300V1= 300 lV Aquadest = 2000-300 lV Aquadest= 1700 l

Kadar 300 g/ mlV1.M1= V2.M21000.V1= 1000.600V1= 600 lV Aquadest = 2000-600 lV Aquadest= 1400 l

Kadar (g/ ml)

ReplikasiAbsorbansi

75I0,515

II0,386

III0,319

150I0,831

II0,817

III0,834

300I0,877

II0,783

III0,828

VI. ANALISIS DATA

Diamati perubahan yang terjadi

Dicatat hasilnya

Dihitung kadar rata-rata , recovery, kesalahan acak dan kesalahan sistemik

VII. PERHITUNGAN

Y = 1,830.10-3x + 0,153X =Y - 0,153 1,830.10-3

X75 = 0,407 0,153= 138,797 g/mL1,830.10-3

X150 = 0,827 0,153= 368,306 g/mL1,830.10-3

X300 = 0,829 0,153= 369,398 g/mL1,830.10-3

Perolehan kembaliKadar terukurPerolehan kembali = x 100%Kadar diketahui

%PK75 = 138,797 x 100% =185,063%75%PK150 = 368,306 x 100% =245,537%150%PK300 = 369,398 x 100% =123,13%300

Kesalahan Acak Simpangan bakuKesalahan acak = x 100% Harga rata-rata

%KA75 = 0,0996 x 100% = 24,477%0,407%KA150 = 9.10-3 x 100% = 1,097%0,827%KA300 = 0,047 x 100% = 5,671%300

Kesalahan sistematikKesalahan sistemik = 100% - %PK

%KS75 = 100% - 185,073% = -85,073%%KS150 = 100% - 245,537% = -145,537%%KS300 = 100% - 123,130% = -23,130%

ONEWAY DATA RECOVERYONEWAY /VARIABLES= absorbansi BY kadarDescriptives

95% Confidence Interval for Mean

NMeanStd. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimumMaximum

absorbansi753.41.10.06.16.65.32.52

1503.83.01.01.80.85.82.83

3003.83.05.03.71.95.78.88

Total9.69.22.07.52.86.32.88

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statisticdf1df2Sig.

absorbansi3.4926.10

ANOVA

Sum of SquaresdfMean SquareFSig.

absorbansiBetween Groups.362.1843.66.00

Within Groups.026.00

Total.388

Uji Anova pada prinsipnya adalah melakukan analisis variabilitas data menjadi dua sumber variasi yaitu variasi didalam kelompok (within) dan variasi antar kelompok (between). Bila variasi within dan between sama (nilai perbandingan kedua varian mendekati angka satu), maka berarti tidak ada perbedaan efek dari intervensi yang dilakukan, dengan kata lain nilai mean yang dibandingkan tidak ada perbedaan. Sebaliknya bila variasi antar kelompok lebih besar dari variasi didalam kelompok, artinya intervensi tersebut memberikan efek yang berbeda, dengan kata lain nilai mean yang dibandingkan menunjukkan adanya perbedaan.Hasil uji Anova diketahui besarnya nilai F hitung adalah 43,66 dengan degree of freedom/derajat bebas (df) regression sebesar 2 dan nilai df dari residual sebesar 6, maka dapat diketahui besarnya nilai dari F-tabel pada tingkat signifikansi 5% (a = 0,05) yaitu sebesar 5,14 (Lihat Tabel F).Untuk pengujian yaitu dengan membandingkan besarnya nilai F hitung dan F tabel, memberikan hasil bahwa nilai F hitung lebih besar dari F tabel atau 43,66 > 5,14. Diperkuat dengan nilaip= 0.00lebih kecil daripadanilai kritik =0,05. H0 ditolak sehingga kesimpulan yang didapatkan adalah ada perbedaan yang bermakna rata-rata absorbansi berdasarkan ketiga kelompok kadar tersebut.Karena hasil uji Anova menunjukan adanya perbedaan yang bermakna, maka uji selanjutnya adalah melihat kelompok mana saja yang berbeda.Untuk menentukan uji lanjut mana yang digunakan, maka kembali kita lihat tabelTest of Homogeneity of Variances.Hasil ujiHomogeneity of Variances menunjukkan nilai sig. (p-value) sebesar0,10, ini mengindikasikan bahwa kitagagal menolak H0, dengan kata lain H0 diterima. Berarti tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa mean dari tiga kadar kelompok tidak sama. Hasil yang didapatkan 0,10 > 0,05 dapat disimpulkan bahwa data absorbansi berdasarkan kadar mempuyai varian yang sama.

VIII. PEMBAHASANTujuan praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat didalam cairan hayati. Obat yang dianalisis dalam percobaan kali ini adalah sulfametoksazol. Dalam percobaan ini digunakan metode bratton-marshall. Metode bratton-marshall merupakan cara umum untuk menentukan kadar senyawa yang mempunyai senyawa amin primer didalamnya. Metode ini berdasarkan kolorimetri, yaitu terbentuknya senyawa berwarna yang intensitasnya dapat diketahui dengan menggunakan alat spektrofotometer uv-visibel.Analisis ini bertujuan untuk menguj seberapa besar ketepatan dan ketelitian metode yang digunakan, maka ditetapkan beberapa parameter farmakokinetika yang berhubungan dengan metode penetapan kadar suatu obat dalam cairan hayati, seperti recovery (P%), dan kesalahan sistematik (100%-P%) sebagai parameter ketelitian serta perhitungan SD dan kesalahan acak (CV) sebagai parameter ketepatan. Parameter farmakokinetik merupakan tolak ukur yang digunakan untuk mengevaluasi pola absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi suatu obat. Parameter farmakokinetik merupakan besaran yang diturunkan secara sistematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya dalam darah atau urin. Analisis ini dilakukan dengan membuat seri kadar obat tertentu dalam darah dan urin yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga dpaat dibaca absorbannya dan dibuat kurva bakunya.Cairan hayati yang digunakan sebagai media obat adalah darah dan urin. Darah yang digunakan untuk analisis obat karena darah merupakan tempat yang paling cepat dicapai oleh obat dan merupakan tempat dominan yang dilalui oleh obat, baik ketika proses metabolisme maupun organ eliminasi, sehingga kadar obat dalam darah paling mencerminkan kadar obat sebenarnya dalam tubuh. Proses absorbsi ditunjukan dengan adanya peningkatan kadar obat dalam darah. Sedangkan proses distribusi dan eliminasi ditunjukan dengan adanya penurunan kadar obat dalam darah pada waktu tertentu.Sedangkan penggunaan urin dalam analisis kadar obat memiliki beberapa persyaratan, antara lain bentuk obat dalan keadaan unchanged, teknik penetapan harus spesifik, frekuensi cuplikan harus besar, dan cuplikan yang diambil harus ketika semua obat telah diekskresi atau sekitar 7-10 kali waktu paruhnya. Keterbatasan penggunaan cuplikan urin diantaranya karena pengosongan kandung kemih sulit utnuk dikerjakan, banyak obat mungkin mengalani dekomposisi selama penyimpanan, dan kemungkinan terhidrolisisnya konjugat metabolit yang tidak stabil dalam urin. Pada akhirnya keterbatsan tersebut dapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk unchanged yang diekskresikan pada waktu tak hingga.

Berikut bahan bahan yang digunakan dalam praktikum ini: 1. sulfametoksazol:

Rumus molekul : C10H11N3O3S Berat molekul : 253,28 Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis tidak berbau Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform, mudah larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer, agak sukar larut dalam etanol.Sulfametoksazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C10H11N3O3S, dihitung terhadap zat yang etlah dikeringkan.Pemerian: Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis tidak berbauKelarutan: Praktis tidak larut dalam air, dalam eter, dan dalam kloroform; mudah larut dalam aseton dan dalam natrium hidroksida encer; agak sukar larut dalam etanol.Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang mempunyai absorbsi dan ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam NaOH encer. Dari sifat-sifat itu, larutan obat ini dibuat dengan melarutkan terlebih dahulu SMZ dalam NaOH kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki. Obat ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep mata.Waktu paruh plasma Sulfametoksazol adalah 11 jamSulfametoksazol merupakan sulfonamid turunan dari sulfanilamid dan mempunyai peranan sebagai obat anti bakteri. Sulfametoksazol merupakan sulfonamid yang mempunyai kecepatan absorpsi dan ekskresi cepat. Pasangan elektron bebas yang dimiliki Sulfametoksazol terdapat pada atom-atom N-primer, N-sekunder, N-tersier, O pada SO dan rantai siklik serta S pada SO, dimungkinkandapat mengikat tembaga(II) pada protein azurin yang dibutuhkan oleh bakteri untuk proses fotosintesis.Sulfametoksazol dalam dewasa ini hampir selalu digabungkan dengan trimetropin dalam penggunaanya. Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam uasaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan kotrimoksazol.Mikroba yang peka terhadap kombinasi trime toprim-sulfametoksazol ialah ; S. pneumoniae, C. diphtheria, dan N meningitis, 50-59 % strain S. aureus, S. epidermidis, S. pyogenes, S. viridians, S. faecalis, E. coli, P. mirabilis, P. morganii, P. rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonela, Shigela, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiela spesies. Kedua komponen memperlihatkan interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efektif walaupun mikroba telah resisten terhadap tirmetropim. Aktifitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamide menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrshidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenin, guanin, dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintensis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

2. HEPARINHeparin adalah sediaan steril mengandung polosakarida sulfat seperti yang terdapat dalam jaringan hewan yang menyusui, mempunyai sifat khas menghambat pembekuan darah. Potensi tiap mg tidak kurang dari 110 IU dan tidak lebih dari 13 Iu dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan dan tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera dalam etiket.Struktur heparin:

Pemerian: Serbuk, putih atau putih daging agak higroskopisKelarutan: Larut dalam 2,5 bagian airHeparin merupakan anti-koagulansia langsung, yang mengandung gugus karboksil dan sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu asam terkuat dalam tubuh. Heparin bekerja dengan menghambat pembekuan darah yang kerjanya bergantung adanya Anti-trombin III (suatu 2-globulin dan kofaktor dari heparin dan memperkuat kerja heparin) sehingga membentuk kompleks heparin-antitrombin yang ammpu mengaktifkan faktor-faktor Ixa, Xa, XIa, XIIa sehingga menghambat pembentukan trombin. Pqdq konsentrasi tinggi, heparin menghambat juga agregasi trombosit.Heparin juga mempunyai kerja menjernihkan plasma yang berlipid (membebaskan lipoproteinlipase dari endotelium pembuluh yang mampu melarutkan khilomikron). Heparin mempercepat penguraian histamin dengan membebaskan diaminoksidase yang mengoksidasi histamin dan mereduksi pembentukan aldosteron.Mekanisme anti koagulan :Heparin + Anti trombin III + Faktor penggumpalan Kompleks terner Protrombin X TrombinHeparin beraksi dengan mengikat anti trombin III membentuk kompleks yang berafinitas lebih besar daripada anti trombin III itu sendiri terhadap beberapa faktor pembekuan darah aktif (trombin dan faktor Xa/faktor stuart power). Heparin juga menginaktivasi faktor VIIIa/AHG dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil. Oleh karena itu heparin mempercepat inaktivasi faktor pembekuan darah. (Ian Tahu, 1995).

3. ASAM TRIKLORO ASETAT(TCA)

Rumus molekul: BM: 163,39Pemerian: massa hablur, sangat rapuh, tidak berwarna, rasa lemah dan khas.Kelarutan: sangat mudah larut dalam air, dalam etanol, dan dalam eter P.Asam trikloroasetat (nama sistematis: asam trikloroetanoat) adalah analog dari asam asetat, dengan ketiga atom hidrogen dari gugus metil digantikan oleh atom-atom klorin. Senyawa ini merupakan asam yang cukup kuat (pKa = 0.77, lebih kuat dari disosiasi kedua asam sulfat). Senyawa ini dibuat melalui reaksi klorin dengan asam asetat bersama katalis yang cocok.CH3COOH + 3Cl2 CCl3COOH + 3HCl (anonim,1979)

4. NATRIUM NITRIT 0,1%

Nama lain: sodium nitrit, nitrous acid sodium salt, orinitrit.Pemerian: putih atau sedikit kuning, granul higrokopis, batang atau serbuk.Kelarutan: larut dalam 1,5 bagian air dingin, o,6 bagian air mendidih (windohlz, 1976).

5. AMONIUM SULFAMAT

Nama lain: sulfamic acid monoamonium salt, AMS, amcide, ammate.Pemerian: kristal higroskopis.Kelarutan: sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam etanol, cukup larut dalam gliserol,glikol,formalmida. (windohlz, 1976)

Dalam percobaan ini digunakan metode Bratton-Marshall. Metode Bratton-Marshall merupakan cara umum untuk menentukan kadar senyawa yang mempunyai senyawa amin primer didalamnya. Metode ini berdasarkan kolorimetri, yaitu terbentuknya senyawa berwarna yang intensitasnya dapat diketahui dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-visibel. Metode Bratton-Marshall meiliki 3 tahap, yaitu :1. Hidrolisis gugus asetilSalah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina aromatik primer. Apabila senywa gugus aminanya terikat pada molekul lain, maka senywa harus dihidrolisis terlebih dahulu.2. DiazotasiReaksi antara senyawa amina aromatik primer dengan asam nitrit ( HNO2) membentuk suatu garam diazonium. Asam nitrit merupakan senyawa yang tidak stabil dalam keadaan normal sehingga untuk mendapatkan asam nitrit perlu dilakukan reaksi anatara natrium nitrit dengan HCl. Asam nitrit akan membentuk ion nitronium dan akan bereaksi dengan amina membentuk garam diazonium. Reaksi diazotasi p-aminofenol :NaNO2 + HCl 3. KoplingMula-mula dilakukan pengambilan darah hewan uji yaitu tikus.. Digunakan tikus putih karena tikus memiliki sistem faal mirip dengan manusia. Pengambilan darah dilakukan dengan menyayat vena lateralis dari ekor tikus.Vena disayat sejajar dengan arah aliran darah (bukan melintang) karena dapat memutus vena tersebut sehingga darah yang keluar tidak kontinyu. Pengambilan pada daerah tersebut karena di tempat itu banyak terdapat pembuluh darah vena sehingga darah yang keluar lebih banyak selain itu karena pada bagian ekor pembuluh darahnya dekat dengan permukaan kulit, sehingga pengambilannya lebih mudah dan dapat mencegah dari kematian. Sebelum diambil darahnya,bulu pada daerah ekor tikus dicukur terlebih dahulu agar darah tidak menempel dan tertinggal pada bulu tikus. Dengan pencukuran diharapkan darah dapat menetes keluar tanpa hambatan. Ekor yang telah disayat diurut untuk mendilatasi untuk pembuluh darahsehingga darah dapat keluar dengan lebih mudah dan cepat. Apabila darah sudah tidak keluar lagi maa ekor tikus lagi atau dapat pula luka goresan tadi sigores sedikit lagiagar luka dapat terbuka kembali dan darah dapat mengalir keluar. Jika darah yang terkumpul tidak cukup banyak,maka dapat dilakukan dengan pengambilan darah dari pembuluh darah tepi mata dari tikus. Namun pada percobaan kali ini darah diambil hanya melalui vena lateralis. Pada praktikum ini diambil darah dari pembuluh vena pada ekor tikus dengan skalpel. Pengambilan darah dilakukan dengan cara memasukkan tikus kedalam holder dan dilewatkan ekornya pada lubang holder lalu holder ditutup sehingga yang berada di luar holder hanya bagian ekor tikus. Kemudian dipegang ekor tikus dengan posisi menurun dan dicukur bulu tikus pada ekor dengan menggunakan skalpel sehingga tampak daerah kebiruan yang merupakan vena. Lalu skalpel digoreskan pada pembuluh vena sehingga darah bisa menetes, darah yang menetes tersebut ditampung dengan eppendorf yang telah diberi heparin sebanyak 5,0 ml sebagai koagulan. Maksud penambahan antikoagulan adalah agar darah tidak membeku. Jika darah mengalami koagulasi maka pada proses sentrifugasi akan diperoleh supernatan berupa serum sedangkan yang digunakan dalam pemeriksaan adalah plasma darah sebagai cairan hayati. Jika darah mulai tidak menetes, diusap bagian luka dengan kapas lalu diurut bagian ekor dari atas ke bawah sehingga darah keluar. Darah yang ditampung dari seluruh kelompok memenuhi syarat yaitu minimal 4 ml. Darah yang keluar ditampung dalam efendorf 1 mL tiap kelompok. Sulfametoksazol akan berikatan dengan protein plasma membentuk kompleks obat makromolekul yang disebut kompleks protein-obat. Protein dalam plamsa darah antara lain albumin danglobulin. Albumin bertangggung jawab terhadap ikatan obat, sedangkan globulinmerupakan bagian terkecil dari keseluruhan protein plasma. Obat akanberikatan dengan protein plasma jika plasma darah memebentuk suatu agregat besar. Oleh karena itu, digunakan plasma darah yang tidak terkoagulasi. Kelompok kami menyayat sampai 3 kali dan jumlah darah yang didapat hampir memenuhi eppendorf. Setelah itu dibuat larutan baku yang bertujuan agar kita dapat menghitung persamaan regresi linier hubungan kadar sulfametoksazol dengan absorbansi sehingga dapat menghitung kadar sulfametoksazol dalam darah tikus. Untuk kurva baku dibuat masing-masing seri kadar larutan baku dengan mengencerkan larutan sulfametoksazol dengan kadar1, mg/mL menggunakan aquadest lalu dimasukkan dalam tabung reaksi berisi sampel hingga didapat konsentrasi sulfametoksazol dalam sampel 25, 50, 100, 200, 400. Untuk blangko digunakan aquadest dengan tujuan untuk mengoreksi absorbansi senyawa yang terbentuk.Lalu dilakukan pembuatan kurva baku internal, karena menggunakan darah pada sampel bukan aquadest. Caranya dengan blanko (250 mikro liter) yang mengandung koagulan ditambahkan 250 mikro liter larutan stok sulfametoksazol sehingga kadarnya 0, 25, 50, 200, dan 400 mikrogram/mL darah, campur homogen.Selanjutnya adalah pemrosesan sampel darah invivo dengan cara masukan 250 mikroliter darah yang mengandung anti koagulan. Maksud penambahan antikoagulan adalah agar darah tidak membeku. Campuran tersebut ditambahkan dengan 250 mikroliter aquadest lalu campur homogen. Setelah homogen ditambahkan dengan 2 mL TCA 5% dengan votexing. Maksud penambahan TCA adalah agar protein terdeprotonasi. TCA mendenaturasi struktur sekunder dan tersier protein melalui ikatan disulfida yang merupakan pembentuk kedua struktur tersebut sehingga bagian nonpolar dari protein akan keluar serta protein mengendap. TCA juga berfungsi sebagai donor proton pada reaksi berikutnya. TCA juga berfungi sebagai pemberi suasana asam pada reaksi diazotasi sehingga dapat menghentikan kerja enzim pemetabolisme obat sekaligus menyebabkan denaturasi protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam amino penyusunnya. Lalu maksud dari votexing adalah agar terjadi pencampuran antara TCA dengan darah yang mengandung anti koagulan secara merata sehingga proses denaturasi protein berjalan lebih cepat.Berikut ini adalah proses denaturasi protein oleh TCA:

Pada reaksi diazotasi yang biasa, digunakan HCl (suatu asam mineral kuat) sebagai pemberi suasana asam. Tetapi pada percobaan ini tidak digunakan HCl karena HCl berefek memecah protein menjadi asam amino-asam aminonya sehingga pada saat sentrifugasi asam amino-asam amino tersebut tidak akan memisah dari plasmanya karena terlalu kecil untuk bisa diendapkan. Asam amino tertentu memiliki ikatan rangkap terkonjugasi akan memberikan serapan pada UV-Vis sehingga akan mengganggu pembacaan absorbansi. Sedangkan bila digunakan TCA akan mengikat protein sehingga protein dapat terdenaturasi dalam suasana asam tanpa terpecah menjadi fragmen-fragmennya.Lalu larutan kurva baku internal yang telah dibuat digabung dengan sampel darah in vivo yang telah di votexing dicampur lalu dipusingkan selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Maksud dari dipusingkan adalah agar terpisah antara zat padat dalam hal ini protein terdenaturasi dengan cairan yang berupa supernatan. Sentrifugasi juga menyempurnakan dan mempercepat pemisahan endapan protein dari supernatan yang mengandung sejumlah sulfametoksazol yang tidak ikut mengendap bersama protein. Sulfametoksazol yang berada pada supernatan merupakan obat bebas yang tidak terikat protein, sedangkan obat yang terikat dengan prtein tidak aktif scara farmakologis dan tidak memberikan efek terapeutik.Setelah dipusingkan maka diambil beningan sebanyak 1,50 mL dengan menggunakan mikropipet secara hati hati agar endapan protein tidak diambil, sehingga didapatkan obat bentuk bebas pada sampel. Lalu diletakkan di tabung reaksi setelah itu diencerkan dengan aquadest sebanyak 2,0 mL. Lalu disetiap tabung reaksi ditambahkan larutan NaNO2 0,1% sebanyak sebanyak 0,1 mL lalu diamkan selama 3 menit agar terjadi reaksi secara sempurna. Maksud dari penambhan natrium nitrit adalah agar terjadi reaksi diazotasi reaksi diazotasi merupakan reaksi antara amina aromatik primer dengan natrium nitrit akan menghasilkan garam diazonium. Kondisi yang paling baik untuk reaksi diazotasi pada pH sekitar 0-3. Suhu harus rendah bertujuan untuk mengubah natrium nitrit menjadi asam nitrit yang akan bereaksi dengan sulfametoksazol. Digunakan natrium nitrit sebab natrium nitrit lebih stabil dibandingkan asam nitrit yang mudah rusak.

Lalu setelah itu ditambahkan larutan ammonium sulfamat 0,5% sebanyak 0,2 mL lalu diamkan selama 2 menit agar proses reaksi berlangsung dengan sempurna. Maksud dari penambahan dari ammonium sulfamat agar sisa nitrit dari reaksi diazotasi dapat ditangkap oleh ammonium sulfamat. Asam nitrit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi senyawa hasil reaksi kopling diazo sehingga dapat lepas menjadi gas nitrogen dan fenol. Oleh karena itu kelebihan asam nitrit harus dihilangkan. Pada saat penambahan ammonium sulfamat harus dilakukan secara hati hati karena akan timbul gelembung gas.

Selanjutnya larutan yang telah didiamkan selama 2 menit ditambah N(1-naftil)etilendiamin 0,1% sebanyak 0,2 mL campur baik baik lalau diamkan selama 5 menit ditempat gelap. N(1-naftil)etilendiamin sebagai pengompling lebih disukai untuk analisis kuantitatid karena produk biasanya berupa larutan dalm air dan punya absortivitas yang tinggi. N(1-naftil)etilendiamin bekerja dalam suasana asam.Setelah didiamkan selam 5 menit, larutan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 545 nm menggunakan spektrofotometer visibel terhadap blanko pereaksi yang telah dibuat. Digunakan panjang gelombang 545 nm karena merupakan panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimum untuk senyawa yang terbentuk. Digunakan panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang maksimum absorbansi yang dihasilkan maksimal dan kesalahan pembacaan pada panjang gelombang maksimal paling kecil. Hal ini disebabkan karena pada panjang gelombang maksimal terdapat keseimbangan antara energi yang dibutuhkan untuk eksitasi dengan energi yang diberikan untuk eksitasi.Sebelum dilakukan pengkuran absorbansi sampel harus terlebih dahulu dipersiapkan kurva baku sebagai kalibrasi. Manfaatnya kita dapat mengetahui kisaran absorbansi untuk sampel agar masuk dalam kisaran kurva baku. Sebelum dilakukan pembacaan absorbansi, perlu dilakukan terlebih dahulu penentuan operating time, yang merupakan waktu yang menunjukkan nilai absorbansi yang konstan terhadap larutan yang dianalisis. Hal ini perlu dilakukan, karena pada percobaan ini terjadi suatu reaksi kopling dengan penambahan NED pada suatu senyawa yang berupa garam diazonium sebagai hasil reaksi diazotasi suatu senyawa aromatik primer dalam suasana asam. Reaksi tersebut memerlukan waktu hingga terbentuk seyawa kopling yang stabil, yang ditunjukkan dengan diperolehnya nilai / angka yang konstan pada beberapa kali pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer. Akan tetapi, pada percobaan ini tidak dilakukan penentuan nilai max dan operating time-nya, namun sebelum pembacaan absorbansi dilakukan pendiaman terhadap campuran yang telah ditambahkan NED selama + 5 menit. Dengan waktu 5 menit, diperkirakan merupakan operating time untuk campuran tersebut dan kemungkinan dalam waktu 5 menit tersebut reaksi kopling sudah berjalan dengan sempurna.Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung kadar terukur obat dalam sampel, lalu dihitung beberapa paranmeter fisika:1. AkurasiAkurasi dianggap baik jika kesalahan sistematik tidak lebih dari 10%. Harga kesalahan sistematik menunjukan kemampuan metode ini memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sebenarnya.2. PresisiPresisi dianggap baik jika kesalahan acak tidak lebih dari 10%. Ketepatan menunjukan hasil pengukuran yang berulang pada sediaan hayati yang sama.3. EfisiensiNilai recovery atau perolehan kembali hasil yang didapat. Recovery merupakan tolak ukur efisiensi analisis. Analisis memenuhi syarat jika recovery berkisar antara 75-90%. Jika diluar rentang kadar tersebut maka percobaan dianggap kurang efisien. Recovery menunjukan kemapuan suatu metode memberikan hasil sedekat mungkin dengan hasil sesungguhnya.Sedangkan syarat yang harus dipenuhi oleh metode analisis yang digunakan yaitu:1. Selektif dan spesifik2. Akurat dan teliti3. Sensitif4. Efisien, cepat, dan mudah digunakan. Pada praktikum kali ini didapatkan data berupa nilai absorbansi. Dari berbagai seri kadar sulfametoksazol, akan didapatkan hasil berupa nilai absorbansi untuk masing-masing kadar. Data yang diperoleh kemudian dilakukan regresi linier, dimana kadar sulfametoksazol sebagai nilai X dan absorbansi yang diperoleh sebagai nilai Y, sehingga didapatkan persamaan kurva baku. Pembuatan seri kadar larutan baku sulfametoksazol dengan cara mengencerkan stok larutan sulfametoksazol 1,0 mg/ml menggunakan pelarut aquadest dengan rumus yaitu: V1.M1=V2.M2, dimana V1 menunjukan volume sulfametoksazol yang diambil dalam satuan mililiter, serta nilai V2 menunjukan nilai volume dari labu takar. Lalu nilai M1 menunjukan nilai kadar sulfametoksazol yang tersedia dengan M2 menunjukan konsentrasi yang kita inginkan. V1.M1=V2.M2. Sehingga didapatkan konsentrasi sulfametoksazol : 25; 50; 100; 200; 400 g/ml. Sulfametoksazol dan aquadest diambil menggunakan mikropipet karena jumlah yang dibutuhkan sedikit. Dengan kadar sulfametoksazol sebesar 25g/mL didapatkan volume sulfametoksazol yang harus diambil sebesar 25 mikroliter. Dengan kadar sebsar 50 g/mL didapatkan kadar sulfametoksazol yang harus diambil sebesar 50 mikroliter. Berikutnya dengan kadar 100 mg/mL didapatkan kadar yang harus diambil sebesar 100 mikroliter. Dengan kadar sebsar 200 mg/mL didapatkan jumlah volume sebesar 200 mikroliter. Serta yang terakhir dengan kadar sebsar 400mg/mL didapatkan volume 400 mikro liter yang harus diambil.Pembuatan kurva baku bertujuan untuk menghitung persamaan regresi linier hubungan kadar sulfametoksazol pada sampel darah tikus dengan nilai absorbansinya. Pembuatan kurva baku membutuhkan 6 sampel darah yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lima dari sampel darah tersebut ditambahkan sulfametoksazol sebanyak 250 l dengan kadar yang berbeda untuk setiap tabung reaksi. Satu sampel darah yang tersisa ditambahkan 250 l aquadest sebagai blanko dalam perhitungan absorbansi. Penggunaan blanko bertujuan untuk mengoreksi absorbansi senyawa yang terbentuk. Tabung berisi sampel darah dan sulfametoksazol digojog ringan agar homogen. Kemudian ke dalam 5 tabung reaksi berisi darah dan sulfametoksazol serta 1 tabung reaksi berisi blanko ditambahkan TCA (Trikloroasetat) 5 % sebanyak 2,0 ml. Tujuan penambahan TCA adalah untuk mendenaturasi protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam amino dan penyusunnya sehingga pada proses sentrifugasi protein bisa mengendap dan memisah dari plasma darah. TCA juga digunakan untuk memberikan suasana asam yang dibutuhkan untuk proses reaksi kimia diazotasi sehingga dapat diketahui kadar sulfametoksazol sebenarnya. Kondisi asam yang diberikan TCA juga mampu menghentikan enzim pemetabolisme obat dalam darah. Untuk memaksimalkan kerja TCA, TCA perlu dihomogenkan terlebih dahulu dengan vortex. Setelah dilakukan vortex maka keenam tabung disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Sentrifugasi bertujuan memisahkan bagian padat (protein dan sel-sel darah) dengan bagian cair yang merupakan plasma darah. Plasma tampak sebagai supernatan bening di lapisan atas. Plasma darah mengandung sejumlah sulfametoksazol yang tidak ikut mengendap bersama protein.Setelah sentrifugasi, plasma darah diambil sebanyak 1,50 ml, jangan sampai endapan ikut terambil karena bisa memengaruhi hasil absorbansi pada spektrofotometer UV-Vis. Plasma darah berisi obat bebas, sedangkan obat yang berikatan dengan protein plasma tidak aktif secara farmakologis dan tidak memiliki efek terapetik. Plasma lalu dimasukkan dalan tabung reaksi ditambah 0,1 ml larutan NaNO2 0,1 % dan didiamkan selama 3 menit. Ion NO2 dari NaNO2 dan H+ dari TCA akan membentuk asam hipotetik HNO2 yang akan bereaksi dengan amina aromatis yang dimiliki sulfametoksazol sehingga membentuk garam diazonium dan menyebabkan perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi (kromofor) sehingga dapat diketahui absorbansinya. Selanjutnya, ditambahkan 0,2 ml larutan ammonium sulfamat 0,5 % ke masing-masing tabung reaksi lalu didiamkan selama 2 menit. Ammonium sulfamat akan menghilangkan kelebihan HNO2, karena HNO2 berlebih akan merusak senyawa yang terbentuk. Hilangnya HNO2 ditandai dengan tidak adanya gelembung N2 yang dapat mengganggu analisis. Reaksinya adalah sebagai berikut.HNO2 + HSO3NH2 H2SO4 + H2O + N2Setelah 2 menit, ditambahkan N(1-naftil)etilendiamin (NED) 0,1 % ke dalam campuran sebanyak 0,2 ml. Penambahan NED bertujuan untuk menimbulkan reaksi kopling yang menyempurnakan reaksi diazotasi sebelumnya. Campuran ini diletakkan di tempat gelap selama 5 menit untuk menyempurnakan reaksi. Setelah 5 menit, absorbansi masing-masing campuran dibaca menggunakan spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah 545 nm dan digunakan blanko darah dengan kadar 0 %. Panjang gelombang 545 nm dipilih karena memiliki sensitivitas tinggi, dimana dengan perubahan sedikit kadar dapat menyebabkan perubahan absorbansi yang besar.Kemudian didapatkan nilai absorbansi dari kadar 25 g/ml menunjukkan absorbansi sebesar 0,180; kadar 50 g/ml menunjukkan absorbansi sebesar 0,325; kadar 100 g/ml menunjukkan absorbansi sebesar 0,199; kadar 200 g/ml menunjukkan absorbansi sebesar 0,412; dan kadar 400 g/ml menunjukkan absorbansi sebesar 0,929. Nilai absorbansi pada kadar 100 g/ml lebih kecil dari kadar 50 g/ml. Hal ini tidak sesuai teori, seharusnya semakin besar kadar semakin besar pula absorbansi karena semakin banyak partikel dalam campuran sehingga cahaya yang dapat diserap partikel semakin banyak. Kesalahan ini kemungkinan disebabkan kurang sempurnanya pengenceran atau terjadi reaksi yang kurang sempurna. Nilai absorbansi yang menyimpang dari teori yaitu 0,199 dapat diabaikan dalam pembuatan regresi linier.Nilai absorbansi yang didapat kemudian dibuat persamaan kurva baku menggunakan regresi linier. Berdasarkan data yang didapat, diperoleh persamaan kurva baku sebagai berikut:y = 1,830.10-3 x + 0,153

Berdasarkan pengukuran dan hasil perhitungan pada data kadar Sulfametoksazol di dalam darah tikus, kita bisa menghitung nilai kesalahan sistemik, kesalahan acak, dan perolehan kembali. Nilai-nilai ini berguna dalam menentukan keakuratan dan presisi data. Nilai perolehan kembali (recovery) merupakan parameter atau tolak ukur efisiensi analisis yang menggambarkan akurasi (ketelitian) metode yang digunakan. Ketelitian ditunjukan oleh kemampuan metode untuk memberikan hasil sedekat mungkin dengan nilai yang sesungguhnya. Ketelitian suatu metode dapat diketahui dari harga perolehan kembali atau recovery yang dinyatakan sebagai % error. Perolehan kembali merupakan tolak ukur efisiensi analisis, sedangkan kesalahan sistemik merupakan tolak ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konstan atau proporsional.

Kadar terukurPerolehan kembali = x 100%Kadar diketahui

Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10% (Pasha dkk., 1986).Nilai perolehan kembali untuk sampel dengan kadar 75, 150, dan 300 g/mL pada sampel darah tikus, sebagai berikut:1. Nilai recovery rata-rata darah tikus dengan kadar 75 g/mL sebesar 185,063%2. Nilai recovery rata-rata darah tikus dengan kadar 150 g/mL sebesar 245,537%3. Nilai recovery rata-rata darah tikus dengan kadar 300 g/mL sebesar 123,130%

Dari ketiga nilai tersebut, tidak ada nilai yang memenuhi syarat sebuah data dapat dinyatakan akurat. Untuk memenuhi tingkat akurasi yang baik, range nilai recovery yang ditentukan adalah 75-90%. Untuk nilai recovery yang lebih besar dari 100% dapat disebabkan: Ada senyawa endogen atau metabolit yang ikut terukur, seperti, molekul-molekul pengganggu atau protein dalam darah yang dapat meningkatkan nilai absorbansi. Ketidaktelitian praktikan dalam menggunakan alat praktikum seperti mikropipet yang mempengaruhi pemberian volume analit ataupun larutan pereaksi, alat votex yang mempengaruhi homogenitas antara pereaksi dan analis, dan juga spektrofotometer yang mempengaruhi nilai serapan analit. Perbedaan dalam penentuan operating time sehingga pembacaan absorbansi pada pembuatan kurva baku dan pembacaan pada percobaan tidak sama selang waktunya.

Berikut beberapa cara untuk menghindari kesalahan pada parameter nilai perolehan kembali: Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak menyebabkan hemolisis pada sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga komponen-komponen intrasel keluar tercampur dengan plasma sehingga tidak mengganggu proses absorbansi sampel. Saat pengambilan supernatant hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil. Pengukuran sampel dan latutan pereaksi harus tepat. Pemakaian alat yang baik dan benar sesuai prosedur kerja. Mengkondisikan sampel dan pereaksi tidak terkontaminasi.

Selain akurasi, suatu ketepatan metode analisis dapat ditinjau dari segi presisinya. Dikatakan presisi atau tepat apabila mampu menunjukan kedekatan hasil pada pengukuran berulang atau replikasi pada sampel hayati yang sama. Tolak ukur dari ketepatan suatu metode analisis adalah kesalahan acak atau koefisien variansi (CV). Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh tetapan variasi. Simpangan bakuKesalahan acak = x 100% Harga rata-rata

Ketentuan dari sebuah metode dikatakan mencapai ketepatan yang tinggi apabila nilai CV kurang dari 10%. Pada percobaan ini, diperoleh kesalahan acak pada sampel darah tikus sebagai berikut:1. Nilai kesalahan acak rata-rata darah tikus dengan kadar 75 g/mL sebesar 24,477%2. Nilai kesalahan acak rata-rata darah tikus dengan kadar 150 g/mL sebesar 1,097%3. Nilai kesalahan acak rata-rata darah tikus dengan kadar 300 g/mL sebesar 5,671%

Dari nilai kesalahan rata-rata yang diperoleh, hanya nilai kesalahan rata-rata pada konsentrasi 150 dan 300 g/mL yang kurang dari 10%, sehingga dapat disimpulkan pada pengukuran konsentrasi 150 dan 300 g/mL memiliki presisi yang baik. Ini menandakan dalam upaya tiga kali replikasi pengukuran absorbansi, nilai yang didapatkan tidak serupa satu sama lain.Penyebab dari inpresisi dalam pengukuran adalah kesalahan acak yang tidak diketahui penyebab pastinya, namun selalu ada di dalam setiap percobaan atau penelitian. Kemungkinan faktor-faktor penyebabnya variasi perlakuan sampel oleh setiap praktikan yang berbeda, seperti pemakaian mikropipet atau alat vortex. Untuk mengatasinya, alat yang digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu, dan sebelum digunakan, alat harus dalam kering dan diusahakan kering.Parameter lain untuk menilai suatu percobaan adalah nilai kesalahan sistemik yang mempunyai syarat nilainya kurang dari 10% agar metode yang digunakan mencapai akurasi yang tinggi. Kesalahan ini bersifat konstan dan mengakibatkan penyimpangan tertentu dari rata-rata.Kesalahan sistemik = 100% - %PK

Nilai kesalahan sistemik untuk sampel dengan kadar 75, 150, dan 300 g/mL pada sampel darah tikus, adalah sebagai berikut:1. Nilai kesalahan sistemik darah tikus dengan kadar 75 g/mL sebesar -85,073%2. Nilai kesalahan sistemik darah tikus dengan kadar 150 g/mL sebesar -145,537%3. Nilai kesalahan sistemik darah tikus dengan kadar 300 g/mL sebesar -23,130%

Dari data kesalahan sistemik darah tikus di atas, seluruh nilainya adalah kurang dari 10%. Artinya, secara keseluruhan hasil percobaan memiliki akurasi yang baik. Jika ada nilai kesalahan sistemik yang lebih dari 10%, dapat diakibatkan oleh beberapa faktor berikut: Kesalahan praktikan dan proses analisis. Dalam percobaan ini dimungkinkan kesalahan ada pada ketidaktelitian praktikan dalam pengukuran volume sampel maupun pereaksi. Hal ini dapat diatasi dengan peningkatan keterampilan praktikan. Kesalahan alat dan peraksi, dapat disebabkan oleh pereaksi yang kurang valid atau telah terkontaminasi atau pemakaian alat yang kurang tepat. Kesalahan metode, dapat disebabkan pada kesalahan pengambilan sampel dan reaksi kimia yang belum sempurna.

Dari perhitungan ketiga parameter di atas, didapatkan hasil yang jauh dari persyaratan parameter yang baik, terutama pada ketepatan metode. Faktor kesalahan tersebut seperti keterampilan praktikan, proses analisis, alat, dan metode yang digunakan. Secara umum, dapat disimpulkan metode Bratton-Marshall ini memiliki ketelitian yang rendah untuk analisis obat daam darah. Salah satunya disebabkan oleh terlalu banyak langkah yang harus dilakukan, padahal dalam analisis semakin banyak langkah maka semakin besar kesalahan terjadi.

IX. KESIMPULAN MetodeBratton-Marshaldapat digunakan untuk menganalisis obat-obat yang memiliki gugusamina aromatik primer dengan pembentukan senyawacouplingberwarna dari garam diazonium. Metode pengukuran harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya efiesiensi (perolehankembali atau recovery), presisi dan akurasi. Berdasarkan teori, metodeBratton-Marshaldapat digunakan untuk menetapkan kadarsulfametoksazol, karena sulfametoksazol memiliki gugus amina aromatis primer. Berdasarkan percobaan diperoleh nilai bahwa nilai perolehan kembalinya adalah 180,063 %, 245,2537%, 123,13 %. Hasil perolehan kembali ada diluar kisaran range yaitu 75 125 %. Berdasarkan percobaan diperoleh nilai kesalahan acak nilai adalah 24,477%,1,097%, 5, 671%. Berdasarkan percobaan diperoleh nilai kesalahan sistemik adalah -85,073 %, -145,537%, -23,13 %. Berdasarkan hasil percobaan, metode Bratton-Marshaltidak memenuhi syarat (tidak spesifik dans elektif) karena tidak memenuhi parameter, yaitu tidak efisien, akurat dan presisi dalampenetapan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus.

X. DAFTAR PUSTAKAAnonim, 1979, Farmakope Indonesia edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.Anonim, 1996, The Merck Index, Vol. X, Merck Research Laboratories: Division of Merck & Co, INC.Bertram G, Katzug, 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 8, Salemba Medika, Jakarta. Goodman & Gilman, 1996, The Pharmacological Basis of Therapeutics, 9th Edition, The McGraw-Hill Companies, USA.Imuno Argo, Donatus, Drs., Apt, 1989, Analisis Farmakokinetika, Bagian I, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.Mutschler, Ernest, 1991, Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi, edisi V, Penerbit ITB, Bandung.

Yogyakarta, 13 Mei 20141. Sufi PertiwiFA/097362. Rizki RahmadaniFA/097383. Anissa Sri Rejeki FA/097414. Ratna Wulan KFA/097475. Cherra AyuFA/09749

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMFARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL IANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Asisten :12Disusun oleh :Golongan IV/ Kelompok IIIKelas C2013Nama NIM TTD1. Sufi PertiwiFA/097362. Rizki RahmadaniFA/097383. Anissa Sri Rejeki FA/097414. Ratna Wulan KFA/097475. Cherra AyuFA/09749

Laboratorium Farmakologi dan ToksikologiBagian Farmakologi dan Farmasi KlinikFakultas Farmasi UGM2014