Upload
mufidatul-ummah
View
243
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan
peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan penyebab
kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat (AS).1,2 Penelitian
epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi
yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-
anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis
berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di
Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU. Insidens sepsis di Australia sekitar
11 tiap 1.000 populasi. Sepsis berat terdapat pada 39 % diantara pasien sepsis.
Angka kematian sepsis berkisar antara 25 - 80 % diseluruh dunia tergantung
beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma
paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu
nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya. 3,4
Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur, pada dewasa, sepsis
umumnya terdapat pada orang yang mengalami immunocompromised yang
disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas
sepsis di negara yang sudah berkembang menurun hingga 9% namun, tingkat
mortalitas pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masih tinggi
1
yaitu 50-70% dan apabila terdapat syok septik dan disfungsi organ multiple, angka
mortalitasnya bisa mencapai 80%.3
Pada satu penelitian, insiden dari sepsis bakterimia (baik garam negatif
maupun positif) meningkat dari 3,8/1000 pada tahun 1970 menjadi 8,7/1000 pada
tahun 1987. Antara tahun 1980 dan 1992, peningkatan insiden infeksi nosokomial
meningkat 6,7 kasus per 1000 menjadi 18,4/1000. Peningkatan jumlah pasien yang
mengalami immunocompromised dan peningkatan dari penggunaan diagnsosis
invasif dan teraupeutik merupakan salah satu faktor predisposisi dalam
meningkatnya insiden sepsis yang apabila telat ditangani dapat menjadi sepsis berat
dan menjadi syok sepsis yang sebagian besar berujung pada kematian. 9
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sepsis adalah proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur.
Definisi yang dihubungkan dengan sepsis yaitu sindrom sepsis, sepsis berat,
septikemia dan syok sepsis. Pada tahun 1991 organisasi The American College of
Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine ( ACCP/SCCM)
mengembangkan definisi klinis sepsis dengan lebih akurat. Definisi dibuat
dengan mempertimbangkan sepsis dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi
dan produk mikroba yang mungkin saja tidak berhubungan dengan terdapatnya
mikroba dalam aliran darah.5
Systemic Inflammation Respons Syndrome (SIRS) adalah pasien yang
memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut :1
1. Suhu > 38 oC atau < 36 oC
2. Denyut jantung > 90 kali/ menit
3. Respirasi > 20 kali/ menit atau Pa CO2 < 32 mmHg
4. Hitung leukosit > 12.000/ mm3 atau < 4.000/ mm3 atau > 10% sel imatur
(band)
Sepsis adalah SIRS ditambah dengan tempat infeksi yang diketahui
(ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut).
Biakan darah tidak harus positif.1
Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi yang tidak terbatas hanya pada laktat asidosis, oliguria maupun
perubahan akut pada status mental. 1
Syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi yang ditandai dengan penurunan
TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah normal yang
bersangkutan selama setidaknya 1 jam walaupun telah dilakukan resusitasi cairan
yang adekuat atau membutuhkan vasopressor untuk menjaga TDS ≥ 90 mmHg
atau tekanan arterial rata-rata ≥ 70 mmHg.1,3,5
2.2 Etiologi
3
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan presentase
60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel
imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.8
Mikroorganisme penyebab tersering sepsis berat:
Mikroorganisme Pada infeksi hematogen (%, n = 436)
Pada infeksi lokal (%, n = 430)
Total (%, n = 866)
Gram-negatif 35 44 40 Gram-positif 40 24 31 Jamur 7 5 6 Polimikroba 11 21 16 Patogen klasik <5 <5 < 5
Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi dasar
predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau
disingkat menjadi PIRO (Predisposition, Insult Infection, Response and Organ
Dysfunction) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan
karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.3
Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada
sepsis 5
4
Tabel 1. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada
sepsis10
2.3 Faktor Resiko
Alasan semakin meningkatnya insidensi sepsis disebabkan semakin
bertambahnya populasi berusia lanjut, semakin majunya teknik diagnostik,
meningkatnya jumlah prosedur-prosedur invasif dan transplantasi organ,
menigkatnya penggunaan obat imunosupresan dan kemoterapi, meningkatnya
penggunaan alat-alat yang dipasang di tubuh, dan meningkatnya jumlah penyakit-
penyakit kronis, seperti gagal ginjal kronik dan HIV.8
Kebanyakan pasien sepsis dan syok sepsis memiliki keadaan mendasar yang
berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan imun local maupun sistemik.
Sepsis terlihat paling sering pada pasien berusia lanjut dan pasien yang memiliki
penyakit penyerta (komorbid) yang memudahkan terjadinya infeksi, seperti
diabetes atau penyakit imunokompromis.5
Penyakit yang paling sering mencetuskan sepsis adalah: keganasan, diabetes
mellitus, penyakit hati kronik, gagal ginjal kronis, dan penggunaan obat-obat
imunosupresif. Lebih lanjut, sepsis juga merupakan komplikasi yang sering
terjadi setelah terjadinya pembedahan, trauma, dan luka bakar luas. Pasien
dengan kateter atau perangkat medis terpasang juga memiliki risiko tinggi untuk
megalami sepsis.1
2.4 Patogenesis
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat.
Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung
5
terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini
menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan
peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan
biasa.1
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon γ
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi
proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan
immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga
menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak. 2
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika
bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan
endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat
antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida
antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan
perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan
mengekspresikan imunomodulator.2
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit yang
mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin, virus dan parasit dapat berperan sebagai
super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai
antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen
Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC
6
akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara
T-cell Reseptor.3
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai
immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony
Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-
10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β
yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel
endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2)
dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.
Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding
endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas
(nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga
endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.
Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan
hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.3
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-
6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi
reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif)
sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil
metabolisme asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS
penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi
peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh
darah. Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan
seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah
kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi
disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.4
Hubungan Inflamasi dengan Koagulasi 5
7
Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang
merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu
gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue
factor, dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan
TNFα dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat
mengahambat fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated
protein C (APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai
zimogen yang inaktif tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia
berubah menjadi enzyme-activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor
protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor
Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja
plasminogen activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen
menjadi plasmin yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi
perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata (DIC) yang
merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa.5
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif
seperti lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus
untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-
infeksius. Bentuk gambaran klinis dari sepsis digolongkan menjadi 2, yaitu: 1
1. Hiperdinamik/warm septic shock
Merupakan stadium permulaan, ektrimitas hangat, merah kering.
Hiperventilasi, hipotensi, takikardi, cardiak output meningkat, SVR rendah,
CVP normal. A-VDO2 menyempit karena bertambahnya AV shunt, defect
cellular yang tak mampu mengambil O2.1
2. Hipodinamik/Cold septic Shock
Stadium lanjut karena tidak respons terhadap terapi atau stadium awal pada
pasien sepsis dengan kelainan jantung atau hipovolemik sebelumnya.
Ektrimitas dingin, pucat, basah dan cyanosis, oliguri hipotensi, takikardi,
8
vasokonstriksi, SVR meningkat, CVP rendah. Kebocoran kapiler
menyebabkan hipovolemia.1
Tempat infeksi paling sering adalah paru, traktus digestivus, traktus urinarius,
kulit, jaringan lunak dan syaraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan
penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut
akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagagl organ utama dan pasien dengan granulositopenia. Yang paling sering
diikuti dengan gejala MODS sampai dengan terjadinya syok sepsis.5
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :5
1. Sindrom distres pernapasan pada dewasa
2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian
2.6 Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat
medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai dan tindak
lanjut status hemodinamik.3
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).3
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).3
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-
tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan
produksi urin, dan penurunan tekanan darah).3
9
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan
syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5
cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi).
Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal,
mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan
tekanan nadi yang melebar.3
Kriteria Diagnostik untuk Sepsis :3
Kriteria Diagnostik Gejala
Variabel Umum Demam > 38.3oC, Hipotermia, Frekuensi denyut jantung > 90x/menit, Takipneu, Penurunan fungsi kesadaran, Edema bermakna atau balans cairan positif
(> 20ml/kg dalam 24 jam), Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl
attau 7.7 mmol/L) tanpa riwayat diabetes.
Variabel Inflamasi Leukositosis ( >12.000/µL) Leukopenia ( < 4000/ µL) Hitung Leukosit normal dengan jenis
imatur >10% C-reaktif protein plasma >2 SD diatas
nilai normal Procalcitonin plasma >2 SD diatas nilai
normal
Variabel Hemodinamik Hipotensi arterial Tekanan darah sistol <90 mmHg,Tekanan arteri rata-rata <70 mmHg atauPenurunan tekanan darah sistol >40 mmHg pada dewasa
Variabel Disfungsi Organ Hiposemia arteri (PaO2/FIO2 <300) Oligouria akut (produksi urin < 0,5 cc/kg/jam
selama lebih dari 6 jam walaupun resusitasi cairan sudah adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L
Koagulasi abnormal (INR >1,5 atau aPTT > 60 detik)
Ileus Trombositopenia (<100.000/µL)
10
Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4mg/dL or 70 µmol/L)
Variabel Perfusi Jaringan Hiperlaktatemia Penurunan waktu pengisian kapiler
2.7 Pemeriksaan Penunjang 1
a. Laboratorium
Laboratorium rutin tidak ada yang spesifik. Leukosit biasanya meningkat
dimana lebih bergeser ke bentuk immatur tetapi orang tua biasanya normal,
malah pada AIDS lekosit rendah. Netropenia biasanya pada demam tifoid,
brucellosis. Koagulasi abnormal paling sering pada sepsis adalah
trombositopenia. Disseminated intra vascular Coagulation(DIC) jarang
biasanya ditandai dengan protrombin time,partial tromboplatin time dan fibrin
split yang meningkat. Hiperglikemia karena relative insuline resistant pengaruh
sepsis kecuali infant dengan hipoglikemia karena low hepatic glycogen stores.1
Hipoksemia mungkin karena ARDS atau fokal pneumonia. Metabolik
asidosis meningkatnya anion gap karena meningkatnya kadar laktat. Analisa
gas darah dengan pH rendah karena metabolik asidosis dan PaCO2 rendah
karena respiratory alkalosis. Naiknya blood urea nitrogen dan creatinine karena
adanya disfungsi renal. Disfungsi hepar yang berat jarang,adanya peningkatan
bilirubin dan transaminase.2
b. Pemeriksaan mikrobiologi
Kultur positip menunjang bukti adanya sepsis tetapi hampir 50% pasien
yang terinfeksi menunjukan kultur negatif. Paling tidak dua sampel kultur
diambil dari dua tempat berbeda yang dicurigai. Untuk pasien immuno
kompromised diperiksakan kultur khusus jamur. Bila sumber infeksi tidak jelas
maka periksa mikrobiologi darah,urine dan sputum. Jika mungkin jangan
diberi antibiotika sebelum hasil kultur diketahui. Untuk sputum,atau abses dan
cairan tubuh diperiksakan gram stain. Jika sarana tersedia lakukan pemeriksaan
bacterial antigen test umpama (counter immunoelectrophoresis atau
11
latexagglutination) dari urine dan liquor, bisa membantu dalam situasi
antibiotika sudah diberikan sebelum hasil kultur diketahui.1
c. Pemeriksaan Radiografi
Semua pasien sepsis sebaiknya diperiksa thorak radiograph. Pasien dengan
meningismus atau perubahan status mental tak jelas kausanya sebaiknya
dipunksi lumbal untuk pemeriksaan liquor tetapi untuk neonatus wajib. Bila
ada keluhan abdomen lakukan abdominal radiograph, baik telentang dan tegak
untuk menentukan adanya udara bebas(free air), kalau sulit posisi tegak maka
lateral dekubitus sebagai alternatif.1
d. AGDA, Elektrolit dan Glukosa
Pada pemeriksaan AGD pada kasus sepsis, nilai serum laktat dapat
menjadi indikator hipoperfusi jaringan. Peningkatan serum laktat menunjukkan
adanya hipoperfusi jaringan yang signifikan akibat perubahan metabolisme
tubuh dari aerob menjadi anaerob.1
e. Status Koagulasi
Tes PT dan PTT dilakukan pada kasus sepsis untuk mengukur ada tidaknya
DIC. DIC adalah salah satu komplikasi yang terjadi akibat dari sepsis yang
menggangu sistem koagulasi tubuh.1
2.8 Penatalaksanaan 4, 3, 9
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien
langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus
infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ.9
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1. Stabilisasi pasien langsung. Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan
dalam ICU. Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan
ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu
fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan
obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.3
12
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme. Perlu segera perawatan
empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini dapat
menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum
aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial
diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut. Sebelum ada hasil
kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya antara
golongan penisilin/penicillinase resistant penicillin dengan gentamisin.4
a) Golongan penicillin- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi
dua dosis- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari)
b) Golongan penicillinase resistant penicillin- Kloksasilin (Cloxacillin
Orbenin) 4x1 gram/hari iv selama 7-10 hari sering dikombinasikan
dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat diturunkan
setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada
(Ampiclox 4 x 1gram/hari iv).- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-
14 hari
c) Gentamycin/Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7
hari, hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya. Bila hasil kultur dan
resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan.
3. Fokus infeksi awal harus diobati. Hilangkan benda asing, salurkan eksudat
purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi,
hilangkan atau potong jaringan yang gangren.3,4
Terapi suportif 2
a. Resusitasi
Terutama pada pasien sepsis berat dengan hipertensi atau syok
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk
mencapai hematokrit >30% dan atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit).2
13
Dilakukan secepat mungkin, secara intensif :6
1. Airway, breathing, circulation
Gagal nafas sering terjadi dan berkembang menjadi keadaan yang buruk
sehingga diperlukan pemeriksaan yang berulang. Penurunan kesadaran adalah yang
paling sering menyebabkan obstruksi. Pasien dengan reflex jalan nafas yang tidak
adekuat harus dirawat pada posisi pemulihan dan jika memungkinkan dilakukan
intubasi dan ventilasi mekanik. Jalan nafas yang bersih tidak menggambarkan
pernafasan yang efektif 6
2. Oksigenasi
3. Terapi cairan
4. Transfusi darah bila diperlukan àAnemia sering terjadi pada pasien sepsis
b. Oksigenasi.
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran
atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.1
c. First line agen terapi sepsis antibiotik spektrum luas β lactam karena tempat
infeksi dan mikroorganisme biasanya belum diketahui awalnya. Pemilihan
antibiotika berdasarkan pengalaman tentang jenis organisme penyebab dengan
sensitivitasnya di rumah sakit, sumber infeksi, infeksi didapat di luar rumah
sakit atau di rumah sakit. Antibiotika yang diberikan harus dapat mencapai
sumber infeksi dan diberikan dosis optimal. Untuk gram positif sering dipakai
vancomycin. Selain itu digunakan juga apabila pasien resistan terhadap
methicillin untuk melawan Staphylococcus aureus. Pada gram negatif
digunakan antibiotik yang mencegah pelepasan endotoksin.1
d. Terapi cairan
Hipovolemia dapat terjadi karena penurunan venous return, dehidrasi,
pendarahan dan kebocoran plasma à mengganggu transpor oksigen dan
nutrisi dan dapat mengakibatkan syok. Hipovolemia harus segera diatasi dengan
cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) maupun koloid.1, 6
Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi PRC diperlukan pada keadaan
14
perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia
miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi
antara 8-10 g/dL.6
e. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan
adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan
dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg.
Dapat dipakai dopamin >8μg/kg/menit, norepinefrin 0.03- 1.5μg/kg/menit,
phenylepherine 0.5 - 8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1 - 0.5μg/kg/menit.
Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2- 28 μg/kg/menit, dopamine 3- 8
μg/kg/menit, epinefrin 0.1- 0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinone dan milrinone). Bikarbonat Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau
serum bikarbonat <9mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.1, 6
f. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis
renal (1-3μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal
pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal
ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinyu.6
g. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis),
ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori
(asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.1
h. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar
10,6 - 20,2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah
antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar
gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan
dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.6
15
i. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC
(konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat
dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga
mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan,
berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan,
tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas. Untuk masa mendatang pengobatan dengan
antibodi monoklonal merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya
pengobatan dan dapat meningkatkan efektifitas.1
j. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg
bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak
diberikan dalam terapi sepsis. Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat
sepsis dapat menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9
jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas. Pada penelitian yang
lain juga didapatkan hasil yang sama danhanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak
memperbaiki angka mortalitas.4
Terapi anastesi pada sepsis 7
Pengelolaan anestesi pada pasien sepsis disesuaikan dengan Surviving sepsis
campaign. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat penting apabila tindakan
operatif merupakan salah satu upaya dalam mengatasi sumber infeksi yang
menyebabkan terjadinya sepsis. Ketamin suatu antagonis dari reseptor N- methyl-
D-aspartat, sering digunakan karena mempunyai efek sedasi dan analgesi kuat.
Ketamin adalah obat anestesi yang mempunyai efek stimulasi terhadap
kardiovaskuler, meningkatkan cardiac output dan systemic vaskuler resistance
melalui stimulasi pada system saraf simpatis, menghasilkan pelepasan dari
katekolamin.10 Dosis ketamin yang diberikan sesuai dengan dosis analgesi dan
16
induksi. Ketamin dalam bidang anestesi mempunyai beberapa dosis, antara lain
dosis analgesia yang biasanya digunakan 0,25-0,5 mg/kgBB dan dosis induksi
sebesar 1-2 mg/kgBB.7
2.9 Komplikasi 1, 8
MODS (disfungsi organ multipel)
Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan
perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan
gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup
besar dalam pathogenesis ini.1
KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)
Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata
disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah
dijelaskan pada patogenesis sepsis diatas.1
ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrome)
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran
darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan
edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam
mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli.
Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga akhirnya
akan menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome.8
Gastrointestinal
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang
intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran
pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia
nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat
menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan
menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi.1
Gagal ginjal akut
17
Pada hipoksia / iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal.
vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi
yang menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal.8
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah
dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena
adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara
efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia
relatif. 1,8
Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1,
IFN-γ, dan TNF-α) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi
influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi dengan
kalmodulin membentuk NO dan melepaskan Endothelium Derived
Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan hiperpolarisasi, relaksasi
dan vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi.8
2.10 Prognosis5
Buruk apabila MAP > 65 CVP 8-12 Urine > 0,5 cc/jam, Laktat dalam
plasma darah (normal = 2-4 mmol/L), Kegagalan suplai O2.
i. Hasil (n) dipertahankan dalam 24 jam : Baik
ii. Laktat ↑ 24-48 jam : mortalitas 25%
iii. Laktat ↑ 48 jam : mortalitas ↑ (50%)
Bagan penanganan Sepsis
18
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sepsis adalah infeksi yang disertai dengan SIRS ditandai oleh 2 atau 3 dari
manifestasi klinis yaitu suhu tubuh > 38°C atau < 36°C, denyut jantung >
90kali/menit, laju napas > 20kali/menit, perubahan pada hitung lekosit
berupa lekositosis (>12,000 sel/mm3) atau lekopenia (< 4,000 sel/mm3) dan
netrofil batang (imatur) lebih dari 10% pada apusan darah tepi.
2. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan setidaknya disfungsi salah
satu organ atau terdapat hipoperfusi jaringan atau hipotensi.
3. Penyebab sepsis paling tersering adalah infeksi saluran napas dan infeksi
saluran kemih, diikuti dengan infeksi saluran cerna dan infeksi jaringan
lunak.
4. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada sepsis berat adalah
hipotensi, peningkatan laktat plasma, produksi urin <0.5ml/kg/jam
selama lebih 12 jam
DAFTAR PUSTAKA
20
1. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43.
2. Hamonongan R, Nasution A. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam.
Emergency in Internal Medicine. Buku I EIMED Dasar. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Jakarta. 2012. Hal 336-349
3. Derek C. Angus, M.D., M.P.H., and Tom van der Poll, M.D., Ph.D. Severe
Sepsis and Septic Shock. n engl j med 369;9 nejm.org august 29, 2013.
Downloaded from nejm.org on November 16, 2013
4. James A. Russell, M.D. Management of Sepsis. n engl j med
355;16www.nejm.org october 19, 2006. Downloaded from nejm.org on
November 16, 2013.
5. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine
Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and
guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med.
1999;20:864-74
6. Dellinger Phillip, et all. 2012. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012.
CCM Journal 41:580-637
7. Prastyo, Sulung H. 2009. Pengaruh Ketamin Terhadap kadar Nitric Oxide
Macrofag mencit BALB/C yang diberi Lipopolisacarida: Tugas Tesis. FK
UNDIP.
8. Sepsis. Available from : http://jasn.asnjournals.org/content/15/10/2756.full .
Diunduh September 2012
9. Zimmermann L.J,Taylor R Cs: Life threatening infections;in Fundamental
Critical Syllabus, USA, 1996
10. Sepsis. Available from:
http://www.biomerieuxdiagnostics.com/servlet/srt/bio/clinicaldiagnostics/
dynPage?open=CNL_HCP_INF_
SEP&doc=CNL_HCP_INF_SEP_G_CHP_TXT_1&pubparams.sform=1&l
ang=en.Diunduh pada tanggal 20 September 2012.
21
1. MAP (Mean arterial Pressure) tekanan arteri rata-rata. Cara mengukurnya: MAP = (Sistole + 2.Diastole) / 3. Jadi perhitungannya, apabila seseorang mempunyai tekanan darah arteri 120/80 mmHg, maka MAP/tekanan arteri rata-ratanya adalah (120 + 160) atau 280/3 yaitu 93,4 mHg.
2. Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di
vena kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah,
keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Tekanan vena
central dibedakan dari tekanan vena perifer, yang dapat merefleksikan
hanya tekanan lokal.
3. Pengukuran CVP / RJP (Right Arterial Pressure) dengan
menggunakan manometer
Darah dari vena sistemik masuk ke atrium kanan sehingga pengukuran
tekanan pada atrium kanan dapat dilakukan. CVP ditentukan oleh fungsi
dari sebelah kanan jantung dan tekanan darah vena di vena cava. Dalam
situasi normal, peningkatan venous return menyebabkan peningkatan
cardiac output tanpa perubahan tekanan vena. Namun bila fungsi
ventrikular kanan berkurang atau pada sirkulasi pulmunol yang terobstruksi,
tekanan atrium kanan akan meningkat. Kehilangan volume darah ataupun
dilatasi menyeluruh juga menyebabkan berkurangnya venus return dan
tekanan atrium kanan turun.
4. Nilai normal CVP 5 – 10 cm H2O, dan pada orang yang menggunakan
ventilator naik 3 – 5 cm H2O.
5. Lokasi pemantauan:
Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada
kanan
Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi
phlebitis
Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau
tepat di atas vena kava superior
6. Cara mengukur CVP:
Memakai sarung tangan disposable
23
Dekatkan alat yang digunakan
Posisi pasien supine (telentang) dengan kepala tempat tidur rata /
ditinggikan 30˚
Tandai lokasi sudut phlebostatic (axis mid – axillaris dengan ICS 4
------ titik 0) untuk membaca hasil pengukuran. Lokasi ini sejajar
dengan atrium kanan. Pengukuran harus dilakukan pada posisi yang
sama, kalau perlu tandai permukaan kulit
Stopcock OFF ke manometer. Isi selang dengan cairan infus
Sambungkan selang manometer ke jalur vena sentral lalu dialirkan
untuk cek kepatenan
Letakkan manometer air sejajar titik 0, yaitu ICS 4 linea midaxilaris
Stopcock OFF ke arah pasien. Isi manometer dengan cairan infus
sampai dengan 25 cm. Hati – hati jangan sampai berlebihan karena
akan mengkontaminasi manometer.
Stopcock OFF ke infus sehingga cairan akan turun fluktuasi sesuai
dengan pernapasan
Ukur CVP saat cairan berhenti (stabil). Perhatikan cara melihat
ukuran sejajar mata saat akhir ekspirasi.
Stopcock OFF ke manometer untuk mencegah aliran cairan
manometer ke pasien. Alirkan infus kembali ke jalur vena sentral
Catat hasil dan posisi pasien
24