14
F. PENATALAKSANAAN UMUM STROKE a. PENATALAKSANAAN DI UGD 1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke sangat pendek, maka harus dilakukan evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan cermat, meliputi : a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor-faktor resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes, dll). b. Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda- tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas. c. Pemeriksaan Neurologik dan Skala Stroke, Pemeriksaan neurologik terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang meningeal, sistem 17

Anestesi Pada Stroke

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hh

Citation preview

Page 1: Anestesi Pada Stroke

F. PENATALAKSANAAN UMUM STROKE

a. PENATALAKSANAAN DI UGD

1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis

Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke sangat pendek, maka

harus dilakukan evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan

cermat, meliputi :

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas

saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa

berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran,

serta faktor-faktor resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes,

dll).

b. Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan

suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala

akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena

jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung dan

paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.

c. Pemeriksaan Neurologik dan Skala Stroke, Pemeriksaan

neurologik terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang

meningeal, sistem motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi,

sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini

adalah NIHSS (NATIONAL Institutes of Health Stroke Scale).

2. Terapi Umum (Suportif)

Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan

Pemasangan ETT pada pasien tidak sadar, bantuan ventilasi pada

pasien dengan penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan

gangguan jalan nafas.

Berikan bantuan oksigen pada pasien hipoksia, pasien stroke

yang tidak hipoksia tidak memerlukan suplemen oksigen.

17

Page 2: Anestesi Pada Stroke

Intubasi ET atau LMA diperlukan pada pasien dengan hipoksia

(pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), atau syok, atau

pasien dengan resiko aspirasi. Usahakan pipa ET tidak terpasang

lebih dari 2 minggu, kalau lebih dianjurkan untuk dilakukan

trakeostomi.

Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)

Berikan cairan kristaloid atau koloid iv (hindari pemberian

cairan hipotonik seperti glukosa).

Dianjurkan pemasangan CVC (central Venous Catheter), untuk

memantau kecukupan cairan dan sarana memasukkan cairan dan

nutrisi. Usahakan CVC antara 5 – 12 mmHg.

Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik dibawah

120 mmHg, dan cairan sudah mencukupi dapat diberikan obat-

obatan vasopressor secara titrasi seperti dopamin atau

norepinefrin/epinefrin dengan target tekanan darah sistolik

berkisar 140 mmHg.

Cardiac monitoring harus dilakukan selama 24 jam pertama

setelah awitan serangan stroke iskemik.

Bila terdapat penyakit jantung kongestif, konsul kardiologi.

Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.

Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan

aritmia jantung yang menyebabkan penurunan curah jantung

harus dikoreksi.

Pemeriksaan awal fisik umum

Tekanan darah

Pemeriksaan jantung

18

Page 3: Anestesi Pada Stroke

Pemeriksaan neurologi umum awal : derajat kesadaran,

pemeriksaan pupil dan okulomotor, keparahan hemiparesis.

d. Pengendalian peninggian TIK

Pemantauan ketat penderita dengan resiko edema serebral

dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik

pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.

Monitor tekanan intra kranial harus dipasang pada pasien dengan

GCS < 9 dan penderita yang mengalami penurunan kesadaran

karena kenaikkan TIK.

Sasaran terapi adalah TIK < 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.

Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan TIK meliputi :

i. Tinggikan posisi kepala 20 – 30°

ii. Hindari penekanan pada vena jugulare.

iii. Hindari pemakaian cairan glukosa atau cairan hipotonik.

iv. Hindari hipertermia

v. Jaga normovolemia

vi. Osmoterapi atas indikasi.

Manitol 0,25 – 0,50 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap

4 – 6 jam dengan target ≤ 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya

diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB

iv.

Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 – 40 mmHg).

Paralisis neuromuskular dikombinasi dengan sedasi yang

adekuat dapat mengurangi naiknya ICP dengan cara mengurangi

naiknya TIK dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking

ventilator. Pasien dengan kenaikan kritis TIK sebaiknya

19

Page 4: Anestesi Pada Stroke

diberikan muscle relaxant sebelum tindakan suction atau

lidokain sebagai alternatif.

Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi oedem

otak dan tekanan TIK yang tinggi pada stroke iskemik,

pemberiannya diperbolehkan bila yakin tidak ada kontraindikasi.

Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat

stroke iskemik serebelar.

Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar

yang menimbulkan efek massa dapat menyelamatkan nyawa dan

memberikan hasil yang baik.

e. Penanganan transformasi hemoragik

Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan

asimtomatik, sedang untuk yang simtomatik sama dengan terapi

stroke perdarahan.

f. Pengendalian kejang

Bila kejang berikan diazepam bolus lambat iv 5 – 10 mg diikuti

pemberian phenitoin loading dose 15 – 20 mg/kg bolus dengan

kecepatan maksimum 50 mg/menit.

Bila kejang belum teratasi maka perlu rawat di ICU.

Tidak dianjurkan pemberian antikonvulsan profilaktik pada

penderita stroke iskemik tanpa kejang.

Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat

antiepilepsi profilaktik selama 1 bulan dan kemudian diturunkan

dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.

g. Pengendalian suhu tubuh

20

Page 5: Anestesi Pada Stroke

Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diberikan

antipiretika dan diatasi penyebabnya.

Berikan acetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5°C.

Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan

kultur dan hapusan (tracheal, darah dan urin) dan diberikan

antibiotika. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa CSS harus

dilakukan untuk mendeteksi meningitis. Jika didapatkan

meningitis harus diikuti terapi antibiotik.

h. Pemeriksaan Penunjang

EKG

Laboratorium : kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, dan faal

hemostasis, kadar gula darah, analisa urin, analisa gas darah dan

elektrolit.

Bila ada kecurigaan PSA lakukan punksi lumbal untuk

pemeriksaan CSS.

Pemeriksaan radiologi: rontgen dada, CT scan

b. PENATALAKSANAAN UMUM DI RUANG RAWAT

1. CAIRAN

a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga

euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5 – 12 mmHg.

b. Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral

maupun enteral)

c. Balance cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari

ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (urin

sehari + 500 ml + 300 ml per kenaikan panas 1 derajat celcius).

21

Page 6: Anestesi Pada Stroke

d. Elektrolit (sodium, potasium, calcium, magnesium) harus selalu

diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai

normal.

e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai hasil analisa gas darah.

f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari

kecuali pada keadaan hipoglikemia.

2. NUTRISI

a. Nutrisi enteral paling lambat harus sudah diberikan dalam 48 jam,

nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelannya

baik.

b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun, makanan

diberikan melalui pipa nasogastrik.

c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan

komposisi:

Karbohidrat 30-40% dari total kalori

Lemak 20-35% (pada gangguan nafas lebih tinggi, 35-55%)

Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1,4-2,0

g/kgBB/hari; pada gangguan fungsi ginjal < 0,8 g/kgBB/hari)

d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan > 6

minggu, pertimbangkan untuk gastrotomi.

e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak

memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.

f. Perhatikaan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan

yang diberikan (misal: hindarkan makanan yang banyak mengandung

vit K pada pasien yang mendapat warfarin).

3. PENCEGAHAN DAN MENGATASI KOMPLIKASI

22

Page 7: Anestesi Pada Stroke

a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut

(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus,

komplikasi ortopedik dan kontraktur perlu dilakukan)

b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes

kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai

dengan pola kuman.

c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai

kasur antidekubitus.

d. Pencegahan DVT dan emboli paru.

e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita DVT perlu diberikan

heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau

heparinoid. Perlu diperhatikan terjadinya resiko perdarahan sistemik

dan perdarahan intraserebral. Pada pasien yang tidak bisa menerima

antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien imobilisasi

direkomendasikan penggunaan stocking eksternal atau Aspirin.

4. PENATALAKSANAAN MEDIK YANG LAIN

a. Hiperglikemia pada stroke harus diobati. Target yang harus dicapai

adalah normoglikemia.

b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan

mayor tranquilizer seperti benzodiazepin short acting atau propofol.

c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.

d. Berikan H2 antagonis apabila ada indikasi (perdarahan lambung).

e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lendir atau memandikan

pasien karena dapat mempengaruhi TIK.

f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.

g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan

kateterisasi intermitten.

23

Page 8: Anestesi Pada Stroke

h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium,

MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE

dan lain-lain sesuai dengan indikasi.

i. Rehabilitasi

j. Edukasi keluarga.

k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

24

Page 9: Anestesi Pada Stroke

DAFTAR PUSTAKA

1. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD

Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.

2. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical

Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.

3. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter

Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 1986.

4. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s

Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.

5. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam :

Guideline Stroke 2007. Jakarta.

6. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised

edition. New York : Thieme. 2005.

25