80
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUNTAH PADA PASIEN RETINOBLASTOMA ANAK YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Oleh: Diniyah Siti Rahmah NIM. 104102003240 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008

antiemetik wete

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asdf

Citation preview

Page 1: antiemetik wete

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUNTAH PADA PASIEN

RETINOBLASTOMA ANAK YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI

RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS”

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi

Oleh:

Diniyah Siti RahmahNIM. 104102003240

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008

Page 2: antiemetik wete

SURAT PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN

TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, September 2008

Diniyah Siti Rahmah

NIM. 104102003240

Page 3: antiemetik wete

EVALUATION USAGE of ANTIEMETIC FOR PEDIATRIC WITH

RETINOBLASTOMA EXPERIENCING CHEMOTHERAPY

at “DHARMAIS” CANCER HOSPITAL

DINIYAH SITI RAHMAH

Pharmacy Study Programmed; Faculty of Medicine and Health Science

Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

ABSTRACT

Cancer is a disease that able to infect all circle of children till adult and can grow in all body tissue. Retinoblastoma is a cancer at eye retina and sometime at gland pineal which is 95% attacking children before age 5 year old. So it will be needing of medication generate many effect which harming and the among others is nausea and vomiting which is very bother the childrens, which ought to at this age they should to earn to play. For that reason, it need existence of prevention and medication of vomiting with usage of antiemetic. The aim of this research is to know a compatibility to election of antiemetic, compatibility of dose, rule of consumption and also used effectivity of antiemetic in “Dharmais” Cancer Hospital at January 2003-Februari 2008. Resource was got from sheet of chemotherapy in medical record by prospective and analized with descriptive method is non analytic chi-square test. From this research is got a matter at a patient that accepting antiemetic before appropriate chemotherapy pursuant to its potential emetogenic of chemotherapy agent got equal to 23.81%. Patient which still experience of vomiting equal to 61.54%, each other got with value 15.39% for acute emesis and 46.15% for delayed emesis, respectively. Compatibility of dose is 100% and compatibility of consumption rule is 84.62% and also effectivity of given antiemetic equal to 38.46% or 38.5% with chi-square test that means there is a significant relationship among the antiemetic with experience of vomiting, that is giving of combination antiemetic among ondansetron and dexamethasone, so the patient of child do not experience of vomiting at all.

Keyword : Retinoblastoma, Chemotherapy, Nausea and Vomiting, Antiemetic

3

Page 4: antiemetik wete

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUNTAH PADA PASIEN

RETINOBLASTOMA ANAK YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI

RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS”

DINIYAH SITI RAHMAH

Program Studi Farmasi; Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Kanker merupakan suatu penyakit yang dapat menyerang semua kalangan dari anak-anak hingga orang dewasa dan dapat tumbuh di semua jaringan tubuh. Retinoblastoma merupakan kanker pada retina mata dan terkadang pada kelenjar pineal yang 95% menyerang anak-anak sebelum usia 5 tahun. Sehingga diperlukannya pengobatan salah satunya adalah kemoterapi. Pengobatan ini menimbulkan banyak efek yang merugikan diantaranya mual dan muntah yang sangat mengganggu anak-anak yang seharusnya pada usianya mereka dapat bermain. Untuk itu perlu adanya pencegahan dan pengobatan muntah dengan penggunaan antiemetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemilihan antiemetik, kesesuaian dosis, aturan pakai serta efektivitas antiemetik yang digunakan di RS. Kanker Dharmais pada Januari 2003-Februari 2008. Data didapatkan dari lembar kemoterapi dalam rekam medis secara retrospektif dan dianalisa dengan metode desktiptif non analitik dengan menggunakan chi-square tes. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada pasien yang menerima antiemetik sebelum kemoterapi yang sesuai berdasarkan potensial emetik agen kemoterapi yang didapat sebesar 23.81%. Pasien yang masih mengalami muntah sebesar 61.54% masing-masing dengan nilai 15.39% untuk tipe akut dan 46.15% untuk tipe tertunda; kesesuaian dosis 100%, dan kesesuaian aturan pakai 84.62% serta efektivitas dari antiemetik yang diberikan sebesar 38.46% atau 38.5% dengan chi-square yang berarti ada hubungan yang signifikan antara antiemetik dengan keluhan muntah yang ditimbulkan. Antiemetik yang paling efektif yaitu pemberian kombinasi antara ondansetron dan deksametason sehingga pasien anak tidak mengalami muntah sama sekali.

Kata Kunci : Retinoblastoma, kemoterapi, mual dan muntah, antiemetik

Page 5: antiemetik wete

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT tuhan semesta alam, yang menguasai

kerajaan langit dan bumi, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Berkuasa atas

segala sesuatu, yang telah muncurahkan rahmat, berkah, dan karunia-Nya

sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam penulis

panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya

yang senantiasa berjuang untuk membawa perubahan pada seluruh umat manusia

dari kegelapan menuju jalan yang terang, jalan yang di-ridhai ALLAH SWT.

Skripsi yang berjudul Evaluasi Penggunaan Obat Anti Muntah Pada

Pasien Retinoblastoma Anak yang Menjalani Kemoterapi di Rumah Sakit

Kanker “Dharmais” diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis memperoleh banyak

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Prof. DR (hc). dr. M. K. Tadjudin, SpAnd selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah mengesahkan karya tulis ini

sebagai skripsi.

2. Drs. M. Yanis Musdja, Msc. Apt selaku ketua jurusan Program Studi

Farmasi yang telah memberikan masukan-masukan yang membangun

kepada penulis.

3. Kedua pembimbing terbaik Ibu Azrifitria, Msi. Apt dan dr. Edi Setiawan

Tehuteru, SpA. MHA yang telah mencurahkan tenaga, meluangkan waktu,

dan berbagi ilmu dengan penulis ditengah-tengah kegiatan mereka yang

sangat padat demi kelancaran dan terselesaikannya skripsi ini. Mudah-

mudahan ALLAH SWT menggatinya dengan limpahan rahmat dan kasih

sayangNya.

4. Drs. M. Yanis Musdja, Msc. Apt, Ibu Nurmeilis, Msi. Apt dan Ibu

Zilhadia Msi. Apt selaku penguji yang telah banyak memberikan saran

kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staff program studi farmasi UIN yang sangat membantu

penulis dalam kesehariannya.

5

Page 6: antiemetik wete

6. dr. Yanto, Ibu Luki beserta paramedis onkologi anak Rumah Sakit Kanker

“Dharmais” yang telah banyak membantu penulis menyediakan dan

menerangkan berbagai macam hal yang penulis butuhkan demi

terselesaikannya skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis Mama dan Abah yang selalu memberi kasih

sayang, semangat, dorongan, dan segala bantuannya baik moril maupun

materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

semangat.

8. Teh Melly, Kang Boyke, Teh Nita, Gatot, Ratih, Nia yang sudah banyak

mengajarkan dan membantu penulis menyempurnakan skripsi, Dinda,

Shafa, Fathia, Rio, Daisy yang mengisi hari-hari penulis menjadi lebih

berwarna.

9. Purnama Dwi Tistianto yang telah banyak menemani dan membantu

penulis, Tuti Albariyah teman seperjuangan di Dharmais, Astri yang

kadang-kadang lemot, Rakhmawati yang selalu dan senantiasa lemot dan

Nanda iseng sering ngerjain. Teman-teman angkatan 2004 yang lucu-lucu,

iseng, aneh, tapi sangat baik, selalu menolong dan menghibur “I’ll be

there for u, ‘coz u there for me too”.

Seluruh pihak-pihak yang telah memberikan semangat dan masukan

kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena keterbatasan

tempat. Penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan

dalam penulisan nama dan gelar pada pihak-pihak tersebut. Akhirnya hanya

kepada Allah SWT semua itu diserahkan. Semoga amal baik mereka diterima oleh

Allah SWT. Aamiin.

Wassalaamu’alaikum, Wr, Wb.

Jakarta, September 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

Page 7: antiemetik wete

DAFTAR ISI ........................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah .......................................................... 3

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................... 4

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit Kanker Dharmais ......................................... 5

2.2. Rekam Medis ................................................................... 6

2.3. Kanker ............................................................................. 9

2.3.1. Definisi ................................................................. 9

2.3.2. Epidemiologi kanker .............................................. 11

2.3.3. Tahap Terjadi Kanker .......................................... 11

2.4. Terapi Kanker .................................................................. 12

2.4.1. Tujuan Terapi

...................................................... 12

2.4.1.1.Kuratif .................................................. 12

2.4.1.2.Paliatif

....................................

.............. 13

2.5. Pengobatan Kanker ......................................................... 13

2.5.1. Operasi/Pembedahan ........................................... 13

2.5.2. Radioterapi ..........................................................

142.5.3. Kemoterapi

..........................................................14

2.5.4. Imunoterapi

7

Page 8: antiemetik wete

...........................................................14

2.5.5. Terapi Gen ...........................................................

152.5.6. Hormon Terapi

.................................................... 152.5.7. Bioterapi

.............................................................. 15

2.6. Retinoblastoma ............................................................... 16

2.6.1. Tanda-tanda dan Gejala

...................................... 16

2.6.2. Diagnosa

..............................................................

17

2.6.3. Pengobatan

..........................................................

17

2.6.3.1.Pembedahan ......................................... 17

2.6.3.2.EBR ...................................................... 18

2.6.3.3.Plaque Radiotherapy ............................ 18

2.6.3.4.Cyto dan Fotokoagulasi ....................... 18

2.6.3.5.Kemoterapi

....................................

....... 18

2.7. Kemoterapi Kanker ......................................................... 19

2.7.1. Tujuan Penggunaan Kemoterapi

......................... 19

2.7.2. Cara Kerja Kemoterapi

....................................... 20

Page 9: antiemetik wete

2.7.3. Penggolongan Kemoterapi Pada Kanker

Ginekologi

2.7.3.1.Golongan alkylating agent .....................

212.7.3.2.Golongan platinum

..................................21

2.7.3.3.Golongan taxane ...................................... 21

2.7.3.4.Golongan analog asam folat .................... 22

2.7.3.5.Golongan analog pirimidine .................... 22

2.7.3.6.Golongan antibiotik

.................................

22

2.8. Efek Samping Kemoterapi ................................................ 22

2.9. Mual dan Muntah .............................................................. 25

BAB III ALUR PENELITIAN ................................................................ 39

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 40

4.2. Desain Penelitian .............................................................. 40

4.3. Populasi dan Sampel ......................................................... 40

4.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ................................................ 41

4.5. Cara Pengumpulan Data .................................................... 41

4.6. Batasan Operasional ......................................................... 41

4.7. Analisa Data ................................................................... 42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Karakteristik Subyek ..................................... 44

5.1.2. Penggunaan Obat Kemoterapi ....................... 45

5.1.3. Pemilihan dan Penggunaan Antiemetik

9

Page 10: antiemetik wete

5.1.3.1.Jenis Antiemetik ............................. 455.1.3.2.Dosis Antiemetik ............................. 465.1.3.3.Aturan Pemakaian ............................. 47

5.1.4. Tipe Emesis .................................................... 48

5.2. Pembahasan ....................................................................... 50

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ....................................................................... 60

6.2. Saran .................................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 62

LAMPIRAN ............................................................................................. 64

DAFTAR TABEL

Page 11: antiemetik wete

Halaman

Tabel 1. Karakteristik Subyek ........................................................... 44

Tabel 2. Distribusi Siklus Kemoterapi Yang Dijalani Pasien di

RS. Kanker Dharmais ........................................................... 44

Tabel 3. Distribusi Regimen Kemoterapi Pada Pasien

Retinoblastoma Anak di RS. Kanker Dharmais Periode

2003-2008 ............................................................................. 45

Tabel 4. Frekuensi Penggunaan Jenis, Golongan dan Bentuk

Sediaan Pemakaian Antiemetik Kasus Paska

Kemoterapi Retinoblastoma Pada Anak di RSKD ……….. 45

Tabel 5. Tingkat Kesesuaian Pemilihan Antiemetik Berdasarkan

Resiko Agen Kemoterapi Yang Diberikan ........................... 46

Tabel 6. Pilihan Antiemetik dan Dosis Yang Digunakan …………... 46

Tabel 7. Macam Antiemetik Yang Didapat Oleh Pasien dan Keluhan

Emetiknya ………………………………………………….. 47

Tabel 8. Distribusi Pasien Yang Mendapat Golongan Kemoterapi

dan Antiemetik Yang Sama ……………………………….... 48

Tabel 9. Perbandingan Kasus Emesis Pada Protokol Lama

Dengan Kasus Emesis Pada Protokol Baru

Periode 2003-2008 ………………………………………….. 48

Tabel 10. Persentase Pasien Dengan Atau Tanpa Keluhan Emesis

Protokol B …………………………………............... 49

Tabel 11. Data Statistik Hubungan Antara Antiemetik

Dengan Keluhan Muntah ………………………….….….... 49

11

Page 12: antiemetik wete

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Protokol Retinoblastoma ..................................... 64

Lampiran 2. Contoh Lembar Instruksi Kemoterapi ............ 65

Lampiran 3. Contoh Lembar Instruksi Kemoterapi Retinoblastoma 66

Lampiran 4. Rangkuman Rekam Medis ..................................... 67

Lampiran 5. Output Data Statistik Chi-Square Test ..................... 82

Page 13: antiemetik wete

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal

dan bersifat ganas (maligne). Suatu kelompok sel dengan mendadak menjadi liar

dan memperbanyak diri secara pesat dan terus-menerus (proliferasi). Akibatnya

adalah pembengkakan atau benjolan yang disebut tumor atau neoplasma. Sel-sel

kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya. Tumor primer

setempat itu sering kali menyebarkan sel-selnya melalui saluran darah dan limfe

ke tempat lain di tubuh (metastase), untuk selanjutnya berkembang menjadi tumor

13

Page 14: antiemetik wete

sekunder (Tjay, Rahardja, 2007). Dinegara yang telah maju dan telah berhasil

membasmi penyakit infeksi, kanker merupakan penyebab utama kematian kedua

setelah penyakit kardiovaskular. Di Amerika Serikat kanker merupakan penyebab

utama kematian pada wanita antara 30 – 54 tahun dan anak-anak antara 3-14

tahun (Ganiswara, 2003).

Kanker dapat tumbuh disemua jaringan tubuh, seperti sel kulit, sel hati, sel

darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, dan berbagai macam sel tubuh

lainnya. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam jenis kanker menurut sel atau

jaringan asalnya (Diananda, 2007).

Retinoblastoma adalah kanker pada anak-anak yang timbul pada retina mata

dan jarang pada kelenjar pineal. Insiden terjadinya retinoblastoma selama periode

1975-1995 terjadi pada sekitar 3,8 juta orang. Terhitung 11% kanker

retinoblastoma terjadi pada anak pada umur tahun pertama, tetapi hanya 3%

kanker ini berkembang pada anak yang lebih muda umurnya dibandingkan pada

anak dengan umur 15 tahun .

Di Amerika, tiap tahunnya sekitar 300 anak dan remaja yang didiagnosa

retinoblastoma dengan umur lebih muda dari 20 tahun. Mayoritas dari kasus

retinoblastoma tejadi pada anak-anak muda, dengan hampir dua pertiga (63%)

diantara semua retinoblastomas terjadi sebelum umur 2 tahun dan 95% terjadi

sebelum 5 tahun (NCI, 2000).

Terapi kanker dapat dilakukan dengan cara operasi, kemoterapi, radioterapi

dan kombinasinya. Efek samping yang berat sering timbul pada pasien pasca

kemoterapi, sering kali tidak dapat ditoleransi oleh pasien, dan bahkan

menimbulkan kematian. Efek samping frekuensi terbesar adalah gangguan mual

Page 15: antiemetik wete

dan muntah. Gangguan ini bervariasi tingkatannya dari yang ringan sampai pada

kematian akibat dehidrasi dan kekurangan zat makanan (Suhadi, 2005).

Pada anak-anak penderita kanker, obat-obat kemoterapi menyebabkan sel-

sel di usus melepaskan serotonin yang kemudian sensasi ini diteruskan dan

mengaktivasi pusat muntah di otak, yaitu medula oblongata. Akhir dari proses

yang kompleks ini ditandai dengan ilorus yang mengalami relaksasi, yang

memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak menuju lambung

akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi regurgitasi isi

lambung melalui esofagus dan faring.

Sebelum menentukan obat anti muntah yang digunakan, penting untuk

megetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang mana

menurut kemampuannya dalam menimbulkan muntah (bersifat emetogenik),

dibagi menjadi 3 kelompok yaitu ringan, sedang dan berat. Disebut ringan bila

kurang dari 10% pasien yang endapat obat kemoterapi tertentu mengalami

muntah; Sedang, bila 50% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu

mengalami muntah; dan berat bila semua pasien yang mendapat obat kemoterapi

tertentu mengalami muntah.

Penatalaksanaan mual dan muntah yang tidak tepat dapat menghambat

proses kemoterapi ini; menurunkan tingkat kesembuhan kanker, serta

menimbulkan mual dan muntah tipe antisipatori yang berat (Tehuteru, 2007).

Kejadian mual dan muntah sangat bervariasi pada kasus kemoterapi

sehingga peran farmasis sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan gangguan ini

untuk terwujudnya terapi yang rasional (appropiate, effective, safe & convenient)

serta meningkatkan kualitas dan umur harapan hidup pasien kanker (Suhadi,

15

Page 16: antiemetik wete

2005).

Retinoblastoma merupakan kanker pada anak dengan insiden tertinggi kedua

di Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” setelah leukimia. Berdasarkan perihal diatas

maka perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas obat anti muntah pada pasien

anak dengan retinoblastoma yang menerima kemoterapi. Penelitian ini juga

dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana obat-obatan tersebut dapat

mentolerir efek samping terbesar dari kemoterapi pada pasien ini.

1.2.Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah efektifitas obat anti muntah paska kemoterapi yang

diberikan terhadap anak dengan retinoblastoma ?

2. Apakah obat anti muntah yang diberikan tersebut sesuai dengan

tingkatan obat kemoterapi yang diberikan ?

3. Apakah dosis obat anti muntah yang diberikan sudah sesuai untuk

mengatasi muntah sebagai efek samping paska kemoterapi ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui jenis obat anti muntah

yang digunakan untuk mengatasi mual dan

muntah pasca kemoterapi retinoblastoma

2. Mengetahui efektivitas penggunaan obat anti

muntah dalam mengatasi mual dan muntah

pada pasien anak dengan retinoblastoma

pasca kemoterapi

Page 17: antiemetik wete

3. Mengetahui kesesuaian dalam pemberian

obat, dosis, serta aturan pakai menurut

tingkatan agen kemoterapi yang diberikan.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Salah satu sumber

informasi yang dapat

digunakan untuk

pengobatan dalam

kasus mual dan

muntah pada pasien

anak retinoblastoma

pasca kemoterapi

2. Salah satu bahan

pertimbangan ataupun

acuan dalam

pemberian dan

peningkatan mutu

pelayanan medik

terutama pengobatan

dalam hal

penatalaksanaan kasus

mual dan muntah pada

17

Page 18: antiemetik wete

pasien anak dengan

retinoblastoma pasca

kemoterapi

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1.Rumah Sakit Kanker Dharmais

Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) adalah rumah sakit pemerintah

yang ditetapkan sebagai pusat kanker nasional, yang telah diresmikan oleh mantan

presiden Republik Indonesia Bapak Jendral Soeharto pada tanggal 30 Oktober

1993. RSKD merupakan rumah sakit rujukan tertinggi jaringan pelayanan

penyakit kanker di Indonesia, yang kini berubah status menjadi perusahaan

jawatan (perjan) sejak Januari 2002 (Hadianty, 2005).

2.1.1. Visi dan Misi RSKD

Visi RSKD adalah menjadi pusat rujukan tertinggi kanker di Indonesia dan

mampu menyelenggarakan pelayanan berkualitas serta menjadi pusat

pendidikan dan penelitian kanker.

Misi RSKD adalah :

1) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penderita kanker,

meliputi pelayanan penyembuhan pasien kanker, pemulihan dan

peningkatan kesehatan penderita kanker, pencegahan penyakit serta

pelyanan rujukan.

Page 19: antiemetik wete

2) Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penelitian di bidang

kanker.

3) Meningkatkan jangkauan pelayanan kanker.

2.1.2. Tujuan RSKD

Tujuan RSKD adalah :

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu kepada

masyarakat, terutama pasien kanker.

2) Menyediakan pelayanan dan pengembangan sarana yang luas di

bidang pendidikan untuk calon spesialis, subspesialis, dan paramedis.

3) Menyelenggarkan kegiatan penelitian dan pengembangan penyakit

kanker untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian serta

penyebarluasan hasil penelitian.

2.2.Rekam Medis (Medical Record)

Menurut peraturan menteri kesehatan No.749a/MENKES/Per/1989, rekam

medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,

pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana

kesehatan.

Rekam medis berisi semua informasi mengenai pasien, penyakit dan

pengobatan yang diterima oleh pasien, termasuk urutan masa

pelayanan/perawatan yang terjadi. Rekam medis dibuat untuk semua pasien dalam

unit pelayanan.

19

Page 20: antiemetik wete

Tujuan dibuat rekam medis adalah :

1) Memudahkan perencanaan pengobatan dan perawatan

yang harus diberikan kepada pasien.

2) Memudahkan untuk menetapkan biaya yang harus

dibayar oleh pasien atas pelayanan yang diperolehnya di

rumah sakit.

3) Memberikan informasi tentang kronologis dan kegiatan

pelayanan medis kepada pasien.

4) Memudahkan evaluasi tindakan langsung dan tanggung

jawab tenga medis untuk mencapai tujuan pelayanan

kesehatan.

5) Memberikan perlindungan hukum kepada pasien dan

pihak rumah sakit.

6) Menjadi sumber ingatan yang harus di dokumentasikan

dan diterapkan sebagai bahan pertanggungjawaban dan

laporan rumah sakit.

Rekam medis memiliki kegunaan yang ditinjau dari beberapa aspek,

diantaranya yaitu :

1) Aspek Adimistrasi

Rekam medis mempunyai nilai administrasi karena isinya menyangkut

tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga

medis dan paramedis untuk mencapai tujuan pelayanan kesehatan.

2) Aspek Medis

Rekam medis mempunyai nilai medis karena catatan tersebut

Page 21: antiemetik wete

digunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau

perawatan yang harus diberikan kepada pasien.

3) Aspek Hukum

Rekam medis mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut

adanya jaminan kepastian jaminan hukum atas dasar keadilan dalam

rangka menegakkan hukum keadilan serta menyediakan bahan tanda

bukti untuk menegakkan keadilan.

4) Aspek Keuangan

Rekam medis mempunyai nilai keuangan karena isinya dapat dijadikan

sebagai bahan untuk menetapkan biaya pelayanan di rumah sakit,

tanpa adanya bukti catatan pelayanan maka pembayaran pelayanan

tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

5) Aspek Penelitian

Rekam medis mempunyai nilai-nilai penelitian karena isinya

mengandung data atau informasi yang dapat digunakan sebagai aspek

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.

6) Aspek Pendidikan

Rekam medis mempunyai nilai pendidikan karena isinya menyangkut

data atau informasi tentang perkembangan kronologis dari kegiatan

pelayanan medis yang diberikan kepada pasien.

7) Aspek Dokumentasi

Rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena isinya menjadi

sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai

21

Page 22: antiemetik wete

bahan pertanggungjawaban dan laporan rumah sakit.

Pelaksanaan rekam medis di rumah sakit dimulai ketika pasien datang ke

rumah sakit, bagian rekam medis akan memberikan kartu pinjaman rekam medis.

File diambil oleh petugas, dicatat dalam buku eksperimen dan kemudian diantar

ke ruangan.

Bagi pasien yang tidak dirawat, maka dalam rekam medis akan dicatat

obat-obatan yang diberikan kepada pasien. Rekam medis haraus diserahkan ke

bagian rekam medis dalam waktu 24 jam. Apabila pasien harus dirawat, maka

rekam medis disimpan di bagian rawat inap dan dicatat tentang perawatan yang

diterima oleh pasien tersebut selama dirawat termasuk diagnosa, terapi,

pemeriksaan penunjang dan saran dari dokter. Rekam medis untuk pasien rawar

inap ini harus diserahkan ke bagian rekam medis dalam waktu 24 jam setelah

pasien pulang.

2.3.Kanker

2.3.1 Definisi

Kanker adalah suatu kondisi di mana sel telah kehilangan pengendalian dan

mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal,

cepat dan tidak terkendali. Sel-sel kanker akan terus membelah diri, dan tidak

mengindahkan kaidah hukum-hukum pembiakan. Kanker juga pada dasarnya

adalah suatu penyakit sel yang ditandai dengan suatu pergeseran pada mekanisme

control yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Sel yang sudah mengalami

transformasi neoplastik biasanya mengekspresikan antigen permukaan sel yang

tampaknya merupakan tipe normal fetal dan mempunyai tanda lainnya dari

“ketidakmatangan”, yang jelas dan dapat menunjukkan kelainan kromosom baik

Page 23: antiemetik wete

kualitatif ataupun kuantitatif, termasuk pelbagai translokasi dan munculnya

pengerasan dari rangkaian sel (Sukardja, 2000). Kanker bisa terjadi dari berbagai

jaringan dalam berbagai organ, seperti sel kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel

lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh

lainnya. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker

membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di

dekatnya (invasive) dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh.sel-sel

kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut

transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.

Penyebaran kanker

Tumor jinak tidak menyebar, ia hanya tumbuh lokal yang expansif. Tumor

yang mengadakan penyebaran ialah tumor ganas, walaupun tumor itu secara

patologis kelihatannya sebagai tumor jinak. Tumor ganas yang hampir tidak

pernah menyebar ialah basalioma, suatu tumor kulit yang umumnya hanya

mengadakan destruksi local.

Tempat penyebaran kanker dapat :

1) Lokal

Kanker menyebar ke jaringan atau organ disekitar tempat kanker itu

semula tumbuh, berupa satelitosis, satelit nodule, atau perlekatan dengan

jaringan atau organ disekitarnya. Penyebaran lokal ini sering

menimbulkan kanker itu yang semula operable menjadi inoperable.

Penyebaran lokal ini umumnya seara langsung per continuitatum.

2) Regional

Sel-sel kanker menyebar secara lomfogen dan tumbuh di kelenjar limfe

23

Page 24: antiemetik wete

yang berdekatan dengan letak tumor primer. Tiap-tiap organ mempunyai

regionalnya sendiri-sendiri.

3) Ke organ-organ jauh

Penyebaran kanker dapat timbul dimana-mana dalam organ tubuh,

temasuk kelenjar limfe diluar kelenjar limfe regional. Penyebaran jauh

itu umumnya secara hematogen.

2.3.2. Epidemiologi Kanker

Pada sebuah penelitian epidemiologik tentang penyakit kanker,

diperkirakan akan terjadi peningkatan 99% penderita pada tahun 2010 di negara

berkembang dibandingkan pada tahun 1985. Sedangkan di negara maju,

peningkatan jumlah penderita diperkirakan hanya 38%, hal ini menunjukkan

bahwa penyakit kanker menjadi masalah yang serius di negara berkembang di

masa mendatang.

Di dunia, diperkirakan 7,6 juta orang meninggal akibat kanker pada tahun

2005 (WHO, 2005) dan 84 juta orang akan meninggal hingga 10 tahun ke depan.

Di Indonesia, kanker merupakan penyebab kematian nomor 6 (Depkes, 2003), dan

diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap 100.000 penduduk

per tahunnya.

Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian kanker adalah

geografis (misal kanker serviks lebih banyak di negara Asia), suku bangsa, variasi

genetik, jenis kelamin (misal kanker payudara lebih banyak pada wanita), dan

pengaruh lingkungan (makanan, pola hidup) (Diananda, 2007).

Page 25: antiemetik wete

2.3.3. Tahap Terjadinya Kanker

Kanker terjadi karena kerusakan struktur genetic yang menyebabkan

pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol. Beberapa penyebab kerusakan gen

yaitu :

1. Kelainan genetik / bawaaan (± 5%)

2. Karsinogen (zat penyebab kanker)

- Merupakan sebagian besar penyebab

kanker

- Jenis : virus (misal Human papillomavirus

penyebab kanker mulut rahim), zat kimia

(misal asap rokok menyebabkan kanker

paru), sinar radiasi (radiasi ultraviolet pada

saat terik dapat menyebabkan kanker

kulit), dll

- Pengaruh lingkungan hidup

Tahap terjadinya kanker :

1) Induksi

Ada perubahan sel (displasia)

2) Kanker In Situ

Pertumbuhan kanker terbatas pada jaringan tempat asalnya tumbuh

3) Kanker Invasif

Sel kanker telah menembus membran basal dan masuk ke jaringan atau

organ sekitar yang berdekatan

4) Metastasis

25

Page 26: antiemetik wete

Penyebaran kanker ke kelenjar getah bening dan atau organ lain yang

letaknya jauh (misal kanker usus besar menyebar ke hati). Penyebaran ini

dapat melalui aliran darah, aliran getah bening, atau langsung dari tumor.

2.4. Terapi Kanker

2.4.1. Tujuan Terapi

Tujuan terapi kanker dapat :

2.4.1.1.Kuratif : Penyembuhan

Terapi kuratif adalah tindakan untuk menyembuhkan penderita yaitu

membebaskan penderita dari kanker yang dideritanya untuk selama-lamanya.

Umumnya untuk sebagian besar kanker penyembuhan hanya mungkin pada

kanker dini yaitu kanker lokoregional, masih kecil, operabel atau radiosensitif dan

pada kanker yang sistemik yang khemosensitif seperti leukimia, limfoma maligna,

choriokarsinoma dan kanker testis dan beberapa kanker yang terdapat pada anak.

Kurang lebih 70% kanker yang solid dapat disembuhkan dengan pembedahan.

2.4.1.2.Paliatif : meringankan

Terapi paliatif ialah semua tindakan aktif guna meringankan beban

penderita kanker terutama bagi yang tidak mungkin disembuhkan lagi.

Tujuan paliatif ialah untuk :

1) Memperbaiki kulaitas hidup

Page 27: antiemetik wete

2) Mengatasi komplikasi yang terjadi

3) Mengurangi atau meringankan keluhan

2.5. Pengobatan Kanker

2.5.1. Operasi/Pembedahan

Operasi adalah terapi untuk membuang tumor, memperbaiki komplikasi

dan merekonstruksi defek yang ada melalui pembedahan. Pembedahan merupakan

prosedur penggobatan kanker yang paling tua, dan paling besar kemungkinannya

untuk sembuh, khususnya untuk jenis kanker tertentu yang belum menyebar ke

bagian tubuh lain. Kemajuan di bidang pembedahan telah memungkinkan

tindakan operasi dengan luka dan efek seminimal mungkin.

2.5.2. Radioterapi

Radioterapi ialah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar

ionisasi. Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja

tetapi juga pada sel-sel normal di sekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker

umumnya lebih besar dari sel normal. Karena itu perlu diatur dosis radiasi

sehingga kerusakan jaringan normal yang minimal dapat pulih kembali. Terapi

radiasi biasa diberikan pada kanker di daerah kepala, kelenjar, paru-paru, penyakit

Hodgkin, dan kenker jenis lain, baik sebagai terapi tunggal maupun terapi

kombinasi dengan pembedahan maupun kemoterapi.

2.5.3. Kemoterapi

Kemoterapi telah digunakan untuk pengobatan kanker sejak tahun 1950-

27

Page 28: antiemetik wete

an. Diberikan sebelum operasi untuk memperkecil ukuran kanker yang akan

dioperasi, atau sesudah operasi untuk membersihkan sisa-sisa sel kanker. Kadang

dikombinasi dengan terapi radiasi, kadang tidak. Kemoterapi merupakan terapi

untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat anti-kanker yang disebut

sitostatika. Obat penghancur sel kanker ini diberikan dalam tablet/pil, suntikan,

atau infus. Lamanya kemoterapi yang dijalani dan ada atau tidaknya efek samping

tergantung pada jenis kanker dan jenis kemoterapi yang diberikan.

2.5.4. Immunoterapi

Immunoterapi yang disebut juga terapi merupakan jenis pengobatan

kanker yang relatif baru yang merupakan terapi untuk menguatkan daya tahan

tubuh dan memperbesar kemampuan tubuh menghancurkan sel-sel kanker.

Kemampuan immunoterapi menghancurkan sel-sel kanker terbatas. Diperkirakan

sampai sejumlah 105-107 sel kanker.

Ada tiga macam immunoterapi, yaitu aktif (vaksin kanker), pasif, dan terapi

adjuvan.

2.5.5. Terapi Gen

Terapi gen dilakukan dengan beberapa cara : (1) mengganti gen yang

rusak atau hilang, (2) menghentikan kerja gen yang bertanggung jawab tehadap

pembentukan sel kanker, (3) menambahkan gen yang membuat sel kanker lebih

mudah dideteksi dan dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh, kemoterapi,

maupun radioterapi, dan (4) menghentikan kerja gen yang memicu pembuatan

Page 29: antiemetik wete

pembuluh darah baru di jaringan kenker sehingga sel-sel kankernya mati.

2.5.6. Hormonterapi

Hormon terapi ialah terapi untuk mengubah lingkungan hidup kanker,

sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati sendiri.hormon

terapi hanya dipakai untuk beberapa jenis kanker yang pertumbuhannya

dipengaruhi oleh hormon (hormondependent), seperti kanker mamae,

endometrium, thiroid dan prostat.

2.5.7. Bioterapi

Bioterapi ialah terapi dengan menggunakan produk biologi, sepereti

sitokin, interferon, antiangiogenesis, dsb.

2.6. Retinoblastoma

Retinoblastoma merupakan tumor ganas endo-ocular pada anak yang

timbul pada embrionik neural retina. Terdapat dua jenis retinoblastoma : yang

berhubungan dengan mutasi genetik dan disebut sporadik retinoblastomas.

Retinoblastoma terjadi kira-kira 11% terjadi pada anak-anak umur tahun pertama,

3% terjadi pada anak-anak dibawah umur 15 tahun. Jumlah pasien anak dengan

retinoblastoma antara kulit hitam dan kulit putih sama, begitu pula dengan jenis

kelamin laki-laki dan perempuan secara essensial tidak berbeda (Voute, P.A. et

all, 1998).

2.6.1. Tanda-tanda dan Gejala

Tanda-tanda dari retinoblastoma sering pertama kali diketahui oleh

orangtua, yang umumnya mereka berkonsultasi dengan seorang opthalmologist

29

Page 30: antiemetik wete

dengan satu atau beberapa tanda-tanda ini, strabismus, merah, rasa sakit pada

mata yang sering kali disertai oleh glukoma, dan penglihatan yang buruk. Tanda-

tanda yang jarang terjadi yaitu rubeosis iridis (iris berwarna kemerahan), orbital

cellulitis, heterochromia iridis (perubahan warna pada sebagian iris), nystagmus.

Kejadian tumor awal pada penglihatan yaitu adanya refleks putih yang diketahui

sebagai refleks mata kucing atau leukocoria. Hal ini mengindikasikan adanya

sebuah tumor besar yang biasanya tumbuh dari periferi.

Manifestasi klinis lain yaitu merah, mata nyeri, kadang-kadang disertai

dengan glukoma. Kebutaan merupakan tanda akhir.

Cara lain mendiagnosa penyakit ini secara dini yaitu dengan mengivestigasi anak

dengan riwayat keluarga yang memiliki retinoblastoma.

2.6.2. Diagnosis

Langkah penting dalam mendiagnosa yaitu dengan pemeriksaan mata

dengan anastesi melalui seluruh pupil yang terdilatasi, dengan opthalmoscopy

langsung dan penekanan sklera oleh ophtalmologis yang berpengalaman.

Ultrasonography (US) dapat sangat membantu dalam membedakan diagnosis

pada anak dengan leukoria.

Computed Tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)

berguna untuk mengevaluasi saraf-optik, orbital, keterlibatan susunan saraf pusat,

dan adanya kalsifikasi intraokular.

2.6.3. Pengobatan

Dua aspek dalam pengobatan retinoblastoma harus diperhatikan; yang

pertama terapi lokal untuk mengobati penyakit intraokular, dan yang kedua terapi

Page 31: antiemetik wete

untuk pasien dengan ekstra okular, regional, atau perluasan penyakit.

Dalam negara berkembang, kebanyakan pasien menderita penyakit intra

okular, dan tingkat kesembuhan sebesar 95%. Dalam kasus ini, rencan pengobatan

harus diperhatikan pemeliharaan kemampuan penglihatan, meminimalisasi akibat

dalam waktu yang lama.

2.6.3.1.Pembedahan

Enukleasi adalah terapi yang mudah dan aman untuk retinoblastoma.

Enukleasi merupakan pengobatan bila terdapat glaukoma, invasi anterior

chamber, atau andanya rubeosis iridis, dan bila terapi lokal tidak dapat dilakukan

karena katarak atau gagalnya pendekatan pasien.

2.6.3.2.External Beam Radiotherapy (EBR)

Retinoblastoma adalah tumor yang radiossensitif dan radioterapi

merupakan terapi yang terpilih untuk retinoblastoma. EBRT biasanya dikirim

melalui linear akselerator dengan dosis 40-45 Gy, dengan fraksinasi konvensional

meliputi seluruh retina.tingkat keberhasilan penyembuhan dengan terapi ini tidak

haya bergantung kepada besarnya tumor, tetapi juga bergantung pada lokasinya.

2.6.3.3.Plaque Radiotherapy

Logam radioaktif episkleral menggunakan 60Co, 106Ru, atau 125I yang secara

meningkat digunakan dalam pengobatan retinoblastoma. Pengobatan ini biasanya

digunakan untuk tumor tunggal dengan ukuran kecil dan sedang.

31

Page 32: antiemetik wete

2.6.3.4.Cryo dan Fotokoagulasi

2.6.3.5.Kemoterapi

Adjuvan kemoterapi digunakan pada banyak seri dan banyak pasien yang

menerima pengobatan ini bertahan dalam waktu yang lama. Agen kemoterapi

yang paling sering digunakan adalah carboplatin, cisplatin, etoposide, teniposide,

cyclophosphamide, ifosfamid, vincristine, adriamycin, dan lainnya termasuk

idarubisin yang dikombinasi. Meskipun banyak laporan terdahulu yang

menyatakan bahwa invasi jelas pada orbit dan preauricular lymph nodes

dihubungkan dengan hasil yang fatal, banyak dari pasien ini bertahan mencapai

waktu yang lama dengan multimodal kemoterapi kombinasi, pembedahan, dan

radioterapi pada seluruh area.

2.7. Kemoterapi Kanker

Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak

seperti radiasi atau operasi yang bersifat lokal, kemoterapi merupakan terapi

sistemik, yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel

kanker yang telah menyebar jauh atau metastase ke tempat lain.

2.7.1. Tujuan penggunaan kemoterapi :

a. Terapi adjuvan

Kemoterapi yang diberikan sesudah operasi, dapat sendiri atau

bersamaan dengan radiasi, dan bertujuan untuk membunuh sel yang

telah bermetastase.

b. Terapi neoadjuvan

Page 33: antiemetik wete

Kemoterapi yang diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan massa

tumor, biasanya dikombinasi dengan radioterapi.

c. Kemoterapi primer

Digunakan sendiri dalam penatalaksanaan tumor, yang kemungkinan

kecil uantuk diobati, dan kemoterapi digunakan hanya untk mengontrol

gejalanya.

d. Kemoterapi kombinasi

Menggunakan 2 atau lebih agen kemoterapi

e. Kemoterapi induksi

Digunakan sebagai terapi pertama dari beberapa terapi berikutnya

(Diananda, 2007).

2.7.2. Cara Kerja Kemoterapi

Suatu sel normal akan berkembang mengikuti siklus pembelahan sel yang

teratur. Beberapa sel akan membelah diri dan membentuk sel baru dan sel yang

lain akan mati. Sel yang abormal akan membelah diri dan berkembang secara

tidak terkontrol, yang pada akhirnya akan terjadi suatu massa yang dikenal

sebagai tumor.

Siklus sel secara sederhana dibagi menjadi 5 tahap yaitu:

a. Fase G0, dikenal juga sebagai fase

istirahat. Ketika ada sinyal untuk

33

Page 34: antiemetik wete

berkembang, sel ini akan memasiki

fase G1.

b. Fase G1, pada fase ini sel siap untuk

membelah diri yang diperantarai oleh

beberapa protein penting untuk

bereproduksi. Fase ini berlangsung 18-

30 jam.

c. Fase S, disebut sebagai fase sintesis.

Pada fase ini DNA sel akan di kopi.

Fase ini berlangsung 18-20 jam.

d. Fase G2, sintesis protein terus

berlanjut. Fase ini berlangsung 2-10

jam.

e. Fase M. Sel dibagi menjadi 2 sel baru.

Fase ini berlangsung 30-60 menit.

Siklus sel sangat penting dalam kemoterapi sebab obat kemoterapi

mempunyai target dan efek merusak yang berbeda tergantung pada siklus

selnya. Obat kemoterapi aktif pada saat sel sedang bereproduksi (bukan pada

fase G0), sehinggan sel tumor yang aktif merupakan terget utama dalam

kemoterapi. Namun, oleh karena sel yang sehat juga bereproduksi, maka tidak

tertutup kemungkinan mereka juga akan terpengaruh oleh kemoterapi, yang

akan muncul sebagai efek samping obat (Sukardja, 2000).

2.7.3. Penggolongan Kemoterapi Pada Kanker Ginekologi

2.7.3.1.Golongan alkylating agent

Page 35: antiemetik wete

Golongan alkylating agent bekerja sebagai pembunuh sel melalui beberapa

mekanisme yang dapat terjadi, antara lain depurination, double-stranded & single

stranded breaks, interstrand & intra-strand cross-link, gangguan replikasi DNA,

dan gangguan transkripsi. Karena bekerja pada DNA, alkylating agent

menyebabkan terjadinya gangguan formasi atau kode molekul DNA. Akibatnya

sel yang terpapar dapat mengalami kematian atau masuk dalam proses

mutagenesis atau karsinogenesis. Dengan demikian efek samping dari pemberian

obat ini dapat menimbulkan resiko untuk terjadinya keganasan lain. Efek

karsinogenesis setelah pemberian alkylating agent dapat terjadi pada sel sumsum

tulang. Acute myelocytic leukimia dapat terjadi -10 tahun setelah pemberian dan

resikonya antara 5-10%. Yang temasuk dalam golongan ini antara lain nitrogen

mustard, mephalan, chlorambucil, cyclophospamide, dan ifosfamide.

2.7.3.2.Golongan platinum

Platinum akan berikatan dengan guanine pada N-7 rantai DNA sehingga

menyebabkan terjadinya interstrand DNA cross-links. Platinum sangat aktif pada

G1, tetapi juga dapat aktif pada siklus sel lainnya. Platinum mempunyai efek itu,

sebelum pemberian obat ini diperlukan hidrasi yang cukup.

2.7.3.3.Golongan Taxanes

Taxane akan mengikat microtubule dan menghambat depolimerisasi

microtubule. Prepatat taxane yaitu paclitaxel dan docetaxel.

2.7.3.4.Golongan analog asam folat

35

Page 36: antiemetik wete

Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim dihydrofolate reductase

(DHFR). Yang termasuk golongan ini antara lain methotrexate (MTX).

2.7.3.5.Golongan Analog Pirimedine

Bekerja menghambat messenger RNA dan ribosom RNA, menyebabkan

gangguan transkripsi RNA, serta menyebabkan pelepasan thymidine. Dengan cara

ini, maka golongan ini dapat bekerja pada beberapa siklus sel tetapi yang terutama

adalah pada fase S. Yang termasuk golongan ini antara lain 5-fluorouracil (5-FU),

cytarabine (Ara-C), dan Gemcitabine.

2.7.3.6.Golongan Antibiotik

Golongan ini bekerja menurut bebrapa cara. Yang termasuk dalam

golongan ini antara lain Doxorubicin, Actinomycin D, vinca alkaloid, golongan

podophillotoksin, Mitomycin C (Rasjidi, 2007).

2.8. Efek Samping Kemoterapi

Efek samping dapat muncul ketika sedang dilakukan pengobatan atau

beberapa waktu setelah pengobatan. Efek samping yang bisa timbul adalah:

2.8.1. Lemas

Efek samping yang umum timbul. Timbulnya dapat mendadak atau

perlahan. Tidak langsung menghilang dengan istirahat, kadang

berlangsung hingga akhir pengobatan.

Page 37: antiemetik wete

2.8.2. Mual dan Muntah

Ada beberapa obat kemoterapi yang lebih membuat mual dan muntah.

Selain itu ada beberapa orang yang sangat rentan terhadap mual dan

muntah. Hal ini dapat dicegah dengan obat anti mual yang diberikan

sebelum/selama/sesudah pengobatan kemoterapi.

Mual muntah dapat berlangsung singkat ataupun lama.

2.8.3. Gangguan pencernaan

Beberapa jenis obat kemoterapi berefek diare. Bahkan ada yang menjadi

diare disertai dehidrasi berat yang harus dirawat. Sembelit kadang bisa

terjadi.

Bila diare: kurangi makanan berserat, sereal, buah dan sayur. Minum

banyak untuk mengganti cairan yang hilang.

Bila susah BAB: perbanyak makanan berserat, olahraga ringan bila

memungkinkan

2.8.4. Sariawan

Beberapa obat kemoterapi menimbulkan penyakit mulut seperti terasa

tebal atau infeksi. Kondisi mulut yang sehat sangat penting dalam

kemoterapi

2.8.5. Rambut Rontok

Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga

minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut

patah di dekat kulit kepala. Dapat terjadi setelah beberapa minggu terapi.

Rambut dapat tumbuh lagi setelah kemoterapi selesai.

37

Page 38: antiemetik wete

2.8.6. Otot dan Saraf

Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada

jari tangan atau kaki serta kelemahan pada otot kaki. Sebagian bisa terjadi

sakit pada otot.

2.8.7. Efek Pada Darah

Beberapa jenis obat kemoterapi dapat mempengaruhi kerja sumsum tulang

yang merupakan pabrik pembuat sel darah, sehingga jumlah sel darah

menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih (leukosit).

Penurunan sel darah terjadi pada setiap kemoterapi dan tes darah akan

dilaksanakan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel

darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat

mengakibatkan:

a. Mudah terkena infeksi

Hal ini disebabkan oleh karena jumlah leokosit turun, karena leukosit

adalah sel darah yang berfungsi untuk perlindungan terhadap infeksi.

Ada beberapa obat yang bisa meningkatkan jumlah leukosit.

b. Perdarahan

Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah.

Penurunan jumlah trombosit mengakibatkan perdarahan sulit berhenti,

lebam, bercak merah di kulit.

c. Anemia

Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai oleh

penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hb letaknya di dalam sel darah

Page 39: antiemetik wete

merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah

lelah dan tampak pucat.

d. Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna

Lebih sensitive terhadap matahari. Kuku tumbuh lebih lambat dan

terdapat garis putih melintang (Diananda, 2007).

2.9. Mual dan Muntah

Mual dan muntah mungkin merupakan manifestasi dari berbagai keadaan,

termasuk kehamilan, mabuk perjalanan. Obstruksi saluran pencernaan, ulkus

peptikum, toksisitas obat, infark miokard, gagal ginjal, dan hepatitis.

Pada kemoterapi kanker, mual dan muntah yang diinduksi oleh obat dapat

terjadi secara teratur sehingga antisipasi muntah terjadi jika penderita kembali

untuk berobat- sebelum penderita diberi obat kemoterapi. Bila muntah tidak dapat

dikontrol, perasaan tidak enak yang menyertai muntah yang diinduksi oleh obat

dapat menyebabkan penderita menolak untuk menggunakan kemoterapi.

Mekanisme fisiologik yang mnenyebabkan terjadinya mual dan muntah ini

belum seluruhnya diketahui. Koordinasi aktivitas gerakan yang kompleks dari

lambung dan otot-otot abdomen terletak di ”pusat muntah”, yang berlokasi di

dalam formasi retikularis di medula. Pusat muntah menerima masukan dari

chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berlokasi di lantai ventrikel keempat,

aparatus vestribular, dan daerah-daerah lain. CTZ memberikan respons terhadap

rangsangan kimia, seperti obat kemoterapi kanker, yang jelas terbukti melalui

akivitas reseptor dopamin atau serotonin (Tehuteru, 2007).

Sumber yang dapat menjadi input ke pusat muntah antara lain :

39

Page 40: antiemetik wete

• Chemoreceptor trigger zone yang mengandung reseptor dopamine

D2, reseptor serotonin 5-HT3, reseptor opioid, reseptor asetilkolin,

dan reseptor substansi P. Stimulasi dari reseptor yang berbeda

tersebut dapat merangsang pusat muntah melalui jalan yang berbeda.

• Sistem vestibular yang memberikan sinyal ke otak melalui saraf otak

ke-VIII (vestibulocochlearis). Sistem ini berperan pada gejala

muntah yang disebabkan oleh mabuk perjalanan (motion sickness)

dan berkaitan dengan reseptor muskarinik dan reseptor histamin H1.

• Saraf otak ke-X (vagus) diaktifasi bila daerah faring terangsang

sehingga menimbulkan refleks muntah.

• Sistem saraf usus dan vagus merupakan input dari sistem

gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal. Iritasi dari

mukosa gastrointestinal karena kemoterapi, radiasi, distensi usus, dan

gastroenteritis dapat mengaktivasi reseptor 5-HT3 melalui jalur ini.

• Susunan saraf pusat mempunyai peran pada muntah yang berkaitan

dengan gangguan psikiatrik dan stres.

Selain itu, mual juga didefinisikan sebagai perasaan tidak enek berhubungan

dengan saluran makan bagian atas dan biasanya diikuti dengan rasa ingin muntah

dan pucat, berkeringat, salivasi, dan tachikardi. Muntah adalah keluarnya isi

lambung melalui mulut. Ditemukan pada 40-70% penderita kanker stadium lanjut

(Diananda, Rama. 2007).

Penyebabnya antara lain:

• Iritasi faring dan obstruksi parsial atau komplet saluran cerna (akibat

Page 41: antiemetik wete

kanker usus/di luar usus seperti asites, hepatomegoli, tumor pankreas,

konstipasi, peregangan kapsul organ visera).

• Metabolik : hiperkalsemia, gagal ginjal, hati, dan hiponatremia.

• Infeksi berat (infeksi candida, herpes, lesimukosal infeksi cytomegalovirus

dan infeksi sistemik yang lain).

• Obat : kemoterapi, opioid, digoxin, antibiotik, radioterapi, dan seterusnya.

• Gangguan sistem vestribuler : infiltrasi keganasan, obat (aspirin,

platinum).

• Pusat kortikal : faktor psikologis (kecemasan), bau, rasa kecap,

peningkatan tekanan intrakarnial, iritasi meningeal.

Pada anak-anak penderita kanker, obat-obat kemoterapi menyebabkan sel-sel

di usus melepaskan serotonin yang kemudian sensasi ini diteruskan dan

mengaktivasi pusat muntah di otak, yaitu di medula oblongata. Akhir dari proses

yang kompleks ini ditandai dengan filorus yang mengalami relaksasi, yang

memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak menuju lambung

akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi regurgitasi isi

lambung melalui esofagus dan farings.

Kategori utama obat-obat antimuntah termasuk anti-histamin H1,

fenotiazin, metoklopramid, dan ondansetron.

Antihistamin dengan aktivitas antiemetik yang baik (seperti difenhidramin,

hidroksizin) mempunyai efek anti muskarinik dan sedatif yang jelas. Nampaknya

mungkin kedua kerja ini dan efek penghambat H1 yang menambah efektivitas

antiemetik. Obat-obat ini terutama efektif untuk mual dan muntah yang berkaitan

dengan mabuk perjalanan, mungkin karena depresi spesifik konduksi di jalur

41

Page 42: antiemetik wete

vestibuloserebelar. Obat-obat antikolinergik, khususnya skopolamin, juga

digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan.

Fenotiazin menghambat reseptor dopamin dalam CTZ juga pada daerah

lain di otak. Prokloperazin dan prometazin sering digunakan sebagai antiemetik.

Walaupun hampir semua fenotiazin mempunyai beberapa aktivitas antiemetik,

penggunaannya dibatasi oleh derajat sedasi yang berhubungan dengan kerja

antiemetik. Gejala ekstrapiramidal, khususnya distonia, dapat menjadi berat bila

dosis besar digunakan untuk menghentikan mual dan muntah yng berhubungan

dengan kemoterapi. Distonia biasanya dapat dipulihkan dengan pemberian 50 mg

difenhidramin intravena.

Metoklopramid juga bekerja sebagai antagonis dopamin dan telah

digunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah. Ondansetron,

penghambat 5-HT3, juga diakui penggunaannya dalam pencegahan mual dan

muntah yang disebabkan oleh kemoterapi dan yang terjadi pada pasca operasi.

Turunan mariyuana, termasuk tetrahidrokanabinol (THC, dronabinol) sendiri

adalah antiemetik yang efektif pada beberapa penderita, termasuk beberapa di

antara mereka yang tidak efektif terhadap antiemetik lain. Dronabinol disetujui

untuk indikasi ini. Mekanisme kerja obat ini tidak diketahui tetapi tampaknya

melibatkan reseptor dalam chemoreceptor trigger zone. Kortikosteroid bersifat

antiemetik, tetapi mekanisme kerjanya tidak diketahui. Akhirnya, sedatif-hipnotik,

seperti benzodiazepin, sering digunakan untuk mengontrol antisipasi mual dan

muntah.

Berikut ini adalah manajemen untuk keparahan mual muntah berdasarkan

tingkatan agen kemoterapi : (Hesketh, Paul. 2008)

Page 43: antiemetik wete

1). Resiko muntah berat

Kombinasi 5-HT3-reseptor antagonis (antagonis serotonin), deksametason,

aprepitant direkomendasikan penggunaannya sebelum pemberian agen

kemoterapi yang diasosiasikan dengan emetik resiko tinggi.

Muntah tipe tertunda (delayed emesis) terjadi kira-kira pada 90% pasien

yang diobati dengan cisplatin tanpa pemberian antiemetik sebelumnya.

Pasien yang menerima kemoterapi dengan potensial emetik level tinggi

harus menerima kombinasi aprepitant pada hari ke 2-3 dan deksametason

pada hari 2-4.

2). Resiko muntah sedang

Pada pasien yang menerima pengobatan dengan antrasiklin dan

siklofosfamid, kombinasi 5-HT3-reseptor antagonis, deksametason, dan

aprepitant direkomendasikan penggunaannya sebelum kemoterapi. Setelah

menjalani kemoterapi dapat diberikan aprepitant pada hari ke 2 dan 3 atau

deksametason pada hari 2 dan 3.

Untuk regimen lain selain agen kemoterapi diatas dapat diberikan 5-HT3-

reseptor antagonis dan deksametason sebelum kemoterapi. Kemudian

diberikan 5-HT3-reseptor antagonis atau deksametason pada hari 2 dan 3

setelah menjalani kemoterapi.

Karena regimen kemoteapi antrasiklin dan siklofosfamid mempunyai

potensial emetik menengah untuk delayed emesis, maka aprepitant juga

harus diberikan pada hari 2 dan 3.

3). Resiko muntah rendah

43

Page 44: antiemetik wete

Dosis tunggal deksametason sebelum kemoterapi direkomendasikan untuk

agen-agen yang berhubungan dengan emesis resiko rendah. Dosis tunggal

antagonis dopamin dapat digunakan sebagai pilihan lain untuk

pencegahan.

Tidak ada profilaksis rutin yang diindikasikan untuk delayed emesis.

4). Resiko muntah minimal

Tidak ada profilaksis rutin untuk tipe muntah akut atau tertunda

dibutuhkan untuk agen kemoterapi yang berhubungan dengan muntah

resiko minimal.

Beberapa penggolongan antiemetik :

a) 5-HT3-reseptor antagonis

Saat ini 5-HT3-reseptor antagonis yang secara luas sudah digunakan

antara lain ondansetron, granisetron, dolasetron, tropisetron, dan agen

terbaru yaitu palonosetron. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi untuk

pencegahan potensial emetik dari agen kemoterapi menengah sampai

tinggi.

Dalam penelitian terbaru, telah ditunjukkan ekivalensi terapeutik pada

ke-empat 5-HT3-reseptor antagonis lama yang didukung dengan metode

meta-analisis. Obat-obatan ini memiliki efek samping yang kecil.

Percobaan klinis pada 5-HT3-reseptor antagonis lama (misal : granisetron,

ondansetron), menunjukkan efikasi yang rendah untuk muntah tipe

tertunda pada mual dan muntah akibat kemoterapi dibandingkan dengan

muntah tipe akut.

Page 45: antiemetik wete

Agen ini menunjukkan sedikit aktivitas bila digunakan untuk

pencegahan muntah tipe tertunda yang diinduksi oleh cisplatin.

Tahun 2003, 5-HT3-reseptor antagonis baru, palonosetron, ditemukan.

Berbeda dengan golongan 5-HT3-reseptor antagonis lain, obat ini memiliki

waktu paruh yang lebih lama (kira-kira 40 jam) dan secara substansial

afinitasnya dalam mengikat reseptor 5-HT3 lebih besar.

Contoh obat: (Solimando, 2004 dan Taketomo, 2001)

• Ondansetron

Kategori farmakologi :

Antiemetik; selektif 5-HT3-reseptor antagonis

Penggunaan :

Pencegahan mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi

kanker level emetogenik sedang sampai menengah; radioterapi pada

pasien yang menerima fraksi iradiasi total tubuh untuk perut; pencegahan

dan pengobatan mual dan muntah setelah operasi.

Secara umum tidak direkomendasikan untuk pencegahan mual dari

agen kemoterapi dengan potensial emetogenik rendah.

Mekanisme Kerja :

Selektif 5-HT3-reseptor antagonis, menghambat serotonin, secara

periferal pada saraf vagal terminalis dan secara sentral di chemoreceptor

trigger zone (CTZ).

Perhatian :

Ondansetron harus digunakan sesuai jadwal, bukan “bila diperlukan”,

karena berdasarkan data pendukung penggunaan obat ini hanya dalam

45

Page 46: antiemetik wete

pencegahan mual dan muntah (karena terapi antineoplastik) dan bukan

dalam penyembuhan mual dan muntah.

Ondansetron harus diberikan 24-48 jam pertama pada kemoterapi.

Farmakodinamik/kinetik:

Waktu mula kerja : ~ 30 menit

Absorbsi : oral : 100%; non linear absorbsi terjadi dengan

peningkatan dosis oral.

Distribusi : Vd : anak-anak : 1.6-1.7 L/kg

Pengikatan protein : plasma : 70-76%

Metabolisme : secara luas di hati melalui hidroksilasi, diikuti oleh

konjugasi glukuronid atau sulfat.

Bioavailabilitas : oral : 50-70% karena metabolisme awal yang

signifikan

Waktu paruh : anak-anak : 3-7 tahun: 2.6 jam

7-12 tahun: 3.1 jam

Dewasa : 4-5 jam

Eliminasi : dalam urin dan feses diperoleh <5% obat induk

yang tidak diubah dalam urin.

Klirens : anak-anak : 3-7 tahun : 0.5 L/jam/kg;

7-12 tahun : 0.39 L/jam/kg

Dewasa : 25-50.7 L/jam (normal);

16-32 L/jam (kanker)

Dosis :

Pencegahan mual dan muntah akibat kemoterapi :

Page 47: antiemetik wete

Oral (semua dosis deberikan 30 menit sebelum kemoterapi dan diulang

tiap interval 8 jam):

Anak-anak : <4 tahun : FDA tidak menyetujui pemberian oral,

bagaimapun penggunaan dosis berdasar luas permukaan tubuh telah

digunakan :

<0.3 m2 : 1 mg 3x/hari

0.3-0.6 m2 : 2 mg 3x/hari

0.6-1 m2 : 3 mg 3x/hari

>1 m2 : 4 mg 3x/hari

Atau

4-11 tahun : 4 mg 3x/hari

>11 tahun dan dewasa: 8 mg 3x/hari atau 24 mg sehari sekali

Intravena :

>3 tahun :0.15 mg/kg/dosis diinfus 30 menit sebelum kemoterapi;

diberikan dosis yang sama 4 dan 8 jam setelah dosis pertama;

efektifitasnya menurun bila diberikan untuk terapi yang lama

(misal: lebih dari 3 dosis).

b) NK1-reseptor antagonis

Neurokinin-1- reseptor antagonis merupakan kelas baru agen

antiemetik yang efektif untuk mencegah mual dan muntah yang diinduksi

oleh kemoterapi. Aprepitant telah disetujui FDA pada tahun 2003 dalam

formulasi oral, sebagai agen kelas pertama dalam kelasnya. Aprepitant

memiliki metabolisme yang kompleks. Dalam studi in vitro menggunakan

mikrosom hati manusia menunjukkan bahwa aprepitant di metabolisme

47

Page 48: antiemetik wete

terutama melalui jalur sitokrom P-450 3A4, dengan metabolisme minor

oleh jalur sitokrom P-450 1A2 dan sitokrom P-450 2C9.

Aprepitant juga merupakan penghambat dan penginduksi menengah

jalur CYP-450 3A4. Informasi ini relevant bila diberikan dengan

kortikosteroid yang juga dimetbolisme melalui jalur CYP-450 3A4.

Pemberian aprepitant dan deksametason meningkatkan konsentrasi plasma

deksametason. Jumlah yang substansial pada agen antineoplastik yang

dimetabolisme melalui jalur CYP-450 3A4, meningkatkan kemungkinan

peningkatan toksisitas ketika agen ini diberikan dengan aprepitant. Saat

ini, tidak ada data klinis yang berarti tentang interaksi antara aprepitant

dengan agen antineoplastik. Aprepitant merupakan penginduksi jalur

CYP-450, yang mana warfarin dan medikasi lain juga dimetabolisme di

jalur ini.

Pada tahun 2008 baru-baru ini, digunakan NK1-reseptor antagonis

yang diberikan secara intravena, Fosaprepitant, merupakan prodrug

phosphoryl larut air untuk aprepitant yang diubah menjadi aprepitant

dalam 30 menit setelah pemberian secara intravena.

c) Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif bila diberikan sebagai agen tunggal pada pasien

yang menerima kemoterapi dengan potensial muntah rendah.

Kortikosteroid sangat menguntungkan, begitu juga bila kombinasi dengan

antiemetik lain. Bila dikombinasi dengan 5-HT3-reseptor antagonis efektif

untuk tipe akut dan tertunda.

Contoh obat :

Page 49: antiemetik wete

• Deksametason

Kategori farmakologi :

Antiemetik, kortikosteroid, anti-inflamasi

Penggunaan :

Secara sistemik dan lokal digunakan untuk bengkak yang kronik; alergi,

hematologik, neoplastik, dan penyakit autoimun, antiemetik tambahan

dalam pengobatan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi.

Mekanisme kerja :

Mengurangi peradangan dengan cara menekan perpindahan leukosit

polimorfonuklear dan pemutaran pada peningkatan kapiler permeabiliti;

menekan respon imun normal.

Mekanisme aktivitas deksametason sebagai antiemetik tidak diketahui.

Potensial emetik :

Sangat rendah (<10%); dapat menimbulkan mual/gangguan pencernaan

bila digunakan secara oral pada perut kosong.

Farmakodinamik :

Durasi : efek metabolik sampai 72 jam

Farmakokinetik :

Metabolisme : di hati

Waktu paruh : anak umur 3-16 tahun : 4.3 jam

Konsentrasi puncak serum : oral : 1-2 jam; IM : 8 jam

Eliminasi : urin

49

Page 50: antiemetik wete

Dosis :

Anak-anak :

Antiemetik (diinduksi oleh kemoterapi) : awal : 10 mg/m2/dosis (dosis

maksimal 20 mg) kemudian 5 mg/m2/dosis tiap 6 jam. Diberikan dalam

bentuk sodium phosohate. Diberikan 15-30 menit sebelum kemoterapi.

Pemberian :

Oral : Diberikan bersama makanan atau susu untum menurunkan efek

samping gastrointestinal.

IV : Diberikan secara bolus 5-10 menit; pemberian secara cepat

berhubungan dengan tingginya insiden ketidaknyamanan perianal.

IM : Asetat injeksi bukan untuk penggunaan intravena.

Sediaan :

IV : Dalam bentuk sodium phosphate;

larutan, oral : Intensol 0.5mg/5ml (rasa cherry)

Mual dan muntah dibagi berdasarkan keparahannya (Tabel I) dan onsetnya.

Berdasarkan onsetnya, mual dan muntah umumnya dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Tipe antisipatori: munculnya sebelum mulai seri kemoterapi baru akibat

rangsang bau, pandangan, dan suara di ruang terapi, sering kali muncul setelah

seri 3-4 karena pengalaman mual dan muntah tipe akut dan tertunda.

2. Tipe akut: munculnya < 24jam setelah kemoterapi.

3. Tipe tertunda: munculnya > 24 jam setelah kemoterapi

Page 51: antiemetik wete

Tabel I. Tingkat Keparahan Mual dan Muntah (NCI, 2006)

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Tingkat 5Mual Hilang

selera

makan,

kebiasaan

makan tidak

berubah

Asupan makan

berkurang

tanpa

penurunan BB

bermakna;

Cairan i.v.

atau TPN

perlu ≥24 jam

Asupan kalori dan

cairan oral tak

memadai;

Cairan i.v. tube

feeding atau TPN

perlu ≥24 jam

Mengancam

nyawa

Kematian

Muntah 1 episode

dalam 24jam

2-5 episode/

24jam

Cairan i.v.

perlu <24 jam

≥6episode/24jam

Cairan i.v. atau

TPN perlu ≥24 jam

Mengancam

nyawa

Kematian

Beberapa versi terapi standar mual muntah pasca kemoterapi kanker sebagai

berikut:

1. Versi National Cancer Institute/NCI (2006): antagonis serotonin (ondansetron

8mg iv) dan dexametason 20 mg iv sesaat sebelum kemoterapi, dilanjutkan

setelah 8 jam sampai dengan 2-3 hari, terapi ini adalah standar konvensional.

51

Page 52: antiemetik wete

2. Versi ASCO (Cit NCI, 2006 and Grunberg et.al., 2004): mual dan muntah

frekuensi tinggi; antagonis serotonin plus dexametason 12 mg iv plus

aprepitant 125 mg sesaat sebelum kemoterapi, dilanjutkan aprepitant sampai

dengan 2-3 hari; mual dan muntah frekuensi sedang seperti standar

konvensional; mual dan muntah frekuensi rendah terapi anti mual dan muntah

tunggal yaitu antagonis serotonin atau kortikosteroid.

3. Versi Adeleide Royal Hospital (2004): mual dan muntah frekuensi sangat

tinggi (>90%): antagonis serotonin po (bila muntah iv) dan dexametason 20

mg iv, bila sangat berat atau terjadi muntah antisipatori misalnya pada

kemoterapi dengan cisplatin ditambahkan benzodiazepin (lorazepam); mual

dan muntah frekuensi sedang memilih salah satu berikut metoklopramid,

domperidon, atau dexametason po; mual dan muntah frekuensi rendah

pemberian anti mual dan muntah hanya bila perlu.

Page 53: antiemetik wete

Protokol AObat kemoterapi +

Obat anti muntah

Protokol BObat anti muntah +

Obat kemoterapi

BAB IIIALUR PENELITIAN

0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d464301

000000000001004484000000000100000018030000000000001803000001000000

6c0000000000000000000000350000006f00000000000000000000003e010000f60

4000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000

000c01200008a180000cb00000009010000000000000000000000000000f818030

0280b0400160000000c000000180000000a0000001000000000000000000000000

9000000100000004b0000002c010000250000000c0000000e000080250000000c0

000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000a4fffff

f000000000000000000000000900100000000000004400022430061006c0069006

200720069000000000000000000000000000000000000000000000000000000000

00000000000000000000000000000000000000000000000001100b0b3110010000

00014b7110094b411005251603214b711000cb41100100000007cb51100f8b6110

02451603214b711000cb411002000000049642f310cb4110014b7110020000000ff

ffffff1c38d200d0642f31ffffffffffff0180ffff01800fff0180ffffffff000007000008000

000080000d4fb320801000000000000005802000025000000632e90010008020f0

502020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f000000000000004300

61006c006900620072000000000041007200690061006c00200052006f0075006e

0040b411009c38273104000000010000007cb411007cb41100e878253104000000

53

Page 54: antiemetik wete

Efektifitas obatKesesuaian aturan pakaiKesesuaian dosisKesesuaian obat

Evaluasi penggunaan obat anti muntah pada pasien anak dengan retinoblastoma yang menjalani kemoterapi

0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d4643010000000000010044840000000001000000180300000000000018030000010000006c0000000000000000000000350000006f00000000000000000000003e010000f604000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000000c01200008a180000cb00000009010000000000000000000000000000f8180300280b0400160000000c000000180000000a00000010000000000000000000000009000000100000004b0000002c010000250000000c0000000e000080250000000c0000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000a4fffff

Page 55: antiemetik wete

muntah tidak

f000000000000000000000000900100000000000004400022430061006c006900620072006900000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000001100b0b311001000000014b7110094b411005251603214b711000cb41100100000007cb51100f8b611002451603214b711000cb411002000000049642f310cb4110014b7110020000000ffffffff1c38d200d0642f31ffffffffffff0180ffff01800fff0180ffffffff000007000008000000080000d4fb320801000000000000005802000025000000632e90010008020f0502020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f00000000000000430061006c006900620072000000000041007200690061006c00200052006f0075006e0040b411009c38273104000000010000007cb411007cb41100e878253104000000a4b411001c38d2006476000800000000250000000c00000001000000250000000c00000001000000250000000c00000001000000180000000c0000000000000254000000540000000000000000000000350000006f000000010000005555874026fd86400000000057000000010000004c0000000400000000000000000000004b0000002c01000050000000200036003600000046000000280000001c0000004744494302000000ffffffffffffffff4c0000002d010000000000004600000014000000080000004744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000800e000000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050000000c0233000d00040000002e0118001c000000fb020300010000000000bc02000000000102022253797374656d0000000000000000000000000000000000000000000000000000040000002d010000040000002d01000004000000020101001c000000fb02f0ff0000000000009001000000000440002243616c6962726900000000000000000000000000000000000000000000000000040000002d010100040000002d010100040000002d010100050000000902000000020d000000320a0f00000001000400000000000d00330020840900040000002d010000040000002d010000030000000000

BAB IVMETODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Kanker ”Dharmais”.

2. Waktu Penelitian

55

Page 56: antiemetik wete

Penelitian berlangsung pada bulan Maret – Mei 2008.

4..2 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dan bersifat

retrospektif. Penelitian dilakukan berdasarkan data sekunder (rekam medis

pasien) dari Januari 2003 - Februari 2008.

4.3 Populasi dan Sampel

1. Populasi target adalah pasien anak yang

didiagnosa menderita retinoblastoma.

2. Populasi terjangkau adalah pasien anak yang

didiagnosa menderita retinoblastoma yang

menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais

dari Januari 2003 - Februari 2008.

3. Sampel terdiri dari pasien anak pria dan wanita

yang didiagnosa menderita retinoblastoma yang

menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Kanker

”Dharmais”. Sampel diambil dari Januari 2003 –

Februari 2008 yang memenuhi kriteria inklusi.

4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kritera inklusi adalah pasien anak pria dan wanita dari umur 1-12 tahun

yang menderita retinoblastoma yang menjalani kemoterapi dari bulan

Januari 2003 sampai bulan Februari 2008 dengan data rekam medis yang

lengkap.

Page 57: antiemetik wete

Kriteria ekslusi adalah pasien anak pria dan wanita yang menderita

retinoblastoma yang tidak dikemoterapi dengan data rekam medis yang

tidak lengkap dan tidak jelas.

4.5 Cara Pengumpulan Data

1. Dilakukan pengumpulan

informasi tentang jumlah

kasus retinoblastoma

yang menjalani

pengobatan dengan cara

kemoterapi dan efek

samping yang

ditimbulkan dari

pengobatan tersebut.

2. Data diambil dari rekam

medis pasien. Data yang

dikumpulkan adalah

nama, umur, jenis

kelamin, siklus

kemoterapi, obat

kemoterapi dan obat anti

muntah yang diberikan

lalu dipindahkan ke

lembar pengumpul data.

57

Page 58: antiemetik wete

4.6 Batasan Operasional

1) Subyek Penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosa

retinoblastoma yang mendapatkan kemoterapi dan obat anti

muntah sebelum kemoterapi (sebelum November 2006) dan setelah

kemoterapi (setelah Oktober 2006).

2) Retinoblastoma adalah hasil diagnosa dokter yang tertulis dalam

rekam medis pasien.

3) Obat anti muntah (antiemetik) yang diamati adalah antiemetik yang

diberikan kepada pasien sebelum menjalani kemoterapi (protokol

lama) dan antiemetik yang diberikan kepada pasien setelah

menjalani kemoterapi tanpa pemberian antiemetik sebelumnya.

4) Efek samping dari obat kemoterapi yang diamati adalah keluhan

mual muntah yang dialami oleh pasien dalam kurun waktu kurang

dari 24 jam setelah kemoterapi (acute emesis/tipe akut) atau setelah

24 jam setelah kemoterapi (delayed emesis/tipe tertunda)

berdasarkan data dari rekam medis.

5) Efektifitas adalah besarnya efek dari obat anti muntah yang

digunakan untuk mengatasi mual muntah yang dilihat dengan tidak

adanya mual dan muntah dalam kurun waktu sebelum dan sesudah

24 jam setelah kemoterapi.

6) Pasien adalah pasien anak dengan usia 1-12 tahun yang menjalani

kemoterapi di RS Kanker Dharmais dalam kurun waktu Januari

2003 – Februari 2008.

4.7 Analisa Data

Page 59: antiemetik wete

Dari data pengamatan yang dikumpulkan kemudian dianalisa secara

deskriptif non analitik dengan mengevaluasi adanya kejadian mual dan muntah

setelah pemberian antiemetik.

Data yang dianalisa yaitu :

a. Penggunaan obat kemoterapi yang meliputi level

emetogenisitas obat

b. Penggunaan obat anti muntah yang meliputi jenis obat anti

muntah yang digunakan, dosis dan regimen

pemakaian/aturan pakai.

Setelah data dianalisa, kemudian seluruh data dievaluasi sehingga

didapatkan hasil berupa :

1. Efektivitas penggunaan antiemetik

2. Kesesuaian pemilihan antiemetik

3. Kesesuaian dosis

4. Kesesuaian aturan pakai

5. Level emetogenik agen kemoterapi pada pasien

6. Jumlah pasien yang mendapatkan kombinasi antiemetik

7. Keluhan pasien yang muntah sebelum dan setelah 24 jam pasca

kemoterapi

8. Penggolongan mual dan muntah berdasarkan onsetnya

59

Page 60: antiemetik wete

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

Dari penelitian yang dilakukan terhadap 22 kasus pasien anak yang

menderita retinoblastoma dan menjalani proses kemoterapi yang diambil dari

bulan Januari 2003-Februari 2008, didapatkan hasil sebagai berikut :

5.1.1. Karakteristik Subyek dan Siklus Kemoterapi

Tabel 1. Karakteristik Subyek

No Karakteristik Subyek Keterangan1 Jumlah Pasien 34 pasien Hanya terdapat 22

pasien retinoblastoma anak yang menjalani kemoterapi dan memenuhi kriteria inklusi

3 Usia Pasien < 1 tahun : -1-4 tahun : 26 pasien 5-8 tahun : 7 pasien9-12 tahun : 1 pasien

Page 61: antiemetik wete

4 Stadium Penyakit I : - II : -III : 2IV : 4V : 1

Hanya 7 pasien yang memiliki data stadium penyakit dalam medical record

Tabel 2. Distribusi Siklus Kemoterapi Yang Dijalani Pasien di RS. KankerDharmais

Siklus Kemoterapi Yang Dijalani

Jumlah Pasien Persentase (%)

I 2 9.09

II 3 13.64

III 4 18.18

IV 2 9.09

V 4 18.18

VI 3 13.64

VII 2 9.09

VIII - -

IX - -

X - -

XI - -

XII - -

XIII 1 4.545

XIV - -

XV - -

XVI 1 4.545

Total 22 100 %

5.1.2. Penggunaan Obat Kemoterapi

Tabel 3. Distribusi Regimen Kemoterapi Pada Pasien Retinoblastoma Anak di

61

Page 62: antiemetik wete

RS. Kanker Dharmais Periode 2003-2008

Regimen Kemoterapi Jumlah Pasien Yang Menggunakan Persentase

Vincristine (VCR)Ifosfamide (IFD)Actinomycin D (ACD)

12 54.545 %

Vincristine (VCR)Etoposide Carboplatin

10 45.455

Total 22 100 %

5.1.3 Pemilihan dan Penggunaan Antiemetik Pada Kasus Kemoterapi

Pasien Retinoblastoma Anak di RS. Kanker Dharmais

5.1.3.1.Jenis Antiemetik

Tabel 4. Frekuensi Penggunaan Jenis, Golongan dan Bentuk Sediaan Pemakaian Antiemetik Kasus Pasca Kemoterapi Retinoblastoma Pada Anak di RS. Kanker Dharmais

Tabel 5. Tingkat Kesesuaian Pemilihan Antiemetik Berdasarkan Resiko Agen Kemoterapi Yang Diberikan

Terapi Jumlah Kesesuaian Persentase (%)

1 obat Ondansetron 8 X 38,09Metoklopramid

2 obat Ondansetron+Deksametason 5 √ 23,81Ondansetron+Metoklopramid 4 X 19,05Ondansetron+RanitidinDeksametason+Metoklopramid

3 obat Ondansetron+Deksametason+Ranitidin 3 X 14,28

4 obat Ondansetron+Metoklopramid+ Deksametason+Ranitidin 1 X 4,77

Golongan Jenis Antiemetik Rute (Jumlah Kasus)

Intravena (i.v)

Per oral(p.o)

Antagonis Histamin H2 Ranitidine 5 -Antagonis Serotonin Ondansetron 16 -Kortikosteroid Deksametason 4 6

Antagonis Dopamin Metoklopramid 7 2

Page 63: antiemetik wete

Total 21 100Keterangan : x : tidak sesuai, √ : sesuai

5.1.3.2.Dosis Antiemetik

Seluruh pasien yang menerima antiemetik pre-kemoterapi telah

mendapatkan dosis yang sesuai dengan standard yang berlaku. Sehingga pasien

menerima kesesuaian dosis sebesar 100%. Dosis yang harus digunakan menurut

standard pengobatan di RS. Kanker Dharmais dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Pilihan Antiemetik dan Dosis Yang Digunakan

Kelompok obat

kemoterapi

Obat antiemetik Dosis yang diberikan Keterangan

Ringan Tidak diperlukan, atauDomperidone (oral),atau Promethazine (oral)

0.3 mg/kg 4x/hari0.5 mg/kg 4x/hari

Berdasarkan standard

pengobatan di RSKD

Sedang Ondansetron (iv)Ondansetron (iv kontinu)

Ondansetron (oral), atauGranisetron (iv)Granisetron (oral), atauDeksametason (oral)

0.15 mg/kg 3x/hari0.45 mg/kg/hari (maks 24-32 mg/hari)4-8 mg 2-3x/hari0.-20 mcg/kg 2-3x/hari1 mg 2x/hari5 mg/m2 3x/hari

Berat Ondansetron/Granisetrondan Deksametason

Sama dengan diatas Sama dengan diatas

5.1.3.3.Aturan Pemakaian

Tidak seluruh pasien menerima antiemetik pre-kemoterapi. Terdapat dua

orang atau sekitar 15,38 % pasien yang tidak mendapatkan antiemetik sebelum

menjalani kemoterapi. Jadi, kesesuaian aturan pemakaian antiemetik hanya

berkisar 84,62 %.

Jenis pemakaian antiemetik yang diterima oleh pasien yang menjalani

63

Page 64: antiemetik wete

kemoterapi dan keluhan emesis [acute emesis (<24 jam) dan delayed emesis (>24

jam)] dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Macam Antiemetik Yang Didapat Oleh Pasien dan Keluhan Emetiknya

Antiemetik yang Didapat

PasienJumlah Pasien

Keluhan Emesis

(<24 jam)

Keluhan Emesis

(>24 jam)

Tidak Emesis

O 4 - 4 -M 4 3 1 -

O+D 5 - 1 4

O+M 2 1 1 -

O+R 1 1 - -

D+M 1 1 - -

O+D+R 3 1 1 1

O+D+R+M 1 1 - -

Total 21 8 10 5

Keterangan :O : Ondasetron, M : Metoklopramide, D : Deksametason, R : Ranitidine

Tabel 8. Distribusi Pasien Yang Mendapat Golongan Kemoterapi dan Antiemetik Yang Sama

Jumlah Pasien

Golongan Kemoterapi

Level Emetogenitas

Golongan Antiemetik Kejadian Emesis

Ada Tidak2 VA-PD-AA R-S-B

R-S-BSA 2 -

3 VA-AA-AA R-B-BR-S-BR-B-B

DA 3 -

2 VA-AA-PD R-S-BR-S-B

K-AH-SA 2 -

5 VA-PD-AA R-S-B SA-K - 5

Page 65: antiemetik wete

R-S-BR-S-BR-S-BR-S-B

2 VA-AA-AA R-B-BR-B-B

DA-SA 2 -

1 VA-PD-AA R-S-B SA-K-AH 1 -

1 VA-AA-AA R-B-B DA-K 1 -

2 VA-AA-AA R-B-BR-B-B

SA 2 -

1 VA-AA-AA R-B-B SA-AH 1 -

1 VA-PD-AA R-S-B DA 1 -

1 VA-AA-AA R-B-B SA-DA-K-AH 1 -

Keterangan :VA : Vinca Alkaloid, AA : Alkylating Agent, PD : Podophyllotoxin DerivateK : Kortikosteroid, SA : Serotonin Antagonist, AH : Antagonis Histamin H2,DA : Dopamin Antagonist, R : Ringan, S : Sedang, B : Berat

5.1.4. Tipe Emesis

Tabel 9. Perbandingan Kasus Emesis Pada Protokol A Dengan Kasus Emesis Pada Protokol B Periode 2003-2008

Jenis Protokol

Jumlah Pasien

Kejadian Emesis

Tipe Akut Tipe Tertunda Tidak Emesis % emesis

Protokol A 7 5 2 0 100Protokol B 15 2 8 5 66.67%

Keterangan :Protokol A (protokol lama/sebelum pertengahan November 2006) :

Tanpa pemberian antiemetik sebelum kemoterapiProtokol B (protokol baru/setelah pertengahan November 2006) :

Dengan pemberian antiemetik sebelum kemoterapiTabel 10. Persentase Pasien Dengan/Tanpa Keluhan Emesis (Protokol B)

Kejadian Emesis Jumlah Persentase (%)Pasien mengalami emesis 8 61.54

Pasien tidak mengalami emesis

5 38.46

Total 13* 100

Keterangan :

65

Page 66: antiemetik wete

* total pasien dengan menggunakan protokol B (protokol baru) seharusnya 15 pasien, tetapi 2 orang pasien dengan protokol tersebut tidak mendapatkan antiemetik sebelum kemoterapi.

Tabel 11. Data Statistik Hubungan Antara Antiemetik Dengan Keluhan Muntah

Antiemetik Keluhan TotalNilai

Probabilitas

Ada Tidak Adan % n % n %

Tidak 9 100 0 0 9 100 0.054Ya 8 61.5 5 38.5 13 100Total 17 77.3 5 22.7 22 100

Keterangan :Pv (Probabilitas Value) ≤ 0.05 signifikanPv (Probabilitas Value) ≥ 0.05 tidak signifikan

• Terdapat sebanyak 9 pasien (100%) yang tidak menggunakan antiemetik

dan mengalami keluhan muntah dengan pemakaian protokol A (tanpa

penggunaan antiemetik sebelum kemoterapi).

• Pasien yang menggunakan antiemetik tetapi masih mengalami keluhan

muntah sebanyak 8 pasien (61.5%) dengan pemakaian protokol B (dengan

penggunaan antiemetik sebelum kemoterapi).

• Pasien yang menggunakan antiemetik dan tidak mengalami keluhan

muntah sebanyak 5 pasien (38.5%) dengan pemakaian protokol B (dengan

penggunaan antiemetik sebelum kemoterapi).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai dengan probabilitas 0.054, jadi pada α : 5%

dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara antiemetik

dengan keluhan yang ditimbulkan.

5.2. Pembahasan

Tidak seluruh pasien retinoblastoma anak yang dirawat di RS. Kanker

Dharmais menjalani kemoterapi. Sebanyak 8 pasien tidak menjalani kemoterapi, 3

Page 67: antiemetik wete

pasien meninggal dan 1 pasien dengan data rekam medik yang tidak jelas,

sehingga hanya terdapat 22 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah pasien

anak-anak antara laki-laki dan perempuan secara esensial tidak berbeda (NCI,

2000).

Seluruh pasien pasien retinoblastoma anak menjalani pengobatan dengan

kemoterapi dalam berbagai macam siklus dari siklus I sampai siklus XVI. Obat-

obat kemoterapi diberikan selama beberapa hari dan diseling dengan istirahat

beberapa minggu untuk memberikan kesempatan bagi jaringan normal untuk

tumbuh kembali. Demikian ada satu jarak di antara siklus kemoterapi untuk

resortasi jaringan normal/sehat (Tjay, Rahardja, 2007). Seluruh pasien yang

menjalani kemoterapi dikelompokkan berdasarkan siklus kemoterapi yang mereka

jalani. Siklus kemoterapi dapat dilihat pada tabel 2.

Siklus kemoterapi dapat digunakan untuk melihat apakah pada saat pasien

menjalankan kemoterapi dalam kondisi kesehatan yang baik atau tidak, dan

apakah antiemetik yang diberikan kepada pasien tersebut efektif atau tidak.

Pada penelitian, terdapat 2 jenis protokol yang berbeda yaitu protokol A

(protokol lama) yang berlaku sampai pertengahan november 2006 dan protokol B

(protokol lama) yang berlaku dari pertengahan november 2006. Dimana pada

protokol A tidak menggunakan antiemetik sebagai pencegahan mual dan muntah

sebelum menjalankan kemoterapi, sedangkan pada protokol B telah digunakan

antiemetik pre-kemoterapi. Pada pasien nomor 11, 19, dan 20 dengan

menggunakan protokol A (protokol lama) mengalami emetik tipe akut (acute

emesis) sejak pertama kali mendapatkan kemoterapi. Hal ini selain dimungkinkan

karena kondisi kesehatan pasien yang kurang baik pada saat itu, juga dikarenakan

67

Page 68: antiemetik wete

pasien tidak menerima antiemetik sebelum menjalani kemoterapi.

Sedangkan pasien nomor 24, 26, dan 29 dengan menggunakan protokol B

(protokol baru) tidak mengalami emesis sama sekali, juga pada pasien nomor 1,

dan 22 yang hanya mengalami muntah ringan, yang menunjukkan bahwa

antiemetik yang diberikan sangat efektif untuk mencegah terjadinya mual dan

muntah, walaupun seperti pada pasien nomor 26 yang harus menjalani kemoterapi

sebanyak 7 siklus dan pasien nomor 29 yang harus menjalani kemoterapi

sebanyak 16 siklus. Disamping itu kondisi kesehatan pasien juga dalam keadaan

yang sangat baik sehingga mendukung pengobatan menjadi lebih baik.

Kombinasi dari tiga atau lebih obat sitostatika sering kali digunakan,

lazimnya obat dengan mekanisme dan titik kerja pada siklus pertumbuhan sel

tumor yang berlainan. Dengan demikian, daya kerjanya saling dipotensiasi dan

terjadinya resistensi dihindari atau diperlambat. Begitu pula dosis masing-masing

dapat dikurangi dan efek toksis seluruhnya menjadi kurang hebat.

Tatalaksana untuk pasien retinoblastoma yang menjalani kemoterapi

biasanya telah terstandard pada masing-masing instasi pelayanan medik.

Gambaran persentase penggunaan obat kemoterapi yang didapat oleh masing-

masing pasien di RS. Kanker Dharmais dapat dilihat pada tabel 3.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan regimen kemoterapi

untuk retinoblastoma yang sering digunakan sekaligus menjadi standard

pengobatan sampai saat ini yaitu Vincristine (VCR), Ifosfamide (IFD), dan

Actinomycin D (ACD) dengan persentase 54.545% dimana sebelumnya

Vincristine, Etoposide, dan Carboplatin juga digunakan sebagai standard

pengobatan untuk kasus retinoblastoma pada anak. Hingga saat ini pun regimen

Page 69: antiemetik wete

kemoterapi tersebut masih ada yang menggunakan dengan alasan tertentu.

Pemberian antiemetik sebelum kemoterapi umumnya diberikan dalam

bentuk intravena, meskipun dapat pula diberikan secara per oral bila pasien tidak

muntah seperti deksametason, domperidone, dan promethazine.

Pada penelitian pemilihan rute pemberian antiemetik sudah tepat, yaitu

pemberian melalui intravena pada pasien yang mengalami mual muntah yang

berat karena melalui rute ini obat dapat lebih cepat bekerja karena langsung

masuk ke aliran darah, secara per oral pada pasien anak yang tidak mengalami

mual muntah berat dan mampu menelan obat.

Tidak seluruh pasien di RS. Kanker Dharmais menerima antiemetik

sebelum kemoterapi. Terdapat dua orang pasien yaitu pasien nomor 28 dan 30

yang tidak menerima antiemetik pre-kemoterapi. Terapi berupa antiemetik yang

diberikan beragam jenis dan jumlahnya, dari yang tunggal hingga kombinasi.

Kesesuaian pemakaian antiemetik berdasarkan level emetogenitas agen kemoteapi

yang diberikan pada pasien, dapat dilihat pada tabel 5.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pasien yang mendapatkan

kesesuaian dalam pemilihan antiemetik berdasarkan resiko muntah dari agen

kemoterapi yang mereka dapatkan sebesar 23.81% dengan antiemetik yang paling

efektif dalam mencegah timbulnya muntah yaitu ondansetron yang dikombinasi

dengan deksametason. Walaupun antiemetik tunggal seperti Ondansetron juga

memenuhi standard pengobatan, tetapi dalam standard pengobatan muntah obat

tersebut dapat diberikan secara tunggal bila pasien mengalami resiko muntah

sedang.

Sedangkan hal yang terjadi yaitu pasien yang mengalami resiko muntah

69

Page 70: antiemetik wete

berat seperti pasien nomor 5 dengan agen kemoterapi Vincristine 1 mg (resiko

muntah ringan), Etoposide 900 mg (resiko berat) dan Actinomycin D 1 mg (resiko

muntah berat), hanya mendapatkan Ondansetron sebagai antiemetik pre-

kemoterapi dan sebagai pengobatan delayed emesis yang terjadi pada siklus ke-2

hari ke-2.

Golongan antagonis serotonin dapat diberikan sebagai agen tunggal pada

level muntah sedang, untuk resiko muntah tinggi dapat diberikan Aprepitant +

Deksametason, Serotonin antagonist + Dexametason ataupun Metoklopramid +

Deksametason. Penggunaan Ondansetron sebagai agen tunggal untuk mengatasi

delayed emesis kurang bagus, jadi untuk mengurangi resiko delayed emesis dapat

dikombinasikan dengan Deksametason (Grunberg, 2004).

Pada tabel 7 dan 8 diatas dapat terlihat bahwa masih ada pasien yang

mengalami muntah, terutama pasien yang menjalani kemoterapi dengan protokol

lama (protokol A) yaitu pasien nomor 7, 11, 16, 18, 19, 20 dan 34 sehingga

mereka tidak mendapatkan antiemetik sebelum mereka menjalani kemoterapi

dikarenakan belum adanya standard yang mengharuskan pemakaian antiemetik

pre-kemoterapi sebagaimana halnya pada protokol baru (protokol B). Pasien-

pasien dengan protokol lama tersebut masih mengalami acute emesis seperti pada

pasien nomor 7, 18, 19 dan 20 yaitu timbulnya muntah sebelum 24 jam setelah

menjalani kemoterapi. Sedangkan delayed emesis dialami oleh pasien nomor 11

dan 16 yaitu timbulnya muntah setelah 24 jam setelah menjalani kemoterapi.

Pada pasien dengan protokol baru mereka mendapatkan pre-medikasi

berupa pemberian antiemetik sebelum kemoterapi dimana antiemetik tersebut

dapat membantu untuk mencegah timbulnya muntah setelah pasien menjalani

Page 71: antiemetik wete

kemoterapi. Dan hasilnya dapat terlihat jelas pada pasien nomor 24, 26 dan 29

yang sama sekali tidak mengalami muntah. Hal ini dikarenakan pasien-pasien

tersebut menerima antiemetik Ondansetron dan Deksametason dimana antiemetik

tersebut sesuai dengan regimen kemoterapi yang mereka dapatkan dengan resiko

muntah berat. Faktor lain yang mendukung pengobatan yaitu dari kondisi

kesehatan mereka yang sangat baik sehingga dapat menunjang pengobatan

menjadi lebih baik dan efektif. Dengan tidak adanya muntah atau emesis dengan

pemberian obat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa antiemetik yang mereka

dapatkan sangat efektif mencegah timbulnya muntah paska kemoterapi.

Meskipun pasien-pasien dengan protokol baru lain masih mengalami

emesis, tetapi dengan pemberian antiemetik pre-kemoterapi hal tersebut dapat

dicegah atau dikurangi. Misalnya pada pasien nomor 22 yang menjalani

kemoterapi sebanyak 5 siklus. Pasien tersebut mengalami muntah pada siklus 1

hari ke-8 dan siklus 2 hari ke-2 saja, pada siklus lain pasien tidak mengalami mual

ataupun muntah. Juga pada beberapa pasien lain yang menggunakan protokol ini,

mereka hanya muntah 1 kali saja (muntah ringan) dan itu dapat dinilai tidak

berarti. Hal tersebut membuktikan bahwa protokol baru (pemberian antiemetik

sebelum kemoterapi) lebih baik dan efektif untuk mencegah atau megurangi

resiko timbulnya muntah.

Keadaan yang berbeda dialami oleh pasien nomor 2 (3 thn) yang

mendapatkan regimen kemoterapi Vincristine 0,9 mg dengan level emetogenik

rendah, Ifosfamide 900 mg (level emetogenik berat) dan Actinomycin D (level

emetogenik berat). Antiemetik yang didapat yaitu Zofran (Ondansetron),

Primperan (Metoklopramid), Deksametason dan Ranitidin. Meskipun keempat

71

Page 72: antiemetik wete

antiemetik tersebut telah diberikan, tetapi tetap saja pasien mengalami keluhan

emesis dalam kurun waktu <24 jam (acute emesis). Hal ini dimungkinkan karena

kondisi kesehatan fisik pasien yang kurang baik sehingga menyebabkan

pengobatan juga menjadi kurang efektif.

Pasien nomor 22 (3 thn) yang mendapatkan agen kemoterapi Vincristine

0.9mg (level emetogenik rendah), Etoposide 90 mg (level emetogenik sedang) dan

Carboplatin 335 mg (level emetogenik berat) telah menerima antiemetik sesuai

satandard yaitu Deksametason dan Insetron (Ondansetron) meskipun masih

mengalami keluhan emesis, tetapi hanya 1 kali saja dan hal tersebut dikarenakan

pasien mengalami batuk-batuk yang berdahak sehingga pasien muntah

mengeluarkan lendir.

Pada pasien yang menerima kemoterapi, telah diidentifikasi masalah

tentang muntah. Permasalahan yang sering terjadi yaitu muntah tipe akut dan tipe

tertunda. Muntah tipe akut (acute emesis) didefinisikan sebagai mual dan muntah

yang terjadi dalam kurun waktu 24 jam setelah pemberian regimen kemoterapi.

Waktu yang paling beresiko timbulnya muntah yaitu dari jam pertama hingga jam

ke-enam setelah kemoterapi dengan berbagai macam agen kemoterapi.

Sedangkan muntah tipe tertunda (delayed emesis) yaitu muntah yang timbul pada

≥ 24 jam setelah kemoterapi. Delayed emesis ini lebih sering terjadi pada pasien

yang menerima cisplatin, carboplatin (Paraplatin), atau cyclophosphamide

(Cytoxan, Neosar). Pada beberapa pasien delayed emesis muncul lebih awal

dalam waktu kurang dari 24 jam.

Pada tabel 9 diatas menunjukkan perbandingan kasus emesis yang terjadi

antara penggunaan protokol A (protokol lama) dengan protokol B (protokol baru).

Page 73: antiemetik wete

Perbandingan ini digunakan untuk melihat protokol mana yang lebih efektif dalam

pengobatan pasien, juga untuk mengetahui jumlah pasien yang mengalami muntah

tipe akut maupun tipe tertunda untuk pengobatan lebih lanjut. Ternyata protokol

yang lebih efektif untuk pencegahan mual dan muntah karena induksi dari agen

kemoteapi yang diberikan yaitu protokol baru (protokol B) dengan efektivitas

antiemetik sebesar 38.46% hanya untuk pasien menerima antiemetik sebelum

kemoterapi. Kesesuaian dalam aturan pakai antiemetik sebesar 84.62%

dikarenakan masih ada dokter senior yang belum memakai obat tersebut sesuai

aturan/protokol.

Pada tipe muntah akut untuk regimen kemoterapi yang biasanya

menimbulkan resiko muntah sedang sampai tinggi, dianjurkan untuk penggunaan

antiemetik kombinasi seperti antagonis serotonin + deksametason + aprepitant

untuk resiko muntah tinggi dan antagonis serotonin dan deksametason untuk

resiko sedang. Untuk regimen kemoterapi dengan resiko muntah rendah dapat

digunakan antiemetik tunggal seperti kortikosteroid atau antagonis serotonin

ataupun tidak diperlukan antiemetik bila resiko muntah sangat rendah.

Persentase pasien yang masih mengalami muntah pada tabel 10 baik tipe

akut maupun tipe tertunda dengan protokol B yaitu 61.54% dengan nilai masing-

masing 46.15% dengan tipe tertunda yang salah satu akibatnya karena lupa

memberi obat saat pasien pulang dan 15.39% dengan tipe akut karena

ketidaksesuaian dalam pemilihan antiemetik. Sedangkan ke-efektifitasan obat

yang ditandai dengan tidak adanya muntah sama sekali ataupun muntah ringan

sebesar 38.46% atau sebesar 38.5% dengan menggunakan chi-square tests dengan

nilai probabilitas 0.054 pada α : 5% yang dapat disimpulkan ada hubungan yang

73

Page 74: antiemetik wete

signifikan antara antiemetik dengan keluhan muntah yang ditimbulkan. Hal ini

menunjukkan bahwa masih ada kekurangsesuaian dalam pemilihan antiemetik

untuk pencegahan maupun pengobatan muntah tipe akut dan tipe tertunda, yang

seharusnya pemilihan antiemetik tersebut didasarkan pada resiko muntah yang

ditimbulkan oleh pemberian regimen kemoterapi terutama dalam penggunaan

regimen kombinasi kemoterapi dimana kombinasi ini akan menyebabkan mual

dan muntah sebagai efek yang saling menguatkan dari kombinasi kemoterapi

tersebut.

Delayed emesis biasanya terjadi setelah pemberian dosis tinggi dari agen

kemoterapi Cisplatin (≥ 600 mg/m2), Carboplatin (≥ 300 mg/m2),

Cyclophosphamide (≥ 600 mg/m2) atau Doxorubicin (≥ 50 mg/m2). Kombinasi

dosis tunggal pre-kemoterapi antara golongan 5-HT3 Antagonis dan

Deksametason biasanya digunakan sebagai terapi untuk mencegah terjadinya

emesis pada pasien yang menerima kemoterapi dengan resiko muntah tinggi.

Penambahan aprepitant dapat meningkatkan pencegahan timbulnya muntah.

Selain itu pengobatan delayed emesis dapat dilakukan dengan pemberian

Deksametason + Metoklopramid; Deksametason + Aprepitant atau untuk resiko

muntah sedang dapat diberikan Deksametason sebagai antiemetik tunggal

(Grunberg, 2004). Tetapi pemakaian Aprepitant bila dikombinasi dengan

Deksametason, menimbulkan interaksi dimana AUC (Area Under Curve)

deksametason meningkat pada hari ke-1 dan ke-5. Dosis yang sam pada aprepitant

diberikan dengan dosis deksametason yang telah dikurangi, maka AUC

deksametason sama dengan standard regimennya tanpa aprepitant. Mekanisme

yang terjadi yaitu karena aprepitant merupakan penghambat menengah sitokrom

Page 75: antiemetik wete

P450 isoenzim CYP 3A4, dan dapat meningkatkan level kortikosteroid ini dalam

waktu yang pendek dengan menghambat metabolismenya melalui CYP 3A4. Jadi

apabila memakai regimen ini dianjurkan agar dosis pemakaian deksametason

harus dikurangi sekitar 50% bila dipakai bersama aprepitant. Dianjurkan

penggunaan deksametason dengan dosis 12mg pada hari 1 dan 8mg pada hari 2-4.

Menurut pengobatan emesis karena agen kemoterapi yang dilakukan di

UK Hospital menyebutkan bahwa kombinasi metoklopramid dan deksametason

merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk muntah tipe tertunda. Dan

deksametason atau lorazepam (hanya untuk anak >5 tahun) atau promethazine

dapat digunakan untuk mengobati emesis (Chandler Medical Center, 2002).

Penelitian yang dilakukan terhadap obat-obat kemoterapi yang memiliki

potensial emetogenik tinggi dengan membandingkan 3 kombinasi antiemetik yaitu

ondansetron, deksametason, dan aprepitant, semuanya diberikan sebelum

kemoterapi dengan penggunaan ondansetron dan deksametason sendiri.

Dilaporkan bahwa grup yang menerima aprepitant lebih baik dalam mengontrol

muntah. Besarnya manfaat (kira-kira 50% mengurangi resiko muntah atau berupa

medikasi untuk pertolongan) menunjukkan bahwa aprepitant sebagai komponen

penting dalam strategi manajemen antiemetik untuk kemoterapi dengan level

emetogenik tinggi.

Dilakukan juga penelitian dengan penggunaan aprepitant pada kemoterapi

dengan level emetogenik sedang pada 866 pasien yang menderita kanker

payudara. Pasien-pasien tersebut menerima pengobatan dengan antrasiklin dan

siklofosfamid dan juga menerima kombinasi aprepitant, deksametason, dan

ondansetron diberikan sebelum kemoterapi hari 1, diikuti dengan pemakaian

75

Page 76: antiemetik wete

aprepitant saja pada hari 2 dan 3, atau kombinasi ondansetron dan deksametason

pada hari 1, diikuti dengan pemakaian ondansetron saja pada hari ke 2 dan 3.

Respon yang dihasilkan sangat signifikan (tidak muntah atau memerlukan

antiemetik) selama waktu 5 hari studi pada grup dengan aprepitant dibandingkan

kontrol grup (51% vs 42%).

Dalam tahun 2008 ini, di Eropa dan Amerika Serikat telah disetujui

pemakaian neurokinin-1-reseptor melalui intravena. Fosaprepitant (Emend,Merck)

yang merupakan prodrug phosphoryl larut air untuk aprepitant yang kemudian

akan diubah menjadi aprepitant dalam 30 menit setelah pemberian secara

intravena (Hesketh, 2008).

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

Page 77: antiemetik wete

1. Dengan pemakaian protokol baru, jumlah pasien retinoblastoma pada anak

yang menerima kesesuian dalam pemilihan antiemetik sebesar 23.81% dan

pasien yang belum mendapatkan kesesuaian dalam pemilihan antiemetik

berdasarkan tingkat resiko agen kemoterapi yang diberikan sebesar

76.19%.

2. Antiemetik yang paling efektif dalam pencegahan kasus mual muntah

akibat obat kemoterapi yaitu ondansetron yang dikombinasi dengan

deksametason dengan frekuensi pasien yang tidak mengalami muntah

sebesar 38.46% atau sebesar 38.5% dengan chi-square test yang berarti

ada hubungan yang signifikan antara antiemetik dengan keluhan emesis.

Paisen yang masih mengalami muntah sebesar 61.54% dengan nilai

15.39% untuk tipe akut dan 46.15% keluhan muntah tipe tertunda.

3. Seluruh pasien retinoblastoma anak yang menjalani kemoterapi dengan

protokol baru menerima kesesuaian dosis sebesar 100% dan kesesuaian

dalam aturan pakai sebesar 84.62 %.

6.2. Saran

1. Perlu adanya ketepatan dalam pemilihan

antiemetik yang harus berdasarkan pada resiko

muntah yang ditimbulkan oleh agen kemoterapi,

terutama agen kemoterapi kombinasi.

2. Perlu adanya pemberian antiemetik sebelum

77

Page 78: antiemetik wete

menjalani kemoterapi pada seluruh pasien anak-

anak tanpa terkecuali sesuai dengan protokol

yang berlaku guna mencegah timbulnya muntah

agar tidak menimbulkan trauma pada anak-anak.

3. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas

antiemetik berdasarkan jenis terapi yang

berbeda.

4. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai

efektivitas antiemetik pada anak dengan tipe

muntah akut, tertunda dan tipe antisipatori

dalam jangka waktu yang lebih lama dan dengan

melakukan wawancara dengan orang

tua/keluarga pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Adelaide Royal Hospital. 2004. Medical Oncology Treatment Policy Guidelines

Page 79: antiemetik wete

2004 8th Ed. Diakses dari situs http://www.rah.sa.gov.au/download/chemotherapy_guidelines.pdf. tanggal 20 Juni 2008.

Buck, Marcia L. 1997. Pediatric Pharmacotherapy A Monthly Newsletter for Health Care Professionals Children’s Medical Center at the University of Virginia Volume 3 Number 9. Diakses dari situs http://www.pediatrik.com/buletin/20060220-hw0gpy-buletin.pdf tanggal 4 September 2008.

Cancer Consultant. 2005. Managing Side Effect Treatment and Prevention Nausea and Vomiting. Diakses dari situs hhtp://patient.cancerconsultants.com/supportive treatment.aspx?id=992 tanggal 20 Juni 2008.

Chandler Medical Center.2002.Chemotherapy-Inducted Nausea and Vomiting Guidelines for Adult and Pediatric Patients at UK Hospital. Diakses dari situs http://www.hosp.uky.edu/pharmacy/formulary/criteria/chemoinduced_N-V.pdf tanggal 4 September 2008.

Diananda, Rama. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Jogjakarta; Kata Hati. Hal 15-36; 224-225. Grunberg, Steven M, et all. 2004. Management of Nausea and Vomiting. Diakses dari situs http://i.cmpnet.com/cancernetwork/handbook/pdf/38nausea.pdf. tanggal 5 Mei 2008.

Hadianty, Mira. 2005. Pemeriksaan Pendahuluan Kadar Amikasin Dalam Darah Pada Paisen: Studi Kasus di RSKD Jakarta Periode Maret-November 2004. Jakarta; Fakultas Farmasi Universitas Pancasila (Skripsi).

Hesketh, Paul J. 2008. Drug Therapy; Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting. Diakses dari situs http://content.nejm.org/cgi/reprint/358/23/2482.pdf tanggal 4 September 2008.

National Cancer Institute (NCI). 2006. Supportive Care Statement for Health Professional, Nausea and Vomiting. Diakses dari situs http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062747.html tanggal 19 Juli 2008.

Rasjidi, Imam. 2007. Kemoterapi Kanker Ginekologi Dalam Praktik Sehari-Hari. Jakarta; Sagung Seto. Hal 1-12.

Septyaningrum, Dian P. 2007. Efektivitas Penggunaan Antiemetik Pada Pasien Kanker Payudara Yang Menjalani Kemoterapi di Instalasi Kanker Terpadu ‘TULIP’ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Bulan Maret-April 2006 (Skripsi)

Solimando, Dominic A. 2004. Drug Information Handbook For Oncolgy 4th

Edition. Ohio; Lexi-comp, Inc. Hal 265-270; 443; 625-628; 825.

79

Page 80: antiemetik wete

Stockley, Ivan H.2006. Drug Interaction 7th Edition. London; Pharmaceutical Press. Hal 802.

Suhadi, Rita, dkk. 2005. Evaluasi Penatalaksanaan Kasus Mual dan Muntah Paska Kemoterapi Kanker Payudara dan Serviks di RS. X Yogyakarta Periode 2004-2005. Diakses dari situs http://www.usd.ac.id/06/publ_dosen/far/rita.pdf tanggal 14 Agustus 2008.

Sukardja, I Dewa Gede. Onkologi Klinik Edisi 2. 2000. Surabaya; Airlangga University Press. Hal 65-66; 123-124; 209-214.

Taketomo, Carol K, et all. 2001. Pediatric Dosage Handbook 8th Edition. Ohio; Lexi-comp, Inc. Hal 307-309; 735-736.

Tehuteru, Edi S. 2007. Tatalaksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi. Diakses dari situs http://www.dharmais.co.id tanggal 5 Mei 2008.

Tim FKUI Farmakologi. 2003. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta; FKUI. Hal 686-689.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Edisi 6; Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia. Hal 209.

Voute, P.A, et all, editor. 1998. Cancer in Children: Clinical Management 4th

Edition. New York; Oxford University Press, Inc. Hal 79-80.