23
INSOMNIA A. DEFINISI DAN BATASAN Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan tidur (sering terbangun dengan kesulitan untuk kembali tidur), atau bangun lebih awal, disertai dengan gangguan fungsi siang hari (kelelahan, lekas marah, dan kurangnya perhatian). 1 Tidur pada insomnia digambarkan sebagai tidur yang pendek dan tidak memadai, mudah terganggu, berkualitas buruk, tidak memuaskan, atau non-restorative. Pada anak-anak, insomnia dapat muncul sebagai resistensi tidur atau kurangnya kemampuan untuk tidur secara independen. Kebanyakan peneliti mengartikan insomnia sebagai keterlambatan tidur 30 menit atau lebih, waktu bangun setelah onset tidur 30 menit atau lebih, efisiensi tidur kurang dari 85%, atau waktu tidur total kurang dari 6 hingga 6,5 jam, terjadi setidaknya 3 kali seminggu. 2 B. EPIDEMIOLOGI Insomnia merupakan kondisi umum yang mempengaruhi hampir semua usia dan strata sosial ekonomi. Kebanyakan studi epidemiologi menyebutkan prevalensi insomnia intermiten sekitar 30% sampai 40% dari populasi umum dan insomnia kronis sekitar 10% sampai 15%. 3 Insomnia berkorelasi positif dengan usia dan berkorelasi negatif dengan pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan. Selain itu, pada wanita sekitar dua kali lebih mengeluh insomnia. 4 Prevalensi insomnia lebih besar di antara pengguna narkoba dan alkohol, di rumah sakit atau orang-orang dilembagakan, dan pada individu dengan gangguan medis atau neurologis yang mendasari. Tampaknya ada korelasi yang kuat antara insomnia dan gangguan kejiwaan. Banyak pasien dengan insomnia memiliki patologi psikiatri yang mendasari. Stressor yang dihadapi meningkatkan risiko terjadinya insomnia. 2 C. ETIOLOGI Penyebab insomnia meliputi gangguan tidur primer, gangguan tidur lain, gangguan irama sirkadian tidur-bangun, penyakit medis, neurologi, psikiatri, gangguan perilaku, dan penggunaan obat atau akibat withdrawal.

Ashalia (Insomnia)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Insomnia

Citation preview

Page 1: Ashalia (Insomnia)

INSOMNIA

A. DEFINISI DAN BATASAN

Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan tidur

(sering terbangun dengan kesulitan untuk kembali tidur), atau bangun lebih awal, disertai dengan

gangguan fungsi siang hari (kelelahan, lekas marah, dan kurangnya perhatian).1 Tidur pada insomnia

digambarkan sebagai tidur yang pendek dan tidak memadai, mudah terganggu, berkualitas buruk,

tidak memuaskan, atau non-restorative. Pada anak-anak, insomnia dapat muncul sebagai resistensi

tidur atau kurangnya kemampuan untuk tidur secara independen. Kebanyakan peneliti mengartikan

insomnia sebagai keterlambatan tidur 30 menit atau lebih, waktu bangun setelah onset tidur 30 menit

atau lebih, efisiensi tidur kurang dari 85%, atau waktu tidur total kurang dari 6 hingga 6,5 jam, terjadi

setidaknya 3 kali seminggu.2

B. EPIDEMIOLOGI

Insomnia merupakan kondisi umum yang mempengaruhi hampir semua usia dan strata sosial

ekonomi. Kebanyakan studi epidemiologi menyebutkan prevalensi insomnia intermiten sekitar 30%

sampai 40% dari populasi umum dan insomnia kronis sekitar 10% sampai 15%.3 Insomnia berkorelasi

positif dengan usia dan berkorelasi negatif dengan pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan. Selain

itu, pada wanita sekitar dua kali lebih mengeluh insomnia.4 Prevalensi insomnia lebih besar di antara

pengguna narkoba dan alkohol, di rumah sakit atau orang-orang dilembagakan, dan pada individu

dengan gangguan medis atau neurologis yang mendasari. Tampaknya ada korelasi yang kuat antara

insomnia dan gangguan kejiwaan. Banyak pasien dengan insomnia memiliki patologi psikiatri yang

mendasari. Stressor yang dihadapi meningkatkan risiko terjadinya insomnia.2

C. ETIOLOGI

Penyebab insomnia meliputi gangguan tidur primer, gangguan tidur lain, gangguan irama

sirkadian tidur-bangun, penyakit medis, neurologi, psikiatri, gangguan perilaku, dan penggunaan obat

atau akibat withdrawal. Untuk mengidentifikasi pencetus spesifik mungkin sulit ketika insomnia telah

terjadi selama bertahun-tahun. Diperkirakan bahwa insomnia psychophysiologic bertanggung jawab

terhadap 15% kasus insomnia kronis. Penyebab spesifik lain insomnia kronis termasuk restless legs

syndrome (12% dari kasus) serta penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat (12% dari kasus).2

Episode insomnia sementara umumnya terkait dengan pemicu yang dapat diidentifikasi.

Insomnia kronis mungkin lebih heterogen dalam etiologi. Untuk kenyamanan konseptual, insomnia

kronis dapat digolongkan sebagai primer atau komorbid. Insomnia primer dianggap independen dari

gangguan lain, sementara insomnia komorbid diperkirakan berkembang dengan beberapa kontribusi

dari kondisi yang bersamaan terjadi.3

Spielman mengembangkan model yang menunjukkan bahwa episode insomnia merupakan hasil

interaksi dari faktor predisposisi, presipitasi, dan perpetuasi (3Ps) dari waktu ke waktu. Bahkan ketika

tidak memiliki keluhan tidur saat ini, pada individu tertentu beresiko lebih besar untuk mengalami

insomnia akibat faktor predisposisi yang mendasarinya. Faktor predisposisi tidak memulai episode

Page 2: Ashalia (Insomnia)

insomnia, tetapi hanya membuat lebih mungkin terjadi dengan menyebabkan seorang individu lebih

dekat ke ambang batas insomnia ketika gejala gangguan tidur menjadi signifikan secara klinis. Faktor

presipitasi baik satu atau lebih, harus ada untuk mencapai ambang ini. Begitu seseorang menderita

insomnia, mungkin akan mengalami kekhawatiran berlebihan tentang tidur dan efek dari tidak cukup

tidur. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan dan ketegangan ketika mendekati waktu tidur atau jika

terbangun di malam hari. Faktor perpetuasi ini dapat memperlama insomnia sehingga berkembang

menjadi kondisi kronis. 3

Tabel 1 Faktor Yang Menyebabkan dan Mempertahankan Insomnia2

Faktor Contoh

Faktor Predisposisi

Kecenderungan genetik, kepribadian, hyperarousal fisiologis (misalnya, ketegangan otot meningkat, suhu tubuh, tingkat metabolisme dan denyut jantung, dan pergeseran EEG ke frekuensi yang lebih cepat saat onset tidur dan selama tidur NREM), psikologis (misalnya, kecenderungan untuk berpikir, agitasi, kegelisahan, atau kewaspadaan), dan preferensi waktu tidur-bangun.

Faktor Presipitasi

Peristiwa stres, perubahan kebiasaan, perubahan mendadak dalam jadwal tidur-bangun, gangguan lingkungan, penggunaan obat atau withdrawal, penggunaan narkoba, atau gangguan medis, neurologis, psikiatri atau tidur primer.

Faktor Perpetuasi

Kebersihan tidur yang buruk, jadwal tidur-bangun tidak teratur, kafein atau konsumsi alkohol, kekhawatiran yang sedang berlangsung, kecemasan atau harapan yang tidak realistis tentang tidur, dan perilaku tidur-bangun maladaptive.

Kondisi komorbid mempunyai peran yang penting pada sebagian besar kasus insomnia dan

sangat umum di kalangan orang dewasa yang lebih tua. Perkembangan insomnia lebih mungkin pada

gangguan primer tertentu (misalnya, sakit akut dan kronis, kanker, dan gangguan mood)

dibandingkan dengan orang lain (misalnya, asma atau refluks gastroesophageal). Selain itu, pasien

dengan riwayat insomnia dengan segala penyebabnya mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi

mengalami gangguan tidur.2

D. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi insomnia dapat disimpulkan sebagai keadaan psikofisiologis dari hiperarousal. Hal

ini telah ditunjukkan secara obyektif pada area otak, vegetatif, dan aktifitas endokrin. Dalam model

hiperarousal fisiologis, tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi sepanjang hari dan malam hari

membuat pasien sulit tidur. Secara keseluruhan, studi menunjukkan hiperaktivitas dari 2 cabang

sistem respons terhadap stress (CRH-ACTH-cortisol dan simpatis) dan perubahan laju sekresi

sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF α). Hal ini tampaknya merupakan dasar fisiologis dari keluhan

klinis yang umum pada pasien dengan insmomnia kronis yang tidak dapat tidur pada siang hari dan

tampak kelelahan.5

Vgontzas dkk meneliti hubungan kortisol dan sitokin dengan karakteristik tidur-bangun pada

populasi individu dengan gangguan tidur, termasuk penderita insomnia kronis. Mereka menemukan

Page 3: Ashalia (Insomnia)

pergeseran faktor sekresi IL-6 dan TNF-α dari malam ke siang pada kelompok insomnia kronis dan

menduga bahwa hal ini mungkin menjelaskan kelelahan siang hari dan penurunan kinerja. Temuan

hipersekresi kortisol selama 24 jam pada penderita insomnia bisa membantu menjelaskan kesulitan

tertidur pada malam hari.3

Sebuah studi awal meneliti keadaan fisiologis yang berkorelasi dengan insomnia, mencatat

peningkatan aktivasi pada pasien insomnia sebelum onset tidur dan selama tidur, sebagaimana

dibuktikan dengan adanya peningkatan detak jantung, ketahanan kulit basal, suhu tubuh inti dan

vasokonstriksi phasic. Pada penderita insomnia juga ditemukan adanya peningkatan laju

metabolisme tubuh secara keseluruhan bila dibandingkan dengan individu dengan tidur normal.

Penderita insomnia juga memiliki skor yang lebih tinggi dari tidur normal pada kuesioner hiperarousal

dan bahkan saat siang hari ketika mengeluh kelelahan, penderita insomnia masih membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk tidur. Pada pemeriksaan positron emisi tomografi (PET), Penderita

insomnia memiliki metabolisme glukosa otak global yang lebih besar dibandingkan dengan individu

normal kontrol saat tidur dan terjaga. Pengamatan dengan MRI menemukan volume hipokampus

bilateral berkurang pada pasien insomnia dibandingkan individu normal. Sebuah studi SPECT

menemukan aliran darah yang lebih rendah di daerah basal ganglia selama tidur pada penderita

insomnia primer. Pada EEG, penderita insomnia menunjukkan aktivitas beta yang tinggi dan aktivitas

delta yang rendah. Dari perspektif endokrin, penderita insomnia, seperti pasien dengan gangguan

depresi mayor, menunjukkan hiperaktifitas kortikotropin-releasing faktor dan peran disfungsi

hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA). 3,6

E. PEMBAGIAN ATAU KLASIFIKASI

Insomnia dibagi berdasarkan

1. Durasi, yaitu akut (transien: hanya berlangsung beberapa hari atau shortterm: berlangsung

hingga 3 sampai 4 minggu) dan kronis (bertahan untuk lebih dari 1 sampai 3 bulan).

2. Keparahan yaitu ringan, sedang, atau berat menurut kriteria International Classification of

Sleep Disorders (ICSD 1).

3. Profil temporal berupa gangguan onset tidur, pemeliharaan tidur, terminal, atau tidur

nonrestorative.2

Tabel 2 Klasifikasi Innsomnia berdasarkan Keparahan 2

Page 4: Ashalia (Insomnia)

Tabel 3 Klasifikasi Innsomnia berdasarkan Profil Temporal 2

4. Etiologi insomnia dibedakan menjadi :

Insomnia primer

Insomnia primer tidak memiliki faktor etiologi yang jelas atau tidak terkait dengan kondisi

medis lainnya. Ini mungkin terkait dengan ciri kepribadian tertentu dan coping mechanism.

Insomnia sekunder atau komorbid.

Insomnia sekunder merupakan insomnia yang berhubungan dengan kondisi komorbid baik

medis, neurologis, atau gangguan kejiwaan, atau penggunaan obat atau efek withdrawal 5

The International Classification of Sleep Disorders, 2nd Edition (ICSD-2) mengidentifikasi

insomnia sebagai salah satu dari delapan kategori utama gangguan tidur dan pada kelompok ini,

membuat daftar dua belas gangguan insomnia spesifik. Keluhan insomnia juga dapat terjadi pada

hubungan dengan gangguan komorbid atau kategori gangguan tidur lain, seperti gangguan tidur

terkait pernapasan, gangguan tidur ritme sirkadian, dan tidur terkait gangguan gerak.7

Tabel 4 Diagnosa Insomnia berdasarkan ICSD-2 7

Adapun yang termasuk ke dalam insomnia primer meliputi adjustment (acute) insomnia,

psychophysiological insomnia, paradoks insomnia, idiopathic insomnia, dan inadequate sleep

hygiene.7

Page 5: Ashalia (Insomnia)

Tabel Jenis Insomnia berdasar ICSD-2 7,8

Adjusment (acute) insomnia

insomnia akibat stressor, seperti gangguan psikososial, fisik, atau lingkungan. Gangguan tidur memiliki durasi yang relatif singkat (hari-minggu) dan diharapkan sembuh ketika stressor sudah tidak ada.

Psychophysiological Insomnia

Ditandai oleh tingginya arousal. Arousal mungkin fisiologis, kognitif atau emosional dan ditandai oleh ketegangan otot, racing toughts, atau peningkatan kesadaran lingkungan. Individu biasanya memiliki kekhawatiran yang tinggi tentang kesulitan tidur dan konsekuensinya, yang mengarah ke "lingkaran setan" dari arousal, tidur yang buruk, dan frustrasi.

Paradoks Insomnia

Ditandai oleh insomnia yang parah yang melebihi bukti obyektif gangguan tidur dan tidak sepadan dengan tingkat defisit siang hari yang dilaporkan. Meskipun terbaik didiagnosis dengan polysomnography dan self-reports, insomnia paradoks dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis saja.

Idiopathic Insomnia

Ditandai oleh keluhan insomnia terus-menerus dengan onset berbahaya selama masa bayi atau kanak-kanak

awal. Insomnia idiopatik tidak berhubungan dengan faktor pencetus atau faktor perpetuasi

Inadequate Sleep Hygiene

Insomnia yang berhubungan dengan tidur secara sadar atau kegiatan yang tidak konsisten dengan kualitas tidur yang baik dan kewaspadaan siang hari. Praktek-praktek dan kegiatan biasanya menghasilkan peningkatan arousal atau secara langsung mengganggu tidur, dan mungkin termasuk penjadwalan tidur tidak teratur, penggunaan alkohol, kafein, atau nikotin, atau terlibat dalam perilaku non-tidur di lingkungan tidur. Beberapa unsur kebersihan tidur yang buruk dapat mencirikan individu dengan gangguan insomnia lainnya.

Insomnia due to Mental Disorder

Kurang lebih 80% pasien dengan gangguan mental mengeluh gangguan tidur. Diagnosa yang mendasari meliputi depresi, mania, cemas, atau skizofrenia.

Insomnia due to DrugOr Substance

Kafein yang tersering. Alkohol dan nikotin mengganggu tidur, meskipun kenyataanya digunakan untuk memicu tidur. Antidepresan, simpatomimetik, dan glukokortikoid juga menyebabkan insomnia. Insomnia rebound yang berat dapat disebabkan oleh penarikan akut agen hypnosis, terutama penggunaan benzodiazepine dosis tinggi dengan half-life pendek.

Insomnia due to Medical Condition

Asma, cardiac ischemia, paroxysmal nocturnal dyspneu, COPD, cystic fibrosis, hyperthyroidism, menopause, gastroesophageal reflux, CKD, cirrhosis. Neurologis: dementia, epilepsy, Parkinson, dan migraine.

Page 6: Ashalia (Insomnia)

F. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Anamnesa pasien dengan insomnia meliputi evaluasi terhadap :

1. Keluhan Umum

Pasien dengan insomnia dapat mengeluh sulit tidur, sering terjaga, kesulitan untuk kembali tidur,

bangun terlalu dini di pagi hari, atau tidur yang tidak merasa tenang, menyegarkan, atau

restoratif. Meskipun pasien mungkin mengeluh hanya satu jenis gejala, kebanyakan beberapa

jenis gejala terjadi secara bersamaan. Komponen utama meliputi karakteristik jenis keluhan,

durasi (bulan, tahun, seumur hidup), frekuensi (malam per minggu atau beberapa kali per

malam), tingkat keparahan gangguan malam hari dan keluhan di siang hari, intensitas (progresif,

intermiten, tanpa henti), faktor-faktor yang menambah atau mengurangi gejala dan identifikasi

faktor presipitasi, faktor perpetuasi, dan terapi sebelumnya.7

2. Kondisi Pre-Tidur

Pasien dengan insomnia dapat mengembangkan perilaku yang malah memperberat insomnia

mereka. Perilaku ini dapat dimulai sebagai strategi untuk memerangi masalah tidur, seperti

menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur. Pasien dapat melaporkan sensasi menjadi

lebih sadar akan lingkungan daripada orang lain dan menjadi lebih waspada dan cemas ketika

mendekati waktu tidur. Karakterisasi lingkungan tidur (sofa/tempat tidur, terang/gelap,

tenang/bising, suhu kamar, sendirian/dengan pasangan, TV nyala/mati), serta keadaan pikiran

pasien (mengantuk vs terjaga, santai vs cemas) sangat membantu dalam memahami faktor-

faktor yang dapat memfasilitasi atau memperpanjang onset tidur atau terbangun setelah tidur.7

3. Jadwal Tidur-Bangun

Dalam mengevaluasi gejala yang berhubungan dengan tidur, dokter harus mempertimbangkan

tidak hanya gejala umum pasien, tetapi juga range, variabilitas hari ke hari termasuk pada

kondisi tertentu misalnya menstruasi, dan evolusi dari waktu ke waktu, variabel tidur-bangun

seperti waktu untuk jatuh tertidur (latensi tidur), jumlah terjaga, waktu bangun setelah onset tidur,

durasi tidur, dan tidur siang dapat diukur secara retrospektif selama penilaian klinis. Pola tidur

pada waktu yang tidak biasa mungkin membantu dalam mengidentifikasi gangguan irama

sirkadian.7

4. Gejala nokturnal

Pasien dan pasanganya juga dapat membantu untuk mengidentifikasi nocturnal signs, gejala

dan perilaku terkait dengan pernapasan yang berhubungan dengan gangguan tidur

(mendengkur, terengah-engah, batuk), gangguan tidur terkait gerakan (menendang, gelisah),

parasomnia (perilaku atau suara) dan komorbiditas medis atau gangguan neurologis (refluks,

palpitasi, kejang, sakit kepala). Sensasi fisik dan emosi lainnya terkait dengan terjaga (seperti

nyeri, cemas gelisah, frustrasi, kesedihan) dapat menyebabkan insomnia dan juga harus

dievaluasi.7

5. Kegiatan dan Fungsi siang hari

Kegiatan dan perilaku siang hari dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab dan

konsekuensi dari insomnia. Tidur (frekuensi/hari, kali, sukarela /sukarela), kerja (waktu kerja,

jenis pekerjaan seperti mengemudi atau dengan konsekuensi yang berbahaya dan cacat), gaya

Page 7: Ashalia (Insomnia)

hidup (kurang gerak/aktif, jompo, paparan cahaya, latihan), disfungsi siang hari (kualitas hidup,

suasana hati, disfungsi kognitif), dan eksaserbasi gangguan komorbid harus dievaluasi secara

mendalam. Konsekuensi umum siang hari meliputi:

a) Kelelahan dan mengantuk. Perasaan kelelahan (energi rendah, kelelahan fisik) lebih umum

daripada gejala mengantuk pada pasien dengan insomnia kronis. Adanya keluhan

mengantuk yang signifikan mengindikasikan perlunya mencari gangguan tidur potensial

lainnya.

b) Gangguan suasana hati dan kesulitan kognitif. Keluhan mudah marah, depresi kehilangan

minat, ringan dan kecemasan gejala umum di antara pasien insomnia. Pasien dengan

insomnia kronis sering mengeluh inefisiensi mental, kesulitan mengingat, kesulitan

memusatkan perhatian, dan kesulitan dengan tugas mental yang kompleks.

c) Kualitas hidup. lekas marah dan kelelahan yang berhubungan dengan insomnia dapat

menyebabkan kesulitan interpersonal pada pasien insomnia atau menghindari aktivitas

tersebut. Masalah tidur dan bangun mungkin mengakibatkan pembatasan kegiatan siang

hari, termasuk kegiatan sosial, olahraga, atau bekerja. Kurangnya kegiatan reguler siang

hari dan latihan pada gilirannya berkontribusi terhadap insomnia.

d) Eksaserbasi kondisi komorbiditas. Kondisi komorbiditas dapat menyebabkan atau

meningkatkan kesulitan tidur. Demikian juga, tidur yang buruk dapat memperburuk kondisi

komorbid.7

G. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik biasanya normal pada pasien insomnia dan hanya sedikit berkontribusi

terhadap penilaian keparahan dan penyebabnya, kecuali pada minoritas dengan gangguan

neurologis yang mendasari. Insomnia kronis tidak dikaitkan dengan hasil dari pemeriksaan fisik dan

status mental. Namun demikian, pemeriksaan tersebut mungkin dapat menyediakan informasi

mengenai kondisi komorbid dan diagnosa banding. Pemeriksaan fisik seharusnya mengevaluasi

secara spesifik mengenai faktor resiko dari sleep apnea (obesitas, peningkatan sirkumferensi leher,

restriksi saluran napas atas) dan kondisi medis komorbid yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada

gangguan pulmonalis, kardiovaskuler, reumatologis, neurologis, endokrin (seperti tiroid), dan sistem

gastrointestinal. Pemeriksaan status mental seharusnya fokus terhadap suasana perasaan,

kecemasan, memori, konsentrasi, dan derajat kewaspadaan atau tertidur.7

Dokter harus menilai kondisi fisik pasien yang berkontribusi terhadap kesulitan memulai atau

mempertahankan tidur. Adanya bukti dari saluran napas atas yang penuh, lidah besar, mandibula

kecil, tonsil besar, atau turbinat yang membesar dapat menunjukkan adanya sleep disorder breathing

yang sering menyebabkan fragmentasi tidur dan berkontribusi terhadap sleep maintanance insomnia.

Tanda-tanda fisik neuropati kompresif, seperti distribusi dermatomal dari dysesthesia sensorik atau

kelemahan ekstremitas, dapat menjelaskan bahwa nyeri ekstremitas dapat mengganggu tidur.3

Page 8: Ashalia (Insomnia)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes laboratorium, polysimnography, dan actigraphy tidak secara rutin diindikasikan untuk

evaluasi insomnia, tetapi mungkin sesuai untuk individu dengan gejala dan tanda spesifik dari

gangguan tidur atau medis komorbid.

1. Kuesioner Insomnia

Kuesioner adalah alat ukur untuk membantu menyelesaikan penilaian yang tepat dari

masalah pasien, karena dapat memperkuat diagnosis awal yang dilakukan setelah wawancara

klinis dan pemeriksaan status mental. Kuesioner insomnia tidak mengarah untuk skrining

massal. Oleh karena itu, tidak layak untuk menggunakan kuesioner secara rutin untuk tujuan

klinis dan karena tidak pernah mengganti wawancara klinis. Namun, kuisioner berguna untuk

memandu wawancara dan untuk mendukung penilaian klinis. Kuiosioner juga menjadi alat yang

penting dalam bidang penelitian klinis, serta memeriksa efek dari intervensi terapeutik yang

berbeda. Beberapa kuesioner yang mungkin berguna untuk insomnia adalah:

a) Insomnia Severity Index (ISI)

Kuesioner yang singkat dan sederhana ini terdiri dari tujuh bagian, yang pertama menilai

keparahan dari insomnia (dibagi menjadi tiga jenis), sedangkan sisanya digunakan untuk

mengukur kepuasan tidur, gangguan dalam fungsi siang hari dan persepsi masalah tidur oleh

orang lain. 5

b) Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Kuesioner yang menganalisis faktor yang menentukan kualitas tidur yang berbeda, yang

dikelompokkan ke dalam tujuh komponen, yaitu kualitas, latensi onset tidur, durasi, efisiensi,

gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi siang hari. Hal ini dapat membimbing

dokter pada bagian yang paling terkena dampak dari tidur. Pada titik cut-off, kuesioner ini

memiliki sensitivitas 88,63% dan spesifisitas 74,99%.5

c) Pre-Sleep Arousal Scale (PSAS)

Kuesioner yang dibagi menjadi dua sub-kuesioner, yaitu somatik dan kognitif. Hal ini berguna

untuk mengidentifikasi fitur kognitif yang terkait dengan tidur dan dapat membantu dalam

skrining atau mendeteksi orang dengan tidur yang terganggu. 5

d) Epworth Sleepiness Scale (ESS)

Kuesioner yang terdiri atas 9 bagian, yang menyediakan informasi tentang rasa mengantuk

pasien selama siang hari.5

2. Buku Harian Tidur

Buku harian tidur yang ditulis lebih dari 1 sampai 2 minggu dapat membantu melacak pola

tidur-bangun pasien. Informasi termasuk waktu aktual tidur-bangun, durasi waktu di tempat tidur,

dan variabilitas hari-hari dalam waktu tidur-bangun dapat diperoleh dari buku harian.6 Catatan

harian ini sebaiknya ditulis sebelum dan selama program pengobatan aktif dan dalam

kasusrelapse atau reevaluasi jangka panjang (setiap 6 bulan).7

3. Polysomnography

Page 9: Ashalia (Insomnia)

Polysomnography tidak secara rutin digunakan dalam evaluasi insomnia, tanggung jawab

diagnosis terletak pada wawancara pasien. Kasus tertentu mungkin berlaku ketika

polysomnography dibenarkan. Kasus tersebut termasuk kecurigaan tidur yang berhubungan

dengan gangguan pernapasan atau gangguan gerakan tungkai periodik, diagnosis awal tidak

pasti, kegagalan pengobatan, dan arousal mengarah ke perilaku kekerasan.6

Gambar 1 Polysomnography

4. Actigraphy

Actigraphy adalah arloji berisi sensor gerak yang mencatat dan menyimpan informasi

tentang aktivitas motorik kasar. Tidak seperti polysimnography, yang mengevaluasi tidur

berdasarkan EEG, EMG, dan EOG (electrooculography), actigraphy menentukan keadaan tidur-

bangun hanya dengan gerakan pergelangan tangan. Akibatnya, keadaan tidur dan bangun

selama periode tidur yang dimaksudkan dapat diperkirakan, tetapi actigraphy tidak memberikan

informasi tentang tingkatan tidur.3

Actigraphy membantu menggambarkan pola aktivitas-istirahat dan mungkin mempunyai

kegunaan sebagai ukuran objektif ketika digunakan bersamaan dengan diari tidur-bangun dan

wawancara formal. Bagi pasien insomnia, actigraphy dapat menyediakan informasi mengenai

irama sikardian dan pola tidur. Keuntungan utama dari actigraphy adalah kesesuaian untuk

merekam data tidur-bangun terus-menerus selama jangka waktu yang lama di lingkungan

kebiasaan tidur pasien. Dibandingkan dengan polysomnography, actigraphy pada pasien

insomnia memiliki hasil yang bervariasi. Ditemukan hasil yang melebih-lebihkan dan

meremehkan waktu tidur total. Studi lain menemukan bahwa actigraphy divalidasi dengan baik

oleh polysomnography sehubungan dengan jumlah terbangun, waktu bangun setelah onset

tidur, waktu tidur total, dan efisiensi tidur. Actigraphy juga dapat digunakan untuk mendeteksi

perubahan dalam pengobatan tidur. Bila menggunakan actigraphy, peningkatan durasi

perekaman lebih dari 7 hari dapat meningkatkan keandalan estimasi waktu tidur. Actigraphy

disarankan digunakan untuk setidaknya tiga kali periode 24-jam berturut-turut.3,6

I. DIAGNOSIS

Page 10: Ashalia (Insomnia)

Pada dasarnya diagnosis insomnia ditegakkan melalui :

1. Anamnesis.

Memperoleh riwayat klinis yang lengkap dari pasien, pasangan, orang tua, atau pengasuh

adalah langkah pertama dan paling penting dalam diagnosis insomnia. Onset, durasi, jenis

insomnia, gejala malam, dan siang hari harus diperoleh. Meninjau riwayat medis pasien masa

lalu (termasuk riwayat psikiatri), riwayat keluarga, dan sosial bersama dengan pengobatan saat

ini, dan alergi juga dapat membantu menemukan penyebab insomnia yang mendasari.

2. Pemeriksaan Fisik.

Pemeriksaan fisik umum perlu dilakukan, tetapi sering diabaikan oleh banyak dokter yang

mengobati insomnia. Pemeriksaan fisik yang komprehensif sering dapat memberi petunjuk

mengenai etiologi yang mendasari insomnia.

3. Catatan harian tidur, kuesioner, Actigraphy, dan polysomnography.1,3

Kriteria diagnosis insomnia primer dari American Academy of Sleep Medicine dan American

Psychiatric Association meliputi:

1. Keluhan dalam memulai atau mempertahankan tidur, dan/atau tidur yang nonrestorative atau

buruk dalam segi kualitas;

2. Durasi keluhan tidur minimal 1 bulan

3. Keluhan penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau harian.

Walaupun kriteria ini tidak termasuk frekuensi kejadian, kriteria frekuensi ≥ 3 malam per minggu

umumnya digunakan.9

Tabel 5 Kriteria Diagnosis Insomnia (ICSD-2) 7

J. DIAGNOSIS BANDING

Page 11: Ashalia (Insomnia)

Diagnosa banding yang mungkin, antara lain :

1. Gangguan psikiatri (depresi, cemas)

2. Gangguan tidur lainnya. Paling sering meliputi gangguan tidur terkait pernapasan (misalnya,

apnea tidur obstruktif), gangguan gerak (misalnya, restleg syndrome atau gerakan ekstremitas

periodik selama tidur)

3. Gangguan irama sikardian

4. Parasomnia1

K. KOMPLIKASI ATAU PENYULIT

Komplikasi insomnia mungkin termasuk:

1. Penurunan kinerja pada pekerjaan atau di sekolah

2. Memperlambat waktu reaksi saat mengemudi dan resiko kecelakaan lebih tinggi

3. Masalah psikiatri, seperti depresi atau kecemasan

4. Overweight atau obesitas

5. Penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh

6. Peningkatan risiko dan tingkat keparahan penyakit jangka panjang, seperti hipertensi, penyakit

jantung dan diabetes.3

L. TERAPI

Tujuan primer terapi insomnia meliputi peningkatan kualitas dan/atau waktu tidur, mengurangi

distress, dan perbaikan terhadap gangguan fungsi di siang hari yang berhubungan dengan insomnia

seperti perbaikan energi, gangguan memori atau perhatian, disfungsi kognitif, kelelahan, atau gejala

somatik.7 Terapi insomnia melibatkan terapi nonfarmakologis dan farmakologis, antara lain :

1. Pendidikan tentang kebersihan tidur yang lebih baik

2. Pengobatan gangguan psikiatri yang mendasari

3. Tepat waktu mengkonsumi obat yang digunakan untuk mengobati gangguan medis

4. Terapi perilaku (behavioral therapy)

5. Farmakoterapi1

Terapi fisiologis dan perilaku merupakan terapi yang direkomendasikan pada insomnia primer

dan komorbid kronis. Terapi ini efektif pada semua usia termasuk lansia dan pengguna agen hipnotik

kronis. Terapi ini sebaiknya dijadikan intervensi awal ketika kondisi memungkinkan. Pendekatan awal

sebaiknya meliputi sedikitnya satu dari terapi perilaku seperti stimulus control therapy atau relaxation

therapy, atau combination of cognitive therapy, stimulus control therapy, sleep restriction therapy with

or without relaxation therapy yang dikenal sebagai cognitive behavioural therapy for insomnia (CBT-I).

Terapi lain yang sering antara lain sleep restriction, paradoxical intention, and biofeedback therapy.7

Tabel 6 Terapi Perilaku dan Kognitif Insomnia 7

Page 12: Ashalia (Insomnia)

Untuk pasien dengan insomnia primer, ketika farmakoterapi digunakan sendiri atau dalam

kombinasi terapi, urutan umum medikasi yang direkomendasikan adalah:

1. Agonis reseptor benzodiazepine short-intermediate acting (BZD atau BzRAs terbaru) atau

Ramelteon, contoh obat-obat ini termasuk zolpidem, eszopiclone, zaleplon, dan temazepam

2. Alternatif BzRA short-intermediate acting atau Ramelteon jika agen awal tidak berhasil

3. Antidepresan, terutama bila digunakan bersama dengan pengobatan komorbid depresi atau

kecemasan. Contoh obat ini meliputi trazodone, amitriptyline, doksepin, dan mirtazapine

4. Gabungan BzRA atau Ramelteon dan antidepresan

5. Agen sedative lainnya meliputi obat anti-epilepsi(gabapentin, tiagabine) dan antipsikotik atipikal

(quetiapine dan olanzapine).7

Idealnya, terlepas dari jenis terapi penilaian klinis ulang harus dilakukan setiap beberapa

minggu dan setiap bulan sampai insomnia stabil atau sembuh, dan kemudian setiap 6 bulan, karena

tingkat relaps yang tinggi untuk insomnia.

Tabel 7 Terapi Farmakologis Insomnia 7

M. PROGNOSIS

Page 13: Ashalia (Insomnia)

Insomnia primer adalah kondisi kronis dan mudah kambuh. Kemungkinan konsekuensi termasuk

berkurangnya kualitas hidup dan peningkatan risiko kecelakaan karena rasa mengantuk di siang hari.

Individu dengan insomnia primer mungkin berada pada risiko lebih besar ketergantungan pada obat

hipnotis, depresi, demensia, jatuh, dan lebih mungkin memerlukan perawatan perumahan. Bahkan

dengan terapi, beberapa pasien mungkin tetap mengalami kesulitan tidur intermiten. Untuk alasan ini,

pendidikan pasien tentang perilaku yang tepat dan coping skills untuk mengatasi episode insomnia

residual dan mengurangi kronisitas insomnia sangatlah penting. 10

N. ALGORITME

O. RINGKASAN

Page 14: Ashalia (Insomnia)

Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan tidur, atau

bangun lebih awal, disertai dengan gangguan fungsi siang hari. Kebanyakan peneliti mengartikan

insomnia sebagai keterlambatan tidur 30 menit atau lebih, waktu bangun setelah onset tidur 30 menit

atau lebih, efisiensi tidur kurang dari 85%, atau waktu tidur total kurang dari 6 hingga 6,5 jam, terjadi

setidaknya 3 kali seminggu.

Insomnia merupakan hasil interaksi dari faktor predisposisi, presipitasi, dan perpetuasi (3P).

Faktor predisposisi membuat insomnia lebih mungkin terjadi dengan menyebabkan seorang individu

untuk lebih dekat ke ambang batas insomnia. Faktor presipitasi adalah faktor yang memicu insomnia.

Sementara itu faktor perpetuasi adalah faktor-faktor yang mempertahankan gangguan tidur.

Patofisiologi insomnia dapat disimpulkan sebagai keadaan psikofisiologis dari hiperarousal.

Dalam model hiperarousal fisiologis, tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi sepanjang hari dan

malam hari membuat pasien sulit tidur. Secara keseluruhan, studi menunjukkan hiperaktivitas dari 2

cabang sistem respons terhadap stress (CRH-ACTH-cortisol dan simpatis) dan perubahan laju

sekresi sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF α).

Insomnia dapat dibagi berdasarkan durasi menjadi akut (transien: hanya berlangsung beberapa

hari atau shortterm: berlangsung hingga 3 sampai 4 minggu) dan kronis (bertahan untuk lebih dari 1

sampai 3 bulan), berdasarkan keparahan menjadi ringan, sedang, atau berat, dan berdasarkan profil

temporal berupa gangguan onset tidur, pemeliharaan tidur, terminal, atau tidur nonrestorative.

Berdasarkan etiologi, insomnia dibedakan menjadi insomnia primer (tidak memiliki faktor etiologi

yang jelas) dan insomnia sekunder atau komorbid. Adapun yang termasuk ke dalam insomnia primer

menurut ICSD-2 meliputi adjustment (acute) insomnia, paradoks insomnia, psychophysiological

insomnia, idiopathic insomnia, dan inadequate sleep hygiene.

Pada dasarnya diagnosis insomnia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pasien dengan insomnia dapat mengeluh sulit tidur, sering terjaga,

kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu dini di pagi hari, atau tidur yang tidak merasa tenang,

menyegarkan, atau restoratif. Pasien dapat melaporkan sensasi menjadi lebih sadar akan lingkungan

daripada orang lain dan menjadi lebih waspada dan cemas ketika mendekati waktu tidur.

Pasien dan pasanganya juga dapat membantu untuk mengidentifikasi nocturnal signs, gangguan

tidur terkait dengan pernapasan (mendengkur, terengah-engah, batuk), terkait gerakan (menendang,

gelisah), parasomnia (perilaku atau suara), dan komorbiditas medis/gangguan neurologis (refluks,

palpitasi, kejang, sakit kepala). Konsekuensi umum di siang hari meliputi kelelahan dan rasa kantuk,

gangguan suasana hati dan kesulitan kognitif, kualitas hidup menurun dan dapat memperburuk

kondisi komorbid.

Pemeriksaan fisik perlu dilakukan, tetapi sering diabaikan oleh banyak dokter yang mengobati

insomnia. Pemeriksaan fisik seharusnya mengevaluasi secara spesifik mengenai faktor resiko dari

sleep apnea dan kondisi medis komorbid. Tanda-tanda fisik neuropati kompresif, seperti distribusi

dermatomal dari dysesthesia sensorik atau kelemahan ekstremitas, dapat menjelaskan atau nyeri

ekstremitas yang dapat mengganggu tidur. Pemeriksaan status mental seharusnya fokus terhadap

suasana perasaan, kecemasan, memori, konsentrasi, dan derajat kewaspadaan atau tertidur.

Page 15: Ashalia (Insomnia)

Tes laboratorium, polysomnography, dan actigraphy tidak secara rutin diindikasikan, tetapi

mungkin sesuai untuk individu dengan gejala dan tanda spesifik dari gangguan tidur atau medis

komorbid. Kuesioner seperti Insomnia Severity Index (ISI), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI),

Pre-Sleep Arousal Scale (PSAS), dan Epworth Sleepiness Scale (ESS) berguna untuk memandu

wawancara dan mendukung penilaian klinis. Buku harian tidur yang ditulis lebih dari 1 sampai 2

minggu dapat membantu melacak pola tidur-bangun pasien. Polysomnography diindikasikan pada

kasus-kasus seperti kecurigaan tidur terkait gangguan pernapasan atau gangguan gerakan tungkai

periodik, diagnosis awal tidak pasti, kegagalan pengobatan dan arousal mengarah ke perilaku

kekerasan.

Diagnosa banding dari insomnia meliputi gangguan psikiatri (depresi, cemas), gangguan tidur

terkait pernapasan (misalnya, apnea tidur obstruktif), gangguan gerak (misalnya, restleg syndrome

atau gerakan ekstremitas periodik selama tidur), gangguan irama sikardian, dan parasomnia.

Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi penurunan performa, memperlambat waktu reaksi saat

mengemudi, depresi atau kecemasan, overweight atau obesitas, penurunan fungsi sistem kekebalan

tubuh, peningkatan risiko dan tingkat keparahan penyakit jangka panjang.

Tujuan primer terapi insomnia meliputi peningkatan kualitas dan waktu tidur, mengurangi

distress, dan perbaikan terhadap gangguan fungsi di siang hari yang berhubungan dengan insomnia

seperti perbaikan energi, gangguan memori atau perhatian, disfungsi kognitif, kelelahan, atau gejala

somatik

Terapi fisiologis dan perilaku merupakan terapi yang direkomendasikan pada insomnia primer

dan komorbid kronis. Pendekatan awal sebaiknya meliputi sedikitnya satu dari terapi perilaku seperti

stimulus control therapy atau relaxation therapy, atau combination of cognitive therapy, stimulus

control therapy, sleep restriction therapy with or without relaxation therapy yang dikenal sebagai

cognitive behavioural therapy for insomnia (CBT-I). Terapi lain yang sering antara lain sleep

restriction, paradoxical intention, and biofeedback therapy.

Untuk pasien dengan insomnia primer, ketika farmakoterapi digunakan sendiri atau dalam

kombinasi terapi, urutan umum medikasi yang direkomendasikan adalah agonis reseptor

benzodiazepine short-intermediate acting (BZD atau BzRAs terbaru) atau Ramelteon meliputi

zolpidem, eszopiclone, zaleplon, dan temazepam, alternatif BzRA short-intermediate acting atau

Ramelteon jika agen awal tidak berhasil, antidepresan (trazodone, amitriptyline, doksepin, dan

mirtazapine), terutama bila digunakan bersama dengan pengobatan komorbid depresi/kecemasan,

dan agen sedatif lainnya meliputi obat anti-epilepsi (gabapentin, tiagabine) dan antipsikotik atipikal

(quetiapine dan olanzapine).

Insomnia primer adalah kondisi kronis dan mudah kambuh. Kemungkinan konsekuensi termasuk

berkurangnya kualitas hidup dan peningkatan risiko kecelakaan karena kantuk di siang hari. Orang

dengan insomnia primer mungkin berada pada risiko lebih besar ketergantungan pada obat hipnotis,

depresi, demensia, dan jatuh, dan lebih mungkin memerlukan perawatan perumahan.

P. PERTANYAAN

1. Bagaimana gambaran tidur pada individu lanjut usia ?

Page 16: Ashalia (Insomnia)

Secara umum, karakteristik tidur pada lansia berbeda dalam beberapa hal dari orang dewasa

lainnya. Dengan bertambahnya usia, tidur menjadi lebih didistribusikan selama periode 24-jam.

Hal ini menghasilkan tidur malam yang lebih pendek dan tidur di siang hari yang meningkat.

Gambaran tidur lainya pada lansia, antara lain :

a. Meningkatnya jumlah terbangun malam hari, yang dapat bertahan lebih lama

b. Penurunan kemampuan untuk pulih setelah periode kurang tidur

c. Mengurangi jumlah tidur, sehubungan dengan waktu di tempat tidur

d. Penurunan progresif ambang bangun dengan rangsangan pendengaran dengan (tidur ringan)

e. Kecenderungan untuk tidur malam dan bangun lebih awal

2. Apa yang dimaksud dengan restless leg syndrome?

Restless leg syndrome adalah keadaan dimana pasien mengalami sensasi tidak nyaman dan

sulit untuk dijelaskan yang muncul pada saat istirahat dan berkurang dengan gerakan seperti

berjalan. Kegelisahan ini terjadi selama keadaan sadar dan menyebabkan keterlambatan dalam

onset tidur. Gangguan gerakan tungkai periodik biasanya bersamaan dengan gangguan ini.

Defisiensi Fe, gagal ginjal, kehamilan, dan antidepresan SSRI umumnya terkait dengan restless

leg syndrome.

3. Bagaimana cara melakukan stimulus control therapy?

Pergi ke tempat tidur hanya bila mengantuk; mempertahankan jadwal rutin, menghindari tidur

siang, menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur, jika tidak jatuh tertidur (atau kembali tidur)

dalam waktu 20 menit, pergi dari tempat tidur dan lakukan kegiatan yang santai sampai

mengantuk kemudian kembali ke tempat tidur.

4. Apa efek samping dari agen hypnosis?

Efek yang diharapkan Efek Yang tidak diharapkan

(terutama triazolam dan zolpidem)

Depresi SSP Kantuk di siang hari

yang berlebihan Penurunan kinerja

tugas psikomotor (mengemudi)

Amnesia dengan konsentrasi obat maksimum

Koordinasi motorik buruk

Lainnya

Hyperexcitability Sleeplessness pre-awakening Kecemasan di siang hari

Amnesia hari berikutnyaMasalah psikiatriKebingunganGejala psikotikKurangnya inhibisi Lainnya

5. Apa efek dari penghentian agen hypnosis dan bagaimana cara mencegahnya?

Pada penghentian obat hipnosis setelah beberapa hari penggunaan, insomnia rebound

(perburukan gejala dengan pengurangan dosis, biasanya berlangsung 1-3 hari), efek withdrawal

fisik maupun psikologis, dan rekurensi mungkin dapat terjadi. Efek ini dapat diminimalkan

dengan tapering off secara bertahap baik dosis dan frekuensi pemberian (seperti setiap malam

ketiga). Tapering off yang sukses mungkin memerlukan beberapa minggu sampai bulan.

Page 17: Ashalia (Insomnia)

Kombinasi CBT dan taperingbenzodiazepine mungkin lebih bagus bila dibandingkan dengan

tapering saja

Q. REFERENSI

1. Gilman, S. and Manji, H. 2007. Oxford American Handbook of Neurology. Oxford University

Press.

2. Lee-Chiong Jr., T. 2008. Sleep Medicine: Essentials and Review. Oxford University Press.

3. Kushida, C. A. 2009. Handbook of Sleep Disorders. 2nd ed. Informa Healthcare USA, Inc : New

York.

4. Wickwire, E. M. and Collop, N. A. 2010. Insomnia and Sleep-Related Breathing Disorders.

Pubmed. www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed /20525657.

5. Geiser, G. A. et al. 2009. Clinical Practice Guidelines for the Management of Patients with

Insomnia in Primary Care. Ministry of Science and Innovation : Madrid.

6. Mai, E. and Buysse, D, J. 2009. Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential

Diagnosis, and Evaluation. American Psychiatric Association. Focus 7:491-498.

7. Schutte-Rodin S; Broch L; Buysse D; Dorsey C; Sateia M. 2008. Clinical Guideline for The

Evaluation and Management of Chronic Insomnia in Adults. J Clin Sleep Med. 4(5):487-504.

8. Kasper, Dennis et al. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine.16th Ed.Mc-Graw Hill.

9. Okun, M. L, et al. Physchometric Evaluation of The Insomnia Symptom Questionaire: a Self

Report Measure to Identify Chronic Insomnia. J Clin Sleep Med. 5(1):41-51.

10. Montgomery, P. and Lily, J. 2007. Insomnia in Elderly. British Medical Journal. Clinical

Evidence.10:2302.