Upload
ddarksoul2006
View
204
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Insomnia
Citation preview
INSOMNIA
A. DEFINISI DAN BATASAN
Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan tidur
(sering terbangun dengan kesulitan untuk kembali tidur), atau bangun lebih awal, disertai dengan
gangguan fungsi siang hari (kelelahan, lekas marah, dan kurangnya perhatian).1 Tidur pada insomnia
digambarkan sebagai tidur yang pendek dan tidak memadai, mudah terganggu, berkualitas buruk,
tidak memuaskan, atau non-restorative. Pada anak-anak, insomnia dapat muncul sebagai resistensi
tidur atau kurangnya kemampuan untuk tidur secara independen. Kebanyakan peneliti mengartikan
insomnia sebagai keterlambatan tidur 30 menit atau lebih, waktu bangun setelah onset tidur 30 menit
atau lebih, efisiensi tidur kurang dari 85%, atau waktu tidur total kurang dari 6 hingga 6,5 jam, terjadi
setidaknya 3 kali seminggu.2
B. EPIDEMIOLOGI
Insomnia merupakan kondisi umum yang mempengaruhi hampir semua usia dan strata sosial
ekonomi. Kebanyakan studi epidemiologi menyebutkan prevalensi insomnia intermiten sekitar 30%
sampai 40% dari populasi umum dan insomnia kronis sekitar 10% sampai 15%.3 Insomnia berkorelasi
positif dengan usia dan berkorelasi negatif dengan pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan. Selain
itu, pada wanita sekitar dua kali lebih mengeluh insomnia.4 Prevalensi insomnia lebih besar di antara
pengguna narkoba dan alkohol, di rumah sakit atau orang-orang dilembagakan, dan pada individu
dengan gangguan medis atau neurologis yang mendasari. Tampaknya ada korelasi yang kuat antara
insomnia dan gangguan kejiwaan. Banyak pasien dengan insomnia memiliki patologi psikiatri yang
mendasari. Stressor yang dihadapi meningkatkan risiko terjadinya insomnia.2
C. ETIOLOGI
Penyebab insomnia meliputi gangguan tidur primer, gangguan tidur lain, gangguan irama
sirkadian tidur-bangun, penyakit medis, neurologi, psikiatri, gangguan perilaku, dan penggunaan obat
atau akibat withdrawal. Untuk mengidentifikasi pencetus spesifik mungkin sulit ketika insomnia telah
terjadi selama bertahun-tahun. Diperkirakan bahwa insomnia psychophysiologic bertanggung jawab
terhadap 15% kasus insomnia kronis. Penyebab spesifik lain insomnia kronis termasuk restless legs
syndrome (12% dari kasus) serta penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat (12% dari kasus).2
Episode insomnia sementara umumnya terkait dengan pemicu yang dapat diidentifikasi.
Insomnia kronis mungkin lebih heterogen dalam etiologi. Untuk kenyamanan konseptual, insomnia
kronis dapat digolongkan sebagai primer atau komorbid. Insomnia primer dianggap independen dari
gangguan lain, sementara insomnia komorbid diperkirakan berkembang dengan beberapa kontribusi
dari kondisi yang bersamaan terjadi.3
Spielman mengembangkan model yang menunjukkan bahwa episode insomnia merupakan hasil
interaksi dari faktor predisposisi, presipitasi, dan perpetuasi (3Ps) dari waktu ke waktu. Bahkan ketika
tidak memiliki keluhan tidur saat ini, pada individu tertentu beresiko lebih besar untuk mengalami
insomnia akibat faktor predisposisi yang mendasarinya. Faktor predisposisi tidak memulai episode
insomnia, tetapi hanya membuat lebih mungkin terjadi dengan menyebabkan seorang individu lebih
dekat ke ambang batas insomnia ketika gejala gangguan tidur menjadi signifikan secara klinis. Faktor
presipitasi baik satu atau lebih, harus ada untuk mencapai ambang ini. Begitu seseorang menderita
insomnia, mungkin akan mengalami kekhawatiran berlebihan tentang tidur dan efek dari tidak cukup
tidur. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan dan ketegangan ketika mendekati waktu tidur atau jika
terbangun di malam hari. Faktor perpetuasi ini dapat memperlama insomnia sehingga berkembang
menjadi kondisi kronis. 3
Tabel 1 Faktor Yang Menyebabkan dan Mempertahankan Insomnia2
Faktor Contoh
Faktor Predisposisi
Kecenderungan genetik, kepribadian, hyperarousal fisiologis (misalnya, ketegangan otot meningkat, suhu tubuh, tingkat metabolisme dan denyut jantung, dan pergeseran EEG ke frekuensi yang lebih cepat saat onset tidur dan selama tidur NREM), psikologis (misalnya, kecenderungan untuk berpikir, agitasi, kegelisahan, atau kewaspadaan), dan preferensi waktu tidur-bangun.
Faktor Presipitasi
Peristiwa stres, perubahan kebiasaan, perubahan mendadak dalam jadwal tidur-bangun, gangguan lingkungan, penggunaan obat atau withdrawal, penggunaan narkoba, atau gangguan medis, neurologis, psikiatri atau tidur primer.
Faktor Perpetuasi
Kebersihan tidur yang buruk, jadwal tidur-bangun tidak teratur, kafein atau konsumsi alkohol, kekhawatiran yang sedang berlangsung, kecemasan atau harapan yang tidak realistis tentang tidur, dan perilaku tidur-bangun maladaptive.
Kondisi komorbid mempunyai peran yang penting pada sebagian besar kasus insomnia dan
sangat umum di kalangan orang dewasa yang lebih tua. Perkembangan insomnia lebih mungkin pada
gangguan primer tertentu (misalnya, sakit akut dan kronis, kanker, dan gangguan mood)
dibandingkan dengan orang lain (misalnya, asma atau refluks gastroesophageal). Selain itu, pasien
dengan riwayat insomnia dengan segala penyebabnya mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi
mengalami gangguan tidur.2
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi insomnia dapat disimpulkan sebagai keadaan psikofisiologis dari hiperarousal. Hal
ini telah ditunjukkan secara obyektif pada area otak, vegetatif, dan aktifitas endokrin. Dalam model
hiperarousal fisiologis, tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi sepanjang hari dan malam hari
membuat pasien sulit tidur. Secara keseluruhan, studi menunjukkan hiperaktivitas dari 2 cabang
sistem respons terhadap stress (CRH-ACTH-cortisol dan simpatis) dan perubahan laju sekresi
sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF α). Hal ini tampaknya merupakan dasar fisiologis dari keluhan
klinis yang umum pada pasien dengan insmomnia kronis yang tidak dapat tidur pada siang hari dan
tampak kelelahan.5
Vgontzas dkk meneliti hubungan kortisol dan sitokin dengan karakteristik tidur-bangun pada
populasi individu dengan gangguan tidur, termasuk penderita insomnia kronis. Mereka menemukan
pergeseran faktor sekresi IL-6 dan TNF-α dari malam ke siang pada kelompok insomnia kronis dan
menduga bahwa hal ini mungkin menjelaskan kelelahan siang hari dan penurunan kinerja. Temuan
hipersekresi kortisol selama 24 jam pada penderita insomnia bisa membantu menjelaskan kesulitan
tertidur pada malam hari.3
Sebuah studi awal meneliti keadaan fisiologis yang berkorelasi dengan insomnia, mencatat
peningkatan aktivasi pada pasien insomnia sebelum onset tidur dan selama tidur, sebagaimana
dibuktikan dengan adanya peningkatan detak jantung, ketahanan kulit basal, suhu tubuh inti dan
vasokonstriksi phasic. Pada penderita insomnia juga ditemukan adanya peningkatan laju
metabolisme tubuh secara keseluruhan bila dibandingkan dengan individu dengan tidur normal.
Penderita insomnia juga memiliki skor yang lebih tinggi dari tidur normal pada kuesioner hiperarousal
dan bahkan saat siang hari ketika mengeluh kelelahan, penderita insomnia masih membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk tidur. Pada pemeriksaan positron emisi tomografi (PET), Penderita
insomnia memiliki metabolisme glukosa otak global yang lebih besar dibandingkan dengan individu
normal kontrol saat tidur dan terjaga. Pengamatan dengan MRI menemukan volume hipokampus
bilateral berkurang pada pasien insomnia dibandingkan individu normal. Sebuah studi SPECT
menemukan aliran darah yang lebih rendah di daerah basal ganglia selama tidur pada penderita
insomnia primer. Pada EEG, penderita insomnia menunjukkan aktivitas beta yang tinggi dan aktivitas
delta yang rendah. Dari perspektif endokrin, penderita insomnia, seperti pasien dengan gangguan
depresi mayor, menunjukkan hiperaktifitas kortikotropin-releasing faktor dan peran disfungsi
hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA). 3,6
E. PEMBAGIAN ATAU KLASIFIKASI
Insomnia dibagi berdasarkan
1. Durasi, yaitu akut (transien: hanya berlangsung beberapa hari atau shortterm: berlangsung
hingga 3 sampai 4 minggu) dan kronis (bertahan untuk lebih dari 1 sampai 3 bulan).
2. Keparahan yaitu ringan, sedang, atau berat menurut kriteria International Classification of
Sleep Disorders (ICSD 1).
3. Profil temporal berupa gangguan onset tidur, pemeliharaan tidur, terminal, atau tidur
nonrestorative.2
Tabel 2 Klasifikasi Innsomnia berdasarkan Keparahan 2
Tabel 3 Klasifikasi Innsomnia berdasarkan Profil Temporal 2
4. Etiologi insomnia dibedakan menjadi :
Insomnia primer
Insomnia primer tidak memiliki faktor etiologi yang jelas atau tidak terkait dengan kondisi
medis lainnya. Ini mungkin terkait dengan ciri kepribadian tertentu dan coping mechanism.
Insomnia sekunder atau komorbid.
Insomnia sekunder merupakan insomnia yang berhubungan dengan kondisi komorbid baik
medis, neurologis, atau gangguan kejiwaan, atau penggunaan obat atau efek withdrawal 5
The International Classification of Sleep Disorders, 2nd Edition (ICSD-2) mengidentifikasi
insomnia sebagai salah satu dari delapan kategori utama gangguan tidur dan pada kelompok ini,
membuat daftar dua belas gangguan insomnia spesifik. Keluhan insomnia juga dapat terjadi pada
hubungan dengan gangguan komorbid atau kategori gangguan tidur lain, seperti gangguan tidur
terkait pernapasan, gangguan tidur ritme sirkadian, dan tidur terkait gangguan gerak.7
Tabel 4 Diagnosa Insomnia berdasarkan ICSD-2 7
Adapun yang termasuk ke dalam insomnia primer meliputi adjustment (acute) insomnia,
psychophysiological insomnia, paradoks insomnia, idiopathic insomnia, dan inadequate sleep
hygiene.7
Tabel Jenis Insomnia berdasar ICSD-2 7,8
Adjusment (acute) insomnia
insomnia akibat stressor, seperti gangguan psikososial, fisik, atau lingkungan. Gangguan tidur memiliki durasi yang relatif singkat (hari-minggu) dan diharapkan sembuh ketika stressor sudah tidak ada.
Psychophysiological Insomnia
Ditandai oleh tingginya arousal. Arousal mungkin fisiologis, kognitif atau emosional dan ditandai oleh ketegangan otot, racing toughts, atau peningkatan kesadaran lingkungan. Individu biasanya memiliki kekhawatiran yang tinggi tentang kesulitan tidur dan konsekuensinya, yang mengarah ke "lingkaran setan" dari arousal, tidur yang buruk, dan frustrasi.
Paradoks Insomnia
Ditandai oleh insomnia yang parah yang melebihi bukti obyektif gangguan tidur dan tidak sepadan dengan tingkat defisit siang hari yang dilaporkan. Meskipun terbaik didiagnosis dengan polysomnography dan self-reports, insomnia paradoks dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis saja.
Idiopathic Insomnia
Ditandai oleh keluhan insomnia terus-menerus dengan onset berbahaya selama masa bayi atau kanak-kanak
awal. Insomnia idiopatik tidak berhubungan dengan faktor pencetus atau faktor perpetuasi
Inadequate Sleep Hygiene
Insomnia yang berhubungan dengan tidur secara sadar atau kegiatan yang tidak konsisten dengan kualitas tidur yang baik dan kewaspadaan siang hari. Praktek-praktek dan kegiatan biasanya menghasilkan peningkatan arousal atau secara langsung mengganggu tidur, dan mungkin termasuk penjadwalan tidur tidak teratur, penggunaan alkohol, kafein, atau nikotin, atau terlibat dalam perilaku non-tidur di lingkungan tidur. Beberapa unsur kebersihan tidur yang buruk dapat mencirikan individu dengan gangguan insomnia lainnya.
Insomnia due to Mental Disorder
Kurang lebih 80% pasien dengan gangguan mental mengeluh gangguan tidur. Diagnosa yang mendasari meliputi depresi, mania, cemas, atau skizofrenia.
Insomnia due to DrugOr Substance
Kafein yang tersering. Alkohol dan nikotin mengganggu tidur, meskipun kenyataanya digunakan untuk memicu tidur. Antidepresan, simpatomimetik, dan glukokortikoid juga menyebabkan insomnia. Insomnia rebound yang berat dapat disebabkan oleh penarikan akut agen hypnosis, terutama penggunaan benzodiazepine dosis tinggi dengan half-life pendek.
Insomnia due to Medical Condition
Asma, cardiac ischemia, paroxysmal nocturnal dyspneu, COPD, cystic fibrosis, hyperthyroidism, menopause, gastroesophageal reflux, CKD, cirrhosis. Neurologis: dementia, epilepsy, Parkinson, dan migraine.
F. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Anamnesa pasien dengan insomnia meliputi evaluasi terhadap :
1. Keluhan Umum
Pasien dengan insomnia dapat mengeluh sulit tidur, sering terjaga, kesulitan untuk kembali tidur,
bangun terlalu dini di pagi hari, atau tidur yang tidak merasa tenang, menyegarkan, atau
restoratif. Meskipun pasien mungkin mengeluh hanya satu jenis gejala, kebanyakan beberapa
jenis gejala terjadi secara bersamaan. Komponen utama meliputi karakteristik jenis keluhan,
durasi (bulan, tahun, seumur hidup), frekuensi (malam per minggu atau beberapa kali per
malam), tingkat keparahan gangguan malam hari dan keluhan di siang hari, intensitas (progresif,
intermiten, tanpa henti), faktor-faktor yang menambah atau mengurangi gejala dan identifikasi
faktor presipitasi, faktor perpetuasi, dan terapi sebelumnya.7
2. Kondisi Pre-Tidur
Pasien dengan insomnia dapat mengembangkan perilaku yang malah memperberat insomnia
mereka. Perilaku ini dapat dimulai sebagai strategi untuk memerangi masalah tidur, seperti
menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur. Pasien dapat melaporkan sensasi menjadi
lebih sadar akan lingkungan daripada orang lain dan menjadi lebih waspada dan cemas ketika
mendekati waktu tidur. Karakterisasi lingkungan tidur (sofa/tempat tidur, terang/gelap,
tenang/bising, suhu kamar, sendirian/dengan pasangan, TV nyala/mati), serta keadaan pikiran
pasien (mengantuk vs terjaga, santai vs cemas) sangat membantu dalam memahami faktor-
faktor yang dapat memfasilitasi atau memperpanjang onset tidur atau terbangun setelah tidur.7
3. Jadwal Tidur-Bangun
Dalam mengevaluasi gejala yang berhubungan dengan tidur, dokter harus mempertimbangkan
tidak hanya gejala umum pasien, tetapi juga range, variabilitas hari ke hari termasuk pada
kondisi tertentu misalnya menstruasi, dan evolusi dari waktu ke waktu, variabel tidur-bangun
seperti waktu untuk jatuh tertidur (latensi tidur), jumlah terjaga, waktu bangun setelah onset tidur,
durasi tidur, dan tidur siang dapat diukur secara retrospektif selama penilaian klinis. Pola tidur
pada waktu yang tidak biasa mungkin membantu dalam mengidentifikasi gangguan irama
sirkadian.7
4. Gejala nokturnal
Pasien dan pasanganya juga dapat membantu untuk mengidentifikasi nocturnal signs, gejala
dan perilaku terkait dengan pernapasan yang berhubungan dengan gangguan tidur
(mendengkur, terengah-engah, batuk), gangguan tidur terkait gerakan (menendang, gelisah),
parasomnia (perilaku atau suara) dan komorbiditas medis atau gangguan neurologis (refluks,
palpitasi, kejang, sakit kepala). Sensasi fisik dan emosi lainnya terkait dengan terjaga (seperti
nyeri, cemas gelisah, frustrasi, kesedihan) dapat menyebabkan insomnia dan juga harus
dievaluasi.7
5. Kegiatan dan Fungsi siang hari
Kegiatan dan perilaku siang hari dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab dan
konsekuensi dari insomnia. Tidur (frekuensi/hari, kali, sukarela /sukarela), kerja (waktu kerja,
jenis pekerjaan seperti mengemudi atau dengan konsekuensi yang berbahaya dan cacat), gaya
hidup (kurang gerak/aktif, jompo, paparan cahaya, latihan), disfungsi siang hari (kualitas hidup,
suasana hati, disfungsi kognitif), dan eksaserbasi gangguan komorbid harus dievaluasi secara
mendalam. Konsekuensi umum siang hari meliputi:
a) Kelelahan dan mengantuk. Perasaan kelelahan (energi rendah, kelelahan fisik) lebih umum
daripada gejala mengantuk pada pasien dengan insomnia kronis. Adanya keluhan
mengantuk yang signifikan mengindikasikan perlunya mencari gangguan tidur potensial
lainnya.
b) Gangguan suasana hati dan kesulitan kognitif. Keluhan mudah marah, depresi kehilangan
minat, ringan dan kecemasan gejala umum di antara pasien insomnia. Pasien dengan
insomnia kronis sering mengeluh inefisiensi mental, kesulitan mengingat, kesulitan
memusatkan perhatian, dan kesulitan dengan tugas mental yang kompleks.
c) Kualitas hidup. lekas marah dan kelelahan yang berhubungan dengan insomnia dapat
menyebabkan kesulitan interpersonal pada pasien insomnia atau menghindari aktivitas
tersebut. Masalah tidur dan bangun mungkin mengakibatkan pembatasan kegiatan siang
hari, termasuk kegiatan sosial, olahraga, atau bekerja. Kurangnya kegiatan reguler siang
hari dan latihan pada gilirannya berkontribusi terhadap insomnia.
d) Eksaserbasi kondisi komorbiditas. Kondisi komorbiditas dapat menyebabkan atau
meningkatkan kesulitan tidur. Demikian juga, tidur yang buruk dapat memperburuk kondisi
komorbid.7
G. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik biasanya normal pada pasien insomnia dan hanya sedikit berkontribusi
terhadap penilaian keparahan dan penyebabnya, kecuali pada minoritas dengan gangguan
neurologis yang mendasari. Insomnia kronis tidak dikaitkan dengan hasil dari pemeriksaan fisik dan
status mental. Namun demikian, pemeriksaan tersebut mungkin dapat menyediakan informasi
mengenai kondisi komorbid dan diagnosa banding. Pemeriksaan fisik seharusnya mengevaluasi
secara spesifik mengenai faktor resiko dari sleep apnea (obesitas, peningkatan sirkumferensi leher,
restriksi saluran napas atas) dan kondisi medis komorbid yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada
gangguan pulmonalis, kardiovaskuler, reumatologis, neurologis, endokrin (seperti tiroid), dan sistem
gastrointestinal. Pemeriksaan status mental seharusnya fokus terhadap suasana perasaan,
kecemasan, memori, konsentrasi, dan derajat kewaspadaan atau tertidur.7
Dokter harus menilai kondisi fisik pasien yang berkontribusi terhadap kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur. Adanya bukti dari saluran napas atas yang penuh, lidah besar, mandibula
kecil, tonsil besar, atau turbinat yang membesar dapat menunjukkan adanya sleep disorder breathing
yang sering menyebabkan fragmentasi tidur dan berkontribusi terhadap sleep maintanance insomnia.
Tanda-tanda fisik neuropati kompresif, seperti distribusi dermatomal dari dysesthesia sensorik atau
kelemahan ekstremitas, dapat menjelaskan bahwa nyeri ekstremitas dapat mengganggu tidur.3
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes laboratorium, polysimnography, dan actigraphy tidak secara rutin diindikasikan untuk
evaluasi insomnia, tetapi mungkin sesuai untuk individu dengan gejala dan tanda spesifik dari
gangguan tidur atau medis komorbid.
1. Kuesioner Insomnia
Kuesioner adalah alat ukur untuk membantu menyelesaikan penilaian yang tepat dari
masalah pasien, karena dapat memperkuat diagnosis awal yang dilakukan setelah wawancara
klinis dan pemeriksaan status mental. Kuesioner insomnia tidak mengarah untuk skrining
massal. Oleh karena itu, tidak layak untuk menggunakan kuesioner secara rutin untuk tujuan
klinis dan karena tidak pernah mengganti wawancara klinis. Namun, kuisioner berguna untuk
memandu wawancara dan untuk mendukung penilaian klinis. Kuiosioner juga menjadi alat yang
penting dalam bidang penelitian klinis, serta memeriksa efek dari intervensi terapeutik yang
berbeda. Beberapa kuesioner yang mungkin berguna untuk insomnia adalah:
a) Insomnia Severity Index (ISI)
Kuesioner yang singkat dan sederhana ini terdiri dari tujuh bagian, yang pertama menilai
keparahan dari insomnia (dibagi menjadi tiga jenis), sedangkan sisanya digunakan untuk
mengukur kepuasan tidur, gangguan dalam fungsi siang hari dan persepsi masalah tidur oleh
orang lain. 5
b) Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Kuesioner yang menganalisis faktor yang menentukan kualitas tidur yang berbeda, yang
dikelompokkan ke dalam tujuh komponen, yaitu kualitas, latensi onset tidur, durasi, efisiensi,
gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi siang hari. Hal ini dapat membimbing
dokter pada bagian yang paling terkena dampak dari tidur. Pada titik cut-off, kuesioner ini
memiliki sensitivitas 88,63% dan spesifisitas 74,99%.5
c) Pre-Sleep Arousal Scale (PSAS)
Kuesioner yang dibagi menjadi dua sub-kuesioner, yaitu somatik dan kognitif. Hal ini berguna
untuk mengidentifikasi fitur kognitif yang terkait dengan tidur dan dapat membantu dalam
skrining atau mendeteksi orang dengan tidur yang terganggu. 5
d) Epworth Sleepiness Scale (ESS)
Kuesioner yang terdiri atas 9 bagian, yang menyediakan informasi tentang rasa mengantuk
pasien selama siang hari.5
2. Buku Harian Tidur
Buku harian tidur yang ditulis lebih dari 1 sampai 2 minggu dapat membantu melacak pola
tidur-bangun pasien. Informasi termasuk waktu aktual tidur-bangun, durasi waktu di tempat tidur,
dan variabilitas hari-hari dalam waktu tidur-bangun dapat diperoleh dari buku harian.6 Catatan
harian ini sebaiknya ditulis sebelum dan selama program pengobatan aktif dan dalam
kasusrelapse atau reevaluasi jangka panjang (setiap 6 bulan).7
3. Polysomnography
Polysomnography tidak secara rutin digunakan dalam evaluasi insomnia, tanggung jawab
diagnosis terletak pada wawancara pasien. Kasus tertentu mungkin berlaku ketika
polysomnography dibenarkan. Kasus tersebut termasuk kecurigaan tidur yang berhubungan
dengan gangguan pernapasan atau gangguan gerakan tungkai periodik, diagnosis awal tidak
pasti, kegagalan pengobatan, dan arousal mengarah ke perilaku kekerasan.6
Gambar 1 Polysomnography
4. Actigraphy
Actigraphy adalah arloji berisi sensor gerak yang mencatat dan menyimpan informasi
tentang aktivitas motorik kasar. Tidak seperti polysimnography, yang mengevaluasi tidur
berdasarkan EEG, EMG, dan EOG (electrooculography), actigraphy menentukan keadaan tidur-
bangun hanya dengan gerakan pergelangan tangan. Akibatnya, keadaan tidur dan bangun
selama periode tidur yang dimaksudkan dapat diperkirakan, tetapi actigraphy tidak memberikan
informasi tentang tingkatan tidur.3
Actigraphy membantu menggambarkan pola aktivitas-istirahat dan mungkin mempunyai
kegunaan sebagai ukuran objektif ketika digunakan bersamaan dengan diari tidur-bangun dan
wawancara formal. Bagi pasien insomnia, actigraphy dapat menyediakan informasi mengenai
irama sikardian dan pola tidur. Keuntungan utama dari actigraphy adalah kesesuaian untuk
merekam data tidur-bangun terus-menerus selama jangka waktu yang lama di lingkungan
kebiasaan tidur pasien. Dibandingkan dengan polysomnography, actigraphy pada pasien
insomnia memiliki hasil yang bervariasi. Ditemukan hasil yang melebih-lebihkan dan
meremehkan waktu tidur total. Studi lain menemukan bahwa actigraphy divalidasi dengan baik
oleh polysomnography sehubungan dengan jumlah terbangun, waktu bangun setelah onset
tidur, waktu tidur total, dan efisiensi tidur. Actigraphy juga dapat digunakan untuk mendeteksi
perubahan dalam pengobatan tidur. Bila menggunakan actigraphy, peningkatan durasi
perekaman lebih dari 7 hari dapat meningkatkan keandalan estimasi waktu tidur. Actigraphy
disarankan digunakan untuk setidaknya tiga kali periode 24-jam berturut-turut.3,6
I. DIAGNOSIS
Pada dasarnya diagnosis insomnia ditegakkan melalui :
1. Anamnesis.
Memperoleh riwayat klinis yang lengkap dari pasien, pasangan, orang tua, atau pengasuh
adalah langkah pertama dan paling penting dalam diagnosis insomnia. Onset, durasi, jenis
insomnia, gejala malam, dan siang hari harus diperoleh. Meninjau riwayat medis pasien masa
lalu (termasuk riwayat psikiatri), riwayat keluarga, dan sosial bersama dengan pengobatan saat
ini, dan alergi juga dapat membantu menemukan penyebab insomnia yang mendasari.
2. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik umum perlu dilakukan, tetapi sering diabaikan oleh banyak dokter yang
mengobati insomnia. Pemeriksaan fisik yang komprehensif sering dapat memberi petunjuk
mengenai etiologi yang mendasari insomnia.
3. Catatan harian tidur, kuesioner, Actigraphy, dan polysomnography.1,3
Kriteria diagnosis insomnia primer dari American Academy of Sleep Medicine dan American
Psychiatric Association meliputi:
1. Keluhan dalam memulai atau mempertahankan tidur, dan/atau tidur yang nonrestorative atau
buruk dalam segi kualitas;
2. Durasi keluhan tidur minimal 1 bulan
3. Keluhan penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau harian.
Walaupun kriteria ini tidak termasuk frekuensi kejadian, kriteria frekuensi ≥ 3 malam per minggu
umumnya digunakan.9
Tabel 5 Kriteria Diagnosis Insomnia (ICSD-2) 7
J. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding yang mungkin, antara lain :
1. Gangguan psikiatri (depresi, cemas)
2. Gangguan tidur lainnya. Paling sering meliputi gangguan tidur terkait pernapasan (misalnya,
apnea tidur obstruktif), gangguan gerak (misalnya, restleg syndrome atau gerakan ekstremitas
periodik selama tidur)
3. Gangguan irama sikardian
4. Parasomnia1
K. KOMPLIKASI ATAU PENYULIT
Komplikasi insomnia mungkin termasuk:
1. Penurunan kinerja pada pekerjaan atau di sekolah
2. Memperlambat waktu reaksi saat mengemudi dan resiko kecelakaan lebih tinggi
3. Masalah psikiatri, seperti depresi atau kecemasan
4. Overweight atau obesitas
5. Penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh
6. Peningkatan risiko dan tingkat keparahan penyakit jangka panjang, seperti hipertensi, penyakit
jantung dan diabetes.3
L. TERAPI
Tujuan primer terapi insomnia meliputi peningkatan kualitas dan/atau waktu tidur, mengurangi
distress, dan perbaikan terhadap gangguan fungsi di siang hari yang berhubungan dengan insomnia
seperti perbaikan energi, gangguan memori atau perhatian, disfungsi kognitif, kelelahan, atau gejala
somatik.7 Terapi insomnia melibatkan terapi nonfarmakologis dan farmakologis, antara lain :
1. Pendidikan tentang kebersihan tidur yang lebih baik
2. Pengobatan gangguan psikiatri yang mendasari
3. Tepat waktu mengkonsumi obat yang digunakan untuk mengobati gangguan medis
4. Terapi perilaku (behavioral therapy)
5. Farmakoterapi1
Terapi fisiologis dan perilaku merupakan terapi yang direkomendasikan pada insomnia primer
dan komorbid kronis. Terapi ini efektif pada semua usia termasuk lansia dan pengguna agen hipnotik
kronis. Terapi ini sebaiknya dijadikan intervensi awal ketika kondisi memungkinkan. Pendekatan awal
sebaiknya meliputi sedikitnya satu dari terapi perilaku seperti stimulus control therapy atau relaxation
therapy, atau combination of cognitive therapy, stimulus control therapy, sleep restriction therapy with
or without relaxation therapy yang dikenal sebagai cognitive behavioural therapy for insomnia (CBT-I).
Terapi lain yang sering antara lain sleep restriction, paradoxical intention, and biofeedback therapy.7
Tabel 6 Terapi Perilaku dan Kognitif Insomnia 7
Untuk pasien dengan insomnia primer, ketika farmakoterapi digunakan sendiri atau dalam
kombinasi terapi, urutan umum medikasi yang direkomendasikan adalah:
1. Agonis reseptor benzodiazepine short-intermediate acting (BZD atau BzRAs terbaru) atau
Ramelteon, contoh obat-obat ini termasuk zolpidem, eszopiclone, zaleplon, dan temazepam
2. Alternatif BzRA short-intermediate acting atau Ramelteon jika agen awal tidak berhasil
3. Antidepresan, terutama bila digunakan bersama dengan pengobatan komorbid depresi atau
kecemasan. Contoh obat ini meliputi trazodone, amitriptyline, doksepin, dan mirtazapine
4. Gabungan BzRA atau Ramelteon dan antidepresan
5. Agen sedative lainnya meliputi obat anti-epilepsi(gabapentin, tiagabine) dan antipsikotik atipikal
(quetiapine dan olanzapine).7
Idealnya, terlepas dari jenis terapi penilaian klinis ulang harus dilakukan setiap beberapa
minggu dan setiap bulan sampai insomnia stabil atau sembuh, dan kemudian setiap 6 bulan, karena
tingkat relaps yang tinggi untuk insomnia.
Tabel 7 Terapi Farmakologis Insomnia 7
M. PROGNOSIS
Insomnia primer adalah kondisi kronis dan mudah kambuh. Kemungkinan konsekuensi termasuk
berkurangnya kualitas hidup dan peningkatan risiko kecelakaan karena rasa mengantuk di siang hari.
Individu dengan insomnia primer mungkin berada pada risiko lebih besar ketergantungan pada obat
hipnotis, depresi, demensia, jatuh, dan lebih mungkin memerlukan perawatan perumahan. Bahkan
dengan terapi, beberapa pasien mungkin tetap mengalami kesulitan tidur intermiten. Untuk alasan ini,
pendidikan pasien tentang perilaku yang tepat dan coping skills untuk mengatasi episode insomnia
residual dan mengurangi kronisitas insomnia sangatlah penting. 10
N. ALGORITME
O. RINGKASAN
Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan tidur, atau
bangun lebih awal, disertai dengan gangguan fungsi siang hari. Kebanyakan peneliti mengartikan
insomnia sebagai keterlambatan tidur 30 menit atau lebih, waktu bangun setelah onset tidur 30 menit
atau lebih, efisiensi tidur kurang dari 85%, atau waktu tidur total kurang dari 6 hingga 6,5 jam, terjadi
setidaknya 3 kali seminggu.
Insomnia merupakan hasil interaksi dari faktor predisposisi, presipitasi, dan perpetuasi (3P).
Faktor predisposisi membuat insomnia lebih mungkin terjadi dengan menyebabkan seorang individu
untuk lebih dekat ke ambang batas insomnia. Faktor presipitasi adalah faktor yang memicu insomnia.
Sementara itu faktor perpetuasi adalah faktor-faktor yang mempertahankan gangguan tidur.
Patofisiologi insomnia dapat disimpulkan sebagai keadaan psikofisiologis dari hiperarousal.
Dalam model hiperarousal fisiologis, tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi sepanjang hari dan
malam hari membuat pasien sulit tidur. Secara keseluruhan, studi menunjukkan hiperaktivitas dari 2
cabang sistem respons terhadap stress (CRH-ACTH-cortisol dan simpatis) dan perubahan laju
sekresi sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF α).
Insomnia dapat dibagi berdasarkan durasi menjadi akut (transien: hanya berlangsung beberapa
hari atau shortterm: berlangsung hingga 3 sampai 4 minggu) dan kronis (bertahan untuk lebih dari 1
sampai 3 bulan), berdasarkan keparahan menjadi ringan, sedang, atau berat, dan berdasarkan profil
temporal berupa gangguan onset tidur, pemeliharaan tidur, terminal, atau tidur nonrestorative.
Berdasarkan etiologi, insomnia dibedakan menjadi insomnia primer (tidak memiliki faktor etiologi
yang jelas) dan insomnia sekunder atau komorbid. Adapun yang termasuk ke dalam insomnia primer
menurut ICSD-2 meliputi adjustment (acute) insomnia, paradoks insomnia, psychophysiological
insomnia, idiopathic insomnia, dan inadequate sleep hygiene.
Pada dasarnya diagnosis insomnia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien dengan insomnia dapat mengeluh sulit tidur, sering terjaga,
kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu dini di pagi hari, atau tidur yang tidak merasa tenang,
menyegarkan, atau restoratif. Pasien dapat melaporkan sensasi menjadi lebih sadar akan lingkungan
daripada orang lain dan menjadi lebih waspada dan cemas ketika mendekati waktu tidur.
Pasien dan pasanganya juga dapat membantu untuk mengidentifikasi nocturnal signs, gangguan
tidur terkait dengan pernapasan (mendengkur, terengah-engah, batuk), terkait gerakan (menendang,
gelisah), parasomnia (perilaku atau suara), dan komorbiditas medis/gangguan neurologis (refluks,
palpitasi, kejang, sakit kepala). Konsekuensi umum di siang hari meliputi kelelahan dan rasa kantuk,
gangguan suasana hati dan kesulitan kognitif, kualitas hidup menurun dan dapat memperburuk
kondisi komorbid.
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan, tetapi sering diabaikan oleh banyak dokter yang mengobati
insomnia. Pemeriksaan fisik seharusnya mengevaluasi secara spesifik mengenai faktor resiko dari
sleep apnea dan kondisi medis komorbid. Tanda-tanda fisik neuropati kompresif, seperti distribusi
dermatomal dari dysesthesia sensorik atau kelemahan ekstremitas, dapat menjelaskan atau nyeri
ekstremitas yang dapat mengganggu tidur. Pemeriksaan status mental seharusnya fokus terhadap
suasana perasaan, kecemasan, memori, konsentrasi, dan derajat kewaspadaan atau tertidur.
Tes laboratorium, polysomnography, dan actigraphy tidak secara rutin diindikasikan, tetapi
mungkin sesuai untuk individu dengan gejala dan tanda spesifik dari gangguan tidur atau medis
komorbid. Kuesioner seperti Insomnia Severity Index (ISI), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI),
Pre-Sleep Arousal Scale (PSAS), dan Epworth Sleepiness Scale (ESS) berguna untuk memandu
wawancara dan mendukung penilaian klinis. Buku harian tidur yang ditulis lebih dari 1 sampai 2
minggu dapat membantu melacak pola tidur-bangun pasien. Polysomnography diindikasikan pada
kasus-kasus seperti kecurigaan tidur terkait gangguan pernapasan atau gangguan gerakan tungkai
periodik, diagnosis awal tidak pasti, kegagalan pengobatan dan arousal mengarah ke perilaku
kekerasan.
Diagnosa banding dari insomnia meliputi gangguan psikiatri (depresi, cemas), gangguan tidur
terkait pernapasan (misalnya, apnea tidur obstruktif), gangguan gerak (misalnya, restleg syndrome
atau gerakan ekstremitas periodik selama tidur), gangguan irama sikardian, dan parasomnia.
Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi penurunan performa, memperlambat waktu reaksi saat
mengemudi, depresi atau kecemasan, overweight atau obesitas, penurunan fungsi sistem kekebalan
tubuh, peningkatan risiko dan tingkat keparahan penyakit jangka panjang.
Tujuan primer terapi insomnia meliputi peningkatan kualitas dan waktu tidur, mengurangi
distress, dan perbaikan terhadap gangguan fungsi di siang hari yang berhubungan dengan insomnia
seperti perbaikan energi, gangguan memori atau perhatian, disfungsi kognitif, kelelahan, atau gejala
somatik
Terapi fisiologis dan perilaku merupakan terapi yang direkomendasikan pada insomnia primer
dan komorbid kronis. Pendekatan awal sebaiknya meliputi sedikitnya satu dari terapi perilaku seperti
stimulus control therapy atau relaxation therapy, atau combination of cognitive therapy, stimulus
control therapy, sleep restriction therapy with or without relaxation therapy yang dikenal sebagai
cognitive behavioural therapy for insomnia (CBT-I). Terapi lain yang sering antara lain sleep
restriction, paradoxical intention, and biofeedback therapy.
Untuk pasien dengan insomnia primer, ketika farmakoterapi digunakan sendiri atau dalam
kombinasi terapi, urutan umum medikasi yang direkomendasikan adalah agonis reseptor
benzodiazepine short-intermediate acting (BZD atau BzRAs terbaru) atau Ramelteon meliputi
zolpidem, eszopiclone, zaleplon, dan temazepam, alternatif BzRA short-intermediate acting atau
Ramelteon jika agen awal tidak berhasil, antidepresan (trazodone, amitriptyline, doksepin, dan
mirtazapine), terutama bila digunakan bersama dengan pengobatan komorbid depresi/kecemasan,
dan agen sedatif lainnya meliputi obat anti-epilepsi (gabapentin, tiagabine) dan antipsikotik atipikal
(quetiapine dan olanzapine).
Insomnia primer adalah kondisi kronis dan mudah kambuh. Kemungkinan konsekuensi termasuk
berkurangnya kualitas hidup dan peningkatan risiko kecelakaan karena kantuk di siang hari. Orang
dengan insomnia primer mungkin berada pada risiko lebih besar ketergantungan pada obat hipnotis,
depresi, demensia, dan jatuh, dan lebih mungkin memerlukan perawatan perumahan.
P. PERTANYAAN
1. Bagaimana gambaran tidur pada individu lanjut usia ?
Secara umum, karakteristik tidur pada lansia berbeda dalam beberapa hal dari orang dewasa
lainnya. Dengan bertambahnya usia, tidur menjadi lebih didistribusikan selama periode 24-jam.
Hal ini menghasilkan tidur malam yang lebih pendek dan tidur di siang hari yang meningkat.
Gambaran tidur lainya pada lansia, antara lain :
a. Meningkatnya jumlah terbangun malam hari, yang dapat bertahan lebih lama
b. Penurunan kemampuan untuk pulih setelah periode kurang tidur
c. Mengurangi jumlah tidur, sehubungan dengan waktu di tempat tidur
d. Penurunan progresif ambang bangun dengan rangsangan pendengaran dengan (tidur ringan)
e. Kecenderungan untuk tidur malam dan bangun lebih awal
2. Apa yang dimaksud dengan restless leg syndrome?
Restless leg syndrome adalah keadaan dimana pasien mengalami sensasi tidak nyaman dan
sulit untuk dijelaskan yang muncul pada saat istirahat dan berkurang dengan gerakan seperti
berjalan. Kegelisahan ini terjadi selama keadaan sadar dan menyebabkan keterlambatan dalam
onset tidur. Gangguan gerakan tungkai periodik biasanya bersamaan dengan gangguan ini.
Defisiensi Fe, gagal ginjal, kehamilan, dan antidepresan SSRI umumnya terkait dengan restless
leg syndrome.
3. Bagaimana cara melakukan stimulus control therapy?
Pergi ke tempat tidur hanya bila mengantuk; mempertahankan jadwal rutin, menghindari tidur
siang, menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur, jika tidak jatuh tertidur (atau kembali tidur)
dalam waktu 20 menit, pergi dari tempat tidur dan lakukan kegiatan yang santai sampai
mengantuk kemudian kembali ke tempat tidur.
4. Apa efek samping dari agen hypnosis?
Efek yang diharapkan Efek Yang tidak diharapkan
(terutama triazolam dan zolpidem)
Depresi SSP Kantuk di siang hari
yang berlebihan Penurunan kinerja
tugas psikomotor (mengemudi)
Amnesia dengan konsentrasi obat maksimum
Koordinasi motorik buruk
Lainnya
Hyperexcitability Sleeplessness pre-awakening Kecemasan di siang hari
Amnesia hari berikutnyaMasalah psikiatriKebingunganGejala psikotikKurangnya inhibisi Lainnya
5. Apa efek dari penghentian agen hypnosis dan bagaimana cara mencegahnya?
Pada penghentian obat hipnosis setelah beberapa hari penggunaan, insomnia rebound
(perburukan gejala dengan pengurangan dosis, biasanya berlangsung 1-3 hari), efek withdrawal
fisik maupun psikologis, dan rekurensi mungkin dapat terjadi. Efek ini dapat diminimalkan
dengan tapering off secara bertahap baik dosis dan frekuensi pemberian (seperti setiap malam
ketiga). Tapering off yang sukses mungkin memerlukan beberapa minggu sampai bulan.
Kombinasi CBT dan taperingbenzodiazepine mungkin lebih bagus bila dibandingkan dengan
tapering saja
Q. REFERENSI
1. Gilman, S. and Manji, H. 2007. Oxford American Handbook of Neurology. Oxford University
Press.
2. Lee-Chiong Jr., T. 2008. Sleep Medicine: Essentials and Review. Oxford University Press.
3. Kushida, C. A. 2009. Handbook of Sleep Disorders. 2nd ed. Informa Healthcare USA, Inc : New
York.
4. Wickwire, E. M. and Collop, N. A. 2010. Insomnia and Sleep-Related Breathing Disorders.
Pubmed. www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed /20525657.
5. Geiser, G. A. et al. 2009. Clinical Practice Guidelines for the Management of Patients with
Insomnia in Primary Care. Ministry of Science and Innovation : Madrid.
6. Mai, E. and Buysse, D, J. 2009. Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential
Diagnosis, and Evaluation. American Psychiatric Association. Focus 7:491-498.
7. Schutte-Rodin S; Broch L; Buysse D; Dorsey C; Sateia M. 2008. Clinical Guideline for The
Evaluation and Management of Chronic Insomnia in Adults. J Clin Sleep Med. 4(5):487-504.
8. Kasper, Dennis et al. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine.16th Ed.Mc-Graw Hill.
9. Okun, M. L, et al. Physchometric Evaluation of The Insomnia Symptom Questionaire: a Self
Report Measure to Identify Chronic Insomnia. J Clin Sleep Med. 5(1):41-51.
10. Montgomery, P. and Lily, J. 2007. Insomnia in Elderly. British Medical Journal. Clinical
Evidence.10:2302.