8
, 350 ASPEK ETIK DAN HUKUM KE DOKTERAN*) _______ Oleh : H. Abdullah Cholil ______ -'- · PENDAHULUAN : "Imhotep dari Mesir, Hipocrates dari Yunani, Galenus dari Roma merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi- se ndi permulaan untuk terbinanya suatu tra- disi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan orgal\isasi kedokteran yang tampil ke forum in- temasional kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin ke- 'dokteran terse but atas suatu etik pro fe- sional. Etik tersebut sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat demi keselamatan da·, kepentingannya". Mukadimah KODEKI.- Kertas kerja ini dibuat dengan tujuan untuk membahas aspek etik kedok- teran yang harus diperhatikan dalam rangka mengem bangkan hukum k e- dokteran di Indonesia, khususnya de- mi pembinaan, pemeliharaan dan pela- yanan kedokteran yang sebaik-baiknya bagi masyarakat. Karena itu maka titik berat soro tan pembahasan dalam kertas kerja ini ad a- lah dari kepentingan kehidupan ma- syarakat profesi kedokteran di Indo - nesia dalam rangka mengusahakan kembangan keprofesiarr- yang positi f di masa depan. Kehidupan ke profe - sian' kedokteran yang positif akan berarti juga pelayanan, pemeliharaan '- dan pembinaan kesehatan masyarakat bangsa Indonesia yang lebih baik . Kertas kerja ini disusun berdasarkan penelaah an situasi kehidupan profesi kedokteran yang dirasakan oleh sebagi- an besar para dokter di Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan di- rasakan perlunya ada kepastian hukum dalam pengamalan profesi. Sistimatika kertas kerja ini disusun se bagai beriku t : I. Pendahuluan II. Permasalahan III. Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran. . . PERMASALAHAN: Kalau kita simak bersama situasi ma- sya rakat profesi kedokteran di Indo- nesia pada waktu terakhir ini, maka kita akan sependapat bahwa telah timbul adanya keresahan di kalangan para dokter mengenai perlindungan hukum terhadap pendalaman profesi. Khususnya setelah munculnya kasus dr. S. di Patio Dirasakan oleh sebagian besar · para dokter di Indonesia pada waktu itu adanya kepincangan dalam perlind ungan hukum terhadap penga- malan profesi. Memang masalah kasus Pati ini sempat mendapat sorotan yang tajam dan paling berbeda dari pelba- gai kelompok masyarakat. Yang paling dirasakan tidak masuk akal bagi ma- syarakat profesi kedokteran ialah se- • , Disajikan pada Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law) BPHN-IDI, 6-7 Juni 1983.

ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

,

350 •

ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

_______ Oleh : H. Abdullah Cholil ______ -'-·

PENDAHULUAN :

"Imhotep dari Mesir, Hipocrates dari Yunani, Galenus dari Roma merupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tra­disi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan orgal\isasi kedokteran yang tampil ke forum in­temasional kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin ke­'dokteran terse but atas suatu etik pro fe­sional. Etik tersebut sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat demi keselamatan da·, kepentingannya".

Mukadimah KODEKI.­

Kertas kerja ini dibuat dengan tujuan untuk membahas aspek etik kedok­teran yang harus diperhatikan dalam

• rangka mengem bangkan hukum ke-dokteran di Indonesia, khususnya de­mi pembinaan, pemeliharaan dan pela­yanan kedokteran yang sebaik-baiknya bagi masyarakat. Karena itu maka titik berat sorotan pembahasan dalam kertas kerja ini ada­lah dari kepentingan kehidupan ma­syarakat profesi kedokteran di Indo­nesia dalam rangka mengusahakan pe~'­

kembangan keprofesiarr- yang positif di masa depan. Kehidupan ke profe­sian ' kedokteran yang positif akan berarti juga pelayanan, pemeliharaan'­dan pembinaan kesehatan masyarakat bangsa Indonesia yang lebih baik .

Kertas kerja ini disusun berdasarkan penelaahan situasi kehidupan profesi

• kedokteran yang dirasakan oleh sebagi-an besar para dokter di Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan di­rasakan perlunya ada kepastian hukum dalam pengamalan profesi. Sistimatika kertas kerja ini disusun se bagai beriku t :

I. Pendahuluan II. Permasalahan III. Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran. . .

PERMASALAHAN:

Kalau kita simak bersama situasi ma­syarakat profesi kedokteran di Indo­nesia pada waktu terakhir ini, maka kita akan sependapat bahwa telah timbul adanya keresahan di kalangan para dokter mengenai perlindungan hukum terhadap pendalaman profesi. Khususnya setelah munculnya kasus dr. S. di Patio Dirasakan oleh sebagian besar ·para dokter di Indonesia pada waktu itu adanya kepincangan dalam perlindungan hukum terhadap penga­malan profesi. Memang masalah kasus Pati ini sempat mendapat sorotan yang tajam dan paling berbeda dari pelba­gai kelompok masyarakat. Yang paling dirasakan tidak masuk akal bagi ma­syarakat profesi kedokteran ialah se-

• , Disajikan pada Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law) BPHN-IDI, 6-7 Juni 1983.

Page 2: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

,

• .

. Etik dan hukum kedokteran

orang dokter wanita di tempat yang jauh dari fasilitas kesehatan yang leng­kap telah berusaha dengan bersungguh­sungguh dan maksimal mengatasi ke­adaan kritis pasiennya sebagai aki­bat reaksi anephilatic-shock tetapi akhirnya gagal, ternyata dinyatakan bersalah menurut hukum.

Dalam hal pengamalan profesi, khu­susnya segal a akibat dari transaksi theurapeutis dokter dengan pasien, masyarakat kedokteran mempunyai etik profesional sebagai panduan. Di Indonesia etik profesional ini telah dikukuhkan oleh Musyawarah Nasio­nal Etik Kedokteran berupa Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). ,

Di dalamnya telah dicantumkan 4 BAB terdiri dari 18 pasal serta dijelas­kan masing-masing pasal secara lebih terperinci. Adanya KODEKI serta ter­sedianya aparat pengatur dan pembina etik dalarn organisasi profesi (MKEK) maupun Depkes (P3EK) dipandang oleh masyarakat profesi kedokteran di Indonesia sebagai telah cukup untuk mengatasi pelbagai akibat yang timbul dalarn hal hubungan dokter dan pa-

• Slen.

Namun dalarn kenyataartnya ternyata masih bisa timbul kasus Pati dengan segala akibat sampingannya. Seorang dokter yang tidak ada pelanggaran etik sarna sekali dinyatakan bersalah me­langgar hukum. Akibat sampingan dari kasus Pati ter­sebut berupa keresahan dari kalangan dokter pasti juga akan mempengaruhi pelayanan kedokteran bagi masyarakat. Bisa berupa pelayanan substandard (pelayanan di bawah mutu yang seha­rusnya) ataupun mungkin pelayanan overstandard (pelayanan berlebih-Iebih an dari yang diperlukan). Kedua-dua-

- - -- - ---

nya tidak menguntungkan dan malah-- -

an merugikan bagi masyarakat. Karena itu sudah dirasakan perlu adanya hu-

,

351

kum formal yaitu hukum kedokteran yang marnpu memberlkan jaminan perlindungan hukum bagi pengamalan profesi kedokteran &. s~ping juga jaminan hukum bagi masyatakat yang menerima pelayanan kedokteran. Hukum fOIIllal ini semakin dirasakan karena memang sebagai akibat kema­juan pembangunan Indonesia, maka

masalah yang menyangkut pengamalan profesi kedokteran juga tidak seder­hana lagi tapi makin kompleks sifat­nya. Begitu pula kesadaran hukum masyarakat yang makin tinggi yang cenderung akan mencari penyelesaian formaldalam setiap masalah yang tirn­bul dalam kehidupannya. Melihat ke­cenderungan seperti itu m~a di masa dekat ini secara mutlak ' hukum ke­dokteran sudah diperlukan adanya di Indonesia. Hukum kedokteran yang akan dikem­bangkan dan yang marnpu memberi­kan kepastian akan ' jaminan hukum bagi pemberi pelayanan kedokteran dan penerirnanya haruslah dengan de­mikian memperhatikan etik profesio­nal . . Etik kedokteran mempunyiri ba-

• •

nyak aspek yang masing-masing ber-kaitan erat karen a saling menunjang dlllam menjamin tercapainya tujuan dan fungsi etik profesional tersebut. Kesemuanya demikehidupan dunia profesi kedokteran yang mantap. Ke­mantapan mana adalah sangat penting bagi pelayanan kedokteran untuk ma­syarakat yang sebaik-baiknya.

PEMBAHASAN :

Sebagairnana dikutip di bagian awal kertas kerja ini dari Mukadirnah KO­DEKI maka adanya etik profesional dalam dunia kedokteran sejak dulu dan sepanjang masa adalah untuk mengutamakan kepentingan dan lese­lamatan penderita yang berobat. Disamping tujuan tersebut di atas, maka etik profesional juga mengan-

. Juri 1984 •

'.

Page 3: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

, ,

• • ,

. •

, ,

352

dung maksud menjamin bahwa penga~ malan profesi kedokteran dilakukan harus senantiasa dengan niat yang lu­hur dan dengan eara yang benar. Tujuan Jain dari etik profesional ter­sebut juga memberikan perlindungan ,

dan penjagaan terhadap citra profesi dokter karen a citra ini ikut menentu­kan keberhasilan suatu upaya pengo­batan kepada penderita. Selanjutnya suatu etik profesional juga selalu ber­tujuan untuk memelihara adanya pelestarian dari profesi itu sendiri. Hal . ini merupakan manifestasi salah satu dari eiri Keprofesian adalah ada­nya mekanisme "self organizing, self diciplining & self perpetuating". KODEKI yang dihasilkan oleh Musya­warah KeIja Nasional Etik Kedokteran ke 2 bulan Desember 1981 memuat 4 bab yang terdiri dari 18 pasal. Kalau pasal-pasal terse but dicoba di­kelompokkan sesuai deng~ tujuan etik l'rofesional di atas maka akan ter-. .

, lihat' se bagai beriku t: I

a. Pasal-pasal yang mengharuskan pe­ngalaman profesi dengan motivasi yang benar sesuai dengan hake kat p,rofesi kedokteran sebagai pengab­di kemanusiaan (Pasal 1, Pasal 3, Pasal 10, Pasal 12 = 4 Pasal).

b. Pasal-pasal yang mengharuskan pe­ngamalan profesi dengan cara yang benar (pasal 2, Pasal 5, Pasal 8, Pa­sal 9, Pasal 11 = 5 Pasal). ,

c. Pasal-pasal yang bersifat menjaga ci-• •

tra profesi dokter(Pasal 4, Pasal 7, Pasal13, Pasal14 = 4 Pasal) . '

d. Pasal-pasal yang bersifat melestari­kan profesi kedokteran (Pasal 6, Pa-

• • sal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 = 5 Pasal).

I

(Bunyi ke 18 Pasal KODEKI tersebut dapat dilihat di lampiran). ,

I Dengan pengelompokan seperti di atas, akan menjadi jelas bahwa sesungguh-

,

I nya etik kedokteran mempunyai 2 tu-

Hukum dan Pembangunan

juan yang senantiasa berimbang yaitu tujuan mengutamakan kepentingan dan keselamatan penderita (yaitu pa­sal-pasal kelompok a dan b) di satu pi­hak serta tujuan perlindungan terha­dap masyarakat profesi kedokteran sendiri (yaitu pasal-pasal kelompok c dan d) di lain pih~. Jadi sesungguhnya bilamana KODEKI diamalkan dan diterapkan secara baik, benar dan tepat maka kiranya segala masalah yang ada kaitan dengan tran­saksi therapeuntis dokter dengan pasien akan dapat dijamin secara baik terselesaikan. Memang harus diakui bahwa pasa'l­pasal yang ada dalam KODEKI ber­sifat luas dan hanya garis besar saja. Sehingga sebagai ' panduan dan pedo­man tingkah laku dokter masih belum mencukupi. Karena itulah maka Mu­syawarah KeIja Nasional Etik Kedok­teran ke 2 juga telah menjabarkan le­bih terperinci pasal demi pasal dise­suaikan dengan perkembangan kemaju­an ilmu kedokteran serta sistem nilai yang berlaku di tengah masyarakat sekarang. Penjabaran dan penjelasan mana pada saatnya secara berkala harus disem­pumakan lagi disesuaikan dengan tun­tutan zaman. Dengan penjabaran ter­perin:ci tersebut diharapkan seluruh isi KODEKI dengan penjelasannya akan

I

mampu menjadi pedoman dan pandu-an bagi setiap dokter dalam pengamal­an profesinya. Untuk menjaga dan membina peng­hayatan dan pengamalan KODEKI oleh setiap dokter dalam pengamalan profesinya maka ada 2 aparatur etik kedokteran, yaitu :

- MKEK (Majelis KeholInatan Etik Kedoktera,n), badan khusus dari organisasi profesi IDI.

- P3EK (Panitia PertimbangaI/- dan Pembinaan Etik Kedokteran),

, I

ba~an non struktural Dep. Kes. RI , ' . \

,

I

Page 4: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

Etik dan hukum kedokteran

MKEK , badan khusus yang otonom dalam organisasi profesi IDI , adalah perangkat aparatur pembinaan etik ke­dokteran. Dalam AD/ART pasal 16 di­sebutkan sebagai mempunyai kekuasa­an dan wewenang untuk melakukan bim bingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan Etik Kedokteran. Selanjutnya disebut kewajibannya yai­tu antara lain memperjuangkan etik . kedokteran agar dapat ditegakkan di Indonesia. P3EK yang dibentuk berdasarkan Per. Men. Kes. Nomor 554 juga mempu­nyai tugas untuk memberi pertimbang­an ten tang Etik Kedokteran kepada Menteri Kesehatan serta menyelesai­kan persoalan etik kedokteran dengan mem beri pertim bangan dan usul kepa­da pejabat yang berwenang di bidang kesehatan. Secara legal fOlmal maka Panitia ini telah mempunyai landasan hukum dalam melaksanakan tugas pem binaan dan penyelesaian masalah etik kedokteran. Semua pelanggaran etik kedokteran yang dilakukan oleh dokter di Indo­nesia akan diselesaikan oleh salah satu

.

atau kerjasama kedua lembaga terse-but. Penyelesaian ataupun tindakan korcksi yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut senantiasa berpedo­man pada KODEKI dan karenanya akan menjamin secara berim bang ke­pentingan dan kL'sclamatan pasicn di satu pihak dan kcp entingan dan keles­tarian profesi kedokteran Ji lain pihak. Memang harus diakui bahwa pelang­garan suatu kode etik tidak menim­bulkan sanksi formal bagi pelakunya. Maka dari itu tindakan koreksinYfi yang dapat dilakukan pada kasus pe-,

langgaran umumnya adalah tegoran dan bimbingan dan maksimal adalah saran untuk tindakan administratif dari Departemen Kesehatan, sebagai suatu langkah pencegahan akan ke­mungkinan keterulangan pelanggaran

353

yang sarna di masa depan atau pence­gahan akan kemungkinan makin besar­nya intensitas pelanggaran tersebut di masa depan. Ketiadaan sanksi formal ini menim­bulkan ketidak puasan di kalangan organisasi profesi yang ingin mene­gakkan etik kedokteran sebaik-baik­nya. Bagaimana etik kedokteran bisa dite­gakkan lurus bilamana pelanggaran bi­sa dimungkinkan berjalan terus tanpa

kuasa menghentikannya. Itulah sebab-nya organisasi profesi IDI sudah lama memperjuangkan agar ijin praktek se­orang dokter dikaitkan kepada organi--sasi profesi dengan segala tanggung ja-wabnya. Dengan demikian p etik akan dapat dimungkinkan diberi­kan sanksi yang cukup kuat untuk mengherttikan yaitu bilamana perlu de­ngan pencabutan ijin prakteknya. Me­mang perjuangan terse but telah mem­peroleh sebagian keberhasilannya, yaitu dengan terbitnya Per. Men. Kes. Nomor 560 dan 561 tentang ijin prak­tek perseorangan dokter umum dan dokter spesialis . Dalam permenkes ter­sebut dipersyaratkan seorang dokter umum/spesialis mendapatkan reko­mendasi IDI bagi pengurusan pelmo­honan ijin praktek perorangan. Ma­salahnya adalah bilamana ijin telah dikeluarkan oleh Depkes untuk prak­tek , kemudian yang bersangkutan me­lakukan suatu pelanggaran etik, kemu­dian oleh MKEK diambil keputusan untuk pencabutan rekomendasi IDI, apakah ijin praktek terse but otomatis gugur? Demikianlah untuk tegaknya pelaksa­naan Etik Kedokteran dalam rangka menciptakan perlindungan terhadap penderita/masyarakat sekaligus juga Be­

cara berimbang memberikan perlin­dungan terhadap kehidupan profesi demi pelayanan kedokteran kepada masyarakat yang sebaik-baiknya maka

. Juli 1984

Page 5: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

354

kiranya hukum kedokteran yang akan dikem bangkan nanti perlu mengan­dung dukungan formal terhadap tegak­nya kode etik kedokteran Indonesia. Hukum kedokteran tersebut hendak-

. nya memberikan peluang bagi efek­tifnya tindakan koreksi yang diLaku­kan oleh organisasi profesi bagi suatu pelanggaran etik kedokteran. Dalam kaitan dengan tidak adanya sanksi formal bagi suatu pelanggaran etik seperti disebutkan di atas, maka sering penderita/masyarakat juga mera­sa tidak puas dengan cara penanganan organisasi profesi terhadap pengaduan/ keluhan mereka tentang seorang dok­ter yang dianggap telah melanggar etik. Dinilai oleh masyarakat bahwa organisasi profesi sangat lamban me­nyelesaikan pengaduan mereka, atau malahandianggap otomatis selalu membela dan melindungi dokter ang­goanya dengan mengorbankan kepen­tingan penderita/masyarakat. Sehingga seringkali mereka lebih cenderung untuk menempuh jalur formal dengan mengajukan pengaduannya melalui ins­tansi penegak hukum (polisi, jaksa, ke­pala Pemerintahan wilayah, dan lain­lain). Bilamana hal terakhir ini berlangsung terus maka sangat dirnungkinkan akan teIjadi suatu keadaan erosi citra pro­fesi dokter pada umumnya dan dokter yang oersangkutan pada khususnya yang pada gilirannya juga akan mem­pengaruhi . efektifitas kemampuan pengobatan/pertolongan tenaga dokter terse but. Di sam ping itu dengan ma-

kin seringnya kejadian pengaduan se-macam itu akan menirnbulkan situasi ,. "angt psychose" di kalangan dunia profesi kedokteran sehingga akan me­nyebabkan efek sampingan terhadap mutu pelayanan kedokteran bagi rna­syarakat luas seperti pernah terjadi se­bagai pengaruh samping, kasus dr. S. di Patio

HUkum dan Pembangunan

Maka demi menCegah teIjadinya gejala yang terakhir terse but di atas perlulah hukum kedokteran itu mengatur pula mekanisme yang jelas terhadap pena­nganan pengaduan dari penderita/ma­syarakat ten tang pengamalan profesi seorang dokter serta memberikan du­kungan formal terhadap keputusan apapun yang diambil oleh aparat pem­bina etik kedokteran (MKEK dan P3EK) terhadap suatu kasus pelang­garan etik. Tentu saja selama kasus terse but tidak termasuk kategori kasus

pidana ataupun perdata. Hukum ke-dokteran yang akan dikembangkan hendaknya memuat ketentuan bahwa setiap masalah yang tim bul dari peng­amalan profesi seorang dokter hendak­nya diajukan kepada aparatur etik kedokteran yang ada (MKEK dan atau P3EK). Pengaduan yang diterima oleh lembaga penegak hukum hendaknya diteruskan oleh lembaga terse but ke­pada aparatur etik kedokteran. Apa­ratur etik kedokteran akan mempela­jari dan menilai serta mengam bil ke­putusan tentang masalah terse but. Bi­lamana masalah terse but dinilai sebagai masalah etik profesional · maka akan diberikan putusan/sanksi sebagai penyelesaian. Bilamana memang masalah yang dipro­ses ternyata menyangkut masalah pi­dana atau perdata, aparatur etik akan rnerujukkan kepada instansi resmi yang berwenang menyelesaikannya. Segala keputusan aparatur etik kedok­teran tersebut baik berupa sanksi, rehabilitasi ataupun merujuk ke instan­si resmi lain agar didukung oleh hu­kum kedokteran secara formal se­hingga mengikat secara resmi dokter yang bersangkutan, masyarakat/peng­adu, maupun instansi pemerintah.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Pasal-pasal dalam KODEKI dapat

Page 6: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

Etik dan hukum kedokteran

dikelompokkan menjadi 4 , y: a. yang mengharuskan pen' nalan

profesi dengan motivasi . ng be­nar sesuai dengan hakekat profe­si kedokteran sebagai pengabdi kemanusiaan.

b. yang mengharuskan penga-malan profesi dengan cara y ang benar.

c. yang bersifat menjaga citra pro­fesi kedokteran.

d. yang bersifat melestarikan pro­fesi kedokteran .

2. Dengan demikian menjadi jelas bahwa ada dua tujuan berimbang dari KODEKI, yaitu di satu pihak mengutamakan kepentingan dan bagi penderita/masYiirakat dan di lain pihak 'memberikan perlin dung­an terhadap dunia profesi kedok­teran sendiri. Kedua hal ini penting demi pelayanan kedokteran yang sebaik-baiknya bagi rnasyarakat.

3. Ada dua aparatur etik kedokteran yang ada yaitu MKEK sebagai ba­dan khusus organisasi profesi IDI dan P3EK sebagai badan extra struktural dari Departernen Kese­hatan RI. Kedua lem baga ini ber­dasarkan AD/ART IDI (MKEK) dan Per. Men. Kes. Nornor 554 (P3EK) secara sendiri atau ber­sarna sudah mampu rnenyelesaikan setiap masalah yang berhubungan dengan pengamalan profesi kedok­teran.

4. Pelanggaran etik tidak ada sanksi formalnya yang mengikat sehingga tindakan koreksi atas pelanggaran­nya dirasakan oleh organisasi profe-

• si menjadi kurang efektif pelaksana-annya dalam rangka menegakkan etik kedokteran.

5. Kctiadaan sanksi formal bagi pe­langgaran etik juga menimbulkan

. ketidakpuasan di kalangan masya­rakat yang merasa dirugikan akibat suatu pelanggaran etik oleh seorang

355

dokter. Akibatnya bisa timbul ke­cenderungan untuk mengadukan se-

, orang dokter karen a pengamalan profesinya kepada instansi perne­rintah yang lain (Polisi, Kejaksaan , Kepala Pernerintah Wilayah) ..

6. Bilamana hal terse but menggejala maka akan menirnbulkan situasi "angt-psychose" di kalangan du-,

nia profesi kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi pela­yall,!ln kedokteran bagi masyarakat.

7 . Kiranya sudah saatnya untuk di­kern bangkan dan dibina hukurn ke­dokteran di Indonesia yang mam­pu rnenciptakan ketertiban dan ke­pastian hukum bagi kelancaran pe­layanan kedokteran yang sebaik­baiknya untuk masyarakat.

B. SARAN

1. Pemerintah agar dapat menerbit­kan hukum kedokteran untuk rnen­jarnin kepastian hukum bagi penga­rnalan profesi kedokteran, yang memuat beberapa aspek penting etik kedokteran sebagai berikut : - mernberikan jaminan perlindung­

an secara berimbang antara ke­pentingan penderita/penerima pelayanan kedokteran dan ke-

pentingan kehidupan profesi ke-dokteran y ang harus bercitra lu­hur sebagai pengabdi kemanu­siaan. Hal ini sangat penting ba­gi kebaikan dan efektifitas pela­yanan kedokteran bagi masyara-kat. .

- mernberikan dukungan secara formal sehingga keputusan yang diam bil oleh aparat etik kedok­teran mempunyai daya ikat res­mi untuk dipatuhi dan dihargai oleh dokter, penderita/masyara­kat, maupun instansi pemerintah dan aparat penegak hukum . memberikan kewenangan kepada aparat etik kedokteran sebagai

Juli 1984

Page 7: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

356

instansi pertama untuk menga­tasi semua masalah yang berhu­bungan dengan pengamalan pro­fesi kedokteran dan menentukan

sendiri apakah penyelesaian ma­salah terse but akan diselesaikan sendiri karena memang tidak ada unsur pidana dan perdata atau merujuknya ke instansi penegak hukum bilamana diperlukan.

2. Per. Men. Kes. nomor 554 yang memberlkan landasan formal kepa­da P3EK perlu disempurnakan ter­utama menyangkut beberapa hal; - Tugas dan kewajiban P3EK agar

ditingkatkan sehingga tidak ter­batas hanya memberlkan saran pertimbangan kepada pejabat di bidang kesehatan, tetapi meng-

"ambil keputusan yang final dan mengikat kepada semua pihak .

REFERENSI

1. Dokumen-MUKERNAS Etik Kedokteran ke-2; 2. KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia); 3. Sistem Kesehatan Nasional (Depkes);

• HUkum dan Pembangunan

Bilamana perlu juga disempurna­kan susunan P3EK terse but se­

memungkinkan peningkat an kemampuan melaksanakan tugasnya, baik atas coverage-ny a yaitu menangani bukan saja per­soalan yang menyangkut profesi kedokteran tapi juga semua ma­salah di bidang kesehatan , mau­pun atas kualitasnya yaitu agar secara legal profesional lebih mampu menjalankan tugas yang diembannya.

Kiranya dapat disempurnakan menjadi surat keputusan bersa­rna antara Menteri Kesehatan dan Menteri Kehakiman sehing­ga setiap keputusan P3EK dapat memperoleh pengakuan formal dari instansi penegak hukum.

4. PERMENKES Nomor 554/Menkes/Per/XII/1982; S. AD/ART IDI; 6. Dokumen Team Pengkajian Hukum Kedokteran (BPHN); 7. Dokumen Pengurus Besar IDI.

Pasa! 1 •

• •

LAMPIRAN PASAL-P ASAL KODEKI

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter .

Pasa! 2 : Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi.

. Pasa! 3 : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh di­pengarulii oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

Pasa! 4 : Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik : 4.1. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri. . 4.2. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan ketram­

pilan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi. 4 .3. Menerirna imbalan selain daripadajasa yang layak sesuai dengan jasanya,

kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau keheridak penderita .

Page 8: ASPEK ETIK DAN HUKUM KEDOKTERAN*)

,

Etik dan hukum kedokteran 357

Pasal 5

Pasal 6

Pasal 7

Pasal 8

Pasal 9

Pasal 10

Pasal II

Pasal12

Pasal13

Pasal 14

Pasal 15

Pasal 16

Pasal 17

Pasal 18

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

• •

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, baik jasmani rnaupun rohani hanya diberikan untuk kepentjpgan pen­derita.

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumurnkan dan rnene­rapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belurn diuji kebe­narannya.

Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibukti­kan kebenarannya.

Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutarnakan/rnenda­hulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), serta berusaha rnenjadi pendidik dan pengabdi rnasyarakat yang sebenarnya.

Setiap dokter dalam bekerja sarna dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakal harus mernelihara saling pengertian sebaik­baiknya.

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban rnelindungi hidup rnakhluk insani.

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan rnernpergunakan segala ilmu dan ketrarnpilannya untuk kepentingan penderita, Dalam hal ia tidak rnarnpu rne­lakukan suatu perneriksaan atau pengobatan rnaka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang rnernpunyai keahlian dalam penyakit terse but.

Setiap dokter harus mernberikan kesernpatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalarn beribadat dan atau dalarn rnasalah lainnya.

Setiap dokter wajib rnerahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya ten tang seorang penderita, bahkan juga setelah pen de rita itu rneninggal dunia.

Setiap dokter wajib rnelakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas peri­kernanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan rnampu untuk rnern berikannya.

Setiap dokter mernperlakukan ternan sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlukan.

Setiap dokter tidak boleh rnengarnbil alih penderita dari ternan sejawat tanpa persetujuannya.

Setiap dokter harus rnernelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.

Setiap dokter hendaknya senantiasa rnengikuti perkernbangan ilrnu pengeta­huan dan tetap setia kepada cita-cita yang luhur.

Kehidupan laksana secangkir air tell. Semakin rakus kita meminumnya, semakin cepat pula kita sampai kepada ampasnya. (Barrie)

Juli 1984