Upload
ichit-amina
View
30
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk
merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan
(misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin
polio).1
Lebih dari 12 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahun,
sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Serangan penyakit tersebut akibat status imunisasi dasar yang tidak lengkap pada
sekitar 20% anak sebelum ulang tahun yang pertama.2 Berdasarkan estimasi global
yang dilakukan WHO tahun 2007 pelaksanaan imunisasi dapat mencegah kurang
lebih 25 juta kematian balita tiap tahun akibat penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk
rejan). Di seluruh dunia, cakupan imunisasi DPT yang diterima bayi sebesar 81%.1
Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan Pengembangan Program
Imunisasi (PPI) secara resmi pada tahun 1997, yang menganjurkan agar semua anak
diimunisasi enam macam penyakit yaitu difteri, pertusis, tetanus, tuberkulosis, polio,
campak.2
Indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan antara lain adalah angka
kematian bayi,yaitu jumlah bayi (0-1 tahun) yang mati dari setiap 1000 kelahiran
hidup. Menurut perkiraan pada tahun 2000, 70% dari penyebab kematian bayi di
Indonesia yang utama adalah diare, radang saluran nafas atas dan penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi dan 37,94% diantara penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi dan penyakit difteri merupakan urutan keempat. Penyakit ini masih
merupakan masalah sampai anak berumur 14 tahun.3
Imunisasi merupakan salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat
efektif dalam penurunan angka kematian dan kesakitan pada bayi dan balita.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 IMUNISASI
2.1.1 Definisi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak di
berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu
penyakit tapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.2
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila ia terpajan pada antigen yang
serupa, tidak terjadi penyakit.4
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh membuat zat anti untuk
merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui
suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya
vaksin polio).4
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit.1
2.1.2 Tujuan Imunisasi
Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu
dari dunia.4
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini,
penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis),
campak (measles), polio dan tuberkulosis.4
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi
agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan
2
oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi antara
lain:2,3,4
1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular
2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular
3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas
(angka kematian) pada balita
2.1.3 Manfaat Imunisasi1,3,5
a. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
b. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila
anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin
bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
2.1.4 Macam-Macam Imunisasi2,3,4,5
Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan
efek-efek yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu:
a. Imunisai aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan
(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan
suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat
mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio
dan campak.
b. Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara
pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses
infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi
dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk
mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh
3
imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang
yang mengalami luka kecelakaan dan imunisasi campak.
Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun
diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).
Berikut ini adalah macam-macam imunisasi pada balita :
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan Tuberkulosis
(TBC) disebabkan oleh sekelompok bakteri Mycobacterium
tuberculosis complex. Imunisasi BCG memberikan kekebalan aktif
terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Imunisasi BCG optimal
diberikan pada umur 2-3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan
yang lebih luas, Kementrian Kesehatan menganjurkan pemberian
imunisasi imunisasi BCG pada umur 1 bulan. Apabila BCG
diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin
negatif. Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan, BCG dapat
diberikan namun perlu observasi selama 7 hari. Apabila terdapat
reaksi local cepat di tempat suntikan, perlu tindakan lebih lanjut
(tanda diagnostik TB).
Vaksin BCG Dosis 0,05 cc diberikan secara intrakutan
didaerah lengan kanan atas pada insersio m.deltoideus. Hal ini
mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih
mudah dilakukan, ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur
otot setempat. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Vaksin
BCG tidak dapat mencegah infeksi TB, namun dapat mencegah
kompliksinya.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan
pada pasien imunokomprimais. bakteri tuberculosis bacillus yang
telah dilemahkan.
4
2. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B (HepB) harus segera diberikan setelah
lahir. Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12
jam) setelah lahir, mengingat sekitar 3,9% ibu hamil mengidap
hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar
45%. HepB-1 saat lahir, diberikan baik pda ibu dengan status HbsAg
yang tidak diketahui, positif atau negatif Imunisasi HepB-2
diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB-1. Untuk
mendapat respon yang optimal, interval imunisasi HepB-2 dengan
HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi HepB-3
diberikan pada umur 3-6 bulan.
Kementrian Kesehatan mulai tahun 2006 memberikan vaksin
HepB-0 monovalen saat lahir, dilanjutkan dengan kombinasi vaksin
kombinsi DTP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB
diberikan dalam kombinsi dengan DTP untuk mempermudah
pemberian dan meningkatkan cakupan HepB. Sejak tahun 2014,
vaksin DTP/HepB dikombinasi dengan vaksin Hib menjadi vaksin
pentavalen DTP/HepB/Hib.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum
pernhmemperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan
imnisasi HepB dengan jadwal 3 kali pemberian. Ulangan imunisasi
hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila
kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs<10 mikrogram/ml).
3. Imunisasi DTwP (whole cell pertusis ) dan DTaP (acellular
pertusis)
Saat ini telah ada vaksin DTaP disamping vaksin DTwP yang
telah dipakai selama ini.Kedua vaksin tersebut dapat digunakan
secara bersamaa dalam jadwal imunisasi. Imunisasi dasar DPT
5
diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval
terbaik diberikan 8 minggu. Jadi DTP-1 diberikan pada umur 2
bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan.
Ulangan booster DTP selanjutnya (DTP-4) diberikan 1 tahun setelah
DTP-3 yaitu pada umur 18024 bulan dan DTP-5 pada saat masuk
sekoah pada umur 5 tahun.
Imunisasi DTP booster ke-2 (DTP-5) pada umur 5 tahun harus
tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya
diberikan DTaP untuk mengurangi demam paska imunisasi). DTwP,
DTaP, DT atau Td adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular,
baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin DTP dapat
diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain sebagai vaksin
tetravalent yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwP/Hib,DTaP/IPV,
atau vaksin pentavalen HepB/Hib, DTaP/Hib/IPV sesuai jawdal.
4. Imunisasi Polio
Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1,2, dan 3.
OPV, virus hidup dilemahkan, tetes, oral
IPV, virus inaktif, suntikan
Kedua vaksin polio tersebut dapat diberikan pada anak sehat
maupun anak yang menderita immunokompromais, dan dapat
diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan
Polio-0 diberikan saat bayi lahir atau pada kunjungan pertama
sebagai tambahan untuk mendapatkan caupan imunisasi yang tinggi.
OPV diberikan saat bayi dipulangkan dari RS/RB untuk
menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain yang
sakit/immunokomprimais karena virus polio vaksin diekskresi
melalui tinja. Selanjutnya dapat diberikan vaksin OPV atau IPV.
6
Untuk imunisasi dasar (polio 1,2,3) diberikan pada umur 2,4,6 bulan.
Interval anatara 2 imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
OPV diberikan 2 tetes per oral. IPV dalam kemasan 0,5 ml,
intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri maupun dalam
kemasan kombinasi. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak
imunisasi polio 4, selanjutnya masuk sekolah (5-6 tahun).
5. Imunisasi Campak
Campak diberikan untuk mencegah anak terkena penyakit
campak. Jadwal imunisasi campak diberikan 3 kali yaitu pada saat
anak umur 9 bulan, 24 bulan ketika antibodi maternal (antibodi anti
campak milik ibu yang masuk ke bayi ketika masih dalam
kandungan) sudah hilang. Imunisasi campak yang kedua diberikan
lagi ketika anak masuk SD atau usia anak 6 tahun.Untuk anak yang
telah mendapat imunisasi MMR umur 15-18 bulan, imunisasi
campak pada umur 24 bulan tidak diperkenankan.Saat ini ada 2
macam vaksin campak, yang pertama berisi virus campak yang
dilemahkan dan yang kedua berisi virus campak yang dimatikan.
Yang banyak dipakai adalah vaksin campak yang berisi virus yang
dilemahkan. Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil,
anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati,
pasien kanker atau transplantasi organ, anak yang mendapat obat
imunosupresi (obat penekan system imun) jangka panjang. Anak
yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti
kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam 1 dosis 0,5 ml
secara subkutan dalam adalah 0,5 ml. Imunisasi campak kadang,
5%-15% kasus, membuat anak demam hingga 39,5oC pada hari ke
5-6 sesudah imunisasi. Demam berlangsung selama 2 hari. Ruam
7
(bercak-bercak merah) dapat dijumpai pada 5% anak, timbul pada
hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2- hari.
6. Imunisasi Hib
Vaksin Hib yang berisi PRT-T diberikan pada anak umur 6
bulan. Hib diberikan pada umur 2,3,4,18 bulan kombinasi dengan
DTP-Hep B. 1 dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara IM.
Program imunisasi nasional menggunakan DTwP/HepB/Hib. Vaksin
Hib PRT-T pelu diulang pada umur 18 bulan. Apabila anak datang
pada umur 1-5 tahun, Hib cukup diberikan 1 kali.
7. Imunisasi Pneumokokus
Vaksin PCV diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun.
Dosis dan interval pemberian sesuai umur. Vaksin PCV dosis 5 ml
disuntikkan secara IM. Dosis pertama tidak dibeikan sebelum umur
6 minggu. Untuk bayi BBLR (<1.500 g) vaksin diberikan setelah
umur 6-8 minggu, tanpa memperhatikan umur kehamilan. Dapat
diberikan bersama vaksin lain. Dengan mempergunakan syringe
secara terpisah, dan disuntikkan pada sisi badan yang berbeda.
8. Imunisasi Influenza
Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6-23 bulan, baik
anak sehat maupun dengan resiko. Imunisasi influenza diberikan
setiap tahun. Indikasi lain yaitu anak yang tinggal dengan kelompok
resiko tinggi atau pekerja sosial yang berhubungan dengan
kelompok risiko tinggi. Dosis:
Umur 6-35 bulan yaitu 0,25 ml
Umur >3 tahun yaitu 0,5 ml
8
Umur <8 tahun, untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis
dengan interval minimal 4 minggu atau lebih, pada tahun
berikutnya hanya diberikan 1 dosis
Vaksin diberikan secara IM pada paha anterolateral atau deltoid
9. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR diberikan lewat suntikan intarmuskular (ke
dalam otot) atau subkutan (suntikan dibawah kulit). Imunisasi MMR
diberikan pada anak umur 15-18 bulan.Minimal interval 6 bulan
antara imunisasi campak (9bulan) dan MMR. MMR minimal
diberikan 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain.
Apabila.seorang.anak.telah.mendapatkan.imunisasi MMR pada umur
12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan
pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Setelah imunisasi MMR
dapat terjadi demam, muncul ruam, anak lesuh yang sering terjadi 1
minggu setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari. Kejang
demam timbul pada 0,1% anak. Yang tidak boleh diimunisasi MMR
anak yang menderita kanker yang tidak diobati, anak yang mendapat
obat yang menurunkan respon imun atau steroid dosis tinggi, anak
dengan alergi berat terhadap gelatin atau obat neomisin, anak dengan
demam akut, anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi
MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir.
Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus
hidup
10. Tifoid
Imunisasi ini diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan
dilakukan setiap 3 tahun. Dosis 0,5 ml secara IM.
9
11. Hepatitis A
Di samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal saat
ini telah ada vaksin kombinasi HepB/HepA.
Vaksin HepA diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Vaksin
kombinsi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dri 12 bulan.
Kemasan cair 1 dosis/vial 0,5 ml. Dosis pediatrik 720 ELISA units
diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan, IM di daerah deltoid.
Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 mikrogram dan HepA 720
ELISA units).
12. Imunisasi Varisela
Imunisasi varisela diberikan pada anak umur >1 tahun. Untuk anak
yang ada kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah
apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak. Dosis
0,5 ml, subkutan, 1 kali. Untuk anak umur >13 tahun atau dewasa,
diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu. memberikan perlindungan
terhadap cacar air.
10
2.2 IMUNISASI DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus)
A. Fungsi
Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit sekaligus, yaitu
difteri, pertusis, tetanus.4
B. Cara Pemberian Dan Dosis4
Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi intramuskular.
Suntikan diberikan pada paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5
cc. Cara memberian vaksin ini, sebagai berikut:
Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan
seluruh kaki telanjang
Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi
Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk
Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat
Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk
ke dalam otot. Untuk mengurangi rasa sakit, suntikkan secara pelan-
pelan.
Pemberian vaksin DPT dilakukan tiga kali mulai bayi umur 2 bulan
sampai 11 bulan dengan interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali
karena pemberian pertama antibodi dalam tubuh masih sangat rendah,
pemberian kedua mulai meningkat dan pemberian ketiga diperoleh cukupan
antibodi. Daya proteksi vaksin difteri cukup baik yiatu sebesar 80-90%, daya
proteksi vaksin tetanus 90-95% akan tetapi daya proteksi vaksin pertusis
masih rendah yaitu 50-60%, oleh karena itu, anak-anak masih
berkemungkinan untuk terinfeksi batuk seratus hari atau pertusis, tetapi lebih
ringan.
11
Dosis yang diberikan untuk toksoid difteri dinyatakan dalam jumlah
unit Flocculate(Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan
1 unit antitoksin difteria. Kekuatan vaksin DPT saat ini berkisar antara 6,7-25
Lf dalam dosis 0,5 ml.
Dosis toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi sebesar 40 IU
dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteri dan
vaksin pertusis.
C. Efek Samping4
Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek
ringan seperti terjadi kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan
dan demam, sedangkan efek berat bayi gelisah dan menangis hebat kerena kesakitan
selama beberapa jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok.
D. Cara Penyimpanan1,2
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan
potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus
disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperature 2-8° C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT,
Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku.
Cara penyimpanannya yaitu:
Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin
merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperature
lingkungan.
Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari
langsung seperti pada vaksin polio tetes dan vaksin campak. Kerusakan juga
dapat terjadi apabila terlalu dingin atau beku seperti pada toksoid difteria, toksoid
tetanus, vaksin pertusis (DPT, DT), Hib conjugated, hepatitis B, dan vaksin
influenza.
12
Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada vaksin
DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun
dikocok sekuat-kuatnya. Sedangkan vaksin lain tidak akan berubah penampilan
fisik walaupun potensinya sudah hilang / berkurang.
Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak.
2.2.1 Difteri2,4,6
a) Definisi
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit
ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian
atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang
membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi.
b) Etiologi6
Corynebacterium difteri adalah kuman batang “gada” gram positif, (basil
aerob) dengan ukuran 1 hingga 8 μm dan lebar 0,3 hingga 0,8 μm, tidak
bergerak, pleomorfik dan tidak berkapsul. Kuman ini tidak membentuk spora,
tahan dalam keadaan beku dan kering, dan mati pada pemanasan 60°C.
c) Faktor Resiko Difteri
Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri
sebelumnya dan kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah
terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi
DPTsecara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi
DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
13
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi
kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas
vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi
yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang
berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya
imunisasi rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari
rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.
d) Patogenesis6
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet
infection. Selainitu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan
yang terkontaminasi.
Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan
invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal
pada membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan
eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem
limfatik.
Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah.
Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen
B (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida (gambar 5).
Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada
reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
14
dalam menimbulkan efek toksik pada sel Reseptor toksin difteri pada membran
sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan
cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel,
dan selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan
mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke
sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel.4,6
Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua
fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan
proliferasi bakteri.
2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena
terjadi hambatan sintesa protein dalam sel.
Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun
virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat
bakteri berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan
kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah
pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal,
dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang
rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan
(psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah
membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan
eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning,
atau abu-abu, dan ini sering disebut dengan “simple tonsilar exudate”.
Kerusakan jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah
sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan
menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal.
15
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf.
Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan
mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udem, dan interstitial
fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan
peradangan setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada
perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat
terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik.
Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul
dalam 10 – 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 – 7
minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak udim, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan
menimbulkan bengkak pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis
e) Manifestasi Klinis Difteri
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan
bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan
kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
16
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang
sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik,
tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi
38,9°C.2,8
Difteri hidung6
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung pada awalnya serous,
kemudian serosanguinus, pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekret
bisa hanya berasal dari satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Sekret hidung bisa
menjadi mukopurulen dan dijumpai ekskoriasi pada lubang hidung luar dan bibir
bagian atas yang terlihat seperti impetigo. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Sekret hidung kadang mengaburkan
adanya membran putih pada septum nasi
Difteri tonsil faring7
Gejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri
tenggorokan, demam sampai 38,5 °C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau,
anoreksia, dan malaise. Dalam 1 – 2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih – kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum
molle atau ke bawah ke laring dan trakea.
17
Difteri laring6
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, jarang sekali
dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe
infectious croups yang lain, seperti stridor yang progresif, suara parau, dan batuk
kering.2,14 Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane
dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Pada difteri laring yang terjadi sebagai
perluasan dari difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia dimana didapatkan demam tinggi, lemah, sianosis,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena
bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
2.2.2 Pertusis4,7
Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh kuman Bordetella Pertussis, merupakan bakteri batang yang
bersifat gram negative dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman
ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang rangsang batuk menjadi
rendah sehingga bila terjadi sedikit saja rangsangan akan terjadi batuk yang hebat
dan lama, batuk terjadi beruntun dan pada akhir batuk menarik napas panjang
terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Batuk bisa
mencapai 1-3 bulan, oleh karena itu pertusis disebut juga “batuk seratus hari”.
Penularan penyakit ini dapat melalui droplet penderita. Pada stadium
permulaan yang disebut stadium kataralis yang berlangsung 1-2 minggu, gejala
18
belum jelas. Penderita menunjukkan gejala demam, pilek, batuk yang makin lama
makin keras. Pada stadium selanjutnya disebut stadium paroksismal, baru timbul
gejala khas berupa batuk lama atau hebat, didahului dengan menarik napas panjang
disertai bunyi “whoops”. Stadium paroksismal ini berlangsung 4-8 minggu. Pada
bayi batuk tidak khas, “whoops” tidak ada tetapi sering disertai penghentian napas
sehingga bayi menjadi biru. Akibat batuk yang berat dapat terjadi perdarahan
selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan disekitar mata (oedema
periorbital). Pada pemeriksaan laboratorium asupan lendir tenggorokan dapat
ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).4,7
Batuk rejan adalah penyakit yang menyerang saluran udara dan
pernapasan dan sangat mudah menular. Penyakit ini menyebabkan serangan batuk
parah yang berkepanjangan. Diantara serangan batuk ini, anak akan megap-megap
untuk bernapas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah-muntah dan
serangan batuk dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Dampak batuk rejan
paling berat bagi bayi berusia 12 bulan ke bawah dan seringkali memerlukan
rawat inap dirumah sakit. Batuk rejan dapat mengakibatkan komplikasi seperti
pendarahan, kejang-kejang, radang paru-paru, koma, pembengkakan otak,
kerusakan otak permanen, dan kerusakan paru-paru jangka panjang. Sekitar satu
diantara 200 anak di bawah usia enam bulan yang terkena batuk rejan akan
meninggal. Batuk rejan dapat ditularkan melalui batuk dan bersin orang yang
berkena penyakit ini.7
19
2.2.3 Tetanus3,4,8
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada
manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang
tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri
lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin
yang bernama tetanospasmin.8
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada
neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik,
tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.
Patogenesis8
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a.Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b.Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia
mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal
dan menginhibisi terhadap batang otak.
20
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter
sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling
sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.8
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Gejala Klinis8
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih
lama 3 atau beberapa minggu ).
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
4. Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus
Kharakteristik dari tetanus:
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
21
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena
spasme Otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal
tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara
terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung.
22
Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan
oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-
otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40
C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis.
Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat
yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang
tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Diagnosis8
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa :
1.Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus
( sardonic smile ).
23
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
24
25
26