31
34 Universitas Indonesia BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) 2.1 Bentuk Perjanjian Pada umumnya perjanjian standar dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan berbentuk formulir yang isinya telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita Karya Cabang Sarana Papan terdiri dari 20 pasal. Apabila dilihat dari segi substansi merupakan perjanjian standar yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan bukan merupakan akta otentik. Mengenai akta otentik, penjelasannya diatur di dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: 63 “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata, akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. Namun, akta yang demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, degan syarat apabila akta tersebut ditandatangani para pihak 64 . Pembahasan mengenai akta di bawah tangan dapat ditemukan pada Pasal 1874 KUH Perdata. Menurut pasal tersebut, akta di bawah tangan merupakan tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan 65 , dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak, dan secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat (meliputi: surat-surat, register- 63 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 475. 64 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. Ketujuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 566. 65 “Istilah dibawah tangan” dipahami bahwa akta yang dimaksud tidak dibuat dan ditandatangani dihadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum). Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

  • Upload
    lamkhue

  • View
    240

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

34 Universitas Indonesia

BAB 2

Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

2.1 Bentuk Perjanjian

Pada umumnya perjanjian standar dibuat dalam bentuk akta di bawah

tangan berbentuk formulir yang isinya telah ditentukan secara sepihak oleh salah

satu pihak dalam perjanjian. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita

Karya Cabang Sarana Papan terdiri dari 20 pasal. Apabila dilihat dari segi

substansi merupakan perjanjian standar yang dibuat dalam bentuk akta di bawah

tangan bukan merupakan akta otentik. Mengenai akta otentik, penjelasannya

diatur di dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi:63 “suatu akta otentik

ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat

oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu

ditempat dimana akta dibuatnya”.

Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat

yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat

yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal

1869 KUH Perdata, akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil

sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.

Namun, akta yang demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan,

degan syarat apabila akta tersebut ditandatangani para pihak64.

Pembahasan mengenai akta di bawah tangan dapat ditemukan pada Pasal

1874 KUH Perdata. Menurut pasal tersebut, akta di bawah tangan

merupakan tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan65, dibuat sendiri

oleh seseorang atau para pihak, dan secara umum terdiri dari segala jenis tulisan

yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat (meliputi: surat-surat, register-

63 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 475. 64 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. Ketujuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 566. 65 “Istilah dibawah tangan” dipahami bahwa akta yang dimaksud tidak dibuat dan ditandatangani dihadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum).

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 2: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

35

Universitas Indonesia

register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa

permintaan pejabat umum)66.

Daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi

derajat akta otentik. Akta otentik memiliki 3 (tiga) jenis daya kekuatan yang

melekat padanya, yang terdiri dari daya pembuktian luar67, formil68 dan materiil69.

Tidak demikian halnya dengan akta di bawah tangan. Pada dirinya tidak melekat

daya kekuatan pembuktian luar, tetapi hanya terbatas pada daya kekuatan

pembuktian formil dan materiil dengan bobot kualitas yang jauh lebih rendah

dibanding dengan akta otentik70.

2.2 Konstruksi Perjanjian

a. Bagian Pembukaan

1) Nama perjanjian : “Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Kavling”:

a) bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1342, jika kata-

kata suatu perjanjian adalah jelas, maka tidak

diperkenankan untuk melakukan penafsiran

b) bahwa sesuai dengan kata-kata yang tertera dengan

jelas pada nama atau judul perjanjian serta dikaitkan

66 M. Yahya Harahap, Loc. Cit. hal. 590. 67 Pada kekuatan pembuktian luar akta otentik melekat prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta otentik harus dianggap benar sebagai akta otentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya. 68 Daya pembuktian formil titik permasalahannya menyangkut kebenaran identitas tanda tangan dan penanda tangan. Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta. Berdasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui, siapa saja atau orang yang menandatangani akta dibawah tangan: (1) dianggap benar menerangkan seperti apa yang dijelaskan dalam akta; (2) berdasar kekuatan formil yang demikian, meski dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan: surat keterangan yang saya tanda tangani benar berisi keterangan saya;(3) dengan demikian daya kekuatan pembuktian akta bawah tangan tersebut, meliputi: (a) kebenaran identitas penandatangan; (b) menyangkut kebenaran identitas orang yang memberi. 69 Daya pembuktian materiil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebenaran isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan. Benar atau tidak isinya? dan sejauh mana kebenaran isinya yang tercantum di dalamnya? Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya pembuktian materiil adalah: (1) secara materiil isi keterangan yang tercantum di dalam akta dibawah tangan, harus dianggap benar; (2) dalam arti, apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya; (3) dengan demikian secara materiil, isi yang tercantum dalam akta dibawah tangan mengikat kepada diri penanda tangan. 70 M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 591.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 3: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

36

Universitas Indonesia

pada bagian isi perjanjian selanjutnya, maka

penggunaan nama atau judul perjanjian in casu

adalah sudah tepat dan benar.

2) Tempat dan waktu perjanjian

3) Pernyataan awal (recitals):

a) bahwa recitals dalam suatu perjanjian memberikan

maksud dari diadakannya suatu perjanjian

b) bahwa pengembang adalah perusahaan yang

bergerak di bidang pengembangan pembangunan

perumahan yang telah mendapat izin lokasi dari

pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan

wilayah pemukiman yang terletak di Tembalang,

kecamatan Tembalang, Kabupaten/Kotamadya

Semarang, Propinsi Jawa Tengah

c) bahwa Pengembang bermaksud menjual kepada

Pembeli, sebagaimana Pembeli bermaksud membeli

dari Pengembang sebidang tanah, yang letak, luas

serta kondisi lainnya akan diuraikan lebih lanjut

dalam perjanjian

d) berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, para

pihak telah sepakat untuk mengadakan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli dengan syarat-syarat dan

kondisi-kondisi yang ditentukan dalam perjanjian

ini.

b. Isi/Pasal-pasal dalam Perjanjian

1) Pasal 1 : Obyek Perjanjian Pengikatan Jual Beli

2) Pasal 2 : Harga Kavling Siap Bangun (KSB) dan cara

pembayaran

3) Pasal 3 : Pembangunan KSB

4) Pasal 4 : Serah terima KSB

5) Pasal 5 : Pemeliharaan KSB

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 4: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

37

Universitas Indonesia

6) Pasal 6 : Penggunaan KSB

7) Pasal 7 : Pendirian bangunan

8) Pasal 8 : Jaminan Pengembang

9) Pasal 9 : Jaminan Pembeli

10) Pasal 10 : Pajak-pajak dan biaya-biaya

11) Pasal 11 : Pengalihan/pengoperan hak

12) Pasal 12 : Ketentuan pembatalan perjanjian dan sanksi

13) Pasal 13 : Penandatanganan akta jual beli

14) Pasal 14 : Pemeliharaan lingkungan

15) Pasal 15 : Keadaan memaksa

16) Pasal 16 : Perselisihan

17) Pasal 17 : Domisili hukum

18) Pasal 18 : Perjanjian tambahan

19) Pasal 19 : Ketentuan lain

20) Pasal 20 : Pemberitahuan dan perubahan alamat

c. Bagian Penutup

“Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling dibuat rangkap 2 (dua),

masing-masing bermaterai cukup, keduanya mempunyai kekuatan

hukum yang sama dan mulai berlaku sejak hari dan tanggal

ditandatangani”.

2.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak

a. Hak Pengembang

1) Pasal 2 ayat (3), Pembayaran Tanda Pemesanan KSB

maupun pembayaran angsuran berikutnya sebagaimana

Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas dibayarkan oleh Pembeli

kepada Pengembang di kantor Pengembang atau ditransfer

ke dalam rekening pada Bank Tabungan Negara (BTN)

Cabang Jl. Jenderal Sudirman Yogyakarta Rekening No.

00005.01.30.000030.8. dan pembayaran tersebut baru

dianggap diterima oleh Pengembang, jika uang yang

ditransfer tersebut telah masuk ke dalam rekening

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 5: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

38

Universitas Indonesia

Pengembang, selanjutnya Pengembang akan menerbitkan

kuitansi untuk itu

2) Pasal 11 ayat (2), dalam hal Pengembang memberi

persetujuan kepada Pembeli untuk mengalihkan KSB

tersebut kepada Pihak Ketiga, maka Pembeli menyetujui

serta sepakat untuk membayar kepada Pengembang biaya

administrasi sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga

transaksi, pembayaran tersebut harus dilakukan sebelum

atau pada saat pengalihan dilakukan

3) Pasal 12 ayat (3) angka 2, Pengembang berhak melakukan

penjualan atas KSB tersebut kepada pihak lain, baik di

hadapan umum maupun di bawah tangan dengan harga

yang ditentukan oleh Pengembang

4) Pasal 12 ayat (3) angka 3, Pengembang berhak untuk

memotong sebesar 20% (dua puluh persen) dari harga

transaksi, dan PPN, serta Pembeli wajib mengganti biaya-

biaya yang telah dikeluarkan oleh Pengembang sampai saat

pembatalan dan oleh karena pembatalan, sedangkan sisanya

akan dikembalikan oleh Pengembang kepada Pembeli

selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari

kalender setelah Pengembang berhasil menjual KSB

tersebut kepada pihak lain.

b. Hak Pembeli

1) Pasal 3 ayat (3), menerima pembayaran ganti rugi

Jika Pengembang lalai menyerahkan KSB kepada Pembeli

pada waktu yang ditentukan, dengan tenggang waktu 60

(enam puluh) hari, maka Pengembang diwajibkan

membayar denda keterlambatan penyerahan tersebut

sebesar Rp. 15.000 (lima belas ribu rupiah) untuk setiap hari

keterlambatannya terhitung sejak tenggang waktu 60 (enam

puluh) hari ini berakhir. Dengan syarat bahwa Pembeli telah

melunasi seluruh harga transaksi dan denda-denda bila ada.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 6: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

39

Universitas Indonesia

Besarnya denda keterlambatan ini maksimum 5% (lima

perseratus) dari harga KSB yang disepakati pada Pasal 2

ayat (1)

2) Pasal 4 ayat (1), menerima penyerahan KSB

Pengembang mensyaratkan bahwa Pembeli berkewajiban

membangun bangunan rumah tinggal di atas KSB tersebut

atas biaya Pembeli sendiri dan harus diselesaikan dalam

waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak penyerahan KSB sesuai

Pasal 3 ayat (2) perjanjian ini.

c. Kewajiban Pengembang

1) Pasal 3 ayat (2), Pengembang berkewajiban untuk

menyelesaikan pembangunan prasarana bagi terbentuknya

KSB serta menyerahkan KSB pada Pasal 1 ayat (2) kepada

Pembeli selambat-lambatnya pada akhir bulan Juli 2004

(setelah Pembeli memenuhi seluruh kewajiban pembayaran)

2) Pasal 3 ayat (3), jika Pengembang lalai menyerahkan KSB

kepada Pembeli pada waktu yang ditentukan, dengan

tenggang waktu 60 (enam puluh) hari, maka Pengembang

diwajibkan membayar denda keterlambatan penyerahan

tersebut sebesar Rp. 15.000 (lima belas ribu rupiah) untuk

setiap hari keterlambatannya terhitung sejak tenggang

waktu 60 (enam puluh) hari ini berakhir. Dengan syarat

bahwa Pembeli telah melunasi seluruh harga transaksi dan

denda-denda bila ada. Besarnya denda keterlambatan ini

maksimum 5% (lima perseratus) dari harga KSB yang

disepakati pada Pasal 2 ayat (1)

3) Pasal 4 ayat (1), dalam hal KSB yang menjadi obyek dari

perjanjian ini selesai dibangun, dan Pembeli telah

memenuhi semua kewajiban pembayaran sebagaimana

tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas, maka

Pengembang akan menyerahkan KSB kepada Pembeli.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 7: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

40

Universitas Indonesia

d. Kewajiban Pembeli

1) Pasal 6 ayat (1), Pembeli wajib terikat untuk menggunakan

KSB sebagai rumah tempat tinggal dan/atau sesuai dengan

tujuan peruntukkan yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan

segala akibat yang timbul karena penggunaan yang tidak

sesuai dengan tujuan peruntukkannya menjadi tanggung

jawab Pembeli sepenuhnya

2) Pasal 6 ayat (2) sehubungan dengan penggunaan KSB,

Pembeli terikat dan senantiasa harus mentaati “Peraturan

Tata Tertib Lingkungan” yang dikeluarkan oleh

Pengembang (Pihak Ketiga yang ditunjuk Pengembang)

dan/atau RT setempat, antara lain tidak terbatas pada:

2.1 Peraturan tentang pemeliharaan dan kebersihan

lingkungan serta keamanan lingkungan

2.2 Peraturan tentang penggunaan KSB

2.3 Peraturan-peraturan lain yang akan dikeluarkan /

ditentukan kemudian oleh Pengembang.

3) Pasal 10 ayat (1) Jika oleh peraturan atau keadaan tertentu,

suatu pajak, iuran atau biaya menjadi tanggungan pembeli

dan telah/atau harus dibayar oleh Pengembang terlebih

dahulu, maka Pembeli berkewajiban untuk membayar

kembali sesuai dengan tagihan yang diajukan oleh

Pengembang seketika dan sekaligus.

2.4 Klausul-klausul dalam Perjanjian yang Memberatkan Pembeli

Setelah meneliti formulir Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT.

Waskita Karya Cabang Sarana Papan, Penulis menemukan dimuatnya beberapa

klausul di dalam perjanjian tersebut yang memberatkan Pembeli, termasuk berupa

klausul-klausul eksemsi. Beberapa klausul yang memberatkan pihak Pembeli

tersebut akan Penulis bahas lebih mendalam sebagaimana uraian di bawah ini.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 8: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

41

Universitas Indonesia

2.4.1 Hak Pengembang untuk Melakukan Pengosongan Paksa akibat

batalnya PPJB

Masih dijumpai dalam perjanjian pengikatan jual beli kavling, klausul

mengenai hak Pengembang untuk melakukan pengosongan paksa. Disebutkan

dalam Pasal 12 ayat (3) “Pengembang dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa

dalam hal perjanjian ini menjadi batal (bukan karena kesalahan Pengembang),

maka akan belaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 3.1 Kavling Siap Bangun (KSB) yang menjadi objek perjanjian ini tetap merupakan milik

Pengembang sepenuhnya, dan oleh karenanya Pembeli berkewajiban untuk menyerahkan kembali dalam bentuk kosong dari material bangunan ataupun bangunan lainya kepada Pengembang selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak perjanjian ini menjadi batal. Setiap keterlambatan pengosongan mengharuskan Pembeli membayar denda pada Pengembang sebesar 2/1000 (dua permil) untuk setiap hari keterlambatan, jumlah denda mana harus dibayar seketika dan sekaligus atas permintaan Pengembang, dengan tidak mengurangi hak Pengembang untuk melakukan pengosongan paksa, bila perlu dengan meminta bantuan dari pihak berwajib, atas biaya dan resiko Pembeli sepenuhnya.

Klausul yang demikian memperlihatkan Pengembang berada dalam posisi

yang kuat. Pencantuman klausul tersebut dan pelaksanaannya oleh Pengembang

bukan tanpa tantangan dari Pembeli. Pengembang menjadikan batalnya perjanjian

sebagai alasan untuk mengambil tindakan sepihak yang merugikan Pembeli.

Penggunaan kalimat ”...bahwa dalam hal perjanjian ini menjadi batal (bukan

karena kesalahan Pengembang)...”, merupakan kesimpulan yang dituangkan

dalam perjanjian bahwa batalnya perjanjian adalah akibat dari perbuatan Pembeli.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah perbuatan Pembeli seperti apa yang dapat

menyebabkan batalnya perjanjian dan bagaimana mekanisme pembatalan

perjanjian, sehingga memberikan hak kepada Pengembang untuk melakukan

pengosongan secara paksa.

Dengan terpenuhinya syarat batal sebagai akibat dari pelanggaran

perjanjian oleh Pembeli, seakan-akan Pengembang dapat serta merta memutus

hubungan kontraktual tanpa memperhatikan hak-hak Pembeli. Pemikiran seperti

itu dalam dunia usaha berkembang lebih disebabkan sebagai langkah antisipasi

untuk menghindari kerugian akibat kenakalan pihak Pembeli, namun persepsi

sepihak tersebut tidak sepatutnya dijadikan sebagai alasan pembenar bagi

Pengembang untuk mendesain perjanjian yang mengesampingkan asas-asas yang

berlaku secara umum dalam perjanjian.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 9: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

42

Universitas Indonesia

Pemutusan hubungan kontraktual secara sepihak oleh Pengembang

sebagai akibat batalnya perjanjian, menimbulkan pertanyaan apakah “pembatalan”

dan “pemutusan” merupakan dua istilah yang mempunyai makna dan akibat

hukum yang sama, atau sebaliknya berbeda dalam makna dan akibat hukumnya.

Menurut KUH Perdata, Perjanjian yang dapat batal demi hukum adalah

perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu adanya

obyek tertentu dan kuasa yang halal, bukan karena wanprestasi71. Wanprestasi

hanya mengakibatkan pihak yang dirugikan dapat menuntut prestasi atau

pengakhiran perjanjian. Analisis kritis perlu dilakukan terhadap penggunaan

istilah “pembatalan” dan “pemutusan” dalam suatu kontrak, meskipun masyarakat

awam mengartikan kedua istilah tersebut dalam pengertian yang sama. Terlebih

lagi dalam praktik pembuatan kontrak, acapkali para pihak mencantumkan klausul

pembatalan atau pemutusan tersebut yang diikuti dengan redaksi “…para pihak

sepakat mengesampingkan ketentuan Pasal 1226 KUH Perdata. Untuk itu, analisis

berikut ini akan memperjelas pemahaman serta penggunaan kedua istilah tersebut.

1) Pembatalan Kontrak

Dalam khasanah hukum kontrak yang dimaksud dengan

pembatalan kontrak pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa

akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan

pembatalan kontrak, maka eksistensi kontrak dengan sendiri menjadi

hapus. Akibat hukum kebatalan yang menghapus eksistensi kontrak selalu

dianggap berlaku surut sejak dibuatnya kontrak. Pemahaman mengenai

pembatalan kontrak seharusnya dihubungkan dengan tidak terpenuhinya

syarat sahnya kontrak, yaitu72:

a) tidak dipenuhinya unsur subyektif, apabila kontrak tersebut lahir

karena adanya cacat kehendak (onbekwaamheid) – (Pasal 1320

KUH Perdata syarat 1 dan 2), sehingga berakibat kontrak tersebut

dapat dibatalkan vernietigbaar)

71 Arie S. Hutagalung, Serba Aneka masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu Kumpulan Karangan), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 204. 72 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit. hal. 264.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 10: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

43

Universitas Indonesia

b) tidak dipenuhinya unsur obyektif, apabila terdapat kontrak yang

tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa

atau causanya tidak diperbolehkan73 (Pasal 1320 KUH Perdata

angka 3 dan 4), sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi

hukum (nietig).

Pembatalan ialah suatu cara untuk memulihkan (keadaan atau

keseimbangan). Akan tetapi Herlien Budiono mengutip pernyataan Van

Rossum berpendapat bahwa74:

“(…) untuk memandang pembatalan perjanjian tidak terutama sebagai hak dari kreditor yang dirugikan, tetapi sebagai sarana untuk menjamin pencapaian keadilan berkenaan dengan kepentingan para pihak. Di mana sebagai kriteria penguji ialah tingkat keseriusan cacat dan kerugian yang akan ditanggung kedua belah pihak dalam hal perjanjian dibatalkan”.

Pendekatan ini sejalan dengan asas keseimbangan, yakni yang

ditujukan untuk menjaga kepentingan para pihak dan sekaligus membatasi

dan mencegah kemungkinan kebatalan (demi hukum) atau pembatalan

suatu keadaan dan situasi tidak seimbang di dalam kontrak. Pembatalan

perjanjian bukanlah semata-mata “hak dari seseorang”, melainkan juga

“kepentingan para pihak”. Lebih lanjut Herlien Budiono mengutip

pendapat Bakels menyatakan bahwa75:

“(…) perkembangan hukum seiring dengan evolusi kehidupan masyarakat berubah dari kultur yang dahulu sangat individualistik menjadi lebih sosialistik, yang berbeda dari syarat kepatutan dan kelayakan telah menemukan ragam cara penerapan yang khas”.

Kewenangan untuk membatalkan perjanjian dengan cara itu

dibatasi atau bahkan ditiadakan. Jika bagi pihak kreditor terbuka upaya

hukum lainnya di luar pembatalan, sedangkan bagi debitor pada saat sama

ditimbulkan kerugian yang tidak perlu atau sangat tidak patut sebagai

akibat pembatalan tersebut. Demikian, maka Bakels menempatkan

73 Tentang kausa yang halal penjelasan lebih lanjut dapat ditemukan di dalam ketentuan Pasal 1335, Pasal 1337 ataupun Pasal 1339 KUH Perdata. 74 Helien Budiono, Op. Cit, hal. 504. 75 Ibid. hal. 505.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 11: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

44

Universitas Indonesia

pembatalan perjanjian dalam konteks pandangan sosial-ekonomi: manakah

yang akan diberi prioritas, stabilitas dalam hubungan hukum kontraktual

ataukah peluang untuk memaksakan hubungan hukum kontraktual

demikian. Keseimbangan haruslah tercapai antara hak atau kewenangan

memajukan kepentingan sendiri berhadapan dengan kewajiban untuk

berperilaku dalam hubungan sosial secara patut76.

Pembatalan hanya menjadi mungkin bila pilihan tersebut

merupakan opsi yang riil dan secara nyata ada “cacat/penyimpangan yang

mendasar”. Pilihan riil demikian dikatakan muncul bila dalam suatu

perjanjian adanya “alternatif yang wajar” membatasi kewenangan

membatalkan perjanjian. Keseimbangan dalam kontrak yang terganggu

harus dipulihkan melalui campur tangan pengadilan, diantaranya adalah

melalui pembatalan untuk sebagian77, sepanjang hal tersebut memang

layak dilakukan ataupun melalui pembatalan perjanjian untuk seluruhnya

(Pasal 1266 KUH Perdata). Keputusan dan pilihan untuk mengakhiri

perjanjian untuk seluruhnya atau untuk sebagian akan bergantung pada

fakta serta situasi dan kondisi yang ada.

Dengan demikian makna pembatalan lebih mengarah pada proses

pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum pada

pembatalan kontrak adalah ”pengembalian pada posisi semula,

sebagaimana halnya sebelum penutupan kontrak”. Misal: dalam kontrak

jual beli yang dibatalkan, maka barang dan harga harus dikembalikan

kepada masing-masing pihak, dan apabila pengembalian barang tidak lagi

dimungkinkan dapat diganti dengan obyek yang sejenis atau senilai.

Konsekuensi lanjutan dari efek atau daya kerja pembatalan, apabila

setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya

(mengembalikan apa yang telah diperolehnya), maka pihak yang lain dapat 76 Ibid 77 Dalam praktik, sering dijumpai adanya klausul yang mengatur kebatalan sebagian substansi kontrak yang lazim dituangkan dalam klausul “kebatalan sebagian” atau “severability clause”. Klausul ini pada umumnya menegaskan apabila satu atau beberapa ketentuan dinyatakan batal, maka terhadap klausul yang dinyatakan batal dianggap tidak pernah ada. Namun sepanjang tidak terkait dengan substansi klausul yang dibatalkan serta masih memungkinkan untuk dilaksanakan maka sisa kontrak yang ada dinyatakan masih berlaku. Dalam sistematika KUH Perdata pengaturan tentang “kebatalan sebagian” atau “severability clause” tidak diatur.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 12: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

45

Universitas Indonesia

mengajukan gugat revindikasi (vide Pasal 574 KUH Perdata) untuk

pengembalian barang miliknya, atau gugat perorangan atas dasar

pembayaran yang tidak terutang (vide Pasal 1359 KUH Perdata).

Untuk itu perlu dibedakan pemahaman antara hapusnya kontrak

karena pembatalan dengan hapusnya perikatan sebagaimana dimaksud

Pasal 1381 KUH Perdata (misal: hapusnya perikatan karena pembayaran

atau sebagai akibat pemenuhan perikatan). Pada pembedaan di sini,

hapusnya kontrak karena pembatalan jelas menghapus eksistensi kontrak,

sedangkan hapusnya perikatan karena pembayaran atau pemenuhan

prestasi hanya menghapus perikatannya sendiri namun eksistensi

kontraknya tidak dihapus.

2) Pemutusan Kontrak

Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan kontrak

dengan pemutusan kontrak, adalah terletak pada fase hubungan

kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan

tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak),

sedang pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak

yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak,

namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah, sehingga

mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak).

Pemutusan kontrak merupakan akibat hukum lanjutan dari

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban

kontraktual. Peristiwa tersebut pada umumnya dikaitkan dengan

pelanggaran kewajiban kontraktual salah satu pihak yang mengakibatkan

kegagalan pelaksanaan kontrak (wanprestasi), sehingga mengakibatkan

kotrak tersebut diputus. Pemutusan kontrak sebagai akibat adanya

pelanggaran kewajiban kontraktual merupakan salah satu upaya bagi

kreditor untuk menegakkan hak kontraktualnya. Hal ini dapat dicermati

dalam ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, bahwa dalam hal terjadi

wanprestasi oleh debitor, maka kreditor dapat menuntut antara lain

pemutusan kontrak ditambah dengan ganti rugi.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 13: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

46

Universitas Indonesia

Perlu diperhatikan bahwa hubungannya dengan pemutusan kontrak

yang disebabkan pelanggaran kewajiban kontraktual (wanprestasi), harus

berlandaskan pada alasan yang wajar (rasional) dan patut. Sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 6:265 NBW, bahwa pemutusan kontrak harus

didasarkan pada adanya pelanggaran yang bersifat fundamental

(fundamental breach) mempengaruhi keseluruhan atau sebagian kontrak78.

Untuk itu pelanggaran yang tidak begitu penting atau menurut sifatnya

dapat diterima (special nature or minor importance), tidak lantas

membuka peluang bagi kreditor untuk memutuskan kontrak. Misal:

keterlambatan pembayaran angsuran satu atau dua hari bagi debitor yang

sebelumnya selalu tepat waktu dalam membayar angsuran, dijadikan

alasan oleh para kreditor untuk menuntut pemutusan kontrak. Hal ini jelas

tidak fair dan tidak proporsional, sehingga melalui pengujian berdasarkan

asas proporsionalitas79, maka gugatan pemutusan kontrak seyogyanya

ditolak atau tidak diterima.

Adanya klausul di dalam PPJB yang memberikan kewenangan

kepada Pengembang untuk melakukan pengosongan paksa sebagai akibat

batalnya perjanjian, perlu dianalisa secara seksama dengan berpijak pada

kerangka berpikir bahwa istilah ”pembatalan” adalah tidak sama dengan

istilah ”pemutusan”. Penggunaan klausul perjanjian menjadi batal (bukan

karena kesalahan Pengembang) dalam PPJB mengandung konotasi bahwa

Pembeli telah melakukan pelanggaran atau tidak melaksanakan

prestasinya, sehingga merugikan Pengembang. Atas dasar pelanggaran

itulah Pengembang menyatakan perjanjian menjadi batal dan sebagai

tindak lanjutnya Pengembang dapat melakukan pengosongan paksa.

Apabila memang demikian maksud dari Pengembang, maka seharusnya

klausul yang digunakan adalah ”memutus perjanjian” bukan

”membatalkan perjanjian”.

78 Agus Yudha Hernoko Op. Cit. hal. 267. 79 Asas Proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Periksa Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 73.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 14: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

47

Universitas Indonesia

Apabila yang dimaksud dalam substansi Pasal 12 ayat (3) PPJB

adalah klausul tentang pernyataan pemutusan perjanjian, maka pemutusan

kontrak yang disebabkan pelanggaran kewajiban kontraktual

(wanprestasi), harus berlandaskan pada alasan yang wajar (rasional) dan

patut serta menurut ketentuan yang telah diatur dalam hukum perdata.

Pengembang tidak dapat begitu saja membatalkan perjanjian terlebih lagi

melakukan pengosongan paksa. Wanprestasi hanya mengakibatkan pihak

yang dirugikan dapat menuntut prestasi atau pengakhiran perjanjian, bukan

membatalkan perjanjian secara sepihak. Ini artinya, apabila Pengembang

merasa dirugikan karena tindakan Pembeli (misalnya: terlambat membayar

angsuran KSB), maka Pengembang dapat mengajukan permohonan ke

pengadilan untuk untuk mengakhiri perjanjian atau menuntut prestasi yang

belum dipenuhi oleh Pembeli.

Ketentuan lain yang menguatkan pendapat bahwa wanprestasi tidak serta

merta memutuskan perjanjian dapat ditemukan dalam Keputusan Menteri Negara

Perumahan Rakyat Nomor: 9/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual

Beli Rumah. Pada Bab XI Penyelesaian Perselisihan, angka ke 2 (dua) disebutkan

“jika penyelesaian secara musyawarah tidak membawa hasil, maka para pihak

sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui Badan Arbitrasi

Nasional Indonesia (BANI)”. Apabila kita cermati ketentuan pasal di atas,

pembatalan perjanjian secara sepihak oleh kreditur akibat adanya wanprestasi oleh

debitur adalah tidak dibenarkan. Mekanisme pertama yang harus ditempuh untuk

menyelesaikan perselisihan adalah melalui musyawarah, namun apabila dengan

musyawarah tidak mampu menyelesaikan perselisihan, menurut Keputusan

Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 9/KPTS/M/1995 diperintahkan

kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI.

Penunjukkan peran arbitrase ini tidak lain dengan tujuan memperoleh

suatu keputusan final dan mengikat yang artinya tidak dapat diajukan banding,

kasasi atau peninjauan kembali. Pada kenyataannya, hal tersebut di atas tidak

mudah pula diterapkan dalam praktek. Kekuatan keputusan Badan Arbitrase,

dalam prakteknya ternyata masih memungkinkan untuk dibatalkan oleh

Pengadilan. Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 15: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

48

Universitas Indonesia

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan “Ketua Pengadilan

Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan atas putusan Badan Arbitrase,

memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4

dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”80

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur tentang

persetujuan bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase

dan para pihak telah memberikan wewenang kepada Badan Arbitrase untuk

menyelesaikan persengketaan mereka.

Sementara Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur

tentang sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di

bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya

oleh pihak yang bersengketa. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juga

mengatur tentang sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah

sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan

perdamaian.

Jika hasil dari pemeriksaan ternyata, putusan arbitrase melanggar

ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka

putusan arbitrase tersebut dapat dibatalkan. Terkait dengan pembatalan putusan

arbitrase tersebut, selain merupakan kewenangan pengadilan tatkala memeriksa

putusan arbitrase tersebut, pihak yang dirugikan atas putusan arbitrase tersebut

juga dapat meminta putusan arbitrase untuk dibatalkan. Hal ini sebagaimana

dimaksud dan diatur Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang

menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan

pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai

berikut:

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

yang disembunyikan oleh pihak lawan atau

80 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 16: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

49

Universitas Indonesia

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Berdasarkan uraian di atas, kalau pada akhirnya pelaksanaan putusan

arbitrase digantungkan pada persetujuan/pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri,

apakah putusan BANI merupakan putusan hukum yang efektif bagi para pihak

yang bersengketa? Kalau pada akhirnya, putusan BANI dapat dibatalkan oleh

pengadilan atau oleh salah satu pihak yang dirugikan, bukankan lebih baik

penyelesaian masalahnya langsung ke pengadilan? mengingat dari segi biaya dan

waktu juga, penyelesaian melalui mekanisme BANI tidak lebih murah dan cepat

dari pada mekanisme penyelesaian melalui pengadilan. Seyogyanya Keputusan

Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 9/KPTS/M/1995 hanya mengarahkan

upaya-upaya yang dapat ditempuh dalam rangka penyelesaian perselisihan tetapi

tidak memberikan satu alternatif saja.

Penjelasan lebih lanjut dapat kita temukan didalam Pasal 1339 KUH

Perdata, “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Ini artinya

perjanjian tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang dirumuskan oleh para pihak,

melainkan juga oleh keadilan dan itikad baik. Sebagaimana dipahami bahwa

pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tidak

harus diintepretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas

pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan

proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada

tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian

fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mempunyai sifat

dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.

Beranjak dari pemahaman mengenai itikad baik, kiranya dalam

menjalankan aktivitasnya pelaku bisnis tidak boleh merugikan pihak lain, serta

tidak memanfaatkan kelemahan pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri.

Dengan demikian perjanjian tidak hanya ditetapkan berdasarkan kata-kata yang

dirumuskan oleh para pihak, namun hakim dapat melakukan intervensi terhadap

kebebasan berkontrak para pihak dengan mendasarkan pada asas itikad baik,

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 17: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

50

Universitas Indonesia

menafsirkan isi kontrak di luar kata-kata yang telah tercantum (boleh ditambah,

diperluas), bahkan isinya dapat ditetapkan secara bertentangan dengan kata-kata

itu.

2.4.2 Hak Pengembang Untuk Melakukan Tindakan Sepihak Atas KSB

Pasal 12 butir 3.2 PPJB menyatakan: ”Pengembang berhak melakukan

penjualan atas KSB tersebut kepada pihak lain, baik dihadapan umum maupun di

bawah tangan dengan harga yang ditentukan oleh Pengembang”. Selanjutnya

Pasal 12 butir 3.3 PPJB menyatakan: ”Pengembang berhak untuk memotong sebesar 20% (dua puluh persen) dari harga transaksi, dan PPN, serta Pembeli wajib mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pengembang sampai saat pembatalan dan oleh karena pembatalan, sedangkan sisanya akan dikembalikan oleh Pengembang kepada Pembeli selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah Pengembang berhasil menjual KSB tersebut kepada pihak lain” Apabila kita cermati secara seksama klausul di atas, maka pencantuman

klausul baku yang memberikan hak kepada Pengembang untuk menjual KSB

dengan harga yang ditentukan oleh Pengembang dan hak untuk memotong sebesar

20% (dua puluh persen) dari harga transaksi dalam kasus tertentu sangat

memberatkan pihak Pembeli. Seyogyanya sesuai dengan asas kepatutan dan itikad

baik Pengembang tidak menentukan sendiri harga jual atas KSB dalam rangka

penyelesain macetnya angsuran oleh Pembeli. Seyogyanya penafsiran harga

dilakukan oleh suatu appraisal company yang independen dan telah memiliki

reputasi baik.

Hal tersebut sangat penting dan perlu mendapat perhatian mengingat pada

kasus tertentu Pembeli akan sangat dirugikan dengan adanya klausul di atas.

Sebagai contoh, seorang Pembeli yang telah menandatangani PPJB untuk sebuah

KSB dengan harga Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta) dimana Pembeli

tersebut telah membayar angsuran sebesar 100 juta, tiba-tiba mengalami masalah

dan tidak mampu membayar angsuran sesuai syarat dalam PPJB, maka

Pengembang dapat membatalkan secara sepihak PPJB dan menjual KSB pada

pihak lain dengan harga yang ditentukan oleh Pengembang. Ketika Pengembang

menjualnya dengan harga yang wajar, maka tidak menjadi masalah, namun ketika

Pengembang menjualnya dengan harga yang jauh di bawah kewajaran (misalnya

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 18: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

51

Universitas Indonesia

KSB hanya dijual 75 juta), maka Pembeli akan sangat dirugikan karena hanya

akan menerima pengembalian sejumlah 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai

transaksi, belum lagi harus menanggung PPN dan biaya administrasi.

Kedudukan Pembeli dalam PPJB semakin terhimpit dengan pencantuman

klausul baku pada Pasal 12 butir 3.4 yang menyatakan bahwa Pembeli tidak akan

mengajukan gugatan/tuntutan apapun atas segala sesuatu yang sudah diterima oleh

Pengembang. Sebenarnya Pemerintah telah berusaha melindungi warganya dari

klausul baku yang memberikan kewenangan kepada salah satu pihak untuk

melakukan tindakan sepihak yang merugikan pihak lain dalam perjanjian,

diantaranya dengan memasukkan ketentuan mengenai klausul baku dalam

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 18

ayat (1) huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan81:

”Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran82. Mengacu pada ketentuan di atas, maka klausul-klausul baku pada Pasal 12

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita Karya Cabang Sarana Papan

yang memberikan kewenangan bertindak secara sepihak kepada Pengembang

perlu dikaji lebih mendalam kaitannya dengan asas kepatutan dan itikad baik

dalam perjanjian.

2.4.3 Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita Karya

Cabang Sarana Papan (PPJB), dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah

81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. 82 Dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa-beli, Jual Beli dengan Angsuran, dan sewa disebutkan bahwa: Jual beli dengan angsuran adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 19: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

52

Universitas Indonesia

bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH

Perdata. Pasal 12 ayat (2) PPJB menyebutkan:

Pengembang dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata, sepanjang ketentuan tersebut mensyaratkan diucapkanya suatu keputusan pengadilan untuk pengakhiran/batalnya suatu perjanjian.

Akibat hukum dari pencantuman klausul di atas, maka ketika terjadi

wanprestasi, perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim,

tetapi dengan sendirinya telah batal demi hukum. Dalam hal ini wanprestasi

merupakan syarat batal. Pasal 1265 KUH Perdata menyebutkan bahwa

apabila suatu syarat batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan

dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-oleh tidak

pernah ada suatu perikatan. Dalam perikatan dengan syarat batal, perjanjian itu

sudah melahirkan perikatan, hanya perikatan itu akan batal apabila terjadi suatu

peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause83.

Dengan demikian si kreditur yang telah menerima prestasi yang diperjanjikan

harus mengembalikan apa yang telah diterimanya.

Selanjutnya Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahwa syarat

batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik,

manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.

Dengan demikian menurut ketentuan dalam ayat (1), wanprestasi adalah

merupakan syarat batal. Akan tetapi, dalam Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata

disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka perjanjian tidak batal demi

hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Ada beberapa alasan

yang mendukung klausul melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata dalam

perjanjian, misalnya berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, setiap

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak

yang membuatnya, sehingga pencantuman klausul yang melepaskan ketentuan

Pasal 1266 KUH Perdata harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang

83 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus Ed. 1. Cetakan ke. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 62.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 20: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

53

Universitas Indonesia

ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu

yang lama, sehingga hal itu tidak efisien bagi pelaku bisnis.

Pencantuman klausul mengenai syarat-syarat batal merupakan salah satu

klausul yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan Pengembang.

Demikian pentingnya klausul itu bagi Pengembang, sehingga seandainya klausul

itu tidak ada di dalam PPJB, maka berakibat pelaksanaan pembatalan perjanjian

hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui proses

litigasi yang panjang dan lama, sehingga Pengembang akan sangat enggan untuk

melakukan penjualan kavling dengan sistem angsuran.

Pada sisi lain, beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat

bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian,

tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini

didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur masih

berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu,

berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) KUH Perdata, hakim berwenang untuk

memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian dalam jangka

waktu paling lama satu bulan meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi

atau cidera janji. Dalam hal ini hakim memiliki penilaian untuk menimbang berat

ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian

dibatalkan.

Mengenai Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua

pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang

menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat

memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan

kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan

aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi

oleh para pihak84.

1) Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan

aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).

84 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 271.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 21: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

54

Universitas Indonesia

Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 KUH Perdata yang

menyatakan, bahwa:

a) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak

yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi

kewajibannya

b) Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi

pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini

juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak

dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam kontrak

c) Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, hakim adalah

leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat,

memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi

kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu

bulan.

Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga)

syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu:

a) harus ada persetujuan timbal balik

b) harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor

menuntut pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai

(pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling)

c) putusan hakim.

Dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus

dimintakan kepada Pengadilan …, kata ”harus” pada ketentuan Pasal 1266

KUH Perdata ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend

recht)85 dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul)

kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya

putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat

85 Menurut Pitlo, untuk mengetahui suatu undang-undang bersifat memaksa atau melengkapi kadang-kadang tidak mudah. Namun demikian, dengan rumusan kata-kata ”memerintahkan”, ”melarang”, ”tidak boleh”, ”tidak dapat” menunjukkan sifat memaksanya. Begitu juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan karakter memaksanya suatu aturan. Periksa A. Pitlo, Het Systeem van Het Nederlandse Privaaterecht, (terjemahan D. Saragih), (Bandung: Alumni, 1973). hal.13-20. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid. hal. 272.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 22: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

55

Universitas Indonesia

deklaratif (kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan

hakim sekedar menyatakan saja bahwa kontrak telah putus). Pendapat

yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan:86

a) Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata,

putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim

b) Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa

wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak

c) Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang

waktu bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan

ini berarti bahwa kontrak belum putus

d) Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan.

2) Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan

aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht).

Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut:

a) Pasal 1266 KUH Perdata, terletak pada sistematika Buku III

dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur

b) Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak

tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus

dinyatakan secara positif dalam kontrak

c) Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya

mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata,

sehingga hal ini dianggap sebagai ”syarat yang biasa diperjanjikan”

(bestandig geberukikelijk beding) dan merupakan faktor otonom

yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul

ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak

lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 KUH Perdata yang

bersifat mengatur.

86 Periksa Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV (Jakarta: Binacipta, 1987), hal. 66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat konstitutif, hakim juga mempunyai kekuasaan ‘descretionair’ , artinya ia mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan pemutusan kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1982), hal. 148. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 23: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

56

Universitas Indonesia

Berdasarkan 2 (dua) pendapat yang berkembang mengenai klausul

pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, apabila dikaitkan dengan kepentingan

para pelaku bisnis (Pengembang) tampaknya pendapat kedua lebih mendekati

nilai kepraktisannya (Pasal 1266 KUH Perdata disimpulkan bersifat mengatur).

Harus diakui bahwa para pelaku bisnis lebih memilih alternatif terbaik bagi

kontrak mereka, termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam pelaksanaan

kontrak. Klausul Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dianggap jalan

singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan kepastian hukum pelaku bisnis.

Namun dari sisi perlindungan hak-hak Pembeli, Pengesampingan Pasal 1266 dan

Pasal 1267 KUH Perdata rentan terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak Pembeli

oleh Pengembang dengan mengatasnamakan melaksanakan ketentuan perjanjian.

Dari sisi kepatutan mungkin Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267

KUH Perdata dapat diterima apabila substansi perjanjian telah memberikan

jaminan adanya keseimbangan bagi para pihak. Namun pada kenyataannya tidak

jarang ditemukan perjanjian yang berat sebelah dan cenderung merugikan

kepentingan salah satu pihak. Dalam praktik bisnis masih ditemukan suatu

perjanjian yang mencantumkan klausul baku tentang pembatasan tanggung jawab

salah satu pihak apabila timbul suatu resiko. Terhadap perjanjian yang demikian,

maka pengabaian Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata perlu ditelaah secara

mendalam apakah dapat diterima berdasarkan asas kepatutan di atas.

2.4.4 Adanya Klausul Eksemsi Pembatasan Tanggung Jawab Pengembang

Masalah hukum selanjutnya di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Kavling PT. Waskita Karya Cabang Sarana Papan adalah masalah yang

berkaitan dengan pencantuman klausul atau ketentuan yang secara tidak wajar

sangat memberatkan bagi pihak Pembeli. Diantara klausul-klausul yang dinilai

sebagai klausul yang memberatkan dan banyak muncul dalam perjanjian-

perjanjian baku adalah yang disebut klausul eksemsi87. Untuk istilah klausul

eksemsi ini, Mariam Darus Badrulzaman menggunakan istilah klausula

87 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit. hal. 81.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 24: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

57

Universitas Indonesia

eksonerasi, yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah exoneratie clausule

dalam bahasa Belanda88.

Penulis lebih memilih menggunakan istilah klausul eksemsi sebagaimana

yang digunakan oleh Sutan Remy Sjahdeini untuk menterjemahkan istilah

exemption clause yang dipakai dalam pustaka-pustaka hukum Inggris, dari pada

mengambil alih dari istilah Bahasa Belanda dengan menerjemahkan exoneratie

clausule menjadi klausul eksonerasi. Pengambilalihan dari istilah yang dipakai

dalam Bahasa Inggris ini adalah sejalan dengan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah sebagaimana menurut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia No. 0389/U/1988 tanggal 11 Agustus 1988. Menurut

pedoman tersebut bahwa demi keseragaman, sumber rujukan yang diutamakan

adalah istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional, yakni yang

dilazimkan oleh para ahli dalam bidangnya89.

Klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau

membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya

dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan

kewjibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut90. Untuk dapat lebih

memahami apa yang dimaksud dengan klausul eksemsi tersebut, penulis kutipkan

contoh klausul eksemsi yang pernah tercantum pada tiket penumpang dan bagasi

“Garuda Indonesia” yang berbunyi sebagai berikut91: Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi. Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya kerugian yang diderita. Tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan sejumlah maksimum Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per kilo gram. Klausul-klausul eksemsi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Klausul

tersebut dapat berbentuk pembebasan sama sekali dari tangung jawab yang harus

dipikul oleh pihaknya apabila terjadi ingkar janji (wanprestasi). Dapat pula

berbentuk pembatasan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut ataupun pembatasan 88 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian baku (standar) Perkembanganya di Indonesia. Dimuat dalam: Beberapa Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan pidato-pidato Pengukuhan), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 109, dalam Sutan Remi Sjahdeini, Ibid. 89 Sutan Remi Sjahdeini, Ibid. hal. 82. 90 Ibid. hal 84. 91 Ibid. hal 85.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 25: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

58

Universitas Indonesia

waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan gugatan atau ganti

rugi92.

Klausul eksemsi sebagaimana diuraikan di atas ternyata juga ditemukan

dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita Karya Cabang Sarana

Papan, diantaranya adalah Pembatasan jumlah denda/ganti rugi. Pada Pasal 3 ayat

(3) PPJB disebutkan: Jika Pengembang lalai menyerahkan KSB kepada Pembeli pada waktu yang ditentukan, dengan tenggang waktu 60 (enam puluh) hari, maka Pengembang diwajibkan membayar denda keterlambatan penyerahan tersebut sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatanya terhitung sejak tenggang waktu 60 (enam puluh) hari ini berakhir. Dengan syarat bahwa Pembeli telah melunasi seluruh harga transaksi dan denda-denda bila ada. Besarnya denda keterlambatan ini maksimum 5% (lima perseratus) dari harga KSB yang disepakati pada Pasal 2 ayat (1).

Klausul ini tidak dapat serta merta mengikat Pembeli, sekalipun Pembeli

telah menandatangani PPJB kavling. Asas kepatutan dalam KUH Perdata

menghendaki agar hakim tetap mempertimbangkan masalah yang diadili secara

kasus per kasus. Pada ketentuan pasal di atas Pengembang telah menetapkan

batas maksimal denda yang harus dibayarkannya kepada Pembeli. Apabila terjadi

keterlambatan penyerahan KSB oleh Pengembang kepada Pembeli, maka

besarnya denda keterlambatan tersebut maksimal sebesar 5% (lima perseratus). Ini

artinya berapapun lamanya Pengembang terlambat menyerahkan KSB kepada

Pembeli, Pengembang hanya akan dikenakan denda tidak lebih dari 5% (lima

perseratus) dari harga KSB yang telah disepakati.

Apabila kita perhatikan uraian tentang klausul eksemsi di atas,

pencantuman klausul pembatasan denda/ganti rugi atas kesalahan Pengembang

dapat dikategorikan sebagai klausul eksemsi. Pencantuan klausul tersebut dalam

perjanjian tentu saja sangat merugikan Pembeli. Pembeli tidak dapat menuntut

ganti rugi lebih kepada Pengembang apabila terjadi berlarut-larut Pengembang

tidak segera menyerahkan KSB kepada Pembeli, akibatnya meskipun kewajiban

Pembeli untuk melakukan pembayaran KSB telah dilakukan namun KSB belum

juga menjadi hak milik Pembeli.

92 David Harland, The Regulation of Unfair Contracts In Australia, a papar presented at The Asian Seminar on Consumer Law, Kuala Lumpur, Agustus 1993, dalam Inosentius Samsul, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal 251.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 26: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

59

Universitas Indonesia

Pembatasan besarnya denda atas keterlambatan penyerahan KSB oleh

Pengembang kepada Pembeli dalam PPJB, pada dasarnya merupakan cara dari

Pengembang untuk menekan sekecil mungkin pengeluaran yang harus ditanggung

ketika Pengembang tidak dapat melaksanakan kewajibannya menyerahkan KSB

pada waktunya. Kondisi ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan

klausul dalam Pasal 2 ayat (6) PPJB yang menyebutkan apabila terjadi

keterlambatan pembayaran dari Pembeli kepada Pengembang, maka untuk setiap

keterlambatan pembayaran dari Pembeli kepada Pengembang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) di atas, Pembeli sanggup dan oleh karenanya

wajib membayar kepada Pengembang denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu

permil) perhari yang dihitung dari jumlah pembayaran yang telah jatuh tempo

namun belum diterima pembayaran oleh Pengembang.

Dari uraian di atas tampak bahwa Pengembang selaku pihak yang

menyusun kontrak baku berusaha membatasi tanggung jawab pembayaran denda

keterlambatan sebesar 5 % (lima perseratus), sedangkan denda keterlambatan bagi

pembeli apabila terlambat membayar angsuran kavling tidak dibatasi.

Pengembang dengan posisinya telah mendesain kontrak tidak seimbang93 dan

tentu saja sangat merugikan pihak Pembeli.

2.4.5 Pembatasan Hak Pembeli untuk Mengajukan Gugatan/Tuntutan

Pasal 12 butir 3.4. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita

Karya Cabang Sarana Papan menyatakan ”Pengembang dan Pembeli sepakat satu

sama lain, bahwa atas pemotongan sebagaimana tersebut pada butir 3.3. di atas,

Pembeli tidak akan mengajukan gugatan/tuntutan apapun atas segala sesuatu yang

telah diterima oleh Pengembang”. Klausul di atas telah membatasi hak Pembeli

untuk memperjuangkan hak-haknya melalui saluran hukum yang wajar apabila

terjadi perlakuan dari Pengembang yang merugikannya. Pencantuman klausul

baku di atas bukan saja tidak mencerminkan adanya keseimbangan dalam

93 Seimbangan disini berarti bahwa janji antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada adanya keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. Periksa, Herlien Budiono, Op. Cit, hal. 305.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 27: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

60

Universitas Indonesia

berkontrak namun secara yuridis juga menunjukkan tidak diakuinya hak-hak asasi

warga negara.

Negara telah memberikan jaminan hak-hak warga negara dalam konstitusi,

undang-undang, serta peraturan pelaksanaannya. Semuanya mengatur mengenai

hak-hak dasar warga negara, advokat, syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum,

serta aturan bagaimana melaksanakannya dan apabila tidak dilaksanakan94. Jelas

dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) berbunyi: ”segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ditambah

lagi adanya jaminan di dalam Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Negara sebagai penyelenggara pemerintahan berkewajiban melayani

warga negara untuk mencapai keadilan, ketertiban dan kemaslahatan hidup.

Ketika warga negara mengalami ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan

penderitaan yang berkepanjangan dari aparat negara, dan/atau sesama warga

negara, maka harus dilakukan upaya untuk memperbaikinya baik melalui saluran

hukum maupun politik95. Hak asasi manusia merupakan milik manusia sejak

lahir, bukan diberikan oleh negara atau siapapun juga, sehingga kehidupan

manusia menjadi terhindar dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan

penderitaan melalui penegakan hak-hak asasi tersebut. Hak asasi manusia tersebut

harus ditegakkan terus menerus, termasuk hak untuk mendapat perlindungan

hukum dan penyelesaian sengketa dalam kehidupan ekonomi.

Hak-hak di atas juga ditegaskan dalam Pasal 4 huruf e Undang-Undang

Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa hak konsumen adalah hak

untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut. Dengan demikian pencantuman klausul

pembatasan hak pembeli untuk mengajukan gugatan/tuntutan, secara yurudis

kontradiktif dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan

sebagaimana diuraikan di atas. Dari apa yang diuraikan di atas, terlihat bahwa

94 A. Patra M. Zen, Daniel Hutagalung (editor), Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Cetakan ke-1, (Jakarta: Sentralisme Production, 2006), hal. 47. 95 Ibid. hal. 46.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 28: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

61

Universitas Indonesia

dengan posisi yang dimiliki, Pengembang berusaha menempatkan Pembeli pada

situasi yang tidak mungkin melakukan perbuatan yang bisa merugikan

Pengembang. Dalam bisnis perilaku seperti itu wajar dan rasional, namun

tindakan pelaku usaha untuk mengamankan usahanya dengan mendesain

perjanjian baku yang substansinya bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, secara yuridis apakah dapat dibenarkan?

2.5. Kesimpulan dari Analisa Perjanjian

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. Waskita Karya Cabang

Sarana Papan terdiri dari 20 pasal. Format perjanjian disiapkan oleh Pengembang

secara sepihak dalam bentuk standar, sehingga pembeli tidak memiliki posisi

tawar selain menerima atau menolak perjanjian tersebut. Penandatanganan

perjanjian dilakukan oleh Pengembang dan Pembeli tidak dihadapan Pejabat yang

berwenang (PPAT maupun Notaris), sehingga perjanjian tersebut merupakan akta

di bawah tangan bukan merupakan akta otentik. Terdapat beberapa substansi

perjanjian yang membuka peluang penafsiran sepihak dan cenderung

menguntungkan Pengembang. Selain itu juga terdapat klausul baku yang yang

bertentangan dengan undang-undang dan klausul eksemsi yang membatasi

tanggung jawab Pengembang dan memberatkan pihak Pembeli.

Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan, jika para pihak

memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak

seimbang, maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable96.

Dalam konsep Common Law, Z. Asikin Kusumah Atmadja, Hakim Agung yang

menjadi Ketua Majelis dalam mengadili perkara Jaminan Buku Pensiun dan

perjanjian utang piutang, antara Ny. Boesono dan R. Boesono para Pemohon

Kasasi, dahulu Para Tergugat Pembanding, lawan Sri Setianingsih, Termohon

Kasasi, dahulu tergugat terbanding (Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret

1987 No. 3431 K/Pdt/1985) memberikan catatan terhadap putusan tersebut

96 Unconscionability merupakan suatu konsep yang dikenal dalam Hukum Kontrak Amerika Serikat yang memberikan kemungkinan bagi seorang Hakim untuk mengabaikan sesuatu bagian sari suatu kontrak atau bahkan seluruh kontrak itu sendiri apabila bagian kontrak itu atau seluruh kontrak itu dianggap menimbulkan akibat yang unconscionable (bertentangan dengan hati nurani), periksa Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit. hal. 115.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 29: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

62

Universitas Indonesia

dengan mengemukakan antara lain:97….hasil yang patut dan adil tergantung dari

kedudukan yang seimbang antara para pihak (gelijkwaardigheid van partijen). Di

samping itu, meskipun keseimbangan dan kesesuaian kedudukan para pihak itu

ada, namun pada pelaksanaannya yang tercapai adalah suatu hasil yang tidak

seimbang dan tidak sesuai (tidak patut dan adil, ongelijkwaardigheid van

resultaat).

Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi apabila pihak yang kuat

dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang

lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Ciri lain

dari adanya ketidakseimbangan adalah kekuasaan yang ada pada pihak yang lebih

kuat digunakan untuk memaksakan kehendak, sehingga membawa keuntungan

kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan

bertentangan dengan aturan-aturan yang adil. Tolak ukur “penyalahgunaan

keadaan” (misbruik van omstandigheden) atau penyalahgunaan kekuasaan

ekonomi yang menurut Z. Asikin Kusumaatmadja adalah mencakup

keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam itikad baik, patut dan adil atau

bertentangan dengan ketertiban umum sebagai pengertian klasik, juga dapat

digunakan untuk memperkaya tolak ukur bagi hukum Indonesia dalam

menentukan ada atau tidak adanya bargaining power yang seimbang dalam suatu

perjanjian.

Substansi Pasal 12 PPJB tentang Ketentuan Pembatalan Perjanjian dan

Sanksi, sangat rentan dijadikan alasan oleh Pengembang untuk mengambil

tindakan sepihak yang merugikan Pembeli. Pasal 12 ayat (1) Pengembang dapat

membatalkan perjanjian dalam hal Pembeli tidak dapat memenuhi kewajibanya

untuk membayar angsuran kepada Pengembang. Apabila kita melihat pada

ketentuan tersebut, maka begitu Pembeli sekali saja terlambat membayar angsuran

kavling, Pengembang dapat membatalkan perjanjian. Klausul eksemsi pada Pasal

3 ayat (3) juga menunjukkan bahwa dalam perjanjian terdapat ketidakseimbangan

hak dan kewajiban Pengembang dan Pembeli. Hal ini tentunya bertentangan

dengan rasa keadilan dan kepatutan mengingat sudah ada peraturan yang dapat

dijadikan sebagai acuan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling yaitu 97 Retno Wulan Sutantio, Perjanjian Hutang Piutang dari Sudut Pengadilan, Varia Peradilan, Tahun V No. 55, April 1990, hal 108-109. dalam Sutan Remy, Op. Cit. hal. 205.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 30: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

63

Universitas Indonesia

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 9/KPTS/M/1995 tentang

Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.

Pada saat Perjanjian ini dibuat, sebenarnya sudah berlaku Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, KUH Perdata dan

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 9/KPTS/M/1995 tentang

Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, namun Pengembang tetap saja

mencantumkan berbagai klausul baku yang melanggar peraturan perundang-

undangan tersebut di atas. Adalah tidak mungkin bagi Pengembang yang sudah

lama berkecimpung dalam usaha perumahan tidak mengetahui adanya peraturan-

peraturan di atas. Beranjak dari pemikiran tersebut, perlu dipertanyakan itikad

baik dari Pengembang dalam PPJB.

Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada seorang hakim

untuk mengesampingkan sebagian bahkan seluruh perjanjian demi menghindari

hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Dengan

berlakunya asas unconscionability tersebut, terhadap Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Kavling PT. Waskita Karya Cabang Sarana Papan perlu dipertanyakan

kekuatan mengikat dari beberapa pasal yang bertentangan dengan hati nurani.

Meskipun kenyataan menunjukkan bahwa perjanjian standar memang lahir dari

kebutuhan dunia bisnis, sehingga diterima oleh masyarakat, namun tetap masih

perlu dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat “berat sebelah” dan

tidak mengandung “klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi

pihak lainnya”, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang menindas dan

tidak adil.

Pengaturan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menetapkan bahwa

persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus bonafidei – kontrak

berdasarkan itikad baik). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut

kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai

arti yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari. Perjanjian harus dilaksanakan

“volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid,”98 artinya itikad baik harus

dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan. P.L. Werry menerjemahkan

“redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatutan” beberapa

98 P.L. Werry, Op. Cit. hal. 117.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.

Page 31: BAB 2 Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131168-T 27450-Analisis yuridis... · Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling PT. ... surat-surat

64

Universitas Indonesia

terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan” atau “kepatutan

dan keadilan.” Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal

sehat (reasonable; raisonnable), sedang billijkheid artinya patut dan adil. Dengan

demikian “redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dapat dirasakan dan

dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-

norma obyektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dari subyektifitas

para pihak.

Pecantuman klausul-klausul baku dalam PPJB yang memberatkan pihak

Pembeli menunjukkan bahwa di dalam perjanjian terdapat ketidakadilan yang

sengaja dibentuk oleh pihak Pengembang untuk melindungi kepentingannya.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa meskipun perjanjian adalah sah karena

adanya kata sepakat dari Pengembang dan Pembeli yang dibuktikan dengan

adanya tanda tangan kedua belah pihak, namun dilihat dari kepatutan dan

kepantasan, pencantuman klausul-klausul baku yang memberatkan pihak Pembeli

merupakan indikasi bahwa tindakan Pengembang bertentangan dengan asas itikad

baik dalam perjanjian.

Analisis yuridis..., Dwi Agus Prianto, FH UI, 2010.